Hutan Adat 1 PENGELOLAAN HUTAN BERBAS

PENGELOLAAN HUTAN BERBASI S MASYARAKAT ADAT:
Antara Konsep dan Realitas*
Oleh: Abdon Nababan 1
“Sebenarnya hutan negara tidak ‘open access’, karena secara hukum dikuasai oleh negara. Kondisi
‘open access’ terjadi akibat lemahnya pengelolaan hutan oleh pemerintah maupun pemerintah
daerah, serta pemegang ijin usaha akibat ketiga pihak ini di masa lalu dan bahkan hingga saat ini
lebih berorientasi kepada komoditi, kayu dan pohon, dan bukan berorientasi kepada pengelolaan
kawasan hutan” – Hariadi Kartodihardjo, 2006 2

Masyarakat Adat dan Pembangunan Kehutanan
Masyarakat adat, yang diperkirakan paling sedikit 30 juta jiwa di antaranya berada di dalam
di sekitar hutan, adalah salah satu kelompok utama penduduk negeri ini yang menjadi korban
politik pembangunan Rejim Orde Baru. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi
baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya.
Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan
elemen terbesar dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Namun dalam
hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum
terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda
politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat dengan sangat gamblang dari
pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai “masyarakat
terasing”, “peladang berpindah”, “masyarakat rentan”, “masyarakat primitif’ dan

sebagainya, yang mengakibatkan percepatan penghancuran sistem dan pola kehidupan
mereka, secara ekonomi, politik, hukum maupun secara sosial dan kultural.
Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa
negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosialbudaya dan agamanya. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” secara filosofis menunjukkan
penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya, politik
dan agama. Hanya saja bangunan “negara-bangsa” yang majemuk sebagaimana digagas oleh
Para Pendiri Bangsa ini telah dihianati begitu saja oleh para penerusnya, yaitu dengan
merampas secara sistematis hak-hak masyarakat adat yang merupakan struktur dasar
“negara-bangsa” yang majemuk. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang
dikeluarkan oleh pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambilalih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan
adat istiadat, hak ekonomi, dan yang paling utama adalah hak politik masyarakat adat.
Perangkat-perangkat kebijakan dan hukum diproduksi untuk memaksakan uniformitas dalam
semua bidang kehidupan. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan
*

Makalah ini pernah disampaikan dalam Seminar “Hutan Tanaman Rakyat, Untuk Apa dan Siapa”, Pertemuan
Mitra Siemenpuu Foundation, Muara Jambi, 5 Nopember 2008.
1
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) periode 2007-2012 dan 2012-2017.
2

”Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan, Telaah Lanjut Analisis Kebijakan Usaha Kehutanan”, penerbit
IDEAL.

Hutan Adat --

1

kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan
politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di sektor kehutanan, misalnya, ditemukan berbagai kebijakan dan hukum yang secara
sepihak menetapkan alokasi dan pengelolaan hutan yang sebagian besar berada di dalam
wilayah-wilayah adat, di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Dengan mengeluarkan
dan menerapkan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, yang kemudian
diganti dengan UU No. 41 Tahun 199 tentang Kehutanan, secara sepihak telah
menempatkan hutan adat sebagai hutan negara. Dalam hal ini hukum telah disalah-gunakan
menjadi hanya instrumen untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai oleh
masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif dan nepotistik
kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kronikroninya.
Berhembusnya angin “reformasi” yang berhasil menempatkan KH Abdurrahman Wahid, dan
kemudian digantikan oleh Megawati Sukarnoputri, dan terakhir oleh Susilo Bambang

Yudoyono melalui pemilihan langsung yang pertama, sebagai Presiden RI, juga tidak
merubah kebijakan dan hukum yang mengatur alokasi dan pengelolaan hutan. Energi dan
kekuasaan yang dipegang oleh para pemimpin lembaga penyelenggara negara yang mestinya
digunakan untuk mengganti total peraturan per-UU-an peninggalan Kolonial Belanda dan
Orde Baru, ternyata tidak dilakukan. Akibat politik sumberdaya alam yang sentralistik yang
bertumpu pada pemerintah, bersifat represif dan sangat tidak adil ini, telah menimbulkan
maraknya konflik atas sumberdaya hutan antara masyarakat adat dengan pengusaha yang
didukung pejabat pemerintah. Bahkan sebagian di antaranya berdimensi kekerasan karena
pemerintah dan pengusaha sering melibatkan aparat pertahanan dan keamanan untuk
meredam konflik-konflik yang muncul. Dari berbagai konflik vertikal seperti ini tercatat
banyak pelanggaran hak azasi manusia dialami oleh penggiat dan pejuang penegakan hakhak masyarakat adat. Setiap aksi protes dari yang paling damai sekali pun seperti mengirim
surat protes ke pemerintah sampai aksi blokade jalan, pengambil-alihan “base camp” sampai
penyanderaan alat-alat berat perusahaan yang mengeksploitasi dan merusak ekosistem hutan
yang secara turun-temurun menghidupi mereka, selalu berujung pada tuduhan antipembangunan dan kriminalisasi.
Kebijakan ekonomi, khususnya dalam alokasi dan pengelolaan kawasan hutan yang hanya
memihak kepentingan modal ini, nyata-nyata telah berdampak sangat luas terhadap
kerusakan alam dan kehancuran fungsi ekologis hutan. Korban pertama dan yang utama dari
kehancuran ini adalah masyarakat adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Kebijakan
kehutanan yang ekstraktif seperti saat ini tidak memberi kesempatan bagi kearifan adat
untuk mengelola hutan secara berkelanjutan, sebagaimana yang telah dipraktekkan selama

ratusan atau bahkan ribuan tahun. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola alam
sudah tidak mendapat tempat yang layak dalam usaha produksi, atau bahkan dalam
kurikulum pendidikan formal kehutanan. Sampai saat ini, sangat sedikit sekali dari para
ekonom dan praktisi pembangunan kehutanan yang mau mengakui bahwa sebagian besar
masyarakat adat di Indonesia telah menjadi korban pembangunan, terutama pembangunan
kehutanan. Kelompok ini masih sulit menerima bahwa kemiskinan dan ketertindasan

Hutan Adat --

2

masyarakat adat yang ada saat ini justru bersumber dari proyek-proyek pembangunan seperti
HPH dan HTI, bukan karena mereka malas atau tidak rasional.

Otonomi Daerah:
Pemberlanjutan Pengrusakan Hutan
Di tengah pemberlanjutan ‘ideologi’ pembangunan ekspolitatif dari rejim Orde Baru
Soeharto-Habibie ke KH. Abdurahman Wahid dan saat ini Megawati Sukarnoputri,
reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui otonomi daerah telah menjadi
tema sentral diskusi hampir di seluruh lapisan masyarakat. Dalam otonomi daerah ini, yang

secara formal ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun
1999, ada kehendak dari para pembuatnya untuk memperbaharui hubungan antara
pemerintah pusat dengan daerah melalui penyerahan kewenangan pusat ke daerah atau
desentralisasi, antara eksekutif (PEMDA) dengan legislatif (DPRD) melalui “kemitraan
sejajar” di antara keduanya, dan terakhir mendekatkan secara politik dan geografis antara
penentu kebijakan (yang kewenangannya diserahkan ke DPRD dan PEMDA Kabupaten)
dengan rakyat sehingga diharapkan kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat
hidup rakyat banyak.
Dalam konteks memberi jalan bagi kedaulatan masyarakat adat, hal-hal yang dikehendaki
tersebut perlu dikaji dan dipertanyakan secara kritis mengingat bahwa UU 22/1999 dan UU
25/1999 yang kemudian direvisi masing-masing UU 32/2004 dan UU 33/2004 ini hanya
mengatur sistem pemerintahan (government system), bukan system pengurusan (governance
system). Ini berarti bahwa kedua UU ini baru mengatur hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah, belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan
pemerintah yang selama Orde Baru justru merupakan akar dari segala persoalan yang
dihadapi masyarakat adat, yaitu tidak adanya kejelasan dan ketegasan batas sampai di mana
pemerintah boleh (punya hak) mengatur dan mengintervensi kedaulatan masyarakat adat.
Yang muncul sebagai akibat dari ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan ini adalah tumbuhsuburnya perilaku politik pengurasan hutan di kalangan elit politik, khususnya para bupati
yang mendapatkan penambahan wewenang yang cukup besar. Para bupati berlomba-lomba
mengeluarkan PERDA untuk menarik pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya,

termasuk dengan pemberian ijin HPHH skala kecil, IPK dan sebagainya tanpa perhitungan
yang matang atas ketersediaan sumberdaya hutan.
Hal menarik dan penting dicatat dari perjalanan otonomi daerah selama beberapa tahun
terakhir ini adalah bahwa bertambahnya kekuasaan/wewenang di tangan para Bupati dan
DPRD bukan berarti dengan sendirinya mengurangi kekuasaan/wewenang pemerintah pusat
di daerah atas sumberdaya alam. Pada kenyataannya peraturan per-UU-an sektoral masih
tetap kokoh dan berjalan seperti biasanya. Misalnya pencabutan ijin HPH, HPHTI,
perkebunan besar, kuasa pertambangan masih tetap berada di tangan departemen sektoral.
Dari sini bisa dipastikan otonomi daerah telah menyebabkan penambahan jumlah dan jenis
kegiatan eksploitasi sumberdaya alam, belum lagi terhitung ekploitasi haram (tidak pakai ijin
dari pemerintah pusat atau daerah) yang sama sekali di luar kapasitas pemerintah untuk

Hutan Adat --

3

mengontrol. Kalau kecenderungan ini tidak segera dihentikan (atau paling tidak
dikendalikan) maka otonomi daerah “setengah hati” seperti ini tidak akan pernah jadi solusi,
bahkan akan meningkatkan laju pengrusakan diri masyarakat adat itu sendiri beserta
habitatnya.


HUTAN ADAT:
Jantung Kehidupan Masyarakat Adat
Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Pada umumnya
komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa
manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan
dan harmoni. Penghancuran pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan adat secara
sistematis lewat berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan Rejim Pemerintahan Orde
Baru selama lebih dari 3 dasawarsa tidak sepenuhnya berhasil. Banyak studi yang telah
membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan
adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain
yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe
ekosistem setempat.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Sejati di 4 propinsi (Kalimantan Timur,
Maluku, Irian Jaya dan Nusan Tenggara Timur) menunjukkan bahwa walaupun sistemsistem lokal ini berbeda satu sama lain namun secara umum bisa terlihat beberapa prinsipprinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok
masyarakat adat, yaitu antara lain: 1) masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme
ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga
keseimbangannya; 2) adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas
(comunal tenure/“property” rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif

sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan; 3)
adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan
kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang
mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan; 4) ada sistem pembagian kerja dan
penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan
berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar; 5) ada mekanisme
pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam
kecemburuan sosial di tengah masyarakat (Nababan, 1995).
Sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi
sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat
adat, yang belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif,
masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan
mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Sumatera Utara bagian timur yang
sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman
Kolonial Belanda. Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika
Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial

Hutan Adat --

4


dengan sistem konsesi HPH. Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH
dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan
yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di
dalam wilayah-wilayah adat. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997
s.d Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta ha
diidentifikasi bahwa 28% (11,7 juta ha) hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong
atau lahan pertanian.
Dengan kondisi yang demikian bisa dipastikan bahwa penebangan kayu secara besar-besaran
telah memporak-porandakan dan merusak hutan adat yang selama ratusan tahun menjadi
jantung kehidupan sebagian besar masyarakat adat di nusantara. Kawasan-kawasan hutan
yang telah ditebang oleh HPH, dengan menggunakan fasilitas ‘logging road’ dan ‘skidding
road’, berbagai kegiatan eksploitasi dan konversi hutan yang semakin memperparah
kerusakan hutan akan menyusul, seperti: operasi IPK, penebangan haram, perladangan
berpindah, perkebunan skala besar dan sebagainya. Pemetaan hutan yang dilakukan oleh
pemerintah dengan bantuan dari Bank Dunia (1999) dinyatakan bahwa laju deforestasi
selama periode 1986 – 1997 sekitar 1,7 juta hektar per tahun. Selama periode itu kerusakan
hutan paling parah terjadi di Sumatera karena harus kehilangan 30% (hampir 6,7 juta ha)
hutan. Forest Watch Indonesia (2001) menyatakan kalau kecenderungan ini terus
berlangsung maka hutan dataran rendah bukan rawa di Sumatera akan punah sebelum tahun

2005, dan Kalimantan diperkirakan mengalami hal yang sama tahun 2010.
Sudah banyak sekali dana dan bantuan teknis dicurahkan oleh masyarakat internasional dan
pemerintah dari negara-negara industri untuk menghentikan pengrusakan massif dan
ancaman kepunahan hutan tropis ini, tetapi boleh dikatakan hampir semuanya gagal. Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meyakini bahwa solusi terhadap persoalanpersoalan kunci kehutanan di Indonesia hanyalah kearifan adat, yang
ditransformasikan ke dalam sistim pengelolaan hutan yang progresif dan mengikuti
zamannya. Bagaimana pun, kearifan adat yang berbasis komunitas ini merupakan potensi
sosial-budaya yang sangat besar untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan
sebagai landasan baru menuju perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang
selama ini terpusat di tangan pemerintah dan telah terbukti menimbulkan pengrusakan hutan
dan memarjinalisasi ekonomi masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara beserta
habitatnya. Tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa masa depan keberlanjutan kehidupan
bangsa Indonesia berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara sistim
pengetahuan lokalnya, sering juga disebut sebagai kearifan adat, ke dalam praktek-praktek
pengelolaan sumberdaya alam yang menjangkau tujuan yang lintas-generasi atau saat
sekarang disebut berkelanjutan.
Masyarakat adat sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka
sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga layanan sosio-ekologis alam untuk
kebutuhan seluruh mahluk. Dengan pranata sosial yang bersahabat dengan alam, masyarakat
adat memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan

kerusakan hutan di areal-areal bekas konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (communitybased reforestation and rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli komersial. Dengan

Hutan Adat --

5

pengayaan (enrichment) terhadap pranata adat untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomis,
komunitas masyarakat adat mampu mengelola usaha ekonomi komersial berbasis
sumberdaya hutan yang ada di wilayah adatnya (community logging/portable sawmill,
community forestry, credit union, dsb.) untuk mengatur dan mengendalikan “illegal logging”
yang dimodali oleh cukong-cukong kayu, mengurangi “clear cutting” legal dengan IPK
untuk tujuan konversi hutan, dan mencegah penebangan hutan yang resmi (legal, dapat ijin
yang sah dari pemerintah) tetapi merusak lingkungan dan tidak berkeadilan seperti IHPHH.
Ada beberapa alasan kuat yang melandasi betapa pentingnya peran masyarakat adat dalam
pengelolaan hutan saat ini dan terutama di masa depan, yaitu bahwa:







Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat sebagai penerima insentif yang paling bernilai
untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena menyangkut keberlanjutan
kehidupan mereka.
Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan
sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka.
Masyarakat adat memiliki hukum adat untuk ditegakkan.
Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi harmonis antara mereka
dengan ekosistem hutannya.
Sebagian dari masyarakat adat sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun
solidaritas di antara komunitas-komunitas masyarakat adat, dan juga mengorganisasikan
dukungan politis dan teknis dari pihak-pihak luar.
Masyarakat adat dilindungi UUD 1945 yang mengharuskan negara mengakui, menghormati dan
melindungi hak-hak tradisional (hak-hak asal usul, menurut penjelasan Pasal 18 UUD 1945
sebelum diamandemen), dan diposisikan sebagai Hak Azasi Manusia (HAM) baik dalam Pasal
28 I ayat (3) sesuai dengan standar HAM dalam berbagai instrumen internasional 3.

3

Pasal 18B ayat (2) (Amandemen Kedua) UUD 1945 pada bab VI yang mengatur tentang pemerintahan
daerah telah menegaskan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam UndangUndang”. Bab X A yang mengatur tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 28-I Ayat (3) semakin memperkuat
kedudukan masyarakat adat dengan mengatakan bahwa: “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” merupakan hak azasi manusia yang harus
dilindungi oleh Negara. Dengan penegasan pasal ini menjadi sangat jelas bahwa apabila satu komunitas
masyarakat adat menyatakan dirinya masih hidup (self-identification and self-claiming) maka Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib melindunginya. Di samping dilindungi konstitusi negara, hak-hak masyarakat adat
dan upaya-upaya penegakannya juga diatur dalam beberapa instrumen internasional. Yang pertama adalah
Konvensi ILO (International Labor Organisation) Nomor 169 tahun 1989 mengenai Masyarakat Adat dan
Penduduk Pribumi Asli di Negera-Negara Merdeka. Konvensi ini sangat penting bagi kelompok-kelompok
masyarakat adat di Indonesia untuk mendukung tindakan perlawanan terhadap ketidak-adilan dalam Negara
Republik Indonesia yang merdeka. Konvensi ini dengan tegas memberi perlindungan terhadap hak-hak sosial,
budaya, politik dan ekonomi masyarakat adat. Hanya saja konvensi ini belum diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia sehingga belum menjadi hukum yang sah dan harus ditegakkan (mengikat secara resmi). Instrumen
kedua adalah Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) (1992) yang
sudah diratifikasi (disahkan) oleh Pemerintah Indonesia menjadi UU No. 5 Tahun 1994, khususnya pasal 8 (j)

Hutan Adat --

6

MENUJU PERUBAHAN MENDASAR
Kekecewaan, kemarahan dan keputus-asaan masyarakat adat yang terus-menerus menjadi
korban pembangunan, akhirnya menemukan “ruang hidup baru” dengan menggariskan sikap
dasar masyarakat adat yang dirumuskan dan diputuskan oleh seluruh peserta Kongres
Pertama Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) tahun 1999 yang menyatakan: “Kami tidak
mengakui negara, kalau negara tidak mengakui kami”. Sikap dasar inilah yang
melandasi cita-cita bersama komunitas-komunitas masyarakat adat yang bergabung dalam
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) “……. atas dasar rasa kebersamaan senasib
sepenanggungan di antara sesama masyarakat adat se-nusantara sehingga wajib untuk
saling bahu-membahu demi terwujudnya kehidupan masyarakat adat yang layak dan
berdaulat. Salah satu di antara cita-cita ini adalah tegaknya otonomi asli masyarakat adat
untuk memelihara, mengelola dan memanfaatkan tanah, wilayah adat dan sumberdaya
alamnya, termasuk hutan adatnya. Dalam kaitan ini maka masyarakat adat dan para
pendukungnya harus terus memperjuangkan terjadinya perubahan yang mendasar, yaitu
antara lain:




Pemerintah dan DPR segera melakukan perubahan terhadap UU No. 41 tentang
Kehutanan yang nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945 dan amandemennya.
UU Kehutanan harus mengikuti amanat konstitusi yang jelas-jelas memberikan
pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat [hukum]
adat dan dengan mengacu pada Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat
sebagai standar minimum internasional yang harus semua negara anggota PBB
penanda-tangan pengesahan. Dalam UU yang baru nanti, posisi dan peran masyarakat
adat harus ditempatkan sebagai pelaku utama pengelolaan hutan, baik untuk menjaga
dan memelihara fungsi lindung dan konservasi hutan, memanfaatkan hutan untuk
fungsi produksi dan juga melakukan rehabilitasi terhadap kawasan-kawasan yang
sudah dirusak selama ini, maupun untuk mengamankan hutan dari pengrusakan.
Pemerintah segera menghentikan operasi perusahaan-perusahaan kehutanan yang
memiliki persengketaan dengan masyarakat adat dan segera memfasilitasi perundingan
ulang atas penggunaan hutan dan lahan hutan yang berada di dalam wilayah-wilayah
adat (berdasarkan hak asal-usul/hak tradisional). Kalau tidak tercapai kesepakatan baru
dalam perundingan ini, maka pemerintah harus mencabut seluruh ijin HPH dan HTI
yang melanggar hak-hak dan merugikan masyarakat adat.

yang menekankan pada perlindungan terhadap kearifan adat dalam pelestarian sumber daya dan keanekaragaman hayati dan hak kepemilikan intelektual masyarakat adat. Masih banyak lagi instrumen internasional
(walaupun tidak secara khusus untuk masyarakat adat) yang bisa memberi “ruang hidup” bagi masyarakat adat,
misalnya Perjanjian Internasional Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (1966), Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1966), dan
sebagainya. Yang paling penting dari semua itu bahwa PBB sudah mengadopsi Deklarasi PBB tentang HakHak Masyarakat Adat (Declaration on The Rights of Indigenous Peoples) pada Sidang Umum PBB tahun 2007
lalu.

Hutan Adat --

7









Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam pemberian ijin dan hak pengusahaan hutan.
Berbagai rencana pemberian ijin proyek dan eksploitasi hutan di dalam wilayah adat
harus didasarkan atas penyedian informasi rencana pembangunan yang cukup sebagai
landasan bagi perundingan bersama masyarakat adat yang menguasainya (menganut
prinsip free, prior, and informed consent, FPIC).
Pemerintah dan DPR harus segera memperbaiki kebijakan tentang otonomi daerah
agar memprioritaskan terjadinya devolusi, yaitu mendorong terjadinya pergeseran
kekuasaan dan wewenang yang lebih besar ke tingkat komunitas adat (otonomi asli
komunitas masyarakat adat). Khusus untuk Papua yang telah berhasil
memperjuangkan Otonomi Khusus lewat UU 21/2001 yang menekankan keberadaan
penduduk asli Papua dengan segala hak-hak adatnya , maka yang diperlukan adalah
konsistensi Pemerintah untuk mendukung melaksanakan UU melalui penerbitan
berbagai PERDASUS yang sudah diamanatkan.
Departemen Kehutanan harus segera menerapkan keterbukaan (transparansi) atas
seluruh data dan informasi kehutanan. Data dan informasi yang transparan akan
mendorong masyarakat untuk memantau dan melaporkan kegiatan-kegiatan eksploitasi
hutan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan.
Masyarakat adat harus mengorganisir diri untuk menguasai hutan adat masing-masing
melalui upaya-upaya nyata pengelolaan yang berkelanjutan dan berkeadilan dengan
berlandaskan modal sosial yang diwaruskan leluhurnya berupa pranata-pranata adat.

Hutan Adat --

8