TEORI DISONANSI KOGNITIF and TEORI PELAN

TEORI DISONANSI KOGNITIF TEORI PELANGGARAN HARAPAN

Mata Kuliah : Teori Komunikasi

Dr. Sumardi Dahlan, Ir., M.Si

Disusun Oleh : Kelompok 5 (Lima) - 2 PIK 3

Ari Chandren Mohan (14130170) Intan Purnamasari (14130167) Denny Effendy (14130258) Dian Rosa Rina (14130166)

UNIVERSITAS BUNDA MULIA

@JAKARTA 2014

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Kita Panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas Berkat, Rahmat dan Kuasa-Nya maka tugas Makalah dengan Thema : “Teori Disonansi Kognitif & Teori Pelanggaran Harapan ” dalam Mata Kuliah Teori Komunikasi ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Dewasa ini minat seseorang untuk dapat mempelajari dan mendalami Ilmu Komunikasi semakin luas. Bukan saja dikalangan Mahasiswa tetapi juga dikalangan anggota masyarakat umum lainnya, apakah itu lewat sebuah seminar, diskusi ataupun pelatihan khusus mengenai Komunikasi itu sendiri.

Namun, ketika seorang Komunikator dan Komunikan yang menjalin Komunikasi, tak jarang pula ditemukannya sebuah rasa ketidaknyamanan diantara keduanya. Hal ini tentunya mungkin saja terjadi, karena didukung oleh Teori – Teori yang telah ada, seperti Teori Disonansi Kognitif dan Teori Pelanggaran Harapan yang akan kita bahas didalam Makalah ini.

Oleh karena hal tersebut, Team Penulis bertujuan untuk memberikan pemahaman serta penalaran yang baik tentang Teori Komunikasi Disonansi Kognitif dan Teori Pelanggaran Harapan. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua. Atas dukungan dan perhatiannya Kami Ucapkan Terima Kasih kepada Bapak Dosen yang sudah membimbing dan memberikan pengarahan serta rekan – rekan kelas sekalian.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

I DAFTAR ISI

II

BAB I : PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Komunikasi

b. Tujuan Komunikasi dalam Kehidupan

c. Manfaat Komunikasi dalam kehidupan Manusia

BAB II : MATERI & PEMBAHASAN

a. Teori Disonansi Kognitif

b. Teori Pelanggaran Harapan

BAB III : KESIMPULAN & SARAN

a. Kesimpulan

b. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya untuk dapat berinteraksi dengan sesamanya. Ia ingin mengetahui bagaimana keadaan lingkungan sekitarnya, bahkan juga ingin mengetahui apa yang sedang terjadi didalam diri pribadinya. Rasa ingin tahu inilah memaksa manusia untuk perlu melakukan Komunikasi dan Interaksi.

Komunikasi yang merupakan sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan dalam keseharian yang dilaksanakan oleh masing - masing individu sangat berhubungan erat dengan perilaku, watak ataupun karakter individu itu sendiri. Tak jarang pula didalam kesahariannya seorang Komunikator dan Komunikan yang menjalin Interaksi timbul Perbedaan perilaku perindividu masing - masing didalam melakukan komunikasi tersebut, atau juga berhubungan dengan orang lain yang merupakan situasi dimana berkaitan dengan psikologis (psikis / kejiwaan) individu itu sendiri.

Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakatnya. Pengaruh keterisolasian ini akan menimbulkan depresi mental yang pada akhirnya membawa orang kehilangan keseimbangan jiwa. Oleh sebab itu menurut Dr.Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi sudah merupakan bagian Dalam hidup bermasyarakat, orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakatnya. Pengaruh keterisolasian ini akan menimbulkan depresi mental yang pada akhirnya membawa orang kehilangan keseimbangan jiwa. Oleh sebab itu menurut Dr.Everett Kleinjan dari East West Center Hawaii, komunikasi sudah merupakan bagian

Banyak pakar meniai bahwa komunikasi adalah suatu kebutuhan yang sangat fundamental bagi seseorang dalam hidup bermasyarakat. Profesor Wilbur Schramm menyebutnya bahwa komunikasi dan masyarakat adalah dua kata kembar yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama yang lainnya. Sebab komunikasi tidak mungkin masyarakat terbentuk, sebaliknya tanpa masyarakat maka manusia tidak mungkin dapat mengembangkan Komunikasi.

Atas dasar tersebut, maka timbulah beberapa Teori dan statement – statement yang dicetuskan oleh beberapa para ahli dibidang Komunikasi, maupun yang berasal dari cabang Ilmu lainnya yang mencakup paham Komunikasi. Seperti Teori Disonansi Kognitif yang salah satu statementnya dicetuskan oleh Leon Festinger yang merupakan seorang ahli psikologi (psikolog), ataupaun Teori Pelanggaran Harapan yang dicetuskan oleh Judee Burgoon.

Tujuan utama dari dikuatkannya Teori – Teori Komunikasi yang ada ialah untuk kita yang bertindak sebagai Komunikator ataupun Komunikan agar dapat memahami, menjalani dan mengaplikasikan Komunikasi tersebut dengan baik dan benar serta juga mengatasi segala permasalahan - permasalahan yang ada pada jalinan Komunikasi sendiri, seperti rasa ketidaknyamanan yang terjadi diantara Komunikan dan Komunikator yang sedang menjalin

A. Latar Belakang Komunikasi

Komunikasi merupakan konsep atau pengertian yang Multi Makna. Komunikasi adalah “suatu proses dimana seseorang atau beberapa orang, kelompok, organisasi dan masyarakat menciptakan, dan menggunakan informasi tersebut agar terhubung dengan lingkungan orang lain atau sekumpulan orang banyak ”.

Pada umumnya Komunikasi dilakukan secara lisan atau Verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa Verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, Komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak – gerik badan (Body Language / Gesture Tubuh), menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum untuk memberi arti menyapa atau merespon seseorang, menggelengkan kepala untuk memberi arti ketidak mengertian pada suatu pembicaraan, mengangkat bahu untuk menyatakan tidak tahu dalam sebuah pertanyaan. Cara seperti ini disebut juga dengan Komunikasi bahasa Non Verbal.

Komunikasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses penyampaian Informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepihak lain. Dengan adanya Komunikasi didalam kehidupan bermasyarakat, maka sebuah Informasi lebih mudah diperoleh dan lebih cepat berkembang luas. Hal ini juga didukung oleh beberapa faktor media atau perangkat komunikasi yang semakin hari semakin canggih, misalnya : Telepon genggam dengan spesifikasi terup to

B. Tujuan Komunikasi dalam Kehidupan

Didalam kehidupan keseharian manusia, baik dia muda, tua ataupun seseorang yang bisa dikatakan sudah lanjut usia pasti memiliki tujuan dalam hidupnya untuk bisa menentukan mana yang terbaik buat dirinya sendiri dan orang – orang yang berada disekitarnya, misalnya Keluarga dimasa yang akan datang.

dengan kepribadiannya sendiri (Intrapersonal Communication) dan dengan orang – orang yang berada disekitarnya (Intrapersonal Communication) sangat berperan penting dalam menentukan hasil terbaik pula dari tujuan yang telah direncanakannya tersebut.

Disini terlihat jelas,

bahwa

Komunikasi

Begitu juga dengan Komunikasi, setiap orang yang melakukan interaksi atau komunikasi dengan orang lain atau sekumpulan orang pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu didalamnya. Apakah itu berpengaruh positif bagi keduanya atau bahkan juga pengaruh negatif.

Sifat manusia untuk menyampaikan keinginannya dan untuk mengetahui hasrat orang lain, merupakan awal keterampilan manusia berkomunikasi agar bisa terwujudnya sebuah interaksi tersebut. Namun bukanlah sebuah hal yang mudah untuk kita bisa mengaplikasikan maksud dan tujuan kita terhadap lawan bicara tanpa kita dibekali teknik – teknik berkomunikasi yang baik dan benar agar dapat diterima oleh dia lawan bicara kita.

Singkat kata, Dewasa ini bisa dikatakan Keberhasilan dan Kegagalan seseorang dalam mencapai tujuan hidup dan sesuatu yang diinginkannya termasuk didalam dunia karier / pekerjaan, pendidikan serta kehidupan sosial, banyak ditentukan dalam kemampuannya menjalin komunikasi dengan lingkungan sekitar.

C. Manfaat Komunikasi dalam Kehidupan Manusia

Dalam kehidupan sehari - hari, komunikasi yang baik sangat penting untuk berinteraksi antar personal maupun antar masyarakat agar terjadi keserasian dan mencegah konflik dalam lingkungan masyarakat. Misalnya Dalam hubungan bilateral antar negara diperlukan juga komunikasi yang baik agar hubungan tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancar. Contohnya : Manfaat komunikasi adalah dalam hubungan kerjasama antar Negara, seperti yang baru – baru ini terjadi didalam pencarian pesawat Malaysia Airlines (MAS) MH370 yang hilang beberapa pekan lalu. Ikut sertanya beberapa Negara seperti Australia, Amerika, China serta Malaysia sendiri merupakan dampak positif yang timbul dari manfaat Komunikasi.

Sebaliknya, Miss Communication (terjadinya kesalahan dalam salah satu proses komunikasi) akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan atau misi yang hendak di capai. Seperti yang terjadi dalam hubungan Indonesia dengan Australia, dimana pihak Australia menganggap pernyataan Indonesia mengenai “Negara Bebas Teroris” di terjemahkan oleh Australia sebagai “Indonesia

Gudang Teroris”. Hal ini menyebabkan dampak yang kurang baik dalam hubungan kedua negara tersebut. Dari kedua contoh di atas dapat kita simpulkan bahwa komunikasi sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan. Contoh lain dalam pendidikan seperti hubungan

adanya komunikasi,maka kegiatan belajar - mengajar akan berlangsung dengan baik dan lancar.

Intinya, manfaat Komunikasi di dalam Kehidupan bermasyarkat Manusia sangat berguna bagi kelangsungan hidupnya didalam dunia bersosialisasi, berpendapat / berargumen, beradaptasi serta berinteraksi dengan sesamanya.

BAB II

MATERI & PEMBAHASAN

A. Teori Disonansi Kognitif

Teori Disonansi Kognitif pertama kali diperkenalkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957 dan berkembang pesat sebagai sebuah pendekatan dalam memahami area umum dalam Komunikasi dan pengaruh sosial. Ada terdapat beberapa Teori dalam menjelaskan konsistensi atau keseimbangan, diantarnya adalah Teori Ketidakseimbangan Kognitif (cognitive imbalance theory) oleh Heider pada tahun 1946, Teori Asimetri (asymetry theory) oleh Newcomb pada tahun 1953, dan Teori Ketidakselarasan (incongruence) oleh Osgood dan Tannembaum pada tahun 1952.

Namun Shaw & Contanzo pada tahun 1985 mengatakan bahwa Teori Disonansi Kognitif memiliki dua perbedaan hal penting yang terdapat didalam proses Teori ini, yaitu :

1. Tujuannya, yang dimaksudkan untuk memahami hubungan tingkah laku (behavior) dan Kognitif (cognitive) secara umum, tidak hanya merupakan sebuah teori dari tingkah laku sosial.

2. Pengaruhnya, dalam sebuah penelitian Psikologi yang dilakukan oleh pakar psikolog, suatu hubungan sosial telah menjadi suatu hal yang sangat besar dibandingkan teori konsistensi lainnya, jika memiliki perbandingan.

Menurut Festinger (1957) disonansi kognitif adalah ketidaksesuaian yang terjadi antara dua elemen kognitif yang tidak konsisten yang menyebabkan ketidaknyamanan Psikologis serta memotivasi orang untuk berbuat sesuatu agar disonansi itu dapat dikurangi. Istilah disonansi / disonan berkaitan dengan istilah konsonan dimana keduanya mengacu pada hubungan yang ada antara dua buah elemen.

Elemen - elemen yang dimaksud adalah elemen kognitif yaitu Hubungan antara elemen kognitif yang konsonan berarti adanya suatu kesesuaian antara elemen kognitif manusia (Festinger, 1957 dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006). Sementara hubungan yang disonan seperti yang juga diungkapkan oleh Festinger (1957) :

“These two elements are in a dissonant relation if, considering these two alone, the observe of one element would

follow from the other” Kedua elemen yang dimaksud oleh Festinger (1957) ialah :

1. Hubungan tidak relevan (irrelevant), yaitu tidak adanya kaitan antara dua elemen Kognitif. Misalnya : pengetahuan bahwa merokok buruk bagi kesehatan dengan pengetahuan bahwa Indonesia tidak pernah turun salju. Dapat kita lihat, bahwa dua hal ini tidak memiliki kaitan antara satu sama lain. Yang mana pengetahuan merokok itu buruk ditujukan untuk para perokok, dan pengetahuan Indonesia tidak pernah turun salju ditujukan

2. Hubungan relevan (relevant), yaitu hubungan yang berkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu elemen mempunyai dampak terhadap elemen yang lainnya. Hubungan initerdiri dari dua macam, yaitu :

1. Disonan, jika dari kedua elemen Kognitif, satu elemen diikuti penyangkalan (observe) dari yang elemen lainnya. Contoh : seseorang yang mengetahui bahwa bila terkena hujan akan basah mengalami disonan ketika pada suatu hari ia mendapati dirinya tidak basah saat ia terkena hujan.

2. Konsonan, terjadi ketika dua elemen bersifat relevan dan tidak disonan, dimana satu Kognisi diikuti secara selaras. Contoh : seseorang yang mengetahui bahwa bila terkena hujan akan basah dan memang selalu basah bila terkena hujan.

Contoh hubungan yang disonan antara elemen kognitif menurut Festinger (1957) yaitu jika seseorang tahu bahwa ia sedang terlilit hutang dan dia membeli sebuah mobil baru, maka akan terjadilah sesuatu yang disebut dengan hubungan yang disonan antara kedua elemen kognitif tersebut, yaitu antara terlilit hutang yang lebih banyak dan adanya hasrat untuk memiliki mobil baru.

Festinger juga menyatakan bahwa hubungan yang konsonan antara elemen kognitif menghasilkan perasaan yang menyenangkan, Festinger juga menyatakan bahwa hubungan yang konsonan antara elemen kognitif menghasilkan perasaan yang menyenangkan,

Setiap hubungan yang disonan tentu saja tidak sama besarnya, dimana Festinger (dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006) menyatakan bahwa tingkat kepentingan dari elemen - elemen Kognitif mempengaruhi besarnya disonansi yang terjadi. Semakin penting atau semakin bernilainya suatu elemen kognitif akan mempengaruhi besarnya hubungan yang disonan antara elemen tersebut. Breckler, Olson, & Wiggins (2006) juga menyatakan bahwa disonansi antara elemen - elemen kognitif yang penting akan menyebabkan perasaan negatif yang lebih besar dibandingkan disonansi yang terjadi pada elemen - elemen yang kurang penting.

Sebagai salah satu contoh ilustrasinya yaitu, ketika kita melukai perasaan sahabat, teman ataupun kekasih akan lebih menimbulkan disonansi yang lebih besar dibanding ketika melukai perasaan orang asing yang baru kita kenal ataupun yang belum sama sekali kita ketahui siapa orang tersebut.

Komunikasi memang merupakan suatu kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir dan selama Manusia menjalani proses kehidupannya, Manusia akan selalu terlibat dalam tindakan - Komunikasi memang merupakan suatu kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir dan selama Manusia menjalani proses kehidupannya, Manusia akan selalu terlibat dalam tindakan -

Begitu pula dengan Teori Disonansi Kognitif ini, prakata dan statement real yang dicetuskan para ahli seperti Festinger, dapat terjadi dengan siapa saja yang melakukan Interaksi dan menjalin Komunikasi, baik itu secara interpersonal maupun intrapersonal. Tanpa memperhatikan ruang Komunikasi yang ada, hanya perlu memahami sikap, perilaku, karakter, sifat dan watak diri sendiri ataupun orang lain yang menjadi lawan bicara kita.

Karena Teori Disonansi Kognitif menjadi salah satu penjelasan yang paling luas yang diterima terhadap perubahan tingkah laku dan banyak perilaku sosial lainnya. Teori ini telah di genralisir pada lebih dari seribu penelitian dan memiliki kemungkinan menjadi bagian yang terintegrasi dari teori psikologi sosial untuk bertahun – tahun, seperti yang dikatakan oleh Cooper & Croyle pada tahun 1984 dan dalam Vaughan & Hogg tahun 2005.

 PENGERTIAN SECARA TEORITIS  Leon Festinger yang merupakan seorang pakar Psikolog, pada

tahun 1957 menyatakan bahwa Kognitif menunjuk pada setiap bentuk pengetahuan, opini, keyakinan ataupun perasaan mengenai diri seseorang atau lingkungan dimana seseorang itu berada. Elemen – elemen Kognitif ini berhubungan dengan hal – hal nyata atau pengalaman sehari – hari dilingkungan dan hal – hal yang terdapat dalam dunia psikologis (psikis) seseorang.

 Wibowo dalam sebuah buku karangan Sarwono, S.W. pada tahun 2009, mendefinisikan Disonansi Kognitif sebagai keadaan tidak nyaman akibat adanya ketidaksesuaian antara dua sikap atau lebih serta antara sikap dan tingkah laku.

 Roger brown pada tahun 1965 mengatakan, dasar dari teori ini adalah mengikuti sebuah prinsip yang cukup sederhana, yaitu : ”Keadaan Disonansi Kognitif dikatakan sebagai keadaan ketidaknyaman Psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha - usaha untuk mencapai konsonansi”. Disonansi sendiri menurut beliau adalah sebutan untuk menyampaikan ketidakseimbangan dan Konsonansi merupakan sebutan untuk menyatakan keseimbangan yang terjadi. Brown menyatakan Teori ini memungkinkan dua elemen untuk melihat tiga hubungan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

 KONSEP TEORI DISONANSI KOGNITIF Ketika Teoretikus Disonansi berusaha untuk melakukan prediksi seberapa banyak ketidaknyaman atau disonansi yang dialami seseorang, mereka mengakui adanya konsep tingkat disonansi. Tingkat disonansi (magnitude of dissonance) merujuk kepada jumlah kuantitatif disonansi yang dialami oleh seseorang. Tingkat disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kognisi yang mungkin ia gunakan untuk mengurangi disonansi tersebut. Teori CDT (Cognitive Dissonant Theory) dapat dikatakan juga sebagai sisi untuk membedakan antara situasi yang menghasilkan lebih banyak disonansi dan situasi yang menghasilkan lebih sedikit konsonansi.

Kembali kepada Festinger (1957), beliau pernah mengemukakan, bahwa jia Dua orang Individu yang memiliki situasi yang sama memiliki kemungkinan berada dalam suatu kondisi yang disonan. Aronson (dalam Shaw & Contanzo, 1985) menyatakan bahwa perbedaan individu berperan dalam proses disonansi kognitif. Perbedaan ini terjadi dalam kemampuan subyek dalam mentoleransi disonansi, cara yang dipilih subyek untuk mengurangi kondisi disonan, dan cara subyek memandang suatu masalah sebagai konsonan atau disonan dalam sebuah kepribadian individu.

 ASUMSI TEORITIS DISONANSI KOGNITIF Teori Disonansi Kognitif memiliki sejumlah Asumsi,

anggapan, presepsi ataupun statement dasar, diantaranya adalah :

1. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya. Teori ini menekankan pada sebuah model mengenai sifat dasar dari diri manusia yang mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi.

2. Disonansi diciptakan oleh Inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta – fakta yang tidak harus konsisten secara psikologis (kejiwaan / mental) satu individu dengan individu lainnya untuk menimbulkan Disonansi Kognitif.

3. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan dengan dampak - dampak yang tidak dapat diukur didalamnya. Teori memang ini menekankan seseorang yang berada dalam kondisi Disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman, sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.

4. Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh Konsonansi dan usaha untuk mengurangi suatu kondisi Disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan Disonansi yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensi.

 PENYEBAB TERJADINYA DISONANSI KOGNITIF Pada tahun yang sama, 1957, Festinger juga menyebutkan adanya dua situasi umum yang menyebabkan munculnya Disonansi. Yaitu ketika terjadi peristiwa atau informasi baru dan ketika sebuah opini atau keputusan harus dibuat, dimana Kognisi dan tindakan yang dilakukan berbeda dengan opini atau pengetahuan yang mengarahkan ke tindakan lain. Lebih lanjutnya Festinger menyebutkan empat sumber Disonansi dari situasi tersebut, yaitu :

1. Inkonsistensi Logika (logical incosistency), yaitu mengenai Logika Berpikir kita yang mengingkari Logika Berfikir orang lain. Misalnya, seseorang yang percaya bahwa manusia dapat mencapai bulan dan juga ada yang percaya bahwa manusia tidak dapat membuat alat yang dapat membantu keluar dari atmosphere bumi, possible - impossible.

2. Nilai Budaya (cultural mores), yaitu bahwa Kognisi yang dimiliki seseorang disuatu budaya kemungkinan akan berbeda dibudaya lainnya. Misalnya orang Indonesia yang mengetahui bahwa bersendawa setelah makan merupakan hal yang sangat tidak sopan dan merupakan hal yang menjijikkan bagi orang yang berada disekitarnya, disonan dengan kenyataan bahwa hal tersebut tidak wajar pada Etika makan dibudaya Jepang, yang memiliki arti bahwa itu mensyukuri atas berkat makanan yang

3. Opini Umum (Opinion Generality), yaitu disonansi mungkin muncul karena sebuah pendapat yang berbeda dengan yang menjadi pendapat umum. Misalnya pada saat Pemilihan Umum seorang anggota partai Demokrat yang dianggap publik pasti akan mendukung kandidat dari partai yang sama, ternyata lebih memilih kandidat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang merupakan rival dari partainya sendiri.

4. Pengalaman Masa Lalu (past experience), yaitu Disonansi akan muncul bila sebuah Kognisi tidak konsisten dengan pengalaman masa lalunya. Misalnya seseorang mahasiswa yang terlambat masuk kelas tidak diizini oleh Dosen untuk typing (mengisi absensi), akan mengalami disonan ketika pada suatu hari ada seorang lain yang terlambat masuk kelas namun ternyata diizini Dosen untuk mengisi absensi, agar tidak menjadi Alfa.

Keempat hal tersebutlah yang hingga saat ini masih sering mendominasi untuk terjadinya Disonansi Kognitif, yang mana pada akhirnya menimbulkan rasa ketidaknyamanan secara psikologi (psikis) terhadap seseorang, terlebih yang mengalami hal – hal tersebut secara pribadi.

 IMPLIKASI TEORI DISONANSI KOGNITIF Didalam buku karangan Shaw & Constanzo pada tahun

1982, Leon Festinger juga mengatakan bahwa Teori Disonansi Kognitif memiliki Implikasi penting didalam menghadapi banyak situasi spesifik. Festinger menjabarkan Implikasi – Implikasi tersebut dalam seseorang mengambil Keputusan (decisions), Forced Compliance, Pencarian Informasi (Exposure to Information), dan Dukungan Sosial (Social Support). Dari situasi - situasi tersebut dapat diketahui besarnya kekuatan sebuah Disonansi.

1. Keputusan (Decisions)

Keputusan (Decisions) termasuk kedalam Implikasi dari Disonansi Kognitif yang menyatakan bahwa Disonansi Kognitif merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan dari sebuah Keputusan (Decisions). Hal tersebut didasari oleh kenyataan bahwa seorang individual harus berhadapan dengan sebuah situasi konflik sebelum sebuah keputusan dapat dibuat.

Pada umumnya, elemen Disonan adalah aspek Negatif dari alternatif yang dipilih dengan aspek positif yang ditolak. Disonansi akan semakin kuat jika Keputusan (Decisions) semakin penting dan jika ketertarikan dari alternatif yang tidak dipilih semakin besar. Contoh dari munculnya disonansi dalam sebuah Keputusan (Decisions) yang diambil adalah seorang perokok berat yang memutuskan untuk tetap merokok mengalamin disonan ketika ia Pada umumnya, elemen Disonan adalah aspek Negatif dari alternatif yang dipilih dengan aspek positif yang ditolak. Disonansi akan semakin kuat jika Keputusan (Decisions) semakin penting dan jika ketertarikan dari alternatif yang tidak dipilih semakin besar. Contoh dari munculnya disonansi dalam sebuah Keputusan (Decisions) yang diambil adalah seorang perokok berat yang memutuskan untuk tetap merokok mengalamin disonan ketika ia

2. Forced Compliance

Forced Compliance merupakan suatu permintaan dari luar diri seseorang yang dipaksakan kepada seorang individu. Aplikasi dari Teori disonansi pada Forced Compliance terbatas pada permintaan publik (Compliance) tanpa disertai oleh perubahan pendapat pribadi yang ada.

Sumber Disonansi adalah kesadaran seseorang dari tingkah laku yang diharuskan publik yang tidak konsisten dengan pendapat pribadi. Forced Compliance ini mempengaruhi individu, misalnya seorang perokok berat yang membuat keputusan (decisions) untuk tidak merokok, alhasil dia berhasil mengubahnya (berhenti merokok). Atau dalam hal nya dapat dikatakan sebagai jalan untuk merubah perilaku atau ucapan yang tampak terlihat merubah sebuah opini dan keyakinan mereka dengan tetap memegang keyakinan sebelumnya (merokok sembunyi – sembunyi atau takut akan bahaya dan dampak dari merokok), atau justru membuat mereka mencari dukungan sosial yang mendukung pendapat, opini dan statement yang mereka miliki (bergabung dengan klub penggemar rokok).

3. Pencarian Informasi (Exposure to Information)

Festinger memberikan sebuah hipotesis, bahwa pencarian Informasi secara aktif akan berkorelasi dengan kekuatan sebuah Disonansi. Disonansi tersebut menyebabkan pencarian sebuah Informasi menjadi lebih selektif dan terperinci, yaitu seorang individu akan lebih mencari Informasi yang menyebabkan konsonan dan menghindari informasi yang menyebabkan disonansi.

Contohnya didalam hal hilangnya pesawat Malaysia Airlines (MAS) MH370, yang hingga sekarang keberadaan dan posisinya masih dipertanyakan, walaupun kabar terakhir yang ada mengatakan kapal terjatuh diseputaran Samudera Hindia. Namun, sampai dimana kebenaran dan kenyataannya masih belum dapat dipastikan secara tepat. Maka itu dibutuhkanlah pencarian melalui selektif data lebih terperinci dan lain sebagainya, hingga diperolehnya sebuah Informasi yang akurat, terpercaya dan sesuai kenyataan.

4. Dukungan Sosial (Social Support)

Didalam halnya Dukungan Sosial (social support) berperan dalam mengurangi kondisi Disonan, seperti apa yang dikatakan oleh Festinger pada tahun yang sama (1957). Disonansi Kognitif akan dihasilkan oleh seseorang yang mengetahui bahwa orang lain memiliki opini yang berlawanan dengan opininya.

 PRESEPSI DISONANSI KOGNITIF Teori Disonansi Kognitif berkaitan dengan proses pemilihan

terpaan (selective exposure), pemilihan perhatian (selective attention), pemilihan interpretasi (selective interpretation), dan pemilihan retensi (selective retention), karena teori ini memprediksi bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi. Proses perseptual ini merupakan dasar dari sebuah penghindaran yang ditujukan.

1. Terpaan Selektif (Selective Exposure)

Mencari informasi yang konsisten yang belum ada, membantu untuk mengurangi disonansi. Teori Disonansi Kognitif memprediksikan bahwa orang akan menghindari informasi yang meningkatkan disonansi dan mencari informasi yang konsisten dengan sikap serta prilaku mereka.

2. Pemilihan Perhatian (Selective Attention)

Merujuk pada dengan melihat informasi secara konsisten begitu konsisten itu timbul. Orang memperhatikan informasi dalam lingkungannya yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya sementara tidak menghiraukan informasi yang tidak konsisten.

3. Interpretasi Selektif (Selective Interpretation)

Melibatkan penginterpretasikan informasi yang ambigu Melibatkan penginterpretasikan informasi yang ambigu

4. Retensi Selektif (Selective Retention)

Merujuk pada mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan kemampuannya yang lebih besar dibandingkan yang kita akan lakukan terhadap informasi yang konsisten dengan kemampuan yang lebih besar dibandingkan yang kita lakukan terhadap informasi yang tidak konsisten.

 UPAYA MENGATASI DISONANSI KOGNITIF Adanya Disonansi yang terjadi didalam sebuah Interaksi

maupun jalinan Komunikasi, dapat lebih meningkatkan tekanan untuk mengurangi atau bahkan mengeleminasi Disonansi yang terjadi tersebut. Semakin besar suatu Disonansi Kognitif yang terjadi, maka intensitas perilaku yang dikeluarkan untuk mengurangi Disonansi tersebut akan semakin meningkat serta perilaku penghindaran yang dapat meningkatkan Disonansi juga akan semakin sering dilakukan (Festinger, 1957).

Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi Disonansi

1. Mengubah Elemen Kognitif Tingkah Laku

Ketika disonansi terjadi antara elemen kognisi lingkungan dengan elemen tingkah laku, disonansi dapat dihilangkan dengan cara mengubah elemen kognisi tingkah laku agar konsonan dengan elemen lingkungan. Sebagai contoh adalah orang yang merokok dan dia tau bahwa rokok dapat menyebabkan kanker paru-paru, akan berhenti merokok untuk menghilangkan disonansi kognitif yang dia rasakan. Cara ini paling sering dilakukan, tetapi tidak selalu dapat dilakukan karena mengubah tingkah laku yang sudah menjadi kebiasaan tidaklah mudah.

2. Mengubah Elemen Kognitif Lingkungan

Mengubah elemen kognitif lingkungan agar konsonan dengan elemen kognitif tingkah laku dapat dilakukan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan disonansi kognitif yang terjadi. Hal ini tentu saja lebih sulit dibandingkan mengubah elemen tingkah laku karena individu harus punya kontrol yang cukup terhadap lingkungannya.

3. Menambah Elemen Kognitif yang Baru

Disonansi kognitif juga dapat dikurangi dengan cara menambah elemen kognitif yang baru agar konsonan dengan elemen kognitif yang lain. Dengan menambah elemen kognitif yang Disonansi kognitif juga dapat dikurangi dengan cara menambah elemen kognitif yang baru agar konsonan dengan elemen kognitif yang lain. Dengan menambah elemen kognitif yang

Menurut Breckler, Olson, & Wiggins, (2006) cara mereduksi atau mengatasi disonansi kognitif tersebut juga dapat dilakukan lewat Rasionalisasi, yaitu meyakinkan diri sendiri bahwa perilaku yang dilakukan saat ini atau di masa lampau semuanya masuk akal dan dapat diterima oleh orang lain.

Sedangkan menurut Simon, Greenberg, & Brehm (1995, dalam Baron & Byrne, 2000) mengurangi atau mengantisipasi Disonansi kognitif dapat dilakukan dengan cara Trivialization atau secara mental meminimalisir tingkat kepentingan dari sikap atau perilaku yang tidak konsisten, yang juga dapat dilakukan sebagai teknik untuk mengurangi Disonansi Kognitif yang dialami.

B. Teori Pelanggaran Harapan

Judee Burgoon (1978, 1983, 1985) dan Steven Jones (Burgoon & Jones 1976) pertama kali merancang Teori Pelanggaran Harapan, atau yang pada umumnya lebih dikenal sebagai Teori Pelanggaran Harapan Nonverbal (Nonverbal Expectancy Violation Theory / NEV Theory) yang mana bertujuan Untuk menjelaskan konsekuensi dari perubahan jarak dan ruang pribadi selama interaksi komunikasi antar pribadi.

Nonverbal Expectancy Violation (NEV) Theory adalah salah satu teori pertama tentang komunikasi nonverbal yang dikembangkan oleh sarjana komunikasi. NEV Theory secara terus menerus ditinjau kembali dan diperluas. Dewasa ini teori NEV digunakan untuk menjelaskan suatu cakupan luas dari hasil komunikasi yang dihubungkan dengan pelanggaran harapan tentang perilaku komunikasi nonverbal (Infante, 2003: 177).

Judee K. Burgoon adalah Profesor Komunikasi dari Universitas Arizona AS dan merupakan salah seorang teoritikus wanita yang paling tekun dalam meneliti berbagai dimensi komunikasi nonverbal sepanjang dasawarsa 1970-an hingga 1990- an. Pemikirannya yang tersebar dalam ratusan artikel yang dimuat dalam jurnal dan buku - buku komunikasi memberikan pengaruh yang besar dalam membentuk pemahaman kita tentang berbagai aspek komunikasi nonverbal dewasa ini.

Ada kisah unik dibalik ketertarikan Burgoon pada bidang komunikasi nonverbal. Ceritanya ketika masih kuliah di tingkat sarjana di Universitas West Virginia Amerika Serikat, Burgoon termasuk mahasiswi yang sangat cerdas tapi kurang menyukai topik - topik mata kuliah yang berkaitan dengan komunikasi nonverbal. Celakanya dalam mata kuliah seminar yang diikutinya salah seorang dosen justru memintanya untuk mengupas topik tentang komunikasi nonverbal. Merasa tidak punya pilihan akhirnya dengan segala kesungguhan (dan juga keterpaksaan) Burgoon membaca semua literatur yang ada.

Hasilnya ternyata luar biasa, la tidak saja berhasil menyelesaikan tugas tersebut dengan bobot akademis yang tinggi tetapi juga membekaskan minat yang mendalam untuk melakukan penelitian komunikasi nonverbal lebih lanjut khususnya tentang penggunaan ruang dan jarak dalam berkomunikasi.

Studi tentang penggunaan ruang dan jarak dalam berkomunikasi atau lebih populer disebut Proksemik sebenarnya telah dikembangkan oleh Edward T. Hall sejak tahun 1960-an. Dalam teorinya, Hall membedakan empat macam jarak yang menurutnya mengambarkan ragam jarak komunikasi yang diperbolehkan dalam kultur Amerika yakni jarak intim (0 – 18 inci), jarak pribadi (18 inci – 4 kaki), jarak sosial (4 -10 kaki), dan jarak publik (lebih dari 10 kaki).

Terkait dengan keempat macam jarak tersebut kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut; Apa yang akan terjadi ketika seseorang menunjukkan tingkah laku nonverbal yang mengejutkan atau diluardugaan? atau bagaimana persepsi seseorang terhadap tingkah laku nonverbal yang mengejutkan tersebut bila dikaitkan dengan dayatarik antarpribadi?. Berawal dari pertanyaan semacam itulah kemudian Burgoon meneliti perilaku komunikasi nonverbal masyarakat Amerika yang menghantarkannya pada penemuan sebuah teori yang kemudian dikenal sebagai Nonverbal Expectancy Violation Theory (NEV Theory).

Teori tersebut untuk pertama kalinya diuraikan secara panjang lebar dalam tulisan Burgoon bertajuk A Communication Model of Personal Space Violations : Explication and An Initial Test yang diterbitkan dalam Jurnal Human Communication Research volume 4 tahun 1978

 ESENSI TEORI Teori ini bertolak dari keyakinan bahwa kita memiliki harapan - harapan tertentu tentang bagaimana orang lain sepatutnya berperilaku atau bertindak ketika berinteraksi ataupun menjalin komunikasi dengan kita. Kepatutan tindakan tersebut pada prinsipnya diukur berdasarkan norma-norma sosial yang berlaku atau berdasarkan kerangka pengalaman kita sebelumnya (Field of  ESENSI TEORI Teori ini bertolak dari keyakinan bahwa kita memiliki harapan - harapan tertentu tentang bagaimana orang lain sepatutnya berperilaku atau bertindak ketika berinteraksi ataupun menjalin komunikasi dengan kita. Kepatutan tindakan tersebut pada prinsipnya diukur berdasarkan norma-norma sosial yang berlaku atau berdasarkan kerangka pengalaman kita sebelumnya (Field of

Bertolak dari pernyataan diatas kemudian Teori ini berasumsi bahwa setiap orang memiliki harapan - harapan tertentu pada perilaku Nonverbal orang lain. Jika harapan tersebut dilanggar maka orang akan bereaksi dengan memberikan penilaian positif atau negatif sesuai karakteristik pelaku pelanggaran tersebut.

Sebuah contoh kecil mungkin akan memperjelas pemahaman anda tentang asumsi teori ini. Anggaplah anda seorang gadis jujur yang sedang ditaksir oleh dua orang pemuda. Anda tidak bingung karena jelas anda hanya menyukai salah seorang diantara mereka. Apa yang terjadi ketika pemuda yang anda senangi tersebut menemui anda dan berdiri terlalu dekat sehingga melanggar jarak komunikasi antarpribadi yang diterima secara normatif? Besar kemungkinan anda akan menilainya secara positif. Itulah tanda perhatian yang tulus atau itulah perilaku pria sejati ujar anda. Namun bagaimana halnya bila yang melakukan tindakan tersebut pria yang bukan anda senangi? Tentunya Anda akan bereaksi secara negatif. Anda akan mengatakan bahwa orang itu tidak tahu sopan santun atau mungkin dalam hati anda akan berujar “Dasar lu, kagak tahu diri dan tidak punya sopan santun terhadap wanita !”

Jadi kita menilai suatu pelanggaran didasarkan pada bagaimana perasaan kita pada orang tersebut. Bila kita menyukai orang tersebut maka besar kemungkinan kita akan menerima pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan menilainya secara positif. Sebaliknya bila sumber pelanggaran dipersepsi tidak menarik atau kita tidak menyukainya maka kita akan menilai pelanggaran tersebut sebagai sesuatu yang negatif.

Menurut NEV Theory, beberapa faktor saling berhubungan untuk mempengaruhi bagaimana kita bereaksi terhadap pelanggaran dari jenis perilaku nonverbal yang kita harapkan untuk menghadapi situasi tertentu . Ada tiga konstruk pokok dari teori ini yakni ; Harapan (Expectancies), Valensi Pelanggaran (Violations Valence), dan Valensi Ganjaran Komunikator (Communicator Reward Valence) (Griffin, 2004: 88).

1. Expectancies (Harapan)

Faktor Teori Pelanggaran Harapan (NEV Theory) yang pertama adalah mengenai bagaimana cara kita untuk mempertimbangkan harapan yang kita empuhnya. Melalui norma - norma sosial kita membentuk ”harapan” tentang bagaimana orang lain (perlu) bertindak secara nonverbal (dan secara lisan) ketika kita saling berinteraksi dengan mereka. Harapan merujuk pada pola - pola komunikasi yang diantisipasi oleh individu berdasarkan pijakan normatif masing - masing individu atau pijakan kelompok. Jika

khas, maka suatu pelanggaran pengharapan telah terjadi. Apapun “yang diluar kebiasaan” menyebabkan kita untuk mengambil reaksi khusus (menyangkut) perilaku itu. Sebagai contoh, kita akan berekasi (dan mungkin dengan sangat gelisah / tidak nyaman) jika seorang asing meminta berdiri sangat dekat dengan kita. Dengan cara yang sama, kita akan bereaksi lain jika orang yang penting dengan kita berdiri sangat jauh sekali dari kita pada suatu pesta. Dengan kata lain kita memiliki harapan terhadap tingkah laku nonverbal apa yang pantas dilakukan orang lain terhadap diri kita. Jika perilaku nonverbal seseorang, ketika berkomunikasi dengan kita, sesuai atau kurang lebih sama dengan pengharapan kita, maka kita akan merasa nyaman baik secara fisik maupun psikologis. Persoalannya adalah tidak selamanya tingkah laku orang lain sama dengan apa yang kita harapkan. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi gangguan psikologis maupun Kognitif dalam diri kita baik yang sifatnya positif ataupun negatif. Suatu pelanggaran dari harapan nonverbal kita dapat mengganggu ketenangan; hal tersebut dapat menyebabkan bangkitnya suasana emosional (Infante, 2003: 177)

Kita mempelajari harapan dari sejumlah sumber (Floyd, Ramirez & Burgoon, 1999). Pertama, budaya di mana kita tinggal membentuk harapan kita tentang beragam jenis perilaku komunikasi, termasuk komunikasi nonverbal. Pada budaya yang menganut “contact culture” kontak mata lebih banyak terjadi, sentuhan lebih Kita mempelajari harapan dari sejumlah sumber (Floyd, Ramirez & Burgoon, 1999). Pertama, budaya di mana kita tinggal membentuk harapan kita tentang beragam jenis perilaku komunikasi, termasuk komunikasi nonverbal. Pada budaya yang menganut “contact culture” kontak mata lebih banyak terjadi, sentuhan lebih

Makna tergantung pada situasi dan hubungan diantara individu-individu. Pengalaman pribadi kita juga mempengaruhi harapan. Kondisi interaksi kita yang berulang akan mengharapkan terjadinya perilaku tertentu. Jika kawan sekamar kita yang biasanya periang tiba - tiba berhenti tersenyum ketika kita masuk kamar, kita menghadapi suatu situasi yang jelas berbeda dengan harapan. NEV Theory menyatakan bahwa harapan “meliputi penilaian tentang perilaku yang mungkin, layak, sesuai, dan khas untuk suasana tertentu, sesuai tujuan, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari partisipan” (Bur-goon & Hale, 1988, hal. 60). (Infante, 2003: 178)

2. Violation Valence (Valensi Pelanggaran)

Ketika harapan nonverbal kita dilanggar oleh orang lain, kita kemudian melakukan penafsiran sekaligus menilai apakah pelanggaran tersebut positif ataukah negatif. Penafsiran dan evaluasi kita tentang perilaku pelanggaran harapan nonverbal yang biasa disebut Violation Valenceatau, Valensi Pelanggaran adalah elemen kedua yang penting dari NEV Theory.

NEV Theory berasumsi bahwa perilaku nonverbal adalah penuh arti dan kita mempunyai sikap tentang perilaku nonverbal yang diharapkan. Kita bersepakat tentang beberapa hal dan tidak setuju tentang beberapa hal yang lain. Valensi adalah istilah yang digunakan untuk menguraikan evaluasi tentang perilaku. Perilaku tertentu jelas - jelas divalensi secara negatif, seperti perlakuan tidak sopan atau isyarat yang menghina (seseorang, “menghempaskan burungmu atau memelototkan matanya pada kamu), contoh tersebut memiliki nilai ambiguitas, yang mana satu kata memiki banyak arti atau pemahaman.

Perilaku lain divalensi secara positif (seseorang memberi isyarat “v” untuk kemenangan karena perbuatan tertentu atau

menga-cungkan ibu jari untuk jaket penghangat baru milikmu). Sebagai contoh, bayangkan kamu berada di suatu pesta dan seorang asing yang baru diperkenalkan tanpa diduga - duga menyentuh tanganmu. Karena kamu baru saja berjumpa orang itu, menga-cungkan ibu jari untuk jaket penghangat baru milikmu). Sebagai contoh, bayangkan kamu berada di suatu pesta dan seorang asing yang baru diperkenalkan tanpa diduga - duga menyentuh tanganmu. Karena kamu baru saja berjumpa orang itu,

Hal ini disebut juga sebagai Violation Valence atau Valensi Pelanggaran. Violation Valence dikatakan positif bila kita menyukai tindakan pelanggaran tersebut, dan sebaliknya dikatakan negatif jika kita tidak menyukai pelanggaran tersebut

3. Communicator

Ganjaran Komunikator)

Reward

Valence (Valensi

Valensi Ganjaran Komunikator adalah unsur yang ketiga, yang mempengaruhi reaksi kita disaat berinteraksi. Sifat alami hubungan antara komunikator mempengaruhi bagaimana mereka (terutama penerima) merasakan tentang pelanggaran harapan. Jika kita “menyukai” sumber dari pelanggaran (atau jika pelanggar adalah seseorang yang memiliki status yang tinggi, kredibilitas yang tinggi, atau secara fisik menarik), kita boleh menghargai perlakuan yang unik tersebut. Bagaimanapun, jika kita ” tidak menyukai” sumber, kita Valensi Ganjaran Komunikator adalah unsur yang ketiga, yang mempengaruhi reaksi kita disaat berinteraksi. Sifat alami hubungan antara komunikator mempengaruhi bagaimana mereka (terutama penerima) merasakan tentang pelanggaran harapan. Jika kita “menyukai” sumber dari pelanggaran (atau jika pelanggar adalah seseorang yang memiliki status yang tinggi, kredibilitas yang tinggi, atau secara fisik menarik), kita boleh menghargai perlakuan yang unik tersebut. Bagaimanapun, jika kita ” tidak menyukai” sumber, kita

Dengan kata lain jika kita menyukai orang yang melanggar tersebut, kita tidak akan terfokus pada pelanggaran yang dibuatnya, justru kita cenderung berharap agar orang tersebut tidak mematuhi norma - norma yang berlaku. Sebaliknya bila orang yang melanggar tersebut adalah orang yang tidak kita sukai, maka kita akan terfokus pada pelanggaran atau kesalahannya dan berharap orang tersebut mematuhi atau tidak melanggar norma-norma sosial yang berlaku.

Valensi Ganjaran Komunikator adalah keseluruhan sifat-sifat positif maupun negatif yang dimiliki oleh komunikator termasuk kemampuan komunikator dalam memberikan keuntungan / ganjaran atau kerugian kepada kita di masa datang. Status sosial, jabatan, keahlian tertentu atau penampilan fisik yang menarik dari komunikator dianggap sebagai sumber ganjaran yang potensial. Orang-orang yang masuk dalam kategori ini dalam istilah Burgoon disebut High-Reward Person. Sementara kebodohan atau kejelekan rupa misalnya, dinilai sebagai yang sumber tidak potensial dalam memberikan keuntungan berkomunikasi dan mereka yang berada dalam posisi ini disebut dengan istilah Low-Reward Person. Dalam konstruk Communicator Reward Valence juga tercakup hasil dari kalkulasi atau udit mental tentang apa keuntungan atau kerugian dari suatu transaksi komunikasi dengan orang lain.

NEV Theory mengusulkan sebagai fakta bahwa hal tersebut tidak hanya sesuatu pelanggaran perilaku nonverbal dan reaksi kepada nya. Sebagai gantinya, NEV Theory berargumen bahwa siapa yang melakukan berbagai hal pelanggaran masi harus dikelompokkan dalam rangka menentukan apakah suatu pelanggaran akan dilihat sebagai negatif atau positif. Tidak sama dengan model interaksi nonverbal lainnya seperti teori penimbulan pertentangan / discrepancy arousal theory (Lepoire & Burgoon, 1994), NEV Theory meramalkan bahkan suatu “pelanggaran yang ekstrim dari suatu harapan” boleh jadi dipandang secara positif jika itu dilakukan oleh komunikator yang mendapat penghargaan tinggi (Burgoon & Hale, 1988, hal.63). (Infante, 2003: 179)

Di samping tiga konstruk pokok sebagaimana diuraikan di atas, Burgoon juga mengajukan sebelas proposisi yang menjadi landasan teoritisnya (Burgooon, 1978: 129-142). Proposisi - proposisi ini tidak mengalami perubahan sejak penabalan teori ini pada tahun 1978. Berikut adalah kesebelas proposisi tersebut :

1. Manusia memiliki dua kebutuhan yang saling berlomba untuk dipenuhi, yakni kebutuhan untuk berkumpul atau bersama sama dengan orang lain dan kebutuhan untuk menyendiri (personal space). Kedua kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi secara bersamaan, harus terpisah satu persatu.

2. Hasrat untuk bergabung dengan orang lain digerakkan atau diperbesar oleh hadirnya ganjaran dalam konteks komunikasi. Ganjaran tersebut dapat bersifat biologis maupun sosial.

3. Semakin tinggi derajat suatu situasi atau seseorang dianggap menguntungkan (rewarding), semakin besar kecenderungan orang untuk mendekati seseorang atau situasi tersebut. Sebaliknya semakin tinggi seseorang atau suatu situasi dipandang tidak memberikan manfaat semakin besar kecenderungan orang untuk menghindari seseorang atau situasi tersebut.

4. Manusia memiki kemampuan untuk merasakan gradasi dalam jarak Pola interaksi manusia, termasuk ruang pribadi atau pola jarak, bersifat normatif.

5. Manusia dapat mengembangkan suatu pola tingkah laku yang berbeda dari norma - norma social.

6. Dalam konteks komunikasi manapun, norma-norma adalah fungsi dari faktor (1) karakteristik orang yang berinteraksi, (2) bentuk dari interaksi itu sendiri dan (3) lingkungan sekitar saat komunikasi berlangsung.

7. Manusia mengembangkan harapan-harapan tertentu pada perilaku komunikasi orang lain. Konsekuensinya tiap orang memiliki kemampuan untuk membedakan atau setidaknya memberikan tanggapan secara berbeda terhadap perilaku 7. Manusia mengembangkan harapan-harapan tertentu pada perilaku komunikasi orang lain. Konsekuensinya tiap orang memiliki kemampuan untuk membedakan atau setidaknya memberikan tanggapan secara berbeda terhadap perilaku

8. Penyimpangan dari harapan - harapan yang muncul akan membangkitkan tanggapan tertentu.

9. Orang - orang yang berinterkasi membuat evaluasi terhadap orang lain.

10. Penilaian - penilaian yang dilakukan dipengaruhi oleh persepsi terhadap sumber, bila sumber dihormati atau dianggap dapat memberikan ganjaran maka pesan komunikasinya akan dianggap penting pula demikian sebaliknya (Venus: 2004: 484)

11. Communicator Reward Valence atau Penghargaan yang diharapkan seseorang didalam hidupnya

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANALISIS TEORI ANTRIAN PADA STASIUN PENGISIAN BAHAN BAKAR UMUM (SPBU) GAJAH MADA JEMBER

4 71 63

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Improving the VIII-B Students' listening comprehension ability through note taking and partial dictation techniques at SMPN 3 Jember in the 2006/2007 Academic Year -

0 63 87

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

An analysis of moral values through the rewards and punishments on the script of The chronicles of Narnia : The Lion, the witch, and the wardrobe

1 59 47

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Transmission of Greek and Arabic Veteri

0 1 22