REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika) - Test Repository
PENELITIAN UNGGULAN TAHUN REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika) Oleh Drs. Bahroni, M.Pd. NIP. 196408181994031004 PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA2014 PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Drs. Bahroni, M.Pd.
NIP : 196408181994031004 Pangkat/Golongan : Pembina (IVa) / Lektor Kepala
menyatakan bahwa naskah penelitian dengan judul REPRESENTASI
PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL
NEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan
Stilistika), secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya
sendiri, kecuali bagian-bagian yang dirujuk sumbernya dan telah saya
susun sesuai dengan kaidah dan etika penelitian.Salatiga, 19 Desember 2014 Yang Menyatakan Drs. Bahroni, M.Pd.
NIP. 196408181994031004
ABSTRAK
Bahroni. 2014. Representasi Pendidikan Karakter dan Estetika Bahasa
dalam Trilogi Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika). Penelitian Unggulan. Konsultan: Dr.H.Sa’adi, M.Ag. Kata kunci: pendidikan karakter, estetika bahasa Pemberlakuan kurikulum 2013 pada dunia pendidikan diIndonesia didasari atas keprihatinan yang mendalam masyarakat
Indonesia pada umumnya dan para pendidik pada khususnya terhadap
semakin pudar dan merosotnya karakter generasi muda bangsa.
Kurikulum 2013 ini lebih menekankan pada internalisasi nilai-nilai
karakter yang baik ke dalam diri peseta didik, sehingga setelah mereka
lulus dari jenjang pendidikan tertentu diharapkan memiliki kepribadian
yang baik. Keberhasilan membentuk generasi muda bangsa yang
berkepribadian baik sebagaimana diamanatkan kurikulum 2013 tentu
tidak hanya menjadi tanggung jawab para pendidik, namun
membutuhkan partisipasi dan kontribusi dari seluruh warga bangsa,
termasuk para sastrawan. Oleh karena itu, para sastrawan diharapkan
menciptakan karya sastra yang mengandung nilai-nilai kebaikan,
terutama nilai-nilai pendidikan.Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimanakah
unsur-unsur intrinsik dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?; (2)
bagaimanakah representasi pendidikan karakter dalam trilogi novel
Negeri 5 Menara ?; dan (3) bagaimanakah estetika bahasa dalam
trilogi novel Negeri 5 Menara? Adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk (1) mendeskripsikan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik
dalam trilogi novel Negeri 5 Menara; (2) mendeskripsikan dan
menjelaskan representasi pendidikan karakter dalam trilogi novel
; dan (3) mendeskripsikan dan menjelaskan estetika Negeri 5 Menara bahasa dalam trilogi novel Negeri 5 Menara.
Sumber data dalam penelitian berupa dokumen yakni trilogi
novel N5M, R3W, dan R1M. Unsur-unsur intrinsik novel, pendidikan
karakter, dan estetika bahasa dideskripsikan dengan menelaah novel-
novel tersebut, novel-novel lain yang relevan misalnya novel Opera
van Gontor karya Amroeh Adiwijaya (2010), dan opini publik yang
berupa tulisan-tulisan di media tentang tanggapan pembaca terhadap
isi trilogi novel N5M. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik pustaka, yakni teknik pengambilan data dari
berbagai sumber tertulis beserta konteks lingual yang mendukung
analisis data. Berbagai tulisan dipilih yang mencerminkan pemakaian
potensi bahasa yang khas.Dalam penelitian ini, proses analisis data dilakukan dengan
model interatif seperti yang dikemukakan oleh Miles & Hubermen
(1984:23). Analisis data model interaktif menggunakan langkah-
langkah: (1) reduksi data, (2) sajian data, (3) penarikan simpulan dan
verifikasi data. Ketiga langkah tersebut dilakukan ketika pengumpulan
data berlangsung dan dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses
pengumpulan data sebagai proses siklus dan terus-menerus hingga
dicapai kesimpulan.Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, u nsur-unsur
intrinsik yang terdapat dalam trilogi novel N5M meliputi: tema tentang pendidikan, alurnya maju-mundur atau campuran, tokoh utama: 'Aku'/Alif merupakan tokoh utama. Amanat: sebuah perenungan yang diberikan penulis bagi pembaca untuk tidak putus asa dalam hidup dan bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Selanjutnya, unsur-unsur intrinsik novel R3W meliputi: temanya adalah perjuangan dalam meraih cita-cita. Tokoh utama: Alif
sebagai tokoh 'aku' dalam novel ini berasal dari Amanat: memotivasi untuk menggapai cita-cita dengan kerja keras, berdoa, dan berserah diri kepada Allah. Adapun unsur-unsur intrinsik novel R1M meliputi: temanya tentang cinta dan perjuangan. Tokoh utama: Alif Fikri atau Aku. Amanat: bersungguh- sungguhlah dalam meraih cita-cita.
Kedua, representasi pendidikan karakter yang ada dalam trilogi novel
N5M meliputi (1) nilai-nilai karakter yang dikembangkan dalam pendidikan di indonesia yang meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab; dan (2) nilai-nilai karakter yang lain, meliputi: semangat memotivasi, menghormati orangtua, berhemat, kekompakan, mengakui kelebihan orang lain, suka membantu atau menolong orang lain, rajin berdoa, berprasangka baik, optimis dan pantang menyerah, tekun, dan tabah.
Ketiga, estetika bahasa yang terdapat dalam trilogi novel N5M meliputi (1)
Citraan (imagery), yang terdiri atas (a) citraan citraan penglihatan (visual
imagery), (b) citraan pendengaran (auditory imagery), (c) citraan gerakan
(movement imagery/kinaesthetic), (d) citraan perabaan (tactile/thermal imagery), (e) citraan penciuman (smell imagery), (f) citraan pencecapan (taste imagery), dan (g) citraan intelektual (intellectual imagery); (1) majas penegasan yang terdapat dalam trilogi novel N5M yakni aforisme, klimaks, antiklimaks, apofasis/preterisio, aposiopesis, bombastis, elipsis, eksklamasio, interupsi, inversi/anastrof, paralelisme, pararima, pleonasme, praterio, anadiplosis, anafora, epifora/epistrofa, epizuksis, katafora, mesodiplosis, tautotes, retoris/erotesis, asindeton, polisendeton, dan silepsis; (2) majas perbandingan yang terdapat dalam trilogi novel N5M yakni alegori, antonomasia, hiperbola, metafora, onomatope, perifrasis, personifikasi, simile, sinestesia, dan tropen; (3) majas pertentangan yang terdapat dalam trilogi novel N5M yakni antitesis, okupasi, dan prolepsis/antisipasi; (4) majas sindiran yang terdapat dalam trilogi novel N5M yakni ironi dan sarkasme.
KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT
Jl. Tentara Pelajar No.2 Telp. (0298) 323706, Fax 3233433
Salatiga 50721
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA BAHASA DALAM TRILOGI NOVELNEGERI 5 MENARA KARYA AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika) Peneliti : Drs. Bahroni, M.Pd.
NIP : 196408181994031004 Jenis Penelitian : Penelitian Unggulan Tema : Pendidikan, Bahasa
Salatiga, 19 Desember 2014 Konsultan Kepala P3M Dr. H. Sa’adi, M.Ag. Mufiq, S.Ag, M.Phil
NIP. 196304201992031003 NIP.
196906171996031004
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan kontribusi dari
berbagai pihak, penyusunan laporan penelitian unggulan judul
”REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DAN ESTETIKA
BAHASA DALAM TRILOGI NOVEL NEGERI 5 MENARA KARYA
” dapat AHMAD FUADI (Kajian Sosiopragmatik dan Stilistika) terselesaikan dengan baik.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan
rujukan dalam upaya memperkaya khazanah ilmu pengetahuan,
terutama dalam bidang kajian sastra yang dikaitkan dengan ajaran
Islam, pendidikan karakter, dan estetika bahasa.Peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif
dari berbagai pihak terhadap kekurangan-kekurangan dalam penelitian
in untuk perbaikan karya-karya peneliti di masa-masa mendatang.Akhirnya, semua kebenaran mutlak dan kesempurnaan hanyalah
milik Allah, segala kekurangan dan kesalahan tentu dari peneliti
sebagai manusia biasa. Mudah-mudahan karya yang jauh dari
kesempurnaan ini ada manfaatnya. Amin.Salatiga, 19 Desember 2014 Peneliti Drs. Bahroni, M.Pd.
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ___1 B. Rumusan Masalah ___7 C. Tujuan Penelitian ___ 8 D. Manfaat Penelitian ___ 8 E. Metode Penelitian ___ 10
1. Pendekatan dan Strategi Penelitian ___ 10
2. Data dan Sumber Data Penelitian ___ 11
3. Teknik Pengumpulan Data ___12
4. Validitas Data ___ 12
5. Teknik Analisis Data ___12
BAB II : LANDASAN TEORI A. Representasi ___ 15 B. Pendidikan Karakter ___16
1. Urgensi Pendidikan Karakter ___18
2. Hakikat Pendidikan Karakter ___ 22
3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter ___ 31
4. Nilai-niliai Pendidikan Karakter ___ 37
C. Sosiologi Sastra ___ 43
D. Pragmatika Sastra ___ 45
E. Estetika Bahasa ___ 47
1. Definisi dan Permasalahan Umum Stilistika ___48
2. Sumber Objek Penelitian Stilistika ___52
3. Ruang Lingkup Penelitian Stilistika ___85
4. Karya Sastra sebagai Sasaran Kajian Stilistika ___62
5. Pendekatan Kajian Stilistika ___67
6. Jenis Gaya Bahasa ___69
7. Pemanfaatan Gaya Bahasa ___87
BAB III : UNSUR-UNSUR INTRINSIK NOVEL
1. Unsur-unsur Intrinsik Novel Negeri 5 Menara (N5M) ___
99
2. Unsur-unsur Intrinsik Novel Ranah 3 Warna (R3W) ___ 111
3. Unsur-unsur Intrinsik Novel Rantau 1 Muara (R1M) ___ 120
BAB IV : REPRESENTASI PENDIDIKAN KARAKTER A. Nilai-nilai Karakter yang Dikembangkan dalam Pendidikan di Indonesia ___124 B. Nilai-nilai Karakter yang Lain ___147 BAB V : ESTETIKA BAHASA A. Citraan (Imagery) ___ 157 B. Majas Penegasan ___ 163 C. Majas Perbandingan ___ 182 D. Majas Pertentangan ___ 196 E. Majas Sindiran 198 ___ BAB VI : PENUTUP A. Kesimpulan ___ 201 B. Saran ___ 204 DAFTAR PUSTAKA ___ 205
LAMPIRAN-LAMPIRAN ___ 208
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberlakuan kurikulum 2013 pada dunia pendidikan di Indonesia didasari atas keprihatinan yang mendalam
masyarakat Indonesia pada umumnya dan para pendidik pada khususnya terhadap semakin pudar dan merosotnya karakter generasi muda bangsa. Kurikulum 2013 ini lebih menekankan peseta didik, sehingga setelah mereka lulus dari jenjang pendidikan tertentu diharapkan memiliki kepribadian yang baik.
Kurikulum 2013 dirancang untuk mengembangkan kompetensi yang utuh antara sikap (afektif), keterampilan (psikomotorik), dan pengetahuan (kognitif). Selain itu, peserta didik diharapkan tidak hanya bertambah pengetahuan dan wawasannya, tetapi juga semakin mulia karakter atau kepribadiannya dan meningkat kecakapan dan keterampilannya. Dengan kata lain, pemberlakuan kurikulum 2013 merupakan suatu ikhtiar perbaikan dari kurikulum sebelumnya yang dirasakan masih terlalu dominan menekankan pengembangan aspek kognitif peserta didik, sehingga lembaga pendidikan banyak menghasilkan lulusan yang cerdas namun kurang berkarakter/berkepribadian baik.
Keberhasilan membentuk generasi muda bangsa yang berkepribadian baik sebagaimana diamanatkan kurikulum 2013 tentu tidak hanya menjadi tanggung jawab para pendidik, namun membutuhkan partisipasi dan kontribusi dari seluruh warga bangsa, termasuk para sastrawan. Oleh karena itu, para sastrawan diharapkan menciptakan karya sastra yang mengandung nilai-nilai kebaikan, terutama nilai-nilai
Nilai-nilai kebaikan yang terkandung dalam karya sastra itu pun harus disampaikan dengan bahasa yang santun dan indah (estetik) sehingga berdampak baik bagi pembaca atau yang meresepsi karya sastra itu. Salah satu jenis karya sastra yang cukup baik untuk menebarkan nilai-nilai kebaikan kepada masyarakat terutama generasi muda adalah novel, apalagi jika novel tersebut difilmkan sehingga nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya dapat tersebar luas.
Novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang menarik untuk dikaji. Kehadirannya dimaksudkan mengungkapkan nilai-nilai estetis, dan diharapkan dapat mewujudkan nilai-nilai universal yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, seperti nilai-nilai agama, pendidikan, kemanusiaan, moral, etika, dan lain-lain.
Kehadiran sebuah novel tentunya tidak bisa terlepas dari latar belakang sosial budaya kehidupan dan ideologi pengarang, lingkungan ketika terciptanya novel tersebut, dan masyarakat pembaca yang akan mengapresiasi karya tersebut. Pengarang menyodorkan karya satra sebagai alternatif untuk menghadapi permasalahan yang ada mengingat karya satra erat kaitannya dengan kehidupan diciptakan tidak dalam keadaan kekosongan budaya (Teeuw, 1988: 20).
Kini, kesadaran akan pentingnya penyebaran nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai pendidikan, dan nilai-nilai kebaikan lainnya melalui penciptaan novel semakin menggembirakan karena perkembangannya cukup pesat. Kondisi yang demikian ini ditandai dengan terbitnya novel-novel inspiratif yang isinya sarat dengan pesan-pesan kebaikan. Misalnya, novel Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy, tetralogi novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi,
Opera van Gontor karya Amroeh Adiwijaya, dan masih banyak
lagi novel-novel sejenis karya penulis-penulis muda berbakat.Hal yang menggembirakan juga adalah adanya kesadaran masyarakat (pembaca karya sastra) yang cukup berminat dan mengapresiasi novel-novel berkarakter tersebut dengan membeli dan membacanya. Buktinya, novel-novel tersebut masuk dalam kategori best seller dan bahkan ada yang diangkat ke film layar lebar.
Sebelum hadirnya novel-novel berkarakter seperti Ayat-
ayat Cinta, Laskar Pelangi, dan Negeri 5 Menara, masyarakat
sudah jenuh dan jemu dengan sajian novel yang dinilai masalah seks secara vulgar. Oleh sebab itu, hadirnya novel- novel bertersebut dinilai banyak memberikan pencerahan baru terutama mengajarkan nilai-nilai pendidikan karakter karena setelah membaca novel-novel tersebut, masyarakat banyak yang mengalami perubahan ke arah kebaikan karena tersentuh ajaran-ajaran yang ada di dalamnya.
Selama ini banyak novel yang berusaha memuat nilai- nilai pendidikan karakter tetapi ternyata tidak membawa perubahan kebaikan yang signifikan kepada masyarakat karena nilai-nilai pendidikan karakter yang dimuat di dalamnya diceritakan dengan tidak jelas atau samar-samar sesuai dengan ideologi pengarang (Mahayana, 2008). Akan tetapi, hadirnya novel-novel inspiratif sebagaimana halnya
Negeri 5 Menara yang disampaikan dengan bahasa yang
santun, indah, dan mengena (mudah dipahami pembaca) ternyata mampu mengajarkan nilai-nilai pendidikan karakter kepada masyarakat tanpa terkesan menggurui.
Selain itu, kesuksesan novel Negeri 5 Menara tidak dapat dilepaskan dari faktor psikologis pembaca sastra Indonesia yang sudah cukup lama disuguhi novel-novel karya penulis- penulis wanita yang sebagian besar menceritakan masalah percintaan dan perselingkuhan yang dibumbui dengan karya Ana Maryam, Dinar Rahayu, Maya Wulan, Riyanti Yusuf, atau Djenar Maesa Ayu.
Novel Negeri 5 Menara hadir dengan menyuguhkan nilai- nilai kebaikan untuk menyejukkan hati dan mencerahkan pikiran pembaca (sastra Indonesia) yang mulai dihinggapi kejemuan dan kejenuhan terhadap karya-karya yang mengeksploitasi seksualitas dan tubuh wanita yang tidak sesuai dengan nilai-nilai pendidikan karakter dan ajaran Islam yang notabene dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Novel Negeri 5 Menara begitu khas, fenomenal, dan merepresentasikan nilai-nilai pendidikan karakter yang diwakili oleh tokoh-tokoh utamanya. Kekhasan itu didukung pula oleh narasinya yang mengalir lancar dan santun, kekayaan ungkapan-ungkapan Arab dan Inggris serta penggunaan bahasa yang penuh dengan citraan (imagery) dan berbagai jenis majas. Oleh karena itu, kehadiran novel ini segera mendapat sambutan masyarakat luas.
Sebagai bukti sambutan positif dari masyarakat terhadap novel tersebut, adalah adanya komentar-komentar para tokoh dala(diunduh pada 19 Februari 2014) sebagai berikut.
B.J. Habibie (Presiden RI ke-3), menyatakan bahwa novel Negeri 5 Menara merupakan novel yang berkisah tentang generasi muda bangsa ini penuh motivasi, bakat, semangat, dan optimisme untuk maju dan tidak kenal menyerah. Novel ini berisi pelajaran yang amat berharga bukan saja sebagai karya seni, tetapi juga tentang proses pendidikan dan pembudayaan untuk terciptanya sumberdaya insani yang handal.
K.H. Hasan A. Sahal (Pimpinan Pondok Modern Gontor) menyatakan bahwa novel Negeri 5 Menara (N5M) mengisahkan tentang “pesantren kemasyarakatan” yang bebas mendidik anak bangsa dalam keislaman dan keilmuan.
Alumninya dengan menumpang “perahu moral” bisa melesat ke seantero bumi Sang Pencipta, untuk bermanfaat, bukan hanya dimanfaatkan. Beliau berharap, semoga pembaca cerdas dan jujur dapat menggali nilai-nilai fitri manusiawi dari novel tersebut.
Emha Ainun Nadjib juga mengapresiasi novel N5M dengan menyatakan bahwa masyarakat dunia, khususnya Indonesia, sedang mengolah kekayaan alam, kreativitas pengetahuan dan inovasi teknologi menjadi sampah kebudayaan, kekonyolan mental, kehinaan moral dan kekerdilan kemanusiaan. Ahmad Fuadi melakukan yang sebaliknya: dengan novelnya ini ia mengolah sampah- sampah masa silam kehidupannya menjadi emas permata masa depan.
Senada dengan pernyataa-pernyataan tersebut, Bill Liddle, profesor ilmu politik, Ohio State University, Columbus Ohio, A.S., mengemukakan bahwa pada masa Orde Baru, jutaan anak santri bermimpi dan berjuang untuk menjadi orang modern yang mampu hidup di mana-mana. Melalui kisah enam teman sekelas di sebuah pondok modern yang terinspirasi kisah nyata, Ahmad Fuadi berhasil menciptakan kembali ciri-ciri khas budaya masa itu, terutama kepercayaannya bahwa kunci sukses pribadi adalah kesungguhan dan keikhlasan.
Demikian pula, Arief Rachman, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta menyatakan bahwa novel N5M merupakan tulisan yang sangat inspiratif dan dianjurkan untuk dibaca oleh masyarakat pendidikan. Dari novel N5M dapat dirasakan kekuatan pandangan hidup yang mendasari bangkitnya semangat untuk mencapai harga diri, prestasi dan martabat diri. Keterikatan, peleburan, dan pencerahan diri dari kekuatan Allah SWT telah mendasari semua kegiatan menjadi ibadah dan keberkahan.
Di samping itu, trilogi novel N5M memiliki beberapa keunikan sebagai berikut. Pertama, dari segi pemilihan judul, ketiga judul novel itu menggunakan angka ganjil. Dimulai dari angka 5, 3, lalu 1: Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna, dan
Rantau 1 Muara . Kedua, dari sisi waktu penerbitan. Penerbit
memilih tahun ganjil, dimulai dari tahun 2009, 2011, lalu 2013. Keunikan ketiga terletak pada penggunaan “semboyan pembangun jiwa” yang digunakan di ketiga novel. Semboyan- semboyan itu diambil dari pelajaran Mahfudzot (hafalan kalimat-kalimat bijak berbahasa Arab) yang diajarkan di Pondok Modern Gontor, Jawa Timur. Semboyan-semboyan yang sangat memotivasi bagi para pelajar/santri agar sukses dalam meraih cita-cita itu adalah man jadda wajada (barang siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil), man shabara
zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung), dan man saara ala darbi washala (barang siapa berjalan di jalannya akan
sampai tujuan).
Berdasarkan sejumlah fakta sebagaimana diekspresikan dalam komentar sejumlah tokoh tersebut, maka penelitian tentang representasi pendidikan karakter dan estetika bahasa dalam trilogi novel N5M karya Ahmad Fuadi dari segi sosiologi dan pragmatika sastra (sosiopragmatik) dan stilistika layak untuk dilakukan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah unsur-unsur intrinsik dalam trilogi novel
Negeri 5 Menara ?
2. Bagaimanakah representasi pendidikan karakter dalam trilogi novel Negeri 5 Menara?
3. Bagaimanakah estetika bahasa dalam trilogi novel Negeri
5 Menara ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan unsur-unsur intrinsik dalam trilogi novel Negeri 5 Menara.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan representasi pendidikan karakter dalam trilogi novel Negeri 5 Menara.
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan estetika bahasa dalam trilogi novel Negeri 5 Menara.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang kajian sosiologi dan pragmatika sastra (sosiopragmatik) dan stilistika yang terkait dengan ajaran Islam dan pendidikan karakter.
2. Manfaat Praktis.
a. Bagi Dunia Pendidikan Nilai-nilai pendidikan karakter yang dideskripsikan dan dijelaskan dalam penelitian ini diharapkan dapat: 1) Menjadi acuan alternatif bagi para pendidik dalam memilih model pendidikan karakter yang lebih sesuai dengan kondisi sosiologis peserta didik di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Mengingat, konsep pendidikan karakter yang dikembangkan di Indonesia dewasa ini lebih cenderung merujuk pada teori-teori pendidikan karakter dari Barat yang belum tentu sesuai dengan karakteristik peserta didik tersebut.
2) Menjadi acuan alternatif bagi para pendidik dan peserta didik dalam memilih materi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia seiring dengan kesadaran masyarakat tentang pentingnya aktivitas pembelajaran yang bermuara pada penguatan nilai-nilai agama.
3) Menumbuhkan kecintaan pendidik dan peserta didik untuk lebih mencintai dan mengapresiasi karya sastra yang berkarakter karena dapat memberikan nilai-nilai pendidikan yang sangat berguna bagi kehidupan karena selama ini pembelajaran sastra kurang mendapatkan perhatian intens dibandingkan pembelajaran bahasa. 4) Menumbuhkan semangat belajar dan kegigihan dalam berikhtiar bagi peserta didik dengan semboyan man
jadda wajada (barang siapa yang bersungguh-sungguh
akan berhasil), man shabara zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung), dan man saara ala darbi
washala (barang siapa berjalan di jalannya akan sampai tujuan).
b. Bagi Masyarakat 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah apresiasi yang mendalam terhadap karya sastra
Indonesia kontemporer, khususnya trilogi novel
Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi yang
merepresentasikan nilai-nilai pendidikan karakter yang sangat diperlukan untuk membangun manusia yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
2) Dengan mengetahui dan mengamalkan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam trilogi novel
Negeri 5 Menara dapat meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT dan semangat hidup yang pantang putus asa dalam berikhtiar untuk memperbaiki kualitas kehidupan. 3) Para tokoh Islam dapat menjadikan trilogi novel Negeri 5 Menara untuk media dakwah.
4) Para pengarang novel dapat menjadikan trilogi novel
Negeri 5 Menara sebagai contoh untuk menulis karya- karya yang berkualitas dan best seller.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Strategi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif- deskriptif, yakni bertujuan untuk mengungkapkan berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan penuh nuansa untuk menggambarkan secara cermat sifat- sifat suatu hal, keadaan, fenomena, dan tidak terbatas pada pengumpulan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi data tersebut (Sutopo, 2002:111). Penelitian ini berusaha mendeskripsikan secara kualitatif representasi ajaran Islam, pendidikan karakter, serta latar sosiohistoris pengarang novel N5M, kondisi realitas sosial ketika novel diciptakan, dan tanggapan pembaca terhadap novel
N5M
yang dikaji dengan sosiologi sastra dan pragmatika
N5M
sastra (sosiopragmatik). Adapun kekhasan gaya bahasa dalam novel N5M yang dikaji dengan metode stilistika genetik. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus terpancang (embedded case study) mengingat fokus utama penelitian adalah unsur-unsur novel, pendidikan karakter, dan estetika bahasa dalam novel N5M sudah ditentukan sejak awal untuk membimbing arah penelitian.
2. Data dan Sumber Data Penelitian
a. Data Penelitian
Data penelitian kebahasaan adalah fenomena lingual khusus yang berkaitan langsung dengan masalah penelitian (Sudaryanto, 2002:5-6). Data penelitian ini terdiri atas dua kelompok. Pertama, data yang berupa data kebahasaan, yakni wujud formal pemakaian kata,
N5M . Kedua, data yang berupa informasi mengenai unsur-unsur novel dan representasi pendidikan karakter.
b. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian berupa dokumen yakni trilogi novel N5M, R3W, dan R1M. Unsur-unsur novel, pendidikan karakter, dan estetika bahasa dideskripsikan dengan menelaah novel-novel tersebut, novel-novel lain yang relevan misalnya novel Opera van Gontor karya Amroeh Adiwijaya (2010), dan opini publik yang berupa tulisan-tulisan di media tentang tanggapan pembaca terhadap isi trilogi novel N5M.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pustaka, yakni teknik pengambilan data dari berbagai sumber tertulis beserta konteks lingual yang mendukung analisis data. Berbagai tulisan dipilih yang mencerminkan pemakaian potensi bahasa yang khas (Subroto,1992:42).
4. Validitas Data
Agar data yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan dapat menjadi landasan dijadikan data penelitian perlu dicermati validitas dan reliabiltasnya. Untuk menjamin keabsahan dan kredibilitas data penelitian, digunakan tekni trianggulasi, yang lazim dipakai dalam penelitian kualitatif.
Teknik trianggulasi adalah teknik pemeriksaan validitas data dengan memanfaatkan sarana di luar data itu (Moleong, 1995:178). Menurut Patton dalam Sutopo (2002:78-85), teknik trianggulasi meliputi empat macam yakni: (1) trianggulasi data (data triangulation), (2) trianggualsi peneliti (investigator triangulation), (3) trianggulasi metode (methodological triangulation), dan (4) triangulasi teori (theoretical triangulation).
5. Teknik Analisis Data
a. Model Interaktif
Dalam penelitian ini, proses analisis data dilakukan dengan model interatif seperti yang dikemukakan oleh Miles & Hubermen (1984:23). Analisis data model interaktif menggunakan langkah- langkah: (1) reduksi data, (2) sajian data, (3) penarikan simpulan dan verifikasi data. Ketiga langkah tersebut dilakukan ketika pengumpulan data berlangsung, baik dalam teks trilogi novel N5M dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus dan terus-menerus hingga dicapai kesimpulan. Adapun proses analisis dengan model interaktif tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Reduksi data
Pengumpulan data
Display data
Penarikan Simpulan
b. Metode Pembacaan Model Semiotik
Selanjutnya, dalam rangka pengungkapan makna stilistika N5M sebagai sarana sastra, secara umum teknik analisis data dilaksanakan melalui metode pembacaan model semiotik, yakni pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retro aktif. Pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut tingkat pertama). Adapun pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dengan memberikan interpretasi berdasarkan konvensi sastra (pembacaan semiotik tingkat kedua) (Riffaterre dalam Al-Ma’ruf, 2010:91).
BAB II LANDASAN TEORI A. Representasi Ratna (2005:612) mengemukakan bahwa representasi
adalah merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan dengan maksimal. Jika dikaitkan dengan bidang sastra, maka representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran ini tentu saja melalui pengarang sebagai kreator. Representasi dalam sastra muncul sehubungan dengan adanya pandangan atau keyakinan bahwa karya sastra sebetulnya hanyalah merupakan cermin, gambaran, bayangan, atau tiruan kenyataan. Dalam hal ini, Teeuw (1984:220) menyatakan bahwa karya sastra dipandang sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan (mimesis).
Plato dalam Teeuw (1984:220) mengungkapkan bahwa seni (sastra) melalui mimesis melakukan penggambaran melalui ide pendekatan sehingga apa yang dihasilkan tidak sama persis dengan kenyataan. Seni hanya dapat menggambarkan dan membayangkan hal-hal dalam kenyataan, seni berdiri di bawah kenyataan itu sendiri. Demikian pula Aristoteles dalam Teeuw (1984:222) mengungkapkan bahwa seni melalui mimesis melakukan proses representasi fakta-fakta sosial. Proses representasi yang terjadi dalam seni tidak semata-mata meniru kenyataan seperti pantulan gambar cermin, tetapi melibatkan renungan yang kompleks atas kenyataan alam.
Sesuatu yang direpresentasikan dalam suatu karya sastra oleh pengarang bukan merupakan sesuatu sebagaimana beragam dari para pengarangnya. Dengan kata lain, representasi juga dapat berarti kemiripan dan imitasi yang menjadi representasi citra aktual dan mental. Citra mental tersebut dibentuk oleh individu yang berbeda-beda sehingga menghasilkan penafsiran yang berbeda pula. Bentuk representasi tersebut didasarkan pada pesan ideologi tertentu sehingga tidak terlepas dari sosial politik kekuasaan (Ratna, 2008:122-123).
Representasi dalam dunia sastra bukan hanya sekadar penggambaran fenomena sosial sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu, melainkan lebih mengarah kepada penggambaran yang bermakna atas masyarakat dan situasi sosial melalui proses kreatif pengarang yang dipengaruhi oleh ras, saat, serta lingkungan yang melatarbelakanginya.
Representasi merupakan bagian dari tradisi sastra biografi panjang dan sering memiliki tujuan untuk menanamkan ide-ide yang diwujudkan dalam tokoh atau individu sebagai cermin sikap bangsa (Paul, 2010). Oleh sebab itu, pengarang merepresentasikan dunia kenyataan ke dalam karya sastra yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai agar suatu karya yang merupakan cermin dari kehidupan nyata yang dapat kehidupan.
B. Pendidikan Karakter
Rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) bab II pasal 3 adalah sebagai berikut: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depag. RI, 2006).
Dalam UU Sisdiknas di atas dinyatakan secara eksplisit bahwa tujuan pendidikan nasional yang menempati urutan pertama adalah untuk membentuk warganegara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah swt.), dan urutan yang kedua adalah membentuk warganegara Indonesia yang berakhlak mulia. Penempatan kata "takwa" dan "akhlak mulia" di urutan paling awal dalam rumusan tujuan pendidikan nasional ini seharusnya dipahami oleh semua pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini bahwa semangat UU Sisdiknas tersebut adalah ingin mewujudkan warganegara Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia.
Artinya, semua aktivitas pendidikan nasional, mulai dari filosofi, perencanaan, pelaksanaan, dan model-model evaluasinya semestinya diarahkan dalam rangka mewujudkan tujuan utama tersebut. Dengan kata lain, pendidikan/pembinaan karakter merupakan fungsi pokok dari pendidikan, baik yang dilaksanakan pada jalur pendidikan informal, formal, maupun nonformal.
Dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010), pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk member keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tantang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “ merasakan dengan baik atau loving good (moral
feeling ), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan
karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus- menerus dipraktikkan dan dilakukan.
1. Urgensi Pendidikan Karakter
Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang ini sangat urgen untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui atau tidak, saat ini sedang terjadi krisis atau berbagai penyimpangan yang nyata dan sangat mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan generasi penerus bangsa: anak-anak/peserta didik. Krisis itu, menurut Sugiri Syarif sebagaimana dikutip Zubaedi (2011:1-2) antara lain berupa meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja (tawuran), kejahatan terhadap teman, kebiasaan menyontek, penyalahgunaan obat-obatan (narkoba), pornografi dan pornoaksi, pemerkosaan, serta aborsi. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena perilaku
Kenakalan remaja semacam itu, pada dasarnya secara langsung atau tidak langsung juga disebabkan oleh “kenakalan orangtua”, yaitu perilaku para orangtua yang tidak bisa dijadikan teladan: senang dengan konflik dan tindak kekerasan, perselingkuhan, dan ketidakjujuran yang ditandai semakin maraknya korupsi yang dilakukan pejabat publik baik di pusat maupun di daerah. Terkait hal itu, Zuhdi (2009:39-40) mengemukakan bahwa telah terjadi krisis moral di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini, yaitu krisis kejujuran, krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis kedisiplinan, krisis kebersamaan, dan krisis keadilan.
Agaknya tidak terlalu salah jika banyak orang berpendapat bahwa kondisi masyarakat dan bangsa yang mengalami berbagai krisis tersebut diduga bersumber dari apa yang dihasilkan dunia pendidikan. Menurut Hidayatullah (2010:15), demoralisasi tersebut terjadi karena dua hal, yakni (1) sistem pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter, tetapi masih lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi pendidikan lebih cenderung menekankan aspek kognitif/akademik, seperti Ujian Nasional (UN), dan (2) kondisi lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter mengemukakan bahwa dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebab terjadinya krisis moral adalah karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft skill atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan.
Hal yang sama juga terjadi dalam pendidikan agama dimana materi yang diajarkan oleh pendidikan agama termasuk di dalamnya bahan ajar akhlak, cenderung terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif), sedangkan pembentukan sikap (afektif) dan pembiasaan (psikomotorik) belum diperhatikan dan diikhtiari secara serius. Dengan kata lain, praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata justru bertolak belakang dengan apa yang diterima dalam pembelajaran di sekolah.
Oleh karena itu, kini sudah saatnya para pengambil kebijakan, para pendidik, orang tua dan masyarakat senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan tak melulu dilihat dari prestasi yang berupa angka-angka. menciptakan pengalaman pengalaman bagi siswa untuk membangun dan
Mengapa pendidikan karakter itu sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia? Ya, karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang kondusif untuk membangun karakter bangsa yang unggul, meskipun harus diakui masih cukup banyak juga warga bangsa kita yang memiliki kebiasaan positif atau karakter yang baik. Ryan Sugiarto dalam Hidayatullah (2010) mengemukakan sejumlah kebiasaan kecil yang dapat menghancurkan bangsa sebagai berikut.
Pertama, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan diri sendiri, meliputi: meremehkan waktu, bangun kesiangan, terlambat masuk kantor, tidak disiplin, suka menunda, melanggar janji, menyontek, ngrasani, kebiasaan meminta, menganggap berat setiap masalah, pesimis terhadap diri sendiri, terbiasa mengeluh, merasa hebat, meremehkan orang lain, tidak sarapan, tidak terbiasa antri, banyak tidur, banyak nonton TV, dan terlena dengan kenyamanan/takut berubah.
Kedua, kebiasaan-kebiasaan dalam memperlakukan lingkungan, meliputi: merokok di sembarang tempat, coret/vandalism, kendaraan mengotori udara, jalan bertabur iklan, konsumsi plastik berlebihan, tidak terbiasa mengindahkan aturan pakai, abai dengan pohon, dan menganggap daur ulang.
Ketiga, kebiasaan-kebiasaan yang merugikan ekonomi, melipiti: konsumtif, pamer, silau dengan kepemilikan orang lain, boros listrik, kecanduan game, tidak menyusun rencana- rencana kehidupan, tidak biasa berpikir kreatif, dan mengabaikan peluang.
Keempat, kebiasaan-kebiasaan dalam bersosial, meliputi: tak mau membaca, tak mau mendengar pendapat orang lain, nepotisme, suap-menyuap, politik balik modal, canggung dengan perbedaan, beragama secara sempit, lupa sejarah, unjukrasa pesanan/bayaran, tawuran, tidak belajar dari pengalaman, birokratif, provokatif dan mudah terprovokasi, tidak berani berkata “tidak”, dan berambisi menguasai.
Mengingat pentingnya karakter dalam membangun sumber daya manusia yang kuat, maka menurut Hidayatullah (2010:23) diperlukan pendidikan karakter yang dilakukan dengan tepat. Dapat dikatakan bahwa pembentukan karakter merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari menyertai semua aspek kehidupan termasuk di lembaga pendidikan. Sebaiknya pembentukan atau pendidikan karakter diintegrasikan ke semua aspek kehidupan sekolah.
Lembag pendidikan, khususnya sekolah dipandang sebagai tempat yang strategis untuk membentuk karakter siswa. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dalam segala ucapan, sikap, dan perilakunya mencerminkan karakter yang baik dan kuat. Dengan pendidikan karakter yang efektif, diharapkan sekolah dapat menghasilkan lulusan orang ”pandai” dan ”baik” dalam arti luas. Jangan sampai lembaga pendidikan menghasilkan orang “pandai” tetapi “tidak baik”. Orang yang pandai tetapi tidak baik jauh lebih “berbahaya” karena dengan kepandaiannya itu ia dapat menjadikan sesuatu yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran. Masih lebih baik lembaga pendidikan menghasilkan orang yang kurang pandai tetapi baik, karena paling tidak masih tetap memberikan suasana kondusif bagi kehidupan.
2. Hakikat Pendidikan Karakter
Secara singkat, pendidikan diartikan sebagai suatu proses untuk memanusiakan manusia. Artinya, seorang bayi yang lahir tidak dengan sendidrinya akan menjadi manusia (yang berbudaya). Untuk menjadikan manusia yang jasmani dan ruhani melalui aktivitas pendidikan. Dengan kata lain, pendidikan merupakan proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai.
Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu: (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis. Mengacu pada unsur dasar dan komponen pokok pendidikan, secara singkat-padat, Muhadjir (1993) menyatakan bahwa pendidikan adalah upaya terprogram dari pendidik- mempribadi untuk membantu peserta didik agar yang normatif juga baik.