Reformulasi Hukum Positif Di Indonesia

Reformulasi Hukum Positif dalam Bingkai Teori Hukum Kodrat
Oleh: Husna Amin
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh
Abstrak
Visi dan misi yang terdapat dalam setiap agama mengacu kepada kemashlahatan
dan keadilan. Keadilan merupakan objek sentral yang paling menentukan agar roda
kehidupan berjalan seimbang dan damai, tapi aspek ini pula yang sangat sulit dicapai
dalam kehidupan manusia. Indonesia, sebagai sebuah Negara yang menganut hukum
positif telah menata sedemikian rupa aturan-aturan serta ketentuan yang dapat
menciptakan kemaslahatan dan keadilan bagi bangsanya, namun sampai saat ini masih
belum dapat diwujudkan. Ketimpangan dan ketidaakadilan masih tetap ada dan terjadi
dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari tingkat lokal maupun tingkat nasional bahkan
international. Hal ini mengindikasikan bahwa hukum positif yang berlaku di Indonesia
tidak bisa menjamin kemashlahatan dan keadilan bagi bangsanya. Untuk itu perlu
meninjau kembali aspek hukum yang berlaku selama ini, mulai dari sumber, landasan teori
sampai metode dan pendekatan yang digunakan dalam implementasinya.
Salah satu alternatif pemikiran yang dapat ditawarkan dalam upaya mewujudkan
cita-cita penegakan hukum di Indonesia adalah melakukan tinjauan kritis dengan
menggunakan konsep Hukum Kodrat. Hukum kodrat adalah sebuah hukum yang
dijalankan sesuai kodrat. Kodrat merupakan prinsip-prinsip perkembangan dari manusia
yang bekerja bentuk kesadaran ruhani, yang senantiasa tunduk pada hukukm-hukum alam

tanpa perlu memahaminya dan karenanya bersifat niscaya, sehingga manusia dalam
konteks hukum kodrat memliki kesadaran untuk hidup sesuai dengan nurani dan
mempunyai ciri moral. Jadi apa saja yang bertentangan dengan hukum kodrat dapat
disebut tidak kodrati (unnatural).
Hukum kodrat juga disebut dengan hukum abadi sebagaimana tanpak dalam
ciptaan. Disebut hukum modrat karena berdasar pada kodrat sendiri, dan menampakkan
diri melalui hakikat atau konstitusi berbagai ciptaan tadi. Bagian hukum kodrat yang
memerintah makhluk-makhluk nonrasional disebut hukum kodrat fisik, dana bagian
hukum kodrat yang memerintah makhluk yang rasional disebut dengan hukum kodrat
moral. Oleh karena manusia adalah makhluk fisikal sekaligus moral, maka dalam wujud
tindakannya akan memperlihatkan model ganda. Jika yang dominan adalah fisknya, maka
gerak manusia tidak jauh berbeda dengan benda-benda lainnya, tetapi jika berlandaskan
pada moralnya, maka manusia menjadi turut serta dalam memerintah dirinya untuk
bertindak sesuai dengan hukum kodrat sebagai hukum abadi. Hukum abadi kemudian
dapat dikenal sebagai hukum universal.
Immanual Kant mencontohkan gaya hukum moral sebagai hukum universal
melalui pendekatan filsafat etika. Teori yang dikembangkannya adalah teori etika
deontologis, yang menjelaskan tentang kewajiban yang terdapat dalam agama. Etika
kewajiban immanual Kant ini mengantarkan pemahaman manusia pada makna kewajiban
sebagai perintah Tuhan menjadi perintah moral yang bersifat imperatif kategoris (Kant,

1996).
Apa yang dilakukan oleh Kant mengantarkan manusia mengenal tujuan hakiki
kehidupan dan makna hukum moral sebagai hukum universal. Tujuan makalah ini


 

mencoba menawarkan alternatif pemikiran bagi kebrobokan hukum positif di Indonesia
yang membutuhkan pencerahan dan perkembangannya, sehingga hukum di Indonesia tidak
lagi menjadi permanian manusia- yang melanggar aturan-aturan Negara dan agama
sebagai landasan perdamaian hidup manusia.
Pendekatan yang akan digunakan adalah Filsafat Etika dengan menampilkan
beberapa pemikiran yang dikembangkan para filsuf, yang akan digunakan untuk menggali
bentuk serta isi dari filsafat hukum, sehingga dapat mengkritik hukum positif di Indonesia
secara objektif dan rasional
Kata-kata Kunci: Positivisme dan Hukum Kodrat
A. Pendahuluan
Visi dan misi yang terdapat dalam agama sebagai landasan bagi tegaknya sebuah
peradaban yang akan dibangun di atasnya, mengacu kepada kemashlahatan dan keadilan.
Keadilan merupakan objek sentral yang paling menentukan roda kehidupan berjalan

seimbang dan damai, tapi aspek ini pula yang sangat sulit dicapai dalam kehidupan
manusia. Indonesia, sebagai sebuah Negara yang menganut Hukum Positif telah menata
sedemikian rupa aturan-aturan serta ketentuan yang dapat menciptakan kemaslahatan dan
keadilan bagi bangsanya. Namun, sampai saat ini masih belum dapat diwujudkan.
Ketimpangan dan ketidakadilan masih tetap ada dan terjadi dalam berbagai aspek
kehidupan, mulai dari tingkat lokal maupun tingkat nasional bahkan international. Hal ini
mengindikasikan bahwa Hukum Positif yang berlaku di Indonesia tidak bisa menjamin
kemashlahatan dan keadilan bagi bangsanya, bahkan telah gagal mewujudkan Negara yang
adil, makmur damai dan berkarakter. Untuk itu perlu meninjau kembali aspek hukum yang
berlaku selama ini, mulai dari sumber, landasan teori yang digunakan dalam
implementasinya.
Salah satu alternatif pemikiran yang dapat ditawarkan dalam upaya mewujudkan
cita-cita penegakan hukum di Indonesia adalah dengan mempertimbangkan kembali
pentingnya konsep Hukum Kodrat sebagai landasan fundamental pembentukan Hukum
Positif di Indonesia. Penerapan Hukum Positif di Indonesia terkesan sangat dipengaruhi
oleh pemikiran positivisme. Hukum dalam hubungannya dengan keadilan dan
kemashalahatan hidup, tidak bisa berhenti hanya pada satu perspektif saja, konon lagi
perspektif positifistik yang nyata-nyata memiliki banyak kekurangan, meskipun diakui
bahwa pemikiran positivisme telah mengantarkan peradaban memasuki pintu gerbang
kemajuan, khususnya dalam bidang teknologi dan industri. Akan tetapi positivisme

ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan ideal masyarakat manusia.
Disinilah letak pentingnya mempertimbangkan kembali kehadiran Hukum Kodrat
dalam rangka menemukan makna sejati hukum yang sebenarnya, sehingga cita-cita
keadilan dan nilai humanitas dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Konsep Hukum
Kodrat adalah sebuah hukum yang dijalankan sesuai kodrat. Kodrat merupakan prinsipprinsip perkembangan dari manusia yang bekerja dalam bentuk kesadaran ruhani, yang
senantiasa tunduk pada hukum-hukum alam tanpa perlu memahaminya dan karenanya
bersifat niscaya, sehingga manusia dalam konteks Hukum Kodrat memiliki kesadaran
untuk hidup sesuai dengan nurani dan mempunyai ciri moral. Jadi apa saja yang
bertentangan dengan Hukum Kodrat dapat disebut tidak kodrati.


 

Apa yang menjadi harapan melalui proses kajian makalah yang dilakukan hari ini
tidak lain adalah membangun kesadaran bahwa penerapan sebuah sistem hukum di dalam
suatu Negara bertujuan mengantarkan manusia mengenal tujuan hakiki kehidupan dan
makna dari norma hukum sebagai prasyarat bagi upaya impelementasi nilai-nilai
kemanusiaan universal. Makalah ini mencoba menawarkan konsep Hukum Kodrat sebagai
alternatif pemikiran bagi Hukum Positif di Indonesia yang membutuhkan pencerahan dan
perkembangannya, sehingga hukum di Indonesia tidak lagi menjadi permainan manusia melanggar aturan-aturan Negara dan agama – yang telah menggeser wajah hukum di

Indonesia, yang seharusnya membawa perdamaian dan kemashalahatn hidup manusia,
bergeser menjadi petaka yang kurang mempertimbangkan nilai, harkat dan martabat
manusia.
B. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan adalah teori Filsafat Negara Adam Muller. Adam
Muller - sebagaima dikupas panjang lebar oleh Frans Magnis Suseno - adalah pemikir
utama kenegaraan Romantik, yang lahir pada tahun 1779 di Berlin. Romantik adalah
sebuah suasana dan gerakan budaya yang mendominasi zaman mulai akhir abad ke-18
sampai menjelang pertengahan abad ke-19. Romantik menekankan perasaan, segi-segi
adiduniawi, kodrati, religiusitas dan melawan rasionalisme pencerahan. Romantik
menjunjung tinggi sejarah dan melihat Abad Pertengahan secara positif dan sangat berbeda
dengan karakter pencerahan. Eksistensi manusia dipahami sebagai proses perkembangan
abadi, masing-masing orang mengungkapkan sesuatu yang tak berhingga (Muller dalam
Suseno, 2005).
Romantik menghayati jiwa alam, mencari sumber-sumber kejiwaan di masa
lampau, dan mencari kekuatan kreatif dalam kesatuan komunitas. Bangsa-bangsa
dipersatukan oleh roh bangsa yang terungkap dalam bahasa, puisi, mitos, dan yang paling
utama dalam sistem hukum. Muller memandang rasionalisme sebagai sesuatu yang
terpilah, terpisah dan kaku serta dangkal. Muller mendukung bentuk Negara monarkhi dan
menolak republik, menekankan kesatuan jiwa antara raja dan rakyat daripada penetapan

hak dan kewajiban masing-masing.
Selain mengembangkan paham kenegaraan, Muller juga mengembangkan teori
ekonomi dan keuangan yang cukup penting. Muller menolak tekanan Adam Smith pada
individualism dan materialism. Muller mendukung regulasi kehidupan ekonomis secara
ketat demi kepentingan nasional. Muller termasuk orang pertama yang merumuskan kritik
mendalam terhadap kapitalisme. Di Indonesia Muller dikenal melalui Supomo yang dalam
pidato termasyhurnya tentang “paham integralistik Bangsa Indonesia” pada tanggal 29 Mei
1945, menyebut Adam Muller sebagai salah satu pemikir acuannya. Menurut Supomo,
sejarah Eropa tidak akan dapat dimengerti dengan benar jika tidak mempelajari teori
kenegaraan Adam Muller (Suseno, 2005).
Makalah ini memfokuskan diri pada makna dan manfaat hukum bagi sebuah
Negara ideal, damai dan adil dengan menggunakan teori Muller tentang bagaimana
mendamaikan Negara dari segi manfaat hukum, sehingga hasil kajian kritis tentang nilainilai universal yang terdapat dalam Hukum Kodrat dapat dijadikan sebagai alternatif
pemikiran bagi upaya implementasi Hukum Positif di Indonesia secara objektif dan lebih
bermartabat, sehingga melampaui positivisme, dan tidak lagi terjebak dalam perdebatan
gaya pemikiran positivistik.


 


C. Landasan Konseptual
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum-hukum Eropa, hukum
Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana,
berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah
masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda
(Nederlandsch-Indie). Juga hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia
menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di
bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem
hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan
budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Secara sederhana, hukum dapat dikatakan sebagai perintah yang masuk akal,
ditujukan untuk kesejahteraan umum, dibuat oleh mereka yang mengemban tugas suatu
masyarakat dan dilaksanakan. Definisi ini merupakan definisi yang lengkap, aktual,
relevan dan tidak terbantahkan. Hukum merupakan suatu perintah yang logis. Kalau ada
hukum yang tidak logis, maka hukum itu bertentangan dengan eksistensinya sendiri.
Kelogisan hukum itu dapat diverifikasi pada kalimat-kalimat yang tertuang dalam
perumusan suatu tata aturan. Inilah salah satu kesan yang ditampilkam oleh gaya Hukum
Positivistik di Indonesia, yang notabene dikenal sangat dipengaruhi oleh pemikiran
positivism (Brugink, 1999)
Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint Simon (1760-1825) sebagai

metode dan sekaligus merupakan perkembangan dalam aras pemikiran filsafat. Istilah ini
kemudian mendapat sambutan luas setelah diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut oleh
Auguste Comte (1789-1857) salah seorang pemikir Perancis yang terkenal dengan konsep
hukum tiga tahap. Melalui Comte, positivisme berkembang menjadi gerakan filsafat yang
sangat berpengaruh pada paro kedua abad ke-19 dan dekade pertama abad ke-20 dalam
lingkungan Dunia Barat (Hardiman, 2006).
Positivisme bukan hanya muncul dalam bidang sosial kemasyarakatan, melainkan
juga dalam bidang hukum. Aliran ini diberi nama positivisme yuridis untuk
membedakannya dengan positivisme sosiologis. Esensi dari positivisme hukum adalah
bahwa hukum adalah perintah. Tidak ada kebutuhan untuk menghubungkan hukum dengan
moral, hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, dan harus senantiasa dipisahkan dari
hukum yang seharusnya diciptakan, atau yang diinginkan (Huijbers, 1993).
Secara kultural, positivisme muncul sebagai refleksi optimisme manusia yang
didorong oleh kemajuan industri dan teknologi di Inggris, yang merupakan buah dari
kemajuan ilmu pengetahuan. Tekanan pada pengetahuan ilmiah ini muncul terutama
sebagai reaksi terhadap rasionalisme dan idealisme yang berkembang di Jerman
(Hardiman, 2003). Adam Muller menolak rasionalisme dan idealisme yang dipandang
terlalu spekulatif dengan empirisme yang menekankan pentingnya pengalaman atau fakta
empiris dalam pencarian dan pertanggungjawaban kebenaran ilmiah (Suseno, 1987)
Mendapat inspirasi dari empirisme filosofis, sebahagian para ahli hukum abad ke-19

berusaha menjadikan hukum sebagai produk ilmiah (Hujbers, 1993). Tekanan yang kuat
pada fakta sebagai satu-satunya basis pembenaran atau pertanggungjawaban inilah yang
melahirkan positivisme hukum. Itu berarti, hukum hanya dapat diterima apabila ilmiah,
Hukum adalah karya ilmiah, untuk itu hukum harus mendapatkan pembenarannya dan
didukung sepenuhnya oleh fakta empiris.


 

Hukum lalu menjadi karya profesional para pemikir atau ahli hukum yang
menekankan dimensi ilmiah, hal ini justru semakin memperkuat makna istilah “hukum
positif” terutama untuk menekankan watak hukum sebagai ciptaan manusia dan sekaligus
mempertentangkannya dengan konsep hukum kodrat. Istilah hukum positif pada akhirnya
digunakan untuk menekankan dua sifat dasar dari hukum, yakni: hukum dipandang
sebagai karya atau ciptaan manusia; dan hukum dibangun diatas basis ilmiah
(Darmosidardjo dan Sidharta, 2006).
Masuknya istilah positivisme hukum memberi nuansa filosofis dalam pemikiran
tentang hukum. Dalam konteks ini, positivisme lalu digunakan dengan berbagai makna di
dalamnya. Secara umum istilah positivisme hukum memuat berbagai makna yang
menunjukkan sifat dasar dari aliran pemikiran hukum. Bila melihat bentuk-bentuk hukum

yang aktual pada zaman modern ini, akan muncul keyakinan bahwa hukum yang
mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh
pemerintah suatu negara, yakni undang-undang. Hal ini jelas dalam kenyataan bahwa
peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga non-negara, membutuhkan peneguhan
dari pihak negara supaya berlaku sungguh-sungguh secara yuridis. Juga hukum adat
dipandang sebagai hukum yang berlaku secara efektif, bila disahkan oleh pemerintah
negara yang bersangkutan (Huijbers, 1993). Inilah model Hukum Positif di Indonesia,
sehingga banyak terjadi ketimpangan dan sulit menegakkan keadilan. Belum lagi berbicara
dualisme sistem Hukum yang dikembangkan.
Berdasarkan pada realitas ini, perlu ditinjau ulang bahwa tujuan hukum yang
sebenarnya tidak lain adalah untuk kepentingan menciptakan kemashlahatan dan
kesejahteraan umum. Rakyat dalam suatu negara harus dapat menikmati kesejahteraan itu.
Pemerintah yang tidak menjamin kesejahteraan rakyatnya adalah pemerintah yang
mengkhianati mandat yang diembannya, hal ini bertentangan dengan dirinya sendiri.
Pemerintah harus menjalankan roda suatu negara demi kesejahteraan umum, melalui
perberlakuan hukum-hukumnya yang adil dan bijaksana (Aquinas, 1966).
Kesejahteraan umum, selain merupakan tujuan adanya hukum, juga merupakan suatu
prasyarat adanya masyarakat atau kepala negara yang memperhatikan rakyatnya.
Kesejahteraan umum itu meliputi antara lain: keadilan, ketentraman hidup, perdamaian,
keamanan dan jaminan bagi warganya. Hukum haruslah adil dan memperjuangkan

keadilan. Hukum yang tidak adil bertentangan dengan hakikat hukum dan harus diubah
agar mencapai sasarannya, yakni kesejahteraan umum.
Hukum juga merupakan prasyarat hakiki, untuk perdamaian dan ketertiban dunia.
Hukum seakan-akan merupakan bahan pokok untuk menenun kain keberadaan manusia
dan manusia selalu mencari dasar pemikiran dan filsafat yang ada di balik hukum.
Supremasi hukum hanya mungkin jika sumber-sumber keberlakuannya dan penerapan
sanksi-sanksinya dikembangkan secara rasional. Hal-hal inilah yang kiranya dapat
membimbing manusia untuk melakukan studi tentang Hukum Kodrat.
Pemikiran tentang Hukum Kodrat berhubungan erat dengan tatanan normatif yang
terdapat di alam kodrati ini. Tatanan normatif tersebut diungkapkan oleh para Filsuf
Hukum secara berbeda-beda dan memiliki implikasi yang berbeda-beda pula antara
periode yang satu dan periode yang lainnya. Ada banyak pandangan yang telah mencoba
menerjemahkan pengertian Hukum Kodrat, antara lain: pandangan-pandangan yang
menghubungkan, bahkan menyamakan Hukum Kodrat dengan nasib, keadilan dan
ketertiban alam semesta.


 

Hukum Kodrat bukanlah hukum yang diberlakukan secara paksa oleh manusia,
tetapi merupakan kewajiban yang mengikat, yakni mengkiat manusia untuk menaatinya.
Hukum Kodrat memerintahkan manusia untuk cinta kebaikan dan menjauhi kejahatan,
bahkan bila perlu dihayati melalui hati nurani. Ada juga pandangan lain yang menyatakan
bahwa Hukum Kodrat berhubungan dengan hal-hal yang normatif sebagai tatanan yang
membatasi keberadaan manusia. Sebagai norma sikap dan tingkah laku manusia di dalam
hidup bermasyarakat, Hukum Kodrat juga harus diketahui oleh subjeknya. Persoalan yang
muncul kemudian adalah bagaimana Hukum Kodrat diketahui oleh subjek? Bagaimana
Hukum Kodrat tersebut diimplementasikan? Sebagai sebuah norma, apakah Hukum
Kodrat terbatas oleh ruang dan waktu?
Hukum Kodrat menurut Thomas Aquinas adalah hukum abadi sebagaimana tampak
dalam ciptaan. Disebut Hukum Kodrat karena berdasar pada kodrat manusia sendiri, dan
menampakkan diri melalui hakikat atau konstitusi berbagai ciptaan itu. Bagian Hukum
Kodrat yang memerintah makhluk-makhluk non-rasional disebut Hukum Kodrat Fisik, dan
bagian Hukum Kodrat yang memerintah makhluk yang rasional disebut dengan Hukum
Kodrat Moral. Oleh karena manusia adalah makhluk fisikal sekaligus moral, maka dalam
wujud tindakannya akan memperlihatkan model ganda. Jika yang dominan adalah
fisiknya, maka gerak manusia tidak jauh berbeda dengan benda-benda lainnya, tetapi jika
berlandaskan pada moralnya, maka manusia menjadi turut serta dalam memerintah dirinya
untuk bertindak sesuai dengan Hukum Kodrat sebagai hukum abadi. Hukum Abadi
kemudian dapat dikenal sebagai Hukum Universal (E. Sumaryonon, 2002).
Immanual Kant mencontohkan gaya hukum moral sebagai hukum universal melalui
pendekatan filsafat etika. Teori yang dikembangkannya adalah teori Etika deontologis,
yang menjelaskan tentang kewajiban yang terdapat dalam agama. Etika kewajiban
Immanual Kant ini mengantarkan pemahaman manusia pada makna kewajiban sebagai
perintah Tuhan menjadi perintah moral yang bersifat imperatif kategoris (Husna Amin,
2002).
Adam Muller menolak Hukum Kodrat yang dipahami dalam bahasa manusia, seperti
hak asasi manusia kodrati yang mendahului hukum Positif. Pandangan seperti ini menurut
Muller mengandaikan keadaan pranegara dan keadaan itu ditolaknya. Hukum Positif
menurut Muller adalah Hukum Kodrat. Yang dimaksud Muller bukan positivisme hukum
dalam arti modern, melainkan hukum yang dipahami sebagai idea bukan sebagai konsep,
ungkapan hidup sebuah bangsa dalam negaranya. Atas dasar ini Muller memandang bahwa
Hukum Positif sama dengan kodrat bangsa yang bersangkutan, sehingga Muller menolak
pemisahan antara Hukum Kodrat dan Hukum Positif (Suseno, 2005).
Setiap aspek kebutuhan dan manfaat yang diperoleh dalam hidup bernegara secara
dinamis menyatu dengan hukum. Jika hukum dipahami bukan sebagai konsep, melainkan
sebagai idea, maka hukum bukan sesuatu yang kaku, yang dari atas ditempatkan di atas
masyarakat, tetapi hukum berkembang terus menerus dalam interaksi dialektis dengan
unsur-unsurnya terdapat di dalam sebuah masyarakat. Dengan demikian berkembanglah
sebuah hukum nasional dalam arti bahwa hukum masing-masing negara secara khas akan
mencerminkan karakter bangsa dan berkembang terus sesuai dengan ciri khas itu.
Demikian juga perang dan perdamaian, patriotisme dan kosmopolitanisme tidaklah
bertentangan, melainkan dalam ketegangannya justru menyatu dan memajukan bangsa.
Hakikat perang yang benar adalah bahwa diantara negara-negara yang berperang terdapat
sesuatu yang dimiliki bersama dan dalam perang, kehidupan politik mencapai kesadaran
yang lebih tinggi.


 

Dalam kaitannya dengan hal ini, Muller menegaskan bahwa:
“Dari segi negara-negara, perang merupakan gerakan di mana kehidupan politik
belajar mengenal dan merasakan diri, di mana negara menyadari kodratnya yang
terpisah, memeriksa keseluruhan kekuatan-kekuatannya, karena masing-masing
bangsanya melihat diri berhadapan dengan keseluruhan dan keragaman. Diantara semua
kesatuan negara, perang yang benar adalah yang paling efektif dan bertahan karena
penderitaan dan tangisan bersama mengikat dengan lebih kuat daripada kebahagiaan”
(Muller, 1809: I-80)
Menarik sekali Muller memaknai komunikasi semua unsur keanekaragaman dalam
masyarakat dalam bentuk kesatuan Negara, individu dengan golongan, golongan dengan
negara sebagai konflik. Bukan konflik di mana masing-masing mau meniadakan lawannya,
melainkan dalam arti bahwa masing-masing unsur menyatakan kedirian, aspirasi, dan
harapannya dengan bebas secara kompetitif dengan yang lain, sehingga konflik menjadi
sesuatu yang positif, dan tujuannya bukan masing-masing unsur sendiri, tetapi berbentuk
kesatuan, yaitu Negara (Suseno, 2005).
Perspektif Muller terlihat sangat menekankan segi kesatuan dalam polaritas.
Kesatuan antara kutub-kutub yang berlawanan, tetapi masing-masing hanya berarti dalam
saling keterkaitan dan saling mengandaikan, sehingga keseluruhan gagasannya cukup
dekat dengan paham dialektika Hegel. Kebebasan juga merupakan nilai tertinggi bagi
masyarakat dalam sebuah Negara Hukum. Akan tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud
dengan kebebasan bukan yang negatif, kebebasan dari pelbagai pembatasan, melainkan
kebebasan positif, sebagai kemampuan untuk mengendalikan dan mengembangkan diri
(Suseno, 2005).
Muller hanya mengakui bahwa dalam sebuah bangsa, lembaga-lembaga yang
membantu dan membela Negara secara batin dan lahir, serta secara organis masuk ke
dalam keseluruhan yang hidup. Milik warga Negara pertama adalah kebebasan dalam arti
kebabasan melaksanakan kekuatan dan hakikat khasnya, untuk tumbuh, bergerak, dan
berkonflik serta berkompetisi. Maka semua kekuatan dalam masyarakat hidup dan
berkembang serta mendukung keseluruhannya. Tidak ada pertentangan angtara kebebasan
dan kesamaan, karena kesamaan sendiri konkret. Hukum harus hidup, Muller menolak
Hukum Perdata yang bekerja dengan hak-hak yang dirumuskan secara muthlak. Tak ada
hak-hak muthlak dan hakim bukanlah semacam penerap norma-norma hukum yang mati
ke dalam kasus hidup, melainkan perantara antara masyarakat dan hukum (Suseno, 2005).
Atas dasar ini Muller menolak pembagian kekuasaan dipahami sebagai sesuatu yang
muthlak. Semua unsur republik (kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif) harus saling
berkonflik secara positif. Inilah yang dimaksud dengan keadilan. Keadilan itu konkret,
bangsa bukan sekedar jumlah semua individu dalam masyarakat, melainkan sebuah
komunitas luhur sederetan panjang gemerasi lampau, hidup sekarang dan akan datang,
yang semua berkaitan dalam suatu ikatan agung dan akrab dengan hidup dan kematian, di
mana lagi masing-masing dan di dalam masing-masing generasi, masing-masing manusia
individu sendiri menjamin persekutuan bersama, dan dengan keseluruhan eksistensi
dijamin kembali olehnya (Suseno, 2005).
Komunitas indah dan langgeng inilah yang memperlihatkan bahasa bersama, adat
istiadat dan undang-undang yang sama, dalam seribu lembaga yang memperkuat kesatuan,
dan keterikatan itu pada akhirnya dalam satu kesatuan menjadi pusat kehidupan bangsa


 

dan Negara. Rakyat melambangkan kebebasan, raja melambangkan hukum, sehingga
kebebasan dan hukum saling melengkapi. Ide kebebasan merupakan kekuatan sentrifugal
agung masyarakat, yang tidak pernah melemah, melalui kekuatan sentrifugal lain yang
secara abadi melawannya baru dapat bekerja. Inilah hakikat hukum dalam konteks idea
(Muller, 1809).
D. Relevansi Hukum Kodrat bagi Aktualisasi Hukum Positif di Indonesia
Hukum Kodrat tidak bisa dilepaskan dari akal budi manusia. Hukum Kodrat juga
yang membuat perintah dan larangan, bersumber dari akal budi, sehingga Hukum Kodrat
menjadi bagian dari perintah akal budi. Perintah akal budi ini kemudian tertuang dalam
bentuk tuntutan moral untuk melaksanakan perintah dan mejauhi larangan. Hal ini dapat
dilihat dalam konsep hukum moral sebagai hukum universal dalam ajaran etika
deontologis Immanual Kant, bahwa bahwa Hukum Kodrat tidak lain adalah akal budi itu
sendiri. Hukum Kodrat menurut Kant, berkaitan erat dengan moralitas. Jika ada Hukum
Positif yang bertentangan dengan moralitas maka yang harus dikalahkan adalah Hukum
Positif manusia. Hukum Positif harus sejalan dengan moralitas jika tidak sejalan maka
Hukum Positif invalid, aturannya dapat dibatalkan demi keadilan hukum (Husna Amin,
2000).
Hukum bukan beban bagi siapapun, tetapi justru merupakan kebijakasnaan dan
keadilan yang membawa maslahah bagi manusia (Husna Amin, 2002:29). Keadilan
merupakan keutamaan moral di dalam hukum. Setiap hukum yang diproduksikan manusia
harus memuat atau mengandung prinsip-prinsip keadilan, sebab keadilan adalah unsur
konstitutif dari hukum. Begitu lekatnya unsur keadilan di dalam hukum, sehingga
berkembang pemikiran bahwa hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Disnilah letak
pentingnya kehadiran Hukum Kodrat dalam upaya reformulasi Hukum Positif di Indonesia
yang kini dianggap gagal dalam mengantisipasi berbagai persoalan kehidupan manusia,
terutama bentuk-bentuk ketimpangan penerapan hukum yang mengakibatkan terjadinya
ketidakadilan dan ketidaksejahteraan hampir dalam setiap aspek kehidupan manusia, mulai
dari aspek ekonomi politik, hingga aspek sosial keagamaan dan kemasyarakatan.
Penerapan Hukum Positif di Indonesia didominasi oleh pola pikir positivistik yang
dikembangkan oleh aliran positivisme. Disadari atau tidak, pemikiran positivisme telah
membawa pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia.
Positivisme di satu sisi telah menciptakan kemajuan yang pesat dibidang teknologi
industri, namun positivisme di sisi lain tidak mampu menjawab sejumlah problem yang
justru dimunculkan oleh mereka sendiri. Akibat terlalu mempertimbangkan hal-hal yang
bersifat faktual dan emperistik, banyak hal yang sebentulnya penting bagi kehidupan
manusia terabaikan begitu saja (Husna Amin, 2000).
Salah satu persoalan besar yang dapat ditemukan dalam penerapan Hukum Positif di
Indonesia, akibat pengaruh gaya pemikiran positivistik adalah tindakan hukum yang
diambil sering sekali tidak tepat sasaran. Hal ini disebabkan satu-satunya alat bukti yang
dianggap paling akurat adalah yang bersifat factual dan uji ferifikatif sehingga untuk
membuktikan seorang pembunuh secara tepat dan benar saja, sangat sulit.dilakukan,
banyak tindakan hukum yang diambil justru menghakimi orang-orang yang tidak bersalah.
Terlalu banyak atau acap kali pembentukan hukum positif di Indonesia dibentuk atas
kepentingan sesaat dan temporer, pembentukan hukum Indonesia lebih cenderung
dibangun di atas kepentingan-kepentingan politik dan asing. Bahkan tidak sedikit hukum


 

Indonesia dibentuk dengan tidak sempurna dan mengandung sejumlah kekurangan dan
kelemahannya. Pembentukan hukum positif yang demikian tentu secara tidak lansung akan
berpengaruh pada penegakkannya, dimana penegakkan hukum seperti Hakim dan Jaksa
tidak memiliki ukuran yang jelas dalam menerapkan peraturan perundang-undangan.
Inilah yang kemudian dipahami sebagai hukum jauh dari rasa keadilan masyarakat dan
disisi lain hukum tampak tidak ada kepastian.
Ada kesan bahwa Hukum Positif di Indonesia telah melepaskan dirinya dari Hukum
Kodrat sebagai landasan yang kokoh bagi terwujudnya penerapan hukum yang
berkeadilan, Hukum Positif kini berkiblat pada pemikiran positivistik, sehingga upaya
mengembalikan posisi Hukum Positif pada hakikatnya mengharuskan kita menggali esensi
Hukum Kodrat. Hukum Positif tetap sah sepanjang tidak melanggar "inner morality of
law”. Hak untuk hidup adalah contoh inti moralitas hukum yang tidak boleh dilanggar (E.
Sumaryono, 2002)
Asas-asas formal Hukum Kodrat dapat dijadikan sebagai rambu-rambu dalam
pembuatan Hukum Positif dan kebijakan politik di Indonesia. Hukum Kodrat dapat
menjembatani celah antara apa yang nyata dan yang seharusnya. Sebaliknya, Hukum
Positif merupakan sarana atau medium untuk menerapkan asas-asas umum Hukum Kodrat
bagi kenyataan hidup manusia. Hal ini membuktikan bahwa dalam sistem hukum yang ada
di masyarakat, terdapat tatanan hukum yang lebih tinggi yaitu Hukum Kodrat. Untuk itu,
Hukum Positif harus menerapkan prinsip umum dari Hukum Kodrat pada ruang lingkup
khusus, sehingga secara khusus pula mempengaruhi perilaku subjek penganut Hukum
Positif (Muller, dalam Suseno, 2005). .
Sebagian para ahli teori Hukum Kodrat mengatakan bahwa Hukum Kodrat berfungsi
sebagai standar regulatif atau standar pengaturan hukum positif. Orang yang bijak dalam
berpolitik akan mengetahui bagaimana cara menerapkan tuntutan Hukum Kodrat pada
perkara-perkara khusus. Kebijakan politik pada dasarnya merupakan manifestasi putusan
akal semata yang diterapkan pada kegiatan dan diarahkan kepada tercapainya kebajikan
dan kesejahteraan umum (Susesno, 2005).
Para ahli Hukum Kodrat biasanya merumuskan hubungan antara Hukum Kodrat
dengan Hukum Positif dalam kaitannya dengan term hak. Hak adalah sesuatu yang
diberikan kepada orang lain atas dasar asas kesamaan dan keadilan. Sesuatu dapat menjadi
hak seseorang atas dua cara: pertama melalui kodratnya, hak ini disebut dengan hak
kodrati, hak kodrat sebagaiman diatur oleh hukum kodrat memiliki akar di dalam hak Ilahi
(hukum abadi) kedua melalui perjanjian atau persetujuan dengan orang lain atau person
lainnya, baik persetujuan antar person, maupun persetujuan publik. Hak kedua ini disebut
hak positif. Jika dalam menerapkan hukum pada situasi-situasi khusus, para legislator atau
para hakim gagal untuk membuat keputusan yang dapat mendatangkan kebaikan umum
atau memberikan beban kepada subjek hukum yang tidak proporsional, maka fakta ini
dapat dijadikan sebagai dasar bagi Hukum Kodrat untuk mengkritik Hukum Positif dan
keputusan-keputusan yudisial (Suseno, 1987).
Hukum Positif dapat disebut adil jika memenuhi syarat bahwa diperintahkan atau
diundangkan demi kepentingan umum, diperintahkan oleh legislator yang tidak
menyalahgunakan kewenangan legislatifnya, dan memberikan beban yang setimpal demi
kepentingan kebaikan dan kesejahteraan umum. Mengkaji konsep keadilan dalam
relevansi antara Hukum Kodrat dengan Hukum Positif dan aspek penyelenggaraan Negara,
Hukum Positif yang adil memiliki daya ikat melalui hati nurani. Pembentukan hukum yang
adil harus menjadikan moral sebagai tolok ukur. Moral tersebut terdapat dalam asas-asas


 

hukum Kodrat dan asas tersebut tercermin dalam kaidah dan norma hukum (Sumaryono,
2002).
Upaya reformulasi Hukum Positif yang baik dengan menggunakan teori Negara
Mukker, dapat dilihat dari sudut pandang moral. Muller memperkenalkan dua macam
moralitas yakni moralitas kewajiban (the morality of duty) dan moralitas nilai atau
moralitas aspirasi (the morality of aspiration). Moral kewajiban adalah moral yang harus
dipenuhi dalam suatu masyarakat dan moral tersebut bisa merupakan aturan yang tegas,
keras dan memaksa, sehingga dapat ditransformasikan menjadi Hukum Positif. Titik
singgung antara hukum dan moral adalah Hukum Kodrat. Pada Hukum Kodrat ditemukan
dialektika antara hukum dan moral. Moral mencakup dan mengatur hidup manusia baik
lahir maupun batin. Segala proses panjang pembentukan hukum harus selalu ingat pada
Hukum Kodrat karena Hukum Kodrat adalah segi etis dari Hukum Positif (Muller, dalam
Suseno, 2005).
Hukum Kodrat dalam bingkai Hukum Positif memperoleh konsep yang lebih
spesifik, yakni asas-asas moral yang dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional
lewat proses legislasi yang dikenal sebagai positivisasi. Pada tahap perkembangan ini,
asas-asas moral yang secara universal merupakan kepribadian bangsa, bukan hanya
sekedar asas, akan tetapi asas moral keadilan yang telah selesai dibentuk, yang karena itu
secara positif terwujud sebagai undang-undang profesional.
Hukum Kodrat adalah semacam kaidah untuk membuat kaidah-kaidah hukum yang
lain menjadi sempurna. Suatu dasar moral dalam Hukum Kodrat merasuk ke dalam asasasas hukum positif dan memberikan pemaknaan bagi terciptanya sebuah peraturan. Inilah
dedikasi luar biasa yang diberikan Hukum Kodrat terhadap perkembangan hukum masa
kini, khususnya Hukum Positif, termasuk juga kehidupan hukum di Indonesia. Dasar
moral Hukum Kodrat memasuki ranah asas hukum Indonesia dan mengkristal menjadi
sebuah cita hukum negara yaitu Pancasila. Pancasila sebagai cita hukum nasional
merupakan sumber dari segala sumber hukum yang harus dipegang teguh agar tujuan
negara hukum Indonesia untuk mewujudkan keadilan bagi rakyatnya dapat terealisasi
dengan baik.
Untuk perlu kiranya mempertimbangkan beberapa prinsip yang harus dianut oleh
sistem hukum di Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut dapat diadopsi dari unsur-unsur moral
yang terdapat dalam Hukum Kodrat, diantaranya adalah: (1) harus ada aturan hukum, tidak
boleh hanya keputusan-keputusan (2) harus dipublikasikan kepada masyarakat luas; (3)
tidak boleh berlaku surut; (4) disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti; (5) tidak boleh
saling bertentangan; (6) tidak boleh mengandung tontonan yang melebihi apa yang
dilakukan; (7) tidak boleh sering diubah; (8) pelaksanaannya harus selalu disesuaikan
dengan kebutuhan dan kepentingan mengangkat harkat dan martabat kemanusian sebagai
nilai tertinggi dari prinsip keadilan hukum. Sebaliknya, Apabila hukum tersebut tidak
sesuai dengan pertimbangan moral, maka mungkin akan menjadikan hukum tersebut tidak
sah dan batal demi hukum. Hukum akan tetap sah selama tidak melanggar moralitas di
dalam hukum.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum kodrat merupakan
standar regulatif, titik tolak penyusunan dan amandemen hukum positif, bahkan
merupakan sarana kritik atas hukum positif. Hukum kodrat menyediakan landasan aturan

10 
 

dan ukuran kelakuan manusia, dan hukum positif disusun dengan maksud untuk
menciptakan keseimbangan hidup antar manusia, sehingga tercipta keadilan, kebaikan,
kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan umum dalam masyarakat.
Hukum Kodrat merupakan patokan, pedoman, dan model kualitas khusus perilaku
manusia. Relevansi Hukum Kodrat untuk situasi dan kondisi positivisme hukum di
Indonesia saat ini dan nanti dalam kehidupan sosial manusia, tampak pada perubahan
gagasan dasar tentang pemberlakuan hukum karena dipaksakan menjadi keberlakuan
hukum karena keadilan, atau perubahan dari pemahaman atas hukum yang hanya
didasarkan atas bentuknya ke pemahaman hukum atas dasar makna isi yang terkandung di
dalamnya. Isi hukum ditekankan karena memuat nilai-nilai etika dan moral. Hukum kodrat
adalah keterangan tentang sifat rasional dari setiap perbuatan manusia, serta menjadi
jembatan penghubung antara moralitas dan legalitas.
Model yang ditawarkan Muller bukan Negara yang bersifat peternalistik atau
model top down. Masyarakat dilihat dalam totalitas yang dinamis, bahkan dialektis.
Hukum Kodrat adalah hukum tertinggi, utama dan bersifat universal. Semua hukum yang
lahir kemudian tidak terlepas dari eksistensi Hukum Kodrat tersebut. Hukum Positif yang
ada di Indonesia juga berawal darinya. Hukum Kodrat berasal dari Allah swt dalam bentuk
perintah yang ditanamkan dalam dada manusia sejak manusia diciptakan. Hukum Kodrat
berlaku di mana saja dan kapan saja, sehingga Hukum Kodrat ini juga disebut hukum
abadi dan bersifat universal. Beberapa filsuf dan para ahli hukum, meskipun menolak
berlakunya Hukum Alam, tetapi menerima asas-asas Hukum Kodrat yang menjadi dasar
berlakunya Hukum Positif dan menentukan sifat kaidah-kaidah yang terdapat dalam
Hukum Positif itu. Meskipun asas-asas tersebut tidak diberi nama Hukum Kodrat tetapi
fungsinya sama dengan Hukum Kodrat.
Keadilan dalam Hukum Positif tidak dapat dipisahkan dari Hukum Kodrat sebagai
asas hukum yang mendasarinya. Asas Hukum Kodrat adalah jantungnya peraturan hukum
lainnya. Asas Hukum Kodrat merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya peraturan
hukum. Asas Hukum Kodrat mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis, sehingga
keberadaannya sangat penting agar sebuah peraturan tidak dipandang hanya sekedar
berbentuk blue print tanpa makna. Hukum hanya semata-mata bertujuan untuk
mewujudkan rasa keadilan dan kesejahteraan.
Atas dasar ini Hukum Positif harus menjadi asas moral atau asas keadilan yang
bernilai universal dan menjadi bagian inheren dari sistem Hukum Kodrat. Prinsip moral
yang melandasi Hukum Positif lengkap sudah tertuang dalam Pancasila sebagai Ideologi
yang digali dari hati nurani bangsa. Tinggal bagaimana mengembalikannya pada posisi
semula dengan melepaskan makna Hukum Positif dari kungkungan gaya positivistik ala
modern. Peran hukum positif di Indonesia harus sesuai prinsip universal dari Hukum
Kodrat sebagai landasannya
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Hsuna, 2000, Filsafat Zaman Pencerahan, dalam Jurnal Substansia edisi April
2000, Ar-Raniry Press, Banda Aceh.
------------, 2002, Kewajiban sebagai Perintah Moral dalam Etika Deontologis Immanual
Kant, hasil Penelitian 2002, Ar-Raniry Press, Banda Aceh.
Aquinas, Thomas, 1966, Summa Theologia I/II, Blacfriars/Eyre&Spottiiswoode.

11 
 

Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief sidharta, Citra Aditya Bakti.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 1995, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Hardiman, F. Budi, 2003, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Filosofis
tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Pustaka Filsafat, Yogyakarta.
Huijbers, Theo, 1993, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta.
Magnis-Suseno, Franz, 2005, Pijar-Pijar Filsafat dara Gatoloco ke Filsafat Perempuan,
dari Adam Muller ke Post Modernisme, Kanisius, Yogyakarta.
------------, 1987, Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern, Jakarta,
Gramedia.
Muller, Adam, 1809, Die Elemente der Staatskunst, dua Jilid, diterbitkan Jakob Gustav
Fischer 1922.
---------------, dalam Frans Magnis Suseno, 2005, Pijar-Pijar Filsafat dara Gatoloco ke
Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Post Modernisme, Kanisius, Yogyakarta.
Sumaryono, E., 2002, Etika dan Hukum, Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,
Kanisius, Yogyakarta.

12 
 

Dokumen yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG (Solanum tuberosum, L) Di KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

27 309 21

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5