Sejarah Perekonomian Masa Pra aksara

KONDISI KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA PADA
MASA PRAAKSARA

ARTIKEL
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Perekonomian
yang dibina oleh Bapak Aditya Nugroho Widiadi, S. Pd., M.Pd.

Oleh :
Ardi Neo Sandi
Intan Febri Layyinah
M. Erik Nizamul Karim
Trias Ulul Himmah

(130731615698)
(130731615706)
(130731607256)
(130731616743)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL

JURUSAN SEJARAH
PRODI PENDIDIKAN SEJARAH
November 2015

KONDISI KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT INDONESIA PADA
MASA PRAAKSARA

Ardi Neo Sandi, Intan Febri Layyinah, Muhammad Erik Nizamul Karim, Trias
Ulul Himmah1
Jurusan Sejarah

Abstrak
Pola kehidupan manusia masa Praaksara mengalami begitu banyak
macam, tergantung dengan pembabakan masanya. Pada mulanya mereka
mengawali kehidupan dengan sangat bergantung dengan alam dan juga
alam mengambil peran penting dari adanya perkembangan yang signifikan.
Adanya kehidupan sosial dan budaya yang pada nantinya menghasilkan
sebuah sistem ekonomi. Sistem perekonomian pada masa Praaksara tidak
banyak macamnya mengingat kehidupan manusia kala masa Praksara
masih primitif dan bergantung alam sehingga adanya perekonomian masih

sederhana, yakni berupa barter.
Kata Kunci : Masa Praaksara, Sistem Perekonomian, Perekonomian Barter,
Primitif.
Makhluk hidup merupakan komponen yang sangat penting untuk menjaga
keseimbangan dunia, mereka adalah manusia, binatang, dan tumbuhan. Manusia
dipandang dari sudut pandang ilmu hayati memiliki banyak sekali persamaan
dengan binatang yakni terdapat dalam golongan mammalia atau menyusui2.
Pemberian nama manusia kera pada fosil manusia yang ditemukan pertama
memperkuat adanya argumen bahwa dalam kurun waktu 3–5 juta tahun lalu
hingga masa sekarang ini, manusia telah banyak mengalami evolusi. Berubahnya
manusia pertama yang setengah kera hingga seutuhnya menjadi manusia seperti
sekarang ini tak lantas berubah dengan sendirinya. Faktor lingkungan atau alam
menjadi pengaruh utama dari perubahan itu sendiri.
Lamanya jangka dari masa evolusi manusia setengah kera tersebut menjadi
manusia terdapat banyak sekali hal yang ditinggalkan yang dapat diteliti pada
1 Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah Angkatan 2013, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Malang.
2 Soekmono, R. 1981. Pengantar Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius (hlm. 7).

masa modern ini. Hasil penemuan itu pula dapat dikaji dan digambarkan

mengenai kehidupan masa manusia 3 jutaan yang lalu. Para ilmuan
mengelompokkan manusia purba 3 jutaan lalu menjadi masa Praaksara atau masa
sebelum dikenalnya tulisan.
Masa Praaksara ini pula masih dibagi berdasarkan kebudayaan yang
berbeda yakni meliputi masa Paleolithikum, Mesolithikum, Neolithikum dan
Logam. Penamaan itu berdasarkan dari hasil temuan yang sebagian besar terbuat
dari batu, sehingga dikenal dengan zaman batu namun dikelompokkan menjadi
zaman batu tua, pertengahan dan muda. Setiap peralihan dari zaman tersebut
banyak terdapat perkembangan dari pola kehidupan mereka. Perkembangan yang
disimpulkan berasal dari bukti-bukti temuan berupa alat-alat atau perlengkapan
yang biasa mereka gunakan sebagai membantu kegiatan sehari-hari. Semakin
muda umur manusia purba maka semakin maju pula perkembangannya. Alat-alat
yang digunakan semakin disempurnakan yakni dengan diasah dan telah
dihaluskan agar lebih mempermudah kerja mereka, terutama dalam hal berburu,
meramu hingga nantinya bercocok tanam3.
Perkembangan pola kehidupan mereka mencakup mengenai keadaan
sosial-budaya mereka, hingga nanti pada masa holocen manusia telah mengenal
mengenai sistem perekonomian. Sistem perekonomian ini tentu bersifat
sederhana. Adanya faktor penunjang dengan dilakukannya sistem perekonomian
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setiap

wilayah memiliki potensi alam masing-masing yang berbeda-beda satu sama lain
tergantung pada kondisi alamnya. Sistem perekonomian ini pula didukung dengan
telah dibuatnya perahu dan rakit yang digunakan sebagai alat pengangkut pada
saat sistem perekonomian pertama yang sederhana yankni barter dilakukan.
Penambahan anggota hingga membentuk sebuah desa atau dusun kecil
juga telah menciptakan industri-industri lokal yang telah mampu membuat
peralatan dan kerajinan tangan. Apalagi ditambah dengan manusia masa holocen
yang telah mengenal sistem kepercayaan, hal ini menyebabkan adanya beberapa
benda yang disimpan karena dianggap memiliki nilai magis tertentu dan
digunakan pada saat diadakan upacara.
3 Soekmono, R. 1981. Pengantar Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius (hlm. 52).

1. Masa Paleolithikum
Pola kehidupan manusia pada masa ini biasa dikenal dengan sebutan
kehidupam kala plestosen. Hasil penemuan dan penelitian mengenai temuan
alat-alat manusia di masa inipun tak begitu banyak dan kompleks. Hal tersebut
dikarenakan kehidupan masa ini sangat sederhana dan masih sangat awal,
sehingga perkembangan dari segi kehidupan masih belum terlihat. Alasan lain
bahwa masa inilah yang dijadikan sebagai awal dari masa manusia praaksara
yakni ditemukannya sebuah fosil yang diduga memiliki kerangka tahun yang

paling tua dibandingkan dengan penemuan lainnya.
Selain kehidupan yang masih awal dan sederhana, manusia masa
plestosen menjalani dan memenuhi kebutuhan hidupnya bergantung dengan
alam. Manusia kala plestosen pula memiliki pola kehidupan yang berpindahpindah (nomaden) dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan menyesuaikan
lingkungan sekitarnya. Jumlah anggota dalam kelompok masih tergolong
sedikit agar memudahkan saat berpindah ketempat yang baru dengan angka
kematian lebih tinggi daripada kelahiran terutama bagi kanak-kanak. Hal
tersebut dikarenakan hidup pada kala tersebut sulit4.
Menurut para ahli, dimungkinkan bahwa telah ada pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan yakni laki-laki sebagai yang memburu hewan
buruan terutama saat akan memburu hewan yang berukuran cukup besar.
Sedangkan perempuan mengumpulkan bahan makanan dalam jarak dekat
seperti hewan-hewan kecil, buah-buahan, biji-bijian dan umbi-umbian.
Penjabaran mengenai kehidupan sosial manusia pada masa
Paleolithikum atau zaman batu tertua tersebut, dapat diketahui bila kehidupan
mereka begitu bergantung dengan alam. Pola kehidupan juga nomaden atau
berpindah-pindah sehingga adanya penyebaran budaya masih minimal karena
mereka harus selalu menyesuaikan diri dengan tempat baru mereka, ditambah
lagi dengan kondisi alam yang sulit sehingga angka harapan hidup minimal
yang menjadikan pertumbuhan tak begitu tinggi.

Menilik lebih lanjut lagi, masa manusia purba Paleolithikum ini
berlangsung selama kurang lebih 3 juta tahun. Hasil penemuan para ahli pula
peralatan yang dipakai sehari-hari masih kasar atau dibuat ala kadarnya saja
sesuai dengan keperluan semata. Inilah yang menjadikan peralatan atau alat4 Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zama Prasejarah
di Indonesia (Jilid I). Jakarta: Balai Pustaka (hlm. 23).

alat peninggalan manusia masa berburu terkesan masih kasar dan belum
diasah. Selanjutnya yakni mengenai kegiatan ekonomis masih sangat
tergantung dengan alam sehingga masih belum ditemukan kegiatan
perekonomian. Karena pemenuhan kebutuhan hidup mereka, mereka
mengambil dan mendapatkannya langsung dari alam5.
2. Masa Mesolithikum
Ketersediaan makanan dari alam dan jumlah binatang yang digunakan
sebagai makanan memiliki pengaruh yang besar terhadap cara hidup manusia
di zaman mesolitik. Mereka hidup dengan pola semi nomaden dan memiliki
pola tempat tinggal di goa dekat dengan sumber air yang terdapat binantang
yang dapat dimakan. Bila dirasa sumber makanan telah habis, mereka akan
berpindah mencari tempat tinggal yang baru. Untuk keberlangsungan
hidupnya mereka berburu hewan dan mengumpulkan makanan disekitar
mereka, seperti umbi-umbian. Mereka juga dapat membedakan jenis umbiumbian yang dapat dimakan6.

Gua-gua yang ditempati manusia untuk bertempat tinggal dinamakan
dengan “abris sous roche”, yang merupakan perwujudannya seperti ceruk di
dalam batu karang yang dapat dimanfaatkan sebagai tempat berlindung dari
hujan dan panas matahari7. Keputusan manusia pra aksara untuk tinggal
menetap dilatarbelakangi dengan berkurangnya intensitas berburu binatang
yang mereka lakukan. Gua-gua yang dijadikan tempat tinggal biasanya dekat
dengan sungai sebagai sumber air bagi kehidupan mereka, selain itu juga
dekat dengan lahan yang mereka gunakan untuk bercocok tanam.
Manusia pra aksara tidak hanya tinggal di gua-gua, tetapi juga terdapat
manusia yang hidup di tepi pantai. Soekmono menyatakan bahwa “bekasbekas rumah menunjukkan telah adanya penduduk pantai yang tinggal dalam
rumah-rumah bertonggak”8. Terdapat bangunan di atas tiang yang kecil
berbentuk kebulat-bulatan yang atapnya dari daun-daunan pada zaman
mesolitik9. Rumah di atas tiang ini kemungkinan berada di tepi pantai atau di
hutan yang dekat dengan sumber air dan banyak sumber makanan. Atapnya
5 Ibid (hlm. 29).
6 Ibid (hlm. 180).
7 Soekmono, R. 1981. Pengantar Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius (hlm. 41).
8 Soekmono, R. 1981. Pengantar Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius (hlm. 39).
9 Brahmantyo, G. 1998. Perwara Sejarah. Malang: IKIP Malang (hlm. 36).


yang terbuat dari daun karena pada zaman dahulu cara kehidupannya memang
masih sederhana belum mengenal desain rumah yang kuat seperti pada
sekarang ini.
Bagi beberapa manusia yang tempat hidupnya di tepi pantai melakukan
perburuan ikan dan kerang yang digunakan sebagai makanan. Populasi yang
berdiam di tepi pantai mencari makan di laut dan muara sungai. Selain ikan,
kerang merupakan sumber makanan yang utama, meskipun tumbuh-tumbuhan
dan hewan-hewan darat mereka makan juga10. Berarti selain berburu di
perairan, mereka juga melakukan perburuan terhadap hewan di darat dalam
hutan yang ukuran badannya lebih besar dari ikan di sungai.
Jika kerang dimanfaatkan sebagai makanan, maka bagian cangkangnya
yang keras tidak dapat dikonsumsi. Ada yang langsung di buang, tetapi ada
juga cangkang kerang yang diubah menjadi alat-alat untuk membantu
mempermudah pekerjaan manusia pada zaman mesolitik. Kegiatan memakan
kerang terus-menerus dilakukan, maka sisa-sisa kulit atau cangkang kerang
dan siput perlahan-lahan akan tertumpuk menjadi sebuah gundukan.
Soekmono menyatakan “kulit-kulit siput dan kerang yang dibuang itu
selama waktu yang bertahun-tahun, mungkin ratusan atau ribuan tahun,
akhirnya menjelmakan bukit kerang yang beberapa meter tinggi (ada yang
tujuh meter) dan lebar itu. Bukit-bukit inilah yang dinamakan

(kjokkenmoddinger)”11. Sampah kulit kerang dan cangkang hewan laut yang
terlalu lama tertumpuk menjadi gundukan-gundukan dan akan bertambah
tinggi, jumlahnya perlahan-lahan akan bertambah sehingga akan terbentuknya
bukit kerang yang banyak.
Menurut Soekmono, kjokkenmoddinger yang berarti sampah dapur dari
bahasa Denmark disebutnya sebagai sampah-sampah dapur karena kulit-kulit
kerang dan siput tersebut dianggap sebagai sisa makanan (makanan sekarang
umumnya dihasilkan dari dapur)12. Masa mesolitik sudah terdapat manusia
yang melakukan usaha bertani yang dilakukan secara sederhana. Mereka
belum membajak tanah dan belum bisa sistem bertani dengan menanam biji.
10 Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman
Prasejarah di Indonesia (Jilid I). Jakarta: Balai Pustaka (hlm. 151).
11 Soekmono, R. 1981. Pengantar Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius (hlm. 39).
12 Ibid (hlm. 40).

Mereka menaman tumbuhan dengan cara mengambil bagian tumbuhan untuk
ditanam kembali (vegetatif).
Cara bertani manusia pada zaman mesolithikum yakni dikerjakan
dengan amat sederhana dan dilakukan secara berpindah-pindah menurut
keadaan kesuburan tanah. Hutan yang akan dijadikan tanah pertanian

dirambah dahulu dengan sistem tebas-bakar (slash and burn). Mereka
menanam umbi-umbian seperti keladi sebab mereka belum mengenal cara
menanam biji-bijian. Mereka sudah menanam satu jenis padi liar yang
didapatkan dari hutan dan kemudian mengetam dengan mempergunakan
pisau-pisau batu yang tajam. Setelah musim panen selesai, lahan pertanian
yang sederhana itu akan ditinggalkannya.
Masa mesolithik telah ada usaha untuk menjinakkan hewan liar
(domestikasi) yang akan dijadikan ternak ataupun peliharaan terbukti dari
adanya penemuan gigi anjing di Gua Cakondo Sulawesi Selatan Hawkes13.
Penemuan tersebut merupakan bukti tentang upaya untuk menjinakkan
binatang tersebut. Juga pada masa telah ditemukan api yang berguna demi
kelangsungan hidup mereka. Anjing dipelihara karena merupakan binatang
yang dapat menolong manusia ketika berburu di dalam hutan dan dapat
digunakan untuk menjaga tempat tinggal.
Api yang dikenal sejak kala Plestosen, memegang peran penting dalam
kehidupan gua. Api bermanfaat untuk pemanas tubuh dan menghalau hewan
buas di malam hari, di samping untuk memasak makanan. Kebudayaan pada
zaman mesolitik atau masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat
lanjut masih terdapat kemiripan dengan zaman paleolitik tetapi budayanya
sudah mengalami kemajuan dan perkembangan. Terbukti dari sudah adanya

pola hidup yang menetap, mengenal kegiatan penguburan manusia yang
meninggal, usaha untuk menghaluskan alat meskipun belum terlalu halus, dan
adanya usaha untuk mengolah tanah untuk lahan pertanian. Manusia
paleolitikum masih rendah sekali tingkat peradabannya. Hidupnya
mengembara sebagai pemburu, penangkap ikan, dan pengumpul bahan-bahan
makanan, seperti buah-buahan, jenis-jenis ubi, keladi, dan bahan makanan
13 Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman
Prasejarah di Indonesia (Jilid I). Jakarta: Balai Pustaka (hlm. 184).

lainnya. Jadi sebanyak-banyaknya hanya mengumpulkan saja makanan apa
yang ia dapati dari alam14.
Cara hidup pada masa mesolitikum masih dipengaruhi oleh cara
hidup sebelumnya. Faktor-faktor alam seperti iklim, kesuburan tanah dan
keadaan fauna amat berpengaruh dan menentukan hidup mereka sehari-hari.
Hidup mereka masih sepenuhnya tergantung pada alam. Dalam hidup yang
sepenuhnya tergantung pada alam tersebut, mereka juga menunjukkan
keinginan untuk bertempat tinggal. Tempat yang mereka tinggali adalah guagua alam (caves) atau di gua-gua payung atau ceruk (rock-shelters) walaupun
tidak menetap15.
Berdasarkan temuan-temuan artefak pada masa mesolitikum ini,
tampaklah kelanjutan tradisi alat-alat batu dan tulang. Dibuatnya alat-alat dari
batu dan tulang menghasilkan kapak genggam Sumatra dan kapak pendek di
beberapa wilayah, sedangkan alat serpih-bilah boleh dikatakan sebagai
pelengkap alat-alat utama. Alat yang dibuat tidak hanya alat dari batu, tulang,
tanduk, dan kulit kerang, tetapi juga ada kemungkinan mereka sudah membuat
alat-alat dari pepohonan yang ada. Misalnya bambu, karena bambu bisa
dijadikan lancipan untuk sudip dan lainnya. Selain itu untuk tempat makanan
bambu bisa digunakan sebagai wadah apabila dianyam.
Penemuan api dan perkembangan teknologi pertanian merupakan
proses pembarun yang memberntuk dasar budaya. Hal ini mungkin karena
selain mendatangkan tanda awal kehidupan sosial, juga melahirkan teknologi
lainnya yang berhubungan16. Artinya di sini, mereka akan berpikir apa saja
yang bisa dilakukan untuk membuat makanan dengan menggunakan perapian.
3. Masa Neolithikum
Berbeda halnya pada zaman sebelumnya yakni Mesolithikum, pada
masa Neolithikum ini telah terdapat perkembangan masyarakat terutama dari
segi perekonomian, hal tersebut merupakan kelanjutan dari adanya kemajuan
masyarakat di bidang sosial-budaya. Manusia pendukung pada masa ini yakni
14 Soekmono, R. 1981. Pengantar Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius (hlm. 40).
15 Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman
Prasejarah di Indonesia (Jilid I). Jakarta: Balai Pustaka (hlm. 180).
16 Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman
Prasejarah di Indonesia (Jilid I). Jakarta: Balai Pustaka (hlm. 181).

Homo Erectus. Salah satu contoh adanya kemajuan bahwa mereka telah
berbudaya dan memiliki kemajuan yakni mereka telah memilih hidup menetap
atau tak berpindah-pindah (sedenter). Berbeda halnya dengan masa
sebelumnya bahwa mereka masih memiliki pola hidup semi nomaden (separuh
menetap dan separuh berpindah). Pola kehidupan semi nomaden ini bercirikan
mereka telah mulai bertempat tinggal di gua-gua dekat dengan mata air yakni
sungai, namun ketika makanan dan hewan disekitar mereka dikira telah habis
maka mereka akan berpindah dan mencari tempat tinggal baru lagi17.
Adanya tempat tinggal yang menetap ini membuktikan bahwa jumlah
dari anggota dari setiap kelompok kian bertambah dan bertambah tak hanya
terdiri satu keluarga saja seperti pada masa Paleolithikum dan juga
Mesolithikum. Tak hanya memilih tempat tinggal yang dekat dengan sumber
mata air, diteliki satu persatu bahwa mereka juga memilih tempat tinggal yang
agak tinggi dan bukit-bukit kecil yang dikelilingi sungai atau jurang serta
dipagar hutan. Tujuannya yakni perlindungan diri dari serangan-serangan
musuh maupun hewan buas. Manusia pada zaman ini pula telah berfikir untuk
melindungi diri mereka, terbukti dari dibuatnya tanggul-tanggul dan parit-parit
pertahanan disekitar tempat tinggal mereka.
Kembali lagi pada kehidupan sosial manusia masa bercocok tanam,
dimungkinkan bahwa perkembangan anggota dalam sebuah golongan kian
bertambah. Sistem sosial berupa desa atau dukuh diperkirakan sudah
terbentuk. Hal tersebut menjadi informasi penting bahwa pertumbuhan
penduduk kian pesat. Golongan-golongan yang terdiri dari beberapa keluarga
berumpul menjadi satu dan bertempat tinggal dalam satu wilayah yang
nantinya membentuk sebuah desa kecil yang didiami bersama oleh manusia
masa bercocok tanam.
Jenis tanaman pada saat bercocok tanam sebagian besar adalah
tumbuhan liar, namun juga ada beberapa tanaman yang memang sengaja
ditanam untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Penjinakan hewan
kerbau sebagai hewan ternak, babi liar sebagai hewan buruan dan juga anjing
liar untuk membantu mereka saat berburu di hutan.
17 Ibid (hlm. 180).

Semakin banyaknya anggota dalam suku, menyebabkan kian
bertambahnya pula keperluan sehari-hari. Adanya pembagian kerja pada masa
ini lebih kompleks, yakni kaum pria yang mencari hewan buruan sedangkan
kaum wanita berperan sebagai mengumpulkan makanan, mengolahnya dan
mereka juga bercocok tanam dengan teknik sederhana. Meski demikian ada
masanya pula dimana alam tidak menyediakan kebutuhan manusia pada
manusia bercocok tanam. Inilah pendorong mereka melakukan perpindahan
dan juga sebagai penanda dengan berkembangnya kehidupan baru dengan
membuka lahan baru pada manusia masa ini. Lahan kian hari kian menyempit,
bertolak belakang dengan manusianya yang bertambah banyak. Pada tempattempat tertentu menjadi sebuah lahan tandus karena alamnya yang berbatu
sehingga mulai dibukalah industri-industri lokal dalam pembuatan alat-alat
kerja untuk kepentingan sehari-hari
Berdasarkan perkembangan diatas dapat ditarik benang merah
bagaimana asal-usul kegiatan perekonomian yang bergantung dari kehidupan
sosial mereka sendiri. Diperkirakan bahwa sistem perekonomian yang pertama
mereka kenal adalah sistem barter. Barang-barang yang dipertukarkan dengan
jarak yang jauh itu sebagian besar diangkut melalui jalur sungai, laut dan juga
beberapa melalui darat, seperti yang telah disebut sebelumnya bahwa semakin
banyaknya anggota dalam sebuah desa membuat kian meningkatnya
kebutuhan hidup mereka. Bila ditelaah manusia masa bercocok tanam telah
banyak melakukan hubungan dengan manusia di desa lain yang berada
ditempat berbeda karena telah adanya sistem bertukar barang (barter).
Didukung dengan keahlian manusia bercocok tanam yang telah mampu
membuat perahu dan rakit. Pembuatan perahu dilakukan dengan menebang
pohon dan menguliti kulitnya dengan hasil yakni sebuah perahu bercardik18.
Kemajuan dalam pembuatan perahu berperan penting dalam proses
barter, yakni dari segi pengangkutan barang maupun sebagai barang yang
ditukarkan. Adapun barang yang digunakan dalam barter yakni barang hasil
bercocok tanam, karena setiap desa memiliki hasil bercocok tanam yang
berbeda-beda tergantung pada kondisi kesuburan tanah dan lokasi
18 Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman
Prasejarah di Indonesia (Jilid I). Jakarta: Balai Pustaka (hlm. 244).

geografisnya. Lalu ada barang dari hasil kerajinan tangan yakni gerabah,
beliung, dan perhiasan karena pada masa tersebut manusia telah berbudaya
dan telah mampu membuat sebuah kesenian yang bernilai tinggi. Perlu juga
diketahui bahwa manusia pada masa bercocok tanam ini telah mengenal
sistem kepercayaan, sehingga beberapa benda seperti kapak dan pacul hanya
dibuat sekali pakai yakni untuk upacara atau seperti beberapa jenis batu yang
mereka simpan untuk dijadikan jimat19. Garam dan ikan laut tentu berasal dari
golongan manusia yang bertempat di wilayah didekat laut dan ditukarkan
kepada manusia desa pedalaman yang membutuhkan.
4. Masa Logam
Prasejarah memasuki zaman yang terakhir yaitu Zaman Logam atau
Masa Perundagian. Pergantian dari zaman batu ke jaman logam tidak secara
mendadak, tetapi berangsur-berangsur dan sedikit demi sedikit. Memasuki
zaman logam, berarti logam telah dikenal orang dan digunakan sebagai alatalat untuk keperluan hidup. Keterampilan membuat alat-alat dari logam
tentunya menumbuhkan pekerjaan baru yang berbeda ketika menggunakan
bahan batu. Logam harus dilebur supaya dapat dibentuk menjadi alat-alat
kebutuhan hidup. Teknik pembuatannya disebut a cire perdue20. Asia tenggara
tidak mengenal jaman tembaga, karena setelah neolithikum langsung
meningkat ke jaman perunggu (perunggu adalah campuran timah putih dan
tembaga). Kepandaian mempergunakan bahan baru tentu saja disertai dengan
cara bekerja yang baru. Logam tidak dapat dipukul-pukul atau dipecah seperti
batu untuk mendapat alat yang dikehendaki, lagi pula logam bukan merupakan
bahan yang telah tersedia seperti batu. Logam harus dilebur terlebih dahulu
dari bijihnya untuk dapat dipergunakan, leburan logam tersebut kemudian
dicetak21.
Hasil kebudayaan terpenting dari kebudayaan perunggu adalah Kapak
Corong dan Nekara. Kapak corong merupakan kapak yang bagian atasnya
berlubang, berbentuk corong yang digunakan untuk memasukkan tangkai
kayu. Nekara merupakan benda perunggu peninggalan prasejarah berupa
19 Soekmono, R. 1981. Pengantar Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius (hlm. 52).
20 Asmito. 1988. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (hlm. 15).
21 Soekmono, R. 1981. Pengantar Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius (hlm. 60).

berumbung berlekuk yang bagian tengah sisi atapnya tertutup22. Benda-benda
peninggalan prasejarah tentu memiliki arti dan makna yang dapat dijadikan
gambaran tentang kondisi sosial, politik, dan religius pada masa tersebut.
Hiasan-hiasan dalam nekara sangat penting karena mengandung gambaran
berharga tentang kehidupan dan kebudayaan yang ada pada masa sebelum
dihasilkan peninggalan berupa tulisan23.
Kehidupan manusia prasejarah memiliki pola kehidupan yang sangat
sederhana, kegiatannya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan cara
berburu dan meramu atau mengumpulkan makanan. Keputusan untuk berburu
dan mengumpulkan makanan dilakukan karena melihat iklim, kesuburan
tanah, dan binatang buruan yang melimpah (Akhru, 2013). Binatang yang
banyak terdapat di hutan maupun ikan-ikan yang banyak ditemukan di sungai
membuat manusia prasejarah berburu, untuk dapat memenuhi kebutuhan
makanan dihari-hari berikutnya, hasil buruan yang didapat disimpan dan
dikumpulkan. Berburu dan meramu merupakan sistem pencaharian yang
paling tua dan sebagian kecil masih digunakan sampai sekarang.
Mata pencaharian selanjutnya mengikuti dari tingkat kemajuan otak
manusia yang berdampak pada keinginan untuk memiliki kemajuan taraf
hidup yang lebih baik. Manusia prasejarah kemudian mengenal sistem
bercocok tanam tingkat sederhana, ketika sistem bertani ini dipilih, manusia
sudah hidup menetap dan tidak berpindah-pindah. Bercocok tanam dipilih
karena daerah pinggir sungai yang subur dan berpotensi untuk ditanami, serta
memiliki sistem irigasi yang baik. Manusia prasejarah menempati gua-gua
yang ada dan mulai berusaha memenuhi kebutuhan hidup tidak hanya dengan
bercocok tanam, tetapi juga dengan beternak dengan cara menjinakkan
binatang atau domestikasi binatang. Peternakan sangat berkembang pada masa
Neolithikum karena manusia sudah hidup menetap dalam sebuah kelompok
(Akhru, 2013). Peternakan sangat bermanfaat karena binatang yang diternak
bisa menghasilkan susu, daging, kulitnya bisa dipakai untuk penutup tubuh
dari kedinginan, dan tenaga binatang ternak dapat dipakai untuk membajak
tanah untuk bercocok tanam.
22 Asmito. 1988. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (hlm. 16).
23 Soekmono, R. 1981. Pengantar Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius (hlm. 65).

Pemikiran manusia dari masa ke masa semakin maju, maka manusia
mulai berfikir untuk mencari alat tukar untuk memenuhi kebutuhan yang tidak
ia punya. Alat tukar yang dipakai pada masa prasejarah yakni sistem barter.
Sistem barter merupakan penukaran barang tertentu yang ditukar dengan
barang yang mungkin nilainya lebih besar atau lebih kecil, sistem barter mulai
ditemukan pada masa Neolitikum dan Zaman Logam (Akhru, 2013). Sistem
barter inilah yang menjadi cikal bakal dari sistem tukar menukar dengan
menggunakan uang untuk membeli barang.

DAFTAR RUJUKAN
Akhiru. 2013. Sistem Ekonomi dan Sistem Mata Pencaharian Hidup
(http://akhiru.wordpress.com/2013/12/11/sistem-ekonomi-sistem-matapencaharian- hidup/).
Asmito. 1988. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Brahmantyo, G. 1998. Perwara Sejarah. Malang: IKIP Malang.
Soekmono, R. 1981. Pengantar Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia:
Zaman Prasejarah di Indonesia (Jilid I). Jakarta: Balai Pustaka.