Sudut Pandang ergonomi yang lain

Contemplative Writing | rahmah emma

Negosiasi Identitas Santri Berhadapan Dengan Realitas
Kehidupan Mahasiswa dan Kampus
“Sudut Pandang yang Lain”
A Whole New World
Hal pertama yang ada di benak kita ketika menemukan sesuatu yang belum pernah kita
lihat sebelumnya adalah menyebutnya sebagai "hal baru". Orang-orang baru, alam yang baru,
teknologi baru, pergaulan baru, atmosfir yang baru, jalur pemikiran yang baru dan hal-hal baru
lain. Sederhananya kita akan menyebut satu bundle hal-hal baru tersebut dengan nama
lingkungan baru. Bagi saya, lebih kurang 3 tahun yang lalu, tepatnya pada pertengahan 2009,
lingkungan baru tersebut adalah Universitas Gadjah Mada. Selayaknya orang normal, yang kita
lakukan pertama kali ketika menemukan hal baru adalah berkenalan. Kesan pertama yang
didapat ketika berkenalan setidaknya akan mempengaruhi objektivitas kita dalam penilaian
selanjutnya. Apakah kita akan menerima hal baru tersebut, ataukah kita menolakanya, atau bisa
jadi kita perlu mencari tahu lebih lanjut daripada hanya sekedar menerima atau menolaknya.
Tentu saja, kesan pertama tidak akan selamanya benar, beberapa saat berikutnya, terkadang
kita akan berubah pikiran. Sesuatu yang awalnya kita anggap tidak baik, ternyata hanyalah
sesuatu yang lumrah ketika dilihat dari sudut pandang yang lain. Ironisnya, ada saat dimana
kita juga akan menemukan sesuatu yang awalnya "terlihat lebih baik" ternyata berbalik 180
derajat ketika kita melihatnya dari sudut pandang berbeda. It depends on our point of view.

Suatu hal yang menarik adalah pandangan orang non-pesantren terhadap kita sangatlah
beragam. Bahkan satu sama lain bisa jadi kontradiktif. Hal itu langsung bisa dilihat ketika awal
perkenalan. Di UGM, tepatnya di MIPA, termasuk dalam serangkaian pertanyaan ketika
berkenalan adalah “Masuk ugm lewat jalur apa?” tentu saja saya menjawab Beasiswa
Kemenag. Saya adalah seorang Penerima Beasiswa Santri Berprestasi Kementrian Agama
Republik Indonesia. Siapa yang bakal mengira bahwa teman-teman di FMIPA UGM sama

Contemplative Writing | rahmah emma

sekali asing tentang hal tersebut. Dari reaksi mereka kita bisa menebak-nebak kesan apa yang
mereka dapat dari kita. Dan dari perkenanlan itu kita juga bisa menebak-nebak pengaruh apa
yang akan mereka berikan ke kita dalam proses selanjutnya.
Everything Has a First Time
Ya, segala sesuatu pasti punya “first time.” Salah satu pengalaman first time yang paling
saya ingat adalah ketika pertama kali mendapat Pelajaran Agama Islam. Prodi Ilmu Komputer
termasuk salah satu prodi di UGM yang memberikan matakuliah PAI di semester pertama.
Dosen yang mengampu kami ternyata jauh dari bayangan saya, baik dari segi penampilan, cara
mengajar, maupun sejarah hidup. Yang ada di bayangan saya, dosen pengampu kami pastilah
alumnus pondok pesantren atau Perguruan Tinggi Islam. Dengan penampilan khas pesantren
ala saya: berpeci, berbaju koko, bersarung. Tidak disangka dari 3 kriteria itu yang terpenuhi

hanyalah kriteria kedua. Kata banyak teman, bayangan saya yang seperti itu terlalu naif. Hal
lain yang ternyata jauh dari bayangan saya adalah metode pengajaran dan materi yang
disampaikan semuanya terasa baru bagi saya. Sehingga kesan pertama saya pada matakuliah
PAI adalah “Apa-apaan ini?”
Pada saat yang lain, saya bertemu dengan beberapa teman satu fakultas, namun berbeda
jurusan. Dari cara berbaju mereka, saya menyebutnya “ekstrim”, pada waktu itu. Karena
selama ini saya hanya membayangkan mereka dari buku atau berita yang saya baca dan kini
mereka ada di hadapan saya. Pada akhirnya, buku ataupun berita yang saya bacalah yang
memberi sugesti untuk menyebut mereka seperti itu. Di saat yang lain lagi, saya dan beberapa
teman perempuan satu prodi bertemu dengan beberapa perempuan dari prodi lain dalam satu
fakultas. Dari penampilan baik cara pakaian maupun attitude mereka kami menyebutnya kaum
hedonis, waktu itu.
Banyak kesan yang tidak baik ketika pertama kali bertemu dengan hal baru. Karena
yang ada di benak kita adalah mereka “berbeda.”

Contemplative Writing | rahmah emma

Memandang Identitas Kesantrian Dari Perspektif Yang Berbeda
Santri itu siapa sih? Orang yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren atau
orang yang sedang menimba ilmu di pesantren. Ataukah keduanya. Sayangnya, definisi santri

tidak hanya sebatas itu. Lalu dari mana kita dapat mengukur seseorang itu seorang santri atau
bukan? Dari penampilan? Pemikiran? Perilaku? Cara beribadah? Sekali lagi sayang sekali
jawabannya tidak sesederhana itu. Suatu saat saya pergi ke pusat perbelanjaan tradisional di
Yogyakarta a.k.a Malioboro. Keluar dari pusat perbelanjaan seorang bapak penarik becak
menawari saya jasa becaknya, sambil mengikuti langkah saya pak becak bertanya “Mau
kemana mbak? Krapyak?” Bapak becak menyebutkan salah satu nama pondok pesantren di
kawasan Yogya. Dari mana bapak itu bisa menebak saya salah seorang santri? Padahal
penampilan saya jauh dari penampilan santri tradional alias saya memakai celana jeans, baju
panjang memang, tepat di atas lutut, kerudung pun tak terlalu lebar. Dan sudah tidak tinggal di
pesantren lagi semenjak di Yogya.
Pada kesempatan yang lain, masih pada semester awal perkuliahan, salah seorang
teman kuliah tiba-tiba bertanya kepada saya. “Eh, kok tumben kamu pake celana jeans?
Biasanya pake rok kalo ga gamis?” Saya menjawab dengan santai “Masa sih? Aku emang pake
jeans pada saat-saat tertentu kok. Kamu aja kali yang jarang liat.” Dan itu bukan pembelaan.
Saya memakai jeans memang bukan akibat pengaruh pergaulan kampus. Jauh sebelum saya
pergi ke jogja saya sudah mengenal jeans. Kemudian saya berpikir, apakah teman saya ini akan
meragukan identitas saya sebagai santri karena saya memakai celana jeans?
Kontras dengan hal tersebut, setahun setelah kuliah, tepatnya pada saat liburan panjang
semester genap, saya pulang ke kampong halaman untuk yang kedua kalinya. Penampilan saya
waktu itu, memang berbeda dari sebelum saya ke jogja. Pakaian saya jauh lebih “longgar” dari

sebelumnya. Saya berpenampilan layaknya teman-teman yang pada kesan pertama saya sebut
“ekstrim.” Seisi rumah tidak berkata apa-apa, tapi mereka melihat saya dari atas ke bawah

Contemplative Writing | rahmah emma

dengan tatapan “Ada apa dengan anak ini?” Beberapa bulan kemudian ketika saya sudah
kembali ke Yogya, salah satu sepupu saya ikut menginap di kosan, tiba tiba dia berkata “Orang
rumah mu lho pada nyuruh aku ngelihat gerak – gerik kamu. Aku disuruh ngamatin ada yang
aneh ga sama kamu.” Bisa ditebak orang rumah cukup khawatir dengan idealisme saya setelah
melihat perubahan pada kepulangan saya sebelumnya. Beberapa kemudian ibu saya kembali
mengingatkan “Ga usah aneh-aneh. Yang penting sholat jangan pernah ditinggalkan” Benar,
pergaulan kampus pernah membuat saya terombang-ambing di tengah derasnya arus
pemikiran. Idealisme yang saya yakini terlihat absurd. Dan idealisme lain terlihat lebih baik di
mata saya. Tak lama setelah kedatangan sepupu saya itu, saya kembali mengikuti pengajian ala
pondok pesantren “Jawa Timur-an” yang sudah lama saya tinggalkan. Berangkat dari situlah
saya mulai menyadari bahwa sesuatu yang “terlihat buruk” seringkali memang dekat dengan
keburukan, tapi yang “terlihat lebih baik” tidak selamanya baik. Namun, saya bersyukur pernah
menjajaki berbagai idealisme sampai saya meyakini idealisme yang sekarang. Hal itu membuat
saya lebih bisa menerima perbedaan dan jauh dari sikap fanatik berlebihan.
University as a “Unity in Diversity”

University, dalam bahasa Indonesia kita mengenalnya dengan nama universitas.

Disengaja atau tidak, university bisa menjadi akronim dari unity in diversity. Di Negara kita,
semboyan tersebut diterjemahkan menjadi Bhinneka Tunggal Ika. Universitas Gadjah Mada
adalah jelmaan suatu Negara kecil yang mempunyai warga Negara yang sangat beragam, hal
itu menjadikan lingkungan UGM menjadi sangat heterogen dan majmuk. Gambaran seperti itu
tidak akan dapat ditemukan ketika kita mengukung dari dari pergaulan luar. Di fakultas
tertentu, kita hanya bisa menjumpai teman-teman dari etnis Jawa, sedikit etnis Sunda, dan
beberapa orang Papua. Di fakultas yang lain anda akan sangat terkagum-kagum karena
menemukan banyak WNA umpama etnis China, orang kulit putih dari Eropa, sampai orang
berkulit gelap dari Afrika.

Contemplative Writing | rahmah emma

Atmosfir pergaulan yang lebih heterogen dapat dijumpai ketika berada dalam forum
besar setingkat universitas. Di BEM misalnya, atau di kelompok studi universitas, atau Unit
kegiatan yang berpusat di Gelanggang Mahasiswa. Dari pergaulan semacam itulah akhirnya
pikiran kita akan terbuka dan dapat melihat sekaligus menyikapi masalah dengan pandangan
berbeda. Perbedaan etnis, agama, bahasa, tidak lagi menjadi penghalang ketika mendiskusikan
masalah keilmuan. Seperti semboyan Yogyakarta “Bersatu bukan berarti melebur.” Menerima

tidak sama dengan membenarkan.
Dalam pergaulan yang lebih luas, kita akan sering melakukan transaksi keilmuan yang
sifatnya “Quad pro quo.” This for that, aku butuh bantuan kamu dalam hal ini, aku akan
membantu kamu dalam hal itu. Berangkat dari seringnya kita barter keilmuan semacam itu,
kita akan lebih tahu keragaman ide dan pemikiran yang ada di sekitar kita. Dalam perspektif
keilmuan segalanya menjadi egaliter.
Di kemudian hari saya sadar, semua kesan pertama yang tidak menyenangkan terjadi
karena selama ini saya hidup di lingkungan yang homogen dan itu mempengaruhi cara pandang
saya terhadap banyak hal. Saya terbiasa berpikir bahwa kita mirip satu sama lain, saya terbiasa
hidup di tengah aturan yang seragam. Hal tersebut akan membuat kita cepat marah ketika ada
perbedaan. Ketika orang lain berperilaku berbeda dengan kita, kita akan berpikir "apa-apan
ini?" Disadari atau tidak, dari situlah mulai timbul perselisihan. Memang benar, kita semua
sama, manusia biasa. Tujuan hidup kita sama, beribadah. Tapi di dunia ini tidak ada 2 orang
pun yang sama, setiap orang berpikir dengan cara pandang berbeda dan hidup pada keadaan
yang berbeda pula. That is why we have to understand that we are different to each other.
Dengan memakai sudut pandang itulah kita bisa berkomunikasi dan saling menghargai satu
sama lain. Dengan begitu kita akan semakin dekat pada tujuan menjadi masyarakat yang
Madani: masyarakat yang beradab, saling menghargai, musyawarah dan toleransi, egaliter.