Pembelajaran Sejarah untuk Penanaman Nil

1

Pembelajaran Sejarah untuk Penanaman Nilai-nilai Kebangsaan
Oleh: Hieronymus Purwanta
ABSTRAK
Dewasa ini Indonesia dilanda oleh arus egoisme, sektarianisme dan kosmopolitanisme.
Akibatnya penanaman nasionalisme melalui pendidikan menjadi kurang mampu
dilakukan dengan optimal. Salah satu mata pelajaran yang secara eksplisit bertugas
menanamkan nasionalisme, yaitu sejarah, juga kurang mampu menunaikan tugas dengan
optimal. Permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini adalah mengapa pelajaran sejarah
tidak mampu bekerja optimal? Dari penelusuran terhadap buku teks pelajaran sejarah
untuk kurikulum 2013 dan berbagai penelitian yang telah dilakukan, dua permasalahan
utama yang menjadi kendala pelajaran sejarah di SMA adalah materi dan proses
pembelajarannya. Materi pelajaran sejarah lebih menonjolkan keunggulan bangsa asing
dan pengaruhnya terhadap masyarakat Indonesia. Akar permasalahannya adalah
terdapatnya unsur neo-kolonialisme dan kepentingan kelompok penguasa yang
mempengaruhi konstruksi materi pelajaran sejarah. Di pihak lain, proses pembelajaran
sejarah terkendala oleh kapabilitas guru dan metode yang diterapkan.
A. Pendahuluan
Ketika orang memperbincangkan nasionalisme, permasalahan pertama yang muncul adalah
apakah topik itu tetap relevan di era egoisme, sektarianisme dan globalisme ini? Di tingkat nasional,

hampir setiap hari kita disuguhi oleh berita betapa dewasa ini berbagai lapisan masyarakat
mengutamakan kepentingan pribadi dan bersedia mengorbankan kepentingan saudara, tetangga
bahkan bangsanya. Nilai-nilai persaudaraan dan gotong royong yang pernah dihidupi oleh masyarakat
masa lalu, sekarang ini tinggal kenangan dan digantikan oleh nilai-nilai persaingan yang menonjolkan
menang – kalah. Sejak kecil anak dididik di sekolah dengan sistem ranking. Mereka dibiasakan untuk
belajar keras dengan motivasi demi mengalahkan teman-teman sekelasnya dan menjadi juara. Nilainilai inti seperti ketertarikan (curiousity), mempertanyakan (questioning) dan mesu budi (asketisme
intelektual) yang seharusnya menjadi roh bagi anak dalam petualangan akademik mereka justru
terlupakan untuk ditanamkan dan dibiasakan dalam diri para siswa.
Dengan menghidupi nilai persaingan, ketika tumbuh menjadi dewasa, anak akan terbiasa dan
bahkan semakin canggih dalam merancang dan menjalankan trik-trik mengalahkan teman, saudara
dan tetangganya untuk meraih berbagai keinginan. Issue atau berita hoax, ujaran kebencian atau hate
speechs, penyebarluasan kesalahan/aib orang lain yang sudah begitu akut melanda dunia media sosial

Indonesia, merupakan manifestasi dari keinginan untuk memenangkan persaingan antara satu
orang/kelompok dengan orang/kelompok lainnya. Terlepas dari langkah kepolisian yang
menempatkan hal-hal itu sebagai tindak kriminal, semakin intensifnya persaingan dan semakin


Dipresentasikan pada Seminar on Building Education Based on Nationalism Values yang
diselenggarakan oleh Faculty of Teacher Training and Education, Lambung Mangkurat University tanggal 8

November 2016.

H. Purwanta saat ini adalah staf akademik di Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta. Alamat email: purwantah@gmail.com.

2
canggihnya teknik untuk mengalahkan pesaing tanpa sadar akan menghilangkan rasa kepedulian
terhadap penderitaan orang lain (compassion) yang menjadi dasar bagi tumbuhnya nasionalisme.
Selain kesuksesan dunia pendidikan dalam menanamkan nilai persaingan, permasalahan yang
tidak kalah menarik dewasa ini adalah semakin berkembangnya sektarianisme, terutama berbasis
sekte agama. Pada Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (LKBB) yang disusun oleh the
Wahid Institute dijelaskan bahwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang tahun
2014 berjumlah 158 peristiwa dengan 187 tindakan. Dari jumlah tersebut, 80 peristiwa melibatkan 98
aktor negara; sementara 78 peristiwa melibatkan 89 aktor non-negara.1 Bentuk-bentuk pelanggaran
yang dilakukan oleh aktor negara antara lain membatasi/melarang/menyegel rumah ibadah,
kriminilasisi atas dasar agama, diskriminasi atas dasar agama, melarang/ menghentikan kegiatan
keagamaan, pembiaran pelanggaran, melarang aliran yang diduga sesat, pemaksaan keyakinan,
melakukan ancaman dan intimidasi terhadap kelompok agama tertentu. Pelanggaran yang dilakukan
oleh aktor negara digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut2:


Di pihak lain, pelanggaran yang dilakukan oleh aktor non negara digambarkan dalam bentuk grafik
sebagai berikut3:

1

The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (LKBB). (Jakarta: The
Wahid Institute, 2014), p. 21
2
Ibid., p. 22.
3
Ibid., p. 24.

3

Berkembangnya sektarianisme berbasis sekte agama sangat erat kaitannya dengan dunia
pendidikan. Dalam kajian Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) ditemukan bahwa
kurikulum pendidikan agama mengandung muatan dogma yang terlalu besar. Di pihak lain muatan
untuk refleksi dan semangat menghargai perbedaan serta kegiatan yang memfasilitasi terjadinya
interaksi antar siswa berbeda agama terlalu minim atau sangat terbatas.4
Kekuatan ketiga yang membanjiri Indonesia adalah kosmopolitanisme yang diwacanakan

oleh para pendukung globalisasi melalui berbagai institusi multi nasional. Mereka mendiskreditkan
berbagai karakteristik yang bersifat lokal dan nasional dan mempromosikan berbagai hal yang bersifat
global, seperti perdagangan bebas dunia, bahasa internasional, dan standar serta sertifikasi
internasional. Wacana itu mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia untuk mengidealkan
kebudayaan asing (xenocentric). Paling tidak ada dua kebudayaan yang akhir-akhir ini ditempatkan
sebagai tipe ideal, yaitu Arab dan Barat. Gagasan untuk membangun kekhalifahan, bercelana di atas
tumit bagi laki-laki dan berjilbab bagi wanita semakin populer pada era reformasi ini sebagai
manifestasi idealisasi kebudayaan Arab. Di pihak lain, demokrasi, mengenakan jas pada acara resmi
dan celana jeans menjadi ciri khas pengikut kebudayaan Barat.
Xenocentrisme merupakan penanda semakin renggangnya ikatan batiniah antara masyarakat
dengan tanah air, bangsa dan negaranya. Jakarta post melaporkan bahwa bagi generasi muda,
Indonesia dipahami sekedar aspek geografis, yaitu tempat lahir dan tumbuh.5 Mereka merasa tidak
memiliki ikatan historis dengan para pendiri bangsa, apalagi terpanggil untuk ikut terlibat dalam
mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

4

Suhadi, Mohamad Yusuf, Marthen Tahun, Budi Asyhari, dan Sudarto, Politik Pendidikan
Agama: Kurikulum 2013, dan Ruang Publik Sekolah. (Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas
Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas

Gadjah Mada, 2014), pp. 33-39.
55
Jakarta Post, 16 Agustus 2002.

4
B. Sejarah sebagai pengembang atau penghancur nilai kebangsaan?
Dari berbagai permasalahan kontemporer yang dihadapi masyarakat Indonesia, masihkah kita
berani memimpikan berkembangnya pendidikan berbasis nilai-nilai kebangsaan? Pelajaran Sejarah
yang secara eksplisit mencantumkan tujuan untuk “Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik
sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air, melahirkan
empati dan perilaku toleran yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat dan bangsa ” saja kurang berhasil, untuk tidak mengatakan gagal, menanamkan nilai-nilai

kebangsaan, apalagi pelajaran lain yang tanggungjawabnya hanya implisit. Paling tidak ada dua
masalah yang menghalangi mata pelajaran sejarah dewasa ini dalam menunaikan tugasnya untuk
menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai kebangsaan dalam diri siswa, yaitu materi pelajaran dan
metode pembelajaran. Untuk memudahkan peninjauan terhadap kedua masalah tersebut, kajian akan
difokuskan pada pelajaran sejarah SMA.
1. Materi pelajaran
Pada kurikulum terbaru, 2013, skope temporal materi mata pelajaran sejarah mencakup

periode yang sangat panjang, yaitu dari zaman pra aksara sampai era kontemporer (pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudoyono). Dari sudut pandang skope spasial, materi mencakup dimensi
politik, sosial, kebudayaan dan ekonomi. Materi itu dicetak dalam bentuk buku paket yang terdiri dari
lima jilid, dengan rincian 2 jilid untuk kelas 10, 2 jilid untuk kelas 11 dan 1 jilid untuk kelas 12.
Materi untuk Kelas 10 Semester 1 secara kronologis mencakup dari terbentuknya kepulauan
Indonesia sampai dengan Kerajaan Kota Kapur. Secara garis besar, uraian dapat dikelompokkan
menjadi dua periode besar, yaitu pra aksara dan masa klasik. Permasalahan yang paling menonjol
adalah bahwa materi tidak menjelaskan kehidupan masyarakat Indonesia pada masing-masing
periode. Sebagai contoh, untuk periode pra aksara, tidak diuraikan dengan mendalam sistem
kehidupan masa itu, seperti sistem pengetahuan, teknologi, sosial dan sebagainya. Buku teks pelajaran
sejarah justru sibuk menguraikan tentang para ilmuwan Barat dan temuan mereka terkait sejarah
Indonesia periode pra aksara.6 Bahkan pada bagian akhir pembahasan, penulis buku teks
mengemukakan tentang perdebatan istilah pithecanthropus erectus atau homo erectus, yang bagi siswa
SMA justru menimbulkan kebingungan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa sumbangsih uraian tentang jasa dan kinerja
para arkheolog dan paleoanthropolog dalam menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai
kebangsaan? Apabila kerja akademik yang hendak ditonjolkan, tentu arkheolog dan palaentolog yang
dimunculkan adalah orang Indonesia, sehingga terjadi ikatan batiniah dengan para siswa. Akan tetapi,
pada buku teks pelajaran sejarah itu, tokoh dan jasa arkheolog yang dibahas sebagian besar adalah
bukan orang Indonesia alias orang asing. Bahkan foto ilmuwan yang ditampilkan pun dipilih

6

Amurwani Dwi L., Restu Gunawan, Sardiman AM, Mestika Zed, Wahdini Purba, Wasino, dan
Agus Mulyana, Sejarah Indonesia Untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas X Semester 1 . (Jakarta :
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014), p. 20

5
arkheolog asing, yaitu Koeningswald, Dubois dan Darwin. Pertanyaan nakal yang muncul adalah
apakah penulis bermaksud menyampaikan pesan bahwa para ilmuwan asing itu memiliki peran besar
terhadap sejarah Indonesia masa pra aksara? Apakah kehebatan dan jasa besar ilmuwan asing itu lah
yang harus dipelajari, dikagumi dan ditiru para siswa? Dari sudut pandang ini, Indonesia oleh penulis
ditempatkan sekedar sebagai tempat (geografis) terjadinya petualangan arkheologis tokoh-tokoh
asing.
Pada pokok bahasan selanjutnya (bab 2), materi pelajaran sejarah lebih mengerikan lagi,
karena Indonesia tidak hanya ditempatkan sebagai lokasi berkiprahnya bangsa asing, tetapi
diposisikan sebagai objek penerima pengaruh bangsa India. Agar lebih jelas, dikutipkan materi itu
sebagai berikut:
Terdapat berbagai pendapat mengenai proses masuknya Hindu-Buddha atau sering
disebut Hindunisasi. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat mengenai cara dan jalur
proses masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Kepulauan Indonesia.

Beberapa pendapat (teori) tersebut dijelaskan pada uraian berikut:
Pertama, sering disebut dengan teori Ksatria. Dalam kaitan ini R.C. Majundar
berpendapat, bahwa munculnya kerajaan atau pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia
disebabkan oleh peranan kaum ksatria atau para prajurit India. Para prajurit diduga
melarikan diri dari India dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dan Asia
Tenggara pada umumnya…
Kedua, teori Waisya. Teori ini terkait dengan pendapat N.J. Krom yang mengatakan
bahwa kelompok yang berperan dalam dalam penyebaran Hindu-Buddha di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia adalah kaum pedagang. Pada mulanya para pedagang India berlayar
untuk berdagang. Pada saat itu jalur perdagangan ditempuh melalui lautan yang
menyebabkan mereka tergantung pada musim angin dan kondisi alam. Bila musim angin
tidak memungkinkan maka mereka akan menetap lebih lama untuk menunggu musim baik.
Ketiga, teori Brahmana. Teori tersebut sesuai dengan pendapat J.C. van Leur bahwa
Hindunisasi di Kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum Brahmana. Pendapat
van Leur didasarkan atas temuan-temuan prasasti yang menggunakan bahasa Sansekerta dan
huruf Pallawa. Bahasa dan huruf tersebut hanya dikuasai oleh kaum Brahmana. Selain itu
adanya kepentingan dari para penguasa untuk mengundang para Brahmana India. Mereka
diundang ke Asia Tenggara untuk keperluan upacara keagamaan.7
Tidak seorangpun mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu, tetapi dengan
menuliskan penjelasan seperti itu justru merendahkan harkat dan martabat masyarakat Indonesia.

Alih-alih menanamkan nilai-nilai kebangsaan, uraian itu akan menjadikan siswa rendah diri dan
mengkodratkan mereka sebagai pengikut kebudayaan asing.
Pada bab III (Kelas 10 Semester 2) dibahas tentang Islamisasi di Indonesia dan silang budaya
di Nusantara yang mencakup a. kedatangan Islam di Nusantara; b. Islam dan jaringan perdagangan
antar pulau; c. Islam masuk istana raja; d. jaringan keilmuwan di Nusantara; akulturasi dan
perkembangan budaya Islam; dan e. proses integrasi Nusantara. Seperti juga saat menjelaskan periode
sebelumnya, uraian bab III juga didominasi oleh penjelasan historis yang menempatkan masyarakat
Indonesia sebagai objek. Permasalahan lain yang tidak kalah menarik adalah penyembunyian
fenomena historis, yaitu diaspora etnik Hadrami. Dengan tidak disebutnya etnik Hadrami itu, generasi
7

Ibid., pp. 78-80.

6
muda akan sama sekali tidak memahami genetika historis dari para habib, syeckh dan tokoh-tokoh
etnik Hadrami yang terkenal dewasa ini, seperti Ali Alatas, Fuad Bawazier, Najwa Shihab dan
Ibrahim Sjarief Assegaf suaminya maupun Habib Riziek dan Abu Bakar Baasyir.
Hadramis have been present in the Indian Ocean, both on the western littoral, in the Red
Sea region and eastern Africa, and further east, in India, Singapore and Indonesia, for
centuries. Hadramis have made their mark in more ways than one. It is unfortunate that

Osama bin Laden, whose family emigrated from Wadi Duan in western Hadramawt to Jeddah
in the early 20th century, is probably the best known. Abu Bakar Bashir, spiritual leader of
the Indonesian radical Islamic organisation Jemaa Islamia (and currently languishing in an
Indonesian jail) is also a Hadrami. But so too are successful merchant families such as the
Alsagoffs, original owners of Singapore’s famous Raffles Hotel, the Bugshans of Saudi
Arabia, and Tanzania’s Bakhresa family.
Politicians and rulers such as Sultan Hassanal Bolkiah of Brunei and Mari Alkatiri, first
prime minister of independent East Timor also trace their roots back to Hadramawt, as do
religious leaders such as Ahmed bin Sumayt, chief cadi of Zanzibar in the early 20th century,
and his distant cousin, Syed Isa Semait, recently deceased mufti of Singapore. Indeed, from
northern Borneo to Lake Victoria, Kozhikode to Maputo, Islamic religious leadership has
almost invariably been the preserve of Hadramis and their descendant.8

Pengkodratan bangsa Indonesia sebagai objek bangsa asing terus berlanjut pada materi
pelajaran sejarah untuk siswa Kelas 11. Seperti pada materi sebelumnya, masyarakat Indonesia
digambarkan sebagai tidak memiliki tata nilai unggul yang mampu menyamai bahkan menandingi
pengaruh bangsa asing. Pada materi Kelas 11 lebih ngeri lagi, karena bangsa Indonesia digambarkan
sebagai masyarakat yang tidak berdaya ketika dieksploatasi oleh bangsa Barat. Untuk meyakinkan
keunggulan bangsa Barat, pada bab I diuraikan perkembangan sejarah Eropa. Diantara berbagai
fenomena historis yang dibahas, permasalahan yang paling menggenaskan adalah penjelasan tentang

Politik Etis sebagai determinan dari munculnya nasionalisme Indonesia:
… Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik
negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”.
Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai mengalami perubahan.
Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura.
Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi
pada awal masa itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya
pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi. Di samping itu
pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan
daerah di Sumatera.
Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny.
R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu.
Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat
adalah tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu.
…Pengaruh pendidikan Barat itu pula yang kemudian memunculkan sekelompok kecil
intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus mampu
bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Golongan intelektual
bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di kotakota. Pendidikan dan pers itu pula menjadi untuk menyalurkan ide-ide dan pemikiran yang
8

Iain Walker, The Hadramis of the Indian Ocean: a diaspora and its networks . Oxford
Diasporas Programme (ODP), 2011. Diakses dari https://www.compas.ox.ac.uk/2011/the-hadramisof-the-indian-ocean-a-diaspora-and-its-networks/ pada 2 September 2016.

7
ingin membawa kemajuan, dan pembebasan bangsa dari segala bentuk penindasan dari
kolonialisme Belanda. Mereka tidak memandang Jawa, Sunda, Minangkabau, Ambon, atau
apa pun karena mereka adalah bumiputra. Pengalaman yang mereka peroleh di sekolah dan
dalam kehidupan setelah lulus sangatlah berbeda dengan generasi orang tua mereka. Para
kaum muda terpelajar inilah yang kemudian membentuk kesadaran “nasional” sebagai
bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang
tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru bagi kaum pelajar
terdidik saat itu.9
Pada buku siswa kelas XI semester 2, uraian sejarah mencakup periode dari pendudukan
Jepang sampai dengan kembalinya RIS menjadi negara kesatuan pada tahun 1950. Hal yang menarik
adalah penempatan Jepang pada posisi sama dengan Barat, yang dalam pandangan Derrida disebut
sebagai superior term (Derrida, 1997: 12). Hal itu terlihat antara lain penyebutan Jepang sebagai
“Saudara tua”, seperti pada Bab IV sub bab A yang diberi judul “Menganalisis Awal Pemerintahan
“Saudara Tua”.
Catatan khusus perlu diberikan untuk uraian bab IV, yaitu terkait dengan kebenaran sejarah.
Penulis menguraikan:
Pada pidato sidang BPUPKI, Radjiman menyampaikan pokok persoalan mengenai Dasar
Negara Indonesia yang akan dibentuk. Pada sidang tahap kedua yang berlangsung dari tanggal
10-11 Juni 1945, dibahas dan dirumuskan tentang Undang-Undang Dasar. Dalam kata
pembukaannya Rajiman Wedyodiningrat meminta pandangan kepada para anggota mengenai
dasar negara Indonesia. Orang-orang yang membahas mengenai dasar negara adalah Muhammad
Yamin, Supomo, dan Sukarno.
Dalam sidang pertama, Sukarno mendapat kesempatan berbicara dua kali, yaitu tanggal 31
Mei dan 1 Juni 1945. Namun pada saat itu, seperti apa yang disampaikan oleh Radjiman, selama
dua hari berlangsung rapat, belum ada yang menyampaikan pidato tentang dasar negara.
Menanggapi hal itu, pada tanggal 1 Juni pukul 11.00 WIB, Sukarno menyampaikan pidato
pentingnya.10
Paling tidak ada dua pernyataan yang kebenarannya perlu dipertanyakan. Pertama adalah
kalimat terakhir pada alinea pertama, yaitu “Orang-orang yang membahas mengenai dasar negara
adalah Muhammad Yamin, Supomo, dan Sukarno”. Pernyataan itu bertentangan atau dalam istilah

Ankersmit (1983: 64) sebagai tidak koheren dengan kalimat ke dua dari alinea ke dua, yaitu “ Namun
pada saat itu, seperti apa yang disampaikan oleh Radjiman, selama dua hari berlangsung rapat,
belum ada yang menyampaikan pidato tentang dasar negara ”. Dari ketidak-koherenan dua kalimat

itu, salah satunya pasti tidak benar.
Permasalahan ke dua adalah pernyataan buku teks bahwa “Dalam sidang pertama, Sukarno
mendapat kesempatan berbicara dua kali, yaitu tanggal 31 Mei dan 1 Juni 1945 ”. Pernyataan bahwa

“Soekarno mendapatkan kesempatan berbicara dua kali” sungguh unik, karena tidak ada atau paling
9

Sardiman AM, dan Amurwani Dwi Lestariningsih, Sejarah Indonesia. Untuk
SMA/MA/SMK/MAK Kelas XI Semester 1 . (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014),
pp. 146-147.
10
Sardiman AM, dan Amurwani Dwi Lestariningsih, Sejarah Indonesia . Untuk
SMA/MA/SMK/MAK Kelas XI Semester 2 . (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014),
pp. 60-61

8
sedikit belum pernah menemukan sumber yang menyatakan hal itu. Dari sudut pandang ini,
pernyataan itu perlu diuji kebenarannya, untuk tidak mengatakannya sebagai salah.
Pada bab VI, yang diberi judul “Revolusi Menegakkan Panji-Panji NKRI, materi pelajaran
sejarah membahas “Perkembangan dan Tantangan Awal Kemerdekaan” dalam sub bab A;
“Perjuangan Bangsa: Antara Perang dan Damai” dalam sub bab B; dan “Nilai-nilai Kejuangan Masa
Revolusi” dalam sub bab C. Dari istilah yang digunakan untuk judul sub bab, seperti menempatkan
kata “Perang” lebih dahulu dari pada “Damai” pada sub bab B, serta “Nilai-nilai Kejuangan” pada sub
bab C, terlihat keberpihakan pelajaran sejarah pada militer. Keberpihakan itu semakin jelas ketika
membahas tanggapan Indonesia terhadap kedatangan tentara Sekutu dan Nica.
Materi pembelajaran sejarah untuk siswa kelas 12 mencakup perjalanan bangsa Indonesia dari
tahun 1948 sampai dengan 2014, yaitu dari perjuangan mempertahankan integrasi bangsa sampai
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Secara substansial tidak banyak berbeda dengan
materi pelajaran sejarah yang lain, yaitu mendiskreditkan periode pemerintahan Presiden Soekarno
sebagai masa berlakunya demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin. Meski tidak sevulgar pada
penjelasan periode revolusi kemerdekaan, keberpihakan materi pelajaran sejarah pada militer,
terutama Angkatan Darat, masih terasa. Pemihakan itu antara lain pada pembahasan peristiwa 17
Oktober 1952:
Pada saat itu ada desakan dari pihak tertentu agar Presiden Soekarno segera
membubarkan Parlemen yang tidak lagi mencerminkan keinginan rakyat. Peristiwa ini
dimanfaatkan oleh golongan tertentu dalam tubuh TNI-AD untuk kepentingan sendiri.
Kelompok ini tidak menyetujui Kolonel Nasution sebagai KSAD. Pihak-pihak tertentu dalam
parlemen menyokong dan menuntut agar diadakan perombakan dalam pimpinan Kementrian
Pertahanan dan TNI. Ini dianggap oleh pimpinan TNI sebagai campur tangan sipil dalam
urusan militer. Setelah itu pimpinan TNI menuntut Presiden membubarkan Parlemen. Namun
Presiden menolak tuntutan ini, sehingga KSAD dan KSAP diberhentikan dari jabatannya.11
Dari kutipan di atas, motivasi Angkatan Darat untuk menjadikan Angkatan Darat sebagai
kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatan politik disembunyikan. Begitu pula dengan
kesengajaan materi pelajaran sejarah untuk tidak menjelaskan peran Angkatan Darat pada demonstrasi
dan perusakan gedung parlemen, serta bergeraknya kendaraan lapis baja, tank dan 4 buah meriam
yang mengarah ke istana.12 Para siswa tidak diarahkan untuk memahami ambisi Angkatan Darat untuk
terlibat dalam perpolitikan nasional sebagai perilaku menyimpang dalam sistem demokrasi.

2. Pembelajaran
Tidak kalah kompleks dari materi, pembelajaran sejarah menghadapi berbagai permasalahan
yang kronis. Permasalahan pertama kapasitas guru sejarah yang semakin lama semakin menurun. Ada

11

Abdurakhman, Arif Pradono, Linda Sunarti dan Susanto Zuhdi, Sejarah Indonesia . Untuk
SMA/MA Kelas XII. (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015), p. 56
12
Peristiwa itu oleh banyak pihak disebut sebagai kudeta. Lihat Slamet Sutrisna, Kontroversi
dan rekonstruksi sejarah. (Yogyakarta: Media pressindo, 2003), p. 13

9
banyak penyebab dapat dikemukakan untuk menjelaskan penurunan kemampuan guru. Penelitian
Murni di Palembang menemukan realitas bahwa terdapat guru-guru sejarah yang tidak berlatar
belakang pendidikan sejarah.13 Dengan kata lain, guru yang berpendidikan non sejarah, dengan
berbagai alasan praktis, dipaksa untuk mengajar sejarah. Kasus itu terjadi di hampir semua daerah,
terutama di sekolah sekolah swasta. Sekitar 49% guru yang mengajar sejarah di SMP tidak berlatar
pendidikan sejarah. Prosentase itu mengecil pada tingkat SMA.14 Dari keberadaan guru sejarah yang
tidak berlatar belakang pendidikan sejarah, akan sulit diharapkan memiliki kapasitas yang memadai.
Mereka akan melaksanakan pembelajaran sejarah sekedar untuk menunaikan tugas, tanpa memiliki
kesenangan atau kecintaan terhadap sejarah. Akibatnya dapat diperkirakan, bahwa kapasitas guru
yang demikian akan sangat sulit untuk mampu menghasilkan siswa yang tertarik pada pendidikan
sejarah.
Permasalahan kedua adalah tentang metode pembelajaran sejarah. Pada umumnya, guru
menggunakan teacher centered approach dan metode ceramah atau chalk and talk karena dipandang
paling efisien, baik ditinjau dari aspek persiapan maupun pelaksanaan. Guru tidak perlu menyiapkan
banyak hal untuk menerapkan metode ceramah, yaitu hanya menghapalkan bahan ajar yang terdapat
di buku teks dan akan dibahas di kelas. Bagi yang telah bertahun mengajar, secara kognitif guru telah
menguasainya dengan mendalam, sehingga hampir tidak perlu menyiapkan diri.
Pada saat pelaksanaan, metode ceramah juga sangat efisien, karena guru menjadi satu-satunya
pemeran utama. Guru dengan kokoh mengendalikan situasi kelas, sehingga dapat menentukan kapan
akan berbicara, kapan mengadakan tanya-jawab dan kapan pelajaran akan diakhiri. Sebaliknya,
kegiatan siswa terbatas pada duduk, diam dan mencatat. Dengan demikian, guru dengan mudah
melakukan pengelolaan kelas dalam rangka menjaga suasana tenang selama proses pembelajaran.
Seperti telah disinggung di depan, bahwa efisiensi yang sangat tinggi pada pendekatan
pembelajaran yang berpusat pada guru tidak dapat diikuti dengan efektifitas yang sama tinggi.
Rendahnya efektifitas, selain disebabkan oleh metode pembelajaran juga dikarenakan guru kurang
menguasai keterampilan presentasi, penggunaan alat bantu mengajar dan media pembelajaran.
Akibatnya kegiatan siswa yang notabene masih remaja menjadi sangat terbatas, yaitu hanya untuk
duduk, diam dan mencatat, sehingga mereka cepat bosan.15 Pada tingkat selanjutnya, hilangnya fokus
perhatian siswa akan menjadikan daya serap terhadap materi pembelajaran merosot. Dari sudut
13

Murni. Model Pembelajaran Holistik Dalam Pengembangan Ketrampilan Berpikir
Kesejarahan: Suatu Penelitian dan Pengembangan Terhadap Peningkatan Ketrampilan Berpikir
Kesejarahan Mahasiswa Pendidikan Sejarah di Kota Palembang . Disertasi. PIPS. (Bandung: SPs
UPI, 2006). Tidak diterbitkan.
14
Hamid Hasan, S., “Kurikulum dan Buku Teks Sejarah” dalam Jurnal Pendidikan Sejarah
Historia edisi I No. 1. (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah, FPIPS, 1999), p. 73.
15
Yuliant Angga Pradanasari, Penerapan Model Cooperative Learning tipe Jigsaw untuk
Meningkatkan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Sejarah Kelas X A SMA Negeri I Jogonalan
Klaten Tahun Ajaran 2012/2013 . Skripsi. Tidak diterbitkan. (Yogyakarta: Program Studi Pendidikan
Sejarah,
FIS,
Universitas
Negeri
Yogyakarta,
2013).
Diunduh
dari
http://eprints.uny.ac.id/14237/2/2%20BAB%20I.pdf pada 2 September 2016.

10
pandang ini, merupakan fenomena yang wajar apabila prestasi akademik siswa pada mata pelajaran
sejarah relatif rendah. Apalagi tidak ada stimulus yang cukup kuat untuk membangkitkan motivasi
siswa dalam belajar sejarah. Kritik pedas disampaikan oleh Hamid Hasan sebagai berikut:
Alih-alih memberikan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang dikemukakan di
atas, suatu kenyataan yang menyedihkan bahkan dunia pendidikan sejarah dianggap sebagai
sesuatu yang suram, tak bermakna, penuh dengan beban hafalan yang tak mampu
mengembangkan kemampuan berfikir kritis, tak berkaitan dengan realita kehidupan, tidak
membangkitkan rasa ingin tahu dan kemampuan memenuhi rasa ingin tahu tersebut (study
skills) serta mengembangkan kebangsaan positif.16
C. Menemukan akar masalah untuk memulai lembaran baru
1. Materi
Dari dua permasalahan yang telah dibahas, terlihat bahwa sungguh sangat sulit bagi mata
pelajaran sejarah untuk melaksanakan tanggungjawabnya sebagai penggali kebenaran dan penanam
nilai-nilai kebangsaan. Dari sudut pandang materi, penempatan masyarakat Indonesia sebagai objek
dari kekuatan asing lebih merupakan wacana penulis buku teks pelajaran sejarah dari pada realitas
objektif. Pertanyaan yang mengemuka adalah mengapa mereka mengkodratkan masyarakat Indonesia
sebagai objek? Meminjam pandangan White, pengkodratan itu dapat dikategorikan sebagai usaha
menggunakan sejarah menjadi senjata ideologis untuk melipatgandakan penindasan terhadap
kelompok yang sudah dikalahkan dengan jalan merampas masa lalu mereka dan akibat lainnya adalah
hilangnya identitas mereka.17 Rekonstruksi sejarah yang menempatkan Indonesia sebagai tergantung
pada pengaruh asing akan menjadikan masyarakat merasa bahwa uraian sejarah adalah bukan tentang
mereka dan pada tingkat selanjutnya melahirkan masyarakat tanpa sejarah.18 Kondisi materi sejarah
seperti itu menerbangkan ingatan kepada Presiden Soekarno yang pada masa akhir pemerintahannya
sering meneriakkan neo kolonialisme dan imperialisme (nekolim). Penjajahan model baru yang tidak
hanya menggunakan perangkat moneter dan keuangan internasional, tetapi juga dengan menginfuskan
kebenaran-kebenaran kaum penjajah di dalam pikiran masyarakat terjajah.19
Permasalahan lain yang tidak kalah pelik adalah adanya kekuatan kelompok kepentingan di
tingkat nasional yang menggunakan materi pelajaran sejarah sebagai alat untuk mendominasi.
Kelompok kepentingan itu adalah militer, terutama Angkatan Darat. Salah satu tonggak utama
16

Hamid Hasan, Problematika Pendidikan Sejarah . ( Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah,
FPIPS,
Universitas
Pendidikan
Indonesia,
2010).
Diunduh
dari
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._SEJARAH/194403101967101SAID_HAMID_HASAN/Makalah/Beberapa_Problematik_Dalam_Pendidikan_Sejarah.pdf pada 2
September 2016.
17
Hayden White, “The Historical Event”. Differences: A Journal of Feminist Cultural Studies ,
19(2), 9-34, 2008. doi:10.1215/10407391-2008-002.
18
Henk Schulte Nordholt, De-colonising Indonesian Historiography. Paper delivered at the
Centre for East and South-East Asian Studies public lecture series “Focus Asia”, 25-27 May, 2004 at
Lund University, Sweden.
19
Linda Tuhiwai Smith, Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples .
(London: Zed Books Ltd, 2008).

11
penggunaan sejarah untuk kepentingan mereka adalah Seminar Angkatan Darat 1972 yang hasilnya
antara lain menginstruksikan kepada militer untuk mengedarkan sejarah versi militer kepada
masyarakat Indonesia pada umumnya. Penyebaran dilakukan melalui memoar, film, museum,
monumen, dan buku teks pelajaran sejarah. Sasaran penyebaran terutama adalah generasi muda, agar
mereka menghargai apa yang telah dilakukan oleh Generasi 1945.20 Khusus untuk memasukkan
kepentingan militer pada buku teks pelajaran sejarah, proses yang dilalui adalah sebagai berikut:
…Pada tahun 1974, Menteri Pendidikan mengangkat Nugroho dan anggota staf yang lain
sebagai kepala tim riset untuk buku sejarah bagi sekolah menengah. Staf Pusat Sejarah ABRI juga
membantu menyiapkan buku teks sejarah untuk sekolah menengah pertama dan sekolah
menengah atas dari tahun 1975/1976 dan untuk pendidikan tinggi dari tahun 1970-1974. Pusat
Sejarah ABRI juga berperan serta dalam evaluasi buku-buku untuk perpustakaan sekolah dan
dalam merancang kurikulum sejarah untuk sekolah.21
Adanya unsur neo kolonialisme dan militerisme dalam materi sejarah Indonesia yang terdapat
pada buku teks menjadikannya tidak mungkin untuk digunakan dalam pembelajaran sejarah yang
bertujuan menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai kebangsaan. Dari sudut pandang ini, guru
sejarah harus menjadi tokoh yang mampu memilah dan memilih materi. Meminjam pandangan
Habermas, guru harus mampu melakukan pengujian kebenaran materi pembelajaran sejarah melalui
diskusi kritis, sehingga materi pelajaran sejarah dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan
moral.

2. Pembelajaran
Secara teknis, pendekatan dan metode pembelajaran sejarah telah banyak dikaji dan ditulis.
Apabila selama ini pelajaran sejarah masih membosankan bagi siswa, tentu akar permasalahannya
terletak pada jiwa dari sang guru. Dalam konteks pembelajaran untuk menanamkan dan
mengembangkan nilai-nilai kebangsaan, pertanyaan pertama yang perlu diajukan adalah apakah sang
guru berjiwa nasionalis? Apabila guru tidak menghidupi nilai-nilai kebangsaan dalam kesehariannya,
mustahil untuk dapat menanamkan nilai-nilai itu pada diri para siswanya. Apabila sang guru egois
atau sektarianis, maka para siswanya akan tumbuh menjadi manusia egois atau sektarianis pula.
Dengan menggunakan analogi warna, Bung Karno pada pidatonya untuk Tamansiswa mengatakan
“Guru yang sifat hakikatnya hijau akan „beranak‟ hijau, guru yang sifat hakikatnya hitam akan
„beranak‟ hitam, guru merah akan „beranak‟ merah”.22
Poin penting ke dua adalah bahwa tujuan utama pembelajaran sejarah tidak diletakkan pada
penguasaan kompetensi akademik, tetapi pada kompetensi afektif, yaitu menghayati dan menerapkan
nilai-nilai kebangsaan. Peran guru adalah sebagai konektor bagi generasi muda masa kini agar
20

Katharine E. McGregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam
Menyusun Sejarah Indonesia . (Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2008), p. 249.
21
Ibid., p. 271-271
22
Soekarno, “Menjadi Guru di Masa Kebangunan” yang terdapat pada Di Bawah Bendera
Revolusi. Jilid I. (Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964).

12
terhubung dengan para pelaku sejarah. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru sejarah harus mampu
menghubungkan peserta didik dengan pelaku sejarah, sehingga antar keduanya terjadi dialog reflektif.
Hasil dialog itu adalah bahwa peserta didik mampu menangkap pesan-pesan tentang tata nilai yang
dihidupi dan perjuangan yang dilakukan oleh para pelaku sejarah untuk mewujudkannya, sehingga
generasi muda sekarang menjadi memahami siapa diri mereka dan kemana hidup harus diarahkan.
Meminjam pandangan Michelet, pelajaran harus sejarah mampu berperan menjadi media linguistik
bagi generasi masa lampau untuk menyuarakan berbagai hal yang sesungguhnya mereka maksudkan
dan inginkan.23 Di pihak lain, bagi para siswa sebagai keturunan para pelaku sejarah, menjadi
menyadari dan terinspirasi untuk melanjutkan dan mengadaptasi nilai-nilai kebangsaan masa lalu ke
dalam kehidupan keseharian masa kini, demi terwujudnya masa depan yang lebih baik bagi anak
cucunya.

DAFTAR ACUAN
Abdurakhman, Arif Pradono, Linda Sunarti dan Susanto Zuhdi. Sejarah Indonesia . Untuk SMA/MA
Kelas XII. (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015).
Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism.
(New York: Verso. 1991).
Hasan, S. Hamid. “Kurikulum dan Buku Teks Sejarah” dalam Jurnal Pendidikan Sejarah Historia
edisi I No. 1. (Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah, FPIPS, 1999).
Lestariningsih, Amurwani Dwi, Restu Gunawan, Sardiman AM, Mestika Zed, Wahdini Purba,
Wasino, dan Agus Mulyana, Sejarah Indonesia Untuk SMA/MA/SMK/MAK Kelas X Semester 1 .
(Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014).
McGregor, Katharine E. Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun
Sejarah Indonesia . (Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2008).
Murni. Model Pembelajaran Holistik Dalam Pengembangan Ketrampilan Berpikir Kesejarahan:
Suatu Penelitian dan Pengembangan Terhadap Peningkatan Ketrampilan Berpikir
Kesejarahan Mahasiswa Pendidikan Sejarah di Kota Palembang . Disertasi. PIPS. (Bandung:
SPs UPI, 2006). Tidak diterbitkan.
Nordholt, Henk Schulte. De-colonising Indonesian Historiography. Paper delivered at the Centre for
East and South-East Asian Studies public lecture series “Focus Asia”, 25-27 May, 2004 at Lund
University, Sweden.
Pradanasari, Yuliant Angga. Penerapan Model Cooperative Learning tipe Jigsaw untuk
Meningkatkan Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran Sejarah Kelas X A SMA Negeri I
Jogonalan Klaten Tahun Ajaran 2012/2013 . Skripsi. Tidak diterbitkan. (Yogyakarta: Program
Studi Pendidikan Sejarah, FIS, Universitas Negeri Yogyakarta, 2013). Diunduh dari
http://eprints.uny.ac.id/14237/2/2%20BAB%20I.pdf pada 2 September 2016.
Sardiman AM, dan Amurwani Dwi Lestariningsih. Sejarah Indonesia. Untuk SMA/MA/SMK/MAK
Kelas XI Semester 1. (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014).
Sardiman AM, dan Amurwani Dwi Lestariningsih. Sejarah Indonesia . Untuk SMA/MA/SMK/MAK
Kelas XI Semester 2. (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014).
Smith, Linda Tuhiwai. Decolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples. (London: Zed
Books Ltd, 2008).

23

Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of
Nationalism. (New York: Verso. 1991), p. 198.

13
Soekarno, “Menjadi Guru di Masa Kebangunan” yang terdapat pada Di Bawah Bendera Revolusi.
Jilid I. (Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964).
Suhadi, Mohamad Yusuf, Marthen Tahun, Budi Asyhari, dan Sudarto, Politik Pendidikan Agama:
Kurikulum 2013, dan Ruang Publik Sekolah . (Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas
Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS), Sekolah Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada, 2014).
Sutrisna, Slamet. Kontroversi dan rekonstruksi sejarah . (Yogyakarta: Media pressindo, 2003).
The Wahid Institute, Laporan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (LKBB). (Jakarta: The Wahid
Institute, 2014).
Walker, Iain. The Hadramis of the Indian Ocean: a diaspora and its networks. Oxford Diasporas
Programme (ODP), 2011. Diakses dari https://www.compas.ox.ac.uk/2011/the-hadramis-of-theindian-ocean-a-diaspora-and-its-networks/ pada 2 September 2016.
White, Hayden. “The Historical Event”. Differences: A Journal of Feminist Cultural Studies , 19(2), 934, 2008. doi:10.1215/10407391-2008-002.