WACANA PEMBAHARUAN HUKUM PERSPEKTIF PERA

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo),
Halaman. 52-63

WACANA PEMBAHARUAN HUKUM
PERSPEKTIF PERANAN ASAS-ASAS
HUKUM DALAM PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN
KONSEP PENEGAKAN HUKUM
PROGRESIF
(Prof. DR. Satjipto Rahardjo)
Oleh:
Abdul Roni, SH, MH
ABSTRAK
Penegakan
hukum
progresif
bukanlah
merupakan satu-satunya model penegakan
hukum yang paling tepat untuk diterapkan di
Indonesia, tetapi ini adalah jalan keluar.

Karena penegakan hukum progresif itu di
mulai dari kerisauan melihat penegakan hukum
di Indonesia. Sesudah kita renungkan, ternyata
kita masih didominasi oleh peraturanperaturan. Ada semacam ketakutan bagi orangorang tertentu untuk bertindak berlebih. Jadi
kalau kita hanya bertolak pada peraturan, maka
kita akan membaca pasal-pasal tidak menggali
makna yang lebih dalam. Indonesia
memerlukan pembebasan karena undangundang yang ada belum tentu mendukung citacita pendirian republik ini. Saya berharap para
penegak hukum di Indonesia tidak hanya
terpaku pada pasal-pasal, tetapi juga menjadi
agent of development, sehingga development
itu menjadi sesuai dengan makna yang ada di
dalam pembukaan UUD 1945.

A. Pendahuluan
Dalam konteks dengan topik makalah
ini, maka penulis beranjak dari persoalan
pendayagunaan asas hukum oleh legislatif
yang merupakan salah satu sub judul dari
buku sisi – sisi lain dari hukum di

Indonesia karangan Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, SH, yang sesunguhnya topik ini
merupakan satu diantara banyak tulisannya
yang sempat di himpun oleh Frans J.
Rengka dan Karolus Kopong yang
keduanya adalah kandidat doctor di
Universitas Diponegoro, yang menurut
penjelasan mereka sebagai edidtor, mereka
melihat ada sesuatu yang lain dari dari
tulisan-tulisan tersebut.
Mereka menyebutnya sebagai pikiran

– pikiran alternatif mengenai hukum. Hal
ini juga diakaui kebenarannya oleh Satjipto
sendiri yang ia sampaikan dalam bagian
ucapan terima kasih penulis pada bagian
awal dari buku ini. Komentar Satjipto
mengenai tulisan – tulisannya juga
diakuainya dengan mengatakan bahwa
saya selalu mencoba untuk melihat hukum

dalam kaitannya dengan sosialitas yang
lebih luas, dengan habitatnya dan dengan
perilaku manusianya. Disini faktor
manusia menduduki kedudukan sentral.
Sementara tradisi berpikir mengenai
hukum yang dominan di negeri ini adalah
melihat peraturan dan sekalian institusi
hukum dari opjek formal dan normatif.
Khusus mengenai topik pendayagunaan
asas hukum oleh legislative, disini Satjipto
mengatakan pembuat undang-undang kita
semakin sadar memasukan unsur asas pada
waktu
menyusun
suatu
peraturan
kesadaran untuk memasukan secara
sistematis faktor atau komponen asas
kedalam perundang – undangan belum
begitu lama. Sekitar dua puluh tahun lalu

komponen asas tersebut masih secara
sporadis dimasukan kedalam perundang –
undangan.
Masalah
ini
dapat
dicontohkannya adalah Undang – Undang
nomor 12 tahun 1967 tentang pokok –
pokok perkoperasian.
Didalam Undang – Undang tersebut
asas disitu menggunakan istilah landasan
yakni, landasan yang dijadikan dasar
adalah landasan idiil, structural dan mental.
Penggunaan istilah tersebut mungkin
dikarenakan pengaruh dari lingkungan
politik pada waktu itu, sebagai akibat
trauma peristiwa pemberontakan PKI,
karenanya secara eksplisit dipakai rumusan
landasan – landasan tersebut.
Secara sporadik pemasukan asas

hukum dalam perundang – undangan pada
masa lalu juga dicontohkannya dengan
merujuk kepada beberapa Undang –
undang diantaranya Undang Undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan,

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014

52

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo),
Halaman. 52-63

Undang – Undang nomor 4 tahun 1982
tentang lingkungan hidup dan Undang –
Undang nomor 3 tahun 1985 tentang
organisasi kemasyarakatan.
Penggunaan secara sadar dan cukup
konsisten baru dimulai pada tahun 1990an. Dimasukannya asas secara konsisten

sebagai komponen perundang-undangan
dapat terlihat pada beberapa Undang –
Undang produk Nasional yang diterbitkan
pada tahun 1990-an adalah UndangUndang nomor 13 tahun 1992 tentang
perkeretaapian, Undang-Undang nomor 14
tahun 1992 tentang lalu lintas jalan,
Undang-Undang nomor 15 tahun 1992
tentang penerbangan, Undang-Undang
nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan,
Undang-Undang nomor 24 tahun 1992
tentang penataan ruang dan UndangUndang nomor 25 tahun 1992 tentang
perkoperasian.
Inti dari persoalan yang ingin
dikemukan dalam tulisan ini sebenarnya
penulis (Satjipto) dari segi teori cara
demikian itu memang patut dipuji,
disebabkan hukum itu bukan bangunan
peraturan
semata,
melainkan

juga
bangunan nilai – nilai. Oleh karena itu
sudah pada tempatnya apabila didalam
peraturan hukum ada bagian yang mampu
untuk mengalirkan nilai - nilai tersebut,
dan bagian yang dimaksud adalah asas
hukum.
Keanekaragaman
dari
watak
bangsa-bangsa yang ada didunia, yang
secara garis besarnya ada berwatak
pragmatis – pragmatis watak yang
berwatak
sangat
suka
berpikir
menerawang. Mengenai hal ini dajabarkan
dalam kecenderungan bangsa dalam
pendayagunaan asas hukum oleh legislatif.

Dikatakan dalam tulisan ini bahwa bangsa
hukum oleh legislatif.
Dikatakan dalam tulisan ini bahwa
bangsa Indonesia lebih berwatakan yang
tergolong suka menerawang dalam
menggunakan cara berpikirnya yakni,

sangat suka membuat konsep, melontarkan
gagasan absrak, dan sebagainya, tetapi
tidak terlalu pintar untuk menjabarkannya
sehingga menjadi operasional. Berbeda
hanya bangsa di kawasan asia timur yang
lain misalnya, bangsa Jepang yang lebih
suka dengan haal-hal yang dapat
dijalankan secara konkret. Perbedaan ini
diilustrasikan dalam tulisan ini bahwa
orang Indonesia suka memuja pohon
beringin, sedang orang Jepang lebih senang
dengan bonsainya.
Sebagai

komentator,
dapat
dikomentari bahwa dari aspek geografis
antara bangsa Jepang dan bnagsa
Indonesia, memang sama-sama terletak
dikawasan Asia Timur, namun yang
membedakan diantara kedua negara ini
tidak saja aspek geografis, namun
pertimbangkan juga aspek-aspek yang lain
misalnya aspek kultur, sumber daya alam
dan sumber daya manusia serta lamanya
waktu keberadaan atau berdirinya antara
kedua negara itu.
Hukum
dan
nutrisinya
yang
dimaksudkan
dalam
tulisan

ini,
dikemukakanoleh penulisnya bahwa sistem
hukum dan sistem perundang-undangan
juga membutuhkan nutrisi sama halnya
dengan manusia yang membutuhkan
vitamin.
Demikiaan pula makna nilai-nilai
yang terkandung dalam asas hukum, asas
hukum memberikan nutrisi kepada sistem
perundang-undangan, sehingga ia tidak
hanya merupakan bangunan – bangunan
perundang-undangan,
melainkan
bangunan-bangunan yang sarat dengan
nilai dan punya filsafat serta semangat
sendiri.
Dalam konteks ini bagaimana
peranan asas hukum dalam pembangunan
atau pembentukan sistem perundangundangan. Jawaban atas permasalahan itu
sangat diperlukan kita kebutuhan akan

mengetahui akan dibawa dan kearah mana
masyarakat dan bangsa kita ini, maka asas

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014

53

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo),
Halaman. 52-63

hukumlah yang memberikan jawaban atas
permasalahan tersebut, karena asas hukum
yang dapat memberikan arah dan tujuan
masyarakat dan bangsa melalui penerapan
asas hukum dalam sistem perundangundangan yang diterbitkan.
Mengenai pernyataan ini dapat
dikomentari bahwa asas hukum sebgai
keranka pokok atau sumber utama yang
telah disepakati dan ditetapkan haruslah
dijadikan
acuan
dalam
sistem
pembangunan
atau
pembentukan
perundang-undangan, karena kalau asas
yang telah dijadikan patokan itu
ditinggalkan akan menimbulkan kekacauan
dalam sistem hukum itu sendiri.
Pernyataan tentang peranan asas hukum ini
tentunya tidak dapat dipungkiri lagi,
idealnya memang harus dianut oleh para
pembentuk perundang-undang di negara
kita.Sebagai catatan bagi kita bahwa sistem
hukum yang dibangun tanpa asas – asas
akan hanya merupakan tumpukan undangundang yang tanpa arah dan tujuan yang
jelas
Hukum yang kurang tepat, hal ini
dapat saja terjadi kendati legislative
menyadari perlunya secara sengaja
memasukan asas-asas hukum dalam
karyanya, tetapi selalu bisa ditemukan asas
yang tepat, atau membuat perumusan yang
tepat. Tampaknya membuat asas hukum itu
bukanlah hal yang mudah. Misalnya asas
hukum yang kurang tepat itu, yaitu
sebagaimana tercantum di dalam UU No
14/992, yang lebih dikenal sebagai
“Undang-undang Lalu-lintas” (yang baru).
Suatu kemajuan adalah dimasukkannya
berbagai asas ke dalam UU tersebut, yang
tidak dijumpai dalam UUL lama yang
digantikannya. Dalam Pasal 2 UU tersebut
kita baca asas-asas (1) manfaat, (2) usaha
bersama dan kekeluargaan, (3) adil dan
merata, (4) keseimbangan, (5) kepentingan
umum, (6) keterpaduan, (7) hukum, dan (8)
percaya pada diri sendiri.
Sekalian asas tersebut bisa kita

mengerti sebagai asas yang baik dalam
kehidupan bermasyarakat pada umumnya.
Sebagai suatu asas yang berlaku sangat
luas seperti itu, maka ia mempunyai titik
kelemahannya sendiri. Salah satunya
adalah kehilangan fokus untuk secara lebih
tajam menghadapi permasalahan dalam
lalu lintas jalan. Asas-asas tersebut adalah
asas untuk kehidupan bermasyarakat yang
baik, tetapi bukan khusus untuk
berperilaku yang benar dalam berlalulintas. Perundang-undangan lalu lintas
membutuhkan nutrisi nilai yang lebih
khusus.
Dalam mengatur lalu lintas sebaiknya
cukup diletakan satu atau dua asas saja
yaitu asas memperhatikan kepentingan
orang
lain,
asas
memperhatikan
kepentingan sesame pemakai jalan atau
asas tidak merugikan orang blain. Asas
seperti inilah yang mampu memberikan
nutrisi terhadap pengaturan bagaimana
seharusnya berprilaku dalam berlalu
lintasdi negeri ini, sehingga tercapai
prilaku berlalu lintas yang berkualitas.
Dapat
dikomentari
mengenai
penggunaan asas yang kurang tepat dalam
sistem perundang-undangan ini bahwa,
Asas-asas yang disarankan Satjipto dalam
mengatur lalu lintas tampak lebih rinci
walaupun jumlah asas yang diterapkan
dalam undang-undan tentang lalu lintas itu
jumlahnya lebih sedikit ketimbang jumlah
asas-asas yang diterapkan oleh legislatif
kita didalam undang –undang nomor 14
tahun 1992 tentang UULAJR itu sendiri.
Namun kalau kita perhatikan
legislatif kita langsung menerapkan asasasas hukum sebagaimana yang telah,
sedang dan untuk merumuskan asas –asas
hukum seperti yang dikemukakan oleh
Satjipto
Rahardjo,
kelihatan
harus
memerlukan
keterampilan
atau
pengetahuan
khusus
untuk
lebih
mengkonkretkan dari asas-asas yang lebih
bersifat umum. Hal ini disebabkan bahwa
hukum itu bukanlah semata-mata sebagai

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014

54

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo),
Halaman. 52-63

bangunan dari peraturan-peraturan, akan
tetapi pembangunan peraturan-peraturan
itu memerlukan nilai-nilai. Oleh karenanya
merupakan hal yang sangat tepat apabila
dalam peraturan hukum ada bagian yang
mampu untuk mengalirkan nilai-nilai
tersebut, dan bagian itu adalah asas hukum.
Dalam
konteks
dengan
permasalahan mengapa atau apa yang yang
menjadi penyebab hukum tidak di patuhi,
maka salah satu faktor penyababnya adalah
pendayagunaan asas hukum kurang tepat.
Peranan asas hukum dalam pembentukan
sistem hukum adalah asas hukum dapat
memberikan tuntunan dengan cara
bagaimana dan kearah mana sistem hukum
itu akan dikembangkan, karenanya sistem
hukum memerlukan pemasokan atau dialiri
dengan nilai-nilai, dan nilai-nilai yang
dimaksudkan itu tidak lain melainkan dari
penerapan atau pendayagunaan asas –asas
hukum yang tepat yang menjadi rujukan
dalam menentukan hal-hal yang konkret
atau operasional didalam sistem hukum.
didalam suatu sistem hukum. Patut
diakui bahwa untuk membuat dan
mendayagunakan asas-asas hukum secara
tepat kedalam suatu sistem hukum yang
akan dibentuk ataupun merevisi suatu
peraturan perundang-undanga bukanlah
suatu pekerjaan yang mudah, untuk
merumuskan asas-asas yang tersebut
diperlukan keterampilan-keterampilan dan
pengetahuan khususu tentang hal itu,
termasuk pihak legislatif, tidak cukup
hanya menyadari perlunya secara sengaja
memasukan asas-asas hukum dalam
pembentukan
suatu
Undang-Undang,
namun harus pula dituntut untuk memeliki
pengetahuan khusus dalam merumuskan
asas-asas hukum kedalam karyanya itu.
Sistem hukum yang dibangun tanpa
asas-asas hukum yang tepat, maka yang
akan terjadi hanyalah berupa tumpukan
Undang-Undang yang tanpa arah dan
tujuan yang jelas, yang pada akhirnya akan
menjadi hukum yang tidak dipatuhi, karena

tidak turut membentuk moralitas perilaku
atau tidak mensejahterakan masyarakat.
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH,
dalam bukunya yang berjudul “sisi-sisi lain
dari hukum di Indonesia, memberikan
contoh asas hukum yang kurang tepat,
yaitu sebagaimana tercantum di dalam
Undang-Undang Nomor 14/1992, yang
lebih dikenal dengan Undang-Undang Lalu
Lintas yang baru. Suatu kemajuan adalah
dimasukannya berbagai asas kedalam UU
tersebut, yang tidak dijumpai didalam UU
lalu lintas yang lama yang digantikannya.
Dalam pasal 2 UU tersebut kita baca asasasas (1). Asas manfaat, (2). Asas usaha
bersama dan kekeluargaan, (3). Asas adil
dan merata, (4). Asas keseimbangan, (5).
Asas kepentingan umum, (6). Asas
keterpaduan, (7). Asas hukum, dan (9).
Asas percaya pada diri sendiri.
Sekalian asas tersebut bisa kita
mengerti sebagai asas yang baik dalam
kehidupan bermasyarakat pada umumnya.
Sebagai suatu asas yang berlaku sangat
luas seperti itu , maka ia mempunyai titik
kelemahannya sendiri. Salah satunya
adalah kehilingan fokus untuk secara lebih
tajam menghadapi persoalan dalam berlalu
lintas jalan. Asas-Asas tersebut adalah asas
untuk kehidupan bermasyarakat yang baik,
tetapi bukan khusus untuk berperilaku
yang benar dalam berlalu lintas.
Perundang-undangan
lalu
lintas
memerlukan nutrisi nilai-nilai yang lebih
khusus.
Lalu lintas adalah interaksi antara
sekian banyak orang dengan kekuatan yang
berbeda-beda, yaitu antara mobil dan
pejalan kaki, antara bus, sedan dan sepeda
motor, antara sepeda motor dan sepeda,
dan seterusnya. Dalam keadaan seperti itu
dibutuhkan suatu pegangan nilai yang
mampu untuk menyelaraskanpertemuan
antara
kekuatan-kekuatan
tersebut,
sehingga tercapai suatu perilaku berlalu
lintas yang berkualitas.

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014

55

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo),
Halaman. 52-63

Pada hemat saya, dalam mengatur
lalu lintas ini cukup diletakan satu atau dua
asas saja, yaitu asas memperhatikan
kepentingan orang lain atau asas
memperhatikan
kepentingan
sesama
pemakai jalan atau asas tidak merugikan
orang lain. Asas seperti itulah yang
selanjutnya bisa memberikan nutrisi
terhadap sekalian pengaturan tentang
bagaimana seharusnya berperilaku dalam
lalu lintas di negeri ini. Bahkan saya
cenderung berpendapat, bahwa, pasal-pasal
undang-undang yang sedikit banyak rinci
memang diperlukan, tetapi dengan satu
asas itu saja, lebih banyak hal positif yang
bisa dicapai. Kekurangan besar bangsa kita
dalam berlalu lintas terletak pada sikapnya
yang egois, yang lebih mementingkan diri
sendiri, kepentingan dan keinginan sendir.
Inilah yang menjadi penyebab penting bagi
ketidak- tertiban lalu lintas dan susahnya
mengatur lalu l;intas di negeri ini.
Kalau asas hukum itu memang
harus bisa memberikan nutrisi nilai-nilai,
maka karena sifatnya yang umum, kedepan
asas yang tercantum dalam UU No.
14/1992 itu tidak mampu untuk
menjalankan fungsi tersebut dengan baik.
Asas–asas tersebut tidak berbicara secara
langsung mengenai perilaku berlalu lintas.
Keadaan yang demikian itu menyulitkan
pembinaan perilaku berlalu lintas, oleh
karena asas hukumnya tidak memberikan
tuntunan untuk itu. Prof. DR. Satjipto
Rahardjo, SH., MA, adalah Guru Besar
Emeritus Sosiologi Hukum di Universitas
Diponegoro. Beliau terbilang sebagai salah
seorang pemikir hukum yang hingga saat
ini masih sering kali mengemukakan
gagasan-gagasan
bernas.
Mayoritas
gagasan dan pemikiran beliau ditujukan
untuk
mencabar
pemikiran
faham
positivisme hukum. Gagasannya yang
paling terbaru adalah konsep penegakan
hukum progresif. Yang melatar belakangi
wacana pembaharuan hukum menurut teori
hukum progresif ini adalah hukum harus

membebaskan diri dari mengeja pasalpasal, hal ini dimaksudkan yakni mengenai
pola pikir mayoritas para juris di Indonesia
menggunakan faham positivisme hukum
dalam membentuk dan menemukan hukum
. Akibatnya ketentuan tertulis (peraturan
perundang-undangan) menjadi patokan
utama bahkan tunggal. Paham atau cara
pandang semacam ini membuat proses
penegakan hukum menjadi kering justru
memproduksi masalah-masalah baru, bila
penegakan hukum teramat berpatokan pada
ketentuan tertulis. Agar hukum tidak malah
melahirkan persoalan-persoalan baru dan
bahkan merawat status quo maka mutlak
diperlukan cara pandang baru. Dalam cara
pandang
baru
ini
hukum
harus
mempertimbangkan fakta-fakta lain di luar
hukum, karena hanya dengan itu hukum
bisa merasakan kebutuhan, penderitaan dan
keinginan masyarakat. Hanya dengan itu
pula hukum bisa memiliki kesadaran dan
hati nurani.
B. Permasalahan
Berdasar latar belakang sebagaimana
tersebut diatas, maka yang menjadi
permasalahan
dalam kaitanya dengan
judul tulisan ini adalah pertama, bagaimana
penerapan asas-asas hukum oleh legislatif
dalam proses harmonisasi peraturan
perundang-undangan, termasuk peraturan
daerah di Indonesia. kedua, apakah akibat
dari penerapaan asas-asas hukum yang
kurang atau tidak tepat itu dalam proses
harmonisasi dapat menjadi salah satu aspek
pengubah hukum. Permasalahan pokok
yang akan dikaji penulis dalam makalah ini
adalah sebagai bentuk pemahaman penulis
dalam memahami mata kuliah aspekaspek pengubah hukum.
Dalam konteks dengan wacana
pembaharuan hukum di Indonesia, maka
Prof.
DR.
Satjipto
Rahardjo,
mengemukakan gagasan dan pemikiran
yang di tujukan untuk mencabar pemikiran
faham positivisme hukum dengan gagasan
beliau yang paling terbaru adalah konsep

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014

56

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo),
Halaman. 52-63

penegakan hukum progresif dengan pokok
permasalahannya di hadapkan dengan
suatu pertanyaan yaitu hukum harus
membebaskan diri dari mengeja pasalpasal.
C. Pembahasan
Kinerja di bidang pembentukan
peraturan perundang-undangan (PUU)
dalam 10 tahun terakhir ini telah
memperlihatkan peningkatan baik secara
kualitas maupun kuantitas. Hal ini tidak
terlepas dari proses penyusunan PUU
dengan mekanisme yang makin tertib,
terarah, dan terukur, meskipun masih tetap
perlu diupayakan penyusunan PUU dengan
proses yang lebih cepat dengan tidak
mengurangi kualitas PUU yang dihasilkan.
Percepatan penyelesaian PUU utamanya
perlu
didorong
terhadap
program
pembentukan PUU yang penyelesaiannya
ditentukan dalam waktu tertentu atau
diperlukan segera untuk merealisasikan
program-program strategis pembangunan.
Penyerahan
sebagian
besar
kewenangan
pemerintahan
kepada
pemerintah daerah, telah menempatkan
pemerintah daerah sebagai ujung tombak
pembangunan nasional, dalam rangka
menciptakan kemakmuran rakyat secara
adil dan Dalam kaitan ini peran dan
dukungan
daerah
dalam
rangka
pelaksanaan PUU sangat strategis,
khususnya dalam membuat peraturan
daerah (Perda) dan peraturan daerah
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Perda sebagai jenis PUU nasional
memiliki landasan konstitusional dan
landasan
yuridis
dengan
diaturnya
kedudukan Perda dalam UUD 1945 Pasal
18 ayat (6), dan UU No.12 Tahun 2011
tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan, UU No.32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah
termasuk perundang-undangan tentang
daerah otonomi khusus dan daerah
istimewa sebagai lex specialis dari UU

No.32/2004. Selain itu terkait dengan
pelaksanaan wewenang dan tugas DPRD
dalam membentuk Perda adalah UU No.27
Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD dan Peraturan Pemerintah No.16
Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan
Peraturan DPRD tentang Tata Tertib
DPRD. Penting pula untuk diperhatikan
UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi sebagai pengganti UU No.18
Tahun 1997 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU No.34 Tahun 2004,
dalam rangka pengendalian Perda tentang
Pajak dan Retribusi dan UU No.26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang dalam
rangka keterpaduan RTRW nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945
menyatakan bahwa pemerintah daerah
berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan
lain
untuk
melaksanakan otonomi daerah dan tugas
pembantuan.
Dalam kaitan ini maka
sistem hukum nasional memberikan
kewenangan atributif kepada daerah untuk
menetapkan Perda dan peraturan daerah
lainnya, dan Perda diharapkan dapat
mendukung secara sinergis programprogram Pemerintah di daerah.
Perda sebagaimana PUU lainnya
memiliki fungsi untuk mewujudkan
kepastian hukum. Untuk berfungsinya
kepastian hukum PUU harus memenuhi
syarat-syarat tertentu antara lain konsisten
dalam perumusan dimana dalam PUU yang
sama
harus
terpelihara
hubungan
sistematik
antara
kaidah-kaidahnya,
kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya
hubungan harmonisasi antara berbagai
peraturan perundang-undangan.
Pengharmonisasian PUU memiliki
urgensi dalam kaitan dengan asas peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi,
sehingga hal yang mendasar dalam
penyusunan rancangan peraturan daerah

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014

57

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo),
Halaman. 52-63

adalah kesesuaian dan kesinkronannya
dengan PUU lainnya.
I. Kedudukan dan Landasan Hukum
Peraturan Daerah
Sesuai asas desentralisasi daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah
untuk
mengatur
urusan
pemerintahannya sendiri. Kewenangan
daerah mencakup seluruh kewenangan
dalam bidang pemerintahan, kecuali
bidang politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal
nasional, dan agama yang diatur dalam
ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Nomor 32
Tahun 2004.
Urusan
wajib
yang
menjadi
kewenangan daerah diatur dalam ketentuan
Pasal 13 dan Pasal 14 yang telah diatur
lebih lanjut dengan PP No. 38/2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dalam
rangka
penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Pemerintah juga
telah menetapkan PP No.41/2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah. Untuk
menjalankan urusan pemerintahan daerah
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah
memerlukan
perangkat
peraturan
perundang-undangan.
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang
menyatakan ”Pemerintahan Daerah berhak
menetapkan Peraturan Daerah dan
peraturan-peraturan
lain
untuk
melaksanakan
otonomi
dan
tugas
pembantuan”. Kewenangan pembentukan
Peraturan Daerah berada pada Kepala
Daerah dan DPRD. Hal ini sesuai UU
No.32/2004 Pasal 25 huruf c bahwa
”Kepala Daerah mempunyai tugas dan
wewenang menetapkan Perda yang telah
mendapat persetujuan bersama DPRD” dan
Pasal 42 ayat (1) huruf a bahwa”DPRD
mempunyai
tugas
dan
wewenang
membentuk Perda yang di bahas dengan
Kepala
Daerah
untuk
mendapat

persetujuan bersama”, dan Pasal 136 ayat
(1) bahwa”Perda ditetapkan oleh Kepala
Daerah setelah mendapat persetujuan
bersama DPRD”.
Memperhatikan ketentuan mengenai
Perda dimaksud, dapat disimpulkan bahwa
Perda mempunyai berbagai fungsi antara
lain sebagai instrumen kebijakan di daerah
untuk melaksanakan otonomi daerah dan
tugas
pembantuan
sebagaimana
diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU
Pemerintahan Daerah namun Perda
tersebut pada dasarnya merupakan
peraturan pelaksanaan dari PUU yang lebih
tinggi. Selain itu Perda dapat berfungsi
sebagai
istrumen
kebijakan
untuk
penampung kekhususan dan keragaman
daerah serta penyalur aspirasi masyarakat
di daerah, namun dalam pengaturannya
tetap dalam koridor Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945.
Dalam rangka harmonisasi, asas
hierarki dilaksanakan melalui pembatalan
perda
oleh
Pemerintah
apabila
bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dan/atau
bertentangan dengan kepentingan umum.
Asas hierarki juga menimbulkan lahirnya
hak untuk menguji Perda tersebut baik
secara formal
maupun material. Hak
menguji formal adalah wewenang untuk
menilai apakah suatu produk hukum telah
dibuat melalui cara-cara
sebagaimana
telah ditentukan/diatur dalam PUU;
sedangkan hak menguji material adalah
suatu wewenang untuk menyelidiki dan
kemudian menilai, apakah suatu produk
hukum isinya sesuai dengan PUU yang
lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu
kekuasaan tertentu (verordenende macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu.
II. Materi Muatan Peraturan Daerah
Materi muatan Peraturan Daerah
telah diatur dengan jelas dalam UU

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014

58

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo),
Halaman. 52-63

No.12/2011 dan UU No.32/2004. Pasal 12
UU
No.32/2004
menyatakan:“Materi
muatan Peraturan Daerah adalah seluruh
materi
muatan
dalam
rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan, dan menampung kondisi
khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi”. Pasal 5 UU No.10/2004 jo Pasal
138 UU No.32/2004, menentukan materi
Perda harus memperhatikan asas materi
muatan
PUU
antara
lain
asas
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan,
dan yang terpenting ketentuan Pasal 7 ayat
(4) dan ayat (5) UU No.10/2004 jo Pasal
136 ayat (4) UU No.32/2004 bahwa materi
Perda dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan /atau peraturan
PUU yang lebih tinggi. Dalam penjelasan
Pasal 136 ayat (4) UU No.32/2004
dijelaskan bahwa ”bertentangan dengan
kepentingan umum” adalah kebijakan yang
berakibat terganggunya kerukunan antar
warga
masyarakat,
terganggunya
pelayanan umum, dan terganggunya
ketentraman/ketertiban
umum
serta
kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Selanjutnya pengaturan yang bersifat
khusus dalam tata cara penyusunan Perda
yakni
mekanisme
evaluasi
secara
berjenjang terhadap Raperda tentang
APBD (Pasal 185 s.d Pasal 191 UU
No.32/2004), Raperda tentang Pajak
Daerah, Raperda tentang Retribusi Daerah
(Pasal 189 UU No.32/2004). Evaluasi atas
Raperda
tersebut
ditujukan
untuk
melindungi
kepentingan
umum,
menyelaraskan dan menyesuaikan materi
Perda dengan PUU yang lebih tinggi
dan/atau Perda lainnya. Ketentuan ini
mengisyaratkan bahwa pengharmonisasian
Perda dilakukan baik secara vertikal
maupun horizontal.
Raperda yang mengatur pajak daerah,
retribusi daerah, APBD, dan rencana tata
ruang wilayah (RTRW) sebelum disahkan
oleh kepala daerah terlebih dahulu

dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri
untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur
terhadap
Raperda
kabupaten/kota.
Ketentuan mengenai tata cara evaluasi
Raperda tentang pajak dan retribusi diatur
dalam No.28 Tahun 2009 tentang Pajak
dan Retribusi (Pasal 157 s.d Pasal 158),
sedangkan pengaturan mengenai tata cara
evaluasi Raperda rencana tata ruang
(RTRW) terdapat dalam UU No.26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang.
Raperda tentang pajak dan retribusi
yang telah disetujui kepala daerah dengan
DPRD sebelum ditetapkan disampaikan
kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan untuk Raperda Provinsi untuk
dievaluasi untuk diuji kesesuaiannya
dengan UU No.28/2009, kepentingan
umum, dan/atau PUU lain yang lebih
tinggi. Dalam hal hasil evaluasi berupa
penolakan Raperda dimaksud dapat
diperbaiki oleh gubernur/ bupati/walikota
bersama DPRD yang bersangkutan, untuk
kemudian disampaikan kembali kepada
Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Keuangan. Mekanisme tersebut berlaku
mutatis
mutandis
bagi
Raperda
kabupaten/kota tentang pajak restribusi
dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh
gubernur berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan.
Sesuai ketentuan Pasal 18 UU
No.26/2007 penetapan Raperda provinsi
tentang rencana tata ruang wilayah
provinsi dan rencana rinci tata ruang
terlebih dahulu harus mendapat persetujuan
substansi dari Menteri PU; dan penetapan
Raperda kabupaten/kota tentang rencana
tata ruang wilayah kabupaten/kota dan
rencana rinci tata ruang terlebih dahulu
harus mendapat persetujuan substansi dari
Menteri
PU
setelah
mendapatkan
rekomendasi gubernur. Pengaturan lebih
lanjut mengenai tata cara persetujuan
substansi dimaksud diatur dalam PP
No.15/2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang. Sesuai PP ini, persetujuan

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014

59

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo),
Halaman. 52-63

bersama Raperda provinsi tentang RTRW
antara gubernur dengan DPRD provinsi
yang didasarkan pada persetujuan substansi
dari Menteri PU, dan kewajiban untuk
menyampaikan Raperda tersebut kepada
Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.
Mekanisme ini berlaku mutatis mutandis
bagi Raperda RTRW kabupaten/kota
dengan perbedaan evaluasi dilakukan oleh
gubernur.
Ketentuan mengenai pembatalan
Perda diatur dalam Pasal 145 UU
No.32/2004. Sesuai ketentuan Pasal ini
Perda yang telah ditetapkan bersama
Pemda dan DPRD wajib disampaikan
kepada Pemerintah melalui Kementerian
Dalam Negeri paling lama 7 hari setelah
ditetapkan. Pemerintah harus telah
memberikan keputusan atas Perda tersebut
paling lama 60 hari sejak Perda diterima.
Dalam hal Perda dinyatakan bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau PUU
yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh
Pemerintah yang ditetapkan dengan
Peraturan Presiden. Selanjutnya paling
lama 7 hari setelah keputusan pembatalan,
kepala daerah harus memberhentikan
pelaksanaan Perda dan bersama DPRD
mencabut Perda dimaksud. Daerah yang
tidak
dapat
menerima
keputusan
pembatalan Perda dengan alasan yang
dapat
dibenarkan
oleh
peraturan
perundang-undangan, kepala daerah dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Agung.
Khusus mengenai pembatalan Perda
tentang Pajak dan Restribusi berdasar
ketentuan dalam UU No.28 Tahun 2009,
Perda yang telah ditetapkan oleh
gubernur/bupati/walikota
dibatalkan
apabila bertentangan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundangundangan
yang lebih tinggi atas rekomendasi dari
Menteri Keuangan kepada Presiden yang
disampaikan melalui Menteri Dalam
Negeri. Keputusan pembatalan Peraturan
Daerah ditetapkan dengan Peraturan

Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari
kerja sejak diterimanya Perda oleh Menteri
Keuangan dan Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya sesuai Pasal 159 UU No.28
Tahun
2009
daerah
yang
tidak
menyampaikan Perda tentang Pajak dan
Retribusi kepada Menteri Keuangan dan
Menteri Dalam Negeri dikenai sanksi
berupa penundaan atau pemotongan Dana
Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil
atau restitusi
III. Urgensi Harmonisasi Perda dengan
Peraturan Perundang-undangan
Harmonisasi PUU adalah proses yang
diarahkan untuk menuju keselerasan dan
keserasian antara satu PUU dengan PUU
lainnya sehingga tidak terjadi tumpang
tindih,
inkonsistensi
atau
konflik/perselisihan dalam pengaturan.
Dalam kaitannya dengan sistem asas
hierarki PUU sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya maka proses
tersebut mencakup harmonisasi semua
PUU termasuk Perda baik secara vertikal
maupun horisontal.
Harmonisasi Raperda dengan PUU
perlu didukung oleh aturan yang jelas dan
tegas apabila dikehendaki untuk senantiasa
diintergrasikan sebagai syarat formal
penyusunan Perda seperti halnya proses
pengharmonisasian, pemantapan, dan
pembulatan konsepsi RUU, RPP, Rperpres
termasuk Rinpres yang dilaksanakan
sesuai Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun
2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan
RUU, Rperppu, RPP, dan RanPrepres, dan
Peraturan Presiden No.61/2005 tentang
Prolegnas.
Dalam
Peraturan
Presiden
No.68/2005 antara lain diatur mengenai
pembentukan Panitia Antar departemen,
pengajuan surat permintaan keanggotaan
Panitia Antar departemen kepada Menteri
dan menteri /pimpinan lembaga terkait;
dan penegasan keikutsertaan wakil dari
Kementerian yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang peraturan perundang-

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014

60

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo),
Halaman. 52-63

undangan dalam setiap Panitia Antar
departemen dimaksudkan untuk melakukan
pengharmonisasian Rancangan UndangUndang
dan
teknik
perancangan
perundang-undangan.
Dalam
Perpres
tersebut juga diatur mengenai teknik-teknik
pelaksanaan pengharmonisasian termasuk
mekanisme penyelesaian dalam hal
terdapat perbedaan.
Dalam Perpres No. 61 Tahun 2005
diatur
mengenai
pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi
RUU dalam Pasal 14 s.d 17, yang pada
intinya menentukan bahwa RUU sebelum
dimintakan persetujuan Presiden sebagai
Prolegnas terlebih dahulu dilakukan
pengharmonisasian,
pembulatan,
dan
pemantapan konsepsi RUU.
Pentingnya
pengaturan
pengharmonisasian bagi Raperda diatur
dalam Perpres tersebut agar selaras dengan
pengaturan di DPRD dalam PP No.16
Tahun 2010 dimana Pasal 53 PP tersebut
mengatur bahwa Badan Legislasi Daerah
bertugas melakukan pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi
rancangan peraturan daerah yang diajukan
anggota, komisi dan/atau gabungan komisi
sebelum rancangan peraturan daerah
tersebut disampaikan kepada pimpinan
DPRD. Ketentuan Pasal 53 PP tersebut
konkordan
dengan
ketentuan
pengharmonisasian,
pembulatan,
dan
pemantapan konsepsi di DPR sebagaimana
diatur dalam UU No.27 Tahun 2009
dimana proses tersebut melekat dalam
tugas dari Badan Legislasi.
Proses harmonisasi memerlukan
ketelitian, kecermatan, dan keakuratan
dalam mengidentifikasikan PUU yang
terkait, analisis norma-norma yang dinilai
bersesuaian atau bertentangan, serta
ketepatan dalam menentukan pilihanpilihan politik hukum dalam hal ditemukan
ketidakcocokan
konsepsi
rancangan
dengan ketentuan PUU lain. Dalam proses
tersebut perlu dipastikan prinsip-prinsip

PUU yang harus dipegang teguh oleh para
penyusun misalnya bahwa RPP dibuat
untuk melaksanakan UU maka RPP tidak
dapat mengatur sesuatu hal yang melebihi
amanat UU tersebut.
Dalam rangka harmonisasi Perda dan
PUU, proses harmonisasi Perda dengan
PUU lainnya dan dengan perda lainnya
perlu dintegrasikan sejak pembahasan
Prolegda
dan
penyusunan
Naskah
Akademis. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 15 UU No.12 Tahun 2012 bahwa
perencanaan penyusunan
Peraturan
Daerah dilakukan dalam suatu Prolegda.
Prolegda adalah instrumen perencanaan
program pembentukan Perda yang disusun
secara berencana, terpadu, dan sistematis.
Pasal 18 PP No.16/2010 menentukan
Raperda yang berasal dari DPRD atau
kepala daerah disertai penjelasan atau
keterangan dan/atau naskah akademik,
dengan catatan Naskah Akademik tidak
bersifat wajib bagi Raperda tentang APBD
atau Raperda yang mengubah beberapa
materi yang sudah memiliki naskah
akademik sebelumnya.
Sesuai ketentuan Pasal 145 ayat (2)
UU Nomor 32/2004 yang menegaskan
bahwa peraturan daerah yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau PUU
yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh
Pemerintah.
Hingga kini berdasarkan data dari
Kementerian Dalam Negeri telah tercatat
sebanyak 1983 yang dibatalkan dan masih
terdapat
ribuan
Perda
yang
direkomendasikan
untuk
dievaluasi
dan/atau dibatalkan. Perda yang dibatalkan
pada umumnya Perda tentang pajak dan
retribusi daerah. Sampai dengan bulan Juli
2009 peraturan daerah tentang pajak dan
retribusi daerah dibatalkan sudah mencapai
1152 Perda. Sebelum berlakunya UU
No.32/2004 sudah terdapat sekitar 8000
perda tentang pajak dan retribusi daerah
yang dibuat dan lebih dari 3000 perda
tersebut terindikasi bermasalah.

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014

61

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo),
Halaman. 52-63

Informasi Menteri Keuangan dari
hasil evaluasi terhadap Perda Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah sejak 2001 hingga 14
Agustus 2009 menunjukkan, dari total
9.714 perda, ada 3.455 perda (36 persen)
yang direkomendasikan dibatalkan atau
direvisi, dan dari sisi jenis usaha, perda
bermasalah paling banyak diterbitkan di
sektor
perhubungan,
industri
dan
perdagangan, pertanian, budaya dan
pariwisata, serta kehutanan. Hasilnya, dari
2.566 Raperda tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, terdapat 1.727 Raperda
(67 persen) yang direkomendasikan untuk
ditolak atau direvisi. Raperda bermasalah
ini masih di sektor perhubungan, industri
dan perdagangan, pekerjaan umum, budaya
dan
pariwisata,
serta
kesehatan.
Kementerian Keuangan juga mendata
sampai dengan 31 Maret 2009, Perda
bermasalah paling banyak terjadi di sektor
transportasi (447 Perda), disusul industri
dan perdagangan (387 Perda), pertanian
(344 Perda) dan kehutanan (299 Perda).
Masih terkait dengan pajak dan
retribusi, Kementerian Negara Koperasi
dan UKM baru menginformasikan saat ini
terdapat 26 dari 92 peraturan daerah yang
bertentangan
dengan
pemberdayaan
koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah
(KUMKM) dan terkait dengan pajak dan
retribusi daerah telah dibatalkan oleh
Kementerian Dalam Negeri dan masih
terdapat 340 perda yang bertentangan
dengan pemberdayaan KUMKM sesuai
UU No.28/2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah. Dari 340 Perda tersebut
sejumlah 234 peraturan daerah telah
diusulkan
pembatalannya
kepada
Kementerian Dalam Negeri, sebanyak 63
di antaranya telah disetujui pembatalannya,
dan 171 Perda lainnya masih dalam proses
pertimbangan di Kementerian Dalam
Negeri dan Kementerian Keuangan..
Bertitik tolak dari permasalahan
hukum
harus membebaskan diri dari
mengeja pasal-pasal, maka atas pertanyaan

bagaimana gejala sosial yang terjadi di
Indonesia sebagai akibat adanya penerapan
positivisme hukum, Prof. DR. Satjipto
Rahardjo, mengemukakan bahwa, kita
adalah negara hukum. Hukum itu pertamatama bertolak dari teks-teks yang tertulis.
Undang-undang itu kan adalah teks yang
tertulis. Jadi, itu muncul dari dada hukum
yang tidak mempunyai perundangundangan tertulis. Sehingga munculah
faham positivis atau sering juga disebut
sebagai positivisme analitis. Jadi memang
positivisme itu adalah bahan pemikiran
yang muncul seiring dengan adanya tradisi
perundang-undangan. Tetapi selanjutnya
ada pemikiran-pemikiran dan pendapatpendapat yang berbeda. Karena kalau kita
hanya mendasarkan pada ketentuan tertulis
saja, bisa menyebabkan dinamika didalam
masyarakat atau keadaan yang sangat
kompleks di masyarakat, tidak tertampung
dalam perundang-undangan. Karena sifat
dari perundang-undangan yang tertulis itu
biasanya kaku dan rijid, sehingga kurang
bisa mengikuti keadaan dan kompleksitas
yang berkembang. Jadi orang-orang yang
menganut positivis analitis itu selalu
mengatakan:
“Ya
undang-undangnya
bilang begitu”.
Kita bisa berbuat lain sebelum
undang-undang itu di rubah. Sehingga kita
tidak dapat melakukan hal-hal yang tidak
tercantum
dalam
undang-undang.
Pernyataan seperti itu yang saya sebut
sebagai mempertahankan status quo.
Menurut pendapat saya di dalam
perkembangan
selanjutnya,
hukum
memang harus berdasarkan peraturan atau
rules. Tetapi, ketika melihat perkembangan
yang ada di Indonesia, misalnya
pemberantasan korupsi yang kurang
berhasil, maka saya berpendapat bahwa
hukum tidak dapat dipahami sebagai
peraturan atau rules, tetapi juga sebagai
pelaku atau behaviour, yaitu perilaku
penegak hukum, perilaku masyarakat,
jaksa dan hakim.

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014

62

Abdul Roni, wacana pembaharuan hukum perspektif peranan asas-asas hukum dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan konsep penegakan hukum progresif(Prof. DR. Satjipto Rahardjo),
Halaman. 52-63

Sebab
itulah
yang
menjadi
jembatan, agar ketentuan perundangundangan yang di sebut kaku, justru bisa
mengikuti kompleksitas perkembangan
zaman. Karena bila hanya berpaku pada
peraturan, jelas akan menjaga status quo,
berhenti hitam atau putih. Tetapi, kalau
orang yang menjalankan peraturan itu di
semangati oleh kebutuhan yang ada di
masyarakat, maka masih ada peluang untuk
membaca perundang-undangan itu dan
menerapkannya secar dinamis dalam
perkembangan di masyarakat. Oleh karena
itu saya menekankan, khususnya untuk
Indonesia sekarang ini, maka hukum
memutuhkan perilaku. Perilaku adalah
perilaku manusia, dimana di dalamnya ada
faktor-faktor seperti empati, kejujuran,
keberanian dan sebagainya.
difinisi dari istilah penegakan
hukum progresif itu sendiri adalah
penegakan hukum progresif itu tidak
semata-mata mengeja pada pasal undangundang, tetapi mencoba membebaskan diri
dari situ dengan merasakan kebutuhan,
penderitaan dan keinginan dari masyarakat.
Maka saya menyebutnya the conscience of
the law, hukum dengan nurani.
Implikasi dari penegakan hukum
progresif dapat di contohkan adalah kasus
Raju, ini adalah contoh penegakan hukum
yang ingin kembali pada pasal-pasal saja.
Dimana pengadilan yang mengadili Raju
selalu mengatakan kalau itu sudah sesuai
dengan undang-undang. Menurut Prof. DR.
Satjipto Rahardjo, beliau sama sekali tidak
mendengar bila pengadilan itu sudah
memiliki conscience. Melihat anak kecil
seharusnya nurani kita tergerak. Kita juga
melihat anak-anak. Dan kalau kita bisa
memiliki perasaan itu maka kita bisa
membayangkan bagaimana hancurnya
masa depan anak-anak kalau mulai dari
kecil sudah di hadapkan pada polosi, jaksa
atau hakim. Jadi itu implikasinya. Kita
harus berani menjalankan hukum itu
berdasarkan peraturan, tetapi di laksanakan

secara progresif.
D. PENUTUP
Perda dapat dibatalkan dengan
pertimbangan-pertimbangan yang dapat
dikategorikan karena alasan teknis yuridis
seperti dasar hukum membentuk Perda
tidak tepat, alasan yang bersifat substansial
(materi muatan bertentangan dengan PUU)
atau alasan yang dipandang prinsipil
misalnya mengandung ketentuan yang
diskriminatif atau melanggar HAM.
Beragamnya pertimbangan pembatalan
Perda hingga kini tampaknya belum ada
data konkrit mengenai faktor-faktor
penyebab terjadinya disharmonisasi Perda
dengan PUU.
Sebagai
saran
dalam
rangka
harmonisasi Perda dan PUU diharapkan
Kementerian terkait yang diberi tugas
menangani peraturan daerah agar segara
mendesign program dan kegiatan bertahap
dan terencana mulai dari kegiatan
identifikasi permasalahan yang dihadapi
masing-masing daerah, penentuan program
penanganan, evaluasi dan monitoring
perkembangan mengenai intensitas dan
bobot penerapan di semua daerah
DAFTAR PUSTAKA
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain Dari
Hukum di Indonesia, Buku Kompas,
2005, Jakarta
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tentang
pembentukan Rencana Peraturan
Daerah
Peraturan Presiden Nomor 68 Tentang
Progran Legislasi Nasional

SOLUSI VOLUME. 5. No II. Bulan Mei 2014

63