Nietzsche Manusia Super Kehendak Untuk B
Manusia Super, Kehendak Untuk Berkuasa dan Perspektivisme
Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 – 1900)
Friedrich Wilhelm Nietzsche (lahir di Saxony, Prussia, 15 Oktober 1844 – meninggal di Weimar, 25
Agustus 1900 pada umur 55 tahun)adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang
meneliti teks-teks kuno, filsuf, kritikus budaya, penyair dan komposer. Dia menulis beberapa teks kritis
terhadap agama, moralitas, budaya kontemporer, filsafat dan ilmu pengetahuan, menampilkan kesukaan
untuk metafora, ironi, dan pepatah. Ia merupakan salah seorang tokoh pertama dari eksistensialisme
modern yang ateistis.
Para eksistensialis (termasuk Nietzsche) membedakan antara eksistensi dan esensi. Eksistensi berarti
keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu; eksistensi menunjukkan kepada “suatu benda
yang ada di sini dan sekarang”. Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya.
Tetapi bagi kelompok eksistensialis, kata kerja “to exist” mempunyai isi yang lebih positif dan lebih kaya
daripada kata kerja “to live”. Kadang-kadang orang mengatakan tentang orang yang hidup kosong dan
tanpa arti bahwa “ia tidak hidup, ia hanya ada”. Kelompok eksistensialis mengubah kata tersebut dan
mengatakan “orang itu tidak ada, ia hanya hidup”. Bagi mereka eksistensi berarti kehidupan yang penuh,
tangkas, sadar, tanggung jawab, dan berkembang.
Nietzsche melihat manusia sebagai makhluk yang harus terus menerus bereksistensi, yaitu manusia yang
memiliki cita-cita yang tinggi untuk menjadi “Manusia Super” (Über- Mensch) yang bermental
pemimpin. Satu-satunya jalan untuk menjadi Über-Mensch adalah penderitaan sebab melalui
penderitaan manusia mencoba untuk menggunakan akal budinya dengan lebih giat sampai ia
menemukan jati dirinya. Dia mengatakan “My formula is Amor fati: . . . not only to bear up under every
necessity, but to love it”(13). Nietzsche tidak hanya berusaha menghadapi penderitaan, tetapi juga
mencintainya, karena itulah jalan menuju Über-Mensch. Demikianlah manusia bereksistensi.
Nietzsche dikenal sebagai seorang eksistensialis ateistik bahkan disebut “Pembunuh Tuhan” karena
cetusannya “Gott ist tot” seperti bahasan sebelumnya. Manusialah yang menjadi Über-Mensch dan
menjadi pencipta, pendobrak nilai-nilai baru (13). Nietzsche’s hatred of Christianity proceeds principally
from his view of its supposed effect on man, whom it renders weak, submissive, resigned, humble or
tortured in conscience and unable to develop himself freely (14). Manusia tidak berkembang sebagaimana
mestinya. Manusia super (Über-Mensch) tidak akan tercapai dengan adanya Tuhan.
Dalam tradisi Filsafat Barat modern, Nietzsche (1844-1900) menempati posisi yang khas, karena kritiknya
terhadap metafisika Barat. Nietzsche dikenal berfilsafat dengan palu (baca: cukup keras); ia menghantam
dengan keras segala keyakinan, kepercayaan, dogma dan pengetahuan yang mendasarkan dirinya pada
suatu fondasi yang tak tergoyahkan. Ia menggugat metafisika yang membicarakan palung-palung
kenyataan, dan hakikat di balik seluruh realitas, dan dengan tanpa ampun ia mempreteli apa yang
disebut “kebenaran”. Nietzsche, sekali lagi, mengingatkan bahwa ambisi filsafat untuk menemukan
hakikat kebenaran adalah racun yang membunuh dirinya sendiri.
Nietzsche telah melakukan liberasi atas petanda dari derivasinya dan ketergantungan terhadap logos dan
hubungannya dengan konsep kebenaran atau makna “primer”. Nietzsche mencurigai apa kita sebut
dengan nilai dan rezim kebenaran, makna, atau Ada, bahkan makna Ada itu sendiri. Nietzsche telah
menegaskan suatu rangkaian tanda yang terus menerus tanpa henti, tanpa “dasar” dan “kebenaran”.
Nietzsche telah membawa kita lepas dari dasar, asal-usul, dan kebenaran yang menjadi pencarian
filosofis sepanjang masa.
Ia telah melepaskan –dalam bahasa Derrida- derivasi makna dari logos. Nietzsche mencabut akar logos
dari keterpautan alamiahnya dengan makna. Tanda tidak lagi memuat secara alamiah makna, karenanya
bahasa dan kebenaran hanya soal interpretasi, soal tafsir, yang tak bebas dari proses pembentukan
bersama yang bersifat abitrer dan sementara. Apa yang kita sebut kebenaran adalah hasil konstruksi
melalui bahasa, dan bila bahasa telah dilepaskan dari klaimnya sebagai medium ungkapan kehadiran
penuh makna
Nietzsche percaya bahwa kecenderungan positif dan negatif hidup berdampingan dalam semua manusia
dan ketegangannya merupakan sumber utama untuk kreativitas yang dalam psikologi disebut
Daimonic(30). Dalam psikologi, daimonic mengacu pada dorongan alamiah setiap manusia untuk
menegaskan, menyatakan, mengukuhkan, dan meningkatkan diri secara maksimal dalam perkembangan
diri. Bagi May, daimonic lah yang bertanggung jawab besar terhadap berbagai macam
kesusteraan/literatur, drama, dan seni, dan daimonic yang merupakan inti/pokok dari banyak mitos;
misalnya, mitos yang menggambarkan konflik antara yang baik dan yang jahat atau antara Tuhan dan
Setan.
Catatan Kaki:
(13) Frederick Mayer. 1951. A History of Modern Philosophy. California: University of Redlands.
(14) Dikutip dari Prof. Dr. Fuad Hassan. 1973. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Pustaka Jaya. Hal: 39
(30) Hergenhahn. 11 Mar 2008. An Introduction to the History of Psychology. Cengage Learning. Hal: 575-579
Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844 – 1900)
Friedrich Wilhelm Nietzsche (lahir di Saxony, Prussia, 15 Oktober 1844 – meninggal di Weimar, 25
Agustus 1900 pada umur 55 tahun)adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang
meneliti teks-teks kuno, filsuf, kritikus budaya, penyair dan komposer. Dia menulis beberapa teks kritis
terhadap agama, moralitas, budaya kontemporer, filsafat dan ilmu pengetahuan, menampilkan kesukaan
untuk metafora, ironi, dan pepatah. Ia merupakan salah seorang tokoh pertama dari eksistensialisme
modern yang ateistis.
Para eksistensialis (termasuk Nietzsche) membedakan antara eksistensi dan esensi. Eksistensi berarti
keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu; eksistensi menunjukkan kepada “suatu benda
yang ada di sini dan sekarang”. Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya.
Tetapi bagi kelompok eksistensialis, kata kerja “to exist” mempunyai isi yang lebih positif dan lebih kaya
daripada kata kerja “to live”. Kadang-kadang orang mengatakan tentang orang yang hidup kosong dan
tanpa arti bahwa “ia tidak hidup, ia hanya ada”. Kelompok eksistensialis mengubah kata tersebut dan
mengatakan “orang itu tidak ada, ia hanya hidup”. Bagi mereka eksistensi berarti kehidupan yang penuh,
tangkas, sadar, tanggung jawab, dan berkembang.
Nietzsche melihat manusia sebagai makhluk yang harus terus menerus bereksistensi, yaitu manusia yang
memiliki cita-cita yang tinggi untuk menjadi “Manusia Super” (Über- Mensch) yang bermental
pemimpin. Satu-satunya jalan untuk menjadi Über-Mensch adalah penderitaan sebab melalui
penderitaan manusia mencoba untuk menggunakan akal budinya dengan lebih giat sampai ia
menemukan jati dirinya. Dia mengatakan “My formula is Amor fati: . . . not only to bear up under every
necessity, but to love it”(13). Nietzsche tidak hanya berusaha menghadapi penderitaan, tetapi juga
mencintainya, karena itulah jalan menuju Über-Mensch. Demikianlah manusia bereksistensi.
Nietzsche dikenal sebagai seorang eksistensialis ateistik bahkan disebut “Pembunuh Tuhan” karena
cetusannya “Gott ist tot” seperti bahasan sebelumnya. Manusialah yang menjadi Über-Mensch dan
menjadi pencipta, pendobrak nilai-nilai baru (13). Nietzsche’s hatred of Christianity proceeds principally
from his view of its supposed effect on man, whom it renders weak, submissive, resigned, humble or
tortured in conscience and unable to develop himself freely (14). Manusia tidak berkembang sebagaimana
mestinya. Manusia super (Über-Mensch) tidak akan tercapai dengan adanya Tuhan.
Dalam tradisi Filsafat Barat modern, Nietzsche (1844-1900) menempati posisi yang khas, karena kritiknya
terhadap metafisika Barat. Nietzsche dikenal berfilsafat dengan palu (baca: cukup keras); ia menghantam
dengan keras segala keyakinan, kepercayaan, dogma dan pengetahuan yang mendasarkan dirinya pada
suatu fondasi yang tak tergoyahkan. Ia menggugat metafisika yang membicarakan palung-palung
kenyataan, dan hakikat di balik seluruh realitas, dan dengan tanpa ampun ia mempreteli apa yang
disebut “kebenaran”. Nietzsche, sekali lagi, mengingatkan bahwa ambisi filsafat untuk menemukan
hakikat kebenaran adalah racun yang membunuh dirinya sendiri.
Nietzsche telah melakukan liberasi atas petanda dari derivasinya dan ketergantungan terhadap logos dan
hubungannya dengan konsep kebenaran atau makna “primer”. Nietzsche mencurigai apa kita sebut
dengan nilai dan rezim kebenaran, makna, atau Ada, bahkan makna Ada itu sendiri. Nietzsche telah
menegaskan suatu rangkaian tanda yang terus menerus tanpa henti, tanpa “dasar” dan “kebenaran”.
Nietzsche telah membawa kita lepas dari dasar, asal-usul, dan kebenaran yang menjadi pencarian
filosofis sepanjang masa.
Ia telah melepaskan –dalam bahasa Derrida- derivasi makna dari logos. Nietzsche mencabut akar logos
dari keterpautan alamiahnya dengan makna. Tanda tidak lagi memuat secara alamiah makna, karenanya
bahasa dan kebenaran hanya soal interpretasi, soal tafsir, yang tak bebas dari proses pembentukan
bersama yang bersifat abitrer dan sementara. Apa yang kita sebut kebenaran adalah hasil konstruksi
melalui bahasa, dan bila bahasa telah dilepaskan dari klaimnya sebagai medium ungkapan kehadiran
penuh makna
Nietzsche percaya bahwa kecenderungan positif dan negatif hidup berdampingan dalam semua manusia
dan ketegangannya merupakan sumber utama untuk kreativitas yang dalam psikologi disebut
Daimonic(30). Dalam psikologi, daimonic mengacu pada dorongan alamiah setiap manusia untuk
menegaskan, menyatakan, mengukuhkan, dan meningkatkan diri secara maksimal dalam perkembangan
diri. Bagi May, daimonic lah yang bertanggung jawab besar terhadap berbagai macam
kesusteraan/literatur, drama, dan seni, dan daimonic yang merupakan inti/pokok dari banyak mitos;
misalnya, mitos yang menggambarkan konflik antara yang baik dan yang jahat atau antara Tuhan dan
Setan.
Catatan Kaki:
(13) Frederick Mayer. 1951. A History of Modern Philosophy. California: University of Redlands.
(14) Dikutip dari Prof. Dr. Fuad Hassan. 1973. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Pustaka Jaya. Hal: 39
(30) Hergenhahn. 11 Mar 2008. An Introduction to the History of Psychology. Cengage Learning. Hal: 575-579