Hubungan antara stres kronis pasca letusan gunung merapi dengan penurunan libido seksual pada pria

  HUBUNGAN ANTARA STRES KRONIS PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI DENGAN PENURUNAN LIBIDO SEKSUAL PADA PRIA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran MAULIA PRISMADANI G0008126 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seksualitas merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Seksualitas didefinisikan sebagai kualitas manusia, perasaan paling dalam,

  akrab, intim dari lubuk hati paling dalam, dapat berupa pengakuan, penerimaan dan ekspresi diri manusia sebagai makhluk seksual (Salbiah, 2003). Seksualitas dan perasaan seksual manusia dimulai jauh sebelum bayi lahir dan terus berlangsung hingga kehidupannya berakhir (Yuliadi, 2011).

  Menurut Pangkahila dalam Agung (2009), seksualitas dalam perkawinan mempunyai empat dimensi, yaitu prokreasi, rekreasi, relasi, dan institusi.

  Tahap pertama dari total empat aktivitas seksual sebelum ereksi, ejakulasi dan orgasme adalah gairah seks atau libido (Andhika, 2010). Libido didefinisikan sebagai kebutuhan untuk aktivitas seksual (dorongan seksual) dan sering dinyatakan sebagai perilaku mencari seks (Fouad et al., 2001).

  Libido atau gairah seksual merupakan “bahan bakar” dari aktivitas seksual. Tanpa libido seksual, hubungan seksual kurang berkualitas.

  Banyak orang mengira libido ditimbulkan oleh hormon, padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Menurut Dr. Alex Pangkahila, Ph.D, libido pada manusia lebih dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu faktor kejiwaan, fisik, lingkungan, dan pengalaman seksual (Andika, 2009). Jika libidonya juga akan normal. Sebaliknya, libido dapat terganggu jika salah satunya terganggu.

  Beberapa hasil penelitian telah menemukan hubungan antara kondisi jiwa dengan gangguan libido seksual. Sebuah studi wawancara terstruktur melaporkan bahwa 55 % laki-laki dengan hasrat seksual rendah memiliki riwayat depresi berat, 12 % melaporkan peningkatan hasrat seksual dalam kondisi stres, sedangkan 51 % melaporkan penurunan hasrat seksual dalam kondisi stres (Brotto, 2010). Keadaan stres dapat bersumber pada frustasi, konflik, tekanan, atau krisis. Salah satu bentuk frustasi yang datangnya dari luar adalah bencana alam (Maramis, 2005a).

  Bencana alam yang baru-baru ini terjadi di Indonesia adalah letusan Gunung Merapi yang terletak di empat kabupaten, yaitu Magelang, Boyolali, Klaten di Jawa Tengah dan Sleman di Yogyakarta (Muhammad, 2011). Salah satu permasalahan yang timbul di kalangan pengungsi adalah permintaan pembuatan “bilik asmara” bagi para pengungsi untuk memenuhi kebutuhan seksual suami istri (Kurniawan, 2010). Letak hunian sementara para pengungsi yang terlalu berdekatan satu sama lain menyebabkan ketidaknyamanan dalam melakukan hubungan suami istri. Fungsi keberadaan “bilik asmara” di kalangan pengungsi sendiri masih dipertanyakan. Di tengah- tengah bencana alam dengan tingkat stressor yang tinggi apakah keberadaan “bilik asmara” untuk memenuhi kebutuhan seksual suami istri tersebut benar- benar diperlukan.

  Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk menggali hubungan antara stres kronis yang terjadi pasca letusan Gunung Merapi dengan terjadinya penurunan libido seksual pada pria.

  B. Rumusan Masalah

  Apakah terdapat hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria? C.

   Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Aspek teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai stres kronis pasca bencana alam dan penurunan libido seksual.

  2. Aspek praktis Jika diperoleh hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria maka diharapkan hasil penelitian ini berguna sebagai bukti ilmiah untuk dilakukannya tindakan preventif dan pengobatan dari aspek psikis terhadap korban letusan Gunung Merapi.

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Libido Seksual a. Definisi Menurut Sigmund Freud, unsur seksual sangat dipengaruhi

  oleh adanya suatu energi vital yang dinamakan libido. Pengertian libido itu sendiri adalah energi vital yang sepenuhnya bersifat kejiwaan dan tidak bisa dicampurkan dengan energi-energi fisik yang bersumber pada kebutuhan-kebutuhan biologis, libido bersumber pada seks (Sarwono, 2002a).

  Freud mengemukakan bahwa manusia terlahir dengan sejumlah insting (naluri). Insting-insting itu dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu insting hidup (life instinct) dan insting mati (death instinct). Insting hidup adalah naluri untuk mempertahankan hidup dan keturunan, sedangkan insting mati adalah naluri yang menyatakan bahwa pada suatu saat seseorang itu akan mati. Mengenai insting hidup jelas dinyatakan sebagai insting seksual dan energi-energi yang berasal dari insting seksual inilah yang disebutnya sebagai libido atau dapat diartikan sebagai insting seksual (Sarwono, 2002b).

  Insting-insting seksual mula-mula memang berkaitan erat dengan bagian-bagian tubuh tertentu, yaitu bagian-bagian tubuh yang dapat menimbulkan kepuasan seksual. Bagian-bagian tubuh itu disebut daerah-daerah erogen (erogenous zones), yaitu mulut, anus (pelepasan), dan alat kelamin. Namun, dengan berkembangnya sistem kejiwaan manusia, rasa puas atau ketegangan-ketegangan (tension) yang berasal dari daerah-daerah erogen ini lama-kelamaan terlepas dari kaitannya dengan tubuh dan menjadi dorongan-dorongan yang berdiri sendiri sendiri (Sihite, 2010).

  Dalam tahapan perkembangan psikoseksual individu sendiri dibagi ke dalam dua alur besar, dimana alur besar yang pertama disebut tingkat pragenital yang terdiri dari tingkat oral, anal dan falik. Sedangkan alur besar yang kedua terbagi ke dalam tingkat laten dan tingkat genital (Sarwono, 2002c). Selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut: 1) Tingkat oral, pada tahapan ini berlangsung pada usia bayi satu hari hingga satu tahun. Dalam fase ini pusat kenikmatan bersumber pada daerah tubuh sekitar mulut;

  2) Tingkat anal, terjadi pada usia satu tahun hingga empat tahun, perkembangan psikoseksual pada masa ini dibagi menjadi dua tahap yaitu, tahap anal eksklusif, di mana anak mendapatkan kepuasan seksual dari proses buang air besar, sedangkan tahap selanjutnya disebut tahap anal alternatif di mana anak mendapatkan kepuasan seksual dengan menahan tinja dalam perut;

  3) Tingkat falik, terjadi pada usia empat sampai dengan enam tahun inti dari perkembangan psikoseksual pada masa ini adalah kompleks oedipoes. Kompleks oedipoes berarti cinta seorang anak laki-laki kepada ibunya atau cinta seorang anak perempuan kepada ayahnya. Di samping itu, tanda- tanda pada periode ini antara lain, meningkatnya kegiatan masturbasi, meningkatnya keinginan untuk bersentuhan tubuh dengan anggota keluarga yang berlawanan jenis, dan meningkatnya kecenderungan ekshibisionis;

  4) Tingkat laten, adalah masa konsolidasi dalam perkembangan psikoseksual. Tidak ada perkembangan atau pertumbuhan baru. Mekanisme-mekanisme pertahanan seksual yang sudah ada dimanfaatkan untuk penyesuaian diri terhadap lingkungan, tetapi tidak ada mekanisme- mekanisme baru yang dibentuk;

  5) Tingkat genital, adalah penghubung antara masa anak-anak dan dewasa. Ada tiga tahapan pada tahap ini yaitu, tahap prapuber ditandai dengan meningkatnya kembali dorongan libido, tahap puber yaitu ditandai dengan pertumbuhan fisik, khususnya tanda-tanda seksual sekunder dan kemampuan organik (ereksi), selanjutnya adalah tahap adaptasi di mana remaja bersangkutan menyesuaikan diri terhadap dorongan-dorongan seksual dan perubahan- perubahan kondisi fisik yang tiba-tiba mengarah pada bentuk kematangan fisik ke arah tahap individu dewasa.

b. Fisiologi Libido Seksual Sedikit yang diketahui tentang dasar fisiologi libido.

  Namun, diduga faktor-faktor seperti pengalaman seksual, latar belakang perkembangan otak, faktor psikososial dan aktivasi reseptor dopaminergik saraf tulang belakang serta hormon gonad ikut berperan dalam pengaturan hasrat seksual pada pria (Fouad

  et al ., 2001). Beberapa bukti menunjukkan bahwa peran

  neurotransmiter dopaminergik sentral sangat mendukung stimulus perilaku seksual dan ereksi pada pria. Selanjutnya, pengeluaran testosteron dari kopulasi distimulus oleh peningkatan jumlah dopamin di daerah preoptik medial melalui pengaturan sintesis NO (Fouad et al., 2001).

  Peran aktivitas dopaminergik untuk stimulus perilaku seksual pada manusia didukung oleh sejumlah hasil pengamatan seperti (1) penggunaan dopamine agonis bromocriptine

  apomorphine dan pergolide mesylate sering menimbulkan ereksi

  penis secara spontan, (2) penggunaan levodopa prekursor dopamin dikaitkan dengan peningkatan libido, ereksi spontan, atau munculnya emisi nokturnal pada 20-30 % pasien Parkinson yang dirawat dengan agen tersebut, dan (3) penggunaan agen farmakologis dengan efek antidopaminergik berkaitan dengan penurunan libido dan disfungsi ereksi (Fouad et al., 2001).

  Namun, agen farmakologis yang digunakan bisa merangsang atau menghambat sistem lain termasuk adrenergik, kolinergik, serotoninergik, dan histaminik yang dapat menurunkan libido melalui penghambatan sumbu hipotalamus-hipofisis-gonad atau penghambatan aktivitas 5- α-reduktase (Fouad et al., 2001).

  Peran androgen dalam mengatur perilaku seksual pada laki- laki telah dibuktikan oleh Mooradian dalam Fouad (2001). Kadar serum testosteron yang tinggi berkaitan dengan aktivitas seksual yang lebih besar dan juga dapat mempersingkat latensi ereksi melalui perangsangan erotis. Penarikan terapi androgen pada pria hipogonadisme menyebabkan penurunan libido dalam 3-4 minggu dan disfungsi ereksi.

  Dua hormon androgen yang mempengaruhi hasrat seksual pria adalah testosteron (T) dan prolaktin (PRL). Segrave dan Balon memperkirakan 200 – 350 mg/dL hormon testosteron dibutuhkan untuk fungsi seksual normal. Pada keadaan terangsang, hormon testosteron pria meningkat dengan cepat dari 10 hingga 35 nmol/L (atau sekitar 300 – 1000 mg/dL) (Windhu, 2009a).

  Hormon testosteron pada pria terutama berasal dari testis, tetapi dalam jumlah kecil berasal dari korteks adrenal. Kontrol produksi hormon testosteron dimulai dari dalam hipotalamus yang mensekresi GnRH. Gonadotropin-releasing hormone kemudian menstimulus bagian anterior dari hipofisis untuk menghasilkan baik LH maupun FSH yang bereaksi pada sel-sel di dalam testis. Leutinizing hormone menyebabkan sel-sel Leydig menghasilkan testosteron dan FSH menginduksi sel-sel Sertoli untuk menghasilkan spermatozoa. Pada pria usia lanjut, fungsi baik testis maupun aksis hipotalamus-hipofisis berkurang, yang mempengaruhi produksi hormon testosteron yang juga berkurang (Windhu, 2009a).

  Prolaktin adalah hormon yang dihasilkan oleh hipofisis anterior dan sekresi dipengaruhi oleh hipotalamus melalui

  hypothalamic prolactininhibiting hormone (PIH) dan putative prolactin-releasing hormone (PRH). Penurunan PRL pada pria

  dan wanita menyebabkan berkurangnya hasrat seksual dan juga kemungkinan masalah ereksi dan ejakulasi (Windhu, 2009a).

c. Perilaku Seksual pada Pria

  1) Ereksi Ereksi merupakan pengerasan penis yang dalam keadaan normal lemas yang memungkinkannya masuk ke vagina.

  Ereksi tidak disebabkan oleh kontraksi otot-otot rangka di dalam penis, tetapi akibat pembengkakan penis oleh darah. Penis sebagian besar terdiri dari jaringan erektil yang terdiri dari tiga kolom ruang-ruang vaskuler seperti spons yang berjalan di sepanjang organ. Apabila tidak terjadi rangsangan seksual, jaringan erektil hanya berisi sedikit darah karena arteriol dalam keadaan konstriksi. Akibatnya penis tetap kecil dan lemas. Selama perangsangan seksual, arteriol-arteriol itu berdilatasi dan jaringan erektil terisi oleh darah, sehingga penis membesar baik panjang maupun lebarnya serta menjadi lebih keras (kaku). Penimbunan darah ini dan peningkatan ereksi terjadi karena penurunan aliran darah vena. Vena-vena yang mendapat darah dari jaringan erektil tertekan akibat pembengkakan yang ditimbulkan oleh peningkatan aliran masuk darah arteri. Respons ini mengubah penis menjadi organ yang mengeras dan memanjang serta mampu masuk menembus vagina (Sherwood, 2002). Refleks ereksi adalah suatu reaksi spinal yang dipicu oleh stimulasi mekanoreseptor yang sangat peka di glans penis, yang menutupi ujung penis. Hal ini memicu peningkatan aktivitas parasimpatis dan penurunan aktivitas simpatis ke arteriol-arteriol penis, sehingga terjadi vasodilatasi dan ereksi (Sherwood, 2002).

  2) Ejakulasi Seperti ereksi, ejakulasi dilakukan oleh refleks spinal.

  Rangsangan taktil dan psikis yang memicu ereksi akan menyebabkan ejakulasi jika tingkat perangsangan menguat sampai ke puncak. Respon ejakulasi berlangsung dalam dua fase, yaitu emisi dan ekspulsi. Fase emisi merupakan pengosongan sperma dan sekresi kelenjar seks tambahan (semen) ke dalam uretra. Sedangkan ekspulsi merupakan penyemprotan dengan kuat dan ekspulsif semen dari penis (Sherwood, 2002).

d. Peran Hormon Seks

  Androgen, khususnya testoren, diperlukan, meskipun tidak mutlak, untuk timbulnya nafsu seks pada laki-laki. Namun pada laki-laki dengan fungsi gonad normal, ternyata tidak ada korelasi antara kadar testosteron darah dengan nafsu berahi, kegiatan seks, ataupun fungsi ereksi (Setiadji, 2006).

  Pada laki-laki yang mengalami kastrasi yang menurunkan kadar testosteron sampai 90 %, atau oleh sebab lain yang menyebabkan menurunnya kadar androgen, secara umum terjadi penurunan libido dan kadang-kadang berkurangnya fungsi ereksi dan ejakulasi (Setiadji, 2006). Pemberian testosteron mengembalikan timbulnya nafsu seks dan kegiatan seksual pada penderita hipofungsi gonad dan kastrasi laki-laki dewasa. Bila dilakukan kastrasi pada manusia, gejala yang timbul dapat bervariasi dari hilangnya sama sekali libido sampai kegiatan seks yang normal (Setiadji, 2006).

2. Gangguan Libido Seksual a. Definisi

  Gangguan hasrat seksual didefinisikan sebagai tidak adanya atau berkurangnya rasa ketertarikan atau hasrat seksual. Dalam hal ini tidak ada pikiran atau fantasi seksual dan respons terhadap hasrat seksual tersebut. Motivasi sebagai faktor pendorong untuk berusaha membangkitkan gairah seksual jarang atau bahkan tidak ada. Hilangnya ketertarikan atau kurangnya hasrat seksual berhubungan dengan model respons seksual manusia (Windhu, 2009b).

b. Klasifikasi Gangguan Libido Seksual

  Secara umum gangguan seksual diklasifikasikan di dalam edisi keempat The Text Revision dari Diagnostic and Statistical

  Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR). Satu bagian di dalam DSM-IV-TR diberi judul ”Sexual and Gender Disorders”.

  Gangguan seksual yang berhubungan dengan siklus respons seksual (Sex Response Cycle = SRC) membagi gangguan ini menjadi tiga bagian, yaitu hasrat atau desire, rangsangan/respons seksual, dan orgasme, dengan gangguan masing-masing (Windhu, 2009b).

  DSM-IV-TR kategori Sexual and Gender Disorder dibagi menjadi tiga bagian, satu di antaranya adalah disfungsi seksual.

  Satu dari kelompok disfungsi seksual adalah gangguan hasrat seksual (Sexual Desire Disorder = SDD), yang meliputi dua bagian (1) gangguan hasrat seksual hipoaktif (Hypoactive Sexual

  Desire Disorder = HSDD) dan (2) gangguan ketidakinginan

  terhadap seks (Sexual Aversion Disorder = SAD) (Windhu, 2009b).

  c. Faktor yang Menyebabkan Gangguan Libido Seksual

  Gangguan hasrat/keinginan seksual (SDD) pada pria dapat diakibatkan oleh endocrinopathy yang berhubungan dengan libido. Gangguan hasrat seksual ini dapat disebabkan karena faktor usia. Gangguan ini bisa jadi merupakan bagian dari gangguan psikologis, seperti depresi, gangguan ketakutan, dan efek samping narkoba. Memahami problem gangguan hasrat seksual pria dari sisi etiologi sangatlah kompleks karena melibatkan aspek biologis, psikologis, dan antarpersonal (Setiadji, 2006).

  d. Diagnosis Penurunan Libido Seksual

  Deskripsi HSDD di dalam DSM-IV-TR, terdapat tiga kriteria untuk melakukan diagnosis (1) defisiensi atau ketiadaan fantasi seksual dan hasrat untuk aktivitas seksual, (2) adanya distres atau kesulitan dalam hubungan antarpersonal, dan (3) gangguan sebagai akibat kondisi medis atau kejiwaan atau akibat kekerasan seksual (Windhu, 2009b).

e. Penanganan Penurunan Libido Seksual

  Penanganan gangguan hasrat seksual hipoaktif pada pria dilakukan terutama dengan terapi hormon. Terapi hormon ini khususnya dilakukan pada seorang yang menderita hipothyroidisme, hiperprolaktinemia, dan hipogonadisme.

  Hipothyroidisme telah diketahui berhubungan dengan penurunan libido seksual. Perubahan ke arah euthyroid mempunyai korelasi dengan peningkatan libido. Hasrat seksual yang rendah akibat kelelahan dapat dilakukan dengan mencari gejala hiperprolaktinemia (Windhu, 2009c).

  Rekomendasi lain adalah dengan mencoba mengubah kadar serum testosteron ke normal. Beberapa terapi dapat dilakukan, meliputi pemberian 75-100 mg testosterone enanthate atau

  cyprioate yang diberikan setiap minggu, 1 – 2 tablet 5 mg

  testosteron tiap malam, 5 – 10 mg gel testosteron yang diberikan tiap hari, 30 mg tablet bioadhesive buccal testosterone yang diberikan setiap 12 jam. Namun, terapi ini tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu lama. Efek samping testosteron adalah hipertropi prostat, meningkatnya erithropoiesis, ginekomastia, dan retensi cairan yang dapat mengakibatkan hipertensi dan kerusakan kardiovaskuler (Windhu, 2009c).

3. Stres a. Definisi

  Stres merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal maupun eksternal. Sedangkan stresor adalah kejadian, situasi, seseorang atau suatu objek yang dilihat sebagai unsur yang menimbulkan stres dan menyebabkan reaksi stres sebagai hasilnya (Suyono, 2002).

  Definisi stres yang paling sering digunakan adalah definisi Lazarus dan Launier dalam Yuliadi (2010a) yang menitikberatkan pada hubungan antara individu dengan lingkungannya. Stres merupakan konsekuensi dari proses penilaian individu, yakni pengukuran apakah sumber daya yang dimilikinya cukup untuk menghadapi tuntutan dari lingkungan.

  Maramis (2005a) mendefinisikan stres sebagai segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri yang mengganggu, dan jika tidak dapat diatasi dengan tuntas dapat menimbulkan gangguan ragawi maupun gangguan jiwa.

  Stres dibedakan menjadi dua yaitu stres yang merugikan dan merusak yang disebut distres, dan stres yang positif dan menguntungkan, yang disebut eustres. Setiap individu mempunyai reaksi yang berbeda terhadap jenis stres, dalam kenyataannya stres menyebabkan sebagian individu menjadi putus asa tetapi bagi individu lain justru dapat menjadi dorongan baginya untuk lebih baik. Stres akan berpengaruh negatif apabila kemampuan adaptasinya kurang atau stresor yang ada terlalu besar atau melampaui batas kemampuan adaptasinya (Tanumidjojo et al., 2004).

b. Penyebab Stres

  Smet dalam Umam (2010) menyimpulkan bahwa stres dapat bersumber dari: 1) Penilaian kognitif (cognitive appraisal)

  Stres adalah pengalaman subyektif yang didasarkan atas persepsi terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak di lingkungan. 2) Pengalaman (experience)

  Suatu situasi yang tergantung pada tingkat keakraban dengan situasi, keterbukaan semula (previous exposure), proses belajar, kemampuan nyata dan konsep reinforcement.

  3) Tuntutan (demand) Tekanan, keinginan, atau rangsangan-rangsangan yang segera sifatnya yang mempengaruhi cara-cara tuntutan yang dapat diterima.

  4) Pengaruh interpersonal (interpersonal influence) Ada tidaknya seseorang, faktor situasional dan latar belakang mempengaruhi pengalaman subjektif, respon dan perilaku coping. Hal ini dapat menimbulkan akibat positif dan negatif. Kehadiran orang lain dapat menimbulkan sumber kekacauan dan kegalauan yang tidak diinginkan, tetapi bisa juga merupakan sesuatu yang dapat memberikan dukungan, meningkatkan harga diri, memberikan konfirmasi nilai-nilai dan identitas personal. Melalui pengalaman belajar dapat dicapai peningkatan kesadaran dan pemahaman akibat stres yang potensial.

  5) Keadaan stres (a state of stress) Ini merupakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan untuk menemukan tuntutan tersebut. Proses yang mengikuti keadaan stres ini merupakan proses coping serta konsekuensi dari penerapan strategi coping. Coping sendiri diartikan sebagai usaha meningkatkan sumber daya pribadi dalam mengendalikan dan mengurangi situasi yang menekan. (Heiman et al., 2005)

c. Fisiologi Stres

  Guyton dan Hall (2007) menerangkan bahwa stres fisik atau mental dapat berdampak pada meningkatnya respon simpatis pada tubuh, keadaan ini biasa disebut respon stres simpatis. Sistem simpatis dapat teraktivasi dengan kuat pada berbagai keadaan emosi, contohnya pada keadaan marah ataupun kecewa, sehingga timbul rangsangan terhadap hipotalamus, sinyal-sinyal yang dijalarkan ke bawah melalui formatio retikularis otak dan masuk ke medula spinalis akan menyebabkan pelepasan impuls simpatis yang masif, dan terjadi respon simpatis sebagai berikut: 1) Peningkatan tekanan arteri 2) Peningkatan kekuatan otot serta aliran darah ke otot dan terjadi penurunan aliran darah ke organ, terutama gastrointestinal dan ginjal

  3) Peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh 4) Peningkatan konsentrasi glukosa darah dan proses glikolisis di hati dan otot 5) Peningkatan kecepatan koagulasi darah dan aktivitas mental.

  Guyton dan Hall (2007) juga menambahkan bahwa secara fisiologis hampir semua jenis stres ditandai dengan peningkatan hormon kortisol dalam darah. Dalam waktu beberapa menit saja sudah dapat meningkatkan sekresi ACTH dan akibatnya sekresi kortisol juga akan sangat meningkat, bahkan dapat mencapai 20 kali lipat dari keadaan normal. Selain stres mental, terdapat pula banyak penyebab stres fisik nonspesifik yang dapat merangsang peningkatan kecepatan sekresi kortisol secara bermakna oleh korteks adrenal, antara lain: 1) Hampir semua jenis trauma, termasuk tindakan pembedahan 2) Infeksi 3) Kepanasan atau kedinginan yang hebat 4) Penyuntikan norepineprin dan obat-obatan simpatomimetik lainnya 5) Penyuntikan bahan yang bersifat nekrolisis di bawah kulit 6) Mengekang tubuh hingga tidak bisa bergerak

  Kortisol sebagai produk dari glukokortioid korteks adrenal yang dihasilkan pada zona fasikulata dan zona retikularis dapat mempengaruhi metabolisme protein, karbohidrat, dan lipid. Pada tahap selanjutnya kortisol juga akan berpengaruh terhadap keseimbangan metabolisme tubuh seluruhnya. Pada stres yang berkepanjangan metabolisme tubuh menyimpang dari fungsi normal, sehingga dapat berdampak pada kesehatan yang menurun (Guyton dan Hall, 2007).

  Sekresi ACTH diatur secara umpan balik oleh steroid yang beredar, pada manusia kortisol adalah regulator yang penting.

  Kortisol bebas di dalam darah memiliki umpan balik negatif terhadap pelepasan hormon pelepas kortikotropin (corticotropin atau CRH) dari hipotalamus dan terhadap

  releasing hormone kortikotrof hipofisis. CRH turun melalui vena-vena sistem portal hipofisis ke hipofisis anterior dan memicu sekresi ACTH (Guyton dan Hall, 2007).

  Respons CRH terhadap umpan balik negatif mengikuti irama diurnal, sehingga pada pagi hari ACTH dan kortisol dalam jumlah yang lebih besar dan lebih kecil menjelang malam hari. Nilai rujukan untuk harga normal kortisol berbeda antara pemeriksaan yang dilakukan pada pagi hari dan sore hari. Pada pagi hari nilai rujukan normal untuk kortisol antara 5-25 µg/dl, sementara untuk sore hari nilai rujukan normalnya antara 2,5- 12,5 µg/dl. Pemeriksaan kadar kortisol darah dapat digunakan sebagai prediktor stres yang terjadi pada seseorang (Guyton dan Hall, 2007).

d. Reaksi Tubuh terhadap Stres

  Hans Seyle (dalam Suyono, 2002), merancang suatu konsep mengenai reaksi tubuh terhadap stres yang disebut dengan respons adaptasi umum terhadap stres. Konsep ini menggambarkan respons tubuh terhadap stres menjadi tiga tahapan dasar yaitu: 1) Tanggapan terhadap bahaya (alarm reaction)

  Terjadi saat mulai terasa ancaman atau sesuatu yang tidak nyaman, biasanya muncul reaksi darurat “fight or flight”.

  2) Tanggapan fisik atau tahap perlawanan (stage of resistance) Tidak sehebat reaksi pertama tetapi reaksi hormonal tubuh masih tinggi, secara nyata dilakukan upaya penanganan terhadap stres yang terjadi, bisa dengan “coping” bisa juga dengan “fighting”, apabila stresor dapat ditiadakan tubuh akan kembali ke kondisi normal. 3) Tahap kelelahan (stage of exhaustion), pada tahap ini tubuh tidak lagi memberikan respon terhadap stres karena kepayahan, kehabisan energi. Kondisi ini berbahaya karena mekanisme pertahanan tubuh telah menyerah, jika berlanjut cukup lama maka individu akan terserang dari “penyakit stres”, seperti migrain kepala, denyut jantung yang tidak teratur, atau bahkan sakit mental seperti depresi. Ketiga tahapan ini tidak selalu terjadi pada setiap manusia yang mengalami stres karena tergantung pada daya tahan mental setiap individu.

e. Derajat Stres

  Menurut Hawari dalam Sriati (2008) stres timbul secara lambat dan tidak disadari kapan munculnya. Adapun derajat stres menurut Hawari dalam Sriati (2008) dibagi ke dalam 6 tingkatan, yaitu:

  1) Stres tingkat I Merupakan tahap ringan, biasanya disertai semangat yang besar, penglihatan tajam tidak seperti biasanya, gugup yang berlebihan. Pada tahap ini biasanya menyenangkan namun tanpa disadari cadangan energinya menipis.

  2) Stres tingkat II Pada tahap ini mulai muncul keluhan karena cadangan energi tidak cukup lagi untuk sepanjang hari. Keluhannya antara lain letih pada waktu pagi hari, lelah setelah makan siang dan menjelang sore serta ada gangguan otot dan pencernaan. 3) Stres tingkat III

  Tahap ini gejala semakin terasa dan mulai mengalami gangguan tidur, dan rasa ingin pingsan. Pada tahap ini sebaiknya penderita berkonsultasi dengan dokter. 4) Stres tingkat IV

  Tahap ini keadaan semakin memburuk yang ditunjukkan oleh kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit, konsentrasi menurun, sulit tidur, dan ada rasa takut yang tak terdefinisikan.

  5) Stres tingkat V Keadaan ini merupakan kelanjutan dari tahap IV, gejala yang muncul makin berat.

  6) Stres tingkat VI Pada tahap ini penderita harus dibawa ke ICCU, karena gejalanya sangat membahayakan seperti jantung berdebar sangat keras karena zat adrenalin yang dihasilkan karena stres cukup tinggi, sesak nafas, badan gemetar, tubuh dingin dan berkeringat, tenaga tidak ada sama sekali bahkan tak jarang pingsan.

f. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres

  Ada tiga faktor utama yang menurut beberapa ahli menyebabkan timbulnya stres, yaitu: 1) Faktor biologik

  Faktor ini berasal dari adanya kerusakan atau gangguan fisik atau organ tubuh individu itu sendiri. Misalnya: terganggunya pola normal dari aktivitas fisiologis, infeksi, serangan berbagai macam penyakit, kurang gizi, kelelahan dan cacat tubuh (Sue et al., dalam Yuliadi, 2010a; Maramis, 2005b).

  2) Faktor psikologik Faktor ini berhubungan dengan keadaan psikis individu.

  Dikatakan bahwa sumber-sumber stres psikologik itu dapat berupa: a) Frustrasi, timbul bila ada aral melintang antara keinginan individu dan maksud atau tujuan individu.

  Ada frustasi yang datang dari luar, misalnya: bencana alam, kecelakaan, kematian seseorang yang dicintai, norma-norma dan adat-istiadat. Sebaliknya frustrasi yang berasal dari dalam individu, seperti: cacat badaniah, kegagalan dalam usaha dan moral sehingga penilaian diri sendiri menjadi tidak enak, merupakan frustrasi yang berhubungan dengan kebutuhan rasa harga diri (Maramis, 2005b).

  b) Konflik, bila orang/individu tidak tahan memilih antara dua atau lebih macam kebutuhan atau tujuan.

  Misalnya: memilih mengurus rumah tangga atau aktif di kegiatan kantor (Maramis, 2005b).

  c) Tekanan, yaitu sesuatu yang dirasakan menjadi beban bagi individu. Tekanan dari dalam dapat disebabkan individu mempunyai harapan yang sangat tinggi terhadap dirinya namun tidak disesuaikan dengan kemampuannya sendiri atau tidak mau menerima dirinya dengan apa adanya, tidak berani atau bahkan terlalu bertanggung jawab terhadap sesuatu tetapi dilakukan secara berlebih-lebihan. Tekanan dari luar, misalnya: atasan di kantor menuntut pekerjaan cepat diselesaikan sementara waktu yang disediakan sering mendesak (Sue et al., dalam Yuliadi, 2010a; Maramis, 2005b).

  d) Krisis, bila keseimbangan yang ada terganggu secara tiba-tiba sehingga menimbulkan stres yang berat. Hal ini bisa disebabkan oleh kecelakaan, kegagalan usaha ataupun kematian (Maramis, 2005b).

  3) Faktor sosial Faktor ini berkaitan dengan lingkungan sekitar, seperti pergaulan dan kegiatan sosial dalam masyarakat (Sue et al., dalam Yuliadi, 2010a; Maramis, 2005b).

g. Pengukuran Stres

  Selain dari gejala fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium terhadap kadar kortisol, stres dapat di screening dengan General

  Health Quesionnaire (GHQ). GHQ dapat digunakan untuk

  mengukur tingkat stres, GHQ adalah sebuah instrumen screening dengan model self administration. GHQ dirancang untuk melihat 4 elemen stres yang teridentifikasi: depresion, anxiety, social

  impairment, dan hipochondriasis (terutama diindikasikan oleh symtomp organic ). GHQ tidak cenderung untuk mendeteksi

  beberapa kondisi sakit seperti depresi schizofrenia atau psikotik. Versi dasar dari GHQ terdiri atas 60 item dari Goldberg (dalam Yuliadi, 2010a) merekomendasikan untuk menggunakan semua item sebisa mungkin karena inilah validitas superior.

  Menurut Goldberg (dalam Yuliadi, 2010a) ada beberapa versi GHQ yang telah dikembangkan, yaitu GHQ-60, GHQ-30, GHQ-20 dan GHQ-12. Goldberg merekomendasi untuk menggunakan seluruh item GHQ jika memungkinkan, yaitu 60 item dengan pilihan jawaban ya atau tidak. Kuesioner ini telah teruji reliabilitas dan validitasnya. Reliabilitas diukur dengan beberapa teknik, yaitu: korelasi testretest setelah 6 bulan adalah 0,90 (N= 20) ketika stabilitas dari pasien dikonfirmas melalui sebuah pengujian psychiatric terstandard untuk 65 pasien lain yang menentukan kondisi diri sendiri seperti diingatkan “sesuatu yang sama” koefisien retestnya adalah 0,75. Reliabilitas split-half pada versi 60 item adalah 0,95 untuk 853 responden.

  Studi reliabilitas terhadap instrumen ini telah dilakukan di beberapa negara dan telah menggunakan prosedur pembanding yang terarah. Goldberg telah memberikan tabel rangkuman empat studi yang membandingkan GHQ-60 dengan interview psikiatrik terstandard yang dikembangkan lainnya (lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut):

Tabel 2.1 Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas GHQ

  dengan Kuesioner Screening Stres yang Lain Sensitivity (%) Specivicity (%)

  GHQ 60 95,7 87,8 GHQ 30 85,0 79,5 Cornell Index 73,8 81,7 HOS (Macmillian) 75-84 54-68 22-Item Scale (Langner) 73,5 17,8

  (Goldberg dalam Yuliadi, 2010a) Interpretasi hasil dari GHQ bernilai positif untuk stres jika minimal didapatkan nilai 12 poin dari 60 item pertanyaan GHQ, setiap jawaban “ya” dinilai sebagai 1 poin (Goldberg dalam Yuliadi, 2010a).

4. Letusan Gunung Merapi

  Secara geografis dan demografis Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana, baik bencana alam (natural disaster) maupun bencana karena ulah manusia (man-made disaster). Bencana alam yang terjadi antara lain gempa bumi (karena Indonesia dilewati lempeng kerak Hindia Australia, Pasifik, dan Eurasia) dan tsunami yang biasanya menyertai gempa bumi, banjir (akibat dari banyaknya sungai), gunung meletus (hampir semua pulau di Indonesia terdapat gunung berapi), tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lain-

  Bencana alam yang baru-baru ini terjadi di Indonesia adalah letusan Gunung Merapi yang terletak di empat kabupaten, yaitu Magelang, Boyolali, Klaten di Jawa Tengah dan Sleman di Yogyakarta (Muhammad, 2011). Salah satu permasalahan yang timbul di kalangan pengungsi adalah permintaan pembuatan “bilik asmara” bagi para pengungsi untuk memenuhi kebutuhan seksual suami istri (Kurniawan, 2010).

  Seringkali bencana datang secara mendadak yang menimbulkan situasi stres berat yang datang bersamaan, antara lain ketidakberdayaan individu, hancurnya struktur kehidupan sehari-hari, kerusakan materi, dan kehilangan sanak keluarga. Tidak jarang orang-orang ini harus mengungsi dan beradaptasi dengan tempat yang baru. Keadaan ini menimbulkan stres (Departemen Kesehatan RI, 2006).

5. Hubungan Stres Kronis Pasca Letusan Gunung Merapi dengan Penurunan Libido Seksual pada Pria

  Masyarakat korban letusan Gunung Merapi akan menghadapi

  stressor sosioekonomi yang besar, seperti kehilangan tempat tinggal,

  keluarga, pekerjaan, dan sebagainya. Kondisi tersebut yang berlangsung lama dapat menimbulkan stres kronis di kalangan korban bencana alam. Secara fisiologis, hampir semua jenis stres ditandai dengan adanya peningkatan hormon kortisol di dalam darah. Stres kronis akan memberikan dampak pada kesehatan dikarenakan adanya peningkatan kadar kortisol sebagai hormon stres tubuh yang utama dalam waktu lama (Guyton dan Hall, 2007).

  Sekresi kortisol yang tinggi akibat stres akan memberikan rangsangan ke sistem limbik otak. Rangsangan ini kemudian masuk ke hipotalamus dan dapat mengurangi kecepatan sekresi GnRH oleh hipotalamus, sehingga produksi LH dan FSH di hipofisis anterior mengalami penurunan (Yuliadi, 2010b). Hal ini dapat mempengaruhi fungsi seksual dan reproduksi pria, salah satunya penurunan sekresi testosteron oleh sel Leydig. Penurunan testosteron akan berakibat terjadinya penurunan libido (Setiadji, 2006).

  Selain kadar kortisol yang tinggi, stres juga berpengaruh pada sistem dopaminergik di korteks prefrontalis. Pada kondisi stres kronis terjadi penurunan kadar dopamin (Pasiak et al., 2005). Penurunan kadar dopamin menyebabkan stimulus melalui sintesis NO untuk pengeluaran testosteron dari kopulasi berkurang. Hal ini juga akan menyebabkan penurunan libido seksual.

B. Kerangka Pemikiran

  FSH ↓

  2. Gangguan fisik

  1. Pengalaman seksual buruk

  Aktivitas seksual menurun

  Libido Seksual ↓

  Sel Sertoli: spermatogenesis ↓

  Testosteron ↓

  Sel Leydig: Sekresi

  Stressor lingkungan:

  Letusan Gunung Merapi Stres kronis

  ↑ Menghambat produksi dan sekresi GnRH di hipotalamus

  Korteks adrenal: Kortisol

  Sekresi ACTH ↑

  ↑ Hipofisis anterior:

  Hipotalamus: Sekresi CRH

  Dopamin ↓

  Stressor sosio-ekonomi

  Sistem Hormonal

  LH ↓

C. Hipotesis

  Ada hubungan antara stres kronis pasca letusan Gunung Merapi dengan penurunan libido seksual pada pria.

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif epidemiologi

  observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu peneliti mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dan variabel terikat (efek) yang diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Arief, 2003).

  B. Lokasi Penelitian

  Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

  C. Subjek Penelitian

  1. Kriteria inklusi

  a. Bersedia sebagai responden penelitian

  b. Pria usia 30-40 tahun

  c. Menikah (memiliki istri sah, bukan poligami, bukan istri siri atau istri sambungan) d. Lama perkawinan > 2 tahun dan telah memiliki minimal 1 anak

  e. Kondisi ekonomi baik, berpenghasilan cukup

  f. Pendidikan minimal Sekolah Menengah Pertama (SMP) g. Bertempat tinggal di Kelurahan Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta

  h. Lulus screening Lie-scale Minnesota Multiphasic Personality Inventory (LMMPI).

  2. Kriteria eksklusi

  a. Tidak bersedia sebagai responden penelitian

  b. Tidak lulus screening LMMPI

  c. Memiliki riwayat penyakit kronis d. Memiliki kelainan pada alat genital.

D. Teknik Sampling

  Penelitian ini mengambil sampel dengan menggunakan teknik

  Purposive Random Sampling , yaitu suatu teknik pemilihan sampel yang

  dipilih berdasarkan kelompok yang sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian subjek dipilih secara acak, sehingga setiap subjek dalam populasi yang telah dikelompokkan memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih (Arief, 2003).

  Besar sampel yang diperlukan untuk rancangan penelitian cross

  sectional ditentukan dengan rumus:

  ᘠ . .

  㠘 dengan: p : perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau paparan pada populasi (50%) Zα : nilai statistic Z pada kurve normal standart pada tingkat kemaknaan α d : presisi absolute yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi populasi, misalnya +/- 5%

  (Muhammad, 2004) maka dari rumus tersebut didapatkan: ᘠ

  1,96 . 0,5 .0,5 0,05

  384 Jadi, besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebanyak 384 sampel.

  Namun, dikarenakan keterbatasan waktu dan jumlah sampel yang tersedia maka peneliti hanya mengambil sampel sebanyak 30 sampel.

E. Rancangan Penelitian

  Populasi Kriteria Inklusi

  Sampel Formulir Biodata

  • Kuesioner LMMPI

  GHQ Questionnaire

  • HSDD Screener Stres kronis (+) Stres kronis (+) Stres kronis (-) Stres kronis (-)

  Penurunan Penurunan Penurunan Penurunan Libido (-) Libido (+) Libido (-) Libido (-)

  Uji Koefisien Kontingensi

  F. Identifikasi Variabel Penelitian

  1. Variabel bebas : stres kronis

  2. Variabel terikat : penurunan libido seksual

  3. Variabel luar

  a. Terkendali : usia b. Tak terkendali : pengalaman seksual, kondisi fisik, lingkungan.

  G. Definisi Operasional Variabel

  1. Variabel bebas Stres kronis merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal maupun eksternal yang bersifat kronis (Suyono, 2002). Stres dalam penelitian ini adalah keadaan pada responden penelitian, diukur dengan GHQ-60 (General Health

  Quesionnaire ). Interpretasi hasil dari GHQ bernilai positif untuk stres jika minimal didapatkan nilai 12 poin dari 60 item pertanyaan GHQ.

  Nilai minimal dari GHQ adalah 0, sedangkan nilai maksimalnya adalah 60, setiap jawaban “ya” dinilai sebagai 1 poin (Goldberg dalam Yuliadi, 2010). GHQ-60 (General Health Quesionnaire) mempunyai sensitivitas 95% dan spesivisitas sebesar 87,8%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan kuesioner screening stres lainnya. Skala pengukuran : nominal dikotomik , yaitu stres kronis positif (+) dan stres kronis negatif (-).

  2. Variabel terikat Penurunan libido seksual merupakan salah satu gangguan libido seksual. Penurunan libido seksual adalah berkurangnya fantasi seksual atau pikiran dan atau keinginan untuk melakukan aktivitas seksual dari responden penelitian, diukur dengan menggunakan Hypoactive Sexual

  Desire Disorder (HSDD) Screener. Interpretasi hasil bernilai positif

  untuk penurunan hasrat seksual jika minimal didapatkan nilai 7 poin dari 4 item pertanyaan HSDD Screener. Nilai minimal adalah 0, sedangkan nilai maksimal adalah 16, disertai lima pertanyaan konfirmasi untuk membantu diagnosis. Nilai 0 untuk jawaban “tidak kesulitan sama sekali” dan “tidak peduli sama sekali”, nilai 4 untuk jawaban “sangat sulit” dan “sangat peduli” dengan nilai 1, 2, dan 3 disesuaikan sebagai suatu tingkatan (Leiblum et al., 2006). Skala pengukuran : nominal dikotomik , yaitu penurunan libido seksual positif (+) dan penurunan libido seksual negatif (-).

H. Instrumen Penelitian

  Penelitian ini menggunakan media kuesioner baku yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Kuesioner yang digunakan yaitu:

  1. Formulir biodata

  2. Lie Minnesota Multyphasic Personality Inventory (LMMPI) (Graham,

  1990 dalam Butcher, 2005)

  3. General Health Questionnaire (GHQ) (Goldberg, 1972 dalam Yuliadi, 2010a)

  4. Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD) Screener (Leiblum et al., 2006).

I. Cara Kerja

  1. Responden mengisi data identitas diri

  2. Mengisi angket Lie-scale Minniesota Multiphase Personality Inventory (LMMPI) dimana yang memenuhi syarat sebagai subjek penelitian yaitu apabila jawaban “tidak”

  ≤ 10

  3. Mengisi kuesioner General Health Questionnaire (GHQ) serta kuesioner Hypoactive Sexual Desire Disorder (HSDD) Screener

  4. Setelah diperoleh skor dari skala setiap variabel yang berupa skala nominal, dilakukan uji Koefisien Kontigensi (C).

  J. Teknik Analisis Data

  Data yang diperoleh dalam penelitian ini di uji dengan metode statistik uji Koefisien Kontingensi (C). Dalam mencari Koefisien Kontingensi, terlebih dahulu mencari Chi Square ( ) dalam tabel 2 x 2.

  Formula untuk Koefisien Kontingensi adalah : x C x N dimana :

  N : jumlah responden

  2

  x : Chi Square

  Untuk mencari x

  2

  dapat dilakukan dengan rumus umum: x O E E dimana :

  O : frekuensi Observasi E : frekuensi Ekspektasi/harapan, yang diperoleh dengan rumus :

  E ∑ ꃘúƼĖ㇨ ㇨ 閨úᘠ

  㠘Ė̊úƼĖ ᘠĖ úĖE ᘠ閨ú ∑ ú

  ㇨ 閨úᘠ 㠘Ė̊úƼĖ ᘠĖ úĖE ᘠ閨ú (Handoko, 2007) dengan tabel kontingensi 2x2 sebagai berikut :

  Penurunan libido seksual Total

  Negatif Positif Stres kronis A B a + b Tidak stres kronis C D c + d Total a + c b + d N a = Stres kronis, penurunan libido seksual negatif b = Stres kronis, penurunan libido seksual positif c = Tidak stres kronis, penurunan libido seksual negatif Jadi, untuk menghitung frekuensi harapan pada tiap-tiap sel dapat digunakan rumus : ú ̊ ú ꃘ

  쵸쵸

  ꃘ 㠘 ú ꃘ

  쵸

  ú ̊ ̊ 㠘

  쵸

  ꃘ 㠘 ̊ 㠘 dengan : N = a + b + c + d

  Karena kedua variabel (karakteristik, kriteria) dikategorikan masing- masing menjadi dua, analisis bisa dilakukan dengan rumus alternatif statistik

  2

  x yang lebih pendek, yaitu : N ad bc x a b c d a c b d

  (Riwidikdo, 2007) Kriteria penerimaan hipotesa : Uji Chi Square dengan derajat signifikasi 5%

  2

  

2

  hitung dibandingkan dengan tabel dengan tingkat kemaknaan a = Nilai χ χ 0,05.

  Dan nilai derajat bebas dihitung dengan rumus : Derajat bebas = ( r – 1) ( c – 1) dengan : r = jumlah baris c = jumlah kolom