PENGAMBILALIHAN PRADATA DALEM 1903 (Studi Tentang Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan)

SKRIPSI

Oleh : EKO YULIANTO K4408028 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

(Studi Tentang Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan)

Oleh : EKO YULIANTO K4408028

Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Eko Yulianto. PENGAMBILALIHAN PRADATA DALEM 1903 (Studi Tentang Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan). Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari. 2012.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui sebab diambilalihnya Pradata Dalem oleh Pemerintah kolonial Belanda; (2) Untuk mengetahui sistem peradilan di Kasunanan Surakarta; (3) Untuk mengetahui prospek Pradata Dalem setelah diambilalih Pemerintah kolonial Belanda.

Penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). Langkah-langkah dalam metode sejarah adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis. Sesuai dengan jenis penelitiannya, maka teknik analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah teknik analisis historis.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Pemerintah Belanda melakukan penetrasi di kasunanan karena mempunyai kepentingan politik maupun ekonomi di wilayah jajahannya, termasuk di kasunanan. Pemerintah kolonial membutuhkan jaminan keamanan dan kepastian hukum untuk menjamin kepentingan politik dan ekonominya di Surakarta. Oleh sebab itu, pemerintah kolonial berusaha menekan bahkan mengurangi tindak kejahatan di Surakarta dengan mengambilalih sistem peradilan kasunanan. Terjadi pengurangan peran Pradata Dalem di kasunanan akibat penetrasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial ; (2) Pemerintah kolonial melakukan penetrasi (penekanan) ke semua bidang di Kasunanan. Pemerintah kolonial membuat berbagai kebijakan di kasunanan, salah satunya adalah menghapus semua peradilan tradisional kemudian menggantinya dengan peradilan baru yang menempatkan orang-orang Belanda di dalamnya. Pada tahun 1903, kepolisian di Swapraja Surakarta berada di bawah Residen sehingga arah kebijakan kepolisian Surakarta telah disetir oleh pemerintaah kolonial. Berbagai bidang telah dikuasai Belanda, ditambah kasunanan terlilit banyak hutang terhadap Pemerintah Kolonial Belanda sehingga tidak lagi mampu mempertahankan kekuasaan peradilan. Akibatnya, terjadi pengambilalihan Pradata Dalem Kasunanan pada tahun 1903 oleh Pemerintah Kolonial Belanda; (3) Pengambilalihan sistem peradilan memberikan dampak yang sangat besar bagi Kasunanan Surakarta. Penguasa Kolonial Belanda mengajukan berbagai alasan untuk menanamkan pengaruhnya. Sehingga sedikit demi sedikit, Pemerintah Kolonial Belanda mampu mengusai hampir seluruh tatanan pemerintahan di Keraton Kasunanan Surakarta. Kasunanan masih mengalami perubahan pada teritorial di daerah-daerah, bahkan wilayahnya yang berperan vital diambilalih Belanda karena memberikan keuntungan yang besar. Dampak dalam bidang pendidikan yaitu mulai diperkenalkannnya sekolah hukum di wilayah Surakarta yang lebih banyak menguntungkan Belanda. Dalam bidang keuangan muncul aturan keuangan keraton yang mendapat pengawasan ketat oleh Belanda. Selain itu, kasunanan harus membiayai para tahanan dan petugas penjara meskipun telah resmi diambilalih oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Eko Yulianto. THE 1903 PRADATA DALEM TAKING OVER (A Study on the Judicature System Taking Over in Kasunanan). Thesis, Surakarta : Teacher Training and Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University, January. 2012.

The objectives of research are: (1) to find out the cause of Pradata Dalem taking over by Netherlands Colonial Government; (2) to find out the judicature system in Kasunanan Surakarta; (3) to find out the prospect of Pradata Dalem after the taking over by Netherlands Colonial Government.

This study employed a historical history. The procedure of historical method included heuristic, critical, interpretation, and historiography. Technique of collecting data used was library study. The data source employed in this research was written source. In line with its type, the technique of analyzing data used in this research was historical analysis one.

Based on the result of research, it can be concluded that: (1) The Netherlands government penetrated into Kasunanan because it had both political and economic interest in its dependency area, including Kasunanan. The colonial government required security guarantee and law certainty to ensure its political and economical interests in Surakarta. Therefore, the colonial government attempted to suppress and even to mitigate the crime in Surakarta by taking over the kasunanan’s judicature system. There was a reduction in Pradata Dalem role in Kasunanan due to the penetration committed by colonial government; (2) the colonial government penetrated into all sectors of Kasunanan. The colonial government made a variety of policies in Kasunanan, one of which was to eliminate all traditional judicature and then to replace it with the new one that assigned the Dutch within it. In 1903, the Police in Surakarta’s swapraja was under Resident so that the direction of Surakarta Police’s policy had been driven by colonial government. Netherlands dominated various sectors; it was exacerbated by the kasunanan suffering from considerable debt to the Netherlands’ colonial government so that it could no longer defend its judicature

power. As a result, there was Kasunanan Pradata Dalem taking over in 1903 by the Netherlands colonial government; (3) The judicature system taking over had a very substantial effect on the Kasunanan Surakarta. The Netherlands colonial authority proposed many reasons to impart its stake. Thus, the Netherlands colonial government gradually could dominate nearly all government orders in Kasunanan Surakarta’ Palace. Kasunanan still experienced territorial transformation in local areas, even its vital areas were taken over by Netherlands because it gave considerable benefits. The effect on education sector included the introduction of legal school in Surakarta area more beneficial to Netherlands. In finance sector, the palace’s finance rule emerged under tight supervision by

Netherlands. In addition, Kasunanan should fund the prisoners and prison officers despite taking over by Netherlands colonial government.

MOTTO

Raja tidak mengenal anak, sanak saudara, istri, dan kekasih; yang dianut hanyalah kebenaran hukum keadilan. (Paku Buwana IV)

Seorang raja diketagorikan utama, apabila penguasa itu melakukan pemerintahan tanpa mengenal pilih kasih dan tidak bertindak sesuka hati, melainkan selalu berpegang pada hukum yang berlaku . (Serat Raja Kapakapa)

PERSEMBAHAN

Dengan ucapan syukur kepada Allah dan shalawat atas Rasul-Nya, karya ini kupersembahkan kepada:

 Ibu, ayah dan adik Dwi tercinta yang senantiasa memberi doa dan Semangat.

 Semua saudaraku dan teman-temanku Sejarah ’08.  Semua sahabatku.  Almamater.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapat gelar Sarjana Pendidikan.

Hambatan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini telah hilang berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah menyetujui atas permohonan skripsi ini.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan pengarahan dan ijin atas penyusunan skripsi ini.

4. Prof. Dr. Mulyoto, M. Pd., selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd., selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Program Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial yang secara tulus memberikan ilmu kepada penulis selama ini, mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.

7. Dra. Sutiyah, M. Pd, M.Hum selaku pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan motivasinya kepada penulis.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan mendapatkan pahala yang setimpal.

Penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, Januari 2012

Penulis

BAB IV HASIL PENELITIAN

1. Proses Pengurangan Peran Pradata Dalem Kasunanan Surakarta ………………………………....................................

1. Penetrasi terhadap Pemerintahan Kasunan ............................ 47

2. Lembaga-lembaga Peradilan Kasunanan sebelum penetrasi Pemerintah Kolonial Belanda . ……………........... 59

3. Gangguan Keamanan di Wilayah Kasunanan …...…............ 67

4. Langkah-Langkah untuk Mengatasi Gangguan Keamanan di Wilayah Kasunanan ……..…………............... 75

2. Pengambilalihan Sistem Peradilan Kasunanan pada Tahun 1903 ………………………………………………........ 80

1. Proses Pengambilalihan Sistem Peradilan

Kasunanan 1903 ……..………….......................................... 80

2. Lembaga-Lembaga Peradilan baru akibat Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan ................. 88

3. Dampak Pengambilaliha Sistem Peradilan di Kasunanan ................................................................................. 92

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Kesimpulan ………………………………………………...... 97

B. Implikasi …………………………………………………....... 100

C. Saran ………………………………………………………..... 101

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 103 LAMPIRAN ……………………………………………………………… 109

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Perijinan Skripsi ...........................................................

110

Lampiran 2 : Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ...........................

112

Lampiran 3 : Lambang Keraton Kasunanan Surakarta ...............................

113

Lampiran 4 : Paku Buwono X………………………………….. ............... 114 Lampiran 5 : Staadsblad 1847 nomor 30 .....................................................

115

Lampiran 6 : Paku Buwono X dan Kanjeng Ratu Mas ...............................

120

Lampiran 7 : Paku Buwono X dan Residen de Vogel (1897) .....................

121

Lampiran 8 : Kontrak Politik P.B. X dengan Belanda ................................

122

Lampiran 9 : Surat keputusan dari Residen van Wijk tentang pengadilan... 123 Lampiran 10 : Kitab-Kitab Hukum Pengadilan Kasunanan ..........................

127

Lampiran 11 : Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol.7, No. 2 Desember

2003 ........................................................................................ 133

Lampiran 12 : Jurnal Kajian Wilayah Eropa Volume V – No. 2 - 2009 ....... 139 Lampiran 13 : Jurnal Kajian Wilayah Eropa Volume V – No. 2 - 2009 ....... 153 Lampiran 14 : Jurnal Patra-Widya Vol. 1 No. 1 Maret 2006 ........................

170

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemerintahan tradisional pada masa kerajaan-kerajaan di Indonesia terutama Keraton Jawa adalah masa yang memiliki peranan vital (Larson, 1990: viii). Keraton merupakan masyarakat/komunitas yang mempunyai kebudayaan sendiri. Di dalam masyarakat/komunitas itu terjadi interaksi, baik secara individual, maupun secara kolektif (Darsiti Soeratman, 1990: 9).

Keraton membutuhkan peraturan-peraturan dan hukum yang mengikat kepada seluruh rakyat untuk menjalankan roda pemerintahannya agar tercipta pemerintahan yang bagus dan ideal. Dalam konsep pemerintahan, kekuasaan sistem peradilan merupakan faktor yang prinsipil. Raja sebagai penguasa pemerintahan keraton adalah orang yang memegang kekuasaan sistem peradilan tersebut.

Kerajaan Jawa yang pertama kali menerapkan tata hukum dan peradilan dalam bidang pemerintahan adalah Kerajaan Mataram. Tata hukum dan peradilan tersebut mulai diterapkan pada masa pemerintahan Panembahan Ingalogo yang lebih dikenal dengan nama Sultan Agung. Ia menarik pemimpin-pemimpin agama Islam ke dalam istananya dan lambat laun mengubah tata cara istana sesuai dengan ajaran Islam (Larson, 1990: 12). Dalam perkembangan selanjutnya, Tata hukum dan peradilan yang dipergunakan adalah tata hukum dan peradilan Islam. Peradilan ini mengambil tempat persidangan di Sittinggil atau Serambi Masjid dalam menangani perkara kejahatan.

Kerajaan Mataram memiliki empat macam lembaga peradilan, yaitu Raad Bale Mangu, Raad Kadipaten Anom, Raad Surambi, dan Raad Pradata (Serat Perjanjian Dalem Nata: 41). Kerajaan Mataram selalu berpindah tempat karena alasan keamanan dari musuh. Seiring dengan perpindahan tersebut, Kerajaan Mataram selalu mengadakan perubahan tata hukum maupun peradilan dalam menjalankan pemerintahannya, bahkan sampai dengan terpecahnya kerajaan Kerajaan Mataram memiliki empat macam lembaga peradilan, yaitu Raad Bale Mangu, Raad Kadipaten Anom, Raad Surambi, dan Raad Pradata (Serat Perjanjian Dalem Nata: 41). Kerajaan Mataram selalu berpindah tempat karena alasan keamanan dari musuh. Seiring dengan perpindahan tersebut, Kerajaan Mataram selalu mengadakan perubahan tata hukum maupun peradilan dalam menjalankan pemerintahannya, bahkan sampai dengan terpecahnya kerajaan

Keraton Kasunanan Surakarta sebagai kerajaan, memiliki sebuah struktur yang tersusun atas beberapa lembaga dalam pemerintahan, salah satunya adalah lembaga peradilan keraton. Peradilan Keraton Kasunanan Surakarta apabila dilihat secara kelembagaan, merupakan lembaga yang memberikan kontribusi dalam menegakkan hukum, menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta. Selain itu, peradilan Keraton Kasunanan Surakarta adalah sebuah lembaga hukum yang berfungsi untuk mencegah terjadinya pelanggaran dan tindak kejahatan yang dapat mengancam eksistensi kekuasaan raja.

Pengambilalihan kekuasaan Keraton Kasunanan sebenarnya sudah terjadi sejak masa pemerintahan Paku Buwana II (1726-1749), dimana seluruh daerah Kerajaan Mataram masuk ke dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Belanda. Akibatnya, Kerajaan Mataram bukan hanya kehilangan wilayahnya tetapi juga harus tunduk pada peraturan Pemerintah Belanda termasuk mengenai sistem peradilan.

Wilayah kekuasaan raja dipinjamkan kepada Pemerintah Belanda kemudian raja akan mendapatkan uang sewa. Pemerintah Belanda akan mendukung (apabila ada pihak yang bermaksud menggulingkan kekuasaan raja, Belanda akan membantu mempertahankan kekuasaan tersebut) agar raja tetap berkuasa di Keraton Kasunanan sebagai imbalan dari tanah yang dipinjamkan.

penobatannya sebagai raja bukan karena mewarisi, melainkan karena pemberian dari Pemerintah Kolonial Belanda. Raja juga berjanji bahwa dia akan memerintah sesuai dengan hukum-hukum yang ada, dan tetap setia kepada pemerintah Belanda dengan cara membahas semua persoalan dengan residen dan mengikuti saran serta nasihatnya sebelum memutuskan sesuatu (Houben, 1994: 274).

Raja yang berkuasa sangat mempengaruhi keberjalanan sistem peradilan dalam pemerintahan. Sistem peradilan akan mengikut kepada raja yang berkuasa di wilayah tersebut karena dalam politik tradisionalisme (feodalisme), seorang raja berkuasa absolut sehingga setiap kata yang diucapkan raja bagai sumber hukum; dalam masyarakat Jawa sering dikenal dengan istilah sabdo pandito ratu. Peranan raja terhadap rakyat terkait masalah hukum dan keadilan adalah untuk melakukan pemerintahan tanpa mengenal pilih kasih dan selalu berpegang teguh pada hukum yang berlaku (Serat Raja Kapa-Kapa, tth: 19). Selain itu, raja (dalam menjalankan pemerintahan) tidak boleh mengenal anak, sanak saudara, istri maupun kekasih; yang dianut hanya kebenaran hukum keadilan (Serat Wulangreh, tth: 16).

Di masa Raja-Raja Keraton Kasunanan Surakarta, lembaga peradilan dan hukum diperlukan untuk membentengi legitimasi kekuasaannya. Peradilan di Keraton Kasunanan telah mengalami banyak perubahan, terutama sejak menguatnya penetrasi dari Pemerintah Kolonial Belanda. Sistem tradisional khususnya sistem peradilan Keraton Kasunanan digeser oleh sistem peradilan Barat yang diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda (Lembaran Sejarah Vol. 1, No. 2, 1997/1998: 55). Belanda memperlihatkan sebuah karakter Machiavellian yang ekstrim dan taktik pecah belah serta berbagai aturan yang semakin memperparah perselisihan internal. Kondisi ini semakin diperburuk dengan semakin banyaknya para elite politik lokal yang terjebak masalah keuangan dan hutang terhadap Belanda sehingga Belanda semakin mudah dalam menanamkan pengaruhnya di Keraton Kasunanan (Houben, 1994: xv).

Pelaksanaan hukum dan peradilan Keraton Kasunanan pada awalnya

Pemerintah Kolonial Belanda menempatkan sistem hukum dan peradilan Barat pada posisi yang lebih tinggi di atas hukum dan peradilan Keraton Kasunanan.

Sistem peradilan di Keraton Kasunanan harus menaati peraturan- peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Namun tidak berarti sistem hukum dan peradilan mengalami perubahan total. Masyarakat Jawa termasuk rakyat Keraton Kasunanan terbiasa menggunakan cara musyawarah mufakat untuk menyelesaikan perkara (yang bersifat ringan).

Masyarakat Jawa lebih memilih cara yang bersifat kekeluargaan dalam menyelesaikan perkara-perkara. Akan tetapi sikap yang seperti itu tidak berarti bahwa mereka tidak membutuhkan lembaga pengadilan untuk menyelesaikan suatu masalah. Lembaga pengadilan dimanfaatkan apabila suatu perkara tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan melalui musyawarah mufakat (T. Roorda, 1844: 4).

Pada masa pemerintahan Paku Buwana III (1749-1788) dan IV (1788- 1820), sistem peradilan masih berjalan di bawah peraturan Pemerintah Kolonial Belanda. Begitu juga pada saat pemerintahan Paku Buwana V (1820-1823) dan VI (1823-1830), tidak terjadi sebuah perubahan yang signifikan dalam sistem peradilan. Hal tersebut dikarenakan kondisi politik yang kurang mendukung (adanya pemberontakan Samber Nyawa dan Mangkubumi), Pemerintahan raja yang singkat serta penetrasi Pemerintah Kolonial Belanda yang semakin intensif (Achmad Ridwan, 2010: 4-5).

Pada masa pemerintahan Paku Buwana VII (1830-1858) terjadi banyak perubahan dalam bidang sistem peradilan. Seiring dengan bergesernya sistem peradilan tradisional menuju sistem peradilan Barat, muncul pengadilan- pengadilan baru di wilayah Keraton Kasunanan.

Kekuasaan pengadilan atas orang-orang bumi putera sebenarnya berada di tangan Sunan, tetapi dalam kenyataannya Pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa. Hal itu dapat dilihat dalam pelaksanaan proses pengadilan sampai dengan pemberian hukuman yang hampir seluruhnya harus mendapatkan Kekuasaan pengadilan atas orang-orang bumi putera sebenarnya berada di tangan Sunan, tetapi dalam kenyataannya Pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa. Hal itu dapat dilihat dalam pelaksanaan proses pengadilan sampai dengan pemberian hukuman yang hampir seluruhnya harus mendapatkan

Pengambilalihan sistem peradilan pada awal abad xx, pada masa itu merupakan puncak perkembangan budaya Barat yang bersifat modern yang memasuki lingkungan Keraton Kasunanan. Paku Buwana X (1893-1939) yang bertahta pada saat itu, menunjukkan sikap lebih terbuka terhadap masuknya unsur-unsur budaya Barat ke dalam komunitas keraton (Darsiti Soeratman, 1989: 8). Seorang Pakar Belanda, C. van Vollenhoven juga menjelaskan penetrasi politik Belanda terhadap penguasa pribumi di Vorstenlanden pada awal abad xx, sebagai suatu usaha yang lunak untuk membatasi hak-hak mereka, merebut hak- hak istimewa dalam bidang legislatif, dan menyesuaikan peraturan dan pranata dengan yang berlaku di wilayah Gubernemen (Larson, 1990: 9).

Dalam sudut pandang Belanda, pemerintahan Jawa terdesentralisasi dan tampak kabur, begitu juga hukum dan keamanannya. Patih secara berkala memberikan laporan mengenai kurangnya keamanan di keraton. Kepala-kepala polisi lebih sibuk mengurusi pendapatan mereka ketimbang menjaga keamanan umum. Hal tersebut mengundang desakan dari Belanda untuk ikut campur dalam persoalan tersebut. Belanda mengeluarkan kebijakan agar kepolisian ditempatkan di bawah kontrol langsung orang-orang Eropa, yang akan berarti bahwa para bupati dan kepala-kepala lainnya akan harus menjadi pejabat-pejabat yang mengabdi kepada Pemerintah Belanda. Dengan dibentuknya peradilan di bawah arahan Belanda, yang memasukkan dasar-dasar peradilan Barat dan mengesampingkan hukum yang berdasarkan Al-Quran, membuktikan bahwa pengelolaan peradilan telah diambilalih dari tangan Raja-Raja Keraton Kasunanan. Secara umum, pengambilalihan sistem peradilan ini disebabkan karena sistem tersebut dianggap sudah tidak mampu lagi untuk memberikan

tahun 1893-1939. Paku Buwono X adalah seorang pribadi yang penuh nilai keteladanan, kebijaksanaan dan keagungan. Beliau mempunyai tempat yang sangat istimewa karena masa pengabdiannya yang cukup panjang, yakni 46 tahun. Salah satu sifat Sunan yang paling menonjol adalah kelakuannya yang dermawan, ia selalu mau membantu dan atau menyenangkan hati orang. Ia juga sopan dan suka melayani, salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tak mengenal nilai uang, Susuhunan tidak mempunyai pengetahuan tentang keadaan keuangannya. Sunan tidak memiliki pengertian sekecil apapun tentang urusan-urusan resmi. Kebanyakan laporan Belanda tentang Susuhunan menggambarkan sebagi seorang pesolek, lemah, dan agak bodoh, tetapi setia kepada keluarga Raja Belanda dan Pemerintah Hindia-Belanda (Larson, 1990: 44).

Puncak pengambilalihan sistem peradilan Keraton Kasunanan terjadi pada masa ini, masa pemerintahan Paku Buwana X. Hal ini merupakan akibat pernyataan Sunan sebelum dinobatkan sebagai raja. Pada saat itu Paku Buwana X bersama Gubernement menandatangani perjanjian yang berupa Acta van Verband dan Verklaring (G.P. Rouffaer, 1983: 23).

Sunan menandatangani verklaring pada tanggal 25 maret 1893. Pada tanggal 30 maret 1893 dilangsungkan penobatan raja yang dilanjutkan dengan penandatanganan akta perjanjian. Dengan begitu dimulailah masa baru, masa Pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939). Peristiwa ini merupakan tradisi baru dalam pemerintahan Kasunanan, karena kenaikan raja-raja sebelumnya hanya menandatangani akta perjanjian dalam setiap kenaikan tahtanya (Darsiti Soeratman, 1990: 51).

Beberapa butir dalam verklaring antara lain mencakup masalah :

a. Perbaikan pengadilan, kepolisian dan penyelesaiannya menurut hukum.

b. Daerah terselip.

c. Ganti kerugian dari pemerintah.

d. Pemungutan pajak baru.

e. Penyewaan tanah kepada orang-orang eropa.

pengusaha asing.

g. Seremoni pada pesta dan kesempatan lain.

Akta perjanjian pada pokoknya berisi ketentuan bahwa Sunan :

a. Mengakui kedudukannya sebagai vasal yang memperoleh tanah Surakarta

bukan karena kekuatan sendiri, melainkan sesuai perjanjian 1949.

b. Berjanji akan setia pada perjanjian yang dibuat oleh raja-raja sebelumnya.

c. Akan memerintah secara adil, melindungi pertanian, perdagangan dan memajukan kesejahteraan rakyat.

d. Tidak akan melakukan hubungan politik dengan negara asing.

e. Menyatakan, jika ia tidak melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian,

pemerintah berhak menarik kembali tanah pinjaman itu. (Darsiti Soeratman, 1990: 52).

Perubahan-perubahan pada bidang peradilan dilakukan dengan alasan untuk lebih memantabkan sistem pemerintahan di keraton Kasunanan serta memperbaiki sistem peradilan dan kepolisian.

Penandatanganan Verklaring dan akta perjanjian sebelum dinobatkan menjadi raja telah membuktikan kemerosotan kewibawaan dan kedaulatan Sunan sebagai penguasa tertinggi di keraton Kasunanan. Sunan hanya menjadi salah satu alat politik bagi pemerintah kolonial Belanda.

Dalam perkembangannya terdapat perbedaan penafsiran antara Sunan dan Pemerintah Kolonial Belanda mengenai butir dalam verklaring yang membahas tentang pengadilan. Sunan menafsirkan perbaikan pengadilan sebagai sebuah usaha untuk membuat pengadilan menjadi lebih berfungsi, tanpa meninggalkan dasar-dasar peradilan yang berlaku di Keraton Kasunanan. Sebaliknya, Pemerintah Belanda menghendaki agar Sunan menyerahkan sistem peradilan Kasunanan Surakarta kepada mereka (Pemerintah Belanda).

Pada tanggal 17 Oktober 1901, Sunan terpaksa menandatangani perjanjian penyerahan sistem peradilan kepada Pemerintah Belanda. Kekuasaan Kasunanan harus mematuhi Pemerintah Belanda berdasarkan hasil perjanjian

1990: 52). Dalam proses pengambialihan sistem peradilan di Keraton Kasunanan pada tahun 1903, Pemerintah Kolonial Belanda berusaha menerapkan tata hukum Belanda ke wilayah kekuasaan Keraton Kasunanan. Hal tersebut bertujuan untuk mengontrol kekuasaan dan kewenangan raja serta aparat eksekutif daerah jajahan.

Pengambilalihan sistem peradilan 1903 merupakan rekayasa Pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan eksploitasi terhadap wilayah pemerintah Keraton Kasunanan Surakarta. Pemerintah Kolonial Belanda berusaha untuk memisahkan lembaga peradilan masyarakat pribumi dan masyarakat asing melalui pengambilalihan sistem peradilan ini yang sekaligus menjadi pertanda kemunduran kekuasaan pemerintah keraton Kasunanan, Sehingga sifat dasar sistem peradilan dan lembaga pengadilan masyarakat jawa memudar. Akibatnya pengambialihan sistem peradilan ini menjadi sarana pembentukan unsur-unsur baru (Soerjono Soekanto, 1980: 88).

Pemerintah Kolonial Belanda mengambilalih semua kekuasaan di Keraton Kasunanan. Ketika semua kekuasaan telah diambilalih oleh Belanda, Raja tidak mempunyai apa-apa selain kekuasaan budaya untuk mempertahankan eksistensi kekuasaannya, terutama budaya Islam dan Jawa.

Paku Buwana X adalah simbol tradisi Islam dan Jawa. Maka, Ia selalu memelihara budaya/tradisi Islam tetapi juga menghidupkan tradisi Jawa. Dari sisi tradisi Islam, Sunan memberikan hadiah pada orang Arab, Benggal, Kojar, Banjar dan para haji yang berdzikir di masjid, tiap orang mendapat dua gulden. Para haji itu datang dari daerah Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Semarang, Priangan dan Besuki. Selain itu, Sunan juga menghidupkan tradisi Jawa serta memelihara mitos. Misalnya dengan upacara mengambil air untuk menanak nasi untuk grebeg (sebuah perayaan resmi) mulud dari mata air Pengging, oleh para abdi dalem yang berjalan kaki dengan membawa 12 genthong (Kuntowijoyo, 2006: 36).

Paku Buwana X mampu memainkan kartu nasionalisme Jawa melalui budaya. Paku Buwana sering berkeliling ke berbagai daerah secara berkala Paku Buwana X mampu memainkan kartu nasionalisme Jawa melalui budaya. Paku Buwana sering berkeliling ke berbagai daerah secara berkala

Paku Buwana berhasil menghimpun massa pada acara perkawinannya dengan putri Hamengku Buwana VII; seluruh kota penuh dipadati rakyat. Hal yang demikian merupakan budaya afirmatif dari Paku Buwana X. Sejak itu, pergerakan Paku Buwana selalu dipantau oleh Belanda (Kuntowijoyo, 2004: 104). Pemerintah Belanda khawatir pergerakan Paku Buwana tersebut akan membangkitkan nasionalisme masyarakat Jawa; karena setiap perjalanannya di berbagai daerah, Paku Buwana disambut massa dengan meriah (Kuntowijoyo, 2004: 38).

Penguasaan bidang hukum merupakan langkah yang tepat untuk menguasai kehidupan politik dan memantau tata pemerintahan Keraton Kasunanan. Alasan Pemerintah Kolonial Belanda melakukan tindakan politis tersebut adalah supaya mudah mempengaruhi serta menentukan kebijaksanaan keraton. Pemerintah Kolonial Belanda mencoba menggeser hukum Islam dan hukum Adat sebagai hukum asli di Keraton Kasunanan (T. Roorda, 1844: 3), dan menggantinya dengan hukum Barat (Belanda).

Anggapan bahwa sistem peradilan Keraton Kasunanan sudah tidak mampu memberikan jaminan stabilitas politik dan keamanan bagi rakyat serta kerugian yang timbul akibat Perang Diponegoro (1825-1830) yang disebabkan oleh keputusan Gubernur Jenderal untuk mengubah sistem pemilikan/penyewaan tanah (Larson, 1990: 9), juga menjadi alasan Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengambilalih sistem peradilan keraton. Dengan berkurangnya kekuasaan peradilan keraton, menjadikan eksploitasi oleh Pemerintah Kolonial Belanda semakin meningkat.

Pengambilalihan sistem peradilan pada tahun 1903, menjadi pertanda awal kepunahan sistem dan lembaga pengadilan tradisional Jawa. Perubahan- perubahan yang diterapkan pada kekuasaan pengadilan sangat berdampak pada pelaksanaan sistem pemerintahan keraton. Gejala perubahan yang terjadi, antara Pengambilalihan sistem peradilan pada tahun 1903, menjadi pertanda awal kepunahan sistem dan lembaga pengadilan tradisional Jawa. Perubahan- perubahan yang diterapkan pada kekuasaan pengadilan sangat berdampak pada pelaksanaan sistem pemerintahan keraton. Gejala perubahan yang terjadi, antara

Di dalam pranata hukum dan peradilan, pengambilalihan pradata dalem ini mengakibatkan dihapuskannya beberapa lembaga peradilan yang pernah dimiliki pemerintah Keraton Kasunanan. Contohnya, Pengadilan Balemangu tidak berfungsi setelah tahun 1847 (Pangreh Pradja Bond Soerakarta, 1938: 115). Sedangkan Peradilan Kadipaten Anom, yang merupakan pengadilan bagi sentana dalem , sejak pengambilalihan sistem peradilan pada tahun 1903 dialihkan pada Pengadilan Pradata Gedhe. Akibatnya pemerintah Keraton Kasunanan hanya menyelenggarakan dua jenis pengadilan. Diantaranya Pengadilan Pradata Gedhe dan Surambi .

Proses pengambilalihan sistem peradilan pada tahun 1903, setidaknya mempengaruhi kehidupan sosial di lingkungan Keraton Kasunanan. Pengaruh aspek sosial bukan hanya dirasakan oleh rakyat, golongan elit birokrasi di Keraton Kasunanan Surakarta juga merasakan dampak dari apa yang telah diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut. Dengan adanya pengambilalihan sistem peradilan oleh Belanda, maka semua kasus/perkara yang terjadi di luar Keraton Kasunanan, seperti: pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, gadai-menggadai, hutang-piutang, dsb. menjadi tanggung jawab Belanda. Raja hanya bertanggung jawab terhadap perkara yang terjadi di dalam keraton.

Dalam bidang pendidikan mulai diperkenalkan sekolah hukum meskipun yang bisa masuk hanya dari kalangan atas masyarakat keraton. Ada anggapan bahwa pendidikan hukum dipandang sebagai persiapan untuk menjadi pegawai- pegawai pemerintahan, sehingga sekolah ini banyak diminati masyarakat, terutama kaum priyayi. Sarana pendidikan hukum tersebut merupakan salah satu Dalam bidang pendidikan mulai diperkenalkan sekolah hukum meskipun yang bisa masuk hanya dari kalangan atas masyarakat keraton. Ada anggapan bahwa pendidikan hukum dipandang sebagai persiapan untuk menjadi pegawai- pegawai pemerintahan, sehingga sekolah ini banyak diminati masyarakat, terutama kaum priyayi. Sarana pendidikan hukum tersebut merupakan salah satu

Pangambilalihan ini juga berpengaruh pada tata pemerintahan keraton. Dalam konsep negara yang baik, keraton harus mempunyai tiga lembaga dalam menjalankan roda pemerintahan keraton, antara lain: lembaga perundang- undangan (badan legislatif), lembaga penyelenggara pemerintahan (badan eksekutif) dan lembaga peradilan (badan yudikatif). Namun konsep tersebut tidak berlaku dalam tata pemerintahan Keraton Kasunanan (Pangreh Pradja Bond Soerakarta, 1938: 110).

Dalam susunan kelembagaan sebagai suatu bentuk negara yang bersifat tradisional, di Keraton Kasunanan Surakarta ada lembaga pelaksana negara yang bertugas membantu Sunan dalam menjalankan roda pemerintahan. Pada masa pemerintahan Kanjeng Sunan Paku Buwana X, di Keraton Kasunanan Surakarta terdapat Raad (dewan) beserta abdi dalem yang mendampingi Sunan dalam tugas pemerintahan.

Dalam bidang pemerintahan, Penguasa Kolonial Belanda mengajukan berbagai alasan untuk menanamkan pengaruhnya. Sehingga sedikit demi sedikit, Pemerintah Kolonial Belanda mampu menguasai hampir seluruh tatanan pemerintahan di Keraton Kasunanan Surakarta. Dampak pada bidang ini adalah perubahan pada teritorial di daerah-daerah.

Dalam bidang hukum, perubahan begitu terlihat pada tata hukum dan sistem peradilan yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada dasarnya dampak di bidang ini lebih ditekankan untuk mengacu pada masalah penanggulangan tindak kejahatan dan kerusuhan yang terjadi di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta.

Dalam bidang keuangan keraton, pada masa pemerintahan Kanjeng Sunan Paku Buwana X muncul aturan keuangan keraton. Anggaran belanja keraton dipisahkan dengan pengeluaran pribadi raja. Keperluan keraton diatur dalam laporan keuangan (begrooting) yang lebih rinci sehingga pertanggung Dalam bidang keuangan keraton, pada masa pemerintahan Kanjeng Sunan Paku Buwana X muncul aturan keuangan keraton. Anggaran belanja keraton dipisahkan dengan pengeluaran pribadi raja. Keperluan keraton diatur dalam laporan keuangan (begrooting) yang lebih rinci sehingga pertanggung

Perkembangan Pradata Dalem (sistem peradilan) dan eksistensinya di Kasunanan Surakarta sangat menarik untuk diteliti, di mana bidang-bidang hukum dan peradilan di Kasunanan Surakarta selalu mengalami perubahan seiring dengan pergantian Raja-Raja di Kasunanan sehingga akhir dari tatanan hukum dan peradilan di wilayah Kasunanan diambilalih dan dikuasai Pemerintahan Kolonial Belanda. Setelah dianggap tidak mampu lagi memberi jaminan stabilitas politik dan keamanan terhadap penduduk, Pradata Dalem dihapus oleh Pemerintah Belanda dan diganti dengan sistem peradilan Barat.

Dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis dalam mengkaji mengenai sistem peradilan di Kasunanan Surakarta menggunakan judul

“Pengambilalihan Pradata Dalem 1903 (Studi Tentang Pengambilalihan Sistem Peradilan di Kasunanan) ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut :

1 Bagaimana proses berkurangnya peran Pradata Dalem Kasunanan Surakarta?

2 Bagaimana pengambilalihan Pradata Dalem tahun 1903?

3 Bagaimana dampak pengambilalihan Pradata Dalem tahun 1903 bagi Kasunanan Surakarta?

Tujuan dari penulisan ini adalah :

1 Untuk mengetahui proses berkurangnya peran Pradata Dalem Kasunanan Surakarta.

2 Untuk mengetahui pengambilalihan Pradata Dalem tahun 1903.

3 Untuk mengetahui dampak pengambilalihan Pradata Dalem tahun 1903 bagi Kasunanan Surakarta.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

a Menambah kajian tentang pengambilalihan sistem peradilan di Kasunanan.

b Memberikan sumbangan pengetahuan ilmiah yang berguna dalam rangka pengembangan ilmu sejarah.

c Dapat menambah wawasan pembaca, khususnya mahasiswa tentang sistem peradilan di Kasunanan sehingga diharapkan nantinya ada studi lebih lanjut mengenai pengambilalihan sistem peradilan di keraton lain.

2. Manfaat Praktis

a Menambah perbendaharaan referensi di Perpustakaan Program Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b Dapat memberikan motivasi kepada para sejarawan untuk selalu mengadakan penelitian ilmiah.

c Merupakan sumber referensi bagi mahasiswa Program Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang akan meneliti lebih lanjut mengenai pengambilalihan sistem peradilan di Kasunanan.

d Mencoba memberi sumbangan pemikiran bagi masyarakat mengenai pengambilalihan sistem peradilan di Kasunanan.

KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kolonialisme

Kolonialisme bangsa Belanda di Indonesia telah mengakibatkan penderitaan lahir dan batin bagi bangsa Indonesia. Menjelang akhir abad XIX, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kolonial yang serba terbelakang. Tanah jajahan merupakan obyek eksploitasi untuk diambil keuntungan sebesar- besarnya oleh penjajah. Masyarakat pribumi dijadikan obyek pengurasan bahan dasar bagi kolonialis dan daerah koloni dijadikan tempat pemasaran barang- barang industri (Suhartono, 1994: 7). Berbagai cara telah ditempuh untuk mengusir kaum penjajah, namun sejak awal tidak juga membawa hasil yang menggembirakan. Salah satu sebabnya adalah karena bangsa Indonesia belum memiliki rasa persatuan dan kesatuan.

Kolonialisme secara etimologis berasal dari kata koloni yang artinya daerah jajahan , berarti daerah menempatkan penduduk atau kelompok orang yang bermukim di daerah baru yang merupakan daerah asing dan sering jauh dari tanah air, yang tetap mempertahankan ikatan dengan tanah air atau daerah asal (Poerwadharminto, 1976: 516).

Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 77) mengemukakan bahwa kolonialisme merupakan nafsu untuk menguasai dan sistem penguasaan wilayah bangsa atau negara lain. Hal tersebut dapat diartikan sebagai nafsu untuk menguasai daerah atau bangsa lain beserta perangkat sistem yang digunakan untuk mengatur wilayah yang dikuasai.

Kansil dan Julianto (1983: 7) mengemukakan bahwa kolonialisme merupakan rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menakhlukkan bangsa lain, baik di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan. Soekarno (1947: 28) Kansil dan Julianto (1983: 7) mengemukakan bahwa kolonialisme merupakan rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menakhlukkan bangsa lain, baik di bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi dan penetrasi kebudayaan. Soekarno (1947: 28)

Kolonialisme merupakan penguasaan suatu negara atas daerah atau bangsa lain untuk memperluas negara (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 333). Selain itu, kolonialisme bertujuan untuk menanam sebagian masyarakat di luar batas atau lingkungan daerahnya. Namun usaha lainnya yang dilakuakan oleh para kolonialis yang memiliki beberapa koloni di daerah lain adalah berusaha untuk menyatukan koloninya menjadi satu sistem penguasaan. Usaha ke arah itu sering disebut sebagai imperialisme.

Suhartoyo Hardjosatoto (1985: 37) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan kolonialisme di suatu daerah atau negara jajahan akan berlainan, hal ini karena faktor obyektif dari negara jajahan yaitu berdasarkan perbedaan mengenai kekayaan alam, kemajuan teknologi maupun sistem produksi barang. Dengan demikian dapat dimaklumi bila corak penjajah menentukan sifat dan perlakuan terhadap tanah air maupun bangsa yang dijajahnya. Oleh karena itu praktek kolonialisme sangat berlainan antara daerah satu dengan daerah lainnnya.

Munculnya kolonialisme berhubungan erat dengan adanya nasionalisme eropa yang pada waktu itu dipengaruhi oleh persaingan besar dari liberalisme yang berkembang dalam masyarakat industri kapitalis sehingga tumbuh menjadi aliran yang penuh dengan emosi dan sentiment. Mereka merendahkan bangsa lain, sehingga nasionalisme eropa berhasil melahirkan kolonialisme (kuno). Kolonialisme ini (kuno) bertujuan untuk mengejar kejayaan (glory), kekayaan (gold) dan keagamaan (gospel). Namun pada sistem kolonialis kapitalis, kolonialisme bertujuan pada pengambilalihan sumber jajahan, penyediaan buruh murah pada perkebunan dan sebagai pasar hasil produksi kaum kapitalis (Noer Fauzi, 1999: 19).

Fauzi (1999: 18), kapitalisme adalah suatu cara berekonomi yang ditandai oleh: (a) pemilihan pribadi alat produksi oleh pemilik modal, (b) adanya hubungan majikan-buruh yang digaji dengan uang, (c) produksi ditujukan untuk keuntungan dan pelipat gandaan modal.

Belanda menerapkan sebuah dominasi, eksploitasi maupun diskriminasi di dalam sistem kolonialismenya di indonesia. Hal ini menyebabkan adanya jurang perbedaan antara penjajah dan kaum terjajah. Negara penjajah semakin besar dan kuat dalam hal modal, teknologi maupun kekuasaan, sedangkan bangsa yang terjajah semakin miskin dan sengsara sehingga menimbulkan sebuah ketergantungan bangsa yang terjajah terhadap kaum penjajah.

Belanda melancarkan ekspansi kekuasaan di Jawa pada abad ke-19; merupakan gerakan kolonialisme yang paling besar pengaruhnya terhadap perubahan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan di negara-negara yang mengalami penjajahan. Penetrasi Belanda ini telah mengakibatkan transformasi struktural dari politik dan ekonomi tradisional ke arah yang lebih modern (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 5).

Menurut Kansil dan Julianto (1983: 23), kolonialisme Belanda di Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) Membeda-bedakan warna kulit, (b) Menjadikan tanah jajahan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negara induk, (c) Perbaikan ekonomi sosialnya sedikit, dan (d) Jarak yang jauh antara bangsa penjajah dan bangsa terjajah.

Tujuan Belanda melakukan kolonialisme ke dunia timur (termasuk Indonesia) menurut Moedjanto (1988: 44) adalah dalam rangka memperluas pengaruh dan kekuasaan Pemerintah Belanda yang ditempuh dengan cara menyatukan seluruh wilayah kekuasaan daerah jajahan di bawah Kerajaan Belanda atau Pax Neerlandica (Perdamaian Nerlandika) yang mengandung arti penyatuan dan penentraman. Pax Neerlandica ini diciptakan oleh Gubernur

merosotnya keadaan sosial ekonomi penduduk yang hampir tak tertanggulangi. Ini semua dirasakan sebagai akibat dari sistem penjajahan asing sehingga sedikit demi sedikit mendorong timbulnya kesadaran untuk mencari jalan keluar dan mengakhirinya (Suhartoyo Hardjosatoto, 1985: 26). Pelaksanaan kolonialisme ini telah membawa penderitaan bagi masyarakat pribumi, kemiskinan dan kemelaratan terjadi di mana-mana sehingga semakin memperbesar kesenjangan sosial antara bangsa penjajah dan terjajah. Dalam kehidupan sehari-hari terdapat diskriminasi yang cukup mencolok. Situasi yang demikian merupakan tantangan bagi rakyat tanah jajahan untuk berusaha mempertahankan diri dan mengubah situasi yang ada (Kansil dan Julianto, 1983: 11). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Raymond Kennedy yang dikutip oleh Moedjanto (1988: 20-21) yang mengemukakan bahwa ciri-ciri masyarakat kolonial adalah: (a) Diskriminasi terhadap bangsa berwarna yang dianggapnya inferior (lebih rendah), (b) Subordinasi (ketaatan) politik dari bangsa pribumi terhadap kekuasaan negara jajahan, (c) Ekonomi yang tergantung kepada penjajah, (d) Kurangnya kontak sosial antara golongan rakyat dan penguasa, serta (e) Kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan sosial.

Sebagai suatu usaha untuk menguasai suatu wilayah, maka dalam kolonialisme terdapat pihak-pihak yang terkait dalam mewujudkan cita-cita menguasai wilayah itu. Menurut Soeharjo Hatmosoeprobo (1995: 55), “pihak yang terkait dalam kolonialisme terdiri dari pihak kolonialis dan penguasa lokal”. Lebih lanjut dikatakan:

Politik kolonial Belanda sampai kurang lebih tahun 1870 konsisten dengan anggapan umum di negeri Belanda bahwa tanah koloni, khususnya Jawa, adalah produsen komoditi agraris untuk ekspor. Oleh karena itu, untuk mewujudkan cita-cita menguasai Jawa, maka pihak kolonialis mengadakan pendekatan dengan penguasa lokal, dalam hal ini bupati, untuk membantu usaha itu. Tentu saja dengan satu kompensasi bahwa kekuasaan mereka adalah aman (Soeharjo Hatmosoeprobo, 1995: 55).

penguasa merupakan akibat dari penetrasi yang dilakukan Belanda. Belanda telah menegakkan hegemoni politik terhadap penguasa lokal dalam menerapkan sistem kolonialisme nya. Dalam konteks ini, kolonialisme Belanda adalah hegemoni politik terhadap bangsa Indonesia yang masih menerapkan pemerintahan sederhana dengan menempatkan penguasa tradisional sebagai pimpinannya.

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Ada banyak tokoh yang mengemukakan teori hegemoni, antara lain Antonio Gramsci, John Storey dan Vladimir Lenin (http://mye- learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).

Hegemoni merupakan sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral (http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).

Antonio Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa Antonio Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa

John Storey (1869-1921) mengemukakan hegemoni sebagai sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan “kepemimpinan” moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada (http://mye-learningclass.blogspot.com diakses tanggal 2 Juli 2011).