ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN. (Studi Putusan Nomor 57/ PID.SUS/ 2015/ PN.Sdn)

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN

  

PERSETUBUHAN

  (Studi Putusan No 57/Pid.Sus /2015/PN.Sdn)

  (Jurnal)

  Oleh

  Komang Noprizal S

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

  2017

ABSTRAK ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN.

  

(Studi Putusan Nomor 57/ PID.SUS/ 2015/ PN.Sdn)

Oleh

Komang Noprizal S, Nikmah Rosidah, Tri Andrisman

(email: komangsaputra868@gmail.com)

  Pencabulan adalah semua perbuatan yang berkenaan dengan kehidupan di bidang seksual yang melanggar kesusilaan (kesopanan), termasuk pula persetubuhan di luar perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menggolongkan tindak pidana pencabulan ke dalam tindak pidana kesusilaan. Saat ini marak terjadi tindak pidana pencabulan yang korbannya adalah anak. Permasalahan yang diteliti penulis adalah Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana pada Putusan Nomor Putusan No 57/Pid.Sus /2015/PN.Sdn dan Apakah putusan pidana yang dijatuhkan pada perkara No 57/Pid.Sus /2015/PN.Sdn oleh hakim telah memenuhi rasa keadilan. Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah kepustakaan dan penelitian lapangan. Analis data yang digunakan analisis data kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa: Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan dalam Putusan Nomor 57/ PID.SUS/ 2015/ PN.Sdn . Secara yuridis berdasarkan Dakwaan penuntut umum, keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa (Pasal 183 dan Pasal 184 KUHP). Sementara itu pertimbangan non yuridis berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Pelaksanaan Putusan Nomor 57/ PID.SUS/ 2015/ PN.Sdn telah memenuhi rasa keadilan substantif,sebab dalam putusanya hakim menjatuhkan putusan 8(tahun) penjara dan denda Rp 100.000.000(seratus juta rupiah) subsidair 6 bulan kurungan yang berarti tidak melanggar ketentuan Undang-Undang. Disarankan kepada Majelis Hakim hakim sebaiknya terus meningkatkan cara terbaik dalam penjatuhan putusanya dengan melihat semua aspek berdasarkan kepastian hukum dan keadilan hukum. Perlu menjadi tanggung jawab bersama bagi pemerintah, aparat penegak hukum, orang tua dan masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak pidana pencabulan terhadap anak, maka hal yang penting dilakukan adalah meningkatkan pendidikan moral dan agama yang kuat pada masing masing individu dan menjauhkan anak dari pengaruh kehidupan yang tidak baik

  Kata kunci: Putusan Hakim, Membujuk Anak, Pencabulan

  

ABSTRACT

AN ANALYSIS OF BASIC LEGAL CONSIDERATIONS OF JUDGES

AGAINST THE PERPETRATOR OF PERSUADING CHILDREN

TO DO INTERCOURSE

(A Study on verdict (No. 57 / PID.SUS / 2015 / PN.Sdn)

  By Komang Noprizal S, Nikmah Rosidah, Tri Andrisman

  (Email: Obscenity is all acts of abuse relating sexual violation of decency (modesty), including sexual intercourse outside of marriage. The Book of the Criminal Code has classified felony obscenity into the criminal act of decency. Currently, the obscenity cases is getting increased in number with children being the victims. The problems in this research are formulated as follows: What is the basic legal considerations of judges against the perpetrator of persuading children to do intercourse in Decision No. 57 / Pid.Sus /2015/PN.Sdn and Does the verdict of the case No. 57 / Pid.Sus / 2015 / PN. Sdn has been in accordance with the sense of fairness? The research used normative and empirical approaches. The data sources consist of primary and secondary data. The methods of data collection in this research was done throuhh literature study and observation. The data were analyzed using qualitative data analysis. The results showed that: The basic consideration in imposing penalty against perpetrator of persuading children to do intercourse in Decision No. 57 / PID.SUS / 2015 / PN.Sdn. has been legally based on the indictment of the prosecutor, witness testimony, and the letters and testimony of the defendant (Article 183 and Article 184 of the Book of Criminal Code). Meanwhile the non-judicial consideration has been based on burdensome matters and easy matters. The implementation of Decision No. 57 / PID.SUS / 2015 / PN.Sdn has been in accordance with the sense of substantive fairness as the judges have ruled for 8 (years) of imprisonment and a fine of IDR 100 million (one hundred million rupiah) subsidiary of six months in prison, which means it did not violate the provisions of the Act. It is suggested that the judges keep increasing the sentences on the verdict the best way to view all aspects of legal certainty and justice based on the law. It is also important that the government to be more responsible on the obscenity cases, further, the law enforcement officers, parents and the community should synergize to prevent criminal acts of sexual abuse against children, while the important thing to do is to improve the moral and religious education on each individual and protect children from the bad influence of the evil life. Keywords: Verdict, Persuading Children To Do Intervourse, Obscenity Perkembangan teknologi yang demikian pesat dewasa ini, menimbulkan problema baru bagi pembentuk undang- undang tentang bagaimana caranya melindungi masyarakat secara efektif dan efisien terhadap bahaya demoralisasi sebagai akibat masuknya pandangan dan kebiasan orang-orang asing mengenai kehidupan seksual di negara masing-masing.

  menimbulkan dampak negatif terjadinya suatu kejahatan. kejahatan atau tindak pidana itu dapat terjadi pada siapapun dan dapat dilakukan oleh siapa saja baik pria, wanita, ataupun anak-anak. Anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelakasana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu Negara, tidak terkecuali di Indonesia.

  Kejahatan semakin berkembang bentuknya bukan hanya menyangkut kejahatan nyawa ataupun yang menyangkut harta benda saja akan tetapi timbul kejahatan-kejahatan lain termasuk timbulnya kejahatan yang menyangkut kesusilaan yaitu kejahatan yang berupa tindak pidana seksual yang tidak hanya menimpa kalangan orang dewasa saja tetapi juga mulai menimpa kepada anak- anak. Kekerasan seksual sendiri merupakan suatu kontak seksual yang berupa pemaksaan dan pemaksaan

  Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan. Jakarta. Sinar Grafika.

  seksual yang tidak dikehendaki oleh salah satu pihak.

I. PENDAHULUAN

  2 Menurut data yang dikumpulkan oleh

  Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia dari tahun 2010 hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus pelanggaran hak anak, yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupaten dan kota. Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak itu, merupakan kejahatan kekerasan seksual terhadap anak.

1 Perkembangan teknologi sendiri dapat

  Selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, dan penelantaran anak. Data dan korban kejahatan kekerasan seksual terhadap anak setiap tahun terjadi peningkatan. Pada 2010, ada 2.046 kasus, diantaranya 42% kejahatan kekerasan seksual. Pada 2011 terjadi 2.426 kasus (58% kejahatan seksual), dan 2012 ada 2.637 kasus (62% kejahatan kekerasan seksual). Pada 2013, terjadi peningkatan yang cukup besar yaitu 3.339 kasus, dengan kejahatan kekerasan seksual sebesar 62%. Sedangkan pada 2014 (Januari- April), terjadi sebanyak 600 kasus atau 876 korban, diantaranya 137 kasus adalah pelaku anak.

  3 Berdasarkan data diatas Merajalelanya

  kejahatan kesusilaan ini terutama semakin mencemaskan masyarakat, khususnya pada orang tua. Ini menunjukkan adanya penyakit yang demikian jelas tidak berdiri sendiri.

  4

  kejahatan terhadap kesusilaan ini merupakan bukti nyata perkembangan era globalisasi itu sendiri. Salah satu 2 Ismantoro Dwi Yuwonno.Penerapan Hukum

  dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak .Yogyakarta :pustaka yustisia. 2015.hlm 1 3 https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_seksua l_terhadap_anak_di_Indonesia. 4 Arif Gosita.Masalah Korban Kejahatan

1 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang.

  perbuatan yang dilarang oleh hukum yaitu hukum pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggolongkan tindak pidana persetubuhan ke dalam tindak pidana kesusilaan. Persetubuhan merupakan salah satu dari kejahatan seksual yang diakibatkan dari adanya perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat kita. kejahatan persetubuhan akan berdampak buruk bagi korban apalagi anak yang menjadi korban dari kejahatatan kesusilaan,sebab akan melanggar hak asasi manusia yaitu pada korban terlebih lagi anak sebagai korban. dalam pengaturanya perbutan persetubuhan atau pencabulan yang mana anak menjadi korban diatur dalam Undang-Undang No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Hal yang terpenting yang perlu diperhatikan dalam tindak pidana persetubuhan atau pencabulan adalah “pembuktian”. Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) menyatakan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa. Untuk menentukan seseorang dapat dijatuhi hukuman pidana sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah (Pasal 183 KUHAP) sehingga bisa terungkap dalam fakta persidangan. Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan didalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya baik putusan yang ringan maupun putusan yang berat. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat.

  5 Putusan hakim mengakibatkan efek jera

  bagi pelaku tindak pidana yang menyerang anak apabila putusan tersebut berdasarkan asas keadilan karena Anak sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita bangsa yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, selaras,serasi dan seimbang. Tindak pidana kesusilaan yang belakangan ini terjadi sangat meresahkan masyarakat terutama orang tua yang memiliki anak. Banyak modus yang dilakukan oleh para predator anak dalam melakukan perbuatan pencabulan anak seperti mengiming-imingi anak dengan sejumlah uang ataupun barang. Perbuatan pencabulan yang menimpa anak akan merusak harapan serta masa depan anak tersebut, Oleh karena itu, terhadap pelakunya harus diberikan sanksi yang sesuai hukum dan rasa keadilan atas perbuatan yang dilakukanya yang mana akan menimbulkan efek jera bagi pelaku dan membuat para predator anak akan berpikir ulang dalam melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak. Kaitannya dengan tindak pidana kesusilaan terhadap anak terdapat Putusan Nomor Putusan No 57/Pid.Sus /2015/PN.Sdn, dalam perkara tersebut seorang kepala desa yang mana 5 Ahmad Rifai. Penemuan Hukum Oleh Hakim

  Dalam Perspektif Hukum Progresi. Sinar seharusnya menjadi panutan atau contoh oleh warganya akan tetapi melakukan perbuatan pencabulan yang berakhir pada persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa TULISTIONO Bin KASIMAN yang dilakukan secara berulang kali membujuk korbannya melakukan persetubuhan terhadap seorang anak perempuan bernama ERVI DAYANTI Binti JUMADI yang berusia 16 (enam belas) tahun dengan alasan akan dinikahi dan dicarikan pekerjaan. Perbuatan terdakwa terbukti memenuhi dakwaan Pasal 81 ayat (2) Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Pengadilan Negeri Sukadana menjatuhkan pidana dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), subsidair 6 (enam) bulan penjara. Hal tersebut mendorong penulis untuk meneliti Putusan Nomor 57/Pid.Sus /2015/PN.Sdn dalam skripsi yang berjudul “Analisis Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Kepala Desa Yang Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan „‟pada Putusan perkara No 57/Pid.Sus /2015/PN.Sdn‟‟ Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat ditarik permasalahan yang akan dibahas adalah: a.

  Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana dalam perkara No 57/Pid.Sus /2015/PN.Sdn ? b. Apakah putusan pidana yang dijatuhkan pada perkara No

  57/Pid.Sus /2015/PN.Sdn oleh hakim telah memenuhi rasa keadilan ? Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. metode pengumpulan data dalam penelitian ini ialah kepustakaan dan penelitian lapangan. Analis data yang digunakan analisis data kualitatif.

  II. PEMBAHASAN A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Dalam Perkara Nomor 57/ PID.SUS/ 2015/ PN.Sdn

  Dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Undang Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP) pada Pasal 184 ayat (1).

  Putusan hakim merupakan puncak klimaks dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh seorang hakim. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut : a.

  Keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

  b.

  Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana.

  c.

  Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.

  6

  6 Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni.

  Bandung. 1986. Hlm 74 Pemberian keputusan oleh hakim terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti didalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan dan berat ringannya sanksi terhadap tindak pidana persetubuhan anak dalamPutusan Nomor : 57/Pid.Sus /2015/PN.Sdn di dasarkan pada kesalahan yang terbukti di dalam persidangan. Untuk itu dalam mempertimbangkan berat ringannya pemidanaan harus dilakukan kajian terhadap dakwaan yang diajukan dengan fakta -fakta yang terbukti di dalam persidangan.

  Berdasarkan analisis mengenai syarat- syarat pemidanaan di atas, baik dari sisi perbuatan maupun pelaku, semuanya telah terpenuhi. Berarti menurut hukum pidana meteriil, terhadap terdakwa telah dapat dijatuhi hukuman. Dikaitkan lagi dengan hukum pidana formilnya, maka setelah syarat-syarat pemidanaan terpenuhi, harus didukung pula oleh alat bukti minimum yang sah sebagaimana sesuai dengan rumusal Pasal 183 KUHAP yang menyatakan.“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang benar- benar melakukannya.” Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Nughraha selaku hakim pengadilan negeri sukadana, menjelaskan dalam mengambil putusan hakim akan melihat manakah yang paling dominan apakah hal-hal-hal yang memberatkan atau hal-hal-hal yang meringankan. Apabila hal-hal yang memberatkan lebih dominan maka pidana yang dijatuhkan pun menjadi maksimum namun sebaliknya jika hal- hal yang meringankan lebih dominan maka pidana yang dijatuhkan akan lebih ringan. setiap hakim memiliki pertimbangan tertentu dalam menjatuh- kan berat ringanya pidana terhadap pelaku tindak pidana pencabulan terhadap anak. Hakim berpegang pada keyakinanya ,dengan pertimbangan sesuai dengan fakta persidangan.

  7 .

  Pengadilan Negeri Sukadana yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor 57/Pid.Sus /2015/PN.Sdn telah mendasarkan pada alat-alat bukti sebagaimana yang terdapat pada Pasal 184 Ayat (1) KUHAP antara lain: Telah mendengarkan keterangan saksi-saksi, telah melihat bukti surat yaitu hasil visum et repertum, telah mendengar keterangan dari terdakwa, dan melihat barang bukti sebagai petunjuk. Pada Putusan Perkara Nomor 57/Pid.Sus /2015/PN.Sdn, Majelis Hakim telah memperhatikan pula hal- hal yang meringankan dan yang memberatkan terdakwa.

  a.

  Hal yang memberatkan yaitu perbuatan Terdakwa dapat merusak mental dan masa depan korban , perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat, Terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan sehingga menghambat kelancaran proses persidangan, terdakwa adalah seorang Kepala Desa yang mana seharusnya terdakwa mengayomi anak korban bukanya malah menjerumuskan anak korban yang mana perbiuatan terdakwa tersebut 7 Wawancara dengan Nugraha Medika Prakasa

  selaku Hakim Pengadilan Negeri Sukadana tidaklah mencerminkan perilaku seorang aparat desa yang semestinya memberikan contoh yang baik .

  b.

  Hal yang meringankan yaitu terdakwa belum pernah dihukum ,terdakwa masih memiliki tanggung jawab keluarga.

  Berkaitan dengan yang melakukan tindak pidana pencabulan, hakim dalam pertimbanganya harus mengacu pada rumusan Pasal 81 ayat (2) Undang- undang Nomor 35 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Anak. Yang menyatakan tentang sanksi pidananya adalah pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” Berkaitan dengan uraian di atas dijadikan pertimbangan hukum hakim dalam memutus dan menjatuhkan sanksi pidana terhadap tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa dalam perkara Nomo 57/Pid.Sus /2015/PN.Sdn. Hakim dalam pertimbangannya mengacu kepada Pasal 81 ayat 2 Undang-undang Nomor

  35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, memperhatikan mengenai hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa, Hakim dalam perkara tindak pidana pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa Tulistiono memberikan sanksi Pidana Penjara selama 8 (delapan) tahun dan Denda sebesar Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.

  Berdasarkan analisis di atas, penulis berpendapat bahwa pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan pidana terhadap Terdakwa dalam Putusan Nomor 57/PID.SUS/2015/PN.Sdn telah sesuai, yaitu telah memperhatikan dasar mengadili, dasar memutus, dan nilai- nilai yang hidup dalam masyarakat, kemudian telah mempertimbangan pertimbangan yuridis dan non yuridis serta telah memperhatikan unsur-unsur dalam pasal 81 ayat 2 Undang-undang No 35 tahun 2014. Penulis berpendapat, majelis hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus dengan keyakinan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan akan efektif memberikan efek jera kepada terdakwa dan sesuai atas perbuatan yang telah dibuat terdakwa yang merupakan perbuatan suatu perbuatan berlanjut selain itu juga terdakwa merupakan kepala desa yang semestinya memberikan contoh atau teladan kepada warganya dan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan harus dengan keyakinan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan akan efektif memberikan efek jera kepada terdakwa dan sesuai atas perbuatan yang telah dibuat terdakwa sebaliknya Pidana yang ringan kurang menimbulkan efek jera kepada terdakwa mengingat yang menjadi korban dalam kasus ini adalah seorang anak.

  B. Unsur Keadilan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak

  Keadilan merupakan salah satu tujuan dari setiap sistem hukum, bahkan merupakan tujuannya yang terpenting. Masih ada tujuan hukum yang lain yang juga selalu menjadi tumpuan hukum, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan ketertiban. Disamping tujuan hukum, keadilan juga dapat dilihat suatu nilai (value). Bagi suatu kehidupan manusia yang baik, ada empat yang merupakan fondasi pentingnya, yaitu:

  1. Keadilan;

  2. Kebenaran;

  3. Hukum; dan

  4. Moral

  8 .

  Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhinya dua prinsip yaitu: tidak merugikan seseorang dan kedua perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini terpenuhi barulah dikatakan adil. Keadilan subtantif dimaknai sebagai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum subtantif,dengan tanpa melihat kesalahn-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak subtantif para pihak.

  Keadilan memiliki sifat tidak berbentuk dan tidak dapat terlihat namun pelaksanaannya dapat kita lihat dalam perspektif pencarian keadilan. Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan. Berlakunya KUHAP menjadi pegangan hakim dalam menciptakan keputusan- keputusan yang tepat dan harus dapat dipertanggungjawabkan.

  Secara sosiologis, struktur pengadilan beserta Hakim-Hakimnya tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial 8 Roscoe Pound sebagaimana dikutip Munir

  Fuady , “Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum”, Bandung, Citra

  masyarakatnya. Dengan adanya penilaian dari masyarakat mengenai output pengadilan yaitu berarti telah terjadi persinggungan antara lembaga peradilan dengan masyarakat di mana lingkungan peradilan itu berada. Implikasi dari penilaian masyarakat terhadap putusan pengadilan tersebut mengandung makna, bahwa pengadilan bukanlah lembaga yang terisolir dari masyarakatnya. Pengadilan tidak boleh memalingkan muka dari rasa keadilan dan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang. Para Hakim senantiasa dituntut untuk menggali dan memahami hukum yang hidup dalam masyarakatnya agar terciptanya keadilan yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara sehingga adanya kepastian hukum serta menciptakan dan mencerminkan keadilan bagi semua pihak termasuk masyarakat luas. Oleh karena itu hakim harus benar-benar mengetahui duduk perkara sebenarnya dan peraturan hukum yang mengaturnya untuk diterapkan.

  Pengertian putusan hakim dan putusan pengadilan sering disamakan. Namun, secara yuridis, pengertian yang lebih baku adalah putusan pengadilan, bukan putusan hakim. Hal ini didasarkan pada pengertian putusan pengadilan dalam konteks hukum pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 22 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 1981). Dalam ketentuan tersebut diatur tentang pengertian putusan pengadilan, bukan putusan hakim. Pengertian putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UU ini. Putusan yang yang berkualitas mencerminkan kepiawaian dan kemampuan hakim di dalam memutus perkara.otoritas memutus perkara ada pada hakim sebagai pemegang kekuasaaan yang dijamin oleh undang- undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman antara putusan dan hakim merupakan dua hal yang tak terpisahkan, karena putusan pengadilan adalah produk hakim maka putusan berkualitas mencerminkan hakim yang bekualitas dan menjunjung nilai keadilan. Banyak teori tentang bagaimana mewujudkan putusan hakim yang berkualitas, namun bagi para pencari keadilan yang mendambakan keadilan hukum, putusan yang berkualitas tidak hanya mewujudkan keadilan atau putusan yang mencerminkan rasa keadilan yang dapat dilaksansakan dan dapat dilaksanakan dan dapat diterima oleh masyaraksat luas.

  Putusan pengadilan yang berkualitas hanya dihasilkan oleh hakim-hakim yang berkualitas. Karena itu, Artidjo Alkostar menegaskan bahwa proses penegakan hukum oleh hakim yang akuntabel harus selalu dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, masyarakat, ilmu, dan hati nurani, sehingga hakim dituntut menjadi penyuara nalar dan hati nurani serta memberi asupan dan membangun prinsip-prinsip keadilan.

  mendukung pembuatan putusan yang berkualitas, Pasal 50 ayat (1) UU 9 Artidjo Alkostar,Mencandra Hakim Agung

  Progresif dan Peran Komisi Yudisial, Buletin

  Kekuasaan Kehakiman mewajibkan putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Melalui pemuatan tersebut, masyarakat dan pencari keadilan dapat memahami jalan pikiran hakim.

  Secara normatif pengadilan merupakan tempat untuk mendapatkan keadilan. Dalam menyelesaikan perkara hakim tidak bekerja demi hukum atau demi undang-undang melainkan demi keadilan berdasrkan ketuhanan yang maha esa, menjadi simbol bahwa hakim bekerja mewakili tuhan Tuhan Yang Maha Esa oleh sebab itu hakim harus berlaku jujur, bersih, dan adil dalam memutus. kebebasan hakim dalam memutus perkara wajib diimbangi dengan akuntabilitas, baik akuntabilitas individual maupun akuntabilitas kelembagaan. Dalam pengertian akuntabilitas individual terdapat akuntabilitas moral. Kebebasan dan akuntabilitas tersebut diberikan oleh negara kepada hakim agar mampu menciptakan putusan pengadilan yang berkualitas. Putusan pengadilan yang berkualitas tersebut merupakan dambaan setiap pencari keadilan. Bagi pencari keadilan, putusan pengadilan berkualitas adalah putusan putusan yang dapat mewujudkan keadilan atau putusan yang mencerminkan rasa keadilan yang dapat dilaksanakan dan dapat diterima atau memuaskan pencari keadilan. Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman pada saat ia melaksanakan fungsi yudisialnya didalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara terikat pada penerapan hukum positif. Berdasarkan paparan di atas dapat

9 Untuk

  dipahami bahwa pengertian putusan pengadilan yang berkualitas adalah putusan pengadilan yang adil bagi sebagian besar masyarakat, dan putusan tersebut dapat dilaksanakan dalam rangka menciptakan ketertiban, kepastian dan kemanfaatan. Indikator- nya: putusan tersebut tidak diper- masalahkan oleh sebagian besar masyarakat, putusan tersebut tidak mengandung kontroversi yang berlebihan baik dalam sisi substansi perkara maupun substansi hukum yang digunakan dalam sebagai dasar mengadili, dan putusan tersebut sesuai dengan kondisi jaman sehingga dapat dilaksanakan. Akuntabilitas moral hakim tidak secara otomatis tumbuh dan berkembang pada setiap hakim secara merata. Kadang kala masih banyak oknum hakim yang dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tidak dibarengi dengan akuntabilitas moral sehingga putusannya tidak menunjukkan keadilan atau tidak dapat di-eksekusi. Kondisi moralitas hakim ternyata sangat berpengaruh pada kualitas putusan yang dihasilkan. Namun demikian, masih perlu terus dikaji secara akademik bagaimana keterkaitan akuntabilitas moral hakim dengan putusan pengadilan yang berkualitas. Berkaitan dengan fakta, pendapat, dan argumentasi di atas, kiranya perlu dipahami bahwa saat ini masih banyak putusan yang belum mampu dipertanggung jawabkan secara moral oleh hakim yang memutus, sehingga diperlukan solusi tentang bagaimana langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan MA, KY dan hakim dalam rangka meningkatkan akuntabilitas moral.

  10

  berkualitas, adalah putusan yang dapat dipertanggungjawabkan bukan saja dari sisi dan aspek kepastian hukum (rumusan pasal-pasal dalam undang- undang) dan kemanfaatan bagi para pihak semata tetapi juga mencerminkan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan. Putusan hakim yang berkualitas adalah putusan yang didasarkan dengan pertimbangan hukum sesuai fakta yang terungkap di persidangan, sesuai undang-undang dan keyakinan hakim tanpa terpengaruh dari berbagai intervensi eksternal dan internal sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara profesional kepada publik (the

  truth and justice) Putusan hakim yang

  baik, seharusnya dapat merefleksikan rasa keadilan, kebenaran dan yang dapat membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas, bangsa, dan negara. Selain itu hakim harus berpandangan visioner, agar putusanya tidak ketinggalan dengan perkembangan zaman.

  11 Putusan hakim yang memenuhi rasa

  keadilan memang sulit untuk mengukurnya akan tetapi tentu saja ada indikator untuk mengukurs keadilan yang diputuskan oleh hakim antara lain dapat ditemukan di dalam pertimbangan hukum hakim yang merupakan dasar argumentasi hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam persidangan dan kemudian dapat di nilai bahwa putusan itu telah memenuhi rasa keadilan bagi korban ataupun masyarakat luas. Akuntabilitas moral hakim sangat dibutuhkan dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara dalam rangka menciptakan putusan pengadilan yang berkualitas. Buruknya 11 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim

  Dalam Persfektif Hukum Progresif , Bumi

10 Suatu putusan pengadilan yang

  moralitas oknum hakim berpengaruh pada kualitas putusan, karena secara teoretik ada kaitan yang erat antara moralitas hakim, akuntabilitas moral hakim dan kualitas putusan pengadilan. Upaya harus dilakukan oleh MA, KY, dan Hakim dalam rangka meningkatkan akuntabilitas moral hakim sesuai dengan kewenangan dan kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

  Keadilan substantif dimaknai sebagai keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal- prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenerkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran prosedural asalakan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang- undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural Undang-Undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.

  Pada prinsipnya hakim tidak diberi wewenang untuk mengubah suatu undang-undang tetapi hakim dapat saja menyimpang dari undang-undang dalam menjatuhkan putusanya dengan mendasarkan pada perkembangan kehidupan masyarakat. Putusan hakim tidak dapat dibatalkan atau dianulir oleh siapapun. Setiap putusan hakim selalu dianggap benar dan tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum sepanjang putusan itu tidak dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. Melihat dalam Putusan Nomor Nomor 57/ PID.SUS/ 2015/ PN.Sdn, keadilan yang didapat yaitu keadsilan yang dilihat dari prosedur-prosedur yang dilewati sejak masa penyidikan hingga sidang berlangsung. Hal ini meyakinkan bahwa peradilan tidak hanya sebatas menentukan bersalah atau tidaknya seseorang tersebut dan sudah adilkah bagi korban apabila masa depan korban direnggut oleh terdakwa. Peradilan ini juga menjadi sarana perlindungan hak dari korban. Majelis hakim dalam menjatuhkan putusannya tidak hanya mempertimbangkan kepentingan hukum saja dalam putusan perkara yang dihadapi oleh terdakwa , melainkan juga harus pula mempertimbangkan rasa keadilan bagi semua pihak agar terwujud adanya kepastian dan kemanfaatan hukum terlebih lagi terdakwa merupakan seorang kepala desa yang semestinya mengayomi dan memberi teladan bagi masyarakatnya. Dalam kasus putusan ini terdakwa merupakan seseorang kepala desa yang mana mestinya mengayomi warganya tetapi melakukan perbuatan pidana, terdakwa melakukan perbuatannya atas kehendak dirinya dan terdakwa di vonis penjara selama 8 tahun yang mana vonis tersebut dirasa tidak adil terhadap perbuatan yang dilakukan terdakwa karena vonis tersebut tidak sesuai dengan teori tujuan pemidanaan yaitu teori relatif teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan

12 Menurut pendapat penulis pidana yang

  dijatuhkan terhadap pelaku telah memenuhi rasa keadilan subtantif karena majelis Hakim menjatuhi pidana terhadap Terdakwa pidana penjara selama 8 ( Delapan ) tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- ( Seratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 ( Enam ) bulan. Dalam putusanya hakim memang tidak melanggar ketentuan undang-undang yang berlaku yaitu Undang-undang No 35 tahun 2014 yang mana pada pasal 81 ayat 2 menentukan Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). dan dalam putusanya hakim tidak melanggar ketentuan Undang- undang tetapi sebagai seorang wakil tuhan di dunia, hakim Hakim telah memperhatikan faktor non yuridis yaitu nilai-nilai moral yang hidup dimasyarakat serta putusan hakim didasarkan pada keyakinan, integritas moral yang baik serta mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat terlebih lagi terdakwa merupakan kepala desa serta ketika persidangan para saksi dalam memberi keteranganya justru memberikan keterangan yang memperberat terdakwa dan ketika persidangan jugapun terdakwa berbelit belit dalam memberi keterangan dimuka persidangan dan tidak mengakui perbuatanya . 12 Wawancara dengan Erna Dewi ,tanggal 12

  III. PENUTUP

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan dalam Putusan Nomor 57/ PID.SUS/ 2015/ PN.Sdn telah memperhatikan dasar mengadili, dasar memutus, dan nilai- nilai yang hidup dalam masyarakat, kemudian telah mempertimbangan pertimbangan yuridis Secara yuridis berdasarkan Dakwaan penuntut umum, keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa dan non yuridis berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. serta telah memperhatikan unsur-unsur dalam pasal 81 ayat 2 Undang- undang No 35 tahun 2014.

  2. Pelaksanaan Putusan Nomor 57/ PID.SUS/ 2015/ PN.Sdn telah memenuhi rasa keadilan substantif, sebab seorang hakim dalam menjatuhi pidana tidak hanya berpedoman pada Undang-Undang tetapi faktor non yuridis yaitu ketentuan norma yang berkembang di masyarakat sehingga perbuatan yang dilakukan pelaku setimpal dengan hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim.

  Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Penulis menyarankan kepada penegak hukum dalam mengkaji suatu perkara diharapkan dapat benar-benar cermat mempertimbangakn pertimbangan yuridis maupun non yuridis, hakim sebaiknya terus meningkatkan cara terbaik dalam penjatuhan putusanya dengan melihat semua aspek berdasarkan kepastian hukum dan Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum keadilan hukum. Sehingga tercapai . Alumni. Bandung.

  Pidana

  sebuah tujuan pemidanaan yang semata-mata bukanlah untuk Yuwonno, Ismantoro Dwi. 2015. melakukan suatu balas dendam tetapi Penerapan Hukum dalam Kasus lebih ditujukan untuk mendidik Kekerasan Seksual Terhadap terdakwa agar dikemudian hari tidak .Yogyakarta : Pustaka

  Anak melakukan perbuatan pidana lagi. Yustisia.

  2. Perlu menjadi tanggung jawab bersama bagi pemerintah, aparat Perundang-undangan penegak hukum, orang tua dan masyarakat untuk mencegah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terjadinya tindak pidana pencabulan Selanjutnya disebut KUHP terhadap anak, maka hal yang penting dilakukan adalah Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun meningkatkan pendidikan moral dan 1981 tentang Kitab Undang- agama yang kuat pada masing Undang Hukum Acara Pidana. masing individu dan menjauhkan anak dari pengaruh kehidupan yang Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun tidak baik. 2002 Jo Undang-Undang RI Nomor s35 Tahun 2014 tentang

  Perlidnugan Anak.

DAFTAR PUSTAKA

  Alkostar, Artidjo Mencandra Hakim Website Agung Progresif dan Peran Komisi Yudisial, Buletin Komisi Yudisial, Vol. 1

  Fuady, Munir. 2003. https://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan

  “Aliran Hukum Kritis Paradigma _seksual_terhadap_anak_di_Indo

  nesia

  Ketidakberdayaan Hukum”,

  Bandung, Citra Aditya Bakti

  No. HP. 0895606045388

  Gosita, Arif. 1993. Masalah Korban Kejahatan . Pressindo. Jakarta. Lamintang, P.A.F. dan Theo

  Lamintang. 2009. Kejahatan

  Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan. Jakarta.

  Sinar Grafika. Rifai, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum

  Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif , Bumi Aksara,

  Jakarta