UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENYEBARAN HOAX Jurnal

  UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENYEBARAN HOAX Jurnal Oleh : Dona Raisa Monica, S.H., M.H. NIP. 198607022010122003 (Ketua)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2017

  

ABSTRAK

UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA

PENYEBARAN HOAX

Oleh:

Dona Raisa Monica, S.H., M.H.

  Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa pengaruh positif dan negatif Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan peradaban manusia. Dilain pihak kemajuan teknologi ITE tersebut dapat dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum,salah satunya adalah penyebaran berita hoax. Pemberitaan hoax yang marak terjadi saat ini harus ditanggapi serius oleh pemerintah dan memerlukan suatu tindakan tegas dari aparat penegak hukum khususnya oleh pihak kepolisian dalam rangka penanggulanggannya. Hoax tidak hanya diarahkan untuk mengacaukan persepsi masyarakat tentang situasi terkini tetapi juga merupakan upaya pihak-pihak tertentu untuk merusak kondusivitas negara.Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah upaya kepolisian dalam penanggulanagan tindak pidana penyebaran

  

hoax dan apakah yang menjadi faktor penghambat upaya kepolisian dalam penanggulangan

  tindak pidana penyebaran hoax. Pendekatan masalah dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif sebagai pendekatan utama dan pendekatan yuridis empiris sebagai penunjang yang bersumber pada data primer dan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.Responden dalam penelitian ini adalah Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila dan penyidik polda Lampung serta analisis data secara kualitatif.Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa upaya kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana penyebaran hoax diantaranya adalah melalui cara pre-emtif yaitu penanaman nilai/norma terhadap seseorang,cara preventif yaitu merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan cara refresif yaitu upaya penal setelah tindak pidana terjadi mulai dari penyidikan,penuntutan dan siding dipengadilan.Faktor penghambat upaya kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana penyebaran hoax dianataranya factor aparat penegak hukum,faktor sarana dan prasarana,faktor masyarakat dan faktor budaya.Adapun saran yang dapat dikemukakan yaitu diharapkan adanya peningkatan sarana dan prasarana yang dapat membantu pihak kepolisian dalam proses penyidikan dan pembuktian tindak pidana penyebaran

  

hoax dan kepada masyarakat agar dapat lebih selektif dalam membagian/membroadcast

informasi yang belum jelas akurasi dan kebenarannya.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

  Modernisasi dalam ilmu sosial adalah suatu bentuk perubahan pola fikir dan keadaan dari yang tadinya tradisional menjadi lebih maju atau modern dengan harapan akan tercapai kehidupan masyarakat yang lebih maju. Modernisasi dan globalisasi merupakan salah satu hal yang paling melekat di kehidupan masyarakat di seluruh penjuru dunia. Namun belakangan ini modernisasi seakan menjadi alat pengubah zaman yang paling dominan dan memasuki segala sela kehidupan masyarakat di seluruh bangsa di dunia tak terkecuali di indonesia. Kemajuan yang dicapai di bidang teknologi akan mempengaruhi pula perubahan di dalam kehidupan masyarakat. Setiap masyarakat itu akan selalu berubah dari masa ke masa. Teknologi telekomunikasi telah membawa manusia kepada suatu peradaban baru dengan struktur sosial beserta tata nilainya. Artinya, masyarakat berkembang menuju masyarakat baru yang berstruktur global yang mengkondisikan sekat-sekat negara mulai memudar. Sistem tata nilai dalam suatu masyarakat berubah, dari yang bersifat lokal-partikular menjadi global- universal. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa pengaruh positif dan negatif, ibarat pedang bermata dua.Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi disatu pihak memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan peradaban manusia.Dilain pihak kemajuan teknologi ITE tersebut dapat dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan- perbuatan yang bersifat melawan hukum, yang menyerang berbagai kepentingan hukum orang, masyarakat dan negara.

  1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi

  Elektronik (ITE) bukanlah Undang-Undang Tindak Pidana Khusus, berhubung UU ini tidak semata-mata memuat hukum pidana, melainkan memuat tentang pengaturan mengenai pengelolaan informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional, dengan tujuan pembangunan teknologi informasi dapat dilakukan secara optimal, merata dan menyebar keseluruh lapisan masyarakat.

  2 Saat ini kita sering mendengar atau bahkan

  mendapatkan informasi yang bersifat meresahkan dan menyebar begitu cepat melalui media internet, yang belakangan diketahui bahwa informasi tersebut adalah informasi palsu (Hoak). Berbagai informasi “hoax” atau palsu beredar dilinimasa, menyebar melalui media sosial seperti

  facebook ,twitter , ataupun pesan singkat

  telepon genggam seperti whatsapp dan lain sebagainya. Pesatnya perkembangan telepon pintar membuat publik semakin mudah mengakses beragam berita dan informasi hanya dalam genggaman tangan

  3

  , namun imbasnya informasi palsu ikut tersebar dengan mudah yang bagi sejumlah orang malah diyakini sebagai kebenaran.Berdasarkan penelitian yang dilakukan kementerian pendidikan dan kebudayaan bersama dengan kominfo diketahui yang menjadi korban berita bohong maupun pesan singkat penipuan lebih banyak terjadi pada orang-orang yang 1 Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, Tindak Pidana

  Informasi dan Transaksi Elektronik. Malang,Media Nusa Creative,2015,hlm.2. 2 Ibid,hlm.1. 3 IKA POMOUNDA,PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PENIPUAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK (SUATU PENDEKATAN

  VIKTIMOLOGI) Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion mempunyai tingkat intelektualitas yang tinggi.Anak-anak yang lahir dan langsung bersinggungan dengan teknologi justru tidak mudah percaya dengan kabar berita bohong tersebut.Hal tersebut dikarenakan anak-anak lebih selektif dalam memilih untuk melacak terlebih dahulu sumber berita itu melalui internet. Ketua komunitas masyarakat Indonesia menilai maraknya kabarhoax jika dibiarkan amat mungkin membuat perpecahan sesama anak bangsa. Hoax merupakan informasi yang di rekayasa untuk menutupi informasi sebenarnya atau juga bisa diartikan sebagai upaya pemutar balikan fakta menggunakan informasi yang meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi kebenarannya.Hoax juga dapat diartikan sebagai tindakan mengaburkan informasi yang sebenarnya dengan cara membanjiri suatu media dengan pesan yang salah agar bisa menutupi pesan yang benar. Maraknya peredaran informasi "hoax" dipicu dua motif yaitu ekonomi dan politik.Ada situs-situs yang memang sengaja dibuat dengan tujuan mendapatkan kunjungan sebanyak mungkin, dengan membuat berita penuh sensasi.Selain itu ada juga yang motifnya untuk menyalurkan aspirasi politik melalui media sosial dengan membuat kabar palsu.

  tindak pidana penyebaran informasi hoax di Indonesia diantaranya terdapat dalam pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur di dalam Pasal 28 ayat (1)

  jo Pasal 45 (A).

  Salah satu contoh kasus penyebaran berita Hoax yang belakangan menimbulkan kehawatiran dan kepanikan di masyarakat adalah kasus pemberitaan penjualan organ 4 tubuh yang dimuat di koran manadopos, pemberitaan ini cukup menghebohkan dikarenakan pendistribusiannya yang begitu cepat di media sosial maupun media pesan singkat. Namun pada akhirnya berita tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Polisi Republik Indonesia (KAPOLRI) sebagai berita bohong.

  5 Kasus lain terkait informasi hoax yang sempat beredar di media sosial

  diantaranya Instruksi Kapolri Pemeriksaan Amien Rais hingga Rush Money Besar- Besaran.

  Pemberitaan negatif yang tidak benar memiliki dampak buruk dimasyarakat, diantaranya menimbulkan kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan, hingga menimbulkan terjadinya tindak pidana baru. Sebagai contoh adalah kasus pemukulan massa terhadap seorang wanita gila yang terjadi di Kabupaten Batang Jawa Tengah. Belakangan beredar kabar banyak penculik berkeliaran dengan berpura-pura menjadi orang gila.Kabar penculikan yang katanya kerap terjadi disejumlah kawasan jalan Pantura bahkan sampai membuat warga Waleri menempel pengumuman kepada masyarakat tentang kabar yang belum tentu kebenarannya itu. Masyarakat yang kebanyakan sudah terprovokasi oleh pemberitaan tersebut akhirnya memukul, menendang sampai bonyok hingga menelanjangi wanita tersebut.Padahal tidak ada bukti yang menunjukkan ia telah menculik seorang anak

4 Hukum positif yamg mengatur mengenai

  6 .

  Pemberitaan hoax yang marak terjadi saat ini harus ditanggapi serius oleh pemerintah dan memerlukan suatu tindakan tegas dari aparat penegak hukum khususnya oleh pihak kepolisian dalam rangka

  aret 2017(19.00wib) 6 Dikutip dari http://m.harianjogja.com Dihakimi Massa karena dituduh Penculik,Wanita Gila penanggulanggannya, baik secara preventif maupun represif. Informasi hoax sangat berdampak negatif bagi masyarakat sehingga menimbulkan kecemasan, kebingungan, rasa tidak aman, tindak pidana kekerasan, bahkan dapat menyebabkan konflik suku, agama, ras antar golongan (SARA). Selain itu juga Hoax tidak hanya diarahkan untuk mengacaukan persepsi masyarakat tentang situasi terkini tetapi juga merupakan upaya pihak-pihak tertentu untuk merusak kondusivitas negara. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, menimbulkan rasa ingin tahu kami untuk mengkaji lebih lanjut dalam bentuk penelitian dengan judul “Upaya Kepolisian dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyebaran Hoax.

  Permasalahan yang akandibahas dalam penelitian iniadalah sebagai berikut :

  1. Bagaimanakah Upaya Kepolisian dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyebaran hoax?

  2. Apakah yang Menjadi Faktor Penghambat Upaya Kepolisian dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyebaran hoax?

  Pendekatanmasalahyang digunakandalampenelitianiniadalahdengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.Sumber dan jenis data diantaranya data primer yang didapat melalui wawancara dengan Penyidik pada Polda Lampung serta Dosen Bagian Hukum Pidana.Dan data sekunder diantaranya bahan hokum primer,bahan hokum sekunder dan bahan hokum tersier.Pengumupulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan kemudian data dianalisis secara deskriptif analisis.

  II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Upaya Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong (Hoax)

  Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan Muh. Anwar R

  7

  menyatakan bahwa upaya yang dapat dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax) adalah terdiri dari tiga bagian pokok, yakni: 1.

  Pre-emtif, adapun yang dimaksud dengan upaya pre-emtif adalah upaya- upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara pre-emtif adalah menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga terkristalisasi dalam diri seseorang untuk mencegah dirinya berbuat kejahatan, dalam pencegahan ini berasal dari teori NKK (Niat + Kesempatan = Kejahatan), jika nilai- nilai atau norma-norma sudah terkristalisasi dengan baik maka bisa menghilangkan niat untuk berbuat kejahatan walaupun ada kesempatan. Pencegahan pre-emtif yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebar berita bohong (hoax) adalah dengan cara melakukan sosialisasi melalui media sosial (social media).

  2. Preventif, adapun yang dimaksud dengan upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, penekanan dalam upaya ini 7 Hasil Wawancara dengan Muh. Anwar. R selaku

  Wadir Krimsus Polda Lampung, Hari Selasa, adalah dengan menghilangkan adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan. Pencegahan preventif yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebar berita bohong (hoax) adalah dengan cara membentuk Satuan Tugas Cyber Patrol (Satgas Cyber Patrol), yang bertugas mengawasi Tekhnologi Informasi atau Media Sosial.

  3. Refresif, adapun yang dimaksud dengan upaya refresif adalah upaya yang dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum(law

  enforcement

  ) dengan menjatuhkan hukuman. Upaya refresif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya refresif untuk menindak para pelaku sesuai dengan perbuatannya serta memperbaiki kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah perbuatan melanggar hukum dan merugikan masyarakat, sehingga tidak mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang berat. Pencegahan refresif yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebar berita bohong (hoax) adalah dengan cara melakukan penegakan hukum terhadap pelaku penyebar berita bohong (hoax). Membahas penanggulangan dengan cara refresif, tidak hanya menjadi tugas kepolisian, tetapi dalam sistem peradilan pidana yang berlaku dalam sistem hukum di Indonesia, ada 5 (lima) sub-sistem yakni: Sub-sistem Kepolisian; Sub-sistem Kejaksaan; Sub- sistem Kehakiman; Sub-sistem Pemasyarakatan; Sub-sistem

  Kepengacaraan. Kelima rangkaian inilah yang membentuk sistem peradilan pidana di Indonesia, dalam proses ini bukan hanya ditempuh untuk bagaimana mencegah kejahatan, namun juga bagaimana menanggulangi atau mencari solusi atas kejahatan yang sudah terjadi, sehingga cara-cara yang ditempuh adalah penindakan secara tegas terhadap pelaku tindak pidana/kejahatan.

  Selanjutnya Muh. Anwar. R menambahkan bahwa selama ini strategi yang dilaksanakan oleh Kepolisian berupa tindakan atau kegiatan diantaranya melalui:

  1. Sosialisasi kepada masyarakat tentang berita bohong (hoax), dengan menjelaskan ciri-ciri dan jenis-jenisnya, sehingga diharapkan dari cara ini masyarakat bisa memahami dan mengerti tentang berita bohong atau

  hoax ; 2.

  Melakukan kerjasama dengan media (online ataupun konvensional) baik dengan pemimpin atau pemilik media, organisasi wartawan maupun dengan wartawan, sehingga diharapkan dari cara ini bisa membantu men-counter penyebaran berita bohong atau hoax dan bahkan bisa membantu klarifikasi atau pelurusan berita di masyarakat;

  3. Melakukan tindakan internal dengan mengirimkan Surat Telegram kepada seluruh Polres yang ada dibawah koordinasi Polda Lampung, tentang pencegahan tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax), sehingga dengan cara ini jajaran kepolisian bisa memaksimalkan pengawasan terhadap masyarakat secara menyeluruh dengan melibatkan anggota kepolisian sampai tingkat desa atau kelurahan (bhabinkamtibmas); 4. Melakukan kerjasama dengan sesama

  Forum Komunikasi Pimpinan Daerah yang ada di Provinsi Lampung, khususnya dengan Dinas Komunikasi dan Informasi Pemerintah Provinsi Lampung, untuk pemblokiran media sosial, sehingga dengan cara ini diharapkan bisa mengawasi peredaran atau pergerakan pemakaian internet dan media sosial, karna Dinas Komunikasi dan Informasi adalah Instansi yang memiliki garis koordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi di tingkat pusat, serta merupakan instansi yang 5. “memiliki kewenangan untuk memblokir dan mengawasi internet; 6. Melaksanakan kerjasama dengan

  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) khususnya Provinsi Lampung, dalam mengawasi penyiaran-penyiaran yang bersifat elektronik di Provinsi Lampung; 7. Melakukan kerjasama dengan Radio

  Republik Indonesia (RRI) Provinsi Lampung, untuk mengklarifikasi dan men-counter pemberitaan bohong atau

  hoax ; 8.

  Melakukan kerjasama dengan pihak Bank atau Lembaga Keuangan untuk melakukan pemblokiran rekening pelaku, apabila ada kerugian materiil yang timbul dari perbuatan tersebut.

  Selama tahun 2017 ini jajaran Polda Lampung khususnya Direktorat Reserse Kriminal Khusus, menerima laporan atau menangani

  1 (satu) perkara yang menyangkut tindak pidana/kejahatan penyebaran berita bohong (hoax), adapun penyidik Direskrimsus Polda Lampung menjerat pelaku tindak pidana/kejahatan tersebut dengan Pasal 28 ayat (2) berisi bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)” jo Pasal 45A ayat (2) berisi bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah). UU RI No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU RI No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Menurut Erna Dewi

  8

  , memberikan pendapat bahwa upaya kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana penyebaran berita bohong atau hoax adalah mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Polisi sebagai Penyelidik dan Penyidik dari suatu tindak pidana, khususnya diatur dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berisi bahwa “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”, Pasal 1 angka (2) UU No. 8 Tahun 1981, berisi bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi da n guna menemukan tersangkanya”. Maraknya penyebaran hoax , yang mengandung unsur fitnah bisa sangat 8 Hasil Wawancara dengan Dr. Erna Dewi, SH, MH

  (Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung), mengkhawatirkan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat, melalui unit cyber yang dimiliki oleh Kepolisian, para pelaku

  hoax bisa diringkus, namun permasalahan

  selanjutnya secara umum masyarakat memandang UU ITE masih hanya sebagai formalitas sesaat, yang mana peraturan dan perundang-undangan yang disusun,hanya berlaku jika ada kasus yang mencuat. Masyarakat juga dalam konteks menaati peraturan pun masih terbilang rendah karena masih tingginya tingkat pelanggaran didunia

  cyber khususnya mengenai hoax, bulliying, penipuan, bahkan mengakses situs

  porno, maka dari indikator tersebut dibutuhkan sosialisasi secara massif harus dilakukan oleh instansi terkait mengenai UU

  ITE, adapun bentuk sosialisasi kepada masyarakat bisa dilakukan dengan berbagai cara misalnya kampanye melalui media sosial untuk penggunaan internet sehat dan pembagian software gratis untuk mem-filter situs-situs porno dan lain sebagainya.

  Menurut Erna Dewi

  9

  , rumusan Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE, yang berisi bahwa “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transa ksi elektronik”, perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, namun UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”. Terkait dengan rumusan

  Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menggunakan Frasa “menyebarkan berita bohong”, sebenarnya dalam ketentuan Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), walaupun dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya frasa “menyiarkan kabar bohong” dan berdasarkan pendapat R. Soesilo, terdakwa 9 Hasil Wawancara dengan Dr. Erna Dewi (Akademisi hanya dapat dihukum dengan Pasal 390

  KUHP, apabila ternyata bahwa kabar yang disiarkan itu adalah kabar bohong. Dapat dianalisis bahwa peran kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax), harus memaksimalkan peran-peran kepolisian yang ada, yakni: a.

  Peran normatif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, sesuai dengan Pasal 2,

  Pasal 4, Pasal 13 dan Pasal 14 (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. Peran ideal adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya di dalam suatu sistem, sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya Pasal 1 angka (1), angka (2), angka (4), angka (5); c. Peran faktual adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata, sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya Pasal 28 (2) dan Pasal 45A ayat (2).

  Penerapan aturan hukum juga tidak hanya bersandar pada UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE, namun juga dapat menerapkan rumusan Pasal 390 KUHP mengenai rumusan kabar bohong, sehingga memperkuat peran kepolisian dalam penanggulangan penyebaran berita bohong (hoax). Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi yaitu substansi hukum, petugas, sarana dan prasarana, masyarakat dan kebudayaan. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penanggulangan berita bohong (hoax), adalah sebagai berikut:

  Menurut Muh. Anwar. R, faktor penghambat kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax), dari segi substansi hukum adalah Kepolisian saat ini, mengacu kepada UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Tekhnologi, khususnya Pasal 28 ayat (1) berisi bahwa “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik”, jo Pasal 28 ayat (2) berisi bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ra s, dan antar golongan (SARA)”. Hal Senada dinyatakan oleh Erna Dewi

  10

  , bahwa penyidik kepolisian dalam melakukan upaya pencegahan penyebaran berita bohong atau hoax bisa dilakukan apabila ada aturan hukum yang tegas mengaturnya, jika hanya berdasarkan UU 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE, khususnya

  Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 45 maka akan sangat sulit bagi kepolisian untuk 10 Hasil Wawancara dengan Dr. Erna Dewi

  (Akademisi FH Unila), hari Selasa tanggal 8 Agustus

  menanggulanginya apalagi sampai melakukan penindakan dikarnakan bahwa UU ITE bersifat lex specialis, yang mengatur secara khusus tentang ITE, namun dalam proses penanggulangannya dibutuhkan langkah strategis kepolisian yang bersandar kepada aturan hukum, saat ini aturan yang mengaturnya masih terikat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP serta pasal- pasal didalam KUHAP

B. Faktor Penghambat Upaya Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong (Hoax)

  2. Faktor Aparat Penegak Hukum Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat serta harus diaktualisasikan.

1. Faktor Substansi Hukum

  11 Menurut Muh. Anwar. R, dalam upaya

  penanggulangan berita bohong atau hoax, ada segi aparat penegak hukum adalah terkait dengan sumber daya manusia di instansi kepolisian yang masih terbatas dalam hal penguasaan ITE, di tingkatan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri memang sudah ada Direktorat khusus kejahatan

  ITE, namun ditingkatan Kepolisian Daerah masih tergabung dalam Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Lampung, dan ditingkatan Kepolisian Resort (Polres) belum semuanya memiliki Satuan Khusus

  cyber , apalagi pemahaman dan pengetahuan

  terkait dunia cyber belum memadai dimiliki oleh Aparat Kepolisian. Pihak Kepolisian saat ini dalam rangka menanggulangi (mencegah dan menindak) pelaku 11 Soerjono Soekanto. Op Cit. hlm.9 penyebaran berita bohong atau hoax masih mengandalkan kerjasama dengan lembaga- lembaga lain atau bahkan masih menggunakan kemampuan ahli ITE diluar institusi kepolisian, dan dibutuhkan waktu koordinasi yang panjang juga terkait dengan biaya-biaya operasional. Menurut Erna Dewi

  12

  , senada dengan yang disampaikan oleh pihak kepolisian, jika melihat kemampuan sumber daya manusia yang saat ini dimiliki oleh Kepolisian masih terbatas kepada lingkup Bareskrim Mabes Polri yng berada di Jakarta, serta Polda belum secara spesifik memiliki satuan tugas khusus untuk menangani kejahatan cyber, apalagi sampai pada tingkatan Polres dan Polsek jajaran, sedangkan kejahatan cyber tidak hanya terjadi di kota besar bisa saja terjadi di kota-kota kecil atau perkampungan yang memiliki akses internet. Kemampuan personil (anggota) yang memahami atau menguasai Informasi dan Transaksi Elektronik pun masih terbatas dalam lingkup kecil personil Polri yang ada di Mabes Polri dan Polda, bahkan Personil yang ada di Polres dan Polsek pun tidak memiliki kemampuan khusus di bidang

  ITE, sedangkan personil yang bersentuhan langsung dengan masyarakat adalah yang ada di Polres, Polsek sampai dengan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan Ketertiban Masyarakat).

  Sarana dan prasarana yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum 12 Hasil Wawancara dengan Dr. Erna Dewi

  (Akademisi FH Unila), hari Selasa tanggal 8 Agustus

  tidak mungkin menjalankan peranannya sebagaimana mestinya.

  13 Selanjutmya menurut Muh.Anwar. R.

  14

  , menyatakan bahwa kendala sarana dan prasarana memiliki pengaruh dalam upaya mencegah penanggulangan tindak pidana pelaku penyebar berita bohong (hoax) sampai kepada pengungkapan pelaku penyebar berita bohong (hoax), khusus Kepolisian Daerah (Polda) Lampung, masih memiliki keterbatasan dalam:

  1. Akses dan koordinasi dengan provider penyedia layanan dan jasa seluler dan internet; 2. Belum memiliki server khusus untuk digital forensic, sebagai pendukung kerja dibidang Informasi dan Transaksi Elektronik.

  Sarana dan prasarana Kepolisian yang paling memadai adalah di Bareskrim Mabes Polri, ditingkatan Polda, Polres dan Polsek jajaran belum memadai bahkan untuk setiap ada kejahatan yang terkait dengan hoax, Polda Lampung mesti berkoordinasi dengan Mabes Polri terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan-tindakan khusus

  4. Faktor Masyarakat Menurut Muh. Anwar. R. Faktor penghambat penanggulangan penyebaran berita bohong atau hoax dari segi masyarakat adalah masyarakat masih belum memiliki pemahaman dan pengetahuan hukum yang memadai tentang dampak dan ancaman dari penyebaran berita bohong atau

3. Faktor Sarana dan Prasarana

  hoax , selain itu masyarakat yang terkategori

  sebagai pengguna media sosial berasal dari berbagai golongan masyarakat, bukan hanya kalangan terbatas saja. 13 Soerjono Soekanto. Op Cit. hlm.9 14 Hasil Wawancara dengan Muh. Anwar. R selaku Wadir Krimsus Polda Lampung, Hari Selasa, Masyarakat saat ini lebih cepat mempercayai berita, dikarnakan beberapa sebab antara lain: 1.

  Masyarakat atau orang cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki, misalnya terkait dengan ketidaksetujuan masyarakat terhadap satu kelompok atau produk dan kebijakan tertentu, sehingga ketika ada informasi terkait dengan hal-hal tersebut maka masyarakat akan mudah percaya; 2. Masyarakat atau orang cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki, misalnya terkait dengan kesukaan atau kegemaran yang berlebihan dari masyarakat terhadap satu kelompok atau produk dan kebijakan tertentu, sehingga ketika ada informasi terkait dengan hal-hal tersebut maka masyarakat akan mudah percaya.

  Faktor penghambat dalam penanggulangan penyebaran berita bohong atau hoax dari segi budaya adalah sebagai berikut: 1.

  Revolusi media sosial: Keterbukaan informasi dan tingginya konsumsi media sosial (Indonesia pengguna

  facebook terbesar ke-4 didunia); 2.

  Literasi media sosial: Minimnya dan kurang kritis terhadap informasi;

  3. Pengguna media sosial sebagai distributor informasi tanpa mampu melacak kebenarannya;

  4. Era post-truth, yang diunggulkan adalah kedekatan emosi dan keyakinan pribadi dengan informasi yang diedarkan bukan pada nilai kebenarannya;

  5. Konflik horizontal, penajaman perbedaan, peredaran pesan kebencian, dan kecendrungan pada bulliying social.

  Berdasarkan uraian diatas dapat dianalisis bahwa 5 (lima) faktor penghambat diatas memiliki keterkaitan yang erat, dan tidak saling mendominasi satu sama lainnya, karna Substansi Hukum (UU atau Peraturan) akan dijalankan oleh Aparat Penagak Hukum, dengan ditopang ketersediaan sarana dan prasarana penegakan hukum dan penanggulangan tindak pidana, serta sikap penerimaan hukum oleh masyarakat, yang didasarkan dengan budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat.

  III. SIMPULAN DAN SARAN

  Simpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Upaya Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax), antara lain terdiri dari tiga bagian pokok, yakni:

  1. Pre-emtif, adapun yang dimaksud dengan upaya pre-emtif adalah menanamkan nilai nilai/norma-norma yang baik sehingga terkristalisasi dalam diri seseorang untuk mencegah dirinya berbuat kejahatan, dalam pencegahan ini berasal dari teori NKK (Niat + Kesempatan = Kejahatan), jika nilai- nilai atau norma-norma sudah terkristalisasi dengan baik maka bisa menghilangkan niat untuk berbuat kejahatan walaupun ada kesempatan. Pencegahan pre-emtif yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebar berita bohong (hoax) adalah dengan cara melakukan sosialisasi melalui media sosial (social media).

5. Faktor Budaya

  2. Preventif, adapun yang dimaksud dengan upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, penekanan dalam upaya ini adalah dengan menghilangkan adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan. Pencegahan preventif yang dilakukan sumber daya manusia yang masih oleh kepolisian dalam penanggulangan belum menguasai tentang ITE; tindak pidana pelaku penyebar berita b.

  Faktor sarana dan prasarana, yaitu bohong (hoax) adalah dengan cara belum tersedianya alat digital membentuk Satuan Tugas Cyber Patrol forensic di Polda Lampung, sehingga (Satgas Cyber Patrol), yang bertugas masih membutuhkan koordinasi mengawasi Tekhnologi Informasi atau dengan Bareskrim Mabes Polri; Media Sosial.

  c.

  Faktor masyarakat, yaitu rendahnya pendidikan dan pemahaman

  3. Refresif, adapun yang dimaksud masyarakat terhadap informasi, dengan upaya refresif adalah upaya sehingga hoax atau berita bohong yang dilakukan pada saat telah gampang tersebar; terjadi tindak pidana/kejahatan yang d.

  Faktor budaya, yaitu rendahnya tindakannya berupa penegakan kesadaran masyarakat terhadap hukum(law enforcement ) dengan budaya, kecendrungan masyarakat menjatuhkan hukuman. Upaya adalah apatis dengan nilai-nilai refresif adalah suatu upaya kebudayaan. penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah Saran dalam penelitian ini adalah, sebagai terjadinya kejahatan. berikut: Penanggulangan dengan upaya 1.

  Peningkatan sarana dan prasarana refresif untuk menindak para pelaku khususnya untuk membantu kepolisian sesuai dengan perbuatannya serta dalam proses penyidikan dan memperbaiki kembali agar mereka pembuktian tindak pidana penyebaran sadar bahwa perbuatan yang berita bohong(hoax),seperti pengadaan dilakukannya adalah perbuatan alat digital forensic melanggar hukum dan merugikan

  2. Masyarakat diharapkan bisa menahan masyarakat, sehingga tidak diri untuk tidak mudah mengulanginya dan orang lain juga membagikan/membroadcast informasi tidak akan melakukannya mengingat yang belum jelas akurasi dan kebenaran sanksi yang berat. Upaya refresif pemberitaannya.Dan juga masyarakat yang dilakukan oleh kepolisian harus lebih hati-hati dan bisa menjadi dalam penanggulangan tindak pidana pengguna internet yang cerdas khususya pelaku penyebar berita bohong dalam penggunaan media sosial

  (hoax) adalah dengan cara melakukan penegakan hukum terhadap pelaku penyebar berita bohong (hoax) melalui tahap penyelidikan dan penyidikan. Faktor yang menjadi penghambat dalam penanggulangan berita bohong (hoax), antara lain sebagai berikut: a.

  Faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik dan secara kualitas

  

DAFTAR PUSTAKA Tabah, Anton. 2002. Terjemahan Buku

Polica Reacen War . Tunggul Maju.

A. LITERATUR Jakarta.

  Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana.

  B. PERUNDANG-UNDANGAN

  Universitas Lampung. Bandar Lampung Undang-Undang No.19 Tahun 2016 tentang

  Perubahan Atas Undang-Undang Arief Mansuu, Dikdik M.2005. Cyber Law

  No. 11 Tahun 2008 tentang Aspek Hukum Teknologi Informasi. Informasi Transaksi Elektronik. PT. Refika Aditama. Bandung.

  Lembaran Negara RI Tahun 2016, Chazawi, Adam dan Ardi Ferdian.2015. No.251. Sekertariat Negara.

  Tindak Pidana Informasi dan Jakarta. Transaksi Elektronik . Media Nusa

  Undang-Undang No.02 Tahun 2002 tentang Creative. Malang.

  Kepolisian Republik Indonesia. Firganefi dan Deni Achmad. 2013. Hukum

  Lembaran Negara RI Tahun 2002, Kriminologi . PKKPUU. Bandar No.02. Sekertariat Negara. Jakarta. Lampung. Nawawi, Arief Barda. 2005. Tindak Pidana

  Mayantara . PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

  • . 2008. Bunga Rampai Kebijakan

  Hukum Pidana . Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

  Soekanto, Soerjono, 1984, Penanggulangan

  Kejahatan. Jakarta, Rajawali Pers

  • . 2007. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum . Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Dokumen yang terkait

PENERAPAN REKAM MEDIS DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA MALPRAKTEK KEDOKTERAN

0 1 7

Kata Kunci : Perjanjian Perkawinan, Perkawinan Campuran, Tanah Hak Milik A. PENDAHULUAN - PEMISAHAN HARTA DALAM PERKAWINAN CAMPURAN UNTUK MENGHINDARI KEPEMILIKAN TANAH HAK MILIK OLEH ORANG ASING

0 1 14

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KASUS KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA PADA UNIT PENGELOLA KEGIATAN (UPK) PAGELARAN (Studi Putusan No.06/Pid/TPK /2013/PT.TK)

0 0 12

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL PEMDA PROVINSI LAMPUNG (Studi Putusan No 859/Pid.B/2012/PN TK)

0 2 11

UPAYA PENANGGULANGAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN ORANG TUA TERHADAP ANAK KANDUNG

0 0 15

ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 78 TAHUN 2015 TENTANG PENGUPAHAN DALAM MEWUJUDKAN KEBUTUHAN HIDUP LAYAK BERDASARKAN UPAH MINIMUM KOTA BANDAR LAMPUNG

0 1 15

PERAN DINAS PEMUDA DAN OLAHRAGA PROVINSI LAMPUNG DALAM PEMBINAAN KEGIATAN OLAHRAGA REKREASI

1 10 14

PERAN KORBAN DALAM TERJADINYA TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN DAN PEMBUNUHAN DARI PERSPEKTIF VIKTIMOLOGI (Studi Putusan No: 1770/Pid.B/2016/PN.Tng)

0 1 14

ANALISIS PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA PENIPUAN MELALUI PILIHAN PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION/ADR (STUDI KASUS DI POLSEK NATAR)

0 4 15

PERAN PEKERJA SOSIAL PROFESIONAL DAN TENAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM PEMBIMBINGAN DAN PEMBINAAN ANAK YANG DIJATUHI PIDANA (Studi LPKS Insan Berguna Pesawaran) (Jurnal Skripsi)

0 0 15