Key Words : Studies, Philosophical, Mulla Shadra, al- Hikmah Al-Muta’aliyah

Kajian Islam Filosofis: Al-Hikmah Al- Muta’aliyah Karya Mulla Shadra

Oleh : Aina Salsabila, M. Pd.I Email: alsa_duary@yahoo.co.id

Abstract

Mulla Sadra appeared with originality awesome when philosophy Muslims often accused of simply followed by philosophy of Plato and Aristotle. His philosophy gave birth to its own flow: al- Hikmah Al-Muta'aliyah. The flow is the object of the intellect of the philosophers skrutinisasi both Western and Eastern. A Magnum Opus inestimable contribution to the Islamic intellectual treasures. Characteristics of al-Hikmah al-Muta'aliyah which is the synthesis is the result of the combination and harmonization of the teachings of revelation, the sayings of the Imams, truths obtained through appreciation of spiritual illumination and intellectual, and the demands of logic and evidence rationally. Synthesis and harmonization is aimed at integrating the knowledge acquired through the means of Sufism or 'irfan, illuminationism or isyraqiyyah, rational philosophy or identical with the Peripatetic or masysya'iyyah and religious sciences in the narrow sense, including kalam. Thus, the appearance can not be separated from, and should be viewed in the context of Islamic schools of thought that preceded it. This paper aims to describe the focus of the discussion about the biography of Mulla Shadra, the works and the sources of his thinking, understanding and concept of al- Hikmah al-Muta'aliyah, the philosophy of being Mulla Shadra, analysis of building philosophy and the influence of his mind to the philosophers afterwards.

Key Words : Studies, Philosophical, Mulla Shadra, al- Hikmah Al-Mut a’aliyah

Abstrak

Mulla Shadra beliau muncul dengan orisinalitas mengagumkan saat filsafat muslim banyak dituduh sekedar mengekor filsafat Plato dan Aristoteles. Filsafatnya melahirkan aliran tersendiri: al- Hikmah Al- Muta’aliyah. Aliran yang menjadi objek skrutinisasi intelek para filosof baik Barat maupun Timur. Sebuah Opus Magnum yang tak terkira sumbangsihnya bagi khazanah intelektual Islam. Karakteristik al-Hikmah al-M uta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil kombinasi dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam, kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan spiritual dan iluminasi intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional. Sintesis dan harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang diperoleh melalui sarana Sufisme atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional atau yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan ilmu-ilmu keagamaan dalam arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian, kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam konteks aliran-aliran pemikiran Islam yang mendahuluinya. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan fokus pembahasan tentang biografi Mulla Shadra, karya-karya dan sumber Mulla Shadra beliau muncul dengan orisinalitas mengagumkan saat filsafat muslim banyak dituduh sekedar mengekor filsafat Plato dan Aristoteles. Filsafatnya melahirkan aliran tersendiri: al- Hikmah Al- Muta’aliyah. Aliran yang menjadi objek skrutinisasi intelek para filosof baik Barat maupun Timur. Sebuah Opus Magnum yang tak terkira sumbangsihnya bagi khazanah intelektual Islam. Karakteristik al-Hikmah al-M uta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil kombinasi dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam, kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan spiritual dan iluminasi intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional. Sintesis dan harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang diperoleh melalui sarana Sufisme atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional atau yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan ilmu-ilmu keagamaan dalam arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian, kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam konteks aliran-aliran pemikiran Islam yang mendahuluinya. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan fokus pembahasan tentang biografi Mulla Shadra, karya-karya dan sumber

Kata Kunci : Kajian, Filosofis, Mulla Shadra, al- Hikmah Al- Muta’aliyah

Pendahuluan

Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistematika pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Empat aliran filsafat seperti filsafat Peripatetik, Iluminasi, Irfan dan Teologi Islam sebelum abad kesebelas bersifat mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri, tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta'aliyah.

Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu juga berhasil mengkonstruksi dan melahirkan pemikiran dan kaidah filsafat baru yang dengan jitu mampu menyelesaikan berbagai problem rumit filsafat yang sebelumnya tidak mampu diselesaikan oleh keempat aliran filsafat dan teologi tersebut, disamping itu aliran baru ini juga dapat menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama, karena itu tak ada lagi jurang pemisah yang berarti antara agama pada satu sisi dan pemikiran logis filsafat pada sisi lain. Bahkan sekarang ini, terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara agama dan rasionalitas filsafat, agama memberikan obyek pengkajian dan penelitian yang lebih dalam, luas dan hakiki kepada filsafat sedangkan filsafat menghaturkan penjabaran dan penjelasan yang sistimatis dan logis atas doktrin-doktrin agama tersebut.

Trancendent theoshopy (al-Hikmah al-Muta'aliyah) adalah sejenis hikmah atau falsafah yang dilandasi oleh fondasi metafisika yang murni, yang diperoleh melalui intuisi intelektual, dan diformulasikan secara rasional dengan menggunakan argumen-argumen yang rasional dan direalisasikan dengan mengikuti aturan syari’at.

Kemunculan seorang figur dengan kapasitas intelektual dan spiritual seperti Mulla Shadra di Persia pada periode Safawi, jelas menunjukkan adanya kehidupan suatu tradisi intelektual yang kuat, yang memungkinkan baginya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Biografi Mulla Shadra

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Sadr al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mullâ Shadrâ atau Sadr al-Muta’alihin, dan dikalangan murid- murid serta pengikutnya disebut ‘Âkhûnd’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Sadr al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mullâ Shadrâ atau Sadr al-Muta’alihin, dan dikalangan murid- murid serta pengikutnya disebut ‘Âkhûnd’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang

Pada sumber-sumber tradisional, tahun kelahirannya tidak ditetapkan, dan baru diketahui kemudian ketika `Allamah Sayyid Muhammad Hussein Tabataba`i melakukan koreksi terhadap edisi baru al-Hikmah al-Muta`aliyah dan mempersiapkan penerbitannya. Pada catatan pinggir yang ditulis oleh pengarangnya sendiri, ketika ia membicarakan tentang kesatuan antara subyek yang berpikir dan obyek pemikirannya (dalam istilah filosofisnya dikenal sebagai ittihad al-`aqil bi al- ma`qul ), ditemukan kalimat sebagai berikut: “Aku memperoleh inspirasi ini pada saat matahari terbit di hari Jum`at, tanggal 7 Jumadi al-Ula tahun 1037 (bertepatan dengan 14 januari 1628), ketika usiaku telah mencapai 58 tahun”.

Pendidikan formal Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya untuk mengemban tugas yang maha besar ini. Mengikuti penjelasannya sendiri dalam Al-Asfhar Al- Arba’ah, para sejarawan membagi biografinya ke dalam tiga periode: Periode pertama, pendidikan formalnya berlangsung di bawah guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya, dia menerima pendidikan dari tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah Al-Qur’an di bawah bimbingan Baha‘uddin al-‘amali (1031 H/1622 M), yang meletakkan dasar fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof peripatetik Mir Finderski (w. 1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah teolog-filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M). Damad nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah Aristoteles dan Al-Farabi).

Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Shadra terpaksa meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit terhadap pandangan- pandangannya dari Syi’ah dogmatis. Dalam periode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan melakukan uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama periode ini, pengetahuan yang diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, serta menemukan tempat dalam mengasah kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-Asfar al-

Arba’ah disusunnya pada periode ini. Dalam periode ketiga, dia kembali mengajar di Syiraz, dan menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di Isfahan. Semua karya pentingnya dia hasilkan dalam periode ini.

Mulla Shadra telah melahirkan banyak penerus yang memberikan kontribusi dalam perkembangan filsafat di Persia pada periode berikutnya. Paling tidak ada dua orang penerusnya yang sangat terkenal, yaitu Mulla Abd Al Razzak Lahiji dan Mulla Muhsin Faidh Khasyani. Razzak Lahiji, membuat ringkasan kecenderungan aliran Paripatetik sang guru dalam Bahasa Persia, tidak heran jika ia lebih dikenal di negerinya itu. Sedangkan murid lainnya, Kasyani lebih menekankan aspek gnostik yang diajarkan oleh Mulla Shadra. Keintiman hubungan murid guru ini, juga ditunjukkan dengan pernikahan keduanya dengan putri-putri Mulla Shadra.

Kegiatan intelektual Mulla Shadra yang dipraktikkan dalam aktivitas mengajar dan menulis ia barengi dengan laku spiritual yang mengagumkan. Salah satu contohnya, ia menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki selama tujuh kali. Laku spritual yang semakin intens telah memberinya pencerahan-pencerahan bagi dirinya dalam menekuni dunianya.

Sekembalinya dari tanah suci yang ketujuh kalinya, ia menderita sakit di Basrah. Mulla Shadra menghembuskan napas terakhirnya di Basrah pada 1640. Meski demikian, namanya tetap hidup hingga kini melalui karya tulisnya yang menarik perhatian para cerdik cendekia. Sebut saja karya monumentalnya, al-Hikmah al- Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arbaah. Karya lainnya, al-Syawahid al-Rububiyyah fi al- Manahij al-Sulukiyyah, dianggap sebagai ringkasan dari al- Hikmah al-Mutaaliyah, ada juga al-Mabda wa al-Maad salah satu karya Mulla Shadra yang berhubungan dengan metafisika, kosmogoni, dan eskatologi.

Karya-karya Mulla Shadra

Seluruh tulisan Shadra mempunyai nilai yang tinggi, baik secara intelektual maupun kesusteraan. Seluruhnya ditulis dalam Bahasa Arab dengan jelas dan lancar, kecuali Resale Se Asl, yang ditulis dalam Bahasa Persia. Disepanjang sejarah tradisi filsafat Islam, tulisan-tulisannya bisa dipandang termasuk diantara contoh-contoh terbaik literatur filsafat yang ditulis dalam bahasa Arab. Sebagian orang membagi karya-karyanya ke dalam dua kelompok, yaitu yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keagamaan (naqli) dan ilmu- ilmu intelektual (‘aqli). Namun, karena Shadra memandang bahwa kedua tipe ilmu tersebut berkaitan erat satu sama lain dan berasal dari sumber pengetahuan yang sama, yaitu intelek ketuhanan, maka dia selalu mengkaitkan persoalan keagamaan ke dalam karya filosofisnya dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, sebenarnya pembagian di atas tidak bisa dipertahankan, meskipun bukan tanpa makna sama sekali.

Berdasarkan sumber-sumber yang ada, karya-karya Mulla Shadra antara lain:

1. Al-Hikmah al-Muta’âliyah fi al-Asfar al-Arba’ah: kitab ini adalah magnum opusnya dan induk

dari semua karya-karyanya serta paling lengkapnya pembahasan filsafat dari seorang filosof.

2. Asy-Syawâhid ar-Rububiyyah fi al-Manâhij as-Sulukiyyah: Kitab ini mengulas seluruh pikiran- pikiran Mulla Shadra secara luas atau hanya memuat doktrin-doktrin aliran filsafat muta’aliyah.

3. Al-mabda’ wa al-ma’ad: Kitab ini membahas mulai dari tauhid sampai ilmu tentang alam akhirat.

4. Al-Masyâ’ir: Kitab ini berisi tentang pengertian wujud, hakikat wujud dan hal-hal partikular tentang wujud. Paling lengkapnya pembahasan tentang wujud dalam kitab ini.

5. At-tafsir al-Quran: berisi tafsiran dan penjelasan beberapa surah dari al-Quran, antara lain: al- Hadid, Ayatul Kursi, an-Nur, as-Sajdah, al-Fatihah, al- Baqarah, Yasin, Jum’ah, al-Waqi’ah, at-Thariq, al- ‘Ala dan az-Zalzalah.

Dan beberapa karya lainnya yang berisi berbagai disiplin keilmuwan, seperti: Ittihâd al-Âqil wa al- Ma’qul, Ittishâf al-Mahiyat bi al-Wujud, Ajwibatu al-Masail, Ajwibatul al-Masâil an-Nashiriyat, Asrar al-Ayat wa Anwâr al-Bayyinat, Aksirul ‘Arifin, At- Tasyakhkhush, At-Tasawwur wa at-Tashdiq, Ta’liqât ‘ala al-Hikmat al-Isyrâq, Ta’liqât ‘ala al- Ilahiyyat as-Syifa, Huduts al- ‘Âlam, Al-Hasyr, Al-Hikmat al-Arsyiyyah, Khalq al-‘Amâl, Diwâne Sy’er, Zad al-Masafir wa Zad as-Sâlik, Sarayân Nur Wujud al-Haq fi al-Maujudat, Seh Asl, Syar Ushul al-Kâfi, Syar Hidayat al-Asiriyyah, Al-Qadha wa al-Qadr, Kasr Ashnam al-Jahiliyyah, Al-Lamâ ’at al-Masyriqiyyah fi al-Mubahats al-Manthiqiyyah, Lammiyat ikhtishash al- manthaqat bi mawdi’a mu’ayyan min al-falak, Mutasyabih al-Quran, Al-Mizâj, Al-Masail al-Qudsiyyah, Al- Masyâ’ir, Al-Mazahir al-Ilahiyyah fi Asrâr al-‘Ulum al- Kamâliyah, Mafatih al-Ghaib, Al-Waridat al-Qalbiyyah, Nomeh hoye Sadr al-mutaallihin, dan

Ashalat j’al al-Wujud. Menurut Tabataba’I sebagaimana dikutip Nasr, Karya Mulla Shadra tidak kurang dari 46 judul ditambah enam risalah yang dianggap karya Mulla Shadra. Tetapi Fazlur Rahman menyebutnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Sebagian besar karya-karyanya tersebut telah dipublikasikan semenjak seperempat terakhir abad XIX. Hanya risalah-risalah kecil tertentu saja yang belum dipublikasikan.

Pengertian Al-Hikmah Al- Muta’aliyah

Berikut ini akan dikemukakan bagaimana pemahaman para filosof Muslim terhadap istilah Hikmah atau Falsafah yang menurut mereka berasal dari Tuhan. Dari sinilah muncul Al- Hikmah Al- Ilahiyyah. Abu Y a’cob Al- Kindi mendefinisikan falsafah sebagai pengetahuan yang realitas atau hakekat segala sesuatu sebatas yang memungkinkan bagi manusia, karena sesungguhnya tujuan filosof secara teoritis adalah untuk mencapai kebenaran dan secara praktis adalah bertingkah laku sesuai kebenaran.

Al- Farabi mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan-pengetahuan tentang segala yang ada sebagai mana adanya. Adapun menurut Ibnu Sina dalam Uyun Al –Hikmah, beliau mendefinisikan sebagai kesempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi terhadap pelbagai persoalan dan pembenaran terhadap realitas-realitas teoritis maupun praktis, sesuai dengan kemampuan manusia.

Keterpaduan antara aspek teoritis dan dimensi praktis dari filsafat juga dikumandangkan oleh kelompok Ikhwan Ash- S hafa’ kelompok pemikir muslim Syiah Islamiyah yang memiliki tendesi kearah tasawuf atau sufisme. Mereka menyatakan bahwa awal filsafat adalah kecintaan terhadap pelbagai ilmu, pertengahannya adalah pengetahuan realitas tentang segala yang ada sesuai Keterpaduan antara aspek teoritis dan dimensi praktis dari filsafat juga dikumandangkan oleh kelompok Ikhwan Ash- S hafa’ kelompok pemikir muslim Syiah Islamiyah yang memiliki tendesi kearah tasawuf atau sufisme. Mereka menyatakan bahwa awal filsafat adalah kecintaan terhadap pelbagai ilmu, pertengahannya adalah pengetahuan realitas tentang segala yang ada sesuai

Kehadiran Suhrawardi tidak saja menjadikan filsafat Islam memasuki periode baru, tetapi juga dunia baru dengan dibangunnya suatu perspektif intelektual yang baru, yang disebut sebagai Hikmah Isyraqiyah. Di dalam perspektif ini ditekankan adanya keterkaaitan yang erat antara agama dan filsafat sebagi dimensi esoterik wahyu dan praktik asketetisme agama, yang di dalam Islam dikaitkan dengan tasawuf. Suhrawardi memandang bahwa seorang filosof atau hakim (ahli hikmah) yang sesungguhnya adalah seorang yang memiliki pengetahuan teoritis dan sekaligus visi spritual.

Mulla Shadra Dalam pendahuluan al-Hikmah al- Muta’aliyah dia membahas secara panjang lebar mengenai hikmah, menurutnya hikmah tidak saja menekan segi pengetahuan teoritis, tetapi juga pelepasan diri dari hawa nafsu dan penyucian jiwa dari kotoran- kotoran yang bersifat material.

Pelbagai pandangan mengenai pemaknaan terhadap istilah falsafah atau hikmah, penemuan konsep puncaknya melalui sintesis yang dilakukan oleh Mulla Shadra yang dinamakan dengan Al- Hikamah Al- Mut’aliyah.

Ungkapan Al- Hikmah Al- Muta’aliyah terdiri dari dua istilah yaitu hikmah yang dalam perspektif ini merupakan kombinasi dari filsafat, iluminasionisme, dan sifisme. Dan al- muta’aliyah yang berarti tinggi, agung, transenden.

Penyebutan Al-Hikmah Al- Muata’aliyah sebagai aliran filsafat Mulla Shadra diperkenalkan untuk pertama kali oleh muridnya yang bernama ‘Abdul ar- Razaq Lahiji. Mulla Shadra memang tidak mengatakan secara ekplesit bahwa Al-Hikmah Al- Muta’aliyah adalah nama dari aliran filsafatnya, penyebutan istilah tersebut dalam tulisan-tulisannya. Adapun mengapa istilah ini diidentifikan sebagai ajaran Shadra oleh murid-muridnya dan oleh masyarakat umumnya kemungkinan sekali karena dua faktor.

Sebagaimana dikemukakan oleh Sayyed Hossein Nasr, kedua faktor tersebut yaitu: (1) judul buku Al-Hikmah Al- Muta’aliyah menyatakan secara tidak langsung tentang keberadaan suatu aliran dan pandangan dunia, yang didalamnya tergambar doktrin-doktrin metafisika Mulla Shadra; dan (2) adanya ajaran oral dari Mulla Shadra sendiri yang menunjukkan bahwa pengertian al-hikmah al-

muta’aliyah tidak saja menunjuk kepada judul tulisannya. Meskipun yang terakhir ini tidak didukung oleh dokumen-dokumen tertulis, namun konfirmasi dari guru-guru tradisional di Persia,

yang menerima tradisi tersebut melalui serangkaian guru yang sampai kepada Mulla Shadra sendiri, merupakan argumen yang kuat untuk menerima alasan tersebut.

Pemaknaan dan konsepsi Mulla Shadra tentang Al- Hikmah Al- Muta’aliyah tidak lain adalah filsafat itu sendiri. Menurutnya istilah hikmah dan filsafat adalah dua hal identik. Untuk mengetahui pemaknaan dan konsepsi Mulla Shadra tentang Al-Hikmah Al-

Muta’aliyah harus dilihat bagaimana dia mendefinisikan istilah hikmah atau filsafat. Dalam Muta’aliyah harus dilihat bagaimana dia mendefinisikan istilah hikmah atau filsafat. Dalam

“ Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadadan mereka, yang dibangun berdasarkan bukti- bukti yang jelas, bukan atas dasar persangkaan dan sekedar mengikuti pendapat orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa berkata (kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta sebagai tata tertib yang bisa di mengerti, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, dalam rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan ”.

Berdasarkan definisi falsafah atau hikmah di atas, bisa dilihat bagaimana Mulla Shadra berusaha mengkombinasikan dan mengharmoniskan pelbagai pandangan-pandangan terdahulu dengan pandangan sendiri, melalui kreatifitas dan kejeniusan berfikirnya.

Perspektif Mulla Shadra terhadap hikmah adalah sesuatu yang bisa dijadikan sarana yang membebaskan manusia dari keterkaitannya terhadap hal- hal yang bersifat materil dan duniawi, dan menghantarkannya kembali kepada asal usul penciptaannya, yaitu alam Ketuhanan.

Al-Hikmah Al-Muta'aliyah epistemologis di dasarkan pada tiga prinsip: intuisi intelektual (dzawq atau isyraq), pembuktiaan rasional (aql atau istidlal ), dan syari’at. Sehingga hikmah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Hikmah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah wujud penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud hanya dicapai

dengan mengikuti syari’at. Sementara itu, dari sisi ontologis, Al-Hikmah Al-Muta'aliyah didasarkan atas tiga hal: prinsip wujud, gradasi wujud, dan gerak subtansial.

Dalam mazhab Isfahan, Mulla Shadra tercatat sebagai tokoh filosof yang sangat tersohor, kepopulerannya ditandai oleh kepiawaiannya dalam menguasai ringkasan pemikiran filsafat Islam yang berkembang dalam rentang waktu 900 tahun dengan pendekatan sintesis akhir berbagai mazhab filsafat dan teologi Islam (kalam). Bertumpu pada ajaran al- Qur’an dan al-Sunnah, ucapan- ucapan para penguasa sebelumnya, termasuk filsafat peripatetik, iluminatif, k alam sunni dan syi’i serta mazhab gnosis, Mulla Shadra membuat sistesis secara menyeluruh yang selanjutnya dikenal dengan teosofi transenden (Al-hikmah Al- muta’aliyah). Mulla Shadra merasa yakin bahwa ada tiga jalan terbuka bagi manusia untuk memperoleh pe ngetahuan; wahyu, akal dan intelektual (‘Aql) dan visi batin atau pencerahan (kasyf ). Dia berusaha merumuskan sebuah ‘kebijaksanaan’ sehingga manusia mampu mengambil manfaat dari ketiga sumber tersebut.

Konsep Al- Hikmah Muta’aliyah Mulla Shadra

Pada dasarnya hikmah dalam filsafat Mulla Shadra memiliki pengertian khusus yaitu mengenal Tuhan, sifat, perbuatan dan manifestasi-Nya. Dalam kitab Mafâtih al-Ghaib tentang hikmah muta’aliyyah berkata: hakikat hikmah diperoleh dari ilmu laduni (hudhuri), jika seorang belum mencapai maqam ini maka tidak disebut hakim (seorang yang memiliki hikmah).

Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), Al-Quran dan hadis Ahlulbait, karenanya dikatakan paling tingginya hikmah. Dalam kitab Asfar dia berkata bahwa argumen akal, penyingkapan dan wahyu sejalan satu sama lain dan tidak saling bertentangan, orang yang tidak mengikuti para nabi dan rasul pada dasarnya tidak memiliki hikmah dan tidak disebut sebagai hakim atau filosof ilahi. Syariat yang benar tidak mungkin bertentangan dengan akal, karena pada prinsipnya keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu makrifat Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya.

Untuk sampai ke derajat kasyf dan syuhud maka akal harus dicahayai dengan syariat, karena hakikat-hakikat yang diperoleh lewat argumen akal jika belum menyatu dengan realitas luar maka merupakan hijab untuk mencapai hakikat-hakikat syuhudi, dengan bahasa lain kalau akal belum dicahayai oleh syariat maka segala yang dipahami akal dengan ilmu husuli tidak akan pernah mencapai ilmu hudhuri.

Menurut filosof ini fiqih untuk mengarahkan amal perbuatan manusia, jika prilaku manusia terarah maka kondisi jiwa manusia akan sempurna menerima pancaran ilmu dan makrifatnya dari Tuhan. Jadi fiqih merupakan pendahuluan bagi kesempurnaan ilmu dan makrifat manusia.

Dalam filsafat Mulla Shadra empat aliran berpikir – aliran peripatetik, iluminasi, kalam dan tasawuf – tergabung secara sempurna dan melahirkan aliran baru filsafat yang disebut Hikmah al- Muta’aliyah, aliran filsafat ini walaupun secara metodologi sama dengan empat aliran di atas tapi pemikiran yang dihasilkannya sangat jauh berbeda. Karenanya aliran filsafat ini dikatakan sebagai aliran yang berdiri sendiri dan sebuah pandangan dunia yang baru.

Aliran filsafat Shadra mampu menggabungkan antara doktrin Islam dengan pemikiran filsafat. Al-Quran dan hadis dijadikan tumpuan dan sumber ilham untuk menyelesaikan setiap persoalan dan pembahasan yang rumit dalam filsafat. Inilah salah satu kelebihan yang tidak dimiliki oleh aliran-aliran filsafat lainnya. Penggabungan dua unsur tersebut menjadikan karya-karya filsafatnya sebuah kitab tafsir agama dan begitu juga sebaliknya kitab tafsir Al-Quran dan hadis bisa dinamakan sebuah kitab filsafat.

Sumber Pemikiran Mulla Shadra

Dari tulisan-tulisannya, kita mengetahui betapa kayanya bahan yang digunakan oleh Mulla Shadra. Dia mengutip sejak filsafat pra-Socrates hingga berbagai pemikiran yang hidup pada zamannya. S.H.Nashr bahkan menunjukkan Mulla Shadra sebagai sumber sejarah filsafat Islam. Hanya untuk menyingkat pembicaraan, disini kita menyebutkan empat sumber utama dari ajaran

Mulla Shadra. Pertama, filsafat peripatetik Islami, khususnya dari Ibn Sina dan melalui dialah filsafat Aristoteles dan Neo Platonis sebagian besar ajarannya telah menjadi bagian dari filsafat peripatetik Islam. Kedua, teosofi Isyraqi dari Suhrawardi dan para pensyarahnya seperti Quthb Al- Din Syirazi dan Jalal Al- Din Dawani. Ketiga, ajaran tasawuf dari Ibn ‘Arabi dan pembahas ajarannya, seperti Shadr Al-Din Qun-yawi serta karya- karya tokoh sufi lainnya, seperti ‘Ayn Al- Qudhat Hamadani dan Mahmud Syabistari. Keempat, Syariat islam, termasuk sabda Rasulullah dan Imam- Imam Syi’ah, terutama sekali Nahj Al-Balghah yang semuanya merupakan dasar hikmah Islamiyah.

Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra dibangun di atas pondasi Ibn Sina, dibentuk dengan sistem Suhrawardi dan dikaji berdasarkan isu-isu penting yang disampaikan oleh Ibnu Arabi. Filsafat Mulla Shadra bukan sekedar penyatuan dari aliran-aliran utama, bukan kompromi atau rekonsiliasi permukaan, tapi merupakan sintesa sejati yang didasarkan atas sebuah prinsip filsafat penting yang baru pertama kali diuraikan dalam sejarah filsafat Islam.

Shadra tidak hanya terpengaruh oleh kalam Syiah saja, mela inkan Mu’tazilah, Asy’ariyah juga mewarnai pemikirannya. Para pengarang Asy’ariyah klasik, seperti al-Ghozali dan al-Razi memiliki peran yang sangat penting dalam membangun sistem al-hikmah al- muta'aliyah. Mu’tazilah juga memiliki peran, namun peran Asy’ariyah lebih dominan dibanding dengan Mu’tazilah.

Filsafat Wujud Mulla Shadra

1. Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)

Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari “penampakan” (apperiance) belaka.

Para filosof Muslim sebelum Shadra telah membahas persoalan ini. Menurut Ibnu Sina, eksistensi mendahului esensi. Eksistensi bersifat primer dan merupakan satu-satunya hakikat atau realitas yang dimiliki Tuhan, sedangkan esensi dan sifat-sifatnya bersifat sekunder. Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi ini, keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan dengan itu, menurut Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi. Eksistensi adalah realitas yang sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan. Sedangkan esensi tidak lain adalah bentuk- bentuk dalam pengetahuannya.

Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi lebih fundamental dari eksistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha cahaya, Tuhan. Cahaya itu Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi lebih fundamental dari eksistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha cahaya, Tuhan. Cahaya itu

Mulla Shadra pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas, tetapi kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil pandangan Ibnu ‘Arabi tentang prioritas eksistensi terhadap esensi, namun menolak Ibnu ‘Arabi tetang wahdat al-wujud, ketunggalan wujud. Bagi Shadra benda-benda disekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampu menangkap esensi atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi dengan eksistensi. Bagi Shadra, eksistensi adalah realitas objektif di luar pikiran, sedang esensi adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran. Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai cerminan hakikat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan.

Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya terhadap wujud, Shadra telah mempersatukan secara sempurna kedua aspek kehidupan spiritual yaitu pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung. Bagi mereka yang sudah terpadu dalam dirinya antara pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung, seperti halnya Shadra, bisa merasakan bahwa sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan yang bersifat spiritual pada dasarnya adalah juga kenikmatan dan kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman mistis adalah kebenaran yang bersifat intelektual, dan pengalaman mistis sebenarnya adalah pengalaman yang bersifat kognitif. Pengalaman yang bersifat intuitif sama sekali tidak bertentangan dengan penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk penalaran yang lebih tinggi, lebih positif dan konstruktif, dibandingkan dengan penalaran formal.

Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan atau dialami secara sekaligus jika seseorang mampu memberikan pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional terhadap pengalaman-pengalaman spiritual dan mistisnya. Semakin luas argumen-argumen rasional yang diberikan, maka kualitas spiritualpun akan semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai pengalaman spiritual, sesungguhnya akan menjadi semakin tinggi kualitasnya jika intelek mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua itu hanya bisa dialami melalui keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu ketika pikiran telah terintegrasi ke dalam keseluruhan diri manusia, yang terpusat pada kalbu.

Pandangan Shadra diatas, bahwa eksistensi sendiri yang menciptakan esensi, membedakan Shadra denga peripatetik muslim yang menyatakan bahwa benda-benda konkrit tersusun atas esensi dan eksistensi yang masing-masing mempunyai realitas yang terpisah. Pandangan tersebut Pandangan Shadra diatas, bahwa eksistensi sendiri yang menciptakan esensi, membedakan Shadra denga peripatetik muslim yang menyatakan bahwa benda-benda konkrit tersusun atas esensi dan eksistensi yang masing-masing mempunyai realitas yang terpisah. Pandangan tersebut

Beberapa argumen filosofis Mulla Shadra adalah;

a) Entitas sebagai entitas bukanlah sesuatu selain dirinya- berada dalam keseteraan antara eksist dan non eksist. Ketika entitas keluar pada tingkat eksist bukan dengan perantaraan eksistensi pastilah terjadi perubahan subtansial pada hakikat entitas dan hal tersebut tidak mungkin, karenanya satu- satunya hakikat yang mengeluarkan entitas pada tingkat eksist adalah eksistensi.

b) Esensi sumber perbedaan, setiap esensi berbeda dari esensi yang lain. Dalam hal ini masing- masing tidak memiliki kesatuan yang sama. Jika tidak ada realitas yang menyatukan yang berbeda tersebut dan menggabungkannya, maka tidak ada proposisi yang dipredikatkan suatu esensi kepada esensi yang lain. Karena itu diperlukan satu realitas dasar untuk menggabungkan berbagi esensi tersebut. Realitas tersebut adalah eksistensi.

c) Entitas eksist dengan eksistensi eksternal sehingga memiliki implikasi efek (api membakar, air membasahi) dan pada yang saat yang sama eksist juga pada eksistensi mental (zihni) dan tidak memiliki inplikasi efek sebagaimana entitas eksternal. Jika yang riil dan hakiki adalah entitas, pastilah efek yang ditimbulkan sama pada dua keadaan tersebut dan tidak terjadi perbedaan. Fakta menunjukkan sebaliknya sehingga hal tersebut jelas keliru dan karenanya eksistensilah yang rill dan hakiki.

d) Entitas netral dalam keadaannya baik antara ententitas maupun kelemahan, prioritas dan posterioritas. Tetapi pada realitas eksternal kita melihat ada intens (seperti sebab) dan ada yang lemah (seperti akibat). Jika bukan eksistensi yang real dan hakiki maka perbedaan atribut tersebut kembali kepada entitas padahal entitas bersifat netral. Jelas ekstensilah yang bersifat real dan hakiki.

e) Sebagai jawaban dari Suhrawardi, Mulla Shadra mengemukakan argumen sbb; betul bahwa eksistensi eksist akan tetapi eksistnya eksistensi dengan zatnya sendiri sehingga tidak menyebabkan tasalsul (rangkaian tiada akhir).

Dengan argumentasi-argumentasi ini Mulla Shadra menampilkan pandangan dasarnya tentang aslat al-wujud wa i’tibariyat al- mahiyat dan itu berarti juga sebagi argumen rasional bagi kaum sufi yang meyakini bahwa yang real eksist adalah eksistensi namun selama ini keyakinan tersebut hanyalah berdasarkan syuhud dan mukasyafat.

2. Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)

Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra tidak menyimpulkan sebagai wahdat al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Shadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub Tiada Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadra yang disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan mistik.

Dalam perspektif Al-Hikmah Al-Muta'aliyah, wujud merupakan suatu realitas tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi. Gagasan ini berlawanan dengan filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud di alam secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak memiliki unsur kesamaan. Yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud yang individual (wahdah al-syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara mutlak ide kejamakan wujud.

Pandangan gradasi wujud di atas diambil dari pendapat Suhrawardi tentang gradasi cahaya, tetapi Shadra mengubah prinsip tersebut secara mendasar. Pertama, prinsip gradasi tidak diterapkan pada esensi seperti pada Suhrawardi tetapi pada eksistensi, sebab bagi Shadra, eksistensilah realitas asli satu-satunya. Kedua, bahwa eksistensi tidak hanya sekedar bersifat gradasi belaka tetapi gradasi yang sistematis, sebab kenyataanya wujud tidak statis melainkan bergerak terus-menerus. Gerakan ini berawal dari bentuk-bentuk eksistensi yang umum, lebih tidak menentu dan tingkatan-tingkatan yang lebih menyebar kepada bentuk-bentuk eksistensi yang lebih khusus, lebih menentu dan lebih menyatu. Setiap model eksistensi yang terdahulu bertindak sebagai genus atau materi kemudian tertelan kedalam kekonkritan bentuk sesudahnya yang bertindak sebagai diferensia atau bentuk. Daya dorong, gerak universal ini adalah ‘isyq (cinta kosmis) yang mendorong segala sesuatu bergerak ke arah yang lebih konkrit. Karena itu, gerak dari yang kurang sempurna ke arah yang lebih sempurna ini tidak bisa dibalik, karena eksistensi memang tidak pernah bergerak ke belakang.

Dalam ungkapan lain, gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua unsur, yakni kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi wujud.

Bagi Mulla Shadra eksistensi adalah realitas tunggal, tetapi memiliki gradasi yang berbeda, dengan mengutip entitas- cahaya-cahaya dari Suhrawardi, Mulla Shadra menggambarkan bahawa Bagi Mulla Shadra eksistensi adalah realitas tunggal, tetapi memiliki gradasi yang berbeda, dengan mengutip entitas- cahaya-cahaya dari Suhrawardi, Mulla Shadra menggambarkan bahawa

“ seharusnya diketahui bahwa diantara eksistensi tidaklah terjadi perbedaan pada subtansinya kecuali sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya (perbedaan tersebut terjadi pada) prior dan tidak posterior, dahulu dan kemudian, tampak dan tersembunyi, karena sudah seharusnya pada setiap level memiliki atribut yang khusus yang disebut para filosof dengan entitas dan a’yan atsabitah (entitas-entitas tetap) bagi ahli mukasyafah, kauf sufi atau gnostik. Lihatlah pada level cahaya matahari yang merupakan gambaran Tuhan bagi alam materi, bagaimana dia memancarkan dan menampilkan warna-warna pada cermin dan pada saat yang sama cahaya-cahaya tersebut adalah cahaya dirinya. Tidaklah terjadi perbedaan diantaranya kecuali pada prior dan tidak posterior. Bagi siapa yang terpaku hanya pada cermin dan warna-warna yang ditampailkannya dan terhijab dengannya dari cahaya hakiki dari level-level hakiki yang terpancar turun maka tersembunyilah baginya cahayaNYa. Sebagaimana pandangan yang menyatakan bahwa entitas adalah persoalan hakiki yang merealisasi eksistensi, sedangkan eksistensi hanya merupakan persoalan abtraksi mental; dan bagi siapa yang menyaksikan beragam warna cahaya dan menyadari bahwa hal tersebut dimunculkan oleh cermin semata dan warna-warna tersebut pada subtansinya adalah cahaya, maka tampaklah baginya cahaya yang sesungguhnya dan jelaslah baginya bahwa level-levelnyalah yang menampakkan dalam bentuk entitas- entitas atas dasar kualitas yang dimilikinya, sebagaimana mereka yang memiliki pandangan bahwa tingkatan eksistensi yang merupkan pancaran dari cahaya hakiki yang muthlak dan penampakannya berasal dari eksistensi Tuhan dan memancar pada bentuk entitas-entitas dan terwarnai dengan warna entitas-entitas serta terliputi dalam bentuk makhluk dari

diri Tuhan”. Tasykik al- wujud yang dikemukakan oleh Mulla Shadra, meskipun berbeda namun telah

memberikan penopang bagi konsep wahdah al- wujud yang di kemukakan oleh Ibn Arabi, karena pada prinsipnya bahwa eksistensi adalah satu.

3. Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah ) Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah sumbangan orsinil Mulla Shadra terhadap filsafat Islam. Ajaran ini merupakan uraian lebih lanjut dari pandangan Shadra bahwa gradasi wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi tingkat rendah menuju eksistensi tingkat tinggi. Shadra memperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip Aristotalion tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa substansi alam semesta senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat kekonstanan sesaat dan keseragaman bentuk dalam substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu sembilan kategori yang lain), sebagai fungsi dan substansi, juga berada dalam gerak. Menurut Shadra, alam sama dengan gerak, dan gerak sama dengan penciptaan dan pemusnahan yang tidak henti-henti dan berjalan terus menerus.

Kontribusi Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al- Jawhariyah) melengkapi para filosof sebelumnya, dimana mereka berpendapat bahwa gerakan hanya terjadi pada empat Kontribusi Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al- Jawhariyah) melengkapi para filosof sebelumnya, dimana mereka berpendapat bahwa gerakan hanya terjadi pada empat

Jawhar (substansi) dalam pandangan ini bersifat tetap karena hanya terjadi perubahan dan gerakan pada empat kategori tersebut, keberadaan utama jika terjadi perubahan pada subtansi adalah ketidakmungkinan melakukan penempatan terhadap sesuatu. Menurut Shadra tidak mungkin gerakan hanya terjadi pada aksidensi (‘ardh) karena aksidensi selalu bergantung pada substansi, sehingga jika terjadi gerakan pada aksiden hal tersebut jelas menunjukkan gerakan yang terjadi pada subtansi.

Shadra berpendapat bahwa disamping perubahan pada empat kategori aksiden, gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa dalam dunia eksternal perubahan benda material dan keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda, kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena eksistensi aksiden bergantung pada eksistensi substansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan perubahan pada substansi juga. Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari penggerak pertama yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non-material dan berkembang menjadi sesuatu non-material. Dalam hubungna inilah Shadra mempertahankan sifat huduts dari dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat; sebagai suatu ukuran kuantitas gerak. Sebab mendasar yang menjadikan aksiden dalam bergerak adalah nilai hudutsnya wujud dan waktu yang menjadikannya sebagai tempat kebaruannya.

Manusia menurut Mulla Shadra awalnya berasal dari materi pertama (madat al- ‘ula) yang bergabung dengan bentuk (surat), melalui gerakan subtansial unsur-unsur tersebut mengalami perkembangan dan perubahan, materinya berkembang menjadi gumpulan darah, kemudian janin, bayi, anak- anak, remaja, dewasa, tua, dan hancur. Sedangkan bentuknya berkembang menjadi nafs al- mutaharik, kemudian nafs al- hyawanat, dan nafs al- insaniyat. Gerakan subtansial yang terjadi pada jiwa menuju kesempurnaan.

Dengan teori Al-Harakat Al- Jawhariah ini, Shadra menunjukkan bahwa alam semesta seluruhnya berada dalam atribut aslinya yaitu baharu, dan sesuatu yang baharu akan berubah, karena dalam argumentasi tentang gerakan maka Mulla Shadra membuktikan bahwa gerakan berasal dari zat yang konstan dan itulah wajib al wujud.

Analisa Bangunan Filsafat Mulla Shadra

Kerangka umum bangunan pemikiran filsafat Shadra dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, kejelasan aksiomatis konsep wujud (badahah mafhum al-wujud), konsep wujud

atau ada itu jelas dan sederhana. Hanya saja, apakah konsep itu juga jelas dan sederhana pada semua maujud. Kedua, ekuivalensi konsep wujud pada semua maujud. Konsep wujud itu ekuivalen (al- ta’adul wa al-tasawa) pada semua maujud. Misalnya, wujud pohon dan wujud manusia itu sama. Hanya saja, keduanya secara eksternal berbeda secara distingtif. Maka yang menjadi titik pembeda adalah bukan wujudnya, melainkan esensi (mahiyah) nya. Ketiga, wujud bukanlah kuiditas (mahiyyah). Sekiranya wujud itu memang sederhana, lantas mengapa kita jumpai adanya multiplisitas eksistensial (al-wujud al- ta’addudy) di alam ini, jawabannya adalah bahwa multiplisitas dan pluralitas itu berasal dari gradasi eksistensial. Keempat, gradasi wujud (al- thabaqat al-wujudiyah al-ashalat al-wujud), kelima, spektrum wujud (al-wujud al-musyahad). Ini merupakan eksplanasi tentang ihwal penetrasi unitas dalam pluralitas wujud. keenam, penetrasi unitas dalam pluralitas, karena kesatuan itu sangat mungkin menjadi banyak, maka wujud yang satu pun bisa menjadi banyak juga (kesemua realitas wujud identik dengan penampakan wajah wujud dari realitas mutlak).

Dengan demikian dapat ditangkap bahwa konsep wujud itu jelas, sederhana, dan tunggal pada semua maujud. Dan segala sesuatu yang secara abstraksi mental satu, pasti secara ekstensi eksternal pun satu, dan tidak sebaliknya. Sebab abstraksi mental adalah pecahan ontologi dari individual eksternal. Misalnya dapat kita gambarkan dalam analogi berikut ; satu telur pasti berasal dari satu ayam, akan tetapi kebalikannya tidaklah demikian. Boleh jadi satu ayam punya banyak telur, dan banyak telur berasal dari satu atau banyak ayam. Karenanya wujud itupun satu dan tidak banyak serta kemaujudan, itu satu juga adanya.

Demikian gambaran sekilas tentang pemikiran filsafat Mulla Shadra dan terutama dalam al- Asfar al- Arba‘ah al-hikmah al-muta’aliyah. Mulla Shadra, yang menyebut sistem filsafatnya sebagai kearifan puncak, menyebut filsafat konvensional, baik illuminasi maupun peripatetik, sebagai filsafat umum atau filsafat konvensional.

Pengaruh Pemikiran Mulla Shadra terhadap Filosof Sesudahnya

Dalam sejarahnya, Iran dikenal sebagai wilayah tempat lahirnya filosof, sufi, saintis dan penyair terkenal. Iran dapat dipandang sebagai tempat yang merepresentasikan kontinuitas

perkembangan pemikiran keagamaan, khususnya filsafat selama fase akhir sejarah Islam. Seperti yang ditulis Nasr, filsafat Islam memiliki kehidupan yang lebih panjang di bagian

Timur ketimbang di bagian Barat dunia Islam. Iran tidak hanya memiliki tanah yang filsafatnya tetap bertahan hidup sampai sekarang, tetapi ia juga secara definitif menjadi arena utama aktivitas Timur ketimbang di bagian Barat dunia Islam. Iran tidak hanya memiliki tanah yang filsafatnya tetap bertahan hidup sampai sekarang, tetapi ia juga secara definitif menjadi arena utama aktivitas

Pada tahun 1499 M, berdirilah kerajaan Safawi yang bertahan sampai sekitar dua ratus tahun. Pada periode Safawi inilah berkembang berbagai aliran pemikiran dalam matrik Syi'isme. Salah satu pemikiran yang berkembang pesat adalah bidang filsafat. Filsafat tetap diajarkan dan merupakan tradisi yang hidup sepanjang zaman di sekolah-sekolah Syiah yang didirikan dinasti Safawi.

Menurut Roy Mottehedeh, melalui sekolah Syiah itulah, para tokoh filsafat Iran terkenal bermunculan. Bahkan, Iran menjadi pusat utama ilmu-ilmu intelektual, khususnya filsafat bagi dunia Islam yang didatangi oleh orang Islam dari seluruh penjuru dunia. Perkembangan pemikiran pada zaman dinasti Safawi mempunyai karakteristik khas sebagai madzhab Isfahan. Madzhab ini menampung perkembangan pemikiran madzhab Masya'i, Isyraqi, Irfani dan Kalam.

Madzhab Masya'i (peripatetik) yang didirikan oleh Ibnu Sina sangat berpengaruh di Iran. Karya-karya Ibn Sina mendapat kritikan dan serangan tajam dari kaum sufi dan teolog. Aliran ini akhirnya mati di dunia Islam. Baru pada abad ke enam, Nashir al-Din al-Thusi menghidupkan kembali mazhab peripatetik Ibn Sina. Sementara itu, dari abad delapan dan seterusnya, Syiraz dan sekitarnya menjadi markas filsafat.

Mazhab Isyraqi didirikan oleh Syihab al-Din Suhrawardi. Walaupun hanya hidup selama 38 tahun, dia telah menegakkan perspektif intelektual baru dan berpengaruh pada dunia Islam Iran. Suhrawardi menciptakan teosofi berdasarkan iluminasi dan intuisi mistik. Mazhab yang didirikannya segera memperoleh pengikut dan penafsir yang pintar.

Mazhab Irfan dan Kalam pada abad ke tujuh juga mencapai masa keemasan. Mazhab ini telah berkembang dalam dunia Syiah sebelum Thabathabai. Demikian pula pemikiran kalam. Pada zaman inilah keempat pemikiran tersebut di atas merasuki pemikiran Syiah, satu fenomena penting yang meratakan jalan bagi kebangkitan Safawi dengan warna khas Syiah.

Dokumen yang terkait

Nagari Sebagai Pranata Penyelesaian Konflik : Suatu Kajian Tentang Kerapatan Adat Nagari (Kan) di Nagari Ketaping, Pariaman, Sumatra Barat

0 0 24

PERAN DAN KAPABILITAS TNI DALAM PENGAWASAN LINTAS BATAS : STUDI KASUS KAPABILITAS KOMPI TEMPUR I YONIF 631/ANTANG DI PULAU SEBATIK TAHUN 2010-2011

0 0 30

BRANT ARDELL Terima kasih telah mendownload di : www.brantar.blogspot.com Dilarang Copy Paste tanpa menyertakan sumber blog diatas

0 0 51

PERAIRAN BERMASALAH : TANTANGAN MARITIM DI ASIA PASIFIK

0 1 14

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TUGAS PERBANTUAN TNI KEPADA POLRI DI WILAYAH DKI JAKARTA DALAM ERA OTONOMI DAERAH : STUDI KASUS TUGAS PERBANTUAN OLEH KODAM JAYA

0 0 32

Keyword : Concepts, Methods and Modern Da'wah

0 2 16

AGENDA MARITIME MAINSTREAMING MENYONGSONG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015 : AGENDA TEKNOLOGI RENDAH-ENERGI MAINSTREAMING MARITIME AGENDA TOWARDS THE 2015 ASEAN ECONOMIC COMMUNITY : LOW-ENERGY TECHNOLOGY AGENDA

0 0 8

EKONOMI POLITIK MEDIA DI INDONESIA HALIDA BAHRI MASRIADI Halida Bahri, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Malikussaleh, (Email : alied.bahrigmail.com) Masriadi, Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Malikussaleh (Unimal) Ac

0 0 14

Kata kunci : Waria, Resiliensi, dan Masyarakat Abstract - View of Waria dan Resiliensi Terhadap Penolakan Masyarakat

0 1 15

KONTEKSTUALISASI ‘SISHANNEG’: PEMBERDAYAAN WILAYAH PERTAHANAN DALAM PERSPEKTIF PERUBAHAN THE CONTEXTUALIZATION OF 'SISHANNEG' : THE EMPOWERMENT OF REGIONAL DEFENSE IN A CHANGEOVER PERSPECTIVE

0 2 14