KAJIAN UMUR SIMPAN BUMBU MASAK BERBAHAN BAKU CABUK DENGAN VARIASI JENIS PENGEMAS

KAJIAN UMUR SIMPAN BUMBU MASAK BERBAHAN BAKU CABUK DENGAN VARIASI JENIS PENGEMAS

Skripsi Untuk memenuhi sebagaian persyaratan

guna memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Program Studi Teknologi Hasil Pertanian

Oleh : Jati Nurhuda

H 0605054

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

KAJIAN UMUR SIMPAN BUMBU MASAK BERBAHAN BAKU CABUK DENGAN VARIASI JENIS PENGEMAS

yang dipersiapkan dan disusun oleh

Jati Nurhuda

H 0605054

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal : 7 Juni 2010 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji

Ketua

Anggota I

Anggota II

Prof. Ir. Sri Handajani, MS, Ph.D R. Baskara K. A, S.TP., MP Lia Umi Khasanah, ST, MT NIP. 19470729 1976122 001

NIP. 19800513 2006041 001 NIP 19800731 2008012 008

Surakarta,

Mengetahui Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian Dekan

Prof. Dr. Ir. H. Suntoro,MS NIP. 19551217 198203 1 003

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrohiim.

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kajian Umur Simpan Bumbu Masak Berbahan Baku Cabuk dengan Variasi Jenis Pengemas”. Skripsi ini merupakan salah satu satu bagian dari penelitian Hibah Kompetensi dengan judul “Kajian Mutu dan In Vivo Virgin Sesame Oil dan Bumbu Masak Berbahan Baku Wijen dengan Variasi Proses Produksi ” oleh Prof. Ir. Sri Handajani, MS, Ph.D; dr. E. Listyaningsih S., Mkes; Godras Jati Manuhara, S.TP dan R.Baskara Katri A, S.TP, MP. Penulisan skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan tersusun tanpa adanya bantuan, dorongan semangat, serta bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. DP2M Dirjen DIKTI atas bantuan dana melalui Hibah Kompetensi Tahun 2008/ 2009 dan 2009/ 2010.

2. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS, selaku Dekan Fakultas Pertanian UNS.

3. Ir. Kawiji, MP. selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.

4. Prof. Ir. Sri Handajani, MS, Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Utama.

5. R. Baskara Katri Anandito, S.TP., MP. selaku Dosen Pembimbing Pendamping dan Pembimbing Akademik.

6. Lia Umi Khasanah, ST, MT. selaku Dosen Penguji.

7. Dosen Jurusan Teknologi Hasil Pertanian dan Dosen Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas ilmu yang telah diberikan dan bantuannya selama masa perkuliahan penulis di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8. Staf TU (Pak Giyo & Pak Joko) & Laboran (Bu Lis & Pak Slameto) atas bantuanya selama menjadi mahasiswa THP’05.

9. Ibu Sri Mantini, orang tua penulis yang telah dan akan selalu memberikan kasih sayangnya dengan tulus.

10. Mbak Hastin & mas Tony, mas Fajar & mbak Tuti, kakak penulis yang telah memberikan dukungan do’a dengan tulus ikhlas.

11. Temen-teman H0605, Klampis Ireng, dan semua pihak yang tidak disebutkan, bantuan kalian sungguh berharga bagi penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat memberikan rmanfaat bagi penulis maupun pembaca semuanya.

Surakarta, Juli 2010

Penulis

KAJIAN UMUR SIMPAN BUMBU MASAK BERBAHAN BAKU CABUK DENGAN VARIASI JENIS PENGEMAS

Jati Nurhuda H 0605054 RINGKASAN

Wijen telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, diantaranya adalah menjadi minyak wijen. Hasil samping pengolahan minyak wijen berupa bungkil wijen. Bungkil wijen ini juga telah dimanfaatkan menjadi cabuk melalui pengolahan dengan fermentasi. Sifat khas aroma dan flavor cabuk berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk bumbu masak dalam bentuk kering. Penerapan pengeringan dan penepungan menghasilkan bumbu masak dalam bentuk bubuk. Produk baru ini dikemas dengan pengemas sachet dari aluminium foil dan botol dari kaca.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui indikator kerusakan, menentukan kinetika kemunduran mutu dan memperkiakan umur simpan dari bumbu masak berbahan baku cabuk, baik yang dikemas sachet maupun botol. Penelitian ini menggunakan pendekatan Accelerated Shelf Life Test (ASLT),dimana produk disimpan pada kondisi yang menyebabkan produk cepat rusak. Penelitian ini, produk disimpandi suhu ekstrim (lebih tinggi dari suhu

penyimpanan normal) yaitu 30, 40 dan 50 o

C. Perubahan mutunya dibuat dalam model matematika. Kemudian penentuan umur simpan dilakukan dengan cara ekstrapolasi persamaan pada kondisi penyimpanan normal. Umur simpan yang dihasilkan bersifat pendugaan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa atribut mutu aroma sebagai indikator kerusakan bumbu masak berbahan baku cabuk. Kinetika kemunduran bumbu masak yang dikemas dalam botol adalah persamaan y = -9116,2x + 26,051 dengan energi aktivasi sebesar 75,792 kJ/mol.K; sedangkan yang dikemas dalam sachet adalah y = -7551,6x + 21,221 dengan energi aktivasi sebesar sebesar 62,784 kJ/mol.K. Umur simpan bumbu masak berbahan baku “cabuk” yang

disimpan pada suhu 25 o C, 28 C dan 32

C dalam kemasan botol kaca masing- masing adalah 9,4 bulan, 6,9 bulan dan 4,6 bulan, sedangkan yang dikemas dalam sachet masing-masing adalah 6,2 bulan, 4,8 bulan dan 3,4 bulan.

Kata kunci : wijen, cabuk, bumbu masak, indikator kerusakan, umur simpan.

SHELF LIFE STUDIES OF SEASONING PRODUCED FROM CABUK WITH VARIATION OF PACKAGING MATERIALS

Jati Nurhuda

H 0605054 SUMMARY

Sesame has been used extensively by the community. The seeds was pressed to get the oil, and the sesame cake is the by product that could be produce become “cabuk” by natural fermentation. Due to the strong flavor, “cabuk” has a potency to be developed as seasoning/ taste enhancer. This new product packed with aluminum foil sachet and glass bottles.

This study aimed to identify the indicators of damage, determine the kinetics of quality deterioration and predict the shelf life of seasoning produced from cabuk, whether packed in sachets and bottles. This research use Accelerated Shelf Life Test (ASLT) approach, where products stored under conditions that cause rapid deterioration. Product stored at extreme temperatures (higher than its normal store) that is 30, 40 and

50 o C. The quality changes make as mathematical model. Then shelf life determination was done by extrapolating the equation at normal storage conditions. Shelf life prediction

is generated. This study has shown that aroma is an indicator of damage. The quality deterioration kinetic of packaged seasoning in bottle as the equation y = -9116,2x + 26,051 with 75,79 kJ/mol.K activations energy. While the sachet packaged seasoning was y = -7551,6x + 21,221 with 62,78 kJ/mol.K activations energy. The shelf life of seasoning

produced from “cabuk” that store in glass bottle package at 25 o C; 28 C and 32 C are 9,4 months, 6,9 months and 4,6 months, while those packed in sachet are 6,2 months, 4,8 months and 3,4 months.

Keywords: sesame, cabuk, seasoning, indicators of damage, and shelf life

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wijen telah lama dibudidayakan oleh manusia. Tanaman ini diperkirakan dari Asia Tengah. Tetapi ada sumber lain yang menyebutkan bahwa wijen berasal dari Afrika dan Asia (Handajani dkk., 2006). Budidaya wijen di Indonesia mempunyai produktivitas sebesar 400 kg/ha (Soenardi, 2004). Biji wijen dimanfaatkan di berbagai industri, dari industri rumah tangga sampai industri besar. Wijen (Sesamum indicum Linn) merupakan tanaman penghasil minyak nabati. Dari bijinya terkandung minyak sebanyak 35-63 % (Suddiyam dan Maneekhao, 1997 dalam Mardjono, 2007). Sedangkan menurut Soenardi (2004) minyak pada biji wijen sebanyak 50-53 %. Oleh karena itu biji wijen dimanfaatkan dalam produksi minyak nabati. Minyak nabati ini diperoleh dengan cara ekstraksi minyak dari biji wijen.

Bungkil wijen merupakan hasil samping pengolahan biji wijen yang diekstrak minyaknya. Ekstraksi minyak wijen bisa dilakukan secara mekanis maupun menggunakan solvent. Pengrajin minyak wijen di Sukoharjo melakukan ekstraksi secara mekanis. Bungkil yang diperoleh mengandung protein kasar 37,12-40,85 %, lemak 19,6-28,82 %, serat kasar 4,64-6 %, dan abu 7,83-10,54 % (Handajani, dkk., 2006). Sedangkan menurut Tangendjaja (1998) dalam Handajani, dkk. (2005), bungkil wijen ekstraksi mekanik mempunyai kandungan nutrien protein kasar 40 %, serat kasar 8 % dan minyak 5 %.

Salah satu pengolahan bungkil wijen adalah dengan cara fermentasi. Cabuk merupakan hasil fermentasi bungkil wijen. Proses fermentasinya secara tradisional (Handajani, dkk., 2002). Produk terfermentasi melibatkan mikroorganisme dalam proses fermentasinya. Mikroorganisme memanfaatkan zat gizi pada bahan pangan dengan enzim-enzim hidrolitik yang dihasilkannya. Enzim-enzim ini juga menghasilkan flavor eksotik dan membentuk tekstur yang menjadi ciri khas produk terfermentasi (Antara,

2008). Hasil fermentasi dari bungkil wijen berupa produk makanan berbentuk padat (Andriani dan Endang, 1995).

Cabuk telah sering digunakan sebagai bumbu penyedap dalam masakan. Hal ini karena sifat flavor cabuk yang kuat. Pemanfaatan cabuk sebagai bumbu masak terkendala oleh umur simpannya yang relatif pendek. Hal ini karena cabuk memiliki kadar air yang besar. Penerapan pengeringan dan penepungan pada cabuk dapat dilakukan, sehingga diperoleh bumbu masak berbahan baku cabuk dalam bentuk bubuk/tepung. Produk dalam bentuk kering umumnya lebih panjang umur simpannya dari pada yang basah.

Bumbu masak berbahan baku “cabuk” yang telah berbentuk bubuk perlu dijaga kualitasnya. Menurut Hariyadi (2008) kualitas suatu produk pangan akan berubah selama penanganan, pengolahan, penyimpanan dan distribusinya. Hal ini terjadi karena adanya interaksi dengan faktor lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Maka dari itu produk pangan diberi kemasan yang memadai.

Selama masa penyimpanan, produk pangan akan mengalami perubahan kualitas, baik perubahan kualitas kimia, biokimia maupun fisik. Menurut Hariyadi (2008) terjadinya perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh adanya reaksi-reaksi yang terjadi selama proses pengolahan dan penyimpanan. Sebagian dari faktor-faktor tersebut tidak dapat dikontrol, misalnya pada produk yang disimpan oleh konsumen. Produsen perlu memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang dua hal penting. Kedua hal tersebut adalah masa kadaluarsa dan petunjuk penyimpanan dan penggunaan.

Secara umum, terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap masa kadaluarsa produk pangan. Telah dikenal terdapat empat faktor utama, yaitu : bahan baku; kondisi pengolahan; kondisi pengemasan dan kondisi penyimpanan,distribusi serta penjualan. Ke-empat faktor tersebut berpengaruh terhadap umur simpan produk pangan. Akan tetapi faktor yang dominan dalam menentukan umur simpan adalah faktor kritis. Sifat kritis adalah sifat yang paling peka yang dapat dideteksi oleh konsumen untuk menolak suatu produk (Dewi dkk, 2004).

Penelitian ini mengkaji umur simpan bumbu masak berbahan baku “cabuk” dengan variasi jenis pengemas, yang dilakukan dengan metode Accelerated Shelf – Life Test (ASLT) model Arrhenius. Metode ASLT pada prinsipnya adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim, dimana kerusakan terjadi lebih cepat, kemudian umur simpan ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Oleh karena itu, umur simpan yang diperoleh bersifat pendugaan. Dalam analisa umur simpan ini, dilakukan uji organoleptik untuk menentukan atribut mutu apa yang menjadi indikator kerusakan.

B. Perumusan Masalah

Wijen merupakan tanaman yang tumbuh subur dan telah banyak dibudidayakan di Indonesia. Hasilnya yang melimpah membuatnya berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk olahannya. Pengolahan biji wijen menjadi minyak wijen menghasilkan hasil samping berupa bungkil wijen. Bungkil wijen dianggap hanya memiliki nilai ekonomi yang rendah. Pemanfaatannya oleh masyarakat dibuat “cabuk” dengan proses fermentasi. “Cabuk” memiliki ciri khas flavor yang kuat, hal ini mendasari untuk mengembangkannya menjadi bumbu masak. Pembuatan bumbu masak berbahan baku “cabuk” menerapkan pengeringan dan penepungan sehingga diperoleh produk berupa bubuk. Produk bumbu masak yang dihasilkan dikemas dengan dua macam pengemas, yaitu aluminium foil dan botol kaca. Umur simpan dari produk bumbu masak perlu dikaji pada setiap jenis pengemas tersebut.

Permasalahannya adalah :

1. Parameter mutu apakah yang menjadi indikator kerusakan bumbu masak berbahan baku “cabuk”?

2. Bagaimanakah kinetika kemunduran mutu bumbu masak berbahan baku ”cabuk” dalam masing-masing pengemas?

3. Apakah umur simpan bumbu masak berbahan baku ”cabuk” dalam masing-masing pengemas berbeda?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini antara lain :

1. Mengetahui indikator kerusakan bumbu masak berbahan baku “cabuk”

2. Menentukan kinetika kemunduran mutu bumbu masak berbahan baku ”cabuk” dengan variasi jenis pengemas botol kaca dan alumium foil

3. Memperkirakan umur simpan bumbu masak berbahan baku ”cabuk” dengan variasi jenis pengemas botol kaca dan aluminium foil Manfaat penelitian ini adalah dengan mengetahui kinetika kerusakan

bumbu masak berbahan baku “cabuk” selama penyimpanan maka produsen dapat terus memantau dalam mempertahankan kualitas produknya, dan bagi konsumen yaitu dapat mengetahui umur simpan bumbu masak berbahan baku “cabuk” yang berupa pendugaan sehingga konsumen bisa mendapatkan informasi penting dalam labelling yakni masa kadaluarsa sehingga aman jika akan mengkonsumsinya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Wijen

Menurut Van-Rheenen (1981) dalam Handajani (2006), wijen memiliki taksonomi sbb : Divisi

: Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas

: Dycotyledoneae Ordo

: Solanes (Tubiflorae) Famili

: Pedaliaceae Genus

: Sesamum Spesies

: Sesamum indicum Linn Tanaman wijen sesuai untuk lahan kering dan pada musim penghujan dapat diusahakan dengan menanamnya secara tumpangsari dengan palawija atau padi gogo. Wijen merupakan salah satu komoditas yang mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi dan dapat ditumpangsarikan dengan tanaman lain. Di Indonesia, wijen banyak dikembangkan di Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi

Selatan (Anonim a , 2008). Biji wijen terdapat dalam kapsul atau polong, berukuran kecil, pipih

dengan bagian pangkal agak meruncing dan berujung tumpul. Panjang biji adalah 3-4 mm dengan diameter 2,5-2,9 mm, berukuran tipis dan mudah pecah. Warna biji wijen ada 2 yaitu hitam dan putih (Rukmana, 1998 dalam Handajani 2006).

Biji wijen kering dengan kadar air 5 – 6 %, mengandung minyak bervariasi antara 35 – 57 % dan kadar protein 19 – 25 %. Berat 1000 bijinya adalah antara 2-4 kg. Warna kulit biji yang terang dan mengkilat biasanya memiliki kandungan minyak lebih tinggi dibandingkan dengan biji yang berwarna gelap, kecuali di India dimana pernah dilaporkan bahwa biji hitam mengandung lebih banyak minyak (Weiss, 1983 dalam Handajani 2006).

Wed (2004) menyebutkan bahwa dalam biji wijen terkandung beberapa zat antara lain gliserida (asam oleat, linoleat, palmitat, stearat dan miristinat), sesamin, sesamolin, sesamol, lignans, pedalin, planteose, sitokrom C, protein, prantosa, vitamin A, B1 dan E.

Menurut Soenardi (2004), biji wijen mengandung 35-63% minyak, 19- 25% protein, 25% air, serat dan abu. Salah satu kelebihan minyak wijen adalah kandungan antioksidannya, yakni sesamin dan sesamolin sehingga dapat disimpan dalam suhu kamar lebih dari satu tahun tanpa mengalami kerusakan (tengik). Biji wijen mengandung 50-53% minyak nabati, 20% protein, 7-8% serat kasar, 15% residu bebas nitrogen, dan 4,5-6,5% abu. Minyak biji wijen kaya akan asam lemak tak jenuh, khususnya asam oleat (C18:1) dan asam linoleat (C18:2, Omega-6), 8-10% asam lemak jenuh.

Minyak biji wijen juga kaya akan Vitamin E. Menurut Anonim b (2005), dalam biji wijen terkandung 7 macam asam amino, 14% lemak jenuh, fosfor, kalium,

kalsium, natrium, besi, vit. B dan E, antioksidan dan alanin atau lignin dan tidak mengandung kolesterol.

Pada dasarnya semua biji wijen mengandung energi yang tersimpan dan nantinya digunakan pada waktu tanaman masih muda dan mengalami fase pertama pertumbuhan. Energi tersebut kadang tersimpan dalam bentuk protein seperti pada keluarga bayam – bayaman. Umumnya juga energi tersimpan dalam bentuk hidrat arang dan lemak (Sesame Oil Brazilian Journal, 2005).

Wijen mempunyai kandungan gizi yang baik karena kandungan proteinnya cukup tinggi yaitu sebesar 19,3 %, juga mengandung asam lemak esensial yang dibutuhkan oleh tubuh seperti oleat dan linoleat, sehingga wijen merupakan salah satu sumber lemak nabati yang baik. Minyak wijen menghasilkan kalori yang tinggi yaitu sekitar 902 kal/100 gr (Ketaren, 1986).

Biji wijen diperoleh dengan pengupasan kulit yang dapat dilakukan melalui cara modern maupun tradisional. Cara modern dilakukan di negara- negara maju dengan menggunakan mesin sehingga pengupasan menjadi lebih optimal yaitu lebih cepat dengan hasil lebih bersih dan masih banyak mengandung protein. Sementara itu, cara tradisional adalah seperti yang Biji wijen diperoleh dengan pengupasan kulit yang dapat dilakukan melalui cara modern maupun tradisional. Cara modern dilakukan di negara- negara maju dengan menggunakan mesin sehingga pengupasan menjadi lebih optimal yaitu lebih cepat dengan hasil lebih bersih dan masih banyak mengandung protein. Sementara itu, cara tradisional adalah seperti yang

Biji wijen merupakan sumber kalori yang cukup baik. Menurut Ketaren (1986), biji wijen mengandung 568 kal per 100 gr, jauh lebih tinggi dibanding minyak jagung yang hanya mengandung 250 kal per 100 gr. Selain sumber kalori , wijen juga merupakan sumber protein dan asam – asam lemak esensial yang cukup baik.

Di daerah pedalaman Indonesia, wijen digunakan sebagai lauk makan misalnya diolah menjadi sambal wijen. Di samping itu wijen merupakan bahan makanan dan sumber minyak nabati yang berkualitas tinggi karena mengandung mineral dan protein tinggi serta asam lemak jenuh yang rendah. Sehubungan dengan kandungan berbagai macam bahan, maka wijen tidak berdampak negatif terhadap kesehatan dan disebut sebagai “Rajanya Minyak Nabati” atau king oil (Weiss, 1971).

B. Cabuk

Cabuk adalah suatu jenis makanan asli Indonesia, hasil fermentasi dari bungkil wijen. Jenis makanan ini memang kurang populer. Tetapi justru cabuk mendapat banyak perhatian dari ilmuwan, termasuk ahli-ahli gizi manca negara. Mereka tertarik pada makanan ini, karena dibuat dari proses fermentasi tradisional. Cabuk terkenal di Surakarta, khususnya di kalangan orang tua di daerah Sukoharjo dan Wonogiri. Cabuk yang biasa dibuat dari bungkil wijen hitam dewasa ini kurang diminati khususnya oleh para remaja. Semula produsen cabuk menganggap produknya sebagai hasil utama sedang minyaknya sebagai hasil samping (Handajani, Sri dan Isti Astuti, 2002).

Sebagai produk samping hasil pengolahan minyak wijen, bungkil biji wijen dimanfaatkan oleh para pengrajin untuk produksi cabuk. Meskipun cabuk dikonsumsi di kawasan karesidenan Surakarta dan sekitarnya, namun proses produksinya tetap hanya terpusat di sentra industri minyak wijen Kabupaten Sukoharjo dan Wonogiri. Pada dasarnya cabuk dikonsumsi sebagai lauk karena flavor yang unik dan rasa yang gurih. Dalam perkembangan studi terungkap bahwa cabuk juga sarat akan gizi, mengandung protein, lemak (tak Sebagai produk samping hasil pengolahan minyak wijen, bungkil biji wijen dimanfaatkan oleh para pengrajin untuk produksi cabuk. Meskipun cabuk dikonsumsi di kawasan karesidenan Surakarta dan sekitarnya, namun proses produksinya tetap hanya terpusat di sentra industri minyak wijen Kabupaten Sukoharjo dan Wonogiri. Pada dasarnya cabuk dikonsumsi sebagai lauk karena flavor yang unik dan rasa yang gurih. Dalam perkembangan studi terungkap bahwa cabuk juga sarat akan gizi, mengandung protein, lemak (tak

Cabuk merupakan makanan olahan berbentuk padat, yang dibuat dengan proses fermentasi bungkil wijen. Makanan tradisional ini diproduksi di daerah Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri (Andriani dan Endang, 1995). Proses fermentasi menyebabkan keadaan senyawa-senyawa gizi yang terdapat dalam bahan menjadi lebih tersedia. Kiranya, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa cabuk memiliki potensi gizi yang cukup tinggi sebagai sumber protein nabati alternatif.

C. Bumbu Masak

Inovasi terhadap produk pemberi sensasi rasa terus dilakukan. Hal tersebut dikarenakan dalam pengembangan produk rasa tetap merupakan faktor penting terhadap penerimaan produk tersebut oleh konsumen. Saat ini banyak hasil pengembangan produk fungsional yang penerimaan konsumennya rendah karena rasa yang tidak terlalu disukai. Pengkombinasian cita rasa marak dilakukan untuk menciptakan cita rasa baru. Disebutkan oleh Gunawan (2009), selera pasar tidak lagi monoton, improvisasi dari rasa-rasa yang konservatif mulai diinginkan. Pengendalian cita rasa suatu produk tidak hanya dapat dilakukan dengan menambahkan senyawa cita rasa lain akan tetapi dapat juga dilakukan dengan memblok sensor sensasi tertentu (masking) atau menguatkan sensasi rasa tertentu (enhance).

Flavour enhancement (flavour potentiator) adalah bahan-bahan yang dapat meningkatkan rasa enak atau menekan rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan. Akan tetapi bahan ini tidak atau hanya sedikit mempunyai citarasa (Zuhra, 2006). Contohnya yang telah dikenal seecara umum adalah monosodium glutamat (MSG). Cara kerjanya dengan menstimulasi indera pengecap sehingga membuat berbagai rasa terasa lebih baik (Meadows, 2003).

Saat ini dikenal lima rasa dasar, diantaranya adalah manis, asin, pahit, asam, dan yang paling baru adalah umami. Umami merupakan rasa yang berbeda dari keempat rasa sebelumnya. Marcus (2005) menyebutkan bahwa Saat ini dikenal lima rasa dasar, diantaranya adalah manis, asin, pahit, asam, dan yang paling baru adalah umami. Umami merupakan rasa yang berbeda dari keempat rasa sebelumnya. Marcus (2005) menyebutkan bahwa

Rasa umami dapat diperoleh dari tiga senyawa utama yaitu glutamat, inosinat, dan guanilat (Ninomiya, 2009). Sejalan dengan perkembangannya, glutamat diketahui terdapat pada beberapa seasoning tradisional bercita rasa kuat seperti halnya kecap, saus tiram, dan terasi. Dikatakan oleh Ninomiya (1998) bahwa terasi mengandung 1199mg/100g glutamat bebas. Cita rasa kuat yang terdapat pada seasoning tradisional tersebut, beberapa diantaranya, disebabkan oleh proses fermentasi yang menyebabkan pemecahan protein menjadi asam amino. Dikatakan oleh Parkouda (2009) bahwa fermentasi alkalis menghasilkan produk dengan peningkatan asam amino esensial dan senyawa penghasil rasa umami.

Beberapa senyawa sintetis tidak dapat menimbulkan aroma tetapi dapat menimbulkan rasa enak (flavor potentior, intensifier, enhancer). Flavor potentior adalah bahan-bahan yang dapat meningkatkan rasa enak atau dapat menenkan rasa yang kurang enak dari suatu bahan makanan. Bahan itu sendiri tidak atau sedikit mempunyai cita rasa sebagai contoh penambahan senyawa L-asam glutamat pada daging atau masakan akan menimbulkan cita rasa yang lain dari cita rasaa asam amino tersebut. Hidrolisis protein menghasilkan hidrolisat protein yaitu senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti proteosa, pepton dan campuran asam amino. Hidrolisat protein ini yang menyedapkan rasa dalam mulut (Rahayu, 1988).

D. Pengemasan

Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan, atau pengepakan, memegang peranan penting dalam pengawetan bahan hasil pertanian. Adanya wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, melindungi dari Pengemasan disebut juga pembungkusan, pewadahan, atau pengepakan, memegang peranan penting dalam pengawetan bahan hasil pertanian. Adanya wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, melindungi dari

Menurut Erliza dan Sutedja (1987) bahan kemasan harus mempunyai syarat-syarat yaitu tidak toksik, harus cocok dengan bahan yang dikemas, harus menjamin sanitasi dan syarat-syarat kesehatan, dapat mencegah kepalsuan, kemudahan membuka dan menutup, kemudahan dan keamanan dalam mengeluarkan isi, kemudahan pembuangan kemasan bekas, ukuran, bentuk, dan berat harus sesuai, serta harus memenuhi syarat syarat yaitu kemasan yang ditujukan untuk daerah tropis mempunyai syarat yang berbeda dari kemasan yang ditujukan untuk daerah subtropics atau daerah dingin. Demikian juga untuk daerah yang kelembaban tinggi dan daerah kering.

Bucle et al. (1987) menyatakan, kemasan yang dapat digunakan sebagai wadah penyimpanan harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni dapat mempertahankan mutu produk supaya tetap bersih serta mampu memberi perlindungan terhadap produk dari kotoran, pencemaran, dan kerusakan fisik, serta dapat menahan perpindahan gas dan uap air.

Berbagai jenis bahan kemasan lemas seperti polietilen, polipropilen, nilon polyester, dan film vinil dapat digunakan secara tunggal untuk membungkus makanan atau dalam bentuk lapisan dengan bahan lain yang direkatkan bersama. Kombinasi ini disebut laminasi. Sifat-sifat yang dihasilkan oleh kemasan laminasi dari dua atau lebih film dapat memiliki sifat yang unik. Contohnya kemasan yang terdiri dari lapisan kertas, polietilen, alumunium foil, polietilen baik sekali untuk mkanan kering. Lapisan luar yang terdiri dari kertas berfungsi untuk cetakan permukaan yang ekonomis dan murah. Polietilen berfungsi sebagai perekat antara alumunium foil dengan kertas. Sedangkan polietilen bagian dalam mampu memberikan kekuatan dan kemampuan untuk direkat atau ditutupi dengan panas. Dengan konsep laminasi, masing-masing lapisan menutupi kekurangannya menghasilkan lembar kemasan yang bermutu tinggi (Winarno, 1983).

1. Kemasan Aluminium Foil

Foil adalah bahan pengemas dari logam, berupa lembaran alumunium yang padat dan tipis dengan ketebalan kurang dari 0,15 mm, mempunyai kekerasan yang berbeda-beda. Kekerasannya ditandai dengan huruf “O” dan “H”. Tanda O berarti sangat lunak, H-n berarti keras, semakin tinggi bilangan (n) berarti semakin keras. Foil mempunyai sifat hermetis, fleksibel, tidak tembus cahaya. Biasanya digunakan sebagai bahan pelapis (laminen) yang dapat ditempatkan pada bagian dalam atau lapisan tengah sebagai penguat yang dapat melindungi bungkusan. Foil dengan ketebalan rendah masih dapat dilalui oleh gas dan uap. Alumunium foil dengan ketebalan 0,0375 mm atau lebih mempunyai permeabilitas uap air nol. Sifat-sifat alumunium foil yang lebih tipis dapat diperbaiki dengan memberi lapisan plastik atau kertas menjadi foil-plastik, foil-kertas, atau kertas-foil-plastik (Syarief dkk, 1989).

Menurut Santoso dan Amin (2007), kemasan aluminium foil sesuai sebagai pengemas produk pangan yang mudah mengalami kerusakan lemak/minyak. Kemasan ini menpunyai sifat tahan terhadap panas, kedap udara, permeabilitas yang rendah terhadap uap air dan tidak korosif. Hal ini sesuai dengan pendapat Kadoya (1986 dalam Santoso 2007) alumunium foil merupakan kemasan logam yang lebih ringan dari baja, mempunyai daya korosi oleh atmosfer yang rendah, mudah dilekuk- lekukkan sehingga lebih mudah berubah bentuknya, tidak berbau, tidak berasa, tidak beracun, dan dapat menahan masuknya air dan gas. Produk pangan yang mengalami kerusakan lemak/minyak ditandai dengan munculnya bau tengik. Santoso (2007) berpendapat bahwa produk semacam ini membutuhkan kemasan yang bersifat dapat menahan laju transmisi gas oksigen, laju transmisi uap air dan menurunkan aw.

2. Kemasan Botol Kaca

Gelas sering digunakan sebagai pengemas berupa botol kaca, sudah umum dipergunakan sebagai pengemas sejak peradaban Mesir kuno (3000 SM). Bahan utama untuk membuat botol kaca adalah pasir silika, bahan Gelas sering digunakan sebagai pengemas berupa botol kaca, sudah umum dipergunakan sebagai pengemas sejak peradaban Mesir kuno (3000 SM). Bahan utama untuk membuat botol kaca adalah pasir silika, bahan

gas dan tahan terhadap panas sampai 500 o

C. Ketahanan terhadap panas juga terlihat dari titik lelehnya yang mencapai 1400 o

C (Sidharta dan Indrawati, 2009). Kaca secara mekanis mempunyai ketahanan terhadap

5 tekanan sampai 1,5x10 2 kg/cm (Roni, 2003). Ada banyak keunggulan gelas atau kaca sebagai pengemas menurut

Hugel (1996), diantaranya adalah kaca non-permeabel terhadap gas, uap dan cairan sehingga bahan yang dikemas tidak akan bocor selama wadahnya utuh. Kaca mempunyai sifat inert terhadap cairan dan makanan (padat) sehingga tidak akan bereaksi terhadap produk yang dikemas. Sifat inert kaca juga memberi perlindungan terhadap bau dan rasa dari produk yang dikemas, karena kaca tidak akan mengubah bau dan rasa. Kaca bisa dibuat transparan maupun berwarna. Kaca yang transparan membuat konsumen mudah untuk melihat isinya, karena tampak dari luar. Kaca yang berwarna memberi perlindungan pada produk dari radiasi sinar ultraviolet. Permasalahan lingkungan karena limbah bahan pengemas dapat diatasi dengan melakukan daur ulang, begitupula kaca karena kaca bisa didaur ulang bahkan sampai berkali-kali.

E. Kinetika Kemunduran Mutu

Selama proses pengolahan banyak terdapat perubahan – perubahan yang terjadi, baik perubahan sifat kimia, biokimia, maupun fisik. Perubahan tersebut disebabkan oleh adanya reaksi yang terjadi selama proses pengolahan dan penyimpanan. Laju reaksi dinyatakan sebagai perubahan konsentrasi persatuan waktu (Hariyadi, 2008).

Hasil pengujian kinetika kerusakan merupakan suatu fungsi kenaikan atau penurunan jumlah suatu faktor kualitas dalam suatu model kemunduran mutu hasil pengujian dalam kondisi dan waktu tertentu.

Semua bahan makanan bersifat dapat rusak sehingga setelah beberapa waktu penyimpanan dapat dibedakan kandungan gizi antara bahan makanan segar dengan bahan makanan yang telah disimpan. Perubahan-perubahan tersebut dapat diartikan sebagai kemunduran mutu. Jangka waktu antara bahan makanan segar menjadi rusak dan tidak layak dikonsumsi disebut daya simpan. Faktor-faktor penyebab kemunduran mutu bahan makanan antara lain perubahan cuaca, kerusakan mekanis, perubahan kadar air, pengaruh oksigen, hilang atau tercemarnya aroma dan aktivitas mikrobia (Buckle, 1978).

Metode Accelerated Shelf Life Test (ASLT) dengan model Arhennius umumnya digunakan untuk melakukan pendugaan umur simpan produk pangan yang sensitive oleh perubahan suhu, diantaranya produk pangan yang mudah mengalami ketengikan (oksidasi lemak), perubahan warna oleh reaksi pencoklatan, atau kerusakan vitamin C. Metode ini pada prinsipnya adalah menyimpan produk pangan pada suhu ekstrim, dimana kerusakan produk terjadi lebih cepat, kemudian umur simpan ditentukan berdasarkan ekstrapolasi ke suhu penyimpanan. Oleh karena itu umur simpan yang diperoleh bersifat ‘pendugaan’ yang validitasnya sangat ditentukan oleh model matematika yang diperoleh dari hasil percobaan (Kusnandar, 2008).

Pengaruh suhu pada reaksi didapat secara empiris juga dari termodinamika, statistik mekanis, dan lain-lain. Pada dasarnya, log rata-rata konstan adalah proporsional untuk kebalikan dari suhu absolute :

k=k -Ea / RT

o .e

Dimana : k = konstanta kecepatan reaksi kemunduran mutu k o = faktor pre-exponensial R = konstanta gas T = suhu dalam K Ea = energi aktivasi

Berdasarkan identifikasi produk yang telah dilakukan dapat diketahui faktor kualitas yang dijadikan parameter kinetika reaksi kemunduran mutu yang terjadi pada produk. Untuk membuat tingkat kemunduran mutu, data faktor kualitas ditransformasikan dalam sebuah kinetik plot dan akan didapatkan suatu model parameter kinetik yang tepat.

Menurut Labuza dan Riboh (1982) proses kemunduran mutu bahan makanan dapat dinyatakan dengan persamaan umum berikut :

Dimana Q o : kualitas sebelum penyimpanan Q t : kualitas setelah penyimpanan

Θ : waktu (hari) Proses kemunduran mutu secara umum dapat dinyatakan dengan persamaan :

dengan Q : faktor mutu yang diukur t : waktu k : ketetapan yang tergantung pada suhu dan a w n : faktor pangkat atau orde reaksi

dQ/dt : kecepatan perubahan dari faktor Q per satuan waktu (tanda positif jika kemundurannya dinyatakan dalam bertambahnya Q dan negative jika yang diukur adalah berkurangnya Q)

Sebagian besar kemunduran mutu bahan makanan termasuk reaksi orde nol dan orde satu. Dengan evaluasi constant rate (k) pada tiga suhu atau lebih yang berbeda dapat dibuat grafik hubungan Arrhenius, yaitu ekstrapolasi dengan garis lurus hubungan antara ln k vs 1/T untuk memprediksi kecepatan reaksi (k) dari reaksi-reaksi dari suhu lain (Labuza dan Riboh, 1982).

Dimana k

= konstanta kecepatan reaksi

= waktu

Secara teoritis, harga k mengikuti persamaan Arrhenius berikut :

- ç æ Ea ÷ ö

è RT k = A.exp ø

Dengan k : konstanta kecepatan reaksi

A : faktor frekuensi (1/s) Ea : energi aktivasi (kal/mol) R : tetapan umum gas (1,986 kal/mol.K atau 8,314 J/mol.K) T : suhu mutlak (K)

Persamaan diatas dapat dituliskan ke dalam bentuk logaritmik menjadi seperti di bawah ini :

Energi aktivasi adalah energi yang terjadi sebagai akibat dari pertemuan molekul-molekul di dalam tumbukan atau getaran. Untuk itu agar dapat terjadi reaksi, maka molekul-molekul harus bertumbukan satu sama lain dan harus memiliki energi aktivasi.

Konstanta A disebut sebagai faktor frekuensi yang menggambarkan jumlah frekuensi tumbukan antar molekul-molekul, terlepas dari apakah molekul-molekul tersebut memiliki energi aktivasi yang cukup atau tidak untuk suatu reaksi. Penentuan besarnya energi aktivasi ditentukan berdasarkan harga konstanta laju perubahan fisik dan kimia bahan yang ditentukan dari tiga atau lebih suhu yang berbeda.

Penggambaran ln k dengan 1/T akan mendapatkan kemiringan Ea/R dan harga ln k pada saat 1/T = 0 akan mempunyai harga sama dengan ln A.

F. Umur Simpan

Umur simpan adalah jangka waktu suatu produk dan kemasannya mampu bertahan dalam kondisi baik sehingga dapat diterima konsumen atau layak jual, di bawah kondisi penyimpanan tertentu (Downes and Harte, 1982).

Umur simpan ditentukan berdasarkan faktor yang paling berpengaruh terhadap produk tersebut. Faktor yang bisa mempengaruhi umur simpan suatu produk antara lain suhu. Penentuan umur simpan dengan faktor pembatas Umur simpan ditentukan berdasarkan faktor yang paling berpengaruh terhadap produk tersebut. Faktor yang bisa mempengaruhi umur simpan suatu produk antara lain suhu. Penentuan umur simpan dengan faktor pembatas

Reaksi kemunduran mutu orde nol (kecepatan tetap) dapat dinyatakan dengan persamaan :

Q t =Q o – k. t

Dengan Q o : harga awal parameter

Q t : harga yang tertinggi setelah waktu t k : konstanta t : umur simpan (hari atau bulan atau tahun)

Penentuan umur simpan sebaiknya mempertimbangkan faktor teknis dan ekonomis dalam upaya distribusi produk yang di dalamnya mencakup keputusan manajemen yang bertanggung jawab (Herawati,2008).

G. Uji Organoleptik

Kramer dalam Kartika (1988), mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan pangan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur, kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip, dan (2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis. Berdasarkan karakteristik tersebut, profil produk pangan umumnya ditentukan oleh ciri organoleptik kritis, misalnya kerenyahan pada keripik. Namun, ciri organoleptik lainnya seperti bau, aroma, rasa dan warna juga ikut menentukan. Pada produk pangan, pemenuhan spesifikasi dan fungsi produk yang bersangkutan dilakukan menurut standar estetika (warna, rasa, bau, dan kejernihan), kimiawi (mineral, logam–logam berat dan bahan kimia yang ada dalam bahan pangan), dan mikrobiologi yang tidak mengandung bakteri Eschericia coli dan patogen (Anonim, 2002)

Data yang diperlukan untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori, analisis kimia dan fisik, serta pengamatan kandungan mikroba (Koswara 2004). Penentuan umur simpan dengan menggunakan faktor organoleptik dapat menggunakan parameter sensori (warna, flavor, aroma, rasa, dan Data yang diperlukan untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori, analisis kimia dan fisik, serta pengamatan kandungan mikroba (Koswara 2004). Penentuan umur simpan dengan menggunakan faktor organoleptik dapat menggunakan parameter sensori (warna, flavor, aroma, rasa, dan

Kesukaan atau penerimaan dapat diukur dengan cara uji kesukaaan yaitu dengan membandingkan contoh beberapa produk yang disajikan bersama- sama atau sendiri-sendiri oleh sejumlah panelis atau responden. Pada skala tertentu yaitu mulai nilai yang sangat disukai sampai dengan sangat tidak disukai atau sebaliknya (Utami, 1990).

Uji bahan makanan sebelum dijual di pasaran, perlu dilakukan terlebih dahulu, baik uji cicip laboratories, maupun uji cicip konsumen. Uji laboratories biasanya dilakukan di tempat produksi melalui berbagai jenis uji, sedangkan pada uji konsumen bahan makanan yang telah mengalami uji cicip laboratories dicobakan pada sekelompok orang awam yang kiranya dapat mewakili konsumen dengan uji kesukaan (hedonic) dan uji penerimaan (Winarno.1994).

Aroma yang disebarkan oleh makanan mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan mampu merancang indera pencium sehingga membangkitkan selera. Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya suatu senyawa yang mudah menguap. Terbentuknya suatu senyawa yang mudah menguap itu dapat sebagai akibat reaksi karena pekerjaan enzim, tetapi dapat juga terbentuk tanpa terjadi reaksi enzim. Aroma yang dikeluarkan setiap makanan berbeda-beda. Demikian pula cara memasak makanan akan memberikan aroma yang berbeda pula. Penggunaan panas yang tinggi menghasilkan aroma yang kuat, seperti pada makanan yang digoreng, dibakar, atau dipanggang. (Moehyi, 1992)

Koswara (2004) menyebutkan uji sensoris mempunyai peranan dalam pendugaan umur simpan produk pangan. Peran uji sensoris diantaranya : untuk menilai adanya perubahan yang dikehendaki atau tidak dikehendaki; Mengemati perubahan yang terjadi selama proses atau penyimpanan; Penerimaan dan kesukaan atau preferensi konsumen; dan Korelasi antara pengukuran sensoris dan kimia atau fisik. Dalam pendugaan umur simpan produk, banyak digunakan uji deskripsi dan dapat pula menggunakan uji Koswara (2004) menyebutkan uji sensoris mempunyai peranan dalam pendugaan umur simpan produk pangan. Peran uji sensoris diantaranya : untuk menilai adanya perubahan yang dikehendaki atau tidak dikehendaki; Mengemati perubahan yang terjadi selama proses atau penyimpanan; Penerimaan dan kesukaan atau preferensi konsumen; dan Korelasi antara pengukuran sensoris dan kimia atau fisik. Dalam pendugaan umur simpan produk, banyak digunakan uji deskripsi dan dapat pula menggunakan uji

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Pembuatan “cabuk” dilakukan di UKM Putri Mandiri Sukoharjo. Sedangkan untuk penelitian dan analisa dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian dilakukan pada Bulan November 2009 sampai dengan selesai.

B. Bahan dan Alat

1. Bahan

Bahan untuk pembuatan “cabuk” dan bumbu masak antara lain : biji wijen varietas S1 yang ditanam di Sukoharjo; air dan kapur sirih; gula dan garam; serta tepung beras.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan terbagi sebagai alat untuk membuat “cabuk dan bumbu masak, alat untuk menyimpan serta alat untuk uji organoleptik. Alat untuk pembuatan “cabuk” dan bumbu masak antara lain penggiling, mesin pengepress, cabinet dryer, alat penepung, , kompor, timbangan kasar, alat tumbuk, dandang, termometer, gelas ukur, panci, saringan, sendok makan, gelas, sendok kayu, besek, daun pisang segar, serbet, stoples, baskom dan aluminium foil wrap. Alat untuk menyimpan berupa kotak inkubator. Sedangkan alat untuk uji organoleptik ada nampan, cawan, sendok dan gunting.

C. Tahapan Penelitian

1. Pembuatan Bumbu Masak

· Ekstraksi

Ekstraksi dilakukan untuk memperoleh minyak dari biji wijen. Biji wijen 1 kg Biji wijen digiling kemudian dilakukan ekstraksi. Hasil ekstraksi ada minyak wijen dan bungkil wijen. Bungkil wijen yang merupakan hasil

Penggilingan

samping digunakan sebagai bahan baku cabuk. Tahapan ekstraksi biji wijen selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut ini:

Ekstraksi

Minyak wijen

Bungkil wijen

350 gr

650 gr

Gambar 3.1 Diagram Alir Ekstraksi Minyak Wijen

· Fermentasi Bungkil wijen dari tahapan ekstraksi kemudian melalui tahapan fermentasi untuk menjadi cabuk. Bungkil wijen ditimbang sebanyak 400 gram, kemudian ditumbuk. Hasil penumbukan di saring dan ditambah air kapur sirih sebanyak 200 ml. Selanjutnya dikukus selama

30 menit. Setelah itu didinginkan. Hasil yang telah dingin dimasukkan kedalam wadah untuk difermentasi selama 48 jam. Setelah 48 jam, dikukus lagi selama 30 menit. Hasil pengukusan ini cabuk yang masih mentah. Tahapan fermentasi bungkil wijen dapat dilihat pada Gambar

3.2 berikut ini:

Ditimbang Bungkil wijen 400gr

Ditumbuk

Disaring

Air kapur sirih 200 ml

Dikukus selama 30 menit

Didinginkan suhu kamar

Fermentasi selama 48 jam

Dikukus selama 30 menit

Cabuk mentah 664 gr

Gambar 3.2 Diagram Alir Fermentasi “Cabuk”

· Pembuatan Tepung Bumbu Masak Hasil fermentasi bungkil wijen masih berupa cabuk mentah. Cabuk yang mentah diberi bahan tambahan berupa gula dan garam, jadilah cabuk. Cabuk ditambah tepung beras kemudian dicampur sehingga menjadi adonan. Adonan dibuat lembaran tipis untuk dikeringkan. Pengeringan dilakukan pada cabinet dryer dengan suhu

65 o C selama 28 jam 45 menit. Hasilnya berupa cabuk yang telah kering. Cabuk kering digiling kemudian diayak dengan ayakan 80

mesh. Hasil akhirnya tepung bumbu masak dari cabuk. Tahapan pembuatan tepung bumbu masak dapat dilihat pada Gambar 3.3 berikut ini:

Cabuk mentah 355 gram

Pencampuran

Gula 110 gram dan garam 35 gram

Cabuk 500 gram

Tepung beras Pencampuran

100 gram

Adonan 600 gram

Pengeringan

Uap air

65 C, 28 jam 45 menit

Cabuk kering 415 gram

Penggilingan

Pengayakan 80 mesh

Fraksi tidak lolos

Tepung bumbu masak 190 gram

Gambar 3.3. Diagram Alir Proses Pembuatan Tepung Bumbu Masak

Berbahan Baku “Cabuk”

2. Penyimpanan dan Analisa

Bumbu masak dikemas dalam kemasan sachet aluminium foil dan botol kaca volume 15 ml disimpan pada 3 suhu penyimpanan yang berbeda yaitu 30°C, 40°C, dan 50°C. Selama penyimpanan dilakukan uji organoleptik. Tahapan penyimpanan dan analisa bumbu masak berbahan baku “cabuk” dilihat pada Gambar 3.4 berikut ini:

Tepung bumbu masak

Pengemasan - Sachet aluminium foil

- Botol kaca

Penyimpanan Suhu 30; 40 dan 50 o C

Analisa

Uji Organoleptik Hari ke-0; 3; 6; 9; dan 12

Gambar 3.4. Diagram Alir Proses Penyimpanan dan Analisa Tepung Bumbu Masak Berbahan Baku “Cabuk”

· Uji Organoleptik Uji organoleptik dilakukan menggunakan panelis tetap yang semi terlatih. Uji organoleptik dilakukan setiap 3 hari sekali, dari hari ke-0 hingga hari ke-12. Uji yang dilakukan adalah penilaian akan kesukaan (scoring).

D. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan dua variasi jenis pengemas. Jenis kemasan yang digunakan yaitu kemasan sachet dari aluminium foil dan botol dari kaca. Perhitungan umur simpan menggunakan pendekatan kemunduran mutu Arrhenius.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penurunan Mutu Organoleptik Bumbu Masak Berbahan Baku Cabuk Selama Penyimpanan

Penelitian ini mengkaji umur simpan bumbu masak berbahan baku cabuk mengunakan pendekatan kinetika reaksi dengan metode Acceleratted Shelf Life Test (ASLT). Penurunan mutu bumbu masak berbahan baku cabuk selama penyimpanan perlu diketahui. Hal ini dilakukan dengan pengujian organoleptik. Hasil pengujian organoleptik dapat menunjukkan atribut mutu apa yang pertama kali ditolak oleh konsumen. Atribut mutu ini yang sebagai indikator kerusakan. Atribut mutu yang diuji antara lain warna, aroma, kenampakan dan keseluruhan.

Hasil perhitungan nilai mutu (Q t ) dari masing-masing atribut mutu bumbu masak berbahan baku cabuk dapat dilihat pada Tabel 4.1 sampai dengan Tabel 4.4. 1. Atribut Mutu Warna Tabel 4.1. Hasil Pengujian dan Perhitungan Nilai Q t dari Atribut Mutu Warna Suhu Waktu Pengemas botol Pengemas sachet

( C)

(hari) Q t

Ln Q t

Ln Q t

Hasil pengujian dan perhitungan pada Table 4.1. menunjukkan nilai dari atribut warna mengalami penurunan selama penyimpanan. Hal ini berarti bahwa warna bumbu masak mengalami perubahan selama penyimpanan. Warna merupakan suatu profil visual yang menjadi kesan pertama konsumen dalam menilai bahan pangan (Kartika, 1988). Perubahan warna dapat terjadi melalui reaksi maillard. Reaksi ini terjadi oleh suhu tinggi dan adanya gula reduksi serta protein dalam bahan pangan. Selama penyimpanan, bumbu masak disimpan pada suhu yang lebih tinggi dari suhu penyimpanan normal. Warna bumbu menjadi semakin coklat sehingga nilainya semakin turun karena kurang disukai konsumen.

2. Atribut Mutu Aroma Tabel 4.2. Hasil Pengujian dan Perhitungan Nilai Q t dari Atribut Mutu Aroma

Suhu Waktu Pengemas botol Pengemas sachet

( C)

(hari) Q t

Ln Q t

Ln Q t

Aroma pada produk pangan berasal dari zat bau. Zat ini sifatnya volatile (mudah menguap), sedikit larut dalam air dan lemak (de Hann, 1989). Hasil pengujian dan penghitungan pada Tabel 4.2. menunjukkan bahwa atribut aroma semakin turun nilainya selama penyimpanan. Aroma yang dinilai dari bumbu ini adalah aroma khas cabuk dan tengik. Selama penyimpanan aroma khas cabuk menurun karena menguapnya zat bau, sedangkan aroma tengik semakin kuat karena terjadi kerusakan kandungan lemaknya. Semakin lemahnya aroma khas cabuk dan semakin kuatnya aroma tengik dari bumbu masak membuat konsumen kurang menyukainya.

3. Atribut Mutu Kenampakan Tabel 4.3. Hasil Pengujian dan Perhitungan Nilai Q t dari Atribut Mutu Kenampakan

Suhu Waktu Pengemas botol Pengemas sachet

( C)

(hari) Q t

Kenampakan yang dinilai dari bumbu masak ini adalah kenampakan tepung bumbu masak. Hasil pengujian dan penghitungan pada Tabel 4.3. menunjukkan Kenampakan yang dinilai dari bumbu masak ini adalah kenampakan tepung bumbu masak. Hasil pengujian dan penghitungan pada Tabel 4.3. menunjukkan

4. Atribut Mutu Keseluruhan Tabel 4.4. Hasil Pengujian dan Perhitungan Nilai Q t dari Atribut Mutu Keseluruhan

Suhu Waktu Pengemas botol Pengemas sachet

( C)

(hari) Q t