PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (Studi Tentang Partisipasi Yayasan “KAKAK” di Surakarta)

PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (Studi Tentang Partisipasi Yayasan “KAKAK” di Surakarta)

Skripsi

Oleh: DEWI DAMAYANTI NIM K6407020 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (Studi Tentang Partisipasi Yayasan “KAKAK” di Surakarta)

Oleh: DEWI DAMAYANTI NIM: K6407020 SKRIPSI

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Progam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

PERSETUJUAN

Dewi Damayanti. PENCEGAHAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (Studi Tentang Partisipasi Yayasan “KAKAK” di Surakarta). Skripsi, Surakarta:

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial, 2) Bagaimana partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak, 3) Hambatan apa yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak.

Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif. Strategi penelitiannya menggunakan strategi tunggal terpancang. Sumber data diperoleh dari informan, peristiwa/aktivitas serta dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara, observasi dan analisis dokumen. Untuk memperoleh validitas data dalam penelitian ini digunakan trianggulasi data. Sedangkan teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif dengan tahap-tahap sebagai berikut: 1) pengumpulan data, 2) reduksi data, 3) penyajian data, 4) penarikan kesimpulan/verifikasi. Adapun prosedur penelitian dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) tahap persiapan, 2) tahap pengumpulan data, 3) tahap analisis data, 4) tahap penyusunan laporan penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Faktor- faktor yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial yaitu: Faktor keluarga dan teman, Faktor teknologi informasi dan komunikasi, Faktor sosial ekonomi, Faktor pengalaman seksual dini. 2) Yayasan KAKAK berpartisipasi dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak meliputi: a) Sosialisasi-sosialisasi pencegahan ESKA, b) Kampanye-Kampanye Pencegahan ESKA, c) Mewujudkan partisipasi anak dan masyarakat melalui pendidikan komunitas, d) Mengadakan diskusi- diskusi dan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, e) Advokasi kebijakan. 3) Hambatan yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak yaitu: a) Hambatan internal: terbatasnya sumber daya manusia di yayasan KAKAK, b) Hambatan eksternal: (1) Dari masyarakat: masyarakat belum bisa tergerak untuk melakukan pencegahan ESKA. (2) Dari anak: ketika melakukan sosialisasi di wilayah sering kali bertabrakan dengan jam pelajaran. (3) Dari keluarga: masih terdapatnya keluarga dari tingkat ekonomi menengah kebawah yang kurang peduli terhadap pentingnya pendidikan dan perlindungan bagi anak-anaknya. (4) Dari pihak-pihak terkait: sering kali terjadi perbedaan pendapat ketika sedang diskusi permasalahan anak. (5) Dari sekolah: sulitnya membentuk persepsi guru tentang pentingnya perlindungan anak, sebagai upaya pencegahan ESKA di sekolah.

Dewi Damayanti. THE PREVENTION OF COMMERCIAL SEXUAL EXPLOITATION AGAINST CHILDREN (A Study on the Participation of “KAKAK”

Foundation in Surakarta). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, 2011.

The objectives of research are to find out: (1) the factors leading the children to the situation of commercial sexual exploitation, (2) how the participation of “KAKAK”

foundation is in preventing the commercial sexual exploitation against children, and (3) the obstacle the “KAKAK” foundation faces in preventing the commercial sexual

exploitation against children. This research employed a descriptive qualitative method. The research strategy used was a single embedded strategy. The data source derived from informant,

event/activity as well as document. The sampling technique used was purposive sampling. Technique of collecting data used interview, observation and document analysis. Data triangulation was used to validate the data of research. Meanwhile the technique of analyzing data used was an interactive model of analysis with the following steps: 1) data collection, 2) data reduction, 3) data display, and 4) conclusion drawing/verification. The procedure of research included: 1) preparation, 2) data collection, 3) data analysis, and

4) research report writing. Considering the result of research, it can be concluded that: 1) the factors leading the children to the situation of commercial sexual exploitation include: family and friend, information and communication technology, social economic, and earlier sexual experience factors. 2) KAKAK foundation participates in preventing the commercial sexual exploitation against children against children as: a) socializations about the prevention of commercial sexual exploitation against children (ESKA) b) campaigns of sexual exploitation against children (ESKA) prevention c) Manifesting the children’s and society’s participation through community education, d) Holding

discussions and cooperation with the related parties, and e) policy advocacy. 3) The obstacles the “KAKAK” foundation faces in preventing the commercial sexual

exploitation against children include: a) internal obstacles: limited human resource in KAKAK foundation, b) external obstacles: (1) From society: the society have not been motivated to prevent sexual exploitation against children (ESKA). (2) From children: the schedule of socialization in the region is frequently coincided with the lesson schedule. (3) From family: some families or parents come from lower-middle economic level that tend to be less aware of the importance of education and protection for their children. (4) From the related parties: some different opinions frequently arise during discussion about the children problems. (5) From school: difficulty create the teachers’ perception

on the importance of children protection, as preventing sexual exploitation against children (ESKA) at school.

“Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia akan belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia akan belajar kebenaran dan keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia akan belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia akan belajar

menemukan cinta dalam kehidupan” (Dorothy Law Nolte)

“Berani berkata tidak. Berani menghadapi kebenaran. Kerjakan sesuatu yang benar karena itu benar. Ini adalah kunci untuk hidup d engan integritas” (W. Clement Stone)

“Hanya mereka-mereka yang sabar mengerjakan hal-hal yang sederhana dengan sempurnalah yang akan meraih keterampilan yang dibutuhkan untuk mengerjakan hal- hal sulit dengan mudah” (Friedrich Schiller)

“Bahkan suatu kesalahan dapat berubah menjadi suatu hal yang perlu untuk suatu kemajuan yang bermanfaat” (Henry Ford)

Teriring rasa syukur kepada Allah SWT, skripsi yang tersusun dengan penuh kesungguhan ini, penulis persembahkan kepada :

1. Ibu dan Bapak tercinta atas doanya

2. De’ Oka yang tersayang

3. Happy Oktavian atas semangatnya

4. Teman-teman FKIP PPKn angkatan 2007

5. Almamater

Bismillahirrohmanirrohim. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak kendala yang dihadapi penulis dalam penyelesaian skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kendala yang timbul dapat teratasi, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Furqon Hidayatullah, M.Pd; Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi ini.

2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd; Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah menyetujui ijin atas permohonan penyusunan skripsi ini.

3. Dr. Sri Haryati, M.Pd; Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini.

4. Prof. Dr. Sri Jutmini, M.Pd; Pembimbing I yang telah memberikan persetujuan, pengarahan, bimbingan dan petunjuk serta motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dr. Triyanto, S.H, M.Hum; Pembimbing II yang tiada henti-hentinya memberikan pengarahan, dorongan, motivasi, bimbingan teknis dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang telah memberikan bekal pengetahuan untuk penyusunan skripsi ini.

7. Direktur serta segenap staff di Yayasan KAKAK Surakarta.

Allah SWT. Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah berusaha dengan mencurahkan segala kemampuan dengan harapan agar memenuhi persyaratan sebagai suatu karya ilmiah yang bermanfaat. Namun mengingat adanya keterbatasan pengetahuan, penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam skripsi ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.

Surakarta, September 2011

Penulis

Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak ................ 102

C. Temuan Studi .......................................................................... 108

D. Pembahasan ............................................................................. 118

1. Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Berada Pada Situasi Eksploitasi Seksual Komersial ............................... 118

2. Partisipasi Yayasan KAKAK dalam Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak .................................................... 121

3. Hambatan yang Dihadapi Yayasan KAKAK dalam Mencegah Eksploitasi Seksual Komersial Anak ................ 128

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ............................... 132

A. Kesimpulan .............................................................................. 132

B. Implikasi .................................................................................. 133

C. Saran ........................................................................................ 134

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 137 LAMPIRAN .................................................................................................... 140

Halaman

Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian ................................................................ 55 Tabel 2. Susunan Organisasi Yayasan KAKAK ............................................. 70 Tabel 3. Jumlah dan Asal Anak Korban ESKA di Surakarta .......................... 72 Tabel 4. Kategori ESKA .................................................................................. 73 Tabel 5. Jenis Kelamin Anak Korban ESKA di Surakarta .............................. 74 Tabel 6. Usia Anak Korban ESKA di Surakarta .............................................. 75 Tabel 7. Tingkat Pendidikan Anak Korban ESKA di Surakarta ...................... 76 Tabel 8. Faktor Pendorong Anak Terjerumus ESKA ...................................... 81

Halaman

Gambar 1. Kerangka Berfikir ........................................................................... 54 Gambar 2. Analisis Data Model Interaktif ....................................................... 65

Halaman

Lampiran 1. Data Situasi ESKA ................................................................... 140 Lampiran 2. Bentuk Kegiatan Yayasan KAKAK di Sekolah dan Wilayah . 141 Lampiran 3. Catatan Lapangan ..................................................................... 142 Lampiran 4. Panduan Wawancara ................................................................ 217 Lampiran 5. Panduan Pengamatan ............................................................... 221 Lampiran 6. Foto Kegiatan Penelitian .......................................................... 222 Lampiran 7. Trianggulasi Data ..................................................................... 225 Lampiran 8. Materi Sosialisasi tentang Kekerasan dan ESKA .................... 228 Lampiran 9. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi kepada Dekan

FKIP UNS ................................................................................ 233

Lampiran 10. Surat Keputusan Dekan FKIP UNS tentang Ijin Penyusunan

Skripsi ...................................................................................... 234

Lampiran 11. Surat Permohonan Ijin Research/Try Out kepada Rektor UNS . 235 Lampiran 12. Surat Permohonan Ijin Research/Try Out kepada Pimpinan

Yayasan KAKAK Surakarta .................................................... 236

Lampiran 13. Permohonan Surat Pengantar Ijin Penelitian kepada Walikota

Surakarta .................................................................................. 237

Lampiran 14. Surat Keterangan Penelitian dari Yayasan KAKAK Surakarta 238

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak-anak adalah masa depan, bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk masyarakat, bangsa dan negaranya. Mereka adalah masa depan kemanusiaan. Dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak Tahun 1989.

Anak-anak sebagai harapan dan penerus generasi bangsa, perlu mendapatkan perhatian yang maksimal baik dari masyarakat maupun dari pemerintah. Sebagai harapan bangsa, maka kesejahteraan anak harus ditingkatkan dan mendapatkan perhatian yang lebih agar mereka dapat menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas. Anak merupakan tumpuan bangsa, negara, masyarakat dan juga keluarga, sehingga harus diperlakukan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental maupun rohaninya.

Namun kenyataan yang terjadi, kesejahteraan dan perlindungan hak-hak anak masih sangat rendah, terbukti dengan masih banyak anak-anak yang terjerat dalam komersialisasi seksual orang-orang dewasa di sekitar mereka. Nasib anak- anak negeri ini sudah semakin parah, mereka dijerumuskan oleh berbagai pihak dan masuk dalam situasi eksploitasi seksual komersial.

Ekspoitasi Seksual Komersial Anak yang selanjutnya disingkat ESKA merupakan kejahatan yang menimpa anak-anak. Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm, Swedia Tahun 1996 untuk menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak mendefinisikan ESKA sebagai:

Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek

Bentuk-bentuk ESKA yang utama dijumpai adalah pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Menurut laporan situasi anak dan perempuan (UNICEF 2000), anak dibawah

usia 18 tahun yang tereksploitasi secara seksual dilaporkan mencapai 40-70 ribu anak. Sementara itu, menurut Pusat Data dan Informasi CNSP Center, pada tahun 2000, terdapat sekitar 75.106 tempat pekerja seks komersial yang terselubung ataupun yang "terdaftar". Sementara itu, menurut M. Farid (2000), memperkirakan 30 % dari penghuni rumah bordil di Indonesia adalah perempuan berusia 18 tahun ke bawah atau setara dengan 200-300 ribu anak-anak. Di Malaysia dilaporkan terdapat 6.750 pekerja seks komersial (PSK) dan 62,7 % dari jumlah PSK tersebut berasal dari Indonesia atau sekitar 4.200 orang dan 40% dari jumlah tersebut adalah anak-anak berusia antara 14-17 tahun. (Arist Merdeka Sirait:2010, http://www.djpp.depkumham.go.id)

Laporan ini kembali diperkuat oleh International Labour Organisation (ILO) “pada tahun 2004, dimana ada sekitar 7452 anak-anak di kawasan Pulau Jawa seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan sekitar 14.000 anak-anak di kawasan Jakarta dan Jawa Barat, yang melakukan aktivitas seksual komersia l”. (Irwanto dkk, 2008:5)

Anak yang berada pada situasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) mengalami situasi yang merugikan mereka, sehingga mereka disebut korban. Mereka mengalami penyiksaan, pemukulan, pelecehan seksual yang tidak berperikemanusiaan oleh klien, mucikari, dan germo. Dampaknya ke anak adalah berupa kerugian secara fisik, seperti terjangkit penyakit seksual dan HIV&AIDS. Selain itu tekanan psikologis seperti trauma, stres, bahkan ingin bunuh diri. Eksploitasi seksual komersial pada anak, seperti menjadikan anak sebagai pelacur selain menghina martabat manusia juga menodai hak asasi manusia.

Dalam hal ini menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 59 menegaskan bahwa: Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung

jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok

Berdasarkan pasal tersebut jelas bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya wajib melindungi anak-anak yang menjadi korban dari berbagai tindakan dan situasi yang disebutkan di atas.

Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB mengenai hak-hak anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 yang menjadi momentum penting dalam upaya-upaya pemerintah dan masyarakat madani dalam melindungi hak-hak anak. Konvensi ini merupakan sebuah traktat atau perjanjian internasional yang mengatur pengakuan, penghormatan, dan perlindungan terhadap hak-hak fundamental anak. Dalam Pasal 32 semua negara pihak diharapkan melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi yang membahayakan fisik dan moral anak. Pasal 34 secara spesifik mengharapkan semua negara pihak untuk mengambil berbagai tindakan di tingkat nasional, bilateral, atau multilateral untuk mencegah eksploitasi anak untuk tujuan seksual.

Eksploitasi seksual komersial anak telah dijadikan sebagai salah satu isu nasional dan mendapat perhatian dari pemerintah untuk mengatasinya. Hal ini dapat dilihat dari Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Ekspoitasi Seksual Komersial Anak. Pemerintah Indonesia berpandangan bahwa ESKA adalah kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran berat hak asasi manusia yang harus diberantas. Kemudian diikuti dengan dirumuskannya Rencana Aksi Nasional Perdagangan Anak dan Perempuan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 88 Tahun 2002. Sejak disahkan Keppres ini, beberapa lembaga khususnya institusi pemerintah mulai memasukkan isu ESKA dalam programnya. Kemudian sejak munculnya Rencana Aksi Nasional ini perhatian beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) juga mulai meningkat untuk segera melakukan langkah-langkah strategis dalam penghapusan ESKA.

bermakna dalam menunjukkan komitmennya untuk memberantas eksploitasi seksual dan perdagangan anak, ini terwujud dengan terbitnya Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Nomor 21 Tahun 2007. Meskipun demikian persoalan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) belum memperoleh perhatian yang memadai.

Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak telah diadopsi tetapi implementasinya dan monitoring terhadap Rencana Aksi Nasional ini masih lemah. Hal ini disebabkan oleh karena RAN tersebut belum diadopsi secara luas di tingkat nasional karena kurangnya promosi dan kesadaran yang dilakukan pemerintah pusat. Pemerintah Provinsi enggan untuk mengadopsi dan mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional tersebut karena kurang memahami tentang masalah ESKA. Hal ini mengakibatkan celah yang besar dalam implementasi kebijakan-kebijakan nasional untuk melindungi anak dari eksploitasi seksual komersial.

Perlindungan khusus yang bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang telah disebutkan sebelumnya merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

Kemudian dalam Pasal 66 ayat (2) perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi dilakukan melalui:

1. penyebarluasan dan/ atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual;

2. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

3. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/ atau seksual.

Berdasarkan pemahaman Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 ini, masyarakat juga dapat berperan serta atau berpartisipasi dalam upaya perlindungan anak. Peran masyarakat sebagaimana

Dalam ayat (2) menjelaskan peran masyarakat dimaksud dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa. Selanjutnya pada Pasal 73 dijelaskan pula bahwa peran masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kota Solo merupakan salah satu daerah rawan ESKA, Yayasan Kepedulian Untuk Konsumen Anak (KAKAK) adalah sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang salah satu fokusnya adalah perlindungan anak khususnya dari kekerasan dan eksploitasi seksual komersial. Pihak ini dinilai sangat berperan dalam memberikan bantuan terhadap anak-anak korban kekerasan dan ESKA serta mengupayakan penegakan hak-hak asasi anak.

Adapun catatan yang dimiliki yayasan KAKAK yaitu: Pada tahun 2005-2008, KAKAK mendampingi 111 anak korban ESKA,

sedangkan pada tahun 2009-April 2010, KAKAK mendampingi 42 anak korban ESKA. Jumlah ini tentu saja hanya sebagian saja. Dari 42 anak korban ESKA, 70% diantaranya adalah anak sekolah yang duduk dibangku SMP dan SMA. Anak perempuan dan anak laki-laki, keduanya sama-sama rentan menjadi korban ESKA. Terbukti dari pendampingan yang dilakukan KAKAK juga ada korban anak laki-laki. Untuk jumlah anak perempuan memang lebih banyak dari anak laki-laki. Akan tetapi dari hasil informasi yang diperoleh kecenderungan anak laki-laki yang menjadi korban ESKA ini semakin meningkat jumlahnya dibandingkan beberapa tahun yang lalu. (Buletin Sahabat Kakak, 2010: 3)

Dari data pendampingan sebagian besar anak korban ESKA berasal dari keluarga yang rumah tangganya berantakan ada yang orang tuanya terlalu sibuk bekerja, ada yang sering bertengkar, dan lain-lain. Pelaku ESKA ternyata ada dimana-mana, bahkan bisa jadi mereka adalah orang terdekat dengan kita seperti teman, orang tua, tetangga bahkan pacar.

Sedangkan dari hasil wawancara langsung dari Kak Siswi Yuni Pratiwi selaku pendamping dari Yayasan KAKAK (Senin, 21 Maret 2011) bahwa dari tahun 2010 hingga maret 2011 ini ada sekitar 70 anak yang terjangkau dan

Pertimbangan yang biasanya muncul adalah hal tersebut dapat menimbulkan aib dan mencemarkan nama baik keluarga, lingkungan maupun sekolah. Berdasarkan hal ini maka banyak pihak menyimpulkan bahwa kasus ESKA jumlahnya jauh lebih besar dari yang terlaporkan.

Kota Surakarta adalah salah satu kota yang ditetapkan sebagai kota layak anak pada Tahun 2006. Program Kota Layak Anak terkontaminasi dengan menjamurnya fenomena Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Selain itu, ESKA harus dilihat dalam konteks fenomena gunung es artinya kasus yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya. Menyikapi hal tersebut sebenarnya Pemerintah Kota Surakarta telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial, untuk melindungi hak-hak anak serta menyelenggarakan pelayanan dan perlakuan khusus terhadap korban eksploitasi seksual komersial dan menjatuhkan sanksi yang jelas dan tegas kepada pelaku. Peraturan Daerah ini sebagai dasar untuk melaksanakan program untuk pencegahan dan penanggulangan ESKA di Surakarta.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksplotasi Seksual Komersial, Pasal 3 menerangkan bahwa Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial mempunyai tujuan adalah untuk: 1) Mencegah, membatasi, mengurangi adanya kegiatan eksploitasi seksual komersial; 2) Melindungi dan merehabilitasi korban kegiatan eksploitasi seksual komersial; 3) Menindak dan memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 4) Merehabilitasi pelaku agar kembali menjadi manusia yang baik sesuai dengan norma agama, kesusilaan dan hukum. Ruang lingkup penyelenggaraan penanggulangan ESKA meliputi pencegahan, perlindungan, dan rehabilitasi.

Pendidikan

kewarganegaraan sebagai

bidang kajian yang

multidimensional mempunyai tujuan dalam meningkatkan partisipasi aktif dari warga negara. Berkaitan dengan hal tersebut, komponen pokok dalam pendidikan multidimensional mempunyai tujuan dalam meningkatkan partisipasi aktif dari warga negara. Berkaitan dengan hal tersebut, komponen pokok dalam pendidikan

2. Civics values/dispositions berkenaan dengan sifat dan karakter yang baik dari seorang warga negara baik secara pribadi maupun publik

3. Civics skill berkenaan dengan apa yang seharusnya dapat dilakukan oleh warga negara bagi kelangsungan bangsa dan negara. Civics skill meliputi: keterampilan intelektual dan keterampilan partisipasi. (Winarno dan Wijianto, 2010: 50)

Dalam penelitian ini yayasan KAKAK sebagai organisasi non pemerintah ikut berpartisipasi dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak. Jadi dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menekankan pada civic skill melalui keterampilan partisipasi dari warga negara. Dimana salah satu perspektif pendidikan kewarganegaraan berorientasi pada partisipasi warga negara. Dalam konteks penelitian ini warga negara yang dimaksud adalah Yayasan “KAKAK”.

Selain itu, pendidikan kewarganegaraan juga memiliki misi pendidikan atau tugas yang harus dijalankan. Menurut Winarno dan Wijianto (2010: 64) secara luas berfungsi dan berperan sebagai:

“1. Program kurikuler dalam konteks pendidikan formal dan informal

2. Program sosial kultural dalam konteks kemasyarakatan

3. Sebagai bidang kajian ilmiah dalam wacana disiplin ilmu pengetahuan sosial”. Dalam misinya tersebut terdapat keterkaitan antara misi pendidikan kewarganegaraan dalam konteks kemasyarakatan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu eksploitasi seksual komersial anak. Dimana permasalahan ESKA adalah pelanggaran hak-hak fundamental anak, sebab anak- anak telah dijadikan sebagai objek seks orang dewasa, mereka dirampas haknya untuk bermain dan belajar. Oleh karena itu partisipasi dari warga negara sangat penting dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian d engan mengambil judul ”Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Tentang Partisipasi Yayasan ”KAKAK” di Surakarta)”.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diutarakan tersebut maka rumusan masalah yang dikaji adalah :

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial ?

2. Bagaimana partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak ?

3. Hambatan apa yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak ?

C. Tujuan Penelitian

Sebuah penelitian pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui :

1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak berada pada situasi eksploitasi seksual komersial.

2. Bagaimana partisipasi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak.

3. Hambatan apa yang dihadapi yayasan “KAKAK” dalam mencegah eksploitasi seksual komersial anak.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya baik secara teoretis maupun praktis. Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu kewarganegaraan yaitu yang berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki warga negara. Agar anak terlindung dari bahaya eksploitasi seksual komersial sebagai wujud pelanggaran terhadap hak-hak anak khususnya dan merupakan kejahatan kemanusiaan pada umumnya. Selain itu sebagai upaya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai pentingnya pencegahan eksploitasi seksual komersial pada anak. Sehingga pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat dapat bahu- membahu berperan serta dan membantu upaya pencegahan dan perlindungan terhadap anak.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Anak

a. Pengertian Anak

Pengertian dan batasan usia anak dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan dengan eksploitasi seksual komersial anak, batas umur kedewasaan seksual yang ditetapkan secara legal menjadi penting artinya bagi perlindungan anak.

Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai seorang anak. Batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum.

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5 menyebutkan pengertian anak adalah “manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang di dalam kandungan demi kepentingannya ”. Dalam hal ini anak juga mempunyai hak asasi yang melekat pada dirinya yang harus dilindungi dan dihormati.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 mengatakan bahwa anak adalah “seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin ”. Batas umur 21 tahun tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun tentang Perlindungan Anak Menurut Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

sehingga adakalanya menentukan usia ini dipergunakan surat keterangan lain seperti rapor atau surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah saja. Seharusnya setiap kasus yang menyangkut mengenai anak mengacu pada asas hukum Lex specialis derogat legi generale (peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang umum) yaitu dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, namun pada kenyataannya walaupun sudah ditetapkan undang-undang ini masih sering terjadi kerancuan mengenai batasan umur anak yang dipakai untuk menangani berbagai kasus sosial dalam masyarakat yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu sebaiknya penggunaan peraturan yang ada disesuaikan dengan kasus yang dihadapi, sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda.

Menurut Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child ) disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November Tahun 1989 Pasal 1 mendefinisikan s eorang anak adalah “setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang

yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. (Stephanie Delaney, 2006: 10)

Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan instrumen yang merumuskan prinsip-prinsip universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, tertanggal 25 Agustus Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak. Oleh karena itu, Keppres Nomor 36 Tahun 1990 yang mengesahkan Konvensi Hak Anak tersebut secara yuridis telah mengikat negara Indonesia sebagai negara peserta dalam Konvensi Hak anak.

Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000. Definisi anak menurut Konvensi ILO adalah “setiap orang yang berusia dibawah 18 Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000. Definisi anak menurut Konvensi ILO adalah “setiap orang yang berusia dibawah 18

Pada umumnya Konvensi Hak Anak internasional menerima bahwa usia 18 tahun merupakan usia yang sesuai untuk menentukan masa dewasa. Menentukan usia yang baku untuk mendefinisikan masa kanak-kanak berpengaruh terhadap bagaimana anak-anak yang menjadi korban diperlakukan oleh hukum. Dengan demikian membakukan usia 18 tahun sebagai usia tanggung jawab seksual secara internasional akan memberi perlindungan yang lebih besar terhadap anak (sekaligus menyadari bahaya mengkriminalisasi anak-anak). Definisi legal tentang anak juga akan berpengaruh terhadap pengadilan memperlakukan para pelaku tindak kejahatan.

Berdasarkan pengertian dan batas usia anak di atas, maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang usianya dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

b. Hak dan Kewajiban Anak

Mengenai hak dan kewajiban anak sebagai warga negara dalam hal ini penulis berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Hak anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:

1) Hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (Pasal 4).

2) Hak diberikan nama sebagai identitas diri, dan memperoleh status kewarganegaraan. (Pasal 5).

3) Hak beribadah menurut agama, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya. (Pasal 6) 3) Hak beribadah menurut agama, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya. (Pasal 6)

5) Hak untuk diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 7 ayat 2).

6) Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. (Pasal 8)

7) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (Pasal 9 ayat 1).

8) Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. (Pasal 10).

9) Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. (Pasal 11).

10) Hak mendapatkan pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiyaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya. (Pasal 13 ayat 1).

11) Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir. (Pasal 14).

12) Hak untuk mendapatkan perlindungan dari: penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan. (Pasal 15).

penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (Pasal 16 ayat 1).

14) Hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. (Pasal 16 ayat 2).

15) Hak mendapatkan perlakuan secara manusiawi, memperoleh bantuan hukum, membela diri dan memperoleh keadilan dalam pengadilan. (Pasal

17 ayat 1).

16) Hak untuk dirahasiakan identitasnya bagi anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum. (Pasal 17 ayat 2).

17) Hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya bagi anak

yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana. (Pasal 18).

Kewajiban anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu sebagai berikut:

1) Menghormati orang tua, wali, dan guru;

2) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;

3) Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

5) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. (Pasal 19).

2. Pencegahan Eksploitasi Seksual Komersial Anak

a. Pencegahan

Pencegahan agar anak-anak dapat terhindar sebagai korban eksploitasi seksual komersial merupakan langkah strategis yang harus dilakukan. Langkah-langkah pencegahan selayaknya memperhatikan faktor- faktor yang mempengaruhi seorang anak dapat menjadi korban.

Menurut Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial menerangkan bahwa, “Pencegahan adalah usaha mengurangi potensi terjadinya eksploitasi seksual komersial”.

“Pencegahan adalah aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk memberikan perlindungan permanen dari bencana”.

Tindakan pencegahan pada dasarnya bertujuan untuk meniadakan kegiatan dan atau dampak kegiatan eksploitasi seksual komersial anak.

Jadi kesimpulannya pencegahan adalah segala usaha untuk melindungi anak dan mengurangi potensi terjadinya eksploitasi seksual komersial anak.

b. Eksploitasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Eksploitasi adalah pengusahaan, pendayagunaan, pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; penghisapan; pemerasan (tenaga orang)”. (Departemen Pendidikan Nasional,

2007: 290) Kemudian dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menjelaskan: Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang

meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial.

Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Pasal 1 angka 21, “Eksploitasi adalah tindakan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan/atau kemampuan diri sendiri oleh pihak lain yang dilakukan atau sekurang- kurangnya dengan cara sewenang-wenang atau penipuan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non ma terial”.

Kesimpulannya eksploitasi adalah tindakan yang berupa pendayagunaan, pemanfaatan, pengusapan, pemerasan fisik maupun seksual untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non material.

Dalam bukunya Kartini Kartono (2005: 221-222), Freud menyebut bahwa “Seks sebagai libido sexualis (libido = gasang, dukana, dorongan hidup nafsu erotik). Seks juga merupakan mekanisme bagi manusia untuk mengadakan keturunan. Karena itu seks dianggap sebagai mekanisme yang sangat vital diman a manusia bisa mengabadikan jenisnya”.

Pengertian eksploitasi seksual menurut pendapat Irwanto adalah: Eksploitasi Seksual adalah memperlakukan anak sebagai komoditas,

sebagai barang dagangan. Anak yang diperlakukan sebagai objek seksual dipakai untuk mendapatkan uang, barang, atau jasa-kebaikan oleh pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang terlibat. Pelakunya adalah orang-orang terdekat, seperti orang tua, saudara kandung, atau orang-orang yang dikenal anak dalam komunitasnya, tetapi juga orang-orang yang tidak dikenal. (Irwanto dkk, 2008: 9)

Menurut Kartini Kartono, “Eksploitasi seks berarti penghisapan atau penggunaan serta pemanfaatan relasi seks semaksimal mungkin oleh pihak pria. Sedang komersialisasi seks berarti perdagangan seks, dalam bentuk penukaran kenikmatan seksual dengan benda- benda, materi dan uang”. (Kartini Kartono, 2005: 217)

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, menjelaskan bahwa: “Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual

atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan”.

Sarah Alexander, Stan Meuwese, dan Annemieke Wolthuis (2000: 479) mengemukakan bahwa Serikat Eropa mendefinisikan eksploitasi seksual seperti perilaku berikut:

1) The inducement or coercion of a child to engage in any unlawful sexual activity;

2) The exploitative use of a child in prostitution or other unlawful sexual practices, and/ or

3) The exploitative use of children in pornographic performances and materials, including the production, sale and distribution or other forms of trafficking in such materials. And the possession of such materials.

1) Penghasutan atau pemaksaan anak untuk terlibat dalam kegiatan seks yang melanggar hukum;

2) Eksploitasi anak dalam prostitusi (pelacuran) atau praktek seksual yang melanggar hukum lainnya, dan/atau

3) Eksploitasi anak-anak dalam pertunjukan dan materi-materi pornografi, termasuk pembuatan, penjualan dan penyebaran atau bentuk-bentuk perdagangan lainnya dalam barang-barang tersebut. Dan kepemilikan barang-barang semacam itu.

Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Pasal 1 angka 22, “Seksual Komersial adalah segala tindakan mempergunakan badan/fisik untuk kepuasaan seksual orang lain dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain”.

Jadi dapat disimpulkan eksploitasi seksual adalah segala bentuk perlakuan yang menempatkan anak sebagai objek seksual untuk tujuan-tujuan mendapatkan keuntungan.

d. Eksploitasi Seksual Komersial

Dalam Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Pasal 1 angka 23 menjelaskan:

Eksploitasi Seksual Komersial adalah tindakan eksploitasi terhadap orang (dewasa dan anak, perempuan dan laki-laki) untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara orang, pembeli jasa seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas tersebut.

“Eksploitasi seksual komersial dapat didefinisikan sebagai kekerasan seksual terhadap anak untuk mendapatkan bayaran atau kebaikan. Bayaran ini

bisa berupa uang, kebaikan atau keuntungan-keuntungan lain seperti makanan, per lindungan atau tempat tinggal”. (Stephanie Delaney, 2006: 10-11)

Kesimpulannya eksploitasi seksual komersial adalah tindakan yang berupa pendayagunaan, pemanfaatan, pengusapan, pemerasan fisik maupun Kesimpulannya eksploitasi seksual komersial adalah tindakan yang berupa pendayagunaan, pemanfaatan, pengusapan, pemerasan fisik maupun

e. Eksploitasi Seksual Komersial Anak

Eksploitasi seksual komersial anak mencangkup praktek-praktek kriminal yang merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial anak. Deklarasi dan Agenda Aksi untuk menentang eksploitasi seksual komersial anak merupakan instrumen yang pertama-tama mendefinisikan eksploitasi seksual komersial anak sebagai:

Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi Seksual Komersial Anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. (ECPAT Internasional, 2006: 4)

Deklarasi dan Agenda Aksi ini telah diadopsi oleh 122 negara termasuk Indonesia, merupakan pelaksanaan Kongres Dunia pertama kali untuk menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak bertempat di Stockholm, Swedia, pada tahun 1996.

Eksploitasi Seksual Komersial Anak sering disebut ESKA, ECPAT (End Child Prostitution In Asia Tourism) Internasional dalam Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Medan, dkk (2008: 6) mendefinisikan bahwa “ESKA sebagai sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak.

Pelanggaran tersebut berupa kekerasan seksual oleh orang dewasa dengan pemberian imbalan kepada anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Sederhananya anak diperlakukan sebagai objek seksual dan komersial”.

Berdasarkan pengertian eksploitasi seksual komersial anak yang ditegaskan di atas tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa anak-anak tersebut merupakan korban dari kejahatan (tindak kriminal) yang dilakukan

bersangkutan. Eksploitasi seksual komersial dibedakan dari eksploitasi seksual non komersial, yang biasa disebut dengan berbagai istilah seperti pencabulan terhadap anak, perkosaan, kekerasan seksual, dan sebagainya. Melalui ESKA, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebuah komoditas yang membuatnya berbeda dalam hal intervensi. ESKA adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa kebaikan bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap anak tersebut. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak dan elemen kuncinya adalah bahwa pelanggaran ini muncul melalui berbagai bentuk transaksi komersial dimana satu atau berbagai pihak mendapatkan keuntungan.

Penting untuk memasukkan transaksi-transaksi yang bersifat jasa dan kebaikan ke dalam definisi tersebut karena ada kencenderungan untuk memandang transaksi-transaksi seperti itu sebagai pemberian izin dari pihak anak. Jika terjadi eksploitasi seksual untuk mendapatkan perlindungan, tempat tinggal, akses untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi di sekolah atau naik kelas maka anak tersebut tidak memberikan “izin” atas transaksi tersebut