Dana Desa dan Masa Depan Pertanian..docx (2)

Dana Desa dan Masa Depan Pertanian Aceh
Oleh Husaini Yusuf, S.P
Kebijakan Pemerintah yang dituang dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Permendagri
No.114 terkait Pedoman Pembangunan Desa, Permendagri No.113 Tahun 2014 seputar
Pengelolaan Keuangan Desa dan UU lainnya yang berkaitan dengan dana desa telah menjadikan
Gampong (Desa) menjadi objek yang “seksi” bagi sebagian pihak karena mengalirnya uang
ratusan juta rupiah ke dalam rekening Gampong. Seperti disebutkan Gubernur Zaini Abdullah,
Aceh mendapatkan Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar 3,8 triliun pada tahun 2016 yang
diperuntukkan bagi 6.474 gampong yang tersebar di 23 Kabupaten/Kota (Serambi Indonesia,
4/11/2015).
Kita tentu bersyukur serta berharap dengan alokasi dana desa yang begitu besar itu tidak
membuat para pemangku jabatan atau aparatur gampong semisal Geuchik (Kepala Desa) selaku
pemegang amanah tertinggi dalam pemerintahan Gampong terjerat dengan masalah hukum
dikemudian hari. Dana tersebut menjadi beban berat sekaligus juga modal berharga bagi
pembangunan di tingkat gampong jika dapat dikelola dengan baik dan tepat sasaran, namun bila
pengelolaannya tidak berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan maka siap-siap “timbunan”
dana besar itu justru akan menjadi malapetaka bagi pengelolanya sendiri. Seperti halnya beberapa
kasus yang terjadi diberbagai daerah tatkala pertanggungjawabannya banyak terjadi kericuhan.
Kita ketahui, di Gampong, dana sebesar itu bukan hal biasa, mereka biasanya hanya mengelola
dana hingga puluhan juta, namun “limpahan” dana sebesar itu menyulitkan mereka dalam
mengelolannya bahkan ada beberapa kepala desa yang mengundurkan diri karena tidak siap.

Sebenarnya tujuan ADD itu sudah sangat jelas peruntukannya seperti yang tercantum dalam
Permendes No. 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015,
pada Pasal 5 dinyatakan bahwa dana tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui
pengembangan potensi ekonomi lokal (poin c). Pada Pasal 7 ditambahkan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dan huruf c ADD bisa dimanfaatkan untuk mendukung target
pembangunan sektor unggulan seperti: a) mendukung kedaulatan pangan; b) mendukung
kedaulatan energi dan c) mendukung pembangunan kemaritiman dan kelautan.
Berdayakan Potensi Desa
Dari beberapa poin yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa, kesempatan desa untuk
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya sangat terbuka lebar dengan
adanya aliran dana ADD. Pemerintah memberikan wewenang penuh kepada otoritas desa untuk
memberdayakan potensi lokal yang dimiliki desa.
Aceh memiliki potensi besar di sektor pertanian, perikanan dan kelautan. BPS (2014)
melaporkan, sektor pertanian masih merupakan bidang yang memberikan porsi paling besar
dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia demikian halnya dengan Aceh yakni 46,52 persen,
yang diikuti oleh sektor jasa (20,72), dan perdagangan (17,06), sisanya sektor industri

pengolahan (4,05) dan lainnya (11,64). Dari data di atas dapat kita lihat bahwa sektor pertanian
masih menjadi tulang punggung perekonomian bagi masyarakat Aceh saat ini bahkan hingga ke

depan. Maka sudah sepatutnya pemerintah menjadikan kembali pertanian sebagai Leading Sector
dalam pembangunan. Konon lagi sejak 1 Januari 2016 Indonesia termasuk negara dalam
Masyarakat Ekonomi Asea (MEA) yang membuka pasar seluas-luas bagi setiap negara yang
tergabung didalamnya untuk memasarkan produk negara mereka. Tentu secara ekplisit kebijakan
tersebut juga akan berdampak pada sektor pertanian Aceh.
Pertanyaannya adalah apakah petani kita sudah siap? Rasanya, sektor pertanian Indonesia
khususnya Aceh belum benar-benar siap atau memang tidak disiapkan untuk menghadapi MEA
tersebut. Pasalnya pertanian kita masih dirundung banyak masalah, mulai dari hulu hingga hilir.
Pada level hulu, lingkaran yang sulit diselesaikan adalah luas lahan yang semakin sempit (0,5
ha/petani), status kepemilikan lahan, sistem budidaya masih tradisional, penggunaan benih non
sertifikat (tanaman pangan, perkebunan, hortkultura) sedangkan di hilir ketersediaan modal
usahatani yang membuat petani kelabakan ketika memasuki musim tanam tiba. Hingga kini
petani sulit mengakses modal, lembaga keuangan semisal Bank konvensional masih enggan
memberikan kredit kepada petani karena pertanian masih dianggap sebagai bidang yang tidak
menjanjikan dan penuh risiko (high risk).
Dengan hadirnya pemerintah melalui UU No 6 Tahun 2014, semua pihak berharap dana tersebut
dapat menjadi solusi serta menjadi titik ungkit dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi
petani terutama masalah modal sehingga ketergantungan mereka kepada pemodal (toke-toke) di
gampong dapat diminimilisir. Dengan dana itu pula diharapkan bisa memutuskan sistem patronklien antara tuan tanah - petani yang sudah terjalin sejak masa kolonial dan dapat mengangkat
kembali posisi tawar (bergaining position) petani atas hasil usahataninya. Mark Granovetter

menyebutkan kelompok-kelompok sosial tradisional (petani) sangat menderita dan sulit untuk
bangkit karena kurangnya modal sehingga menyebabkan mereka sukar untuk membangun
jaringan sosial antar masyarakat.
Modal Sosial
Tanpa sumberdaya manusia mumpuni, dana desa yang berjibun tidak akan berguna bagi
pembagunan bahkan akan menjadi bumerang bagi pengelola di Gampong. Pemerintah Propinsi
dan Kabupaten/Kota harus menyiapkan strategi untuk merealisasikan dana tersebut agar benarbanar efektif. Hal ini tentu dengan menyiapkan pendamping yang berkompeten (expert)
dibidangnya tanpa intervensi dari pihak manapun dalam perekrutannya dan bukan karena faktor
“ureung dalam” sehingga mereka diluluskan. Sebagai garda terdepan dalam mensukseskan
program pemberdayaan, mereka dituntut untuk bekerja ekstra dan memahami kebutuhan riil
masyarakat.
Selain perekrutan pendamping yang memiliki kompetensi tinggi, pemerintah juga harus
meningkatkan SDM Gampong terutama para pemangku jabatan seperti Keuchik dan perangkat
desa lainnya yang terlibat secara langsung dalam pembangunan, termasuk pula masyarakat
umum. Untuk kelancaran program pembangunan, dimensi yang juga perlu diperhatikan adalah
partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawalan pembangunan.
Partisipasi tersebut tak hadir dengan sendiri tanpa adanya modal sosial yang kuat dikalangan
masyarakat. Seperti disampaikan Fukuyama (1989) modal sosial masyarakat merupakan

indikator suksesnya sebuah program pembangunan dan sebagai penyangga yang kuat dalam

pelaksanaan pembangunan. Modal sosial yang dimaksud adalah berfungsinya masyarakat modern
dalam memberikan peran pada pembangunan ekonomi, sosial, politik dan demokrasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, modal sosial masyarakat Aceh semisal sifat kepercayaan (trust)
termasuk kebersamaan dalam gotong-royong semakin memudar. Penyebabnya banyak faktor
yang mempengaruhinya seperti perilaku lingkungan apalagi pasca tragedi Tsunami di Aceh
ditambah lagi Trust masyarakat terhadap legislatif dan eksekutif yang kian pudar akibat tingkah
laku mereka cenderung feodalistik yang mengecewakan masyarakat kelas bawah, sehingga modal
sosial yang dimilikipun mulai terkikis dan mulai materialistik.
Upaya Strategis
Untuk memantapkan gerakan desa membangun yang dicanangkan pemerintah melalui
Kementerian Desa, Transmigrasi dan Daerah Tertinggal, maka diperlukan beberapa upaya
strategis pertama adanya upaya responsif. Upaya responsif adalah kemampuan untuk peka atau
memiliki daya tanggap terhadap aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan
sebagai basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan desa. Kemampuan ini untuk
memasukkan masyarakat dalam agenda perencanaan pembangunan desa. Jangan sampai
perencanaan desa dilakukan atas kepentingan elite desa. Penting memberikan porsi lebih kepada
masyarakat terutama dalam merencanakan kebutuhannya dengan mekanisme yang diatur,
disinilah pondasi kemandirian desa dibangun. Artinya, ketika suatu ide dan rumusan masalah
sudah mereka temukan, tentu nilai sosial dan emosional untuk mensukseskannya semakin tinggi.
Kedua, memperkuat kembali struktur kelembagaan desa termasuk didalamnya lembaga

kelompok tani yang menjadi sektor unggulan. Susunan kelembagaan masyarakat dan struktur
sosial memiliki peran sentral dalam pembangunan. Perubahan perilaku sosial dan norma-norma
di masyarakat sangat diharapkan dalam mendukung keberlangsungan program pembangunan.
Dalam menguatkan kembali kelompok tani dibutuhkan lembaga keuangan mikro dengan bunga
rendah (soft loan) yang tidak mencekik petani. Dengan adanya lembaga keuangan mikro
ditingkat petani dapat menyelamatkan petani dari sistem kapitalistik sehingga dapat menghadang
serta mengusir kapitalisme masuk ke desa yang akan merusak tatanan ekonomi petani.
Ketiga, penerapan teknologi tepat guna. Dalam meningkatkan produktivitas sektor unggulan
seperti pertanian perlu memanfaatkan teknologi tepat guna tentu dengan tetap memperhatikan
keberlanjutan lingkungan agar pemanfaatan sumberdaya sekarang tidak mengganggu kesempatan
generasi akan datang menikmatinya. Disamping itu pula perlu menjunjung tinggi kearifan lokal
dan budaya setempat, karena usahatani yang dilakukan petani kita bukan hanya soal ekonomi
namun porsinya relatif lebih kuat pada budaya, sehingga program mekanisasi yang digalakkan
pemerintah pada kepemimpinan pemerintah sekarang tidak semua daerah dan wilayah cocok dan
dapat diterima.
Terakhir, membangun jaringan (network) dan relasi. Pemerintah desa dan warga masyarakat
perlu menjalin hubungan dengan pihak-pihak luar dalam rangka mengembangkan perekonomian
desa. Asosiasi kepala desa atau forum pasar, misalnya, bisa digunakan sebagai wadah untuk
membangun kerjasama antardesa. Sehingga produk yang dihasilkan di desa mendapat jaminan
pasar dan tidak menjadi barang “penyumbat parit” seperti kasus dibeberapa daerah ketika


melimpahnya produk pertanian saat panen raya. Demikian juga kerjasama dengan perguruan
tinggi maupun LSM terkait pengenalan riset terbaru. Semoga!
Penulis: Putra Aceh di Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB dan Pengurus Ikatan
Mahasiswa Pascasarjana Aceh (IKAMAPA) Bogor.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65