WAYANG “KAMPUNG SEBELAH” Kajian Tentang Boneka Wayang Kulit Kreasi Baru (Sebuah Pendekatan Kritik Holistik)

WAYANG “KAMPUNG SEBELAH” Kajian Tentang Boneka Wayang Kulit Kreasi Baru

(Sebuah Pendekatan Kritik Holistik)

Skripsi

Oleh: FIGUR RAHMAN FUAD K 3207025 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2011

commit to user

Kajian Tentang Boneka Wayang Kulit Kreasi Baru (Sebuah Pendekatan Kritik Holistik)

Oleh : FIGUR RAHMAN FUAD NIM K3207025

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Seni Rupa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

commit to user

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, Oktober 2011

Pembimbing I

Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si. NIP 19650521 199003 1 003

Pembimbing II

Adam Wahida, S.Pd., M.Sn. NIP 19730906 200501 1 001

commit to user

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada hari : Jum’at Tanggal : 14 Oktober 2011

Tim Penguji Skripsi :

Nama Terang Tanda Tangan Ketua

: Drs. Edy Tri Sulistyo, M.Pd.

………….

Sekretaris

: Drs. Edi Kurniadi, M.Pd.

…………. Anggota I

: Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si.

………….

Anggota II

: Adam Wahida, S.Pd., M.Sn.

………….

Disahkan Oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan ,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. NIP 19600727 198702 1 001

commit to user

Figur Rahman Fuad. WAYANG KAMPUNG SEBELAH: KAJIAN

TENTANG BONEKA WAYANG KULIT KREASI BARU (SEBUAH

PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK), Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Oktober, 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang kemunculan boneka Wayang Kampung Sebelah, (2) Proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah, (3) Bentuk rupa dan watak boneka Wayang Kampung Sebelah, (4) Tanggapan penghayat terhadap boneka Wayang Kampung Sebelah.

Strategi yang digunakan adalah studi kasus tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan memanfaatkan informan, tempat dan peristiwa, dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling (sampel bertujuan). Validitas data dicapai dengan menggunakan triangulasi sumber dan review informant . Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kritik holistik.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan: (1) Latar belakang kemunculan boneka Wayang Kampung Sebelah berawal dari keprihatinan seniman terhadap kondisi pertunjukan wayang kulit Purwa yang semakin kehilangan fungsi tuturnya. Kesenjangan komunikasi antara dalang dan masyarakat menjadi pemicu seniman untuk menciptakan pertunjukan wayang kreasi baru yang akhirnya dikenal sebagai Wayang Kampung Sebelah. (2) Proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah meliputi: penggalian ide, penuangan ide ke dalam bentuk sketsa, pembuatan boneka dari kulit kerbau dengan teknik tatah, penyatuan bagian-bagian wayang dan mewarnai. (3) Bentuk rupa Wayang Kampung Sebelah berupa sosok-sosok masyarakat kampung dengan berbagai profesi, berwujud manusia dengan bentuk tubuh yang dideformasi terutama pada bagian tangannya yang panjang seperti pada boneka wayang kulit Purwa , tokoh-tokoh boneka wayang kampung sebelah yaitu: Lurah Somad (sosok pemimpin berwatak inkonsisten), Eyang Sidik Wacono (sosok sesepuh berwatak egaliter dan bijaksana), Blegoh (sosok ibu rumah tangga berwatak temperamental), Mbah Keblak (sosok Ibu berwatak bijaksana), Sodrun dan Parjo (sosok hansip berwatak tegas serta humoris), Mbah Modin (sosok pemimpin ritual keagamaan berwatak humoris), Silvy (sosok Pekerja Seks Komersial berwatak genit), Karyo (sosok kepala rumah tangga, tukang becak berwatak keras dan emosional), Kampret (sosok pemuda pengangguran berwatak kritis), Jhony (sosok pemuda yang tidak berprinsip), Sodrun dan Parjo (sosok hansip berwatak tegas dan humoris). (4) Tanggapan penghayat terhadap wayang kampung sebelah cukup positif. Boneka Wayang Kampung Sebelah dinilai dengan tema yang diangkat oleh senimannya.

commit to user

Figur Rahman Fuad. WAYANG KAMPUNG SEBELAH: STUDY OF THE

NEW CREATION LEATHER PUPPET (A CRITICISM HOLISTIC

APPROACH), Thesis. Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education in Sebelas Maret University of Surakarta. October, 2011.

The purpose of this study is to determine: (1) The background of the emergence of a Wayang Kampung Sebelah, (2) The creative process is the creation of a Wayang Kampung Sebelah, (3) The form looks and character Wayang Kampung Sebelah, (4) The response to the Wayang Kampung Sebelah.

Strategy which is used is single case study stake. Source of data that is used exploit the informant, place and event, and document. Sampling technique that is used is purposive sampling. The data validity reached by using triangulation of source and review informant. Technique analyze the data used is analysis criticize the holistic.

Based on the results of research, it can be concluded: (1) The background of the emergence of a Wayang Kampung Sebelah was originated from artist’s concerns about the condition of Purwa puppet show that loss it’s function. Communication gap between the puppeteer and the community to be triggered artists to create a new puppet show creations that eventually became known as the Wayang Kampung Sebelah. (2) The creative process in the creation of a Wayang Kampung Sebelah include: excavation of ideas, pouring ideas into sketches form,

making dolls from buffalo skin with chisel techniques, unification of parts of the puppets and coloring. (3) Form of Wayang Kampung Sebelah is the figures of the village community with variety of professions, tangible human with deformed shape of the body especially on the long arms as in Purwa leather puppets, puppet figures of the Wayang Kampung Sebelah that are: Lurah Somad ( figure of the leader of wishy-washy character), Grandmother Sidik Wacono (figure of egalitarian character and wise elders), Blegoh (figure of housewife temperamental character), Mbah Keblak (character wise mother figure), and Parjo Sodrun (figure security assertive character and humorous) , Mbah Modin (the figure of the leader of a religious ritual humorous character), Silvy (figure flirtatious character commercial sex workers), Karyo (figure of head of household, a pedicab driver rampart and emotional), Kampret (youth unemployment figure of a critical character), Jhony (the figure of youth that no principled), Sodrun and Parjo (figure security firm and humorous character). (4) The audience response to the puppet Wayang Kampung Sebelah is quite positive. WayangKampung Sebelah was assessed with the theme which is raised by the artist.

commit to user

“Sekecil apapun kebisaan kita, Tuhan tentu menganugerahkan itu sebagai rahmat bagi semesta ”.

(Figur Rahman Fuad)

commit to user

Karya ini dipersembahkan Kepada :

Keindahan absolut. Almarhumah Ibuku. Ayah, Kakak, adik-adikku, Guru-guruku, Rekan-rekan. Almamater.

commit to user

Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dengan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “WAYANG KAMPUNG SEBELAH: KAJIAN TENTANG BONEKA

WAYANG KULIT KREASI BARU (SEBUAH PENDEKATAN KRITIK

HOLISTIK ”. Penyusunan skripsi dilakukan sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Banyak kesulitan dalam penyusunan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi, untuk itu atas segala bantuannya, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Muhammad Rohmadi, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Dr. Slamet Supriyadi, M.Pd., selaku Ketua Program Pendidikan Seni Rupa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si., selaku pembimbing I, atas bimbingannya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Adam Wahida ,S.Pd., M.Sn., selaku pembimbing II, atas bimbingannya dalam penyusunan skripsi ini.

6. Drs. Edi Kurniadi, M.Pd., selaku pembimbing akademis.

7. Bapak Suparman (Ki Jlitheng) selaku narasumber utama penelitian ini.

8. Bapak Yayat Suhiryatna dan Bapak Suyatno selaku narasumber pendukung.

9. Bapak Bambang Suwarno S. Kar., M.Hum., Drs. Tjahjo Prabowo, M.Sn, Bapak Sularno, S.Pd, M.Hum, Bapak Sarmin, Lilik Darmasto. Selaku penghayat karya wayang Kampung Sebelah dalam penelitian ini.

10. Ayah, Kakak, dan Adik-adikku atas do’a dan dukungannya.

commit to user

12. Teguh Triatmojo, atas diskusi-diskusi yang mencerahkan.

13. “Sunseters”: Alfan, Anggi, Anik, Ayu, Via.

14. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Seni Rupa JPBS FKIP UNS.

15. Angkatan 2007 Prodi Pendidikan Seni Rupa FKIP UNS..

16. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu penyusunan skripsi ini.

Semoga segala amal kebaikan semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini mendapat imbalan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Pemurah.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Surakarta, 17 Oktober 2011

Penulis

commit to user

A. Simpulan .............................................................................................. 98

B. Implikasi .............................................................................................. 100

C. Saran .................................................................................................. 100 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 101 LAMPIRAN .................................................................................................. 103

commit to user

Halaman

Bagan 1. Kerangka Berpikir ............................................................................

20

Bagan 2. Penelitian dengan Pendekatan Kritik Holistik .................................

27

commit to user

Halaman

Tabel 1. Tanggapan Penghayat .......................................................................

89

commit to user

Halaman

Gambar 1. Lurah Somad .................................................................................

48

Gambar 2. Eyang Sidik Wacono .....................................................................

50

Gambar 3. Blegoh ...........................................................................................

52

Gambar 4. Mbah Keblak. ................................................................................

54

Gambar 5. Sodrun ...........................................................................................

56

Gambar 6. Parjo ..............................................................................................

58

Gambar 7. Mbah Modin ..................................................................................

60

Gambar 8. Karyo .............................................................................................

62

Gambar 9. Silvy ..............................................................................................

64

Gambar 10. Kampret ........................................................................................

66

Gambar 11. Jhony ............................................................................................

68

Gambar 12. Cak Dul ........................................................................................

70

Gambar 13. Minul Darah Tinggi ......................................................................

72

Gambar 14. Koma Ramari-mari .......................................................................

74

commit to user

Halaman

Lampiran 1. Foto-foto Penelitian ................................................................... 103 Lampiran 2. Hasil Wawancara dengan Dalang .............................................. 107 Lampiran 3. Hasil Wawancara dengan Penata Musik ................................... 111 Lampiran 4. Hasil Wawancara dengan Penatah Wayang .............................. 113 Lampiran 5. Hasil Wawancara dengan Dosen Jurusan Pedalangan .............. 115 Lampiran 6. Hasil Wawancara dengan Dosen Seni Rupa.............................. 121 Lampiran 7. Hasil Wawancara dengan Guru Seni Rupa................................ 126 Lampiran 8. Hasil Wawancara dengan Mahasiswa Seni Rupa ...................... 133 Lampiran 9. Hasil Wawancara dengan Penonton Serius ............................... 139 Lampiran 10. Surat Keterangan Bukti Penelitian ............................................ 144 Lampiran 11. Surat Ijin Menyusun Skripsi ...................................................... 150

commit to user

Figur Rahman Fuad. WAYANG KAMPUNG SEBELAH: KAJIAN

TENTANG BONEKA WAYANG KULIT KREASI BARU (SEBUAH

PENDEKATAN KRITIK HOLISTIK), Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Oktober, 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang kemunculan boneka Wayang Kampung Sebelah, (2) Proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah, (3) Bentuk rupa dan watak boneka Wayang Kampung Sebelah, (4) Tanggapan penghayat terhadap boneka Wayang Kampung Sebelah.

Strategi yang digunakan adalah studi kasus tunggal terpancang. Sumber data yang digunakan memanfaatkan informan, tempat dan peristiwa, dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling (sampel bertujuan). Validitas data dicapai dengan menggunakan triangulasi sumber dan review informant . Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kritik holistik.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan: (1) Latar belakang kemunculan boneka Wayang Kampung Sebelah berawal dari keprihatinan seniman terhadap kondisi pertunjukan wayang kulit Purwa yang semakin kehilangan fungsi tuturnya. Kesenjangan komunikasi antara dalang dan masyarakat menjadi pemicu seniman untuk menciptakan pertunjukan wayang kreasi baru yang akhirnya dikenal sebagai Wayang Kampung Sebelah. (2) Proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah meliputi: penggalian ide, penuangan ide ke dalam bentuk sketsa, pembuatan boneka dari kulit kerbau dengan teknik tatah, penyatuan bagian-bagian wayang dan mewarnai. (3) Bentuk rupa Wayang Kampung Sebelah berupa sosok-sosok masyarakat kampung dengan berbagai profesi, berwujud manusia dengan bentuk tubuh yang dideformasi terutama pada bagian tangannya yang panjang seperti pada boneka wayang kulit Purwa , tokoh-tokoh boneka wayang kampung sebelah yaitu: Lurah Somad (sosok pemimpin berwatak inkonsisten), Eyang Sidik Wacono (sosok sesepuh berwatak egaliter dan bijaksana), Blegoh (sosok ibu rumah tangga berwatak temperamental), Mbah Keblak (sosok Ibu berwatak bijaksana), Sodrun dan Parjo (sosok hansip berwatak tegas serta humoris), Mbah Modin (sosok pemimpin ritual keagamaan berwatak humoris), Silvy (sosok Pekerja Seks Komersial berwatak genit), Karyo (sosok kepala rumah tangga, tukang becak berwatak keras dan emosional), Kampret (sosok pemuda pengangguran berwatak kritis), Jhony (sosok pemuda yang tidak berprinsip), Sodrun dan Parjo (sosok hansip berwatak tegas dan humoris). (4) Tanggapan penghayat terhadap wayang kampung sebelah cukup positif. Boneka Wayang Kampung Sebelah dinilai dengan tema yang diangkat oleh senimannya.

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wayang adalah suatu kesenian warisan leluhur bangsa Indonesia yang telah mampu bertahan berabad-abad lamanya dengan mengalami perubahan dan perkembangan sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti sekarang ini. Dalam perjalanannya dari zaman ke zaman wayang mengalami perubahan akibat adanya perubahan dalam pemerintahan, politik, sosial-budaya, dan kepercayaan, sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam pikiran manusia. Daya tahan wayang yang luar biasa ini membuktikan bahwa wayang mempunyai fungsi dan peranan dalam kehidupan. Fungsi dan peranan wayang tidaklah tetap, tergantung pada kebutuhan, tuntutan, dan penggarapan masyarakat pendukungnya (Haryanto, 1991: 1).

Sebagai salah satu produk kebudayaan wayang mengalami perubahan terus menerus sebagaimana sifat kebudayaan itu sendiri, perubahan tersebut meliputi aspek yang terlihat (bentuk, fungsi) maupun yang tak telihat (filosofi). Perubahan tersebut bukan tanpa tantangan karena kadangkala terbentur dengan estetika tradisional dan kritik-kritik dari pengamat seni wayang (wawasan lokal), seperti mengingkari pakem, konsep inovasi yang tidak jelas dan lain sebagainya (Jazuli, 2001: 151).

Pada tahun 2001 lalu, sekelompok seniman Solo melahirkan genre wayang baru yang dinamakan Wayang Kampung Sebelah. Penciptaan pertunjukan Wayang Kampung Sebelah ini berangkat dari keinginan membuat format pertunjukan wayang yang dapat menjadi wahana untuk mengangkat kisah realitas kehidupan masyarakat sekarang secara lebih lugas dan bebas tanpa harus terikat oleh norma-norma estetik yang rumit seperti halnya wayang klasik. Dengan menggunakan medium bahasa percakapan sehari-hari, baik bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia, maka pesan-pesan yang disampaikan lebih mudah ditangkap oleh penonton. Isu-isu aktual yang berkembang di masyarakat masa kini, baik yang menyangkut persoalan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan,

commit to user

wayangnya yang terbuat dari kulit tidak lagi berbentuk seperti wayang kulit klasik pada umumnya melainkan berbentuk manusia yang distilasi. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam Wayang Kampung Sebelah juga tidak mengacu pada tokoh dalam ceritera Mahabarata atau Ramayana namun menghadirkan sosok-sosok masyarakat plural yang terdiri dari penarik becak, bakul jamu, preman, pelacur, Pak Rukun Tetangga (RT), Pak lurah, hingga pejabat besar kota.

Kemunculan jenis wayang ini baru dapat dibaca sebagai sesuatu yang wajar dan alamiah sesuai dengan sifat kebudayaan yang terus berubah. Namun demikian perlu disadari bahwa sebuah karya seni tentu membawa pikiran-pikiran atau peristiwa yang melatari kemunculannya . Jakob Sumardjo dalam bukunya Filsafat Seni (2000: 233) dinyatakan bahwa setiap karya seni sedikit banyak mencerminkan setting masyarakat tempat seni itu diciptakan. Sebuah karya seni ada karena seorang seniman menciptakannya, seniman itu sendiri selalu berasal dari masyarakat tertentu dan kehidupan masyarakat merupakan kenyatan yang langsung dihadapi sebagai rangsangan kreativitas kesenimanannya.

Hal inilah yang menarik penulis untuk melakukan penelitian tentang wayang kreasi baru karya Ki Jlitheng Suparman, yang populer disebut dengan Wayang Kampung Sebelah. Adapun digunakannya pendekatan kritik dalam penelitian ini adalah berdasarkan pertimbangan akan pentingnya penelitian terhadap karya seni rupa yang tidak hanya bersifat deskriptif namun juga bersifat evaluatif.

Permasalahan penting dalam metode kritik seni terletak pada pemahaman struktur kritik yang didasarkan pada pilihan sumber nilai pendukung kualitas karya sebagai sasaran kajian. (H. B. Sutopo 1995: 8). Perbedaan kritik yang tampak jelas pada strukturnya terutama disebabkan karena adanya pemihakan yang berlebihan kepada sumber nilai seni yang dianggap paling sah dalam mengevaluasi karya. Sumber nilai pada setiap karya seni pada dasarnya berkaitan langsung dengan tiga komponen utama penunjang kehidupan senidalam masyarakat. Tiga komponen tersebut meliputi seniman, karya seni, dan penghayat.

commit to user

seni. Pendekatan kritik holistik tidak mengabaikan salah satu komponen dalam kehidupan seni. Ketiga sumber tersebut (seniman, karya, dan penghayat) ditelaah dengan berimbang, sehingga diharapkan mampu melahirkan putusan kritik yang proporsional.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah seperti tersebut di atas, bahwa wujud visual sangatlah penting dan merupakan kesatuan dari pertunjukan wayang kulit itu sendiri, maka penulis merumuskan masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang munculnya boneka Wayang Kampung Sebelah?

2. Bagaimana proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah?

3. Bagaimana bentuk rupa dan watak boneka Wayang Kampung Sebelah?

4. Bagaimana tanggapan penghayat terhadap boneka Wayang Kampung Sebelah?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan:

1. Mengetahui latar belakang munculnya boneka Wayang Kampung Sebelah.

2. Mengetahui proses kreatif penciptaan boneka Wayang Kampung Sebelah.

3. Mengetahui bentuk rupa dan watak tokoh boneka Wayang Kampung Sebelah.

4. Mengetahui tanggapan penghayat terhadap boneka Wayang Kampung

Sebelah.

commit to user

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi baik untuk kepentingan teoretis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoretis bagi kajian kesenirupaan yang terkait dengan kreatifitas dalam penciptaan wayang, karena hasil penelitian ini akan menyadarkan tentang pentingnya kreatifitas dalam upaya melestarikan nilai-nilai luhur dalam seni wayang, bagaimana mengolah idiom-idiom baru dari aspek rupa agar wayang menjadi menarik, relevan dengan zaman, dekat dengan masyarakatnya, dan tetap sarat makna.

2. Manfaat Praktis

a. Menambah referensi kajian wayang kulit kreasi baru.

b. Menjadi bahan evaluasi terhadap karya Wayang Kampung Sebelah.

commit to user

LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

1. Tinjauan Tentang Wayang

Wayang dalam bahasa Jawa berarti “bayangan” dalam bahasa Melayu disebut “bayang-bayang'”, dalam bahasa Aceh “bayeng”, dalam bahasa Bugis “wayang atau bayang”. Akar kata dari wayang adalah “Yang”, akar kata ini

bervariasi dengan Yung, Yong dan Ying, antara lain terdapat dalam kata layang “terbang”, doyong “miring”, tidak stabil “royong” selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lain, poyang- payungan “berjalan sempoyongan, tidak tenang” (Sri Mulyono, 1982: 9).

Awalan “Wa” di dalam bahasa Jawa Modern tidak mempunyai fungsi lagi, tetapi dalam bahasa Jawa kunci awalan tersebut masih jelas memiliki fungsi tata bahasa. Jadi dalam bahasa Jawa Wayang mengandung pengertian "berjalan kian- kemari, tidak tetap, sayup-sayup (bagi substansi bayang-bayang) telah terbentuk pada waktu yang amat tua ketika awalan wa masih mempunyai fungsi tata bahasa. Oleh karena itu boneka-boneka yang digunakan dalam pertunjukan itu berbayangan atau memberi bayang-bayang, maka dinamakan Wayang. Awayang atau hawayang pada waktu itu berarti “bergaul dengan wayang, mempertunjukkan way ang”. Lambat laun wayang menjadi nama dari pertunjukan bayang-bayang atau pentas bayang-bayang. (Sri Mulyono, l982: 10).

Wayang adalah berasal dari kata “Hyang” yang berarti persembahan pada Hyang Widhi ” (Adhiman Sajuddin Rais, 1970: 8). Nenek moyang bangsa Indonesia beberapa puluh tahun sebelum Masehi telah rnengenal wayang yaitu suatu bentuk pentas sebagai sarana upacara keagamaan yang bersifat ritual dengan menggunakan bayangan (wayang) dalam membawakan acara-acaranya. Wayang merupakan dongeng, khayal dan mitos yang diapat membangkitkan daya mistik dalam diri penghayatnya. Penafsiran orang Barat bahwa wayang kulit hanya

commit to user

belaka (S. Haryanto, 1988: 4). Masih banyak lagi tulisan-tulisan dan pendapat mengenai wayang yang masih memerlukan penyelidikan-penyelidikan seksama mengenai kebenarannya. Bila ditelaah dengan seksama maka kata wayang tersebut berasal dari bahasa Jawa yang berarti bayangan. Karena pengaruh warga-aksara, maka kata wayang menjadi bayang, wesi menjadi besi dan watu menjadi batu (Haryanto, 1988: 28).

2. Jenis dan Ragam Wayang

Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, dan lain-lain. Berkembangnya wayang di daerah, mempunyai hubungan yang sangat errat dengan masuknya kebudayaan Hindu serta terdapat prasasti-prasasti kuno di daerah itu. Seni pewayangan tersebut telah menjadi milik daerah itu dengan nama tersendiri dimana wayang itu hidup dan verkembang. Oleh karena itu tidaklah tepat jika wayang-wayang tersebut disebut wayang Palembang atau wayang Bengkulu, sedangkan bentuk wayang serta pergelarannya serupa dengan pergelaran wayang Purwa Jawa, hanya bahasa serta gendhing-gendhing pengiringnya saja yang berbeda (Haryanto, 1988: 145).

a. Wayang Kulit Wayang kulit adalah suatu kesenian yang mempergunakan boneka wayang sebagai salah satu peralatannya. Boneka yang dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia berarti “tiruan untuk anak permainan”, sedangkan Wayang berarti “boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau

kayu dsb, yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb), biasanya dimainkan oleh seseorang yg disebut dalang ”. Bentuk boneka wayang dibuat dari kulit binatang (kerbau) yang dibuat pipih atau ditipiskan, kemudian digambar dan ditatah , baru kemudian disungging (diwarna) dan terakhir dilangkapi dengan cempurit atau gapit (tangkai/ penjepit) yang terbuat dari tanduk kerbau sebagai alat pegangannya.

commit to user

hanya dalam perupaan dan pementasan, tetapi juga berkembang dalam peragaman jenis dan cerita yang dipergelarkan.

Macam-macam wayang kulit yang ada (pernah ada) di pulau Jawa antara lain adalah:

1) Wayang Purwa

Wayang kulit Purwa adalah pertunjukan wayang yang pementasan ceritanya bersumber pada kitab Mahabharata atau Ramayana. Pendapat para ahli, istilah Purwa tersebut berasal dari kata “Parwa” yang berarti bagian dari cerita Mahabharata atau Ramayana.

Di kalangan masyarakat Jawa, terutama orang-orang tua kata purwa sering diartikan pula purba (zaman dahulu). sesuai dengan pengertian tersebut, maka wayang purwa diartikan pula sebagai wayang yang menyajikan cerita-cerita zaman dahulu (purwa). (S. Haryanto, 1998:48).

2) Wayang Gedog

Pada tahun 1583 (1505 Çaka) Raden Jaka Tingkir yang bergelar sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang, membuat wayang Gedog dengan sengkalan : “panca boma marga tungga” dan Sunan Bonang membuat wayang Beber Gedog pada tahun 1565 (1487 Çaka, dengan sengkalan “wayang wolu kinarya tunggal”).

Bentuk seni rupa wayang Gedog yang terbuat dari kulit yang ditatah dengan sunggingan yang serasi mengambil pola dasar wayang kulit Purwa jenis satria sabrangan. Busana kain berbentuk rapekan elengan berselip keris. Hanya empat jenis muka yang terdapat pada wayang Gedog ini antara lain muka dengan mulut gusen seperti muka tokoh wayang Purwa Dursasana, wajah dengan mata miring kedondongan seperti muka tokoh wayang Setiyaki, muka bermata kliyepan seperti muka tokoh wayang Arjuna dan muka berhidung dempak seperti muka tokoh wayang Wrekudara. Untuk tokoh wanita sama halnya dengan tokoh-tokoh wayang putri Purwa lainnya.

commit to user

sekar keluih dengan rambut terurai lepas antara lain ngore polos, ngore gembel , ngore gimbal ataupun ngore udalan. Muka-muka jenis raksasa ataupun kera tidak terdapat dalam wayang Gedog ini. Busana tokoh-tokoh raja pada urnumnya mengenakan irah-irahan garuda mungkur dengan menyelip dua buah keris, sedang perlengkapan busana lainnya, sama seperti yang terdapat pada wayang kulit Purwa, namun tidak memakai praba, ataupun topong.

Dalam pementasan wayang Gedog ini tidak menggunakan cerita-cerita dari kitab Ramayana ataupun Mahabharata, tetapi cerita- cerita Panji. Selain terbuat dari kulit yang ditatah dan disungging, terdapat pula yang terbuat dari kayu pipih (papan) yang diukir dan disungging , letapi tangan-tangannya masih terbuat dari kulit. Untuk pementasan wayang ini diambilnya cerita Damarwulan Menakjingga dan wayang tersebut kemudian dinamakan wayang Klitik (Haryanto, 1988: 97).

3) Wayang Madya

Wayang ini dicipta pada waktu Pangeran Adipati Mangkunegoro IV (1853- 1881) berusaha menggabungkan semua jenis wayang yang ada menjadi satu kesatuan yang berangkai serta disesuaikan dengan sejarah Jawa sejak beberapa abad yang lalu sampai masuknya agama Islam di Jawa dan diolah secara kronologis.

Semula Sri Mangkunegoro IV menerima buku Serat Pustaka Raja Madya dan Serat Witaradya dari Raden Ngabehi Ronggo Warsito pada tahun 1870 Masehi (I792 Çaka). Buku tersebut berisikan cerita riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra dari negeri Mamenang di Kediri, yang kemudian kerajaan tersebut pindah ke Pengging dan disebut Pengging Witarodya. Kesimpulan dari isi buku tersebut berkaitan dengan buku Serat Pustaka Raja Purwa, yang menceritakan riwayat dewa-dewa, riwayat para Pendawa sampai akhir perang Bharatayuda. Lalu timbullah gagasan Sri Mangkunegoro IV

commit to user

Purwa dengan zaman Jenggala dalam cerita-cerita Panji. Dari gagasan tersebut, maka terciptalah jenis wayang baru yang disebut wayang Madya , satu jenis wayang yang menggambarkan dari badan tengah ke atas berwujud wayang Purwa, sedang dari badan ke bawah berwujud wayang Gedog. Wayang Madya tersebut memakai keris dan dibuat dnri kulit, ditatah dan disungging.

Tokoh wayang Parikesit merupakan tokoh wayang pemula dari wayang Madya, meskipun bentuk busana serta atribut-atributnya masih nampak bentuk wayang Purwa. Bentuk wayang Purwa tersebut nampak pada tokoh-tokoh wayang Patih Negara Aslina, Harya Dwara, Anak Samba, serta Ramayana dan Ramaparwa putra-putra dari Prabu Parikesit (Haryanto, 1988: 95).

4) Wayang Dobel

Pencipta wayang ini adalah Kyai Amad Kasman dari desa Slametan daerah Yogyakarta. Pementasan wayang Dobel ini berdasarkan cerita-cerita nuansa Islam, yang diambil dari serat Ambyah. Wayang ini disebut wayang Dobel, karena isi cerita dari negeri Arab, sedang bahasa yang dipakai ialah bahasa Jawa. Sebagai pengiring pergelaran, menggunakan terompet dan rebana seperti orang selawatan , Menggunakan kelir berwarna merah dengan garis tepi putih, berlainan dengan kelir wayang kulit biasa yang berwarna putih dengan garis tepi merah, biru ataupun hitam.

Wayang yang disimping (dijajarkan), sebelah kanan terdiri atas wayang-wayang Malaikat Jibril dan Malaikat Israpil, sedang yang disimping sebelah kiri terdiri atas wayang-wayang Malaikat Ijrail. Wayang Malaikat Ijrail mempunyai bentuk yang aneh, ia berbadan tiga yang merekat menjadi satu, mempunyai tiga buah kepala dan dua kaki bersila. Ketiga badan tersebut merupakan lambang Amarah, Mutmainah dan Supiah.

commit to user

wahyu, yang menceritakan kisah-kisah para Nabi. Jika wayang Wahyu dalam pementasannya mengambil kisah-kisah dari Kitab Injil, maka wayang Dobel menceritakan kisah- kisah dari Kitab Al- Qur’an. (Haryanto, 1998: 120).

b. Wayang Klitik atau Krucil Raden Pekik di Surabaya membuat wayang krucil pada tahun 1648 (1570 Çaka, dengan, sangkalan : “watu tunggangane buta widadari ”). Wayang ini dibuat dari kayu pipih (papan) berbentuk seperti wayang kulit dan diukir seperlunya. Hanya tangan-tangannya tetap dibuat dari kulit. Pertunjukan wayang ini dilakukan pada siang hari dan tidak menggunakan kelir. Kemudian untuk seterusnya wayang Klitik digunakan untuk pergelaran cerita Damarwulan Menakjingga, sedang wayang Krucil untuk cerita-cerita dari kitab Mahabharata, disebut wayang Golek Purwa . Wayang Klitik merupakan wayang wasana (akhir) dari zaman Wasana, setelah zaman Madya yang diwakili oleh wayang Madya , sedang wayang Purwa (Mahabharata dan Ramayana) merupakan wayang yang mewakili pada zaman Purwa (Haryanto, 1988: 63).

c. Wayang Golek Sesuai dengan bentuk atau cirinya yang mirip boneka, bulat dan dibuat dari kayu seperti boneka, sehingga benda wayang tersebut dinamakan wayang Golek. Dalam bahasa Jawa, Golek berarti boneka. Pada akhir pergelaran wayang kulit Purwa, biasanya para dalang memainkan wayang yang bentuknya mirip boneka dan dinamakan Golek. Dalam bahasa Jawa, Golek berarti juga “mencari”. Dengan memainkan wayang golek tersebut, dalang bermaksud memberikan isyarat kepada para penonton agar seusai pergelaran, penonton nggoleki atau mencari intisari dari nasehat yang terkandung dalam pergelaran yang baru usai. Mungkin berdasarkan kemiripan bentuk itulah, wayang Golek dinamakan demikian.

commit to user

kayu dan berbentuk tiga dimensional itu; kepalanya terlepas dari tubuhnya. Ia dihubungkan oleh sebuah tangkai yang menembus rongga tubuh wayang dan sekaligus merupakan pegangan dalang. Melalui tangkai itulah dalang dapat memalingkan wajah wayang ke kiri atau ke kanan, hingga wayang tersebut nampak hidup. Atau dengan menggerakkan badan wayang itu ke atas ke bawah berulang kali, ki dalang dapat menunjukkan seolah-olah wayang tersebut sedang bernafas. Seperti halnya dengan tangan-tangan wayang kulit, sendi-sendi tangan wayang Golek pun dihubungkan dengan seutas benang, sehingga sang dalang dapat bebas menggerakkan tangan wayangnya (Haryanto, 1988: 59).

d. Wayang Beber Wayang Beber termasuk bentuk wayang yang tua usianya, berasal dari masa akhir zaman Hindu di Jawa. Pada mulanya wayang Beber melukiskan cerita wayang dari kitab Mahabharata, tetapi kemudian beralih dengan cerita-cerita Panji yang berasal dari Kerajaan Jenggala dan mencapai jayanya pada zaman Majapahit (Haryanto, 1988: 41).

Prabu Bratono dari Kerajaan Majapahit membuat wayang Beber Purwa untuk ruwatan pada tahun 1361 M (1283 Çaka, dengan sengkalan:

“gunaning pujangga nembah ing dewa”) (pendapat tersebut tidak sesuai dengan ilmu sejarah, karena pada tahun 1350-1389 yang bertahta di Majapahit adalah Raja Hayam Wuruk; kecuali apabila Prabu Bratono adalah juga Prahu Hayam Wuruk). Wayang Beber Purwa maksudnya adalah suatu pagelaran Wayang Beber yang menggunakan cerita dari wayang Purwa.

g. Wayang Topeng Pada masa kekuasaan kerajaan Demak, salah satu Wali Sanga yang bernama Sunan Kalijaga menciptakan wayang Topeng yang mirip dengan wayang Purwa pada tahun 1586 Masehi (1508 Çaka, dengan sengkalan : “hangesti sirna yakseng bawana”). Wayang Topeng ciptaan

commit to user

berkembang sebagai seni budaya tradisional dengan corak tersendiri di tempat Wayang Topeng tersebut berkembang.

Penampilan wayang Topeng tersebut dilakukan bersama dengan pentas wayang, baik wayang Purwa maupun wayang Gedog, sehingga pertunjukan itu dikenal sebagai Wayang Topeng atau dengan sebutan suatu nama daerah tempat wayang Topeng itu berkembang, misalnya: wayang Topeng Losari, wayang Topeng Malang atau wayang Topeng Madura. Kemudian sebutan wayang Topeng menjadi nama suatu pertunjukan seperti halnya dengan sebutan wayang Purwa (Haryanto, 1988:129).

h. Wayang Alternatif Selain jenis-jenis wayang seperti tersebut di atas ternyata masih banyak lagi wayang-wayang yang ada dan pernah populer, meskipun dalam tingkat lokal. Wayang-wayang tersebut sebagian besar pembuatannya menginduk pada wayang Purwa. Macam-macam wayang ini antara lain adalah: wayang Kertas (1244), wayang Demak (1478), wayang Keling (1518), wayang Jengglong, wayang Kidang Kencana (1556), wayang Purwa Gedog (1583), wayang Rama (1788), wayang Babad , wayang Kuluk (1830), wayang Kaper, wayang Taspirin, wayang Kulit Betawi dan termasuk wayang baru yaitu: wayang Ukur ciptaan Sukasman, Yogyakarta (1964), wayang Golek Modern ciptaan Parta Suwanda dari Bandung (1960), wayang Budha (1978), wayang Sadat (1985), belum termasuk wayang dolanan anak-anak dari kertas dan rumput (S. Haryanto, 1988: 47).

3. Wayang Kulit Kreasi Baru.

Seni pertunjukan wayang merupakan kesenian yang sangat populer dan akrab bagi segenap lapisan masyarakat etnis Jawa. Bagi penggemarnya, wayang selain merupakan ekspresi seni yang bernilai seni juga merupakan sumber acuan hidup, dimana pergelaran wayang bernilai etika, filsafat, sosial, dan religius

commit to user

beratus tahun-ratus tahun lamanya. Tokoh-tokoh Harjuna, Bima, Raden Gatotkaca, sampai dengan sampai dengan tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sudah dikenal secara mendalam oleh masyarakat pendukungnya.

Memang, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa bila membicarakan wayang yang terlintas dalam pikiran kita hanyalah wayang kulit Purwa beserta gambaran tentang induk ceritanya yaitu cerita Mahabarata dan Ramayana. Sebetulnya di Jawa ini masih banyak dijumpai jenis wayang lain yang saat ini kurang dikenal dalam masyarakat. Wayang kulit Purwa sering dijumpai dalam masyarakat luas, baik dalam pertunjukan-pertunjukan maupun wayang kulit sebagai kelangenan. Oleh karena seringnya pertunjukan dilakukan atau dikenalkan wayang kulit Purwa secara terus-menerus, maka jenis wayang kulit Purwa ini lebih dikenal secara luas dibandingkan dengan jenis wayang lainnya.

Seperti diketahui wayang kulit yang bercerita Mahabarata dan Ramayana ini sangat digemari oleh sebagian masyarakat pendukungnya. Hal ini disebabkan berbagai variasi cerita (lakon) dan karakter-karakter tokohnya yang khas. Cerita yang diceritakan dibuat sedemikian rupa sehingga peristiwa yang terjadi seakan- akan di bumi nusantara ini, seolah-olah masyarakat turut terlibat di dalamnya. (Sunarto, 1997: 132)

Bambang Suwarno dalam Sunarto (1997: 132) mengatakan bahwa bila dicermati dalam wayang kulit Purwa kaitannya dengan kegiatan berbudaya, memiliki dua fungsi utama. Pertama berfungsi sebagai sarana pengungkap kreatifitas seni, kedua berfungsi sebagai sarana berkomunikasi dalam berbagai kepentingan.

Fungsi ganda yang dimiliki wayang kulit Purwa itu telah lama dimanfaatkan oleh para ahli untuk berbagai kepentingan dan berhasil tanpa menimbulkan gejolak berarti dalam masyarakat luas. Keberhasilan wayang kulit Purwa yang memiliki beberapa peran itu pula yang menyebabkan muculnya berbagai kreasi baru dalam wayang kulit. Munculnya wayang alternatif dengan cerita yang baru, membuat khazanah pewayangan menjadi kaya dan bervariasi.

commit to user

perkembangan yang sedang bergejolak dalam masyarakat pendukungnya. Dasar penciptaan yang berbeda satu dengan lainnya itu melahirkan bentuk wayang yang bervariasi, namun dari setiap bentuk wayang memiliki kelebihannya masing- masing. Dalam kenyataannya beberapa wayang kreasi baru itu belum mampu menggeser kedudukan wayang Purwa dalam masyarakat. Sebagai contoh dapat dikemukakan munculnya wayang kreasi baru dipengaruhi oleh alam lingkungan atau keadaan masyarakat pendukung waktu wayang itu diciptakan.

Seperti pada masa-masa perang kemerdekaan bangsa Indonesia, muncul wayang kulit yang bertema perjuangan. Hal itu sesuai dengan keadaan masyarakat pendukung wayang kulit tersebut yang bersemangat dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan semangat juang yang tinggi, wayang kulit baru itu disebut dengan wayang Pancasila (Sunarto, 1997: 133).

Diantara wayang-wayang kreasi baru yang cukup terkenal adalah wayang Williem van Oranje yang merupakan maha karya Ki Ledjar Soebroto yang secara khusus dipesan oleh Museum Nusantara. Bagi bangsa Belanda, Pangeran William yang lahir di Castle Dillenburg pada tanggal 24 April 1533, mendapat tempat istimewa di hati mereka. Pangeran William yang dijuluki dan dikenal sebagai William dari Orange atau nama panggilan William Diam, dan di Belanda sering disebut sebagai Bapa Bangsa.

Ki Ledjar membuat desain wayang atas sesuai dengan lukisan-lukisan wajah para tokoh yang terdapat pada cerita sejarah perjuangan William yang lukisannya sudah berumur ratusan tahun dan selama ini masih tersimpan didalam koleksi Prinsenhof Museum. Selain membuat desain karakter para tokoh, Ki Ledjar juga mendesain beberapa wayang berupa artefak peninggalan sejarah yang berada di Kota Delft seperti Gereja atau disebut dengan Nieuwe Kerk tempat Pangeran Willem dan para raja Belanda dimakamkan. Dibuatnya wayang yang mengisahkan perjuangan

Pangeran William dalam bentuk wayang bertujuan sebagai wahana pendidikan anak-anak untuk memahami tentang sejarah Belanda.

commit to user

william-van-oranje). Wayang ukur lahir didorong oleh kreativitas Sukasman yang mencurahkan perhatiannya dalam pengembangan wayang kulit Purwa gagrag Yogyakarta dan Surakarta. Wayang ukur diciptakan oleh Sukasman pada tahun 1974, yang menekankan kejelasan bentuk figur wayang kulit Purwa gagrag Yogyakarta dan Surakarta. Wayang ukur memiliki unsur-unsur bentuk yang sangat istimewa bila dilihat dari sudut pandang seni rupa. Hasil dari eksplorasi yang terwujud dalam bentuk wayang ukur ini sebenarnya tidak sekedar sebagai hasil karya seni yang tidak memiliki arti apa-apa, tetapi memiliki nilai estetik yang tinggi. Misalnya, pada bentuk dan karakter tokoh-tokohnya. Keunikan tersebut yaitu segi bentuk dan warna sunggingan serta pahatan yang tampak lain dari wayang kulit Purwa yang merupakan ciri khas wayang ukur ciptaan Sukasman. Keistimewaan yang lain bahwa, wayang ukur merupakan wayang kreasi baru yang diciptakan Sukasman dengan melakukan perubahan-perubahan pada bentuk dan teknik tatah sunggingnya. Perubahan tersebut dengan membuat ukuran-ukuran tersendiri atau selalu diukur-ukur dengan rasa, sehingga berdasarkan teknik pembuatannya, wayang kreasi Sukasman dinamakan wayang ukur.

Keistimewaan yang lain apabila dilihat secara keseluruhan, pelukisan sikap Tubuh tokoh-tokohnya lebih variasi dibanding dengan jenis wayang Purwa. Wayang ukur tidak jauh berbeda dengan wayang kulit Purwa pada umumnya. Obyek yang digambarkan terdiri dari bentuk wayang Purwa gagrag Yogyakarta dan Surakarta, hanya pada beberapa unsur telah ada perubahan. Sukasman mengadakan perubahanperubahan yaitu dengan membuat ukuran-ukuran tersendiri. Hasil kreasi Sukasman terlihat dari sunggingan, tatahan yang tampak berbeda dengan wayang Purwa pada umumnya. Pementasan wayang ukur di sesuaikan dengan tuntutan perubahan jaman. Pementasan wayang ukur berdurasi dua jam, menjadikan wayang ukur seperti cerita pendek. Dalang tidak hanya satu, tetapi bisa tiga atau bahkan empat. Di samping Dalang, dalam satu pementasan ditambah dua narator untuk karakter suara laki-laki dan perempuan, dengan menggunakan bahasa Indonesia. Cerita dalam pementasan wayang ukur untuk

commit to user

Penceritaan pada wayang ukur menggambil tokoh-tokoh yang terpinggirkan seperti sang pencipta wayang ukur itu sendiri. Tokoh-tokoh yang ditampilkan di antaranya tokoh Bisma, Sukrasana, Ekalaya, Semar, dan Togog. (Salim, 2011: 78-79)

4. Sumber Gubahan Wayang Kulit Kreasi Baru

Munculnya wayang kreasi baru itu menambah semaraknya dunia pewayangan. Dengan latar belakang dan dasar pemikiran yang berbeda-beda dalam mencipta wayang sehingga mengenai makna atau nilai beragam pula. Namun bila diperhatikan secara mendasar, kebanyakan dari wayang kulit kreasi baru mempunyai sumber gubahan yang sama. Dua sumber gubahan dalam mewujudkan wayang kreasi baru, ialah:

a. Cerita (Lakon) Pada umumnya cerita memiliki tokoh-tokoh yang karakteristik, dari tokoh itu dapat diklasifikasikan yang kemudian dapat diwujudkan menjadi suatu kriteria. Berdasar cerita kriyawan dapat berkreasi mencipta beberapa alternatif bentuk wayang dengan kriteria yang mantap. Misalnya mengenai atribut akan dipengaruhi oleh latar belakang ceritanya.

b. Bentuk (Wujud) Bentuk (wujud) merupakan sumber kedua yang lebih mengarah pada pengolahan bentuk tokoh-tokohnya. Pertimbangan utama dalam penciptaan wayang berdasar bentuk ini adalah aspek teknik dan estetis seni rupa. Dalam mewujudkan wayang kreasi baru, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian adalah komposisi warna (tata warna), tatahan yang dapat mewujudkan karakter tertentu, untuk mendukung cerita yang

dilakonkan. (Sunarto, 1997: 134)

commit to user

a. Pengertian Kritik Seni Rupa Istilah “kritik seni”, dalam bahasa indonesia, sering juga disebut dengan

istilah “ulas seni”, “kupas seni”, “bahas seni”, atau “bincang seni”. Hal itu disebabkan istilah “kritik” bagi sebagian orang sering berkonotasi negatif yang berarti kecaman, celaan, gugatan, hujatan, dan lain-lain (Bahari, 2008: 1)

Di pandang dari segi keilmuan, kritik seni rupa adalah basis pengetahuan teoretis dan teknis penilain mengenai prestasi kesenirupaan. Dari segi proses, kritik seni rupa adalah kegiatan perorangan, baik lisan mauapun tulisan, yang dipublikasikan kepada khalayak ramai. Dan dari segi produk, kritik seni rupa adalah sekumpulan hasil oponi para pengamat tentang prestasi kesenirupaan yang mengandung nilai apresiatif (Bangun, 2000: 1)

b. Tujuan dan Fungsi Kritik Seni Rupa Feldman seperti yang dikutip Bahari (2008: 3) berpendapat bahwa tujuan dari kritik seni adalah memahami karya seni (rupa), dan ingin menemukan suatu cara untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi suatu karya seni dihasilkan, serta memahami apa yang ingin disampaikan oleh pembuatnya, sehingga hasil kritik seni benar-benar maksimal, dan secara nyata dapat menyatakan baik dan buruknya sebuah karya. Akhir dari tujuan kritik seni adalah supaya orang yang melihat karya seni memperoleh informasi dan pemahaman yang berkaitan dengan mutu suatu karya seni, dan menumbuhkan apresiasi serta tanggapan terhadap karya seni.

Kritik seni berfungsi sebagai jembatan atau mediator antara pencipta dengan penikmat karya seni, serta antara karya seni itu sendiri dengan penikmatnya. Fungsi yang demikian sangat penting dan strategis, karena tidak semua penikmat karya seni dapat mengetahui dengan pasti apa yang ingin disampaikan dan dikomunikasikan oleh pencipta karya seni dengan wujud karya yang dihadirkan. Di sisi lain, kritik seni juga dapat dimanfaatkan oleh pencipta karya seni untuk mengevaluasi diri, sejauh mana prestasi kerjanya dapat dipahami manusia di luar dirinya (Bahari, 2008 : 3).

commit to user

Istilah kritik seni sudah lama didengungkan oleh para peneliti seni, kritikus seni maupun pemerhati sastra. Bahkan, dalam bidang ilmu lain, kritik seni dapat digunakan. Dalam disiplin ilmu humaniora, misalnya, Eliot Eisner dalam Sutopo (1995: 6) menekankan perlunya penelitian dan evaluasi dengan menggunakan pendekatan kritik seni. Seperti halnya sifat kegiatan kritis yang bersifat evaluatif, kegiatan Eisner ini lebih memfokuskan kepada aktivitas evaluasi program pendidikan. Dari pengalaman penelitian-penelitiannya Eisner semakin mantap dan mempertegas bahwa kritik mampu menyajikan tiga aspek pokok dalam evaluasi, yaitu (1) aspek deskriptif, (2) aspek interpretatif, dan (3) aspek evaluatif.

Menurut Stolnitz (dalam Sutopo, 1995:7) kritik seharusnya berupa aktivitas evaluasi yang memandang seni sebagai objek untuk pengalaman estetik. Pengalaman itu dihasilkan lewat kajian teliti atas karya seni sejalan dengan pandangan Flaccus dalam Sutopo (1995: 7) yang merumuskan kritik sebagai studi rinci dan apresiatif tentang karya seni. Dari pandangan ini, di satu sisi kritik merupakan keyakinan dan semangat yang lebih besar dari logika seorang pecinta seni yang berusaha mendukung karya, sedang di sisi lain ia merupakan analisis cendekia dan teliti atas karya seni disertai berbagai tafsir dengan alasan-alasannya.