TINJAUAN HUKUM TENTANG BILYET GIRO SEBAGAI SURAT BERHARGA YANG DIJADIKAN JAMINAN BANK BILA NASABAH WANPRESTASI Baso Hermawan Sahlan Ilham Nurman Abstrak - TINJAUAN HUKUM TENTANG BILYET GIRO SEBAGAI SURAT BERHARGA YANG DIJADIKAN JAMINAN BANK BILA NASABAH W

  

TINJAUAN HUKUM TENTANG BILYET GIRO SEBAGAI SURAT

BERHARGA YANG DIJADIKAN JAMINAN BANK BILA NASABAH

WANPRESTASI

Baso Hermawan

Sahlan

  

Ilham Nurman

Abstrak

  Penggunaan bilyet giro sebagai salah satu alat pembayaran giral sangat

disukai masyarakat terutama kalangan dunia uaha, sebab pembayaran dalam hal

ini dilakukan dengan cara booking transfer antar bank (perintah pemindah

bukuan rekening) sehingga faktor keamanan amat terjaga.Rumusan masalah

yang dibahas adalah: Pertama Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh

bank yang mempunyai jaminan bilyet giro nasabah wanprestasi ?. Kedua Sejauh

mana bilyet giro sebagai surat berharga dijadikan jaminan bank jika pihak

nasabah wanprestasi ?

  Tujuan Penulisan ini dilakukan oleh penulis agar dapat menyajikan data

yang akurat sehingga dapat memberi manfaat dan mampu menyelesaikan

masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mempunyai tujuan sebagai

berikut : Pertama

   Untuk mengetahui dan mengungkapkan upaya hukum yang

dapat dilakukan oleh bank yang mempunyai jaminan bilyet giro bila nasabah

wanprestasi. Adapun Pengumpulan data dalam studi kasus ini menggunakan

kajian yuridis normatif. Kesimpulan yang dapat disajikan dalam penelitian ini

adalah :Pertama Jika suatu surat berharga (bilyet giro) telah memenuhi syarat

formal, maka bilyet giro dipakai sebagai agunan kredit bank melalui pengikatan

jaminan secara gadai atau gadai cessie.

   Kedua Menurut upaya hukum yang

dapat dilakukan oleh pihak bank tersebut adalah dengan meminta untuk

dilakukannya booking transfer atau pemindah bukuan rekening, dan rekening

pihak penerbit kedalam rekeningnya yang tersimpan di bank Kata Kunci : Bilyet Giro sebagai Surat Berharga

I. PENDAHULUAN Bank sangat menentukan. Di lain pihak A.

   Latar Belakang Masalah

  pertumbuhan ekonomi dari transaksi- Tak dapat dipungkiri, semakin transaksi perdagangan semakin majunya dunia usaha, semakin meningkat pula saat ini dalam menuntut permodalan yang besar pula masyarakat. dengan menghendaki agar untuk pembiayaan kegiatan usaha. segala kegiatan transaksi dagangnya

  Salah satu sumber permodalan adalah dapat dilakukan dengan tanpa kendala. keberadaan Bank, akibatnya peranan

  Hal ini diperlukan adanya sarana-sarana penunjang yang dapat mendukung dilaksanakannya transaksi- transaksi dagang yang tanpa kendala itu, dan sebagai salah satu sarana pendukung tersebut adalah dipergunakannya uang giral sebagai salah satu alat pembayaran, selain uang kartal (uang tunai) dalam transaksi perdagangan. Dalam sejarah perdagangan dikenal tiga tahapan sistem perdagangan, dimana pada tahap pertama. Perdagangan dilaksanakan dengan sistem barter. Dalam sistem barter ini, perdagangan dilakukan dengan jalan tukar menukar dengan barang, jika seorang menghendaki suatu barang maka ia harus menukarnya dengan barang miliknya. Pada tahap yang pertama ini belum dikenal alat pembayaran dengan uang.

  Demikian pula pada tahap kedua, transaksi perdagangan jual beli dilakukan dengan mempergunakan uang kartal (uang tunai) sebagai alat pembayarannya. Alat pembayaran dengan mempergunakan jenis uang ini dianggap lebih dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam lalu lintas perdagangan, hanya dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai alat pembayaran harga pembelian, maka orang sudah dapat memiliki suatu barang sebagaimana yang diinginkannya, dengan demikian sistem ini yang merupakan pembeda dan pada sistem terdahulu.

  Pada bagian tahap ketiga atau tahap terakhir ternyata keberadaan uang kartal sebagai alat pembayaran dirasa kurang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam lalu lintas perdagangan, dalam hal ini masyarakat merasakan adanya kendala atau resiko yang cukup besar dalam transaksi- transaksi dagangnya dengan mempergunakan uang kartal sebagai alat pembayarannya, terutama bila harus menempuh jarak yang cukup jauh.

  Keharusan untuk membawa uang dalam jumlah lembaran yang cukup banyak dan faktor resiko keamanan menjadi suatu pertimbangan yang tersendiri bagi masyarakat dan dianggap sebagai sesuatu yang kurang efesien. Oleh karena itu pada tahap terakhir ini, orang mulai mempergunakan surat-surat berharga sebagai alat pembayaran daam transaksi-transaksi dagangnya selain uang kartal. Seperti gambaran di atas, bahwa surat-surat berharga sebagai alat pembayarannya, maka transaksi- transaksi dagang dapat dilakukan Iebih elemen, jarak tidak lagi menjadi sesuatu penghalang untuk dapat dilakukannya suatu transaksi dagang. sebab orang tidak perlu lagi harus membawa uang dalam jumlah lembar yang cukup banyak untuk dapatnya melakukan pembayaran.

  Apabila dengan hanya selembar surat berharga saja, pembayaran dalam jumlah nominal yang tinggi atau besar dapat dilakukan, selain itu resikopun dapat diperkecil sehingga faktor keamananpun juga cukup terjamin atau aman.

  Surat cek, wesel dan surat aksep (promissory note) adalah merupakan surat berharga yang selalu dipergunakan masyarakat dalam laIu lintas perdagangan, ini dapat dilihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) sebagai pengaturannya, bahkan dalam perkembangannya kemudian muncul lagi jenis surat berharga baru yang timbulnya dalam praktek perdagangan, salah satu diantaranya adalah bilyet giro.

  Munculnya jenis surat berharga baru ini dalam hal ini bilyet giro, sebagai salah satu alat pembayaran giral, yang pada awalnya belum diatur dalam peraturan perundang-undangan ini hanya didasarkan pada praktek perdagangan (hukum kebiasaan) saja. Baru kemudian ada suatu ketentuan atau kebijakan yang mengaturnya.

  Sebagaimana diketahui bahwa, bilyet giro merupakan salah satu jenis surat berharga, dimana diantara sekian banyak surat berharga yang ada dalam lalu lintas perdagangan masyarakat tentang apa yang dimaksud dengan surat berharga itu maka tidak ada satu pasalpun dalam peraturan perundang- undangan yang telah memberikan rumusan pengertian atau definisinya. OIeh karena itu, berkenaan dengan pengertian surat berharga akan diungkapkan beberapa pendapat para sarjana/pakar berikut ini.

  Menurut Emmy Pangaribuan Simadjuntak, “suatu surat dapat disebut surat berharga apabila dalam surat tersebut tercantum nilai yang sama dengan perikatan dasarnya, dimana tujuannya adalah untuk diperdagangkan atau dialihkan. Sedang Heru supraptomo menyatakan bahwa surat-surat dapat dmgolongkan sebagai surat berharga apabila surat itu merupakan alat untuk diperdagangkan dan merupakan alat bukti terhadap utang yang telah ada.

  atas, Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa surat berharga adalah surat yang bersifat seperti uang tunai, jadi dapat dipakai untuk melakukan pembayaran, diperdagangkan, dan dapat ditukar dengan uang tunai.

  pengertian tersebut diatas, maka setiap surat berharga mempunyai unsur:

  1. Nilai surat tagihan atas hutang itu sama dengan nilai periktan dasarnya.

  2. Surat tagihan itu dapat dialihkan atau dipindahtangankan. (Emyl 1993:199).

  Adapun fungsi utama dari surat berharga adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai alat pembayaran (alat tukar uang tunai). 1 Herusuprotomo, Hukum Perbankan

  Indonesia , Grafiti Jakarta, 1995,hlm : 28 2 Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di indonesia , Citra Aditya Bakti, Bandung 1996, hlm : 98

  2. Sebagai alat unluk rnernindahkan hak tagih (diperjualbelikan dengan mudah atau sederhana).

  3. Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi).

1 Kedua pengertian tersebut di

  Selain fungsi di atas, juga mempunyai tujuan dan penerbitan surat berharga yaitu sebagai pemenuhan prestasi berupa pembayaran sejumlah uang. Dengan demikian, pada prinsipnya bilyet giro merupakan surat bukti adanya hak tagih atau piutang. Sebagai suatu bentuk piutang, bilyet giro termasuk dalam kategori piutang jenis op naam (piutang atas nama), sebab pembayarannya hanya ditujukan kepada orang yang namanya disebut dalam surat bilyet giro itu tanpa diperbolehkan diendossemenkan kepada yang lain, jadi tidak atas pengganti.

2 Berdasar pada rumusan

  Hal ini sangat berlainan dengan jenis piutang yang lain, yaitu piutang aan order (piutang atas pengganti) seperti surat wesel dan piutang aan toonder (piutang atas bawa) seperti surat cek. Atas piutang aan order dapat dialihkan kepada pihak yang lain dengan jalan endossemen. Sedang yang dimaksud dengan endossemen peralihan hak milik atas nama (ann order) kepada orang yang disebutkan namanya dalam surat piutang yang bersangkutan atau kepada penggantinya. Sedangkan atas piutang aan toonder dapat dialihkan kepada pihak lain dengan penyerahan secara nyata atas surat piutangnya.

  Pesatnya perkembangan penggunaan bilyet giro dewasa ini di Indonesia, menurut Imam P dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong antara lain:

  3

  1. Bebas meterai, padahal secara umum untuk surat berharga jangka pendek (dengan masa peredaran kurang dari tiga bulan) dikenalkan bea meterai

  2. Lebih aman, sebab tidak dapat dibayar dengan uang tunai dan tidak dapat diendossemenkan

  3. Mengenal dua penanggalan sehingga memberikan kelonggaran kepada pihak penerbit untuk menyediakan dananya;

  4. Pihak penerbit Iebih mudah untuk melakukan kontrol 3 Wirjono Prooyodikoro, Hukum Dagang

  Indonesia , Pradnya Paramita, Bandung 1995, hlm : 57

  sebab tidak dapat diendossemenkan kepada pihak lain sehingga akan memudahkan pihak penerbit itu untuk mengetahui apakah sudah dipindahtangankan atau belum.

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan pada latar belakang uraian diatas, maka akan dirumuskan sebagai berikut:

  1. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh bank yang mempunyai jaminan bilyet giro nasabah wanprestasi?

  2. Sejauh mana bilyet giro sebagai surat berharga dijadikan jaminan bank jika pihak nasabah wanprestasi?

  II. PEMBAHASAN A. Upaya Hukum oleh Bank Bilamana Nasabah Wanprestasi

  Telah diketahui bahwa pada dasarnya perjanjian kredit merupakan suatu bentuk perjanjian pinjam meminjam. Bila dilihat dari segi hukum perjanjian, perjanjian tersebut termasuk dalam klasifikasi perjanjian cuma- cuma yaitu perjanjian yang hanya memberi manfaat atau keuntungan bagi salah satu pihaknya saja. Walaupun demikian harus diingat bahwa untuk perjanjian kredit bank (perbankan) tidaklah dapat dikatakan murni sebagai perjanjian cuma-cuma. Sebab dalam hal ini ada manfaat atau keuntungan yang diperoleh pihak bank yaitu berupa bunga kredit atau bunga pinjaman yang wajib dibayar oleh pihak nasabah setiap bulannya atau sampai akhir pcelunasan hutang.

  Mencermati hal di atas, dapat disebutkan sebagai perjanjian timbak balik dimana kedua belah pihak sama- sama diuntungkan, dalam arti bagi pihak nasabah mendapatkan keuntungan dengan kucuran kredit, dilain pihak (kreditur atau pihak bank) berupa keuntungan yang tentunya dengan bunga.

  Mengenai soal keabsahan dengan perjanjian kredit bank (perbankan), maka agar perjanjian kredit yang dibuat tersebut sah, haruslah dibuat dengan memenuhi syarat-syarat suatu perjanjian yaitu sepakat, cakap, suatu hal tertentu dari suatu sebab yang halal (Pasal 1320 KUHPerdata). Syarat ini adalah merupakan suatu ketentuan yang berlaku umum sifatnya termasuk dalam hal mengadakan perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian kredit.

  4 Sebagaimana telah diuraikan

  hukum perjanjian kesepakatan haruslah dapat dikatakan ada jika ada akseptasi dan suatu penawaran, artinya ada kecocokan atau kesepahaman kehendak antara kedua belah pihak, yang dalam hal ini pihak bank menawarkan pinjaman berupa uang yang tertentu jumlahnya beserta segala macam syarat yang diberlakukan dan harus dipenuhi oleh pihak nasabah, termasuk jangka waktu dan besarnya bunga yang nantinya harus dipenuhi pihak nasaba tersebut setelah mengetahui dan merasa cocok dengan penawaran yang 4 Fuady, Munir, Hukum. Perkreditan

  Kontemporer , Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm : 51 diberikan oleh pihak bank yang kemudian pihak nasabah akan mengakseptasinya.

B. Upaya Hukum oleh Bank Bilamana Nasabah Wanprestasi

  Telah diketahui bahwa pada dasarnya perjanjian kredit merupakan suatu bentuk perjanjian pinjam meminjam. Bila dilihat dari segi hukum perjanjian, perjanjian tersebut termasuk dalam klasifikasi perjanjian cuma- cuma yaitu perjanjian yang hanya memberi manfaat atau keuntungan bagi salah satu pihaknya saja. Walaupun demikian harus diingat bahwa untuk perjanjian kredit bank (perbankan) tidaklah dapat dikatakan murni sebagai perjanjian cuma-cuma. Sebab dalam hal ini ada manfaat atau keuntungan yang diperoleh pihak bank yaitu berupa bunga kredit atau bunga pinjaman yang wajib dibayar oleh pihak nasabah setiap bulannya atau sampai akhir pcelunasan hutang.

  Mencermati hal di atas, dapat disebutkan sebagai perjanjian timbak balik dimana kedua belah pihak sama- sama diuntungkan, dalam arti bagi pihak nasabah mendapatkan keuntungan dengan kucuran kredit, dilain pihak (kreditur atau pihak bank) berupa keuntungan yang tentunya dengan bunga.

  Mengenai soal keabsahan dengan perjanjian kredit bank (perbankan), maka agar perjanjian kredit yang dibuat tersebut sah, haruslah dibuat dengan memenuhi syarat-syarat suatu perjanjian yaitu sepakat, cakap, suatu hal tertentu dari suatu sebab yang halal (Pasal 1320 KUHPerdt). Syarat ini adalah merupakan suatu ketentuan yang berlaku umum sifatnya termasuk dalam hal mengadakan perjanjian pinjam meminjam atau perjanjian kredit.

  Sebagaimana telah diuraikan hukum perjanjian kesepakatan haruslah dapat dikatakan ada jika ada akseptasi dan suatu penawaran, artinya ada kecocokan atau kesepahaman kehendak antara kedua belah pihak, yang dalam hal ini pihak bank menawarkan pinjaman berupa uang yang tertentu jumlahnya beserta segala macam syarat yang diberlakukan dan harus dipenuhi oleh pihak nasabah, termasuk jangka waktu dan besarnya bunga yang nantinya harus dipenuhi pihak nasaba tersebut setelah mengetahui dan merasa cocok dengan penawaran yang diberikan oleh pihak bank yang kemudian pihak nasabah akan mengakseptasinya.

  Berkaitan dengan kehendak antara keduanya dapat dilihat dari adanya tangan mereka dalam akta kreditnya. Berdasar hal itu, dapat dikatakan telah ada kesepakatan antara keduanya, tanpa ada persesuaian kehendak tidak mungkin ada kesepakatan. Walaupun demikian bila ditelaah tentang kesepakatan kredit tersebut, apa yang terjadi dalam kenyataan tidaklah seperti itu.

  Terhadap proses terbentuknya kesepakatan antara pihak bank dan nasabah, harus diakui bahwa posisi atau kedudukan pihak nasabah sangatlah lemah jika dibandingkan dengan pihak hank. Mengetahui kedudukannya pihak bank Iebih kuat dari pada pihak nasabah, maka pihak bank berusaha menekan pihak nasabah melalui svarat-syarat atau klausula yang diberlakukan dalam perjanjian kredit.

  Selanjutnya, pihak nasabah menginginkan kucuran kredit itu, maka tidak ada pilihan lain bagi dirinya kecuali harus menyetujui syarat-syarat yang ditawarkan oleh pihak bank, bahkan didalam praktek pihak bank selalu menawarkan konsep perjanjian haku dirnana pihak nasahah tidak mungkin dapat menawar-nawar lagi syarat-syarat yang ada dalam perjanjian, meskipun syarat-syarat itu dirasa amat memberatkan dirinya, hanya semata-mata didesak oleh keterpaksaan yaitu, kebutuhan akan adanya kucuran kredit itu, maka pihak nasabah akhirnya bersedia menyetujui penawaran tersebut meskipun sebenarnya ia keberatan dengan syarat- syaratnya.

  Sebenarnya konsep perjanjian yang diterapkan oleh pihak bank tersebut merupakan suatu strategi bisnis dan pihak bank dalam upaya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, apalagi ia mengetahui posisi pihak nasabah sangatlah Iemah. Oleh karena itu, sebenarnya prinsip persamaan kedudukan dan kebebasan bcrkontrak atau dalam kesepakatan dalam perjanjian kredit perbankan tersebut kurang bisa terlibat dengan nyata bahkan hampir dapat dikatakan tidak ada. Sampai dewasa ini, pada kenyataannya inilah yang terjadi di masyarakat. Kemudian yang menyangkut syarat kedus pada Pasal 1320 KUHPerdt adalah harus cakap, maka para pihak dalam perjanjian/perjanjian kredit dapat dikatakan sah apabila Ia telah dewasa yakni telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tempat telah kawin, dan tidak dinyatakan sementara berada di bawah dalam pengampuan atau gila ataupun keadaan sakit ingatan. Bila merupakan suatu badan usaha, maka agar badan usaha itu dapat dikatakan cakap, maka badan usaha itu haruslah berbadan hukum. Apabila suatu badan usaha tidak berbadan hukum, berarti secara otomatis pula tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Olehnya ini badan usaha perbankan selalu berbadan hukum, agar cakap untuk melakukan perbuatan hukum yang di kehendakinya,

  Suatu barang yang dapat diletakkan sebagai obyek dalam suatu perjanjian, haruslah merupakan barang berharga dan dapat diperdagangkan. Dalam perjanjian kredit perbankan/bank obyeknya berupa uang, sedangkan kausa atau tujuan yang ingin dicapai dalam suatu perjanjian haruslah yang diperbolehkan atau yang tidak dilarang baik oleh peraturan perundang-undangan maupun susila atau kebiasaan.

  Untuk perjanjian kredit, klausanya ialah untuk menyerahkan uang atau memberi pinjaman kepada pihak nasabah dan mewajibkan pihak nasabah untuk melunasi utang itu dikemudian hari.Dalam suatu perjanjian kredit bank/perbankan telah dibuat oleh para pihak secara sah, maka berdasarkan perjanjian tersebut akan timbul perikatan diantara keduanya.Aspek dari jenis perikatannya, tentu perjanjian kredit, perjanjian kredit tersebut termasuk dalam kategori perikatan untuk memberikan sesuatu yang berarti ialah uang.

  5 Terhadap apa diuraikan di atas,

  perikatan tersebut haruslah dilaksanakan oleh para pihak dengan etikad baik, karena bagaimanapun juga perjanjian kredit perbankan merupakan perjanjian pinjam meminjam uang sebagaimana yang telah diatur dalam bab ketiga belas buku III KUH Perdata. Di dalam perikatan yang timbul dan 5 Husain, Yunus. Hukum dan Ketentuan

  Perbankan di Indonesia , Grafiti, Jakarta, 1995, hlm : 28 harus dilaksanakan oleh pihak nasabah Pandangan Subekti, bahwa berdasarkan perjanjian kredit itu adalah perkataan wanprestasi berasal mengembalikan atau melunasi daribahasa Belanda yang berarti pinjaman atau perjanjian kredit itu, prestasi buruk. Wanprestasi atau yang dalam hal ini biasanya dilakukan kelalaian atau kealpaan seorang debitur secara mengangsur pada waktu yang dapar berupa sebagai berikut : telah ditetapkan, ini sesuai dengan a.Tidak melakukakan apa

  Pasal 1763 KUH Perdata jo Pasal 1766 yang disanggui akan ayat 2 KUH Perdata yang berbunyi : dilakukannya; Siapa yang menerima pinjaman b.Melaksanakan apa yang sesuatu diwajibkan mengembalikan dijanjikannya tetapi tidak dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang ditentukan (Pasal sebagaimana dijanjikan, 1763 KUH Perdata), selanjutnya c.Melakukan apa yang pembayaran bunga yang tidak telah diperjanjikan tidak mewajibkan dijanjikan tetapi terlambat; siberutang untuk membayarnya d.Melakukan sesuatu yang seterusnya, tetapi bunga yang telah diperjanjikan harus dibayar sampai menurut perjanjian tidak pada pengembalian atau penitipan uang boleh dilakukannya. dalam pokoknya, biarpun pengembalian atau penitipan ini telah di lakukan setelah

  Pasal 1238 menyatakan lewatnya waktu utangnya dapat ditagih bahwa: (Pasal 1766 ayat 2 KUHPerdata). Si berutang adalah lalai, apabila

  Selanjutnya jika pihak nasabah ia dengan surat perintah atau dengan ternyata tidak memenuhi kewajibannya sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan yaitu membayar angsuran pinjaman lalai, atau demi perikatannya sendiri, termasuk “beberapa bunganya” ialah jika ini menetapkan, bahwa sebagaimana seharusnya, maka siberutang harus dianggap lalai dengan nasabah tersebut dapat di katakan lewatnya waktu yang ditentukan.

  6 wanprestasi.

  Terhadap ketentuan diatas, untuk Jenis-jenis perikatan yang telah ditentukan dengan tegas tentang kapan

6 Muhammad, Abdulkadir. Hukum Dagang

  prestasi itu harus dilakukan, seperti

  Tentang Surat-surat Berharga , Alumni, Bandung, 1991

  halnya perjanjian kredit perbankan, dimana didalamnya telah dinyatakan secara tegas kapan angsuran kredit harus dibayar, maka tidak diperlukan lagi adanya surat peringatan lalai, sehab dalam hal ini pihak debitur telah lalai demi perikatannya sendiri.

7 Jika pihak nasabah yang tidak

  telah mengangsur kreditnya pada waktu-waktu yang telah ditentukan, dapat dikatakan telah lalai atau wanprestasi, tanpa perlu adanya surat peringatan atau teguran untuk itu.

  Oleh, Abdul kadir Muhammad menyatakan bahwa: Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya., menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPerdt debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.

  Berharga , Seksi Hukum Dagang, FR, UGM, Yogyakarta, 1992, hlm : 76

  Kredit di dalam perbankan dengan terjadinya wanprestasi, maka akan mengakibatkan terjadinya kredit bermasalah. Oleh karena itu dalam hal debitur wanprestasi, maka menurut

  Pasal 1267 KUHPerdt, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang labil yaitu pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai penggantian biaya rugi dan bunga atau biasa disebut dengan ganti rugi. Dengan sendirinya ia juga dapat menuntut pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi, mungkin juga ia menuntut ganti rugi saja dan juga ia dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi. Olehnya itu sebagai kesimpulan Abdulkadir Muhammad, dapat ditetapkan bahwa kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan seperti :

  a. Pemenuhan perjanjian;

  b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi c. Ganti rugi saja,

  d. Pembatalan perjanjian;

  e. Pembatalan disertai ganti rugi Tentang perikatan-perikatan pinjam meminjam, umumnya dalam hal wanprestasi pihak kreditur memiIih untuk menuntut di lakukannya

7 Prayogo, Iman dan Prakoso Djoko, Surat

  pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

  Dengan demikian dalam perjanjian kredit perbankan, bila terjadi hal wanprestasi. Pada umumnya pihak bank selaku kreditur, biasanya memilih untuk menuntut dilakukannya pemenuhan prestasi oleh pihak nasabah disertai dengan ganti rugi atau bunga. Oleh karena itu adalah sebesar nilai kreditnya ditambahdengan bunga atas keterlambatan pembayaran itu. Sehubungan dengan upaya hukum atau hak yang dapat dilakukan oleh pihak kreditur tersebut, maka bilamana kreditur memiliki hak gadai yang diperoleh berdasarkan perjanjian pengikatan jaminan atas barang, kreditur tersebut dapat mengajukan permohonan untuk dilakukannya eksekusi atau penjualan barangjaminanatas obyek gadai.

  Dengan adanya permohonan diatas lalu akan dikeluarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan, dilakukannya penjualan Ielang alas obyek gadai “ yang merupakan harta kekayaan milik pihak debitur” melalui kantor pelelangan umum guna pelunasan hutang debitur kepada kreditur. Namun khusus bilamana hak gadai yang dimiliki oleh pihak kreditur tersebut adalah gadai atas bilyet giro piutang atas nama (op naam), maka dalam hal pihak kreditur wanprestasi dan dalam rangka peunasan hutang debitur kepada kreditur atas bilyet giro tersebut, tidak perlu dilakukan penjualan secara lelang.

  Apa yang dikemukakan di atas, berarti kreditur tersehut tidak perlu mengajukan permohonan eksekusi lelang kepada Ketua Pengadilan Negeri terlebih dahulu. Dalam rangka pelunasan hutang tersebut, maka pihak bank selaku kreditur dapat secara

  Iangsung menagihnya kepada pihak penerbit bilyet giro itu atau Iangsung dapat meminta agar dilakukan booking transfer atau pemindah bukuan rekening, yang dalam halini dari rekening penerbit ke dalam rekeningnya yang tersimpan dalam bank penerima.

  Selanjutnya hal ini dimungkinkan karena pihak bank dalam hal ini memegang hak cessie atau gadai cessie, sehingga menggantikan kedudukan pihak debitur selaku pemegang bilyet giro tersebut. Dengan demikian berdasarkan secara cessic atau cessie tersebut, pihak bank berhak penyerahan hak. untuk meminta dilakukannya booking 2.

  Bilamana pihak nasabah transfer pada saat tanggal efektif bilyet cedera janji dalam hal pihak giro itu tiba guna pelunasan hutang bank memiliki agunan bilyet debitur kepada pihak bank. Jadi atas giro, maka upaya hukum bilyet giro yang dipakai agunan kredit yang dapat dilakukan oleh tersebut, tidak perlu dilakukan pihak bank tersebut adalah penjualan lelang terlebih dahulu sebab dengan meminta untuk selain hal tersebut tidak umum dilakukannya booking dilakukan dalam praktek. transfer atau pemindahbukuan rekening,

III. PENUTUP dan rekening pihak penerbit A.

  kedalam rekeningnya yang

   Kesimpulan 1.

  tersimpan di hank penerima Jika suatu surat berharga

  (bilyet giro) telah memenuhi pada saat tanggal efektifnya syarat formal, maka bilyet jatuh tempo, secara giro dipakai sebagai agunan langsung tanpa harus kredit bank melalui melalui penjualan lelang pengikatan jaminan secara atas bilyet giro itu guna gadai atau gadai cessie. pelunasan hutang nasabah Bilyet giro yang diterbitkan kepada pihak bank yang dengan memenuhi syarat bersangkutan. formal, termasuk dalam B.

   Saran

  piutang opnaam atau Disarankan bahwa dalam piutang atas nama, sehingga penerbitan bilyet giro sebagai surat dapat dikategorikan sebagai berharga, maka yang perlu diperhatikan kebendaan bergerak tak adalah syarat

  • – syarat formal, sehingga bertubuh dan dapat dapat diletakkan sebagai objek gadai diletakkan sebagai obyek untuk ditetapkan sebagai jaminan gadai melalui penyerahan terhadap upaya pelunasan utang dapat
ditempuh secara cepat tanpa melalui lelang, kepada pihak bank dalam hal nasabah wanprestasi atau cedera janji, maka pihak bank langsung meminta dilakukan nooking. Transfer atas bilyet giro yang diletakkan sebagai jaminan.

  

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

  Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 1996

  Fuady, Munir, Hukum. Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

  Husain, Yunus. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1995

  Muhammad, Abdulkadir. Hukum Dagang Tentang Surat-surat Berharga, Alumni, Bandung, 1991

  Prayogo, Iman dan Prakoso Djoko, Surat Berharga, Seksi Hukum Dagang, FR, UGM, Yogyakarta, 1992

B. Peraturan Perundang-Undangan

  1.Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1992 tentang Pokok-pokok Perbankan

  2.Undang-undang Nomor: 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-pokok Perbankan