Topik Utama Topik Utama Topik Utama Topi (1)
Topik Utama
TANTANGAN DALAM PENINGKATAN NILAI TAMBAH
MINERAL DAN BATUBARA
Darsa Permana
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
[email protected]
SARI
Sesuai dengan pasal 102 dan pasal 103 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,
maka pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi Produksi khusus
pengolahan dan pemurnian wajib melakukan peningkatan nilai tambah terhadap mineral atau
batubara yang diproduksinya. Ketentuan ini langsung mengikat bagi mereka yang akan berinvestasi
di bidang pertambangan mineral dan batubara, serta diberi kesempatan lima tahun kepada
perusahaan yang sedang berjalan (existing) setelah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
diberlakukan.
Upaya untuk meningkatkan nilai tambah mineral dan batubara ternyata dihadapkan kepada
tantangan yang cukup besar, meskipun tetap memberikan harapan bagi terealisasinya kedua
peraturan di atas. Tantangan ini tidak saja akan dihadapi oleh perusahaan, tetapi juga pemerintah.
Tantangan terbesar pemerintah adalah bagaimana menyiapkan infrastruktur, fisik dan nonfisik,
yang dirasakan masih minim, sehingga perusahaan memperoleh jaminan terhadap investasi yang
ditanamkan untuk peningkatan nilai tambah. Sedangkan tantangan perusahaan yang cukup krusial
adalah "merekonstruksi" investasi yang akan ditanamkan berikut keuntungan yang akan diperoleh.
Kata kunci : peningkatan nilai tambah mineral dan batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010, tantangan, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009.
1. PENDAHULUAN
Isu tentang peningkatan nilai tambah PNT
mineral dan batubara (PNT minerba) merebak
bagaikan jamur di musim hujan dalam beberapa
bulan terakhir. Hal ini tidak terlepas dari upaya
pemerintah untuk memenuhi salah satu
ketentuan dalam pasal 102 dan pasal 103
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU No.4/
2009) tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, yang kemudian dijabarkan dalam
4
pasal-pasal pada Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2010 (PP No.23/2010) tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara. Substansi ketentuan yang
mengatur PNT minerba dari kedua peraturan ini
adalah adanya kewajiban bagi pemegang Izin
Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi,
IUP Khusus (IUPK) Operasi Produksi, dan IUP
Operasi Produksi khusus pengolahan dan
pemurnian untuk melakukan PNT terhadap
mineral atau batubara yang diproduksinya.
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama
Ketentuan tentang PNT tersebut akan diatur
lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Tidak ada yang salah dengan hiruk-pikuk
siapapun - baik dari kalangan pemerintah
maupun swasta - yang mengguncingkan PNT,
sebab mereka memang sangat berkepentingan
terhadap pelaksanaan PNT. Boleh jadi, tujuan
yang ingin dicapai oleh pemerintah dan swasta
sama, yakni ingin mendapatkan keuntungan
atas pelaksanaan PNT, tetapi terjemahan atas
kata "keuntungan" itu jelas berbeda atau bahkan
mungkin bertolak belakang. Persoalannya
adalah, apakah mungkin dari perbedaan
tersebut dapat dicapai titik temu untuk
memperoleh "win-win solution", atau masingmasing pihak bersikukuh pada pendiriannya
masing-masing.
2. KRONOLOGIS
Pada saat ini, komoditas hasil tambang (mineral
dan batubara) Indonesia dijual atau diekspor
dalam bentuk yang bervariasi. Untuk mineral,
produk hasil tambang mineral logam, nonlogam,
dan batuan, umumnya dijual dalam bentuk
bahan mentah (raw material), konsentrat, atau
produk akhir (logam atau ingot); sementara
untuk batubara, umumnya dijual setelah
mengalami proses penggerusan (crushing),
pencucian (washing), atau pencampuran
(blending). Penjualan berbagai produk tersebut,
semata-mata karena jerih payah produsen
dalam memenuhi spesifikasi produk
sebagaimana tertuang dalam kontrak jual-beli
antara pihak produsen dengan pihak konsumen.
Artinya, tidak ada campur-tangan atau kebijakan
pemerintah yang mengaturnya, sehingga
produsen minerba di dalam negeri dapat menjual
produk sesuai keinginan mereka dan/atau atas
permintaan konsumennya. Namun demikian,
dalam beberapa kasus, seperti ekspor logam
timah serta jenis mineral nonlogam dan batuan
tertentu, telah ada pengaturan dari Keputusan
Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan,
yang mewajibkan agar komoditas tersebut
diolah terlebih dulu atau memenuhi persyaratan
tertentu sebelum diekspor.
Keanekaragaman penjualan produk tambang di
atas tidak terlepas dari kemauan politik
pemerintah yang saat itu menginginkan agar
investasi bidang pertambangan minerba terus
meningkat, sehingga kebijakan pun hanya
difokuskan pada upaya menciptakan iklim usaha
yang kondusif. Sesuatu yang mudah dipahami,
mengingat pada awal era pembangunan
nasional (akhir tahun 60-an) dan beberapa tahun
ke depan, Indonesia membutuhkan investor,
terutama investor asing, untuk menggali sumber
daya minerba agar dapat diubah dari kekuatan
ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi
riil. Dan kenyataan memang membuktikan,
penerimaan negara dari subsektor
pertambangan minerba mengalami peningkatan
secara signifikan selama dua tahun terakhir
(Tabel 1). Meskipun relatif kecil dibandingkan
dengan subsektor pertambangan minyak dan
gas bumi, penerimaan negara dari subsektor
pertambangan minerba ini memiliki kelebihan
Tabel 1. Penerimaan negara dari pertambangan umum, 2008-2009
(miliar rupiah)
URAIAN
TAHUN
2008
2009
PENERIMAAN PERTAMBANGAN UMUM
47.895,26
51.845,37
a. Pajak Pertambangan Umum
35.390,10
36.526,03
b. PNBP Pertambangan Umum
12,505,16
15.319,34
Tantangan Dalam Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara ; Darsa Permana
5
Topik Utama
lain, terutama dilihat dari aspek penyerapan
tenaga kerja dan kandungan lokal (local
content), serta efek ganda (multiplier effect)
lainnya, sehingga mampu memposisikan dirinya
sebagai penggerak pembangunan di daerah
dan pusat pertumbuhan.
pengimpor mineral (dalam bentuk bahan
setengah jadi dan bahan jadi). Hebatnya lagi, baik
ekspor maupun impor, dari tahun ke tahun tidak
kunjung menurun atau bahkan cenderung
meningkat, baik dari segi jumlah maupun nilai.
Pembangunan nasional yang terus berlanjut di
berbagai sektor, telah mendorong sektor industri
(manufaktur), termasuk industri pengguna
mineral (dan batubara), tumbuh sesuai dengan
dinamika pembangunan itu sendiri. Tidak
mengherankan jika kebutuhan, khususnya
kebutuhan berbagai jenis mineral, terus
meningkat, yang sayangnya, banyak dipasok
dari luar negeri (Tabel 2). Sebuah ironi pun terjadi
di negeri yang memiliki sumber daya cukup
besar di dunia dan penghasil berbagai jenis
mineral terkemuka ini; di satu sisi Indonesia
dikenal sebagai pengekspor mineral (dalam
bentuk bahan mentah), tetapi di sisi
lainmenjalankan peran pula sebagai negara
3. MENGAPA PNT?
Secara umum, angka ekspor berbagai komoditi
minerba yang tinggi memang telah berdampak
positif pada penyerapan tenaga kerja,
penerimaan negara, dan lain-lain, namun, di sisi
lain, angka impor yang juga tidak kalah tinggi
telah berdampak negatif, yang jika dihitung, pasti
lebih besar daripada dampak positif yang
diperoleh. Betapa tidak? Mengekspor komoditi
dalam bentuk material kasar, bongkahan atau
wantah (raw material) telah menghasilkan devisa
bagi negara, tetapi mengimpor komiditi dalam
bentuk bahan setengah jadi atau bahan jadi juga
menyedot devisa negara yang bukan tidak
Tabel 2.
Perkembangan volume dan nilai impor mineral dan batubara, 2005-2009
PERKEMBANGAN VOLUME DAN NILAI IMPOR MINERAL DAN BATUBARA, TAHUN 2005 2009
MINERAL
1. BIJIH BESI
2. TEMBAGA
3. NIKEL
4. ALUMUNIUM
5. TIMAH HITAM
6 B. TIMAH
7 KAPUR
8. BENTONIT
9. FELSPAR
10. KAOLIN
11. ZIRKON
12 PASIR KUARSA
13. MARMER
14. GRANIT
15 BATU ORNAMEN
16 BATUBARA
SATUAN
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
2005
1,548,488
184,440,780
47,805
44,022,375
0
17,850
2,320
506,787
3
5,814
155
72,752
83,459
10,671,817
63,445
8,295,569
165,868
11,349,488
141,482
28,639,843
16,131
18,097,728
58,506
3,288,117
35,887
7,124,637
27,914
5,492,011
64,799
3,189,112
152,816
24,548,929
2006
1,777,198
184,785,478
25,001
36,097,406
4
4,278
1,539
317,789
2
12,303
687
357,905
143,476
15,352,339
89,787
8,078,281
201,455
12,716,729
160,200
34,040,941
13,422
16,158,183
50,578
2,684,755
41,463
10,789,083
29,733
6,637,529
148,984
5,000,493
155,722
21,932,952
2007
1,737,458
190,994,485
30
45,475
0
127
1,619
413,923
5,884
792,802
46
28,139
162,530
19,070,848
85,128
9,427,530
202,049
13,202,364
142,672
29,407,256
14,333
16,241,791
45,264
4,004,262
44,210
11,795,865
22,252
5,465,507
151,625
4,872,835
111,541
18,831,431
2008
2,419,438
447,692,430
79
45,728
25
41,239
1,877
848,143
4,028
2,642,581
491
550,562
221,569
26,382,513
127,359
17,000,813
276,103
23,134,341
154,239
37,329,815
19,623
21,861,719
56,979
4,587,677
51,330
15,690,454
95,638
10,808,005
204,568
6,394,041
156,454
45,511,681
2009
1,368,630
184,695,494
10,042
14,592,673
0
1,294
1,174
669,736
2,431
1,531,785
126
175,380
262,849
23,412,048
145,889
14,682,012
220,851
15,897,512
96,963
24,679,488
15,270
17,074,646
47,761
3,594,636
36,923
9,296,609
24,714
7,198,615
111,467
3,871,032
118,953
39,360,918
Sumber : BPS, 2010 (diolah kembali)
6
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama
mungkin lebih besar daripada sekedar
memperoleh devisa dari menjual komoditi yang
diekspor. Hal ini disebabkan harga komoditi yang
diimpor lebih mahal daripada yang diekspor, yang
notabene komoditi tersebut juga berasal dari
Indonesia. Dalam "bahasa" yang berbeda,
negara pengolah bahan tambang memperoleh
nilai tambah dari bahan tambang yang diimpor
dari Indonesia, dan mampu mengembangkan
industri pengolahan beserta efek ganda
(multiplier effects) atas keberadaan industri
pengolahan tersebut. Bayangkan jika pabrik
pengolahan (smelter) itu dapat dibangun di
Indonesia, maka berbagai peluang akan didapat
oleh Indonesia, seperti kesempatan kerja,
peluang usaha, dan penerimaan negara lebih
besar, serta yang tidak kalah penting adalah:
industri di dalam negeri tidak tergantung pada
barang/bahan baku impor, sehingga
kelangsungan industri tetap terjamin, yang pada
gilirannya mampu menjamin kelanjutan
pembangunan nasional.
Oleh karena itu, berdasarkan kenyataan di atas,
upaya untuk mem-PNT-kan berbagai jenis
komoditi minerba merupakan satu-satunya cara
yang paling ampuh serta harus ditempuh oleh
pemerintah, dan menjadi salah satu kata kunci
untuk memandirikan bangsa ini.
Sesuai dengan penjelasan pasal 95 ayat (2) PP
No.23/2010, PNT bertujuan untuk meningkatkan
dan mengoptimalkan nilai tambang, tersedianya
bahan baku di dalam negeri, serta meningkatan
penyerapan tenaga kerja dan penerimaan
negara. Jelas dari tujuan tersebut bahwa, dalam
pengertian sempit, PNT sebenarnya diarahkan
untuk keuntungan bagi seluruh pemangku
kepentingan, yaitu: 1) perusahaan tambang
(berupa peningkatan "nilai jual" sebuah
tambang); 2) perusahaan industri manufaktur
(berupa ketersediaan bahan baku yang berasal
dari dalam negeri domestik yang diharapkan
lebih murah dan terjamin); 3) masyarakat luas
(berupa ketersediaan lapangan kerja dan
kesempatan berusaha baru akibat dibangunnya
pabrik pengolahan/pemurnian); dan 4)
pemerintah (berupa peningkatan penerimaan
negara). Dalam pengertian yang lebih luas, PNT
pada dasanya bermuara kepada upaya
peningkatan ketahanan negara, baik di bidang
industri maupun energi.
Berdasarkan perhitungan di atas kertas, yang
tertuang dalam "Kajian Akademis", Puslitbang
Teknologi Mineral dan Batubara telah
memperoleh angka-angka hasil PNT berbagai
jenis mineral (Tabel 3 dan Tabel 4) dan batubara
(lihat Tabel 1 Nilai Tambah Teknologi Pengolahan
Batubara pada artikel Gandhi KH halaman 21).
Perhitungan didasarkan kepada; pertama,
membagi harga jual setelah dan sebelum
dilakukan PNT, sehingga diperoleh kelipatan dari
suatu mineral atau batubara yang di-PNT-kan;
kedua, membuat hitung-hitungan keekonomian,
mulai dari besarnya investasi, suku bunga, aliran
kas (cash flow), produksi minimum, dan lain-lain.
4. TANTANGAN "MEM-PTN-KAN"
MINERBA
Sudah barang tentu cukup banyak - atau bahkan
banyak sekali - tantangan dalam rangka
mewujudkan "sesuatu yang baru" di tengah
kemapanan yang telah tercipta dan kenikmatan
yang telah diperoleh selama ini; tantangan yang
bukan saja akan dihadapi oleh perusahaan,
tetapi juga oleh pemerintah sendiri.
Pemerintah
Sebagai "penguasa tunggal" mineral dan
batubara, tantangan pertama pemerintah adalah
menyiapkan infrastruktur fisik dan nonfisik.
Termasuk ke dalam infrastruktur fisik adalah
prasarana jalan, energi, dan lain-lain, sedangkan
infrastruktur nonfisik berupa data dan informasi,
penyediaan peraturan, dan bahkan pola pikir
(mind set) dalam mengelola pertambangan
minerba.
Kondisi infrastruktur di Indonesia terbilang payah
dan tertinggal jauh dibandingkan dengan negaranegara ekonomi utama di kawasan Asia
Tenggara. Berdasarkan hasil kajian dan laporan
Tantangan Dalam Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara ; Darsa Permana
7
Topik Utama
Tabel 3. Peningkatan nilai tambah mineral logam
KOMODITI
1.Bijih bauksit
JENIS PRODUK
bijih/washed bauksit
alumina
alumina hidrat
alumunium
HARGA
NILAI INPUT ANTARA
$/ton
NILAI TAMBAH
25,00
8,75
16,25
500,00
175,00
325,00
600,00
210,00
390,00
2.500,00
875,00
1.625,00
2.Pasir dan bijih besi bijih
sponge iron
80,00
28,00
52,00
baja
pig iron
700,00
245,00
455,00
by prduct slag
10,00
3,50
6,50
titanium oksida
vanadium oksida
3.Bijih tembaga
1.885,00
-
659,75
1.225,25
konsentrat
logam tembaga
7.203,00
2.521,05
4.681,95
baja
4.700,00
1.645,00
3.055,00
by product slime :
Emas (Au)
42.239.858,91
14.783.950,62
27.455.908,29
Perak (Ag)
631.040,56
220.864,20
410.176,37
Telerium (Te)
249.000,00
87.150,00
161.850,00
241.260.317,46
84.441.111,11
156.819.206,35
2.046.000,00
716.100,00
1.329.900,00
1.300.000,00
455.000,00
845.000,00
Paladium (Pd)
Timbal (Pb)
Limbah gas SO2 :
Asam sulfat (Rp)
Gipsum :
crude gipsum
calcined gipsum
4. Bijih Nikel
7,31
2,56
4,75
21,10
7,39
13,72
bijih
fero nikel
nikel matte
baja
1.000,00
350,00
650,00
18.172,00
6.360,20
11.811,80
700,00
245,00
455,00
52.760,00
18.466,00
34.294,00
25.130,00
8.795,50
16.334,50
10.000,00
3.500,00
6.500,00
7.583,90
2.654,37
-
4.929,54
-
by product tailing/slag :
Cromium (Cr)
Cobalt (Co)
Slag :
Precious slag ball
nikel
5. Timah
konsentrat (70% SnO2)
logam timah (99,85%)
by product Tailing :
-
besi
ilmenite (min 54% TiO2)
rutile (min 80-95% TiO2)
TiO2
80,00
WO3 concentrate wolfram
Thorium nitrate, mantle grade
Thorium nitrate, welding grade
Thorium oxide (min 99,9%)
Thorium oxide (min 99,99%)
52,00
555,00
194,25
360,75
794,50
1.475,50
4,08
1,43
2,65
140,00
49,00
91,00
-
Monazite concentrate (kan
dungan Thorium)
-
28,00
2.270,00
REO (rare earth oxide)
concentrate
-
-
-
-
-
400,00
140,00
260,00
27.000,00
9.450,00
17.550,00
5.460,00
1.911,00
3.549,00
83.500,00
29.225,00
54.275,00
107.250,00
37.537,50
69.712,50
Ytrium oxide (min 99,0-99,99%)
85.000,00
29.750,00
55.250,00
Ytrium metal (min 99,0-99,9%)
115.000,00
40.250,00
74.750,00
antimon
3.196,70
48.501,00
1.118,85
2.077,86
16.975,35
31.525,65
Zircon
Keterangan : nilai input antara mineral logam dan bukan logam diasumsikan 35% dari harga jual
8
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama
Tabel 4. Peningkatan nilai tambah mineral bukan logam
KOMODITI
PRODUK UTAMA
HARGA
INPUT NILAI ANTARA
NILAI TAMBAH
Rp/ton
1.Feldspar
tanpa diolah (bahan keramik)
hasil blending
konsentrat feldspar
(hasil flotasi)
slime :
Clay berfeldspar (tailing 1)
Mika (tailing 2)
Kuarsa (tailing 3)
(bahan kaca dan keramik)
Besi Oksida (tailing 4)
(bahan pewarna/pigment)
230.000,00
520.000,00
80.500,00
149.500,00
182.000,00
338.000,00
1.150.000,00
402.500,00
747.500,00
160.000,00
170.000,00
56.000,00
104.000,00
59.500,00
110.500,00
250.000,00
87.500,00
162.500,00
26.250,00
48.750,00
75.000,00
$/ton
2. Zircon
wantah
Standar
Premium grade (bahan
refraktori)
Intermediate (bahan
keramik)
Chemical grade
Zirconia electronic grade
Zr untuk industri nuklir
Hafnium untuk industri
nuklir
by product Niobium
REO concentrate
Ytirum concentrate
25,00
640,00
8,75
16,25
224,00
416,00
750,00
262,50
487,50
700,00
4.000,00
25.000,00
250.000,00
8.750,00
16.250,00
87.500,00
162.500,00
350.000,00
122.500,00
227.500,00
60.000,00
8.500,00
13.000,00
21.000,00
39.000,00
2.975,00
5.525,00
4.550,00
8.450,00
245,00
455,00
1.400,00
2.600,00
Keterangan : nilai input antara mineral logam dan bukan logam diasumsikan 35% dari harga jual
Sumber: Kajian Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah, tekMIRA, 2010
terbaru Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas), Bank Pembangunan Asia
(Asia Development Bank/ADB), dan Organisasi
Buruh Internasional (International Labour
Organization/ ILO) bertajuk "Indonesia Critical
Constraints", ketersediaan dan kualitas
infrastruktur menjadi salah satu dari tiga
masalah yang harus segera dibenahi
Pemerintah Indonesia.
Berdasarkan World Economic Forum Report
2010, kualitas infrastruktur Indonesia secara
keseluruhan berada di peringkat ke-96 dari 133
negara yang diteliti. Posisi ini jauh di belakang
dua negara tetangga, Malaysia dan Thailand,
yang masing-masing berada di peringkat 27 dan
41. Kendala kritis dalam pembangunan
infrastruktur adalah lantaran rendahnya investasi
publik, lemahnya kemitraan pemerintah dan
swasta, dan minimnya investasi swasta,
termasuk penanaman modal langsung oleh
asing. Adapun faktor yang berdampak negatif
pada pembangunan infrastruktur di Indonesia
antara lain pembebasan lahan yang sulit,
kapasitas sumber daya manusia dan
kelembagaan yang masih lemah, tata kelola
pemerintah yang buruk, serta pembiayaan yang
minim.
Infrastruktur energi juga terbilang masih minim;
jangankan untuk kepentingan industri, untuk
masyarakat luas saja pemerintah belum mampu
menyediakan energi secara memadai. Boleh jadi
pembangkit listrik harus dibangun sendiri oleh
pihak perusahaan, dan hal ini mungkin bukan
masalah buat mereka. Persoalannya tidak ada
Tantangan Dalam Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara ; Darsa Permana
9
Topik Utama
jaminan dari pemerintah mengenai pasokan
untuk bahan bakar pembangkit listrik tersebut.
Akibatnya operasi produksi dapat terganggu
ketika pasokan bahan bakar mengalami
kendala.
kepentingan negara dalam jangka panjang,
niscaya akan menjadi batu sandungan dalam
penerapan dan pelaksanaan PNT.
Sementara tentang infrastruktur nonfisik, di
bidang data dan informasi, pemerintah terkesan
kurang serius menanganinya. Orang bijak
mengatakan, memperoleh data (dan informasi)
itu mahal, tetapi lebih mahal lagi membangun
tanpa data (dan informasi). Sama halnya
dengan infrastruktur jalan, kekurangseriusan
pemerintah menangani data dan informasi
menyebabkan calon investor harus
mengeluarkan biaya ekstra, sehingga dapat
mengurangi daya tarik Indonesia di mata
mereka.
Di manapun dan kapanpun, perusahan selalu
berorientasi kepada mencari untung sebanyakbanyaknya, yang bila ada peluang, harus
dilakukan dengan cara enteng - untuk tidak
dikatakan dengan cara melanggar peraturan.
Terlebih-lebih di bidang pertambangan minerba
yang notabene dikenal sebagai bidang usaha
yang memakai teknologi tinggi, padat
modal,berisiko, serta tingkat pengembalian
modal relatif lama, setiap perusahaan pasti
berupaya mencari celah untuk menekan semua
risiko tersebut ke tingkat minimal.
Ditinjau dari segi peraturan, sebenarnya
pemerintah telah banyak mengeluarkan
peraturan yang memberi ruang bagi pengusaha
untuk mendapatkan insentif bagi bidang usaha
tertentu dan di wilayah tertentu. Peraturan yang
dikeluarkan oleh berbagai kementerian atau
lembaga pemerintah setingkat kementerian di
tingkat Pusat, serta pemerintah daerah,
seringkali kurang tersosialisasi dengan baik.
Kalaupun dapat diketahui oleh pengusaha, tetapi
dengan berbagai alasan, ternyata cukup berbelitbalit atau bahkan sulit direalisasikan.
Ketentuan untuk melaksanakan PNT jelas
menjadi beban baru bagi perusahaan yang
sedang berjalan (existing). Memang iming-iming
keuntungan yang akan diraih bisa lebih besar,
tetapi persoalan yang dihadapi pasti lebih rumit,
baik secara teknis maupun nonteknis. Sebab,
selain perlu kajian ulang yang menyangkut
besarnya investasi, suku bunga, pengembalian
modal, dan lain-lain, juga yang tak kalah rumit
adalah mengubah segmen pasar. Rentetan
terhadap perubahan segmen pasar akan
berakibat pencarian pelanggan baru dan
kompetitor baru.
Last but not least, dari seluruh faktor yang dapat
diukur (tangible) seperti diuraikan di atas, masih
ada faktor lain yang tidak dapat diukur
(intangible) tapi menentukan, yaitu terkait
dengan pola pikir (mind set) dari instansi
pengelola pertambangan minerba. Sebaik
apapun jalan, energi, data dan informasi, serta
peraturan dibuat oleh pemerintah untuk
menyukseskan program PNT, diyakini tidak
akan pernah berjalan selama sikap mental
orang-orang yang berada di balik pengelolaan
pertambangan minerba masih seperti
sekarang. Orientasi kepada peningkatan
penerimaan negara, terutama penerimaan
daerah yang mengatasnamakan otonomi
daerah, semata-mata dengan mengabaikan
10
Perusahaan
"Beban kerumitan" juga akan dialami oleh
perusahaan (calon investor) yang baru mau
masuk ke bidang pertambangan, tetapi jelas
memiliki kualitas dan kuantitas yang lebih ringan
karena mereka dapat mempersiapkan lebih awal
perencanaan investasi sembari melihat
perkembangan yang ada; siapa tahu ada
perubahan kebijakan yang "menguntungkan"
investor baru. Jika menguntungkan, mereka
pasti masuk; jika tidak, maka otomatis mereka
akan mengurungkan niatnya untuk berinvestasi
di bidang pertambangan.
Dengan melihat dua sisi seperti gambaran di
atas, yaitu sisi pemerintah dan sisi perusahaan,
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama
maka permasalahannya ibarat "telur dan ayam";
apakah pemerintah harus menyiapkan berbagai
sarana secara komprehensif terlebih dulu baru
perusahaan melakukan PNT (opsi pertama),
atau perusahaan melakukan PNT terlebih dulu
sesuai perintah undang-undang baru
pemerintah menyiapkan sarana secara bertahap
(opsi kedua). Jelas bahwa perusahaan
menginginkan opsi pertama, sedangkan
pemerintah pasti lebih memilih opsi kedua.
Dengan alasan amanat undang-undang, tidak
ada pilihan lain kecuali menjalankan opsi kedua.
Persoalannya
adalah,
bagaimana
pemerintahmenyiapkan sarana secara optimal
agar "kerugian" perusahaan dapat diminimalkan.
Dalam konteks seperti ini, sudah sepatutnya
Kementerian ESDM melakukan langkah cepat
sesuai kewenangan yang dimilikinya sembari
melakukan koordinasi dengan Kementerian/
instansi terkait secara lebih intens.
Langkah pertama yang perlu diambil adalah
mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM tentang
tata cara PNT minerba sesuai amanat yang
terkandung dalam pasal 96 Peraturan
Pemerintah No.23/2010. Langkah selanjutnya
adalah mengeluarkan berbagai Keputusan
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara sebagai
petunjuk teknis dalam pelaksanaan PNT
minerba, seperti aturan teknis, pengawasan,
pembuatan road map PNT minerba, dan lainlain. Dalam proses pembuatan peraturan ini
pemangku kepentingan perlu dilibatkan agar
terjadi interaksi antara pemerintah cq
Kementerian ESDM dengan perusahaan
tambang. Memang akan berat mengingat
penanganan infrastruktur untuk kepentingan
subsektor pertambangan minerba, boleh jadi,
bukan termasuk skala prioritas bagi instansi lain
tersebut. Untuk itu diperlukan pendekatan - lobby
- terhadap para petinggi di masing-masing
Kementerian, bahkan, jika perlu, sampai ke
lembaga legislatif.
5. PENUTUP
Dalam acara diskusi MNC Business Channel
"Infrastructure Alternative Financing" (Jakarta,
29/9/2010), Jusuf Kalla mengatakan bahwa
masalah birokrasi di level pemerintah yang
terlalu banyak aturan menjadi salah satu faktor
penghambat pembangunan infrastruktur (fisik)
di Indonesia. Sebenarnya banyak investor yang
mau ikut berinvestasi asalkan pemerintah mau
memberikan jaminan dan kepastian hukum.
Penggunaan kekuatan negara seperti
memberikan jaminan kepada investor bukan
sesuatu yang melanggar aturan, tetapi
merupakan salah satu bukti keseriusan
pemerintah dalam pembangunan infrastruktur
untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari
negara lain. Jusuf Kalla berkesimpulan,
diperlukan perubahan pola pikir (mind set) untuk
mengatasi semua ini (http://www.okezone.com/
, 30 September 2010).
Kutipan ucapan mantan Wakil Presiden di atas
seakan mewakili kondisi birokrasi di Indonesia
secara keseluruhan, termasuk di bidang
pertambangan minerba yang kini tengah
dihadapkan kepada upaya merealisasikan PNT
minerba. Oleh karena itu, tantangan terbesar
yang kini dihadapi dalam PNT minerba adalah
perlunya jaminan terhadap keberlangsungan
investasi - terlebih investasi di bidang
pertambangan minerba relatif sangat besar
dengan risiko tinggi, sehingga investor merasa
nyaman (secure) dalam menjalankan usahanya.
Dalam konteks yang sama, selama pola pikir
birokrat berorientasi pada peningkatan
pendapatan negara/daerah dalam jangka
pendek (instan), selama itu PNT minerba sulit
untuk berjalan dengan mulus.
Perlu pula disadari bahwa keberhasilan dalam
merealisasikan program PNT minerba akan
sangat menguntungkan kepada negara; bukan
semata-mata pemerintah yang akan
menikmatinya, tetapi juga perusahaan dan
masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Tantangan Dalam Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara ; Darsa Permana
11
Topik Utama
.DAFTAR PUSTAKA
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara,
2010, Kajian Akademis Peningkatan Nilai
Tambah Mineral dan Batubara, Laporan,
Bandung.
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara,
2010, Kajian Kebijakan Peningkatan Nilai
Tambah Mineral dan Batubara, Laporan,
Bandung.
12
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, Jakarta.
Meryani, A., 2010, JK: Birokrasi Pemerintah
Hambat Pembangunan Infrastruktur!, http://
lifestyle.okezone.com/read/2010/09/30/20/
377507/jk-birokrasi-pemerintah-hambatpembangunan-infrastruktur, diakses 30
September 2010
www.esdm.go.id/.../pp/.../1031-peraturanpemerintah-no23-tahun-2010.html.
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
TANTANGAN DALAM PENINGKATAN NILAI TAMBAH
MINERAL DAN BATUBARA
Darsa Permana
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara
[email protected]
SARI
Sesuai dengan pasal 102 dan pasal 103 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,
maka pemegang IUP Operasi Produksi, IUPK Operasi Produksi, dan IUP Operasi Produksi khusus
pengolahan dan pemurnian wajib melakukan peningkatan nilai tambah terhadap mineral atau
batubara yang diproduksinya. Ketentuan ini langsung mengikat bagi mereka yang akan berinvestasi
di bidang pertambangan mineral dan batubara, serta diberi kesempatan lima tahun kepada
perusahaan yang sedang berjalan (existing) setelah Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
diberlakukan.
Upaya untuk meningkatkan nilai tambah mineral dan batubara ternyata dihadapkan kepada
tantangan yang cukup besar, meskipun tetap memberikan harapan bagi terealisasinya kedua
peraturan di atas. Tantangan ini tidak saja akan dihadapi oleh perusahaan, tetapi juga pemerintah.
Tantangan terbesar pemerintah adalah bagaimana menyiapkan infrastruktur, fisik dan nonfisik,
yang dirasakan masih minim, sehingga perusahaan memperoleh jaminan terhadap investasi yang
ditanamkan untuk peningkatan nilai tambah. Sedangkan tantangan perusahaan yang cukup krusial
adalah "merekonstruksi" investasi yang akan ditanamkan berikut keuntungan yang akan diperoleh.
Kata kunci : peningkatan nilai tambah mineral dan batubara, Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010, tantangan, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009.
1. PENDAHULUAN
Isu tentang peningkatan nilai tambah PNT
mineral dan batubara (PNT minerba) merebak
bagaikan jamur di musim hujan dalam beberapa
bulan terakhir. Hal ini tidak terlepas dari upaya
pemerintah untuk memenuhi salah satu
ketentuan dalam pasal 102 dan pasal 103
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 (UU No.4/
2009) tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, yang kemudian dijabarkan dalam
4
pasal-pasal pada Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2010 (PP No.23/2010) tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara. Substansi ketentuan yang
mengatur PNT minerba dari kedua peraturan ini
adalah adanya kewajiban bagi pemegang Izin
Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi,
IUP Khusus (IUPK) Operasi Produksi, dan IUP
Operasi Produksi khusus pengolahan dan
pemurnian untuk melakukan PNT terhadap
mineral atau batubara yang diproduksinya.
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama
Ketentuan tentang PNT tersebut akan diatur
lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Tidak ada yang salah dengan hiruk-pikuk
siapapun - baik dari kalangan pemerintah
maupun swasta - yang mengguncingkan PNT,
sebab mereka memang sangat berkepentingan
terhadap pelaksanaan PNT. Boleh jadi, tujuan
yang ingin dicapai oleh pemerintah dan swasta
sama, yakni ingin mendapatkan keuntungan
atas pelaksanaan PNT, tetapi terjemahan atas
kata "keuntungan" itu jelas berbeda atau bahkan
mungkin bertolak belakang. Persoalannya
adalah, apakah mungkin dari perbedaan
tersebut dapat dicapai titik temu untuk
memperoleh "win-win solution", atau masingmasing pihak bersikukuh pada pendiriannya
masing-masing.
2. KRONOLOGIS
Pada saat ini, komoditas hasil tambang (mineral
dan batubara) Indonesia dijual atau diekspor
dalam bentuk yang bervariasi. Untuk mineral,
produk hasil tambang mineral logam, nonlogam,
dan batuan, umumnya dijual dalam bentuk
bahan mentah (raw material), konsentrat, atau
produk akhir (logam atau ingot); sementara
untuk batubara, umumnya dijual setelah
mengalami proses penggerusan (crushing),
pencucian (washing), atau pencampuran
(blending). Penjualan berbagai produk tersebut,
semata-mata karena jerih payah produsen
dalam memenuhi spesifikasi produk
sebagaimana tertuang dalam kontrak jual-beli
antara pihak produsen dengan pihak konsumen.
Artinya, tidak ada campur-tangan atau kebijakan
pemerintah yang mengaturnya, sehingga
produsen minerba di dalam negeri dapat menjual
produk sesuai keinginan mereka dan/atau atas
permintaan konsumennya. Namun demikian,
dalam beberapa kasus, seperti ekspor logam
timah serta jenis mineral nonlogam dan batuan
tertentu, telah ada pengaturan dari Keputusan
Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan,
yang mewajibkan agar komoditas tersebut
diolah terlebih dulu atau memenuhi persyaratan
tertentu sebelum diekspor.
Keanekaragaman penjualan produk tambang di
atas tidak terlepas dari kemauan politik
pemerintah yang saat itu menginginkan agar
investasi bidang pertambangan minerba terus
meningkat, sehingga kebijakan pun hanya
difokuskan pada upaya menciptakan iklim usaha
yang kondusif. Sesuatu yang mudah dipahami,
mengingat pada awal era pembangunan
nasional (akhir tahun 60-an) dan beberapa tahun
ke depan, Indonesia membutuhkan investor,
terutama investor asing, untuk menggali sumber
daya minerba agar dapat diubah dari kekuatan
ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi
riil. Dan kenyataan memang membuktikan,
penerimaan negara dari subsektor
pertambangan minerba mengalami peningkatan
secara signifikan selama dua tahun terakhir
(Tabel 1). Meskipun relatif kecil dibandingkan
dengan subsektor pertambangan minyak dan
gas bumi, penerimaan negara dari subsektor
pertambangan minerba ini memiliki kelebihan
Tabel 1. Penerimaan negara dari pertambangan umum, 2008-2009
(miliar rupiah)
URAIAN
TAHUN
2008
2009
PENERIMAAN PERTAMBANGAN UMUM
47.895,26
51.845,37
a. Pajak Pertambangan Umum
35.390,10
36.526,03
b. PNBP Pertambangan Umum
12,505,16
15.319,34
Tantangan Dalam Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara ; Darsa Permana
5
Topik Utama
lain, terutama dilihat dari aspek penyerapan
tenaga kerja dan kandungan lokal (local
content), serta efek ganda (multiplier effect)
lainnya, sehingga mampu memposisikan dirinya
sebagai penggerak pembangunan di daerah
dan pusat pertumbuhan.
pengimpor mineral (dalam bentuk bahan
setengah jadi dan bahan jadi). Hebatnya lagi, baik
ekspor maupun impor, dari tahun ke tahun tidak
kunjung menurun atau bahkan cenderung
meningkat, baik dari segi jumlah maupun nilai.
Pembangunan nasional yang terus berlanjut di
berbagai sektor, telah mendorong sektor industri
(manufaktur), termasuk industri pengguna
mineral (dan batubara), tumbuh sesuai dengan
dinamika pembangunan itu sendiri. Tidak
mengherankan jika kebutuhan, khususnya
kebutuhan berbagai jenis mineral, terus
meningkat, yang sayangnya, banyak dipasok
dari luar negeri (Tabel 2). Sebuah ironi pun terjadi
di negeri yang memiliki sumber daya cukup
besar di dunia dan penghasil berbagai jenis
mineral terkemuka ini; di satu sisi Indonesia
dikenal sebagai pengekspor mineral (dalam
bentuk bahan mentah), tetapi di sisi
lainmenjalankan peran pula sebagai negara
3. MENGAPA PNT?
Secara umum, angka ekspor berbagai komoditi
minerba yang tinggi memang telah berdampak
positif pada penyerapan tenaga kerja,
penerimaan negara, dan lain-lain, namun, di sisi
lain, angka impor yang juga tidak kalah tinggi
telah berdampak negatif, yang jika dihitung, pasti
lebih besar daripada dampak positif yang
diperoleh. Betapa tidak? Mengekspor komoditi
dalam bentuk material kasar, bongkahan atau
wantah (raw material) telah menghasilkan devisa
bagi negara, tetapi mengimpor komiditi dalam
bentuk bahan setengah jadi atau bahan jadi juga
menyedot devisa negara yang bukan tidak
Tabel 2.
Perkembangan volume dan nilai impor mineral dan batubara, 2005-2009
PERKEMBANGAN VOLUME DAN NILAI IMPOR MINERAL DAN BATUBARA, TAHUN 2005 2009
MINERAL
1. BIJIH BESI
2. TEMBAGA
3. NIKEL
4. ALUMUNIUM
5. TIMAH HITAM
6 B. TIMAH
7 KAPUR
8. BENTONIT
9. FELSPAR
10. KAOLIN
11. ZIRKON
12 PASIR KUARSA
13. MARMER
14. GRANIT
15 BATU ORNAMEN
16 BATUBARA
SATUAN
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
TON
US$
2005
1,548,488
184,440,780
47,805
44,022,375
0
17,850
2,320
506,787
3
5,814
155
72,752
83,459
10,671,817
63,445
8,295,569
165,868
11,349,488
141,482
28,639,843
16,131
18,097,728
58,506
3,288,117
35,887
7,124,637
27,914
5,492,011
64,799
3,189,112
152,816
24,548,929
2006
1,777,198
184,785,478
25,001
36,097,406
4
4,278
1,539
317,789
2
12,303
687
357,905
143,476
15,352,339
89,787
8,078,281
201,455
12,716,729
160,200
34,040,941
13,422
16,158,183
50,578
2,684,755
41,463
10,789,083
29,733
6,637,529
148,984
5,000,493
155,722
21,932,952
2007
1,737,458
190,994,485
30
45,475
0
127
1,619
413,923
5,884
792,802
46
28,139
162,530
19,070,848
85,128
9,427,530
202,049
13,202,364
142,672
29,407,256
14,333
16,241,791
45,264
4,004,262
44,210
11,795,865
22,252
5,465,507
151,625
4,872,835
111,541
18,831,431
2008
2,419,438
447,692,430
79
45,728
25
41,239
1,877
848,143
4,028
2,642,581
491
550,562
221,569
26,382,513
127,359
17,000,813
276,103
23,134,341
154,239
37,329,815
19,623
21,861,719
56,979
4,587,677
51,330
15,690,454
95,638
10,808,005
204,568
6,394,041
156,454
45,511,681
2009
1,368,630
184,695,494
10,042
14,592,673
0
1,294
1,174
669,736
2,431
1,531,785
126
175,380
262,849
23,412,048
145,889
14,682,012
220,851
15,897,512
96,963
24,679,488
15,270
17,074,646
47,761
3,594,636
36,923
9,296,609
24,714
7,198,615
111,467
3,871,032
118,953
39,360,918
Sumber : BPS, 2010 (diolah kembali)
6
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama
mungkin lebih besar daripada sekedar
memperoleh devisa dari menjual komoditi yang
diekspor. Hal ini disebabkan harga komoditi yang
diimpor lebih mahal daripada yang diekspor, yang
notabene komoditi tersebut juga berasal dari
Indonesia. Dalam "bahasa" yang berbeda,
negara pengolah bahan tambang memperoleh
nilai tambah dari bahan tambang yang diimpor
dari Indonesia, dan mampu mengembangkan
industri pengolahan beserta efek ganda
(multiplier effects) atas keberadaan industri
pengolahan tersebut. Bayangkan jika pabrik
pengolahan (smelter) itu dapat dibangun di
Indonesia, maka berbagai peluang akan didapat
oleh Indonesia, seperti kesempatan kerja,
peluang usaha, dan penerimaan negara lebih
besar, serta yang tidak kalah penting adalah:
industri di dalam negeri tidak tergantung pada
barang/bahan baku impor, sehingga
kelangsungan industri tetap terjamin, yang pada
gilirannya mampu menjamin kelanjutan
pembangunan nasional.
Oleh karena itu, berdasarkan kenyataan di atas,
upaya untuk mem-PNT-kan berbagai jenis
komoditi minerba merupakan satu-satunya cara
yang paling ampuh serta harus ditempuh oleh
pemerintah, dan menjadi salah satu kata kunci
untuk memandirikan bangsa ini.
Sesuai dengan penjelasan pasal 95 ayat (2) PP
No.23/2010, PNT bertujuan untuk meningkatkan
dan mengoptimalkan nilai tambang, tersedianya
bahan baku di dalam negeri, serta meningkatan
penyerapan tenaga kerja dan penerimaan
negara. Jelas dari tujuan tersebut bahwa, dalam
pengertian sempit, PNT sebenarnya diarahkan
untuk keuntungan bagi seluruh pemangku
kepentingan, yaitu: 1) perusahaan tambang
(berupa peningkatan "nilai jual" sebuah
tambang); 2) perusahaan industri manufaktur
(berupa ketersediaan bahan baku yang berasal
dari dalam negeri domestik yang diharapkan
lebih murah dan terjamin); 3) masyarakat luas
(berupa ketersediaan lapangan kerja dan
kesempatan berusaha baru akibat dibangunnya
pabrik pengolahan/pemurnian); dan 4)
pemerintah (berupa peningkatan penerimaan
negara). Dalam pengertian yang lebih luas, PNT
pada dasanya bermuara kepada upaya
peningkatan ketahanan negara, baik di bidang
industri maupun energi.
Berdasarkan perhitungan di atas kertas, yang
tertuang dalam "Kajian Akademis", Puslitbang
Teknologi Mineral dan Batubara telah
memperoleh angka-angka hasil PNT berbagai
jenis mineral (Tabel 3 dan Tabel 4) dan batubara
(lihat Tabel 1 Nilai Tambah Teknologi Pengolahan
Batubara pada artikel Gandhi KH halaman 21).
Perhitungan didasarkan kepada; pertama,
membagi harga jual setelah dan sebelum
dilakukan PNT, sehingga diperoleh kelipatan dari
suatu mineral atau batubara yang di-PNT-kan;
kedua, membuat hitung-hitungan keekonomian,
mulai dari besarnya investasi, suku bunga, aliran
kas (cash flow), produksi minimum, dan lain-lain.
4. TANTANGAN "MEM-PTN-KAN"
MINERBA
Sudah barang tentu cukup banyak - atau bahkan
banyak sekali - tantangan dalam rangka
mewujudkan "sesuatu yang baru" di tengah
kemapanan yang telah tercipta dan kenikmatan
yang telah diperoleh selama ini; tantangan yang
bukan saja akan dihadapi oleh perusahaan,
tetapi juga oleh pemerintah sendiri.
Pemerintah
Sebagai "penguasa tunggal" mineral dan
batubara, tantangan pertama pemerintah adalah
menyiapkan infrastruktur fisik dan nonfisik.
Termasuk ke dalam infrastruktur fisik adalah
prasarana jalan, energi, dan lain-lain, sedangkan
infrastruktur nonfisik berupa data dan informasi,
penyediaan peraturan, dan bahkan pola pikir
(mind set) dalam mengelola pertambangan
minerba.
Kondisi infrastruktur di Indonesia terbilang payah
dan tertinggal jauh dibandingkan dengan negaranegara ekonomi utama di kawasan Asia
Tenggara. Berdasarkan hasil kajian dan laporan
Tantangan Dalam Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara ; Darsa Permana
7
Topik Utama
Tabel 3. Peningkatan nilai tambah mineral logam
KOMODITI
1.Bijih bauksit
JENIS PRODUK
bijih/washed bauksit
alumina
alumina hidrat
alumunium
HARGA
NILAI INPUT ANTARA
$/ton
NILAI TAMBAH
25,00
8,75
16,25
500,00
175,00
325,00
600,00
210,00
390,00
2.500,00
875,00
1.625,00
2.Pasir dan bijih besi bijih
sponge iron
80,00
28,00
52,00
baja
pig iron
700,00
245,00
455,00
by prduct slag
10,00
3,50
6,50
titanium oksida
vanadium oksida
3.Bijih tembaga
1.885,00
-
659,75
1.225,25
konsentrat
logam tembaga
7.203,00
2.521,05
4.681,95
baja
4.700,00
1.645,00
3.055,00
by product slime :
Emas (Au)
42.239.858,91
14.783.950,62
27.455.908,29
Perak (Ag)
631.040,56
220.864,20
410.176,37
Telerium (Te)
249.000,00
87.150,00
161.850,00
241.260.317,46
84.441.111,11
156.819.206,35
2.046.000,00
716.100,00
1.329.900,00
1.300.000,00
455.000,00
845.000,00
Paladium (Pd)
Timbal (Pb)
Limbah gas SO2 :
Asam sulfat (Rp)
Gipsum :
crude gipsum
calcined gipsum
4. Bijih Nikel
7,31
2,56
4,75
21,10
7,39
13,72
bijih
fero nikel
nikel matte
baja
1.000,00
350,00
650,00
18.172,00
6.360,20
11.811,80
700,00
245,00
455,00
52.760,00
18.466,00
34.294,00
25.130,00
8.795,50
16.334,50
10.000,00
3.500,00
6.500,00
7.583,90
2.654,37
-
4.929,54
-
by product tailing/slag :
Cromium (Cr)
Cobalt (Co)
Slag :
Precious slag ball
nikel
5. Timah
konsentrat (70% SnO2)
logam timah (99,85%)
by product Tailing :
-
besi
ilmenite (min 54% TiO2)
rutile (min 80-95% TiO2)
TiO2
80,00
WO3 concentrate wolfram
Thorium nitrate, mantle grade
Thorium nitrate, welding grade
Thorium oxide (min 99,9%)
Thorium oxide (min 99,99%)
52,00
555,00
194,25
360,75
794,50
1.475,50
4,08
1,43
2,65
140,00
49,00
91,00
-
Monazite concentrate (kan
dungan Thorium)
-
28,00
2.270,00
REO (rare earth oxide)
concentrate
-
-
-
-
-
400,00
140,00
260,00
27.000,00
9.450,00
17.550,00
5.460,00
1.911,00
3.549,00
83.500,00
29.225,00
54.275,00
107.250,00
37.537,50
69.712,50
Ytrium oxide (min 99,0-99,99%)
85.000,00
29.750,00
55.250,00
Ytrium metal (min 99,0-99,9%)
115.000,00
40.250,00
74.750,00
antimon
3.196,70
48.501,00
1.118,85
2.077,86
16.975,35
31.525,65
Zircon
Keterangan : nilai input antara mineral logam dan bukan logam diasumsikan 35% dari harga jual
8
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama
Tabel 4. Peningkatan nilai tambah mineral bukan logam
KOMODITI
PRODUK UTAMA
HARGA
INPUT NILAI ANTARA
NILAI TAMBAH
Rp/ton
1.Feldspar
tanpa diolah (bahan keramik)
hasil blending
konsentrat feldspar
(hasil flotasi)
slime :
Clay berfeldspar (tailing 1)
Mika (tailing 2)
Kuarsa (tailing 3)
(bahan kaca dan keramik)
Besi Oksida (tailing 4)
(bahan pewarna/pigment)
230.000,00
520.000,00
80.500,00
149.500,00
182.000,00
338.000,00
1.150.000,00
402.500,00
747.500,00
160.000,00
170.000,00
56.000,00
104.000,00
59.500,00
110.500,00
250.000,00
87.500,00
162.500,00
26.250,00
48.750,00
75.000,00
$/ton
2. Zircon
wantah
Standar
Premium grade (bahan
refraktori)
Intermediate (bahan
keramik)
Chemical grade
Zirconia electronic grade
Zr untuk industri nuklir
Hafnium untuk industri
nuklir
by product Niobium
REO concentrate
Ytirum concentrate
25,00
640,00
8,75
16,25
224,00
416,00
750,00
262,50
487,50
700,00
4.000,00
25.000,00
250.000,00
8.750,00
16.250,00
87.500,00
162.500,00
350.000,00
122.500,00
227.500,00
60.000,00
8.500,00
13.000,00
21.000,00
39.000,00
2.975,00
5.525,00
4.550,00
8.450,00
245,00
455,00
1.400,00
2.600,00
Keterangan : nilai input antara mineral logam dan bukan logam diasumsikan 35% dari harga jual
Sumber: Kajian Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah, tekMIRA, 2010
terbaru Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas), Bank Pembangunan Asia
(Asia Development Bank/ADB), dan Organisasi
Buruh Internasional (International Labour
Organization/ ILO) bertajuk "Indonesia Critical
Constraints", ketersediaan dan kualitas
infrastruktur menjadi salah satu dari tiga
masalah yang harus segera dibenahi
Pemerintah Indonesia.
Berdasarkan World Economic Forum Report
2010, kualitas infrastruktur Indonesia secara
keseluruhan berada di peringkat ke-96 dari 133
negara yang diteliti. Posisi ini jauh di belakang
dua negara tetangga, Malaysia dan Thailand,
yang masing-masing berada di peringkat 27 dan
41. Kendala kritis dalam pembangunan
infrastruktur adalah lantaran rendahnya investasi
publik, lemahnya kemitraan pemerintah dan
swasta, dan minimnya investasi swasta,
termasuk penanaman modal langsung oleh
asing. Adapun faktor yang berdampak negatif
pada pembangunan infrastruktur di Indonesia
antara lain pembebasan lahan yang sulit,
kapasitas sumber daya manusia dan
kelembagaan yang masih lemah, tata kelola
pemerintah yang buruk, serta pembiayaan yang
minim.
Infrastruktur energi juga terbilang masih minim;
jangankan untuk kepentingan industri, untuk
masyarakat luas saja pemerintah belum mampu
menyediakan energi secara memadai. Boleh jadi
pembangkit listrik harus dibangun sendiri oleh
pihak perusahaan, dan hal ini mungkin bukan
masalah buat mereka. Persoalannya tidak ada
Tantangan Dalam Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara ; Darsa Permana
9
Topik Utama
jaminan dari pemerintah mengenai pasokan
untuk bahan bakar pembangkit listrik tersebut.
Akibatnya operasi produksi dapat terganggu
ketika pasokan bahan bakar mengalami
kendala.
kepentingan negara dalam jangka panjang,
niscaya akan menjadi batu sandungan dalam
penerapan dan pelaksanaan PNT.
Sementara tentang infrastruktur nonfisik, di
bidang data dan informasi, pemerintah terkesan
kurang serius menanganinya. Orang bijak
mengatakan, memperoleh data (dan informasi)
itu mahal, tetapi lebih mahal lagi membangun
tanpa data (dan informasi). Sama halnya
dengan infrastruktur jalan, kekurangseriusan
pemerintah menangani data dan informasi
menyebabkan calon investor harus
mengeluarkan biaya ekstra, sehingga dapat
mengurangi daya tarik Indonesia di mata
mereka.
Di manapun dan kapanpun, perusahan selalu
berorientasi kepada mencari untung sebanyakbanyaknya, yang bila ada peluang, harus
dilakukan dengan cara enteng - untuk tidak
dikatakan dengan cara melanggar peraturan.
Terlebih-lebih di bidang pertambangan minerba
yang notabene dikenal sebagai bidang usaha
yang memakai teknologi tinggi, padat
modal,berisiko, serta tingkat pengembalian
modal relatif lama, setiap perusahaan pasti
berupaya mencari celah untuk menekan semua
risiko tersebut ke tingkat minimal.
Ditinjau dari segi peraturan, sebenarnya
pemerintah telah banyak mengeluarkan
peraturan yang memberi ruang bagi pengusaha
untuk mendapatkan insentif bagi bidang usaha
tertentu dan di wilayah tertentu. Peraturan yang
dikeluarkan oleh berbagai kementerian atau
lembaga pemerintah setingkat kementerian di
tingkat Pusat, serta pemerintah daerah,
seringkali kurang tersosialisasi dengan baik.
Kalaupun dapat diketahui oleh pengusaha, tetapi
dengan berbagai alasan, ternyata cukup berbelitbalit atau bahkan sulit direalisasikan.
Ketentuan untuk melaksanakan PNT jelas
menjadi beban baru bagi perusahaan yang
sedang berjalan (existing). Memang iming-iming
keuntungan yang akan diraih bisa lebih besar,
tetapi persoalan yang dihadapi pasti lebih rumit,
baik secara teknis maupun nonteknis. Sebab,
selain perlu kajian ulang yang menyangkut
besarnya investasi, suku bunga, pengembalian
modal, dan lain-lain, juga yang tak kalah rumit
adalah mengubah segmen pasar. Rentetan
terhadap perubahan segmen pasar akan
berakibat pencarian pelanggan baru dan
kompetitor baru.
Last but not least, dari seluruh faktor yang dapat
diukur (tangible) seperti diuraikan di atas, masih
ada faktor lain yang tidak dapat diukur
(intangible) tapi menentukan, yaitu terkait
dengan pola pikir (mind set) dari instansi
pengelola pertambangan minerba. Sebaik
apapun jalan, energi, data dan informasi, serta
peraturan dibuat oleh pemerintah untuk
menyukseskan program PNT, diyakini tidak
akan pernah berjalan selama sikap mental
orang-orang yang berada di balik pengelolaan
pertambangan minerba masih seperti
sekarang. Orientasi kepada peningkatan
penerimaan negara, terutama penerimaan
daerah yang mengatasnamakan otonomi
daerah, semata-mata dengan mengabaikan
10
Perusahaan
"Beban kerumitan" juga akan dialami oleh
perusahaan (calon investor) yang baru mau
masuk ke bidang pertambangan, tetapi jelas
memiliki kualitas dan kuantitas yang lebih ringan
karena mereka dapat mempersiapkan lebih awal
perencanaan investasi sembari melihat
perkembangan yang ada; siapa tahu ada
perubahan kebijakan yang "menguntungkan"
investor baru. Jika menguntungkan, mereka
pasti masuk; jika tidak, maka otomatis mereka
akan mengurungkan niatnya untuk berinvestasi
di bidang pertambangan.
Dengan melihat dua sisi seperti gambaran di
atas, yaitu sisi pemerintah dan sisi perusahaan,
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010
Topik Utama
maka permasalahannya ibarat "telur dan ayam";
apakah pemerintah harus menyiapkan berbagai
sarana secara komprehensif terlebih dulu baru
perusahaan melakukan PNT (opsi pertama),
atau perusahaan melakukan PNT terlebih dulu
sesuai perintah undang-undang baru
pemerintah menyiapkan sarana secara bertahap
(opsi kedua). Jelas bahwa perusahaan
menginginkan opsi pertama, sedangkan
pemerintah pasti lebih memilih opsi kedua.
Dengan alasan amanat undang-undang, tidak
ada pilihan lain kecuali menjalankan opsi kedua.
Persoalannya
adalah,
bagaimana
pemerintahmenyiapkan sarana secara optimal
agar "kerugian" perusahaan dapat diminimalkan.
Dalam konteks seperti ini, sudah sepatutnya
Kementerian ESDM melakukan langkah cepat
sesuai kewenangan yang dimilikinya sembari
melakukan koordinasi dengan Kementerian/
instansi terkait secara lebih intens.
Langkah pertama yang perlu diambil adalah
mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM tentang
tata cara PNT minerba sesuai amanat yang
terkandung dalam pasal 96 Peraturan
Pemerintah No.23/2010. Langkah selanjutnya
adalah mengeluarkan berbagai Keputusan
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara sebagai
petunjuk teknis dalam pelaksanaan PNT
minerba, seperti aturan teknis, pengawasan,
pembuatan road map PNT minerba, dan lainlain. Dalam proses pembuatan peraturan ini
pemangku kepentingan perlu dilibatkan agar
terjadi interaksi antara pemerintah cq
Kementerian ESDM dengan perusahaan
tambang. Memang akan berat mengingat
penanganan infrastruktur untuk kepentingan
subsektor pertambangan minerba, boleh jadi,
bukan termasuk skala prioritas bagi instansi lain
tersebut. Untuk itu diperlukan pendekatan - lobby
- terhadap para petinggi di masing-masing
Kementerian, bahkan, jika perlu, sampai ke
lembaga legislatif.
5. PENUTUP
Dalam acara diskusi MNC Business Channel
"Infrastructure Alternative Financing" (Jakarta,
29/9/2010), Jusuf Kalla mengatakan bahwa
masalah birokrasi di level pemerintah yang
terlalu banyak aturan menjadi salah satu faktor
penghambat pembangunan infrastruktur (fisik)
di Indonesia. Sebenarnya banyak investor yang
mau ikut berinvestasi asalkan pemerintah mau
memberikan jaminan dan kepastian hukum.
Penggunaan kekuatan negara seperti
memberikan jaminan kepada investor bukan
sesuatu yang melanggar aturan, tetapi
merupakan salah satu bukti keseriusan
pemerintah dalam pembangunan infrastruktur
untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari
negara lain. Jusuf Kalla berkesimpulan,
diperlukan perubahan pola pikir (mind set) untuk
mengatasi semua ini (http://www.okezone.com/
, 30 September 2010).
Kutipan ucapan mantan Wakil Presiden di atas
seakan mewakili kondisi birokrasi di Indonesia
secara keseluruhan, termasuk di bidang
pertambangan minerba yang kini tengah
dihadapkan kepada upaya merealisasikan PNT
minerba. Oleh karena itu, tantangan terbesar
yang kini dihadapi dalam PNT minerba adalah
perlunya jaminan terhadap keberlangsungan
investasi - terlebih investasi di bidang
pertambangan minerba relatif sangat besar
dengan risiko tinggi, sehingga investor merasa
nyaman (secure) dalam menjalankan usahanya.
Dalam konteks yang sama, selama pola pikir
birokrat berorientasi pada peningkatan
pendapatan negara/daerah dalam jangka
pendek (instan), selama itu PNT minerba sulit
untuk berjalan dengan mulus.
Perlu pula disadari bahwa keberhasilan dalam
merealisasikan program PNT minerba akan
sangat menguntungkan kepada negara; bukan
semata-mata pemerintah yang akan
menikmatinya, tetapi juga perusahaan dan
masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Tantangan Dalam Peningkatan Nilai Tambah Mineral dan Batubara ; Darsa Permana
11
Topik Utama
.DAFTAR PUSTAKA
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara,
2010, Kajian Akademis Peningkatan Nilai
Tambah Mineral dan Batubara, Laporan,
Bandung.
Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara,
2010, Kajian Kebijakan Peningkatan Nilai
Tambah Mineral dan Batubara, Laporan,
Bandung.
12
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009, Jakarta.
Meryani, A., 2010, JK: Birokrasi Pemerintah
Hambat Pembangunan Infrastruktur!, http://
lifestyle.okezone.com/read/2010/09/30/20/
377507/jk-birokrasi-pemerintah-hambatpembangunan-infrastruktur, diakses 30
September 2010
www.esdm.go.id/.../pp/.../1031-peraturanpemerintah-no23-tahun-2010.html.
M&E, Vol. 8, No. 4, Desember 2010