Analisis Dampak Kebijakan Domestik dan L
Analisis Dampak Kebijakan Domestik dan Liberalisasi Perdagangan
Terhadap Ketahanan Pangan : Studi Kasus Komoditas Jagung di
Indonesia
Sakti Haposan Yudhistira W
2016
Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Airlangga
Surabaya
DAFTAR ISI
Latar Belakang ...........................................................................................................................................................................2
Tinjauan Pustaka .......................................................................................................................................................................5
NPC (Nominal Protection Coefficient) dan EPC (Effective Protection Coefficient) ...................................................5
Inward Dan Outward Trade Policy .....................................................................................................................................5
Ketahanan Pangan (Food Security) ...................................................................................................................................6
Pembahasan ..............................................................................................................................................................................7
Analisis Kebijakan dan Internasional Komdoitas Jagung ...............................................................................................7
Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Ketahanan Pangan .................................................................................9
Kesimpulan dan saran ....................................................................................................................................................... 13
daftar pustaka ........................................................................................................................................................................ 15
1
LATAR BELAKAN G
Untuk
mencapai
kemandirian
dan
ketahanan
pangan,
Indonesia
telah
mengamandemen UU No 7 Tahun 1996 dengan UU No. 18 tahun 2012 tentang pangan.
Adapun target kemandirian pangan terletak pada 5 komoditas yaitu beras, jagung, kedelai,
gula, dan daging sapi. Pemerintah Indonesia menargetkan kemandirian pangan di tahun 2017
untuk padi, jagung, dan kedelai. Serta 2019 untuk komoditas gula dan daging sapi. (OECD,
2015)
Produksi jagung Indonesia menduduki peringkat ke-8 global, dengan kontribusi
sebesar 2,06 persen dari total produksi dunia. Pusat produksi jagung di Indonesia tersebar di
beberapa provinsi dan kabupaten di Indonesia. Data BPS pada tahun 2015 juga menunjukkan
bahwa produksi jagung 20,67 juta ton, naik 1,66 juta ton atau 8,72 persen dibandingkan tahun
2014 lalu dan merupakan produksi tertinggi selama lima tahun terakhir (TEMPO, 2016).
Produktivitas Tanaman Pangan di Indonesia (Kuintal/ha)
60
50
40
30
20
10
0
2011
2012
Jagung
Kacang Hijau
2013
Kacang Tanah
2014
Kedelai
2015
Padi
Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa kebijakan terkait komoditas jagung.
Pada periode 1969-1994 terjadi peningkatan yang relatif tajam yaitu dari produksi sebesar 2,3
juta ton pada 1969 menjadi sekitar 6,9 juta ton pada tahun 1994, dengan faktor yang
2
mempengaruhi berupa harga jagung domestik, harga pupuk, tingkat suku bunga bank, upah
tenaga kerja, luas areal produktivitas, kebijakan penerapan jagung hibrida pada tahun 1983,
dan lag dari produksi jagung (Purba, 1999). Pada penelitian lain milik Rusastra dan Kasryno
(2005) juga didapati bahwa meski sudah terdapat beberapa kebijakan domestik terkait
komoditas jagung, TFP (Total Factor Production ) dari jagung cenderung stagnan dan rendah,
yang diakibatkan tidak adanya dukungan kebijakan pengembangan agribisnis yang kurang
optimal serta insentif yang diterima oleh petani jagung kurang memadai untuk terciptanya
pengembangan usaha.
Di sisi lain, kebijakan komoditas jagung di pasar internasional juga dapat
mempengaruhi produktivitas jagung nasional. Menurut Rachman (2005) fluktuasi yang
terjadi di pasar jagung domestik diakibatkan oleh dinamika harga produk sejenis di pasar
internasional, nilai tukar rupiah, dan kebijakan perdagangan. Rachman (2005) juga
menambahkan bahwa dari persaingan pasar yang semakin ketat menuntut pemenuhan standar
mutu dari produk jagung nasional yang terkait dengan efisiensi produksi dan penanganan
pasca-panen.
Meskipun produksi komoditas jagung di Indonesia menduduki peringkat ke - 8 di
dunia dan terus mengalami tren peningkatan, nyatanya pada tahun 2011 tercatat Indonesia
mengimpor jagung sebanyak 3,2 juta ton, dan 3,1 juta ton pada tahun 2013.
Ekspor Impor Jagung Indonesia
3,500,000
3,000,000
Ton
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
0
2008
2009
2010
2011
2012
2013
impor
286,541
338,798
1,527,516
3,207,657
1,692,995
3,191,045
ekspor
107,001
62,575
41,954
12,717
34,899
7,932
sumber FAO (diolah)
3
Grafik dengan tren yang lebih panjang pada nilai ekspor impor jagung dalam US$
atas dasar harga berlaku tahun 2004, menunjukkan Indonesia sebagai net importir jagung
sejak 1999.
Nilai Ekspor - Impor Jagung Indonesia (US$)
1200000
1000000
Axis Title
800000
600000
ekspor
impor
400000
200000
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
0
sumber FAO (diolah)
Tentunya impor merupakan pilihan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi domestiknya. Ketersediaan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan
pangan atau food security. Konsep ketahanan pangan sendiri selalu berkembang dari sekedar
"volume dan stabilitas penawaran" hingga "kecukupan nutrisi dan energi" (FAO, 2003).
Maka berdasarkan FAO, ketahanan pangan dicapai ketika masyarakat memiliki akses secara
fisik, sosial, dan ekonomi, yang aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam
aktivitas dan kehidupan yang sehat. Ketahanan pangan tersebut mencakup 4 dimensi yaitu
ketersediaan, stabilitas, manfaat, dan akses. (FAO 2003, hal 29).
Selain liberalisasi perdagangan, untuk menuju ketahanan pangan, pemerintah
Indonesia menetapkan beberapa kebijakan domestik antara lain penetapan harga pasar,
subsidi pupuk, asuransi hasil panen, food voucher , dan targeted cash transfer atau BLT
(OECD, 2015).
4
TINJAUAN PUSTA KA
NPC (Nominal Protection Coefficient) dan EPC (Effective Protection Coeffic ient)
NPC atau Nomina l Protection Coefficient adalah rasio yang membandingkan harga
objek observasi dengan harga komparasinya dunia atau sosial. Rasio ini mengindikasikan
pengaruh dari suatu kebijakan terhadap perbedaan harga yang ada (Pearson, 1989).
NPC dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu Nominal Protection Coefficient Input
(NPCI) dan Nominal Protection Output (NPCO). NPCI didefinisikan sebagai rasio B/F dari
tabel matriks. Nilai NPCI sebesar 0.8 mengindikasikan kebijakan terkait menurunkan biaya
input; harga input hanya 80% dari harga input benchmark. Sedangkan NPCO did efinisikan
sebagai A/E. Jika NPCO sebesar 1.10 mengindikasikan kebijakan terkait meningkatkan harga
output di pasar 10% lebih tinggi daripada harga output di pasar dunia atau benchmark.
Sedangkan Effective Protection Coefficient (EPC) adalah rasio nilai tambah pada
objek observasi (A - B) terhadap nilai tambah benchmark (E - F). Atau EPC = (A-B)/(E-F).
Rasio ini mengukur besaran pengaruh kebijakan input maupun output secara keseluruha n.
Inward Dan Outward Trade Policy
Menurut Appleyard (2010) , negara berkembang secara umum memiliki dua strategi
perdagangan yaitu inward looking strategy dan outward looking strategy. Inward strategy
merupakan upaya untuk menarik diri dari perdagangan global. Strategi ini menekankan
kebijakan substitusi impor, tarif, kuota impor, dan subsidi kepada substitusi industri impor.
Sebaliknya, outward looking strategy mengutamakan partisipasi dalam perdagangan
internasional dengan mengalokasikan sumberdaya tanpa distorsi harga. Kebijakan yang
diambil adalah subsidi ekspor, promosi ekspor (Appleyard, 2010).
5
Ketahanan Pangan (Food Security)
Pada dasarnya, ketahanan pangan atau food security adalah "a csess of a ll people a t a ll times
to enough food for an active, hea lthy life" (Napoli, 2011). Pada tahun 2002, Scientific Symposium on
Mea surement and Assesment of Food Depriva tion and Undernutrition menghasilkan kesepakatan
pada indikator pengukur ketahanan pangan meliputi ; (1) kekurangan pangan - kombinasi
keseimbangan makanan dan survey terhadap pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, (2) food
insecurity diukur dengan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, (3) asupan makanan
menggunakan survey asupan makanan individu, (4) nutrisi anak dengan survey antopometris, dan (4)
survey kualitatif tentang persepsi masyarakat terhadap ketahanan pangan dan kelaparan.
Undang - Undang No. 18 Tahun 2012 tentang pangan, menjelaskan bahwa ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Terdapat hampir 200 definisi berbeda dan 450 indikator tentang ketahanan pangan, namun
secara umum ada 4 pilar atau dimensi yang lazim digunakan secara global untuk menganalisa
ketahanan pangan yaitu ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas.
6
PEMBA HASAN
ANALISIS KEBIJAKAN DAN INTERNASIONAL KO MDOITAS JAGUNG
Rusastra dan Kasryno (2005) menganalisa kebijakan domestik untuk jagung
berdasarkan (1) keunggulan komparatifnya dan (2) dinamika dan antisipasi instrumen
kebijakan sistem komoditas jagung.
Melalui analisa keunggulan komparatif, kebijakan pemerintah terhadap komoditas
dianalisa melalui variabel indikator NPCI, NPCO, dan EPC. NPCI dapat dianalisa melalui
unsur proteksi pemerintah dari segi subsidi input, sedangkan NPCO dapat dianalisa melalui
unsur proteksi pemerintah dari segi subsidi harga output di pasar, dan efek dari kedua
kebijakan tersebut diukur secara kumulatif melalui indikator EPC. Subsidi input tidak akan
mengubah harga pasar domestik, tetapi akan menambah welfare yang diterima oleh petani
domestik dan mengurangi jumlah impor yang dibutuhkan, sedangkan untuk proteksi harga
output akan menurunkan harga di pasar domestik dan meningkatkan welfare bagi konsumen
dan jumlah impor komoditas tersebut (Colman & Trevor, 1989). Melalui pendekatan ini,
dengan studi kasus di empat provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi
Selatan yang dapat dilihat pada Tabel, terbukti bahwa daerah yang secara NPCI, NPCO, dan
EPC protektif (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dapat menikmati hasil lebih dari subsidi input
dan proteksi harga output (Rusastra & Kasryno, 2005).
7
Berdasarkan dinamika dan antisipasi instrumen kebijakan sistem komoditas jagung di
Indonesia, terdapat beberapa penelitian milik pakar ekonomi pertanian seperti Dorosh (1987),
Mink (1987), Pearson (1987) dalam buku milik Timmer (1987) dalam kaitannya dengan
jagung sebagai ketahanan pangan nasional. Rusastra dan Kasryno (2005) merangkum
penelitian mereka menjadi beberapa poin, yaitu kebijakan yang terkait dengan aspek produksi
jagung, pemasaran dan harga serta kaitannya dengan industri pakan, serta kebijakan harga
komoditas pertanian lainnya.
Dalam analisa kebijakan yang terkait dengan aspek produksi jagung, dapat ditarik
kesimpulan bahwa (1) mempertimbangkan karakteristik usaha tani dan kondisi sosialekonomi, penggunaan jagung hibrida seharusnya tidak mengurangi pengembangan jagung
komposit yang mempunyai produktivitas tinggi; (2) jagung putih masih tetap me merlukan
perhatian, karena jagung jenis ini berguna untuk untuk industri mi dan mempunyai potensi
ekspor tinggi; (3) hama dan penyakit jagung perlu ditangani melalui penciptaan varietas tahan
penyakit dan penanganan lainnya; dan (4) diperlukan adanya perha tian lebih untuk aspek
penyerbukan komoditas jagung.
Dalam ranah kebijakan
internasional,
baik
pemerintah
maupun organisasi
perdagangan internasional yang terkait pernah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait
komoditas jagung. Berdasarkan penelitian Rusastra dan Kasryno (2005) dan Rachman
(2005), kebijakan internasional yang berkaitan dengan komoditas jagung dapat dianalisa
berdasarkan transmisi perubahan harga dan kecenderungan global.
Analisa dekomposisi fluktuasi harga di pasar domestik menunjukkan bahwa
dibanding kondisi kuartal IV 1998, harga jagung pada kuartal I 1999 mengalami penurunan
yang relatif rendah, karena diindikasikan akibat dari depresiasi rupiah yang terjadi di saat
yang bersamaan (Simatupang & Syafaat, 1999). Rachman (2005) berpendapat bahwa
penurunan harga jagung domestik banyak dipengaruhi oleh penurunan harga jagung dunia
dan peningkatan liberalisasi perdagangan.
Sedangkan dalam menganalisa kebijakan yang berhubungan dengan kecenderungan
global, dapat dianalisa melalui kondisi ekonomi biji-bijian global, yang dalam hal ini peneliti
menggunakan kasus tahun 1999-2000 di mana terjadi harga biji-bijian yang rendah di pasar
internasional, biaya sarana produksi yang tinggi, dan keadaan iklim yang kurang kondusif.
Respon kebijakan yang dapat diambil untuk merespon kondisi ini beragam, yaitu didasarkan
8
pada kondisi penawaran biji-bijian di masing- masing negara (FAO, 2001). Bagi negara yang
mengalami surplus produksi biji-bijian, instrumen kebijakan yang dipertimbangkan di
antaranya adalah pemberian potongan harga di pasar domestik, pelarangan sementara dan
peningkatan pajak impor, pembatasan kuota impor dan/atau penyertaan tarif kuota impor
yang lebih tinggi, serta peningkatan partisipasi sektor swasta serta pengeluaran/pengadaan
dalam rangka stabilisasi harga biji-bijian domestik. Bagi negara yang mengalami defisit bijibijian, kebijakan strategis yang umumnya ditempuh adalah memperlonggar kontrol terharap
impor dan/atau membatasi ekspor biji-bijian.
Di Indonesia sendiri, penawaran komoditas jagung relatif fluktuatif, sehingga
memerlukan manajemen pengambilan keputusan yang lebih kompleks serta membutuhkan
fleksibilitas yang lebih tinggi (Rachman, 2005).
DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN
Permasalahan utama pada ketahanan pangan ada pada dimensi akses, yang pada
umumnya disebabkan karena kemiskinan dan pendapatan yang rendah (OECD, FAO 2013).
Beberapa literatur pada studi kasus tertentu menunjukkan akses terhadap ketersediaan
komoditas dapat dihadapi dengan perolehan keuntungan dari keterbukaan perdagangan.
Keterbukaan perdagangan akan meningkatkan pertumbuhan dan tingkat pendapatan daripada
inward looking strategy dan substitusi impor (Brooks, 2014).
Lebih lanjut Brooks dan Matthew (2014) mengemukakan, pada umumnya pembuat
kebijakan sepakat bahwa ada keuntungan yang diperoleh untuk tidak mendistorsi harga,
namun perdagangan yang tidak terdistorsi menyebabkan adanya kelompok yang menang dan
kalah dalam pasar dari efek terms of trade. Dikhawatirkan golongan yang kalah adalah
mereka yang miskin dan food insecure (tergolong tidak aman dalam ketahanan pangan).
Proteksi di beberapa negara berkembang beragam, namun secara statistik, negara negara berkembang di Asia memiliki tingkat proteksi yang lebih tinggi diukur dari NPC
(Nominal Coefficient Protection ).
9
NPC Negara Berkembang 2012
Turki
Israel
Afrika Selatan
Ukraina
Russia
Korea
NPC
Indonesia
China
Mexico
Chile
Brazil
0
0.5
1
1.5
2
sumber olahan data OECD
Negara dengan impor yang tinggi cenderung lebih riskan terhadap fluktuasi harga
dunia, namun impor yang tinggi akan mempercepat transmisi harga dunia ke harga domestik
(World Bank dan IMF, 2012).
Sebuah studi menunjukkan bahwa pasar komoditas agrikultur di negara dengan
tingkat pendapatan perkapita rendah seringkali tidak terintegrasi dengan tingkat harga
internasional. Maka negara - negara ini, yang komposisi penduduk food insecure nya tinggi,
memiliki potensi yang lebih besar terhadap shock (Blazer, 2013).
Abbott (2012), menyimpulkan bahwa shock domestik lebih tinggi frekuensinya
daripada shock internasional. Bukti lain menunjukkan bahwa harga internasional mampu
menurunkan volatilitas harga domestik pada komoditas jagung, beras, dan kedelai pada studi
kasus di Asia Tenggara dari 30 persen poin menjadi 5 persen poin (Ivanic et al, 2011).
10
tabel weighted - impact dari kebijakan agrikultur Indonesia terhadap presentase kekurangan
makanan ; sumber OECD 2015
Namun kebijakan non-trade domestik dari pemerintah juga memiliki dampak
terhadap ketahanan pangan di Indonesia. Data OECD menunjukkan raskin, s ubsidi pupuk,
asuransi panen efektif mengurangi presentasi angka kekurangan makanan di Indonesia.
Sementara program rancangan pemerintah pada vouvher makanan dan BLT diproyeksikan
mampu mengurangi angka populasi penduduk yang kekurangan makanan hingga 3%.
Berdasarkan penelitian milik Purba (1999), dampak kebijakan domestik dan
internasional terhadap kesejahteraan masyarakat adalah (1) peningkatan harga pupuk akan
menurunkan surplus produsen dan konsumen serta pengeluaran devisa; (2) peningkatan upah
tenaga kerja akan berdampak negatif terhadap surplus produsen dan konsumen serta
pengeluaran devisa; (3) kebijakan peningkatan populasi ayam ras dinikmati oleh masyarakat,
kecuali petani jagung yang mengalami penurunan surplus; (4) devaluasi rupiah berdampak
positif terhadap surplus produsen dan negatif terhadap surplus konsumen; dan (5) seluruh
alternatif kebijakan ini memberikan kontribusi positif terhadap net surplus dan penghematan
devisa negara, kecuali pada alternatif kebijakan peningkatan harga pupuk dan t ingkat upah.
Peningkatan harga pupuk dan tingkat upah berdampak buruk pada kesejahteraan
masyarakat, sehingga masih diperlukan adanya kebijakan untuk pengendaliannya kedua
faktor tersebut. Rusastra dan Kasryno (2005) berpendapat bahwa kebijakan penurunan suku
bungan merupakan salah satu alternatif kebijakan yang terbaik karena memberikan dampak
positif terhadap semua pelaku ekonomi pasar jagung dan pakan, serta dapat sekaligus
menghemat devisa melalui penurunan impor jagung. Selain itu Rusastra dan Kasryno (2005)
11
juga berpendapat bahwa kebijakan devaluasi dapat dijadikan alternatif kebijakan yang
memberikan lingkungan kondusif dalam peningkatan produksi jagung dan pakan serta
penghematan devisa.
Studi Kasus terhadap kebijakan jagung di Indonesia, peneliti akan menggunakan
studi kasus berupa penerapan kuota impor jagung di tahun 2016. Peneliti menganggap studi
kasus penerapan kuota impor di tahun 2016 ini sesuai karena beberapa faktor, yaitu (1)
merupakan kebijakan terkini; (2) dalam selang waktu yang tidak jauh terjadi kenaikan harga
jagung di pasar domestik; dan (3) dalam selang waktu yang tidak jauh terjadi kenaikan harga
daging dan telur ayam, yang berkaitan dengan jagung sebagai pakan.
Berdasarkan berita yang ditulis Suryowati (2016) pada portal berita online Kompas,
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan bahwa kuota
impor jagung di tahun 2016 diharapkan tidak akan melebihi kuota yang diberikan sepanjang
2015, yaitu sejumlah 2,5 juta ton per tahun. Pada tahun ini, pemerintah baru menetapkan
kuota impor jagung untuk kuartal I-2016, dengan keputusan akan menetapkan kuota kuartal
berikutnya setelah melihat produksi jagung. Setelah melalui rapat koordinasi dengan
Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, pemerintah memutuskan kuota impor
jagung untuk kuartal I-2016 sebanyak 600.000 ton.
Kebijakan yang diambil pemerintah mengenai kuota impor ternyata sejalan dengan
target produksi yang ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah menargetkan produksi jagung
sebanyak 24 juta ton per tahun, lebih banyak dari realisasi produksi tahun lalu yang mencapai
19,83 juta ton (TEMPO, 2016). Secara konseptual, kebijakan pemerintah tidak sepenuhnya
berjalan dengan konsep kebijakan yang dikeluarkan oleh FAO (2001), di mana saat terjadi
defisit jagung seharusnya melakukan pelonggaran untuk kebijakan impor. Di saat yang
bersamaan, harga jagung, daging dan telur ayam juga sedang mengalami pelonjakan harga
yang cukup drastis. Dari kondisi ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah sedang mengambil
langkah optimis bahwa dalam tahun ini petani jagung dapat memenuhi target produksi.
12
KESIMPULAN DAN SARA N
Berdasarkan penjelasan dari bagian-bagian sebelumnya, dapat ditarik beberapa
kesimpulan, yaitu:
Kebijakan domestik untuk komoditas jagung dapat dianalisa melalui keunggulan
komparatif serta dinamika dan antisipasi instrumen kebijakan sistem komoditas
jagung.
harga output yang protektif dapat menikmati total insentif yang lebih.
Dari sisi keunggulan komparatif, petani yang mendapatkan subsidi input dan proteksi
Dari sisi dinamika dan antisipasi kebijakan, terdapat beberapa poin yang harus
diperhatikan, yaitu penciptaan dan pengembangan varietas jagung, deregulasi industri
pakan dan pertenakan, diberlakukan kembali proteksi industri gula, dan penerapan
harga beras kualitas rendah yang tidak merugikan produsen jagung.
perubahan harga dan kecenderungan global.
Kebijakan internasional untuk komoditas jagung dapat dianalisa melalui transmisi
Transmisi perubahan harga jagung akibat faktor internasional dapat dilihat
berdasarkan nilai tukar rupiah, penurunan harga jagung dunia, dan peningkatan
liberalisasi perdagangan.
lebih kecil dibandingkan volatilitas harga komoditas domestik.
Liberalisasi perdagangan cenderung lebih aman sebab volatilitas harga pasar dunia
Kebijakan non-trade dapat mengurangi jumlah penduduk kekurangan makanan
apabila dijalankan secara efektif. Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk inward looking strategy seperti substitusi impor dapat dialokasikan kepada inovasi teknolo gi
dan ekstensifikasi produksi komoditas terkait.
Subsidi pupuk membutuhkan dana yang besar dan tidak tepat sasaran. Pengeluaran
pada subsidi pupuk dapat dialokasikan untuk subsidi pajak lahan produktif secara
progresif seperti yang telah diaplikasikan oleh Cina.
Pengambilan kebijakan untuk
industri jagung juga dapat didasarkan pada
kecenderungan global, dengan mempertimbangkan harga, biaya produksi, dan kondisi
iklim, serta berdasarkan karakteristik penawaran dari negara tersebut.
13
Terdapat beberapa kebijakan yang memiliki pengaruh buruk terhadap kesejahteraan
masyarakat, yaitu kenaikan harga pupuk dan tenaga kerja yang akan menurunkan
surplus produsen dan konsumen, serta devisa negara.
Terdapat beberapa kebijakan yang memiliki pengaruh baik terhadap kese jahteraan
masyarakat, yaitu kebijakan peningkatan populasi ayam ras, devaluasi rupiah, dan
penurunan suku bunga.
Tingkat konsumsi masyarakat adalah indikator penting yang perlu diperhatikan dan
diselaraskan dengan jumlah produksi komoditas terkait. Perlu adanya inovasi dan
diversifikasi pola konsumsi untuk menekan pertumbuhan permintaan komoditas
tertentu.
14
DAFTAR PUSTAKA
Abott, P. (2012). Policies in Developing Countries after 2007-2008 Food Crisis. OECD
Publishing, Paris .
Appleyard, D. R., & Field, A. J. (2010). International Economics 8th Edition. North
Carolina: Mc Graw Hill.
Blazer, K. (2013). International to Domestic Price Transmissioin in Fourteen Developing
Countries during Food Crisis. WIDER Working Paper , 031.
Brooks, J., & Matthews, A. (2014). Agr icultural Trade and Food Security : Choosing
Between Trade and Non-Trade Policy Instrument .
Colman, D., & Trevor, Y. (1989). Principles of Agricultural Economics. Cambridge
University Press.
Dorosh, P. A. (1987). International Trade in Corn. In C. P. Timmer, The Corn Economy of
Indonesia. Ithaca & London: Cornell University Press.
FAO. (2001). Review of Basic Food Policies. Rome: Commodities and Trade Division.
FAO. (2012). The State of Food Insecurity. Roma: FAO.
Ivanic, M. (2008). Implication of Higher Global Food Prices for Poverty in Low-Income
Countries. Agricultural Economics , 405-416.
Mink, S. D. (1987). Corn in the Livestock Economy. In C. P. Timmer, The Corn Economy of
Indonesia. Ithaca & London: Cornell University Press.
Monke, E. A. (1989). The Policy Ana lysis Matrix For Agricultural Development. Outreach
Program .
Napoli, M., Pasquale, D. M., & Mazziotta, M. (2011). Towards a Food Insecurity
Multidimensiona l Index. Milan: Human Development and Food Security.
OECD. (2013). Globa l Food Security : Challenges for the Food and Agriculture System.
Paris: OECD Publishing.
Pearson, S. R. (1987). Prospects for Corn Sweeteners. In C. P. Timmer, The Corn Economy
of Indonesia. Ithaca & London: Cornell University Press.
Purba, H. J. (1999). Keterkaitan Pasar Jagung dan Pakan Ternak Ayam Ras di Indonesia:
Suatu Analisis Simulasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
15
Rachman, B. (2005). Perdagangan Internasional Komoditas Jagung. In F. Kasryno, E.
Pasandaran, & A. Fagi, Ekonomi Jagung Indonesia (pp. 197-209). Jakarta: Badan Litbang
Pertanian.
Rusastra, I. W., & Kasryno, F. (2005). Analisis Kebijakan Ekonomi Jagung Nasional. In F.
Kasryno, E. Pasandaran, & A. Fagi, Ekonomi Jagung Indonesia (pp. 255-287). Jakarta:
Badan Litbang Pertanian.
Simatupang, P., & Syafaat, N. (1999). Analisis Anjloknya Harga Komoditas Pertanian
Selama Semester I-1999. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Suryowati, E. (2016, Januari 4). Kuota Impor Jagung Ditetapkan Per Kuartal. (E. Djumena,
Editor) Retrieved from Kompas:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/01/04/080900426/Kuota.Impor.Jagung.
Ditetapkan.Per.Kuartal
TEMPO. (2016, April 7). Panen Jagung Melimpah tapi Industri Pakan Ternak Malas Beli.
Retrieved from TEMPO:
https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/04/07/090760455/panen-jagung- melimpahtapi- industri-pakan-ternak- malas-beli
TEMPO. (2016, April 25). Target Produksi Jagung dan Kedelai Dinila i Tak Realistis .
Retrieved from TEMPO:
https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/04/25/090765790/target-produksi-jagung-dankedelai-dinilai-tak-realistis
World Bank and IMF. (2012). Food Prices, Nutrition, and the MDGs. Washington DC: the
World Bank.
16
Terhadap Ketahanan Pangan : Studi Kasus Komoditas Jagung di
Indonesia
Sakti Haposan Yudhistira W
2016
Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Airlangga
Surabaya
DAFTAR ISI
Latar Belakang ...........................................................................................................................................................................2
Tinjauan Pustaka .......................................................................................................................................................................5
NPC (Nominal Protection Coefficient) dan EPC (Effective Protection Coefficient) ...................................................5
Inward Dan Outward Trade Policy .....................................................................................................................................5
Ketahanan Pangan (Food Security) ...................................................................................................................................6
Pembahasan ..............................................................................................................................................................................7
Analisis Kebijakan dan Internasional Komdoitas Jagung ...............................................................................................7
Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Ketahanan Pangan .................................................................................9
Kesimpulan dan saran ....................................................................................................................................................... 13
daftar pustaka ........................................................................................................................................................................ 15
1
LATAR BELAKAN G
Untuk
mencapai
kemandirian
dan
ketahanan
pangan,
Indonesia
telah
mengamandemen UU No 7 Tahun 1996 dengan UU No. 18 tahun 2012 tentang pangan.
Adapun target kemandirian pangan terletak pada 5 komoditas yaitu beras, jagung, kedelai,
gula, dan daging sapi. Pemerintah Indonesia menargetkan kemandirian pangan di tahun 2017
untuk padi, jagung, dan kedelai. Serta 2019 untuk komoditas gula dan daging sapi. (OECD,
2015)
Produksi jagung Indonesia menduduki peringkat ke-8 global, dengan kontribusi
sebesar 2,06 persen dari total produksi dunia. Pusat produksi jagung di Indonesia tersebar di
beberapa provinsi dan kabupaten di Indonesia. Data BPS pada tahun 2015 juga menunjukkan
bahwa produksi jagung 20,67 juta ton, naik 1,66 juta ton atau 8,72 persen dibandingkan tahun
2014 lalu dan merupakan produksi tertinggi selama lima tahun terakhir (TEMPO, 2016).
Produktivitas Tanaman Pangan di Indonesia (Kuintal/ha)
60
50
40
30
20
10
0
2011
2012
Jagung
Kacang Hijau
2013
Kacang Tanah
2014
Kedelai
2015
Padi
Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa kebijakan terkait komoditas jagung.
Pada periode 1969-1994 terjadi peningkatan yang relatif tajam yaitu dari produksi sebesar 2,3
juta ton pada 1969 menjadi sekitar 6,9 juta ton pada tahun 1994, dengan faktor yang
2
mempengaruhi berupa harga jagung domestik, harga pupuk, tingkat suku bunga bank, upah
tenaga kerja, luas areal produktivitas, kebijakan penerapan jagung hibrida pada tahun 1983,
dan lag dari produksi jagung (Purba, 1999). Pada penelitian lain milik Rusastra dan Kasryno
(2005) juga didapati bahwa meski sudah terdapat beberapa kebijakan domestik terkait
komoditas jagung, TFP (Total Factor Production ) dari jagung cenderung stagnan dan rendah,
yang diakibatkan tidak adanya dukungan kebijakan pengembangan agribisnis yang kurang
optimal serta insentif yang diterima oleh petani jagung kurang memadai untuk terciptanya
pengembangan usaha.
Di sisi lain, kebijakan komoditas jagung di pasar internasional juga dapat
mempengaruhi produktivitas jagung nasional. Menurut Rachman (2005) fluktuasi yang
terjadi di pasar jagung domestik diakibatkan oleh dinamika harga produk sejenis di pasar
internasional, nilai tukar rupiah, dan kebijakan perdagangan. Rachman (2005) juga
menambahkan bahwa dari persaingan pasar yang semakin ketat menuntut pemenuhan standar
mutu dari produk jagung nasional yang terkait dengan efisiensi produksi dan penanganan
pasca-panen.
Meskipun produksi komoditas jagung di Indonesia menduduki peringkat ke - 8 di
dunia dan terus mengalami tren peningkatan, nyatanya pada tahun 2011 tercatat Indonesia
mengimpor jagung sebanyak 3,2 juta ton, dan 3,1 juta ton pada tahun 2013.
Ekspor Impor Jagung Indonesia
3,500,000
3,000,000
Ton
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
0
2008
2009
2010
2011
2012
2013
impor
286,541
338,798
1,527,516
3,207,657
1,692,995
3,191,045
ekspor
107,001
62,575
41,954
12,717
34,899
7,932
sumber FAO (diolah)
3
Grafik dengan tren yang lebih panjang pada nilai ekspor impor jagung dalam US$
atas dasar harga berlaku tahun 2004, menunjukkan Indonesia sebagai net importir jagung
sejak 1999.
Nilai Ekspor - Impor Jagung Indonesia (US$)
1200000
1000000
Axis Title
800000
600000
ekspor
impor
400000
200000
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
0
sumber FAO (diolah)
Tentunya impor merupakan pilihan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi domestiknya. Ketersediaan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan
pangan atau food security. Konsep ketahanan pangan sendiri selalu berkembang dari sekedar
"volume dan stabilitas penawaran" hingga "kecukupan nutrisi dan energi" (FAO, 2003).
Maka berdasarkan FAO, ketahanan pangan dicapai ketika masyarakat memiliki akses secara
fisik, sosial, dan ekonomi, yang aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam
aktivitas dan kehidupan yang sehat. Ketahanan pangan tersebut mencakup 4 dimensi yaitu
ketersediaan, stabilitas, manfaat, dan akses. (FAO 2003, hal 29).
Selain liberalisasi perdagangan, untuk menuju ketahanan pangan, pemerintah
Indonesia menetapkan beberapa kebijakan domestik antara lain penetapan harga pasar,
subsidi pupuk, asuransi hasil panen, food voucher , dan targeted cash transfer atau BLT
(OECD, 2015).
4
TINJAUAN PUSTA KA
NPC (Nominal Protection Coefficient) dan EPC (Effective Protection Coeffic ient)
NPC atau Nomina l Protection Coefficient adalah rasio yang membandingkan harga
objek observasi dengan harga komparasinya dunia atau sosial. Rasio ini mengindikasikan
pengaruh dari suatu kebijakan terhadap perbedaan harga yang ada (Pearson, 1989).
NPC dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu Nominal Protection Coefficient Input
(NPCI) dan Nominal Protection Output (NPCO). NPCI didefinisikan sebagai rasio B/F dari
tabel matriks. Nilai NPCI sebesar 0.8 mengindikasikan kebijakan terkait menurunkan biaya
input; harga input hanya 80% dari harga input benchmark. Sedangkan NPCO did efinisikan
sebagai A/E. Jika NPCO sebesar 1.10 mengindikasikan kebijakan terkait meningkatkan harga
output di pasar 10% lebih tinggi daripada harga output di pasar dunia atau benchmark.
Sedangkan Effective Protection Coefficient (EPC) adalah rasio nilai tambah pada
objek observasi (A - B) terhadap nilai tambah benchmark (E - F). Atau EPC = (A-B)/(E-F).
Rasio ini mengukur besaran pengaruh kebijakan input maupun output secara keseluruha n.
Inward Dan Outward Trade Policy
Menurut Appleyard (2010) , negara berkembang secara umum memiliki dua strategi
perdagangan yaitu inward looking strategy dan outward looking strategy. Inward strategy
merupakan upaya untuk menarik diri dari perdagangan global. Strategi ini menekankan
kebijakan substitusi impor, tarif, kuota impor, dan subsidi kepada substitusi industri impor.
Sebaliknya, outward looking strategy mengutamakan partisipasi dalam perdagangan
internasional dengan mengalokasikan sumberdaya tanpa distorsi harga. Kebijakan yang
diambil adalah subsidi ekspor, promosi ekspor (Appleyard, 2010).
5
Ketahanan Pangan (Food Security)
Pada dasarnya, ketahanan pangan atau food security adalah "a csess of a ll people a t a ll times
to enough food for an active, hea lthy life" (Napoli, 2011). Pada tahun 2002, Scientific Symposium on
Mea surement and Assesment of Food Depriva tion and Undernutrition menghasilkan kesepakatan
pada indikator pengukur ketahanan pangan meliputi ; (1) kekurangan pangan - kombinasi
keseimbangan makanan dan survey terhadap pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, (2) food
insecurity diukur dengan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga, (3) asupan makanan
menggunakan survey asupan makanan individu, (4) nutrisi anak dengan survey antopometris, dan (4)
survey kualitatif tentang persepsi masyarakat terhadap ketahanan pangan dan kelaparan.
Undang - Undang No. 18 Tahun 2012 tentang pangan, menjelaskan bahwa ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Terdapat hampir 200 definisi berbeda dan 450 indikator tentang ketahanan pangan, namun
secara umum ada 4 pilar atau dimensi yang lazim digunakan secara global untuk menganalisa
ketahanan pangan yaitu ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas.
6
PEMBA HASAN
ANALISIS KEBIJAKAN DAN INTERNASIONAL KO MDOITAS JAGUNG
Rusastra dan Kasryno (2005) menganalisa kebijakan domestik untuk jagung
berdasarkan (1) keunggulan komparatifnya dan (2) dinamika dan antisipasi instrumen
kebijakan sistem komoditas jagung.
Melalui analisa keunggulan komparatif, kebijakan pemerintah terhadap komoditas
dianalisa melalui variabel indikator NPCI, NPCO, dan EPC. NPCI dapat dianalisa melalui
unsur proteksi pemerintah dari segi subsidi input, sedangkan NPCO dapat dianalisa melalui
unsur proteksi pemerintah dari segi subsidi harga output di pasar, dan efek dari kedua
kebijakan tersebut diukur secara kumulatif melalui indikator EPC. Subsidi input tidak akan
mengubah harga pasar domestik, tetapi akan menambah welfare yang diterima oleh petani
domestik dan mengurangi jumlah impor yang dibutuhkan, sedangkan untuk proteksi harga
output akan menurunkan harga di pasar domestik dan meningkatkan welfare bagi konsumen
dan jumlah impor komoditas tersebut (Colman & Trevor, 1989). Melalui pendekatan ini,
dengan studi kasus di empat provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi
Selatan yang dapat dilihat pada Tabel, terbukti bahwa daerah yang secara NPCI, NPCO, dan
EPC protektif (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dapat menikmati hasil lebih dari subsidi input
dan proteksi harga output (Rusastra & Kasryno, 2005).
7
Berdasarkan dinamika dan antisipasi instrumen kebijakan sistem komoditas jagung di
Indonesia, terdapat beberapa penelitian milik pakar ekonomi pertanian seperti Dorosh (1987),
Mink (1987), Pearson (1987) dalam buku milik Timmer (1987) dalam kaitannya dengan
jagung sebagai ketahanan pangan nasional. Rusastra dan Kasryno (2005) merangkum
penelitian mereka menjadi beberapa poin, yaitu kebijakan yang terkait dengan aspek produksi
jagung, pemasaran dan harga serta kaitannya dengan industri pakan, serta kebijakan harga
komoditas pertanian lainnya.
Dalam analisa kebijakan yang terkait dengan aspek produksi jagung, dapat ditarik
kesimpulan bahwa (1) mempertimbangkan karakteristik usaha tani dan kondisi sosialekonomi, penggunaan jagung hibrida seharusnya tidak mengurangi pengembangan jagung
komposit yang mempunyai produktivitas tinggi; (2) jagung putih masih tetap me merlukan
perhatian, karena jagung jenis ini berguna untuk untuk industri mi dan mempunyai potensi
ekspor tinggi; (3) hama dan penyakit jagung perlu ditangani melalui penciptaan varietas tahan
penyakit dan penanganan lainnya; dan (4) diperlukan adanya perha tian lebih untuk aspek
penyerbukan komoditas jagung.
Dalam ranah kebijakan
internasional,
baik
pemerintah
maupun organisasi
perdagangan internasional yang terkait pernah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait
komoditas jagung. Berdasarkan penelitian Rusastra dan Kasryno (2005) dan Rachman
(2005), kebijakan internasional yang berkaitan dengan komoditas jagung dapat dianalisa
berdasarkan transmisi perubahan harga dan kecenderungan global.
Analisa dekomposisi fluktuasi harga di pasar domestik menunjukkan bahwa
dibanding kondisi kuartal IV 1998, harga jagung pada kuartal I 1999 mengalami penurunan
yang relatif rendah, karena diindikasikan akibat dari depresiasi rupiah yang terjadi di saat
yang bersamaan (Simatupang & Syafaat, 1999). Rachman (2005) berpendapat bahwa
penurunan harga jagung domestik banyak dipengaruhi oleh penurunan harga jagung dunia
dan peningkatan liberalisasi perdagangan.
Sedangkan dalam menganalisa kebijakan yang berhubungan dengan kecenderungan
global, dapat dianalisa melalui kondisi ekonomi biji-bijian global, yang dalam hal ini peneliti
menggunakan kasus tahun 1999-2000 di mana terjadi harga biji-bijian yang rendah di pasar
internasional, biaya sarana produksi yang tinggi, dan keadaan iklim yang kurang kondusif.
Respon kebijakan yang dapat diambil untuk merespon kondisi ini beragam, yaitu didasarkan
8
pada kondisi penawaran biji-bijian di masing- masing negara (FAO, 2001). Bagi negara yang
mengalami surplus produksi biji-bijian, instrumen kebijakan yang dipertimbangkan di
antaranya adalah pemberian potongan harga di pasar domestik, pelarangan sementara dan
peningkatan pajak impor, pembatasan kuota impor dan/atau penyertaan tarif kuota impor
yang lebih tinggi, serta peningkatan partisipasi sektor swasta serta pengeluaran/pengadaan
dalam rangka stabilisasi harga biji-bijian domestik. Bagi negara yang mengalami defisit bijibijian, kebijakan strategis yang umumnya ditempuh adalah memperlonggar kontrol terharap
impor dan/atau membatasi ekspor biji-bijian.
Di Indonesia sendiri, penawaran komoditas jagung relatif fluktuatif, sehingga
memerlukan manajemen pengambilan keputusan yang lebih kompleks serta membutuhkan
fleksibilitas yang lebih tinggi (Rachman, 2005).
DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN
Permasalahan utama pada ketahanan pangan ada pada dimensi akses, yang pada
umumnya disebabkan karena kemiskinan dan pendapatan yang rendah (OECD, FAO 2013).
Beberapa literatur pada studi kasus tertentu menunjukkan akses terhadap ketersediaan
komoditas dapat dihadapi dengan perolehan keuntungan dari keterbukaan perdagangan.
Keterbukaan perdagangan akan meningkatkan pertumbuhan dan tingkat pendapatan daripada
inward looking strategy dan substitusi impor (Brooks, 2014).
Lebih lanjut Brooks dan Matthew (2014) mengemukakan, pada umumnya pembuat
kebijakan sepakat bahwa ada keuntungan yang diperoleh untuk tidak mendistorsi harga,
namun perdagangan yang tidak terdistorsi menyebabkan adanya kelompok yang menang dan
kalah dalam pasar dari efek terms of trade. Dikhawatirkan golongan yang kalah adalah
mereka yang miskin dan food insecure (tergolong tidak aman dalam ketahanan pangan).
Proteksi di beberapa negara berkembang beragam, namun secara statistik, negara negara berkembang di Asia memiliki tingkat proteksi yang lebih tinggi diukur dari NPC
(Nominal Coefficient Protection ).
9
NPC Negara Berkembang 2012
Turki
Israel
Afrika Selatan
Ukraina
Russia
Korea
NPC
Indonesia
China
Mexico
Chile
Brazil
0
0.5
1
1.5
2
sumber olahan data OECD
Negara dengan impor yang tinggi cenderung lebih riskan terhadap fluktuasi harga
dunia, namun impor yang tinggi akan mempercepat transmisi harga dunia ke harga domestik
(World Bank dan IMF, 2012).
Sebuah studi menunjukkan bahwa pasar komoditas agrikultur di negara dengan
tingkat pendapatan perkapita rendah seringkali tidak terintegrasi dengan tingkat harga
internasional. Maka negara - negara ini, yang komposisi penduduk food insecure nya tinggi,
memiliki potensi yang lebih besar terhadap shock (Blazer, 2013).
Abbott (2012), menyimpulkan bahwa shock domestik lebih tinggi frekuensinya
daripada shock internasional. Bukti lain menunjukkan bahwa harga internasional mampu
menurunkan volatilitas harga domestik pada komoditas jagung, beras, dan kedelai pada studi
kasus di Asia Tenggara dari 30 persen poin menjadi 5 persen poin (Ivanic et al, 2011).
10
tabel weighted - impact dari kebijakan agrikultur Indonesia terhadap presentase kekurangan
makanan ; sumber OECD 2015
Namun kebijakan non-trade domestik dari pemerintah juga memiliki dampak
terhadap ketahanan pangan di Indonesia. Data OECD menunjukkan raskin, s ubsidi pupuk,
asuransi panen efektif mengurangi presentasi angka kekurangan makanan di Indonesia.
Sementara program rancangan pemerintah pada vouvher makanan dan BLT diproyeksikan
mampu mengurangi angka populasi penduduk yang kekurangan makanan hingga 3%.
Berdasarkan penelitian milik Purba (1999), dampak kebijakan domestik dan
internasional terhadap kesejahteraan masyarakat adalah (1) peningkatan harga pupuk akan
menurunkan surplus produsen dan konsumen serta pengeluaran devisa; (2) peningkatan upah
tenaga kerja akan berdampak negatif terhadap surplus produsen dan konsumen serta
pengeluaran devisa; (3) kebijakan peningkatan populasi ayam ras dinikmati oleh masyarakat,
kecuali petani jagung yang mengalami penurunan surplus; (4) devaluasi rupiah berdampak
positif terhadap surplus produsen dan negatif terhadap surplus konsumen; dan (5) seluruh
alternatif kebijakan ini memberikan kontribusi positif terhadap net surplus dan penghematan
devisa negara, kecuali pada alternatif kebijakan peningkatan harga pupuk dan t ingkat upah.
Peningkatan harga pupuk dan tingkat upah berdampak buruk pada kesejahteraan
masyarakat, sehingga masih diperlukan adanya kebijakan untuk pengendaliannya kedua
faktor tersebut. Rusastra dan Kasryno (2005) berpendapat bahwa kebijakan penurunan suku
bungan merupakan salah satu alternatif kebijakan yang terbaik karena memberikan dampak
positif terhadap semua pelaku ekonomi pasar jagung dan pakan, serta dapat sekaligus
menghemat devisa melalui penurunan impor jagung. Selain itu Rusastra dan Kasryno (2005)
11
juga berpendapat bahwa kebijakan devaluasi dapat dijadikan alternatif kebijakan yang
memberikan lingkungan kondusif dalam peningkatan produksi jagung dan pakan serta
penghematan devisa.
Studi Kasus terhadap kebijakan jagung di Indonesia, peneliti akan menggunakan
studi kasus berupa penerapan kuota impor jagung di tahun 2016. Peneliti menganggap studi
kasus penerapan kuota impor di tahun 2016 ini sesuai karena beberapa faktor, yaitu (1)
merupakan kebijakan terkini; (2) dalam selang waktu yang tidak jauh terjadi kenaikan harga
jagung di pasar domestik; dan (3) dalam selang waktu yang tidak jauh terjadi kenaikan harga
daging dan telur ayam, yang berkaitan dengan jagung sebagai pakan.
Berdasarkan berita yang ditulis Suryowati (2016) pada portal berita online Kompas,
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan bahwa kuota
impor jagung di tahun 2016 diharapkan tidak akan melebihi kuota yang diberikan sepanjang
2015, yaitu sejumlah 2,5 juta ton per tahun. Pada tahun ini, pemerintah baru menetapkan
kuota impor jagung untuk kuartal I-2016, dengan keputusan akan menetapkan kuota kuartal
berikutnya setelah melihat produksi jagung. Setelah melalui rapat koordinasi dengan
Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, pemerintah memutuskan kuota impor
jagung untuk kuartal I-2016 sebanyak 600.000 ton.
Kebijakan yang diambil pemerintah mengenai kuota impor ternyata sejalan dengan
target produksi yang ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah menargetkan produksi jagung
sebanyak 24 juta ton per tahun, lebih banyak dari realisasi produksi tahun lalu yang mencapai
19,83 juta ton (TEMPO, 2016). Secara konseptual, kebijakan pemerintah tidak sepenuhnya
berjalan dengan konsep kebijakan yang dikeluarkan oleh FAO (2001), di mana saat terjadi
defisit jagung seharusnya melakukan pelonggaran untuk kebijakan impor. Di saat yang
bersamaan, harga jagung, daging dan telur ayam juga sedang mengalami pelonjakan harga
yang cukup drastis. Dari kondisi ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah sedang mengambil
langkah optimis bahwa dalam tahun ini petani jagung dapat memenuhi target produksi.
12
KESIMPULAN DAN SARA N
Berdasarkan penjelasan dari bagian-bagian sebelumnya, dapat ditarik beberapa
kesimpulan, yaitu:
Kebijakan domestik untuk komoditas jagung dapat dianalisa melalui keunggulan
komparatif serta dinamika dan antisipasi instrumen kebijakan sistem komoditas
jagung.
harga output yang protektif dapat menikmati total insentif yang lebih.
Dari sisi keunggulan komparatif, petani yang mendapatkan subsidi input dan proteksi
Dari sisi dinamika dan antisipasi kebijakan, terdapat beberapa poin yang harus
diperhatikan, yaitu penciptaan dan pengembangan varietas jagung, deregulasi industri
pakan dan pertenakan, diberlakukan kembali proteksi industri gula, dan penerapan
harga beras kualitas rendah yang tidak merugikan produsen jagung.
perubahan harga dan kecenderungan global.
Kebijakan internasional untuk komoditas jagung dapat dianalisa melalui transmisi
Transmisi perubahan harga jagung akibat faktor internasional dapat dilihat
berdasarkan nilai tukar rupiah, penurunan harga jagung dunia, dan peningkatan
liberalisasi perdagangan.
lebih kecil dibandingkan volatilitas harga komoditas domestik.
Liberalisasi perdagangan cenderung lebih aman sebab volatilitas harga pasar dunia
Kebijakan non-trade dapat mengurangi jumlah penduduk kekurangan makanan
apabila dijalankan secara efektif. Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk inward looking strategy seperti substitusi impor dapat dialokasikan kepada inovasi teknolo gi
dan ekstensifikasi produksi komoditas terkait.
Subsidi pupuk membutuhkan dana yang besar dan tidak tepat sasaran. Pengeluaran
pada subsidi pupuk dapat dialokasikan untuk subsidi pajak lahan produktif secara
progresif seperti yang telah diaplikasikan oleh Cina.
Pengambilan kebijakan untuk
industri jagung juga dapat didasarkan pada
kecenderungan global, dengan mempertimbangkan harga, biaya produksi, dan kondisi
iklim, serta berdasarkan karakteristik penawaran dari negara tersebut.
13
Terdapat beberapa kebijakan yang memiliki pengaruh buruk terhadap kesejahteraan
masyarakat, yaitu kenaikan harga pupuk dan tenaga kerja yang akan menurunkan
surplus produsen dan konsumen, serta devisa negara.
Terdapat beberapa kebijakan yang memiliki pengaruh baik terhadap kese jahteraan
masyarakat, yaitu kebijakan peningkatan populasi ayam ras, devaluasi rupiah, dan
penurunan suku bunga.
Tingkat konsumsi masyarakat adalah indikator penting yang perlu diperhatikan dan
diselaraskan dengan jumlah produksi komoditas terkait. Perlu adanya inovasi dan
diversifikasi pola konsumsi untuk menekan pertumbuhan permintaan komoditas
tertentu.
14
DAFTAR PUSTAKA
Abott, P. (2012). Policies in Developing Countries after 2007-2008 Food Crisis. OECD
Publishing, Paris .
Appleyard, D. R., & Field, A. J. (2010). International Economics 8th Edition. North
Carolina: Mc Graw Hill.
Blazer, K. (2013). International to Domestic Price Transmissioin in Fourteen Developing
Countries during Food Crisis. WIDER Working Paper , 031.
Brooks, J., & Matthews, A. (2014). Agr icultural Trade and Food Security : Choosing
Between Trade and Non-Trade Policy Instrument .
Colman, D., & Trevor, Y. (1989). Principles of Agricultural Economics. Cambridge
University Press.
Dorosh, P. A. (1987). International Trade in Corn. In C. P. Timmer, The Corn Economy of
Indonesia. Ithaca & London: Cornell University Press.
FAO. (2001). Review of Basic Food Policies. Rome: Commodities and Trade Division.
FAO. (2012). The State of Food Insecurity. Roma: FAO.
Ivanic, M. (2008). Implication of Higher Global Food Prices for Poverty in Low-Income
Countries. Agricultural Economics , 405-416.
Mink, S. D. (1987). Corn in the Livestock Economy. In C. P. Timmer, The Corn Economy of
Indonesia. Ithaca & London: Cornell University Press.
Monke, E. A. (1989). The Policy Ana lysis Matrix For Agricultural Development. Outreach
Program .
Napoli, M., Pasquale, D. M., & Mazziotta, M. (2011). Towards a Food Insecurity
Multidimensiona l Index. Milan: Human Development and Food Security.
OECD. (2013). Globa l Food Security : Challenges for the Food and Agriculture System.
Paris: OECD Publishing.
Pearson, S. R. (1987). Prospects for Corn Sweeteners. In C. P. Timmer, The Corn Economy
of Indonesia. Ithaca & London: Cornell University Press.
Purba, H. J. (1999). Keterkaitan Pasar Jagung dan Pakan Ternak Ayam Ras di Indonesia:
Suatu Analisis Simulasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
15
Rachman, B. (2005). Perdagangan Internasional Komoditas Jagung. In F. Kasryno, E.
Pasandaran, & A. Fagi, Ekonomi Jagung Indonesia (pp. 197-209). Jakarta: Badan Litbang
Pertanian.
Rusastra, I. W., & Kasryno, F. (2005). Analisis Kebijakan Ekonomi Jagung Nasional. In F.
Kasryno, E. Pasandaran, & A. Fagi, Ekonomi Jagung Indonesia (pp. 255-287). Jakarta:
Badan Litbang Pertanian.
Simatupang, P., & Syafaat, N. (1999). Analisis Anjloknya Harga Komoditas Pertanian
Selama Semester I-1999. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Suryowati, E. (2016, Januari 4). Kuota Impor Jagung Ditetapkan Per Kuartal. (E. Djumena,
Editor) Retrieved from Kompas:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/01/04/080900426/Kuota.Impor.Jagung.
Ditetapkan.Per.Kuartal
TEMPO. (2016, April 7). Panen Jagung Melimpah tapi Industri Pakan Ternak Malas Beli.
Retrieved from TEMPO:
https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/04/07/090760455/panen-jagung- melimpahtapi- industri-pakan-ternak- malas-beli
TEMPO. (2016, April 25). Target Produksi Jagung dan Kedelai Dinila i Tak Realistis .
Retrieved from TEMPO:
https://bisnis.tempo.co/read/news/2016/04/25/090765790/target-produksi-jagung-dankedelai-dinilai-tak-realistis
World Bank and IMF. (2012). Food Prices, Nutrition, and the MDGs. Washington DC: the
World Bank.
16