ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA (STUDI SURAT EDARAN KAPOLRI SE/06/X/2015)

  ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA (STUDI SURAT EDARAN KAPOLRI SE/06/X/2015) (Jurnal) Oleh: Muhammad Akbar 1312011205

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

  

ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA (STUDI

SURAT EDARAN KAPOLRI SE/06/X/2015)

Oleh

  

Muhammad Akbar, Dr. Heni Siswanto S.H.,M.H., Budi Rizki, S.H., M.H.

  (Email : MuhammadAkbar@songwriter.net) Persoalan mengenai Penistaan atau ujaran kebencian (hate speech) semakin mendapatkan perhatian masyarakat dan aparat penegak hukum baik nasional maupun internasional seiring dengan meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan atas hak asasi manusia (HAM), bahwa perbuatan ujaran kebencian memiliki dampak yang merendahkan harkat martabat manusia dan kemanusian. ujaran kebencian bisa mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, Penghasutan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pada tingkat yang paling mengerikan, pembantian etnis. terhadap kelompok masrayakat budaya, etnis, ras, dan agama yang menjadi sasaran ujaran kebencian. Ujaran kebencian dalam Surat Edaran SE/06/X/2015 sudah mengatur Penegakan Hukum tindak pidana penistaan terhadap agama. Pembahasan yang dibahas dalam Skripsi ini adalah Penegakan Hukum tindak pidana penistaan terhadap agama dan Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat penegakan hukum tindak pidana penistaan agama. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun sumber data dan jenis data adalah data primer yang diperoleh studi lapangan, data ini diperoleh dengan melakukan wawancara dengan analisis kualitatif. Hasil penelitian bahwa Pasal legalitas yaitu Pasal 1 KUHP dimaksud disini ialah undang- undang yang mengatur bahwa dapat dipidana atau tidaknya seseorang tidak berlaku surut (mundur), Pokok kasus mengacu kepada Penistaan agama yang dimana penerapan Pasal 156 KUHP dan Pasal 156a KUHP. Tindakan aparat hukum dalam menangani kasus tindak pidana penistaan terhadap agama adalah preventif dan represif. Preventif adalah tindakan yang dilakukan dengan cara melakukan pengawasan dengan mengerahkan aparat kepolisian dengan seksama. Sedangkan Represif adalah tindakan yang diambil para aparat penegak hukum apabila terdapat tindak pidana penistaan terhadap agama yang merupakan ujaran kebencian yang termasuk dalam Surat Edaran Kapolri SE/06/X/2015, tindakan ini dilakukan dengan cara menyidik, menuntut sampai ke persidangan. Sedangkan faktor- faktor penegakannya meliputi proses ketimpangan antara unsur pidana, Pemahaman masyarakat, serta faktor fasilitas dan budaya.

  Saran yang dapat diberikan yaitu Penegakan hukum Tindak Pidana penisaran taan terhadap agama hendaknya harus tegas dalam menerapkan pasal ujaran kebencian dalam Surat Edaran SE/06/X/2015, Aparat penegak hukum dan instansi terkait hendaknya menyelenggarakan penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan agar mengetahui Adanya Surat Edaran Kapolri SE/06/X/2015 dan Pengawasan Polisi maupun Cyber Patrol harus lebih mengoptimalkan yang termasuk ujaran kebencian atau tidak dalam mengawasi peristiwa di sosial media dengan sedetail mungkin dalam tindak pidana penistaan agama dan hakim harus cepat memutuskan perkara agar terciptanya penegakan hukum yang nyata.

  Kata Kunci : Penegakan Hukum, Penistaan Agama, Surat Edaran, Ujaran Kebencian.

  

ABSTRACT

ANALYSIS OF LAW ENFORCEMENT AND CRIMINAL ACTS OF SACRILEGE OF

RELIGIOUS (STUDIES CIRCULARS KAPOLRI SE/X/06/2015)

By

  

Muhammad Akbar, Dr. Siswanto S.H., M.H., Budi Rizki, S.H., M.H.

  (Email: MuhammadAkbar@songwriter.net) The question of Sacrilege or utterance of hate (hate speech) are increasingly gaining the attention of the public and law enforcement agencies both national and international with increasing concern for the protection of human rights (human rights), that the Act of hate speech has an impact which denigrate the dignity of humanity and human dignity. hate speech can push the onset of collective hatred, exclusion, intimidation, discrimination, violence, and even at the level of the most terrible, the ethnic destructions. against society of culture, ethnicity, race, and religion that became the aim of hate speech. Speech of hatred in the circular letter SE/06/X/2015 already set up law enforcement criminal acts of sacrilege against the religion. The discussion addressed in this Thesis is law enforcement criminal acts of sacrilege against the religion and what factors that hampered law enforcement criminal acts of sacrilege. Research methods used in this research is to do a normative and juridical approach empirical juridical. As for the data source and the data type is primary data obtained in this study, the data field is obtained by conducting interviews with qualitative analysis. The Results is referred to article legality, namely article 1 of the criminal code referred to here is the legislation that governs that can are convicted or whether someone is not retroactive (backwards), the subject matter of the case refers to a religious Sacrilege which application of article 156 of the criminal code and article 156a of the criminal code. Law enforcement actions in dealing with cases of criminal acts of sacrilege against religion is preventive and repressive. Preventive action is done by conducting surveillance with police deployed carefully. While the Repressive actions taken are the law enforcement agencies when there are criminal acts of sacrilege against a religious hate speech is included in the Circulars Police SE/06/X/2015, this action is performed by means of investigate, demanding up to the trial. While the factors include the processes of inequality among the criminal element, the understanding of the people, as well as facilities and cultural factors.

  The advices able to my share is that law enforcement criminal acts of sacrilege against the religion should be should be firm in applying article speech of hatred in the circular letter SE/06/X/2015, law enforcement agencies and related institutions should be organized outreach to the community especially those living in rural areas or urban areas in order to be aware of any Circulars Kapolri SE/06/X/2015 and the supervision of Police or Cyber Patrol should further optimize that included a speech of hate or not in keeping an eye on events in social media as much detail as possible in the criminal acts of sacrilege and religion judges must quickly decide the matter so that the creation of a real law enforcement.

  Keyword: Law Enforcement, Religious Sacrilege, Circular Letter, Hate Speech.

I. PENDAHULUAN

  Kaum difabel (cacat) 11. Orientasi seksual

  Penegakan hukum sangat perlu menimbang Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum (rechsstaat) bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstat). Dalam Negara hukum, tiap warga Negara tanpa terkecuali wajib 2 Ibid, hlm 2.

  Media masa cetak maupun elektronik 7. Pamphlet

  (demonstrasi) 5. Ceramah keagamaan 6.

  Dalam orasi kegiatan kampanye 2. Spanduk atau banner 3. Jejaring media social 4. Penyampaian pendapat di muka umum

  3 1.

  Menjadikan sebagai suatu keterikatan antara budaya dalam suatu pola tingkah masyarakat yang beragam ini. bahwa ujaran kebencian (hate speech ) sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:

  Persoalan mengenai penistaan (hate

  speech ) semakin mendapatkan perhatian

  2 1.

  Tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial. Bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek:

  Memprovokasi 6. Menghasut 7. Penyebaran berita bohong

  Penghinaan 2. Pencemaran nama baik 3. Penistaan 4. Perbuatan tidak menyenangkan 5.

  1 1.

  Ujaran kebencian harus dapat ditangani dengan baik karena dapat merongrong prinsip berbangsa dan bernegara Indonesia yang berbhineka tunggal ika serta melindungi keragaman kelompok dalam bangsa ini, pemahaman dan pengetahuan atas bentuk-bentuk ujaran kebencian merupakan hal yang penting dimiliki oleh personel polri selaku aparat negara yang memiliki tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, sehingga dapat diambil tindakan pencegahan sedini mungkin sebelum timbulnya tindak pidana sebagai akibat dari ujaran kebencian tersebut. Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam kitab undang- undang hukum pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:

  masyarakat dan aparat penegak hukum baik nasional maupun internasional seiring dengan meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan atas hak asasi manusia (HAM), bahwa perbuatan ujaran kebencian memiliki dampak yang merendahkan harkat martabat manusia dan kemanusian. ujaran kebencian bisa mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, Penghasutan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pada tingkat yang paling mengerikan, pembantian etnis. terhadap kelompok masrayakat budaya, etnis, ras, dan agama yang menjadi sasaran ujaran kebencian.

  Suku 2. Agama 3. Aliran keagamaan 4. Keyakinan/kepercayaan 5. Ras 6. Antar golongan 7. Warna kulit 8. Etnis 9. Gender 10. mematuhi hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsekuensi dari asa Negara hukum ini berakibat siapapun yang melakukan pelanggaran hukum harus ditindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku agar keberlakuan peraturan tersebut sesuai dengan praktik yang dijalankan. Artinya, penegakan hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang tertulis dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

4 Berlakunya surat edaran (Hate Speech)

  memperlihatkan keseriusan Pemerintah dan Kapolri untuk mencegah terjadinya ujaran kebencian untuk penegakan Hukum di Indonesia. Dalam Hukum pidana memuat ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang sebagai tindak pidana, masalah pertanggungjawaban serta ancaman sanksinya yang dapat terwujud dalam berbagai peraturan perundangan hukum pidana. Secara lengkap, Pasal 156 KUHP berbunyi :

  5

  “Barang siapa di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara”.

  Perbuatan yang dapat dihukum menurut

  pasal ini adalah tindakan memusuhi, mengumbar kebencian atau penghinaan suatu ras, negri asal, keturunan, bangsa dan agama, dalam kasus ini mengacu kepada agama yang bahwasannya 4 Hamzah. A, 1993, Hukum Acara Pidana Indonesia . Arikha Media Cipta, Jakarta, hlm 32. menyalahgunakan ajaran agama yang tidak sesuai dengan ajaran agama, penistaan terhadap suatu agama, serta mengajak orang supaya tidak percaya kepada Tuhan, tetapi tidak mengatur secara tegas perbuatan penghinaan terhadap Tuhan, nabi, dan kitab suci. Penegakan hokum merupakan suatu usaha untuk mewujud kan ide-ide keadilan, kepastian hokum dan kemanfaatan social menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. Penegakan hokum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hokum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hokum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hokum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan.

  6 Berdasarkan latar belakang di atas, maka

  dalam hal ini yang menjadi permasalahan didalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimanakah penegakan hukum Tindak Pidana penistaan agama ? 2. Apakah faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum tindak Pidana Penistaan Agama ?

  Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu: pendekatan Yuridis Normatif, yaitu pendekatan dengan cara melihat dan mempelajari buku-buku dan dokumen-dokumen serta peraturan- peraturan lainnya yang berlaku dan berhubungan dengan judul dan pokok bahasan yang akan diteliti, yaitu penegakan hukum tindak pidana penistaan agama dan pendekatan Empiris, Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan meneliti data primer yang diperoleh secara langsung dari wawancara guna 6 Satjipto Rahardjo,1983,Masalah Penegakan

  Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologi ,Sinar mengetahui kenyataan yang terjadi dalam praktek. Peneliti melakukan wawancara dengan para Polisi, kejaksaan serta akademisi untuk mendapatkan gambaran tentang bagaim. Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi data lapangan yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber di lokasi penelitian dan data kepustakaan yang diperoleh dari studi kepustakaan. Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua kategori, yaitu data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu : penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian di lapangan (Field Research).

  Analisis data dilakukan secara analisis deskriftif kualitatif yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan data dan fakta yang dihasilkan dari hasil penelitian di lapangan dengan suatu interprestasi, evaluasi dan pengetahuan umum. Selanjutnya data yang diperoleh dari penelitian, baik data primer, maupun data sekunder kemudian dianalisis dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang dilaksanakan pada fakta-fakta yang bersifat umum yang kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus.

  Penegakan hukum pidana sebenernya tidak hanya membicarakan tentang bagaimana cara membuat peraturan hukum itu sendiri melainkan juga membicarakan apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam mengatasi dan mengantisipasi masalah-masalah yang terjadi dimasyarakat dalam penegakan hukum tersebut. Hukum adalah alat untuk mengadakan perubahan dalam masyarakat

  “Law as a tool of social engineering”.

  Dengan fungsi dan peran yang demikian, maka hukum telah ditempatkan sebagai

  variable penting dari setiap program

  pembangunan dan fungsi control pelaksanaan pembangunan. Penegakan hukum Pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu hukum pidana menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (On Recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.

  7 Gangguan terhadap penegakan hukum

  mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai-nilai, kaidah- kaidah dan pola prilaku. Gangguan tersebut timbul apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma dalam kaidah-kaidah yang simpangsiur dan pola perilaku yang tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum yang mengutamakan kepastian hukum akibat pengaruh kuat aliran legisme, yang mengutamakan asas legalitas secara ketat, hukum adalah Undang-undang, sumber hukum adalah Undang-undang sehingga yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum adalah Undang-undang. Dalam perkembangannya ajaran tersebut diperluas dengan diterimanya sifat melawan hukum material, serta diadopsinya hukum adat didalam hukum posotif Indonesia. Dalam perkembangan lebih lanjut diterima ajaran hukum dan masyarakat, apabila masyarakat berubah tentu hukumnya juga berubah. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kombes Heri dalam pernyataan Ahok tersebut diatas ketika dia sedang berbicara dengan warga di Kepulauan Seribu pada Selasa 27 September 2016 lalu, Ahok 7 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni,

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2.1 Penegakan Hukum Tindak Pidana Penistaan Agama

  mengutip ayat Alquran surat Al-Maidah ayat

  51. Pernyataan Ahok itu disebarluaskan di media sosial. Menurut Kombes Heri Polisi sudah menetapkan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok menjadi Tersangka dalam hal Penistaan Agama tersebut dan melanggar pasal 156 KUHP dan Atau Pasal 156a KUHP dan UU ITE tetapi jaksa tidak memakai UU

  ITE dalam Dakwaannya. Lebih hanya kepada kedua pasal tersebut dalam Surat Edaran Kapolri tentang Ujaran Kebencian SE/06/X/2015, jika dilihat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

  Kalimat tersebut dapat diartikan suatu perbuatan baru dapat dipidana apabila telah ada aturan yang menetukan dapat dihukum atau tidaknya suatu perbuatan tersebut, hal tersebut juga bermakna “lex

  temperior delicti” artinya suatu perbuatan

  pidana hanya dapat diadili menurut undang-undang pada saat perbuatan itu dilakukan, yang dimaksud disini ialah undang-undang yang mengatur bahwa dapat dipidana atau tidaknya seseorang tidak berlaku surut (mundur).

  Perbuatan pidana dapat dihukum atau tidak, tergantung pada penilaian hakim setelah melihat fakta yang ada melalui berita acara pemeriksaan pendahuluan maupun selama pemeriksaan dimuka sidang. Harus menguraikan sesuatu perbuatan yang dituduhkan maka uraian tersebut akan menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tindak pidana yang bersangkutan secara konkrit. Agar mendapat gambaran yang jelas perlu diperinci hal-hal yang pada umumnya harus mendapat perhatian pembuat tuduhan untuk ditonjolkan.

  Moeljatno, dalam berbagai tulisannya pernah mengatakan bahwa perbuatan pidana dapat disamakan dengan Criminal

  act. Beliau menolak dengan tegas untuk

  menggunakan istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah Strafbaar feit atau delict.

  8 Senada dengan pendapat Moeljatno,

  Roeslan Saleh juga mengatakan bahwa perbuatan pidana itu dapat disamakan dengan criminal act, jadi berbeda dengan istilah Strafbaar feit yang meliputi pertanggung jawaban pidana. Criminal act menurutnya berarti kelakuan dan akibat, yang lazim disebut dengan actu reus. Perbuatan pidana (criminal act) harus dibedakan dengan pertanggung jawaban pidana (criminal responsibility). Oleh karena itu pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggung jawaban pidana.

  Unsur perbuatan pidana adalah sifat melawan hukumnya perbuatan, sedangkan unsur pertanggung jawaban pidana adalah bentuk-bentuk kesalahan yang terdiri dari kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) serta tidak adanya alasan pemaaf. Alasan pemaaf yaitu alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan dari terdakwa. Adapun asas dari pertanggung jawaban pidana adalah‟‟ tidak dipidana apabila tidak ada kesal ahan‟‟. Ini berarti, bahwa kalau ada alasan pemaaf, terdakwa harus dilepas dari tuntutan hukum (ontslag van

  rechtsvervolging).

  Roeslan Saleh mengikuti pendapat Moeljatno, dengan menamakan kesengajaan dan kealpaan itu sebagai bentuk- bentuk kesalahan. „‟Untuk menentukan ada tidaknya kesalahan, maka yang ditinjau adalah sifat-sifat dari orang yang melakukan perbuatan tersebut. Sifat- sifatnya ini dilihat pada saat dia melakukan perbuatan pidana‟‟.

  9 Sifat melawan hukum 8 Moeljatno, Pengantar Ilmu Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 16. 9 Roeslan Saleh, Perbuatan pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, Jakarta, Aksara dari pada perbuatan pidana adalah bagian dari Ilmu Hukum Pidana, demikian pendapat dari Roeslan Saleh. Beliau menambahkan bahwa; Bersifat melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum, yaitu lebih luas dari pada bertentangan dengan undang-undang. Selain dari pada peraturan undang-undang disini haruslah diperhatikan aturan-aturan yang tidak tertulis. Penegakan hukum yang berkeadilan sarat dengan landasan etis dan moral. Penegasan ini bukanlah tidak beralasan, selama kurun waktu lebih dari empat Dasawarsa bangsa ini hidup dalam ketakutan, ketidakpastian hukum dan hidup dalam intimitas yang tidak sempurna antara sesamanya. Apa yang sesungguhnya dialami tidak lain adalah pencabikan moral bangsa sebagai akibat dari kegagalan bangsa ini dalam menata manajemen Pemerintahannya yang berlandaskan hukum. Penegakan hukum adalah proses yang tidak sederhana, karena di dalamnya terlibat subjek hukum yang mempersepsikan hukum menurut kepentingan masing-masing, faktor moral sangat berperan dalam menentukan corak hukum suatu bangsa. Hukum dibuat tanpa landasan moral dapat dipastikan tujuan hukum yang berkeadilan tidak mungkin akan terwujud. Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan- peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang- undang, dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan guna.Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif. Menurut AKBP Ketut dalam pendapatnya bahwa Perlindungan terhadap kepentingan Agama Pasal 156 hampir sama dengan 156a. Unsur tersebut menurutnya adalah sebagai berikut :

  1. Dengan Sengaja : Yang dimaksudkan sengaja dalam

  pasal ini adalah orang yang melakukan perbuatan tersebut menghendaki perbuatan itu dan mengetahui atau menyadari tentang yang dilakukannya.

  2. Di muka umum : Diartikan perbuatan tersebut dilakukan di depan umum yang mana dalam kasus nya memicu kelompok atau sebagian masyarakat luas mengetahui dengan seksama.

  3. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, penodaan atau penistaan agama.

  10 Sedangkan Pernyataan Dari Rijal selaku

  Dosen IAIN, berkata bahwasannya hal yang dikatakan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok secara jelas sudah memenuhi unsur penistaan agama. "Substansinya, dia (Ahok) udah melecehkan itu. Dan, itu disampaikan bukan pada tempatnya. Dia sedang ada acara lain pakai pakaian dinas, sebagai gubernur kan waktu itu, jadi sudah jelas sekali apa maksudnya.” Ujar Dr. Rijal. Jadi gak usah dicari-cari lagi apakah dia punya niat, apakah ada kesungguhan. Kalau menurut kita (unsur pidana) udah terpenuhi. Apalagi, ini agama, agama sangat kita junjung tinggi nilai agama jadi tidak boleh sembarang berurusan dengan agama”. Ujarnya.

  11 Ia menjelaskan terdapat tiga hal kesalahan

  yang diperbuat saat mengucapkan kata- kata tersebut. Ia tidak mengindahkan pemakaian kata-kata 'pakai' atau penghilangan kata-kata 'pakai' di dalam 10 Wawancara pada tanggal 05 Desember 2016, Hari senin pukul 12.15 siang hari, dengan Dr.

  Ketut I Seregig, selaku Kabag Bin Ops DIT RESKRIMUM Poda Lampung. 11 Wawancara pada tanggal 04 Januari 2017, hari selasa, pukul 07.00 malam, Dr. Rijal video itu. "Substansinya kan itu adalah tiga hal :

  1. adalah menyalahkan orang yang menyampaikan kepada masyarakat dengan surat Al Maidah 51.

  2. kedua adalah surat Al Maidah 51 seolah-olah digolongkan dan menyudutkan.

  3. dan ketiga ujungnya karena tidak memilih dia. Jadi terkait, jangan dicari kata-kata 'pakai' atau 'tidak pakai'," ujarnya.

  Bahwa jika semua unsur terpenuhi maka dalam tahap penyidikan hal pertama dilakukan setelah menerima laporan adalah pertama menerima laporan tersebut kemudian mengkaji lebih dalam apakah tindak penistaan terhadap agama tersebut memenuhi unsur-unsur diatas dan dalam pasal atau undang-undang yang terkait dengan tindak pidana Ujaran kebencian dalam Surat Edaran Kapolri SE/06/X/2015. Kemudian apabila setelah dikaji perbuatan tersebut ternyata telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana penistaan terhadap agama maka langkah selanjutnya yang dilakukan oleh tim penyidik yaitu mengkroscek atau mengintrogasi pihak-pihak yang terkait dalam kasus ini, yaitu dengan cara meminta keterangan terhadap masyarakat apa yang sebenarnya terjadi, kemudian memanggil para saksi dan saksi ahli untuk diminta keterangan terkait kasus Penistaan Agama dan terakhir melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, apabila berkas sudah lengkap, maka pihak penyidik melimpahkan berkas perkara tersebut ke Kejaksaan untuk di tindak lanjuti.

  Teori yang dipakai dalam membicarakan masalah faktor penghambat dalam penegakan hukum Penegakan Hukum pidana Penistaan terhadap agama ini yaitu teori factor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dari soerjono soekanto, yaitu: 12 1. Faktor Perundang-undangan (substansi hukum)

  2. Faktor penegak hukum 3.

  Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung

  4. Faktor masyarakat 5.

  Faktor Kebudayaan Berdasarkan studi wawancara yang dilakukan dengan responden maupun dari hasil pistaka, ditemukan beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam penegakan Hukum tindak pidana Penistaan terhadap Agama.

  Factor penghambat tersebut dapat diperjelas dan dirinci sebagai berikut:

  1. Faktor Perundang-undangan (substansi hukum) Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum.

  Hakekat penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup law enforcement saja, akan tetapi jua peace maintenance, karena penyelengaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan kaidah-kaidah serta pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai 12 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang

2.2 Faktor - Faktor Penghambat Penegakan Hukum Penistaan Agama

  Mempengaruhi Penegakan Hukum , Rajawali kedamaian. Demikian tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara ketentuan untuk menerapkan peraturan dengan perilaku yang mendukung. Kombes Heri dalam hasil wawancara menyatakan bahwa kasus ini bertentangan dengan Undang-undang RI no 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum, karena ini masalah kejahatan ketertiban umum. maka Polisi harus berhati-hati dalam menyelidik apakah ujaran kebencian yang dilantunkan oleh Ahok termasuk melanggar ketertiban umum, atau menghapus hak-hak kemerdekaan seseorang dalam berargumentasi atau mengeluarkan pendapat.

1. Faktor penegak hukum

  Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat serta harus diaktualisasikan. Kombes Heri menambahkan bahwa ketimpangan antara masyarakat yang membuat kasus diatas memmuat unsur tindak pidana atau tidak, pro-kontra banyak terjadi sehingga pelaku tidak ditahan dengan alasan subjektif dan objektif yang sudah disebutkan diatas. jumlah sumber daya manusia atau aparat penegak hokum harus berkompeten dalam bidang ini membuat proses penegakan hukum ini menjadi tidak terkendala tetapi lebih melihat dari segi yang luas. Terkait tidak dilakukan penahanan yang bersangkutan dalam kasus penistaan terhadap Ahok dan mengapa mabes Polri tidak menahan menurutnya polisi melihat dari dua hal Hukum Pidana objektif dan subjektif yaitu: Hukum pidana objektif (ius poenale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidana objektif memiliki arti yang sama dengan hukum pidana materiil. Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa, ius poenali adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandunng larangan dan perintah dan keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya. Sementara hukum pidana subjektif (ius

  poeniendi ) sebagai aspek subjektifnya

  hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara : 1.

  Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.

  2. Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut, serta

  3. Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi. Jadi dari segi subjektif negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan/hak fundamental yakni : 1. Hak untuk menentukan perbuatan- perbuatan mana yang dilarang dan menentukan bentuk serta berat ringannya ancaman pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya.

  2. Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi, dan

  3. Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada pembuatnya. Ahok merupakan pasangan calon pemilihan kepala daerah yang masih memiliki tanggung jawab, sehingga kecil kemungkinan untuk melarikan diri ujar Heri Menurutnya kasus yang mengharuskan untuk penahanan tersangka, secara subjektif harus jelas delik perkaranya. "Misalnya kasus pembunuhan, Itu delik perkaranya jelas, pelaku membunuh seseorang." Kata dia. Pada kasus ini menurutnya belum jelas delik perkaranya. Hal ini terlihat saat gelar perkara tiga hari lalu, perbedaan pendapat sekitar 39 saksi ahli yang tidak semuanya setuju bahwa Ahok telah melakukan tindakan pidana penistaan agama. Selain itu kepolisian juga memastikan bahwa Ahok tidak akan menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatannya lagi. "Tentunya akan rugi jika mengulangi perbuatannya, mengingat yang bersangkutan merupakan pasangan calon kepala daerah" ujarnya.

  Kombes Heri menambahkan Prosedur penangannya oleh anggota Polri dalam Surat Edaran Kapolri SE/X/06/2015 diatur dalam beberapa tahapan :

  1. Setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kebencian.

  2. Personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala- gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.

  3. Setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian. Keempat, setiap personel Polri melaporkan ke pimpinan masing-masing terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.

  4. Setiap anggota Polri agar melaporkan kepada pimpinan masing-masing atas situasi dan kondisi di lingkungannya terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.

  5. Kepada para Kasatwil agar melakukan kegiatan: a.

  Mengefektifkan dan mengedepankan fungsi intelijen untuk mengetahui kondisi real di wilayah-wilayah yang rawan konflik terutama akibat hasutan- hasutan atau provokasi, untuk selanjutnya dilakukan pemetaan sebagai bagian dari early warning dan early detection.

  b.

  Mengedepankan fungsi binmas dan Polmas untuk melakukan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat mengenai ujaran kebencian dan dampak-dampak negatif yang akan terjadi.

  c.

  Mengedepankan fungsi binmas untuk melakukan kerja sama yang konstruktif dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan akademisi untuk optimalisasi tindakan represif atas ujaran kebencian. apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah pada tindak pidana ujaran kebencian maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan: 1. memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat.

  2. melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian.

  3. mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian. mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai, dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat.

  Faktor Prosedur diatas yang membuat polisi dalam bertindaklajuti kasus tentang penista agama ini harus berhati-hati dalam menanganinya.

  2. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranannya sebagaimana mestinya.

  Kombes Heri menambahkan bahwa dalam proses penyidikan sering kali ditemui keadan diamaa tempat yang menjadi TKP (Tempat Kejadian Perkara) yang jaraknya cukup jauh dan keadaan jalan yang tidak mendukung yaitu jalan rusak, kemudian tarnsportasi yang tidak ada atau tidak memadai serta anggaran yang dimiliki sangat terbatas, hal tersebut menjadi kendala dalam proses penegakan hukum. Namun dalam kasus diatas bisa dengan mudah ditemukan identitas pelaku, terlebih pelaku adalah orang nomor satu di jakarta dan dalam kasusnya juga seseorang menggungah video dengan menggunakan sosial media sehingga mudah untuk ditemukan jejaknya, untuk kasus yang serupa. saat ini Polisi dalam cyber patrol dirasa kurang maksimal dalam melihat kasus penistaan atau ujaran kebencian dan pengawasannya harus lebih konkrit dan gencar menyimak aksi yang bersifat SARA di media sosial tersebut. Namun disisi lain polisi juga arus kompeten dan ahli dalam menyidik kasus ketertiban umum maupun di duniamaya perihal banyaknya masyarakat dan pengguna smartphone yang besar pasti besar pula pelaku ujaran kebencian yang bertebaran, maka dari itu fasilitas maupun sarana serta aparat dalam menanganinya juga harus seimbang dan memadai agar penegakan hukum di Indonesia ditegakan seadil-adilnya. Faktor masyarakat Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum, menurut Heri seseorang baru dapat dikatakan mempunyai kesadaran hukum, apabila memenuhi hukum karena keikhlasannya, karena merasakan bahwa hukum itu berguna dan mengayominya. Dengan kata lain, hukum dipatuhi karena merasakan bahwa hukum itu berasal dari hati nurani. Kombes Heri menyebutkan sebagian masryarakat belum mengetahui isi Surat Edaran Kapolri SE/X/06/2015 membuat masyarakat menjadi tidak terjaga dalam berkomunikasi di dunia maya. Ia juga menambahkan bahwa faktor kemarahan/emosi atau kesengajaan yang dimana alasannya hingga ucapan/ujaran kebencian itu terjadi, ucapan yang diluar kontrol tersebut membuat dia menista agama disengaja maupun tidak karena kesalahanya sendiri membuat masyarakat memanas dan bahkan terjadinya demo 411 dan 212, teori sebab akibat memang sangat dirasa untuk hukum kita. Karena masyarakat kita di indonesia mayoritas beragama islam, unsur agama itu sangat dijunjung tinggi terlebih jika agama itu dinistakan. Adanya pro dan kontra dari masyarakat yang menyatakan ahok menista dan tidak ini yang menjadi bagian faktor penghambat polisi dalam penerapan penegakan tindak pidana, karena negara kita demokrasi.

  • –persekutuan tertentu, penguasa, orang-orang kaya dan sebagainya. Dalam penegakannya (law

3. Faktor Kebudayaan

  Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegak hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakkannya. Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum tersebut. Karena beragamnya budaya yang ada di indonesia ini yang menjadikan penghambat juga dalam penegakan hukum, terutama masuknya perkembangan modern.

  Penulis menilai bahwa, fnaktor-faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum Tindak pidana penistaa agama disebabkan karena faktor undang-undang yang terkadang kurang cepat nya memutuskan dan dijalankan dengan kurang maksimal sehingga pelaku masih bisa semena-mena, melihat penerapan pasal dalam Surat Edaran Ujaran Kebencian SE/X/06/2015 masih rampun belum terlaksana dengan baik terhadap ancaman pidananya. sehingga masih banyak oknum- oknum yang tidak merasa jera sehingga masih ingin memanfaatkan keadaan yang ada tanpa memikirkan yang lain.

  Faktor penegak hukum Dengan kata lain sistem hukum bekerja sama. Namun jika salah satu absent, tidak bekerja sebagai sebagaimana mestinya apakah aparatnya, hukumnya maupun masyarakat. Maka hukum yang tegak hanya sebuah angan- angan belaka Aparat/legislator dianggap “absent” jika dalam law making process nilai-nilai masyarakat direduksi, disimpangi hasilnya hukum hanya menguntungkan golongan tertentu, kelas tertentu, persekutuan

  inforcement process) aparat mudah disuap,

  dieli, suka menjungkir balikkan fakta, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar.

  Jangan karena pelaku adalah orang besar namun bisa disampingan dengan jabatannya, bagaimana dengan pelaku yang sudah lebih duluan di penjara dengan Tindak pidana yang sama dilakukannya. juga Faktor masyarakat kurangnya pengetahuan dan kesadaran hukum terhadap aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah serta wawasan atau pengetahuan tentang adanya Surat Edaran Kapolri SE/06/X/2015 yang membuat masyarakat belum paham apa yang termasuk ujaran kebencian, serta faktor kebudayaan banyak dipengaruhi oleh keadaan yang konstan sehingga selalu mengkaitkan perasaan emosional yang dikaitkan hubungan seperti ekonomi, sosial dan di era modern ini sering tidak lebih memperhatikan lagi dampak apa yang akan terjadi. .

  III. PENUTUP

  3.1 Simpulan

  Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.

  Penegakan hokum tindak pidana penistaan terhadap agama harus dilaksanakan sesuai dengan undang- pidana tersebut dan tahap-tahap penegakan hukum yang dipakai mengacu pada tahap Formulasi, Aplikasi dan Eksekusi yaitu melalui proses penyidikan, penuntut umum serta proses peradilan, Pelaku didakwa melanggar Pasal 156 KUHP dan Pasal 156a KUHP. karena secara sah dan meyakinkan telah melakukan Melakukan perbuatan Penistaan terhadap agama yang termasuk Ujaran Kebencian dalam Surat Edaran SE/06/X/2015 dilakukan di depan umum tersebut. Penegakan hukum pidana tersebut merupakan suatu proses dalam peradilan pidana, dalam surat edaran kapolri polisi sangat berhati hati dalam menangani pelaku ujaran kebencian ini bahwa pelaku harus ditindak secara preventif dan represif, Preventif adalah tindakan yang dilakukan dengan cara melakukan pengawasan dengan mengerahkan aparat kepolisian dengan seksama. Sedangkan Represif adalah tindakan yang diambil para aparat penegak hukum apabila terdapat tindak pidana penistaan terhadap agama yang merupakan ujaran kebencian yang termasuk dalam Surat Edaran Kapolri SE/06/X/2015 dan harus sudah memuat unsur penistaan agama yang secara luas menyurukan kebencian kepada suatu masyarakat agar melakukan hal yang dia serukan. Maka menunjukkan bahwa setiap orang yang melanggar maka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, karena terdakwa secara sengaja melakukan kesalahan, memiliki kemampuan untuk memepertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana serta tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf bagi terdakwa untuk terlepas dari hukuman sebagai akibat dari tindak pidana yang dilakukannya.

  2. Faktor penghambat dalam penegakan hukum tindak pidana penistaan terhadap agama adalah karena ancaman pidananya yang kurang dan tidak terlalu ditegakan sehingga masih banyak oknum-oknum yang tidak merasa jera dan ingin memanfaatkan keadaan yang ada tanpa memikirkan yang lain, faktor-faktor penghambat antara lain: a.

  Faktor Perundang-undangan

  (substansi hukum) : Dalam kasus ini bertentangan dengan Undang- undang RI no 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum, karena ini masalah kejahatan ketertiban umum. maka Polisi harus berhati- hati dalam menyelidik apakah ujaran kebencian yang dilantunkan oleh Ahok termasuk melanggar ketertiban umum, atau menghapus hak-hak kemerdekaan seseorang dalam berargumentasi atau mengeluarkan pendapat.

  b.

  Faktor Penegak hukum : ketimpangan antara masyarakat yang membuat kasus diatas memmuat unsur tindak pidana atau tidak, pro-kontra banyak terjadi sehingga pelaku tidak ditahan dengan alasan subjektif dan objektif, dan faktor jumlah sumber daya manusia atau aparat penegak hokum harus berkompeten dalam bidang ini membuat proses penegakan hukum ini menjadi tidak terkendala dan harus lebih melihat dari segi yang luas.

  c.

  Faktor sarana dan fasilitas : cyber

  patrol dirasa kurang maksimal

  dalam melihat kasus penistaan atau ujaran kebencian dan pengawasannya harus lebih konkrit dan gencar menyimak aksi yang bersifat SARA di media sosial tersebut. Namun disisi lain polisi juga harus kompeten dan ahli dalam menyidik kasus ketertiban umum maupun di dunia maya perihal banyaknya masyarakat dan pengguna smartphone yang besar pasti besar pula pelaku ujaran kebencian yang bertebaran, maka dari itu fasilitas maupun sarana serta aparat dalam menanganinya juga harus seimbang dan memadai agar penegakan hukum di Indonesia ditegakan seadil-adilnya.

  d.

  Faktor masyarakat : sebagian masryarakat belum mengetahui isi Surat Edaran Kapolri SE/X/06/2015 membuat masyarakat menjadi tidak terjaga dalam berkomunikasi di dunia maya. faktor kemarahan/emosi atau kesengajaan yang dimana alasannya hingga ucapan/ujaran kebencian itu terjadi, ucapan yang diluar kontrol membuat adanya demo 411 dan 212, Karena masyarakat kita di indonesia mayoritas beragama islam, unsur agama itu sangat dijunjung tinggi terlebih di Indonesia. Adanya pro dan kontra dari masyarakat menjadi bagian faktor penghambat polisi dalam penerapan penegakan tindak pidana, karena negara kita adalah Negara demokrasi.

  e.

  Faktor Budaya : Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.

  • – persekutuan tertentu, penguasa, orang- orang kaya dan sebagainya. Dalam penegakannya (law inforcement

  Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegak hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakkannya. Sebaliknya, apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum tersebut. Karena beragamnya budaya yang ada di indonesia ini yang menjadikan penghambat juga dalam penegakan hukum, terutama masuknya perkembangan modern.