PEMIMPIN IDEAL Pemimpin Yang Lulus Jadi

PEMIMPIN IDEAL; Pemimpin Yang Lulus Jadi Rakyat.
Oleh: Mutawally*

"Sebentar lagi kita akan memasuki tahun 2017, tahun di mana bangsa ini akan
menghelat Pilkada serentak di berbagai daerah. Tentu, eskalasi politik akan memanas,
rivalitas dan naluri ingin mendapatkan dukungan serta memenangkan pertarungan pasti
adanya, dan itu adalah sesuatu yang wajar. Semua punya hak politik menjadi pemimpin
rakyat, tetapi ada yang jauh lebih penting untuk dipastikan, yaitu memastikan diri telah lulus
menjadi rakyat”.

Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di tanah air, sudah barang tentu
menyedot perhatian publik luas, baik yang domisili dalam maupun luar negeri. Perhatian
yang diberikan tersebut tak lepas dari wujud antusiasme masyarakat dalam menyambut pesta
demokrasi lima tahunan itu, dan sekaligus menyambut estafet kepemimpinan baru yang
diyakini mampu merubah peradaban manusia, baik ekonomi, pendidikan, kesehatan,
lingkungan, dan lain sebagainya.
Posisi kepala daerah yang identik dengan pengaruh dan kekuasaan adalah hal yang
sangat menggiurkan bagi berbagai kalangan, baik politisi, pengusaha, artis, bahkan tokohtokoh agama sekalipun mengambil bagian di dalamnya. Semua kandidat berame-rame
membuat manifesto politk,

ingin mensejahterakan dan memakmurkan rakyat, tetapi


sayangnya yang sering sama bahasa dengan rakyat, belum tentu sama dalam rasa.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika,
Indonesia merupakan negara yang memberi hak dan jaminan penuh bagi warga negaranya
untuk menentukan dan memilih pemimpin yang dinilai mumpuni, mumpuni bukan dalam hal
materi saja, melainkan juga non-materi, seperti kecakapan dalam berkomunikasi, kesalehan
dalam sosial, berwawasan luas, dan berbudi luhur.
Pilkada yang demokratis merupakan sarana untuk menyalurkan aspirasi konstitusional
setiap warga negara dengan tujuan memilih figur pemimpin-pemimpin yang amanah. Maka
sudah menjadi hal lazim jika kemudian partai politik mengadakan seleksi dan penjaringan
terbuka bagi bakal calon kepala daerah guna menghasilkan figur pemimpin yang memiliki
integritas, kapabilitas, akuntabilitas, dan lain sebaginya. Partai politik akan dinilai idealis,
ketika lebih mendahulukan kepentingan besar bangsa daripada ego sektoral partai politik itu
sendiri.

Dengan demikian, ketika calon-calon pemimpin yang dihasilkan berkualitas, maka
pola perpolitikan akan berubah drastis, pilkada yang biasanya identik dengan cacian, hujatan,
kampanye nagatif, akan bertransformasi menjadi ajang pertarungan adu gagasan dan visimisi. Mengutip pernyataan Anies Baswedan, “bahwa Pilkada merupakan festival adu
gagasan, bukan arena pertempuran, dan bukan sebagai ajang memutus persekawanan,
melainkan sebagai wadah untuk memperkenalkan gagasan dan program kerja masing-masing

pasangan kepada warga Ibu kota.”
Namun, calon yang minim gagasan dan visi-misi biasanya hanya akan bersikap dan
memancing riuh suasana politik. Ketidakdewasaan dalam berpolitik, tak jarang menimbulkan
banyak perseteruan antara para pendukung yang sering kali bertarung dengan black campign
atau kampanya hitam. Tentu dengan cara-cara demikian, akan membuat eskalasi politik
memanas, rivalitas dan tensi naluri ingin mendapatkan dukungan serta memenangkan
pertarungan meninggi.
Pemimpin Harus Lulus Jadi Rakyat !
Pemimpin ideal dalam pandangan Plato adalah “pemimpin yang hadir lewat tempaan
dan proses yang panjang dan matang, bukan lah yang dicetak secara instan layaknya makanan
cepat saji.” Idealnya pemimpin memiliki sejumlah syarat, pemimpin

ideal ialah yang

memiliki mentalitas dan moralitas yang terpuji, amanah terhadap mandatnya, ramah terhadap
rakyatnya, adil, dan berintegritas dalam menjalankan tugas-tugasnya, bukan malah menyiksa
dan menjadi beban rakyat.
Dalam kaidah ushul fiqh di jelaskan bahwa :

‫و ط‬

‫ة‬
‫م ٌ ح‬
‫عحلىَ ٌالير ة‬
‫صير ن‬
‫ح ة‬
‫عي ي ة‬
‫صل ح ح‬
‫ماِ ن‬
‫ط ٌةباِل ح‬
‫ة ٌ ح‬
‫ف ٌال ة ح‬
‫م ص‬
‫تح ح‬
‫من ن ص‬
"kebijakan seorang pemimpin harus berlandaskan prinsip kemaslahatan terhadap
rakyatnya".
Negara kita sedang dilanda krisis pemimpin yang berintegritas dan berjiwa sosial.
Pemimpin yang intelek sangat banyak, namun pemimpin yang moralis cukup sulit
didapatkan. Akibatnya


marak

terjadi

prilaku

koruptif,

seperti

memperkaya

diri,

penyelahgunaan wewenang, dan lain sebagainya. Ada pepatah mengatakan, pemimpin adalah
sebuah nahkoda bagi sebuah kapal, maka selamat tidaknya sebuah kapal tergantung

nahkodanya. Itulah mengapa, sosok pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan bagi
maju-mundurnya daerah yang dipimpinnya.
Menjadi pemimpin adalah hak semua warga negara, namun sebelum memimpin

hendaklah memastikan diri bahwa telah lulus menjadi rakyat. Kalau jabatan dan harta yang
sering dicari, silahkan, tapi berhati-hatilah karena keduanya ibarat singa. Hari ini di rumah
dinas, esok di rumah sakit, dan lusa di bailk jeruji besi atau rumah tahanan. Kalau sanjungan
dan pujian yang dicari silahkan juga, tapi harus berhati-hati karena hampir semua orang bisa
berubah. Hari ini disanjung dan dipuji, tapi esok lusa dicaci, difitnah, dan dihujat
Semua kandidat tentu boleh mengampanyekan dirinya ke semua kalangan, asalkan
saja tidak meletakkan bara api dan duri-duri liar yang akan merusak persatuan dan kesatuan
yang sudah terbangun baik selama ini. Keinginan untuk menang harus dibarengi dengan
moralitas politik yang santun, jauh dari fitnah memfitnah, hujat menghujat yang dapat
melahirkan keretakan keluarga dan keretakan sosial.

“Sebaik-baik pemimpin adalah yang kamu cintai dan mereka mencintaimu. Kamu
mendoakan mereka dan mereka mendoakanmu. (HR Muslim)”

*Penulis adalah mahasiswa penerima PBSB Awardee Kemenag RI 2012. Saat ini
penulis sedang menempuh studi program pascasarjana (S2) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.