PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandar Lampung)

PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

  (Studi Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandar lampung)

  (Jurnal) Oleh: M. Yudhi Guntara Eka Putra 1312011183

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

  

ABSTRAK

PELAKSANAAN PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS ANAK PELAKU TINDAK

PIDANA (Studi Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandar Lampung)

Oleh

  

M. Yudhi Guntara Eka Putra, Diah Gustiniati, S.H., M.Hum, Firganefi, S.H., M.H.

  (Email : Lembaga Pemasyarakatan adalah instansi terakhir dari rangkaian sub-sub sistem dari sistem peradilan pidana yang berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang berfungsi sebagai tempat pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Kadangkala pembinaan yang diberikan tidak sesuai dengan porsi dan aturan yang seharusnya, dan ini terkadang dianggap enteng oleh petugas. Hal ini menyebabkan hasil pembinaan tidak optimal dan akan menjadikan benih suatu perbuatan yang berulangkali dilakukan (residivis) sehingga akhirnya mereka akan kembali kedalam wadah pembinaan untuk kedua kalinya. Permasalahan yang diteliti oleh penulis adalah Bagaimanakah Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Residivis Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung dan Apakah Faktor Penghambat Dalam Pembinaan Terhadap Residivis Anak Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung? Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data menggunakan analisis data kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pelaksanaan pembinaan residivis anak di LPKA Kelas II Bandar Lampung terdiri atas 3 tahapan yaitu tahap awalan, tahap lanjutan dan tahap akhir, Pola pembinaannya pun sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana yang mana pembinaan tersebut dibagi kedalam 2 (dua) bidang yaitu: bidang kepribadian dan bidang kemandirian. Dalam pelaksanaan pembinaan tidak ada perbedaan proses pembinaan terhadap residivis anak dengan non residivis baik dari tahapannya maupun dari pola pembinaannya. Adapun yang menjadi penghambat dalam proses pembinaan yaitu: dari hukumnya sendiri karena belum ada peraturan yang secara khusus mengatur tentang pembinaan terhadap residivis khususnya residivis anak, kualitas dan jumlah aparat penegak hukum yang masih kurang, sarana dan fasilitas yang kurang memadai, masyarakat yang kurang mendukung program pembinaan dan masyarakat menstigma/mencap residivis anak sebagai sampah masyarakat dan budaya atau kebiasaan dari diri residivis anak tersebut.

  

Kata Kunci : Pelaksanaan Pembinaan, Residivis Anak, Lembaga Pembinaan Khusus

Anak (LPKA)

  

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF COUNSELING PROGRAM ON CHILD CRIME

RECIDIVISTS (A Study in Class II Juvenile Correctional Facility Bandar Lampung)

By

  

M. Yudhi Guntara Eka Putra, Diah Gustiniati, S.H., M.Hum, Firganefi, S.H., M.H.

  (Email : Correctional facility should be the last institution of a series of sub-systems of the criminal justice system in accordance with Law No. 12/1995 regarding Correctional Facility which serves as a center of counseling for prisoners or inmates. Sometimes the counseling was not done appropriately and it was underestimated by the officers of correctional facility. Therefore, the counseling result was not satisfying and may cause such repeated crime (recidivists) which may bring them back in prison for the second time. The problems in this research are formulated as follows: How is the implementation of counseling program on child crime residivists at Class II Juvenile Correctional Facility Bandar Lampung? and What are the inhibiting factors in the implementation of counseling program on child crime residivists at Class II Juvenile Correctional Facility Bandar Lampung? The approaches used in this research are normative and empirical approaches. The data sources consist of primary and secondary data. The data collection technique in this research was done using library research and field research. While the analysis of the data was done using qualitative data analysis. The results and discussion of the research, it showed that the implementation of counseling program on child crime residivists at Class II Juvenile Correctional Bandar Lampung consisted of of three stages: preliminary stage, advanced stage and the final stage, as in accordance with counseling pattern of the Minister of Justice of the Republic of Indonesia No. M.02-PK.04.10/1990 regarding counseling pattern for inmates in which the counseling is divided into two (2) aspects, namely: aspect of personality and aspect of independence. While there was no difference in the process of counseling between child of recidivists and non recidivist from either the stages or patterns. There were also several inhibiting factors in the implementation of counseling programs for child recidivists, included: the law itself as there was no legislation that specifically regulates the fostering of recidivism, especially child recidivists, the lack quality and quantity of law enforcement officers, the inadequate infrastructure and facilities, less support from the society towards the counceling program and bad stigma for child recidivists from the society and culture or habits of the child recidivists themselves.

  

Keywords: Counseling Program, Child Residivists, Juvenile Correctional Facility idivist

Kids, Kids (LPKA)

  Anak sebagai generasi muda merupakan salah satu sumber daya manusia yang memiliki peranan yang strategis bagi pembangunan dan masa depan bangsa. Yang dimaksud dengan anak menurut UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak yang usianya masih muda memerlukan bimbingan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik, mental dan sosial. Dalam melaksanakan pembinaan anak sangat diperlukan dukungan dari masyarakat khususnya negara. Upaya perlindungan hukum terhadap anak lebih ditekankan pada hak-hak anak. Demikian juga halnya dengan anak pidana. Perlindungan hukum terhadap anak pidana lebih ditekankan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak. Demikian juga halnya dengan anak didik pemasyarakatan perlindungan hukumnya lebih ditekankan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak didik pemasyarakatan.

  yang telah disahkan oleh negara dalam rangka mewujudkan perlindungan hukum terhadap anak khususnya anak yang bermasalah dengan hukum secara khusus diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang- Undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang 1 Mulyana W. Kusumah, 1986, Hukum dan Hak-

  Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Berdasarkan peraturan perundang- undangan yang ada, untuk pembinaan anak yang bermasalah dengan hukum ditempatkan secara khusus, dibina didalam Lembaga Pemasyarakatan Anak. Untuk menjalankan proses pembinaan terhadap Anak didik pemasyarakatan khususnya anak pidana maka peran pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat sangat diperlukan. Peran-peran tersebut ternyata sangatlah penting dalam rangka untuk menentukan berhasil atau tidaknya pembinaan terhadap anak didik pemasya- rakatan tersebut. Lembaga pemasyarakatan bukan hanya sebagai tempat untuk semata-mata memidana orang, melainkan juga sebagai tempat membina juga untuk mendidik orang-orang terpidana khususnya anak, agar mereka setelah selesai menjalankan pidana, mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar lembaga pemasyarakatan sebagai warga Negara yang baik dan taat kepada aturan hukum yang berlaku. Dengan Adanya sekian banyak model pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika yang tujuannya supaya anak didik pemasyarakatan mempunyai bekal dalam menyongsong kehidupan setelah menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan adalah tahap akhir dari sistem peradilan pidana yang berwenang dan diberi tugas oleh negara untuk melakukan pembinaan dan memberikan pengayoman, kadangkala pembinaan yang diberikan tidak sesuai dengan porsi dan aturan yang seharusnya dan ini terkadang dianggap enteng oleh petugas sehingga hasil pembinaan tidak optimal dan akan menjadikan benih suatu perbuatan yang berulangkali dilakukan sehingga akhirnya mereka akan kembali

I. PENDAHULUAN

1 Beberapa peraturan perundang-undangan

  kedalam wadah pembinaan untuk kedua kalinya. Pembinaan bagi para pelaku yang berulangkali dijatuhi pidana oleh hakim (Residivis) seharusnya dibedakan baik pembinan maupun penempatannya di dalam lembaga pemasyarakatan hal ini juga sesuai dengan prinsip pemasyarakat- an, namun pada prakteknya hal itu belum terlaksana.

  Penanggulangan kejahatan residivis dilakukan dengan serangkaian sistem yang disebut dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan sarana dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.

  komponen dalam sistem tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen ini harus bekerja dan berproses secara terpadu dalam pelaksanaan peradilan pidana dan diharapkan menjadi tumpuan dalam penegakan hukum di Indonesia. Lembaga pemasyarakatan ini merupakan komponen terakhir yang tujuannya untuk membina tiap anak didik pemasyarakatan terkhusus anak didik pemasyarakatan yang berstatus residivis. Pola Pembinaan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman R.I Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990, Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 dan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1999 tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan rohani anak didik pemasyarakatan sehingga anak didik tersebut akan menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab. 2 Marjono Reksodiputro, 1997, Reformasi Sistem

  Pemasyarakatan, Jakarta : Universitas Indonesia,

  Hijmans menyebutkan dua alasan pentingnya Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai berikut :

  3 a.

  Pelanggar hukum muda usia paling peka terhadap pengaruh dari luar, baik pengaruh yang positif maupun pengaruh yang negatif.

  b.

  Menurut statistik Residivisme pelanggar hukum muda usia merupakan bibit kriminalitas yang lebih potensial. Pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan terhadap residivis anak ini seringkali disamakan pola pembinaan dan penempatannya di lembaga pemasyarakatan. Padahal semestinya pembinaan terhadap residivis ini harus lebih dikhususkan seperti diberikan pembinaan ekstra, pengawasan yang lebih dan penempatan yang berbeda dengan anak didik pemasyarakatan yang berstatus non residivis ini, karena jika digabung antara residivis dan non residivis ini maka ditakutkan akan membuat anak didik pemasyarakatan yang berstatus non residivis ini dapat terpengaruh dan dapat melakukan hal yang sama dengan anak didik pemasyarakatan yang berstatus residivis.

2 Adapun

  Pola pembinaan Residivis Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung tidak dibedakan dengan pembinaan anak didik pemasyarakatan bukan Residivis, tentunya hal ini tidak memberikan efek yang berarti kepada Residivis tersebut, karena setiap klasifikasi anak didik pemasyarakatan itu berbeda kebutuhan pembinaannya terkhusus Residivis Anak. Mereka sudah tentu merasa terbiasa dengan semua pembinaan yang sama sebelumnya.

  Penyatuan pembinaan kedua klasifikasi anak didik pemasyarakatan ini, efek yang akan timbul bukannya mengurangi tingkat kejahatan dalam bentuk pengulangan akan tetapi dengan adanya penyatuan ini akan lebih cepat merangsang para pelaku tindak pidana Residivis untuk berbuat 3 Wagiati Soetedjo, 2006, Hukum Pidana Anak, yang sama karena tidak ada yang lebih dari sekedar pemberatan hukuman yang didapatkannya. Pelaksanaan Pembinaan yang dilakukan oleh LPKA terhadap Residivis Anak masih belum maksimal, karena dalam melaksanakan pembinaan tersebut, LPKA masih mengalami hambatan dalam proses pembinaannya, sehingga pelaksanaan pembinaan yang diharapkan bisa berjalan dengan baik malah menjadi terhambat dan tidak berjalan dengan semestinya. Hambatan-hambatan tersebut dapat berupa dari sistem perundang-undangan yang saat ini tidak sesuai lagi dengan hakikat dan nilai yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat, dari aparat penegak hukumnya sendiri yang dirasa belum optimal dalam melakukan pembinaan, dari sarana dan fasilitas di dalam LPKA yang masih kurang, dari masyarakat dan budaya yang dirasa tidak mendukung pelaksanaan pembinaannya. Hambatan ini lah yang menjadi hambatan dalam proses pembinaan sehingga pembinaan tersebut kurang optimal dan mengakibatkan masih terdapat residivis anak di LPKA. Residivis Anak yang masih terdapat di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandar Lampung membuktikan bahwa dengan penggabungan pembinaan ini bukan mengurangi atau membuat seseorang berpaling untuk tidak mengulangi perbuatannya, tetapi sebaliknya mereka terpancing untuk mencari kawan dan melakukan perbuatan yang lebih berbahaya dari perbuatan awalnya. Karena seakan-akan di dalam lembaga pemasyarakatan difasilitasi untuk berkumpul sesama orang-orang yang tidak baik dengan berbagai latar belakang kejahatan yang dilakukan, dan dari sinilah perbutan pengulangan tindak pidana berawal, sehingga setelah keluar mereka dapat melakukan kejahatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu pemisahan pembinaan dan penempatan bagi Residivis dengan anak didik pemasyarakatan yang bukan Residivis sangat dibutuhkan untuk benar-benar tercapainya pembinaan anak didik pemasyarakatan yang sesuai dengan prinsip- prinsip pemasyarakatan dan dengan pemisahan ini diharapkan angka Residivis dapat dikurangi bahkan bukan tidak mungkin Residivis tidak mendapat ruang di tengah-tengah kehidupan setiap mantan anak didik pemasyarakatan.

  Masalah tindak pidana berulang-kali (Residivis) yang terjadi terhadap anak di Lampung adalah merupakan masalah yang kompleks dan perlu untuk segera ditangani, agar tidak menimbulkan keresahan dalam lingkungan masyarakat.

  Maka masalah ini perlu dikaji dan dianalisis secara ilmiah sehingga didapatkan gambaran objektif mengenai Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandar Lampung, dan faktor penghambat dalam pembinaan Residivis anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Bandar Lampung. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Residivis Anak Pelaku Tindak Pidana”. (Studi Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung) Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam hal ini yang menjadi permasalahan didalam penelitian ini adalah: a.

  Bagaimanakah Pelaksanaan

  Pembinaan Residivis Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung? b. Apakah Faktor Penghambat dalam

  Pembinaan Residivis Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung?

  Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu: pendekatan Yuridis Normatif, yaitu pendekatan dengan cara melihat dan mempelajari buku-buku dan dokumen-dokumen serta peraturan- peraturan lainnya yang berlaku dan berhubungan dengan judul dan pokok bahasan yang akan diteliti, yaitu Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Residivis Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Kasus Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung) dan pendekatan Empiris, Yaitu pendekatan yang dilakukan dengan meneliti data primer yang diperoleh secara langsung dari wawancara guna mengetahui kenyataan yang terjadi dalam praktek. Peneliti melakukan wawancara dengan para petugas pembina di Lembaga Pemasyarakatan Anak, Residivis Anak, Petugas Bapas, serta akademisi untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana Pelaksanaan Pembinaan Terhadap Residivis Anak Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas

  II Bandar Lampung. Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi data lapangan yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber di lokasi penelitian dan data kepustakaan yang diperoleh dari studi kepustakaan. Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua kategori, yaitu data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu : penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian di lapangan (Field

  Pendidikan.

  Pemasyarakatan sebagai suatu sistem pembinaan yang pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan yang bersifat multidimensial, hal ini dikarenakan adanya suatu upaya pemulihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan yang merupakan masalah yang sangat kompleks. Untuk hal tersebut diperlukan pembinaan kepada anak didik pemasyarakatan yang terdiri dari Tahanan pemasyarakatan, Anak didik pemasyarakatan dan Klien Pemasyarakatan dalam suatu kerangka Pemasyarakatan, yaitu pembinaan manusia yang melibatkan semua aspek yang ada, sehingga yang terpenting dari upaya pemulihan kesatuan tersebut adalah prosesnya yang terdiri dari interaktif yang didukung oleh program pembinaan yang sesuai untuk hal tersebut.

  Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

  g.

  Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan.

  f.

  Penghormatan harkat dan martabat manusia.

  e.

  Pembimbingan.

  d.

  c.

  Research)

  Persamaan perlakukan dan pelayanan.

  b.

  Pengayoman.

  12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa, sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas: a.

  Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No.

  Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung menerapkan pola pembinaan Anak didik pemasyarakatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  2.1 Pelaksanaan Pembinaan Residivis Anak Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung

  II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  Analisis data dilakukan secara analisis deskriftif kualitatif yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan data dan fakta yang dihasilkan dari hasil penelitian di lapangan dengan suatu interprestasi, evaluasi dan pengetahuan umum. Selanjutnya data yang diperoleh dari penelitian, baik data primer, maupun data sekunder kemudian dianalisis dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang dilaksanakan pada fakta-fakta yang bersifat umum yang kemudian dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan yang bersifat khusus.

  4 4 Adi Sujatno, 2004, Sistem Pemasyarakatan Proses Pemasyarakatan merupakan proses

  integrative yang menggalang semua aspek

  potensi kemasyarakatan yang secara integral dan gotong-royong terjalin antara anak didik pemasyarakatan, masyarakat dan juga petugas pemasyarakatan. Oleh karena itu dalam perspektif perlakuan terhadap anak didik pemasyarakatan khususnya anak didik pemasyarakatan tidak mutlak harus berupa penutupan dalam lingkungan bangunan LPKA, mengingat yang diperlukan dalam proses pemasyarakatan adalah kontak dengan masyarakat. Pembinaan terhadap anak didik pemasyarakatan dimulai sejak yang bersangkutan ditahan di LPKA sebagai tersangka atau terdakwa untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Wujud pembinaan dimaksud antara lain perawatan tahanan yaitu proses pelayanan tahanan yang dilaksanakan dimulai penerimaan sampai pengeluaran tahanan termasuk di dalamnya program-program perawatan rohani maupun jasmani.

  5

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasya- rakatan dalam Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa pembinaan narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan. Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa tahap pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) tahapan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, Pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung juga dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan PP No 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Hal ini dimaksudkan agar anak didik pemasya- rakatan dapat memahami bagaimana pola pembinaan sehingga pembinaan yang telah

  Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, hal, 18-21 5

  diberikan oleh LPKA bisa berjalan dengan baik. Dalam tahap pembinaan yang meliputi 3 (tiga) tahap pembinaan yang didasarkan pada dua unsur yaitu masa pidana dan tingkah laku anak didik pemasyarakatan, kedua unsur itu saling berkaitan sehingga tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam setiap tahapan pembinaan, masing-masing anak didik pemasyarakatan akan diajukan dalm sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan). Setiap akhir periode dari masing-masing pembinaan akan diadakan evaluasi terhadap anak didik pemasyarakatan yang akan dinilai dari berbagai unsur. Hasil evaluasi yang akan menentukan anak didik pemasyarakatan dapat diikutkan atau melanjutkan ke tahap selanjutnya. Pembinaan tahap awal dan tahap lanjutan dilaksanakan di LPKA, sedangkan untuk pembinaan tahap akhir dilaksanakan di luar LPKA oleh BAPAS. Dalam hal anak didik pemasyarakatan tidak memenuhi syarat-syarat tertentu pembinaan tahap akhir anak didik pemasyarakatan yang bersangkutan tetap dilaksanakan di LPKA. Menurut Penulis pembinaan yang dilakukan oleh LPKA ini sudah cukup baik, karena pembinaan yang dilakukan oleh LPKA ini sudah dilakukan melalui beberapa tahapan sesuai dengan PP No 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasya- rakatan. Namun masih terdapat beberapa aspek pembinaan yang belum dijalankan seperti tahap asimilasi yang belum dapat dijalankan karena masih terhambatnya atau terbatasnya jumlah petugas di LPKA sehingga tahap ini masih belum dapat dijalankan. Padahal tahap asimilasi ini penting bagi anak didik pemasyarakatan karena sebagai proses adaptasi dengan masyarakat luar sehingga setelah keluar dari LPKA, anak didik pemasyarakatan bisa langsung membaur dan bersosialisasi dengan masyarakat luar.

1. Tahapan Dalam Pembinaan

  2. Pola Pembinaan

  2

  Sumber : Data di LPKA Kelas II Bandar Lampung yang di olah tahun 2016 Dari data di atas dapat dilihat bahwa jenis tindak pidana yang dilakukan oleh residivis anak pada tahun 2013 adalah tidak ada, pada tahun 2014 jenis tindak pidana yang dilakukan residivis anak di LPKA adalah 4 orang melakukan tindak pidana pencurian dan 1 orang melakukan tindak pidana asusila, pada tahun 2015 jenis tindak pidana yang dilakukan adalah 1 orang melakukan tindak pidana pencurian, pada tahun 2016 jenis tindak pidana yang dilakukan adalah 1 orang melakukan tindak pidana pencurian dan 1 orang melakukan tindak pidana narkoba.

  1 1 - -

  2

  5 4 - 1 - 2015 1 1 - - - 2016

  Pembu- nuhan 2013 - - - - 2014

  Nar- koba Asu sila

  Tahun Jumlah Residivis Pencu- rian

  Tabel 2. Jenis Tindak Pidana Yang telah dilakukan oleh Residivis Anak Di LPKA

  Selanjutnya untuk melihat jenis tindak pidana apa saja yang dilakukan oleh residivis anak di LPKA maka bisa melihat pada tabel 2 yang akan dijabarkan di bawah ini:

  Dari data di atas dapat dilihat bahwa jumlah residivis anak dari tahun 2013 yaitu orang, Pada tahun 2014 mengalami peningkatan yaitu 5 orang, Pada tahun 2015 jumlah residivis anak berkurang yaitu 1 orang dan pada tahun 2016 jumlah residivis mengalami peningkatan yaitu 2 orang. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya residivis anak yang harus mendapatkan pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung.

  Sumber : LPKA Kelas II Bandar Lampung tahun 2016

  27 114 113 153

  27 109 112 151

  1

  Sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya pada kerangka teori, bahwa menurut adi sujatno ruang lingkup pembinaan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02- PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana dapat dibagi ke dalam 2 (dua) bidang yakni:

  5

  4 2013 2014 2015 2016

  3

  2

  1

  No Tahun Residivis Bukan Residivis Jumlah

  II Bandar Lampung

  Tabel 1. Jumlah Residivis Anak Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas

  Pembinaan yang diberikan oleh LPKA Kelas II Bandar Lampung terhadap anak didik pemasyarakatan yang berstatus residivis ini tidak dibedakan pola pembinaannya dengan anak didik pemasyarakatan yang berstatus non residivis. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang membuat pembinaannya disamakan. Salah satu faktornya adalah sarana dan fasilitas yang kurang memadai di dalam LPKA Kelas II Bandar Lampung. Hal inilah yang membuat pembinaan yang diberikan oleh LPKA tersebut menjadi kurang optimal. Sebagai gambaran untuk lebih jelas tentang kondisi di LPKA Kelas II Bandar Lampung, maka dalam tabel berikut ini akan dilihat secara terperinci jumlah residivis dan non residivis di LPKA tersebut dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2016, yaitu sebagai berikut:

  Pembinaan Kemampuan Intelektual (kecerdasan) d. Pembinaan Kesadaran Hukum e. Pembinaan Mengintegrasikan Diri 2. Pembinaan Kemandirian

  Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara c.

  Pembinaan Agama b.

  1. Pembinaan Kemandirian yang meliputi: a.

  Peneliti mengambil data untuk sampel pada tahun 2016 sebanyak 4 orang residivis anak yang dibina di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung. Selanjutnya untuk mengetahui Jenis pengulangan tindak pidananya dan telah berapa kali anak didik pemasyarakatan yang residivis melakukan tindak pidana dapat dilihat dari intensitas anak didik pemasyarakatan yang residivis masuk ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 1 orang residivis anak empat kali masuk ke LPKA dengan tindak pidana pencurian, 2 orang residivis anak dua kali masuk ke LPKA dengan tindak pidana pencurian dan 1 orang residivis anak yang masuk ke LPKA dengan tindak pidana pencurian dan narkoba. Dari data tersebut di atas, terlihat bahwa kebanyakan residivis anak mengulangi lagi perbuatan tindak pidananya lebih dari dua kali dengan tindak pidana yang sama yaitu pencurian serta ada juga yang masuk ke LPKA dengan tindak pidana yang berbeda yaitu pencurian dan narkoba. Hal ini menunjukkan bahwa residivis anak tersebut tidak jera untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum dan masuk di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung.

  Berdasarkan data yang diperoleh, residivis anak yang bernama edo memiliki masa pidana selama 1 tahun 7 bulan dengan tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana pencurian, Odi Eka Saputra memiliki masa pidana 9 bulan dengan tindak pidana yang dilakukan adalah pencurian, Ibnu Malik memiliki masa pidana 1 Tahun 8 Bulan dengan tindak pidana yang dilakukannya adalah tindak pidana pencurian, A. Aldin Reynaldin memiliki masa pidana 3 tahun dengan jenis tindak pidana yang dilakukannya adalah Narkoba. Menurut penulis pola pembinaan yang diterapkan oleh LPKA ini sudah cukup baik karena sudah sesuai dengan berdasarkan kepada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.02- PK.04.10. Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Anak didik pemasyarakatan. Namun masih ada beberapa aspek yang belum dapat dijalankan sehingga menghambat dalam proses pembinaan seperti program kemandirian yang belum diterapkan. Padahal pembinaan kemandirian ini merupakan bekal bagi tiap anak didik pemasyarakatan yang setelah keluar dari LPKA mereka memiliki bekal untuk dapat membaur dan mencari pekerjaan didalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan fakta-fakta yang telah dijabarkan di atas, membuktikan bahwa masih adanya residivis anak di LPKA ini bukan hanya dikarenakan pola pembinaan di LPKA yang tidak berjalan dengan semestinya, walaupun dalam kenyataannya pembinaan yang dilakukan telah disesuaikan dengan peraturan-peraturan mengenai pembinaan anak didik pemasyarakatan, tetapi juga karena adanya faktor dari diri pribadi anak didik pemasyarakatan di LPKA sendiri yang memang tidak mau menerima perubahan, baik itu perubahan mental, sikap dan prilakunya sehingga mereka walaupun sudah dibina tetapi masih saja melakukan pelanggaran tindak pidana.

  2.2 Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pembinaan Terhadap Residivis Anak Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung

  Melakukan pembinaan bagi anak didik pemasyarakatan bukanlah suatu hal yang mudah dan merupakan suatu tantangan dari waktu ke waktu bagi setiap Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan Anak Atau Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) adalah instansi yang sangat berperan penting dalam memasyarakatkan kembali para anak didik pemasyarakatan sebagai bagian akhir sistem peradilan pidana di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung pada hari selasa tanggal 25 Oktober 2016, ditemui beberapa faktor penyebab yang dapat menghambat pelaksanaan pembinaan terhadap residivis anak seperti:

  1. Faktor Hukumnya Sendiri Mengenai faktor hukum dalam hal ini yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pembinaan terhadap residivis anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung yaitu karena tidak adanya undang-undang atau peraturan lainnya yang mengatur secara khusus mengenai pembinaan terhadap residivis, khususnya residivis anak. Peraturan yang ada saat ini hanya mengatur bagaimana pembinaan tiap anak didik pemasyarakatan di dalam lembaga pemasyarakatan. Sehingga terhadap anak didik pemasyarakatan yang berstatus residivis ini sering kali disamakan pembinaannya di dalam LPKA. Padahal semestinya pembinaan yang diberikan terhadap anak didik pemasyarakatan yang berstatus residivis ini harus dibedakan dengan yang non residivis.

  3

  Kurang atau tidak adanya dana menjadi salah satu faktor penyebab yang menjadi faktor penghambat bagi

  3. Faktor Sarana dan Fasilitas Untuk menujang tersedianya fasilitas yang memadai di dalam LPKA, maka perlu adanya dana atau anggaran yang cukup. Dana atau anggaran merupakan faktor utama yang menunjang untuk pelaksanaan pembinaan anak didik pemasyarakatan dalam pelaksanaannya maka dibutuhkan peralatan dan bahan- bahan. Sebab program pembinaan tidak hanya 1(satu) macam saja melainkan banyak macamnya sesuai dengan minat maupun pekerjaan atau keterampilan yang mungkin diperlukan untuk kebutuhan dan kepentingan bagi anak didik pemasyarakatan setelah mereka keluar dari LPKA.

  Berdasarkan data tersebut didapati jumlah keseluruhan petugas di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung ini sebanyak 31 orang, yang terdiri dari 28 orang yang berjenis kelamin laki-laki dan 3 orang yang berjenis kelamin perempuan. Dari data tersebut terlihat bahwa hanya sedikit petugas yang ada di dalam LPKA, khususnya petugas yang melakukan pembinaan di dalam LPKA tersebut. Hal ini membuktikan bahwa minimnya tenaga pembina di dalam LPKA tersebut dalam melakukan pembinaan terhadap anak didik pemasyarakatan di dalam LPKA. Oleh karena itu, hal ini lah yang menjadi salah satu faktor penghambat dalam pembinaan. Faktor lain dalam penegak hukum yang bisa menjadi penghambat dalam proses pembinaan di LPKA adalah masa kerja petugas pembina. Masa kerja petugas pembina akan sangat membantu dalam proses pembinaan dimana pengalaman kerja tersebut menjadi modal yang sangat berharga bagi proses pembinaan terhadap anak didik pemasyarakatan.

  5 Sumber : Data lapangan yang diolah Tahun 2016

  31

  4

  28

  2. Faktor Penegak Hukum Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas

  2 Laki-Laki Perempuan

  1

  Jumlah Petugas yang melakukan pembinaan

  No Jenis Kelamin Jumlah Petugas

  Tabel 4. Jumlah Petugas Di LPKA Kelas II Bandar Lampung

  II Bandar Lampung maka didapati fakta-fakta mengenai para petugas di LPKA yang bisa menjadi penghambat dalam pelaksanaan pembinaan di dalam LPKA tersebut. Untuk melihat bagaimana fakta-fakta tersebut, maka penulis akan menggambarkan fakta tersebut kedalam sebuah tabel seperti berikut ini:

1 Jumlah

  pelaksanaan pembinaan, karena dapat mengakibatkan tidak berjalan dan tidak terealisasinya semua program pembinaan bagi anak didik pemasyarakatan karena sangat minimnya dana yang tersedia maka fasilitas yang diberikan pun terbatas. Selain fasilitas yang dinilai kurang memadai, dan dana yang terbatas, maka kualitas dan ragam program pembinaan juga menjadi salah satu faktor penghambat didalam faktor sarana dan prasarana ini yang dapat mengakibatkan terhambatnya proses pembinaan di dalam LPKA. Kualitas dan ragam pembinaan yang kurang kreatif akan dapat memicu timbulnya rasa bosan dari tiap anak didik pemasyarakatan sehingga mereka akan malas dalam mengikuti program pembinaan yang diberikan oleh LPKA.

  Kualitas dari bentuk-bentuk program pembinaan tidak semata-mata ditentukan oleh anggaran ataupun sarana dan fasilitas yang tersedia. Diperlukan program-program kreatif tetapi tidak mengeluarkan biaya yang terlalu mahal dalam pengerjaannya dan mudah cara kerjanya serta memiliki dampak yang edukatif yang optimal bagi warga binaan pemasyarakatan.

  Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

  Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas dari para petugas LPKA, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas dari para petugas LPKA hanya untuk membina para anak didik pemasyarakatan agar menjadi lebih baik, kebanyakan lingkungan masyarakat dan pihak korban tidak mengizinkan kepada residivis anak untuk kembali lagi ke masyarakat karena residivis anak dinilai seperti sampah masyarakat dan tidak patut lagi kembali ke masyarakat dan cenderung menjauhi mereka, serta keengganan terlibat dalam setiap pembinaan yang dilakukan LPKA. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.

  5. Faktor Budaya Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

4. Faktor Masyarakat

  Faktor budaya ini menjadi faktor penghambat dalam pembinaan karena memang faktor ini yang memicu terhambatnya pembinaan itu sendiri. Sikap atau prilaku dari tiap anak didik pemasyarakatan ditentukan oleh budaya dari lingkungan tempat tinggalnya ataupun dari kebiasaan yang ia terapkan selama ini. Contohnya seperti budaya begal yang terdapat di daerah terbanggi lampung tengah. Menurut Edo selaku residivis di LPKA setelah ditanyakan mengapa melakukan lagi tindak pidana pencurian tersebut maka dia menyatakan bahwa: “saya melakukan tindak pidana lagi karena memang hal tersebut (pencurian) sudah menjadi budaya yang melekat dilingkungan tempat tinggal saya, dan itu susah diubah. Rata-rata di daerah saya banyak yang melakukannya, makanya saya juga ikut- ikutan.”

6 Berdasarkan penjelasan di atas, maka

  faktor budaya ini menjadi salah satu penghambat dalam pembinaan anak didik pemasyarakatan baik itu disebabkan oleh lingkungan atau dari diri residivis anak tersebut, karena walaupun sudah dibina di dalam LPKA, anak didik pemasyarakatan yang memang dilingkungannya terdapat kebudayaan yang tidak baik (begal/pencurian) maka anak didik pemasyarakatan tersebut akan dpat mengulangi perbuatan tersebut selain itu jika di lihat dari diri residivis anak tersebut baik dari tingkat pendidikannya yang masih rendah yaitu belum tamat SD dan baru tamatan SD serta dari motivasi anak tersebut dalam proses pembinaan, hal tersebut lah yang menjadikan terhambatnya proses pembinaan di LPKA. Karena hal tersebut sudah menjadi suatu kebiasaannya dan hal tersebut sulit untuk di ubah. Menurut Penulis, faktor penghambat yang paling urgen yang menjadi penghambat dalam pembinaan itu sendiri adalah dari faktor budaya, dalam hal ini adalah faktor dari diri residivis anak itu sendiri, karena walaupun sudah dibina dengan program pembinaan yang sedemikian rupa tapi tetap ditemukan masih adanya residivis anak. Hal ini membuktikan bahwa residivis anak tersebut tidak mau menerima adanya perubahan. Padahal mereka sudah diberikan pembinaan baik itu pembinaan agama, intelektual dll tapi tetap saja masih 6 Wawancara pada tanggal 25 Oktober 2016, Edo,

  Narapidana Residivis / Residivis Anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar

  terdapat residivis. Banyak faktor dari diri residivis yang dapat menjadi penghambat dalam pembinaan di LPKA yaitu motivasi dalam mengikuti pembinaan, tingkat pendidikan residivis anak, dan juga kurangnya bakat dalam melakukan pekerjaan. Untuk itulah petugas LPKA diharapkan mampu menangani faktor dari diri residivis anak tersebut sehingga proses pembinaan bisa berjalan dengan baik.

  III. PENUTUP

  3.1 Simpulan

  Berdasarkan uraian sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1.

  Pelaksanaan pembinaan terhadap residivis anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung secara umum cukup baik, pelaksanaan pembinaan terhadap residivis anak dilakukan melalui beberapa tahapan sesuai dengan PP No

  31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan yaitu pertama tahap awalan yaitu tahap dimana dilakukan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan kepada anak didik pemasyarakatan, kedua tahap lanjutan yaitu tahap dimana sudah dimulainya pembinaan di dalam LPKA dan sudah dimulai tahap asimilasi bagi anak didik pemasyarakatan, dan yang ketiga adalah tahap akhir yaitu tahap dimana anak didik pemasyarakatan yang dinilai sudah berkelakuan baik dapat diusulkan pembebasan bersyarat (PB) dan Cuti menjelang Bebas (CMB).

  Pola Pelaksanaan pembinaan terhadap residivis anak ini juga didasarkan kepada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02- PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana yang dibagi kedalam

  2 (dua) bidang yakni: pembinaan kepribadian yang terdiri dari pembinaan kesadaran beragama, pembinaan berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual, pembinaan kesadaran hukum, pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat dan pembinaan kemandirian yang terdiri dari keterampilan untuk mendukung usaha mandiri, keterampilan untuk mendukung usaha industri kecil, keterampilan sesuai bakat, keterampilan untuk mendukung usaha industri dan pertanian (perkebunan). Namun dalam pelaksanaannya pembinaan keman- dirian ini belum dapat di terapkan di LPKA.

  Pembinaan terhadap residivis anak di LPKA, pada proses pembinaanya baik itu pada tahapan pembinaan maupun pola pembinaannya dilakukan persis tanpa ada perbedaan dengan pembinaan anak didik pemasyarakatan yang berstatus non residivis.

  2. Faktor-faktor penghambat dalam pembinaan terhadap residivis anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandar Lampung yaitu: a.

  Faktor Hukumnya sendiri, yaitu karena belum adanya undang-undang atau pun peraturan yang secara khusus mengatur tentang pembinaan terhadap residivis khususnya residivis anak.

  b.

  Faktor Penegak Hukum, yaitu jumlah dari petugas LPKA yang masih sedikit dan kualitas dari petugas pembina di LPKA yang masih belum mendapatkan pendidikan atau pelatihan khusus demi menunjang program pembinaan.

  c.

  Faktor Sarana dan Fasilitas, yaitu dari fasilitas yang kurang memadai, anggaran atau dana yang masih terbatas dan juga dari program pembinaan yang dinilai masih kurang optimal.

  d.

  Faktor Masyarakat, yaitu masyarakat yang kurang mendukung dan kebanyakan bersikap apatis terhadap pembinaan di LPKA. Masyarakat juga seolah-olah tidak mengizinkan residivis anak untuk kembali ke lingkungan masyarakat dan mencap atau menstigma mereka sehingga residivis anak tersebut cendrung tidak dapat bersosialisasi, mencari pekerjaan di lingkungan masyarakat dan malah makin terjerumus kedalam tindak kejahatan lagi karena seolah-olah mereka tidak dianggap di lingkungan masyarakatnya.

  e.

  Faktor Budaya, yaitu faktor kebiasaan yang terdapat dari diri residivis anak tersebut, baik itu karena tingkat pendidikannya yang kurang, motivasi dalam proses pembinaan dan juga karena tidak ada bakat atau keterampilan sehingga mereka cenderung kembali untuk melakukan kejahatan lagi. Hal tersebut merupakan faktor yang menghambat dalam pembinaan karena walaupun mereka sudah di bina dengan berbagai program pembinaan tetapi tetap saja pada akhirnya mereka kembali lagi melakukan tindak kejahatan atau pidana.

  3.2 Saran

  Berdasarkan simpulan yang telah dikemukakan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut: 1.

  Diharapkan kepada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung untuk meningkatkan kualitas ragam dan program pembinaan terutama dalam program kemandirian terhadap anak didik pemasyarakatan hendaknya segera dilaksanakan untuk pengembangan kepribadian serta peningkatan ketrampilan bagi anak didik pemasyarakatan yang akan memberikan dampak yang cukup besar bagi para anak didik pemasyarakatan setelah selesai menjalankan pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak

  (LPKA) Kelas II Bandar Lampung. Sujatno, Adi, 2004,

  Sistem 2. Pemasyarakatan Indonesia

  Sarana dan pra-sarana yang ada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Membangun Manusia Mandiri , (LPKA) Kelas II Bandar Lampung masih Jakarta: Direktorat Jendral sangat kurang, sehingga pembinaan Pemasyarakatan, Departemen yang diberikan apa adanya. Oleh sebab Hukum Dan HAM RI. itu, diharapkan juga pemerintah pusat untuk menambah fasilitas-fasilitas yang W. Kusumah, Mulyana, 1986, Hukum dan ada di Lembaga Pemasyarakatan yang Hak-Hak Anak , Jakarta : Rajawali. ada di seluruh wilayah Republik Indonesia pada umumnya dan

  Perundang-Undangan :