Implementasi Kebijakan Komunitas ASEAN A

Implementasi Kebijakan Komunitas ASEAN: Analisa Pembentukan
Identitas dari Perspektif Media dan Komunikasi Antarbudaya
Oleh: Melati Suma Paramita (1306406606)

Pendahuluan
Satu visi, satu identitas, dan satu komunitas merupakan jargon terkenal dari
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). ASEAN merupakan kumpulan negaranegara Asia Tenggara yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina,
Myanmar, Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, dan Singapura. ASEAN berdiri pada tanggal
8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Menurut Departemen Perdagangan RI dalam buku
Menuju ASEAN Economic Community 20151, pembentukan ASEAN dilatarbelakangi oleh
lokasi Asia Tenggara yang strategis secara geopolitik dan geo-ekonomi. ASEAN dibentuk
untuk juga mengatasi konflik kepentingan antar negara-negara Asia Tenggara. Beberapa
konflik yang telah terjadi antara lain konfrontasi Indonesia dan Malaysia, klain teritorial
antara Malaysia dan Filipina, serta berpisahnya Singapura dari Malaysia. Atas hal-hal
tersebut, kemudian muncul kesadaran pembentukan kerjasama untuk meredakan rasa saling
curiga dan membangun rasa saling percaya diantara negara-negara Asia Tenggara. ASEAN
juga dibentuk untuk mendorong kerjasama pembangunan kawasan Asia Tenggara, atau yang
disebut dengan confidence building.
Saat deklarasi ASEAN di Bangkok, Thailand, atau yang dikenal dengan Deklarasi
Bangkok, dicetuskan tujuan dibentuknya ASEAN. Poin-poin tujuan pembentukan tersebut
dilansir dalam situs resmi ASEAN2. Pertama adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi,

kemajuan sosial, serta pengembangan kebudayaan di kawasan ini, melalui usaha bersama
dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah
masyarakat bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai. Kedua adalah
meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan
tertib hukum di dalam hubungan antara negara-negara di kawasan ini, serta mematuhi
prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketiga adalah meningkatkan kerjasama
1
2

Departemen Perdagangan RI. Menuju ASEAN Economic Community 2015.
http://www.asean.org/asean/about-asean/overview, diakses pada 20 Desember 2015.

1

yang aktif dan saling membantu dalam masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama
di bidang-bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi. Ke empat
adalah saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana-sarana pelatihan dan penelitian
dalam bidang-bidang pendidikan, profesi, teknik dan administrasi. Ke lima, yaitu
bekerjasama secar lebih efektif guna meningkatkan pemanfaatan pertanian dan industri
mereka, memperluas perdagangan dan pengkajian masalah-masalah komoditi internasional,

memperbaiki sarana-sarana pengangkutan dan komunikasi, serta meningkatkan taraf hidup
rakyat mereka. Ke enam adalah mamajukan pengkajian mengenai Asia Tenggara. Terakhir,
memelihara kerjasama yang erat dan berguna dengan berbagai organisasi internasional dan
regional yang mempunyai tujuan serupa, dan untuk saling bekerjasama secara erat di antara
negara-negara ASEAN sendiri.
Selain tujuan, terdapat enam prinsip kerjasama yang diterapkan ASEAN. Prinsip
kerjasama ini tertera dalam Treaty of Amity and Coorperation in Southeast Asia (TAC)
tahun 1967, yang terdiri dari rasa saling menghormati, kedaulatan dan kebebasan domestik
tanpa campur tangan dari luar, non-interference, penyelesaian perbedaan atau sengketa
secara damai, menghindari ancaman dan penggunaan kekuatan atau senjata, serta kerjasama
efektif antar anggota. ASEAN mengadakan ASEAN Summit sebanyak dua kali per tahun.
Dalam melakukan pengambilan kebijakan tertinggi, hal tersebut dipersiapkan oleh ASEAN
Coordinating Council (ACC).
Dalam pengelolaan politik luar negeri yang bebas aktif, pemerintah Repubik
Indonesia (RI) menempatkan cetak biru ASEAN sebagai pilar utamanya. Implementasi
cetak biru ASEAN ditujukan untuk mengembangkan suatu kawasan yang terintegrasi
dengan membentuk suatu komunitas negara-negara Asia Tenggara yang terbuka, damai,
stabil, sejahtera, saling peduli, dan diikat bersama dalam kemitraan yang dinamis di tahun
2020 nanti.
Realisasi harapan terpenuhinya rencana dalam cetak biru ASEAN, kemudian

dituangkan dalam Visi ASEAN 2020 yang dirumuskan di Kuala Lumpur, Malaysia pada
tahun 1997. Dikutip dalam buku terbitan Departemen Perdagangan RI yang berjudul
Menuju ASEAN Economic Community 2015, Visi ASEAN 2020 menegaskan tiga poin.
Pertama adalah menciptakan Kawasan Ekononi ASEAN yang stabil, makmur dan memiliki
daya saing tinggi yang ditandari dengan arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang
bebas, arus lalu lintas modal yang lebih bebas, pembangunan ekonomi yang merata serta

2

mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. Kedua adalah mempercepat
liberalisasi perdagangan di bidang jasa. Ketiga adalah meningkatkan pergerakan tenaga
profesional dan jasa lainnya secara bebas di kawasan ASEAN.
Kemudian di tahun 2003, hal ini diperkuat dengan mengesahkan Bali Concord II
pada Konferensi Tingkay Tinggi (KTT)

ke-9 ASEAN. Akhirnya disetujui rencana

pembentukan Komunitas ASEAN atau ASEAN Community, yang terdiri dari tiga pilar
utama, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN, Komunitas Ekonomi ASEAN, dan Komunitas
Sosial Budaya ASEAN. Makalah ini secara khusus akan berfokus pada pembahasan

mengenai pilar ketiga, yakni Komunitas Sosial Budaya ASEAN atau ASEAN SocioCultural Community (ASCC). Cetak biru ASCC dirancang untuk memperkuat integrasi
yang berpusat pada masyarakat. Dengan kata lain, rancangan konten cetak biru ASCC
bersifat people centered. Cetak biru ASCC juga dirancang untuk memperkokoh kesadaran,
solidaritas, kemitraan, kebersamaan atau we feeling, yang dituangkan dalam enam elemen
inti dan sebanyak 348 rencana aksi strategis.
Dilansir dari dokumen kerjasama fungsional situs resmi Kementerian Luar Negeri
RI3, kerjasama di bidang sosial dan budaya menjadi fokus utama untuk meningkatkan
integrasi ASEAN. Integrasi ini akan berjalan melalui apa yang disebut dalam cetak biru
ASCC sebagai a caring and sharing community, yaitu sebuah masyarakat ASEAN yang
saling peduli dan berbagi. Kerjasama sosial dan budaya dalam cetak biru ASCC mencakup
kerjasama di bidang kepemudaan, perempuan, kepegawaian, penerangan, kebudayaan,
pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, penanggulangan bencana
alam, kesehatan, pembangunan sosial, pengentasan kemiskinan, ketenagakerjaan, serta
berdirinya ASEAN Foundation.
Dalam cetak biru ASCC4, terdapat enam elemen inti dan karakteristik yang
menyokong program pilar sosial dan budaya. Elemen-elemen tersebut terdiri dari
1. Pembangunan Manusia (Human Development), terdiri dari 60 rencana aksi
strategis.
2. Perlindungan dan Kesejahteraan Sosial (Social Welfare and Protection),
terdiri dari 94 rencana aksi strategis.


3

http://www.kemlu.go.id/Documents/Kerjasama%20Fungsional%20ASEAN.rtf, diakses pada 20 Desember
2015.
4

http://www.asean.org/archive/5187-19.pdf, diakses pada 20 Desember 2015.

3

3. Hak-Hak dan Keadilan Sosial (Social Justice and Rights), terdiri dari 28
rencana aksi strategis.
4. Memastikan Pembangunan yang Berkelanjutan (Ensuring Environmental
Sustainability), terdiri dari 98 rencana aksi strategis.

5. Membangun Identitas ASEAN (Building ASEAN Identity), terdiri dari 50
rencana aksi strategis.
6. Mempersempit Jurang Pembangunan (Narrowing the Development Gap ),
terdiri dari 8 rencana aksi strategis.

Berkaitan dengan media dan komunikasi antar budaya, poin ke lima dalam cetak biru
ASCC yang membahas mengenai rencana pembangunan identitas ASEAN menjadi menarik
untuk dikaji. Konstruksi identitas ASEAN ini ditujukan agar terbentuk dan kokohnya rasa
we feeling atau rasa menjadi bagian dari ASEAN, yang memicu tumbuhnya solidaritas yang

kuat. Membangun identitas ASEAN dan we feeling bukan berarti menghilangkan
karakteristik dan keunikan yang dimiliki masing masing negara, namun lebih pada tujuan
untuk merealisasikan harapan akan kekuatan rasa kebersamaan, persaudaraan, dan rasa
saling peduli dan saling memiliki terhadap Komunitas ASEAN yang sedang dibangun.
Dengan adanya identitas dan we feeling, diharapkan masyarakat ASEAN dapat
saling mendukung dalam mengatasi masalah kemiskinan, kesetaraan dan pembangunan
manusia. Kemudian saling mendukung dalam meminimalisir dampak sosial dari integrasi
ekonomi dengan cara membangun suatu dasar sumber daya manusia yang kompetitif, serta
memperkuat penatalaksanaan lingkungan hidup yang hijau, bersih lestari dan berkelanjutan.
Terakhir adalah memperkokoh identitas budaya menuju suatu Komunitas ASEAN, yang
berbasis pada masyarakat atau people centered.

Pembahasan
Sebelum


membahas

mengenai

bagaimana

implementasi

kebijakan

ASCC

mempengaruhi konteks nasional Indonesia dari perspektif media dan komunikasi
antarbudaya, akan dipaparkan terlebih dahulu definisi mengenai komunikasi antarbudaya itu
sendiri. Menurut Ruben (2005)5, komunikasi adalah suatu proses di mana individu dalam
hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam masyarakat menciptakan,

5

Ruben, Brent D. dan Stewart, Lea P. 2005. Communication and Human Behavior. Pearson: New York.


4

mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang
lain. Sedangkan menurut Carey dalam Martin dan Nakayama (2004)6, komunikasi dapat
dimengerti sebagai sebuah proses simbolik, di mana realita diproduksi, dilanggengkan,
diperbaiki, dan ditransformasi. Terdapat beberapa komponen dalam proses komunikasi,
yaitua source dan receiver, proses pemaknaan (encoding dan decoding ), adanya pesan
(verbal dan non verbal), adanya noise atau gangguan, dan terdapatnya channels atau
medium.
Melihat definisi budaya, menurut Macionis (1997)7 budaya merupakan kumpulan
nilai, kepercayaan, perilaku, dan objek materil yang memperlihatkan cara hidup seseorang
atau way of life. Martin dan Nakayama (2004) menjelaskan bahwa budaya adalah pola-pola
perilaku yang dipelajari dan disebarkan oleh kelompok tertentu. Budaya berbeda dengan
kebudayaan yang merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia
dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Budaya
mengacu pada cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa,
dan rasa itu (Koentjaraningrat, 2009)8. Masing-masing negara yang tergabung dalam
ASEAN memiliki budaya dan kebiasaannya masing-masing. Indonesia yang memiliki
berbagai macam suku, khususnya, dalam mengimplementasikan kebijakan ASEAN

diharapkan dapat berubah menjadi sebuah melting pot. Indonesia sebagai melting pot berarti
harapan bahwa heterogenitas masyarakat berubah menjadi semakin homogen. Dimana
elemen-elemen yang berbeda dalam masyarakat melebur menjadi satu, hingga menciptakan
satu kesamaan budaya atau shared identity yang harmonis.
Dilansir dari Okezone.com9, tanggal 22 November 2015 lalu sepuluh negara anggota
ASEAN menandatangani terbentuknya Komunitas ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia,
dalam The 2015 Kuala Lumpur Declaration on the Establishment of ASEAN Community dan
The Kuala Lumpur Declaration on ASEAN 2025: Forging Ahead Together. Peresmian ini

menjadi aksi simbolik bahwa telah menguatnya persatuan diantara negara-negara Asia
Tenggara. Pada peresmian tersebut diharapkan bahwa Komunitas ASEAN akan

6

Martin, Judith N. dan Nakayama, Thomas K. 2004 . Intercultural Communication in Contexts. Boston:
McGraw Hill.
7
Macionis, John J. 1997. Sociology Sixth Edition. Prentice-Hall: New Jersey.
8
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta: Jakarta.

9
http://news.okezone.com/read/2015/11/22/18/1253735/komunitas-asean-resmi-terbentuk, diakses pada 20
Desember 2015.

5

meningkatkan perkembangan perekonomian diantara negara-negara anggotanya. Sebab,
Komunitas ASEAN ingin menciptakan satu standar pasar yang sama di dalam wilayah
regional Asia Tenggara, dan menghilangkan tarif-tarif penghalang sehingga dapat
menyetarakan standar antara negara anggota ASEAN. Komunitas ASEAN akan mulai
efektif dijalankan pada 31 Desember 2015. Menurut artikel dari Tempo10, dengan
mengimplementasikan cetak biru Komunitas ASEAN 2025, masing-masing negara anggota
ASEAN akan mengalami pertumbuhan yang setara dan inklusif sehingga mampu
mengurangi perbedaan tingkat pembangunan. Hal ini dilakukan melalui mengurangi tingkat
kemiskinan, mendorong pertumbuhan per kapita yang tinggi, serta meningkatkan jumlah
masyarakat berpendapatan menengah.
Implementasi kebijakan Komunitas ASEAN akan membuka peluang bagi mobilisasi
dan migrasi masyarakat di wilayah ASEAN. Kebijakan Komunitas ASEAN mempermudah
warga negara asing untuk tinggal dan bekerja di Indonesia. Kerjasama institusi pendidikan
melalui ASEAN University Network (AUN) contohnya, yang akan mengintegrasikan

kurikulum dan sistem penilaian, juga diprediksi akan meningkatkan jumlah pertukaran
pelajar antar negara-negara anggota ASEAN. Melihat prediksi akan tingginya perpindahan
manusia di regional ASEAN, pertemuan antar warga negara yang berbeda-beda ini akan
melalui proses komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya terjadi saat individuindividu yang berada dalam komunitas budaya yang berbeda, menegosiasikan makna
bersama dalam sebuah interaksi (Ting-Toomey,1999)11. Terdapat perdebatan dalam
membatasi definisi komunikasi antarbudaya. Sebab, definisi budaya sendiri juga beragam.
Ada yang berpendapat bahwa batas komunikasi antarbudaya hanya terjadi diantara individu
yang berbeda suku bangsa. Ada juga pihak yang berpendapat bahwa komunikasi
antarbudaya mencakup perbedaan daerah, etnis, agama, bahkan antar individu dengan
orientasi seksual yang berbeda (Gudykunst, 2003)12. Proses komunikasi antarbudaya
diharapkan dapat berkontribusi dan mempercepat pembentukan we feeling sebagai identitas
bersama masyarakat ASEAN.
Dalam komunikasi antarbudaya, identitas memang merupakan salah satu konsep
yang sering dibahas. Identitas menurut Martin dan Nakayama (2004), merupakan isu sentral
10

http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/11/23/090721594/negara-asean-sepakati-asean-community-2025karena, diakses pada 21 Desember 2015.
11
Ting-Toomey, S. 1999. Communicating across cultures. New York: The Guilford Press.
12
Gudykunst, W. B. 2003. Cross-cultural and intercultural communication . Sage: Thousand Oaks, CA.

6

bagi banyak orang. Identitas mengatakan siapa kita bagi diri kita dan siapa kita bagi orang
lain. Terdapat berbagai jenis identitas sosial yang melekat pada seorang individu. Terkait
dengan Komunitas ASEAN, salah satu identitas yang menjadi penting adalah identitas ras
dan etnis. Identitas ras menentukan golongan kelompok ras seseorang, sedangkan identitas
etnis merupakan sekumpulan ide mengenai kelompok etnis dan rasa memiliki dan menjadi
bagian dari kelompok etnis tertentu. Identitas ras dan etnis seseorang tidak selalu hanya satu.
Identitas lainnya adalah adalah identitas kebangsaan, yang mengacu pada status legal
seseorang terkait sebuah bangsa (Martin dan Nakayama, 2004). Lebih lanjut, Martin dan
Nakayama mengatakan bahwa banyak orang yang bingung antara identitas kebangsaan dan
identitas etnis. Sehingga seringkali munculnya konflik antar negara. Dalam lingkup
ASEAN, konflik antar negara yang terjadi diantaranya konfrontasi Indonesia dan Malaysia,
klaim teritorial antara Malaysia dan Filipina, hingga berpisahnya Singapura dari Malaysia.
Kini, sudah mulai semakin banyak multicultural people di wilayah ASEAN akibat
arus globalisasi. Akibat perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi, penduduk
dari berbagai belahan di dunia dapat bermigrasi. Sehingga, migrasi dan pernikahan antar ras
dan antar etnis memunculkan apa yang disebut Hodkinson (2011)13, dengan istilah etnisitas
baru dan diaspora. Etnisitas baru menyatakan bahwa identitas etnis merupakan konsep yang
cair, selalu berkembang dan berubah. Proses perkembangan dan perubahan terjadi akibat
bertemunya suatu etnis dengan etnis baru. Martin dan Nakayama (2004) menyebutnya
dengan istilah global nomads third-culture kids, dimana seorang anak hidup dalam konteks
budaya yang beragam karena orangtuanya hidup berpindah-pindah. Lebih lanjut, diaspora
mengacu pada penyebaran penduduk dari wilayah tertentu ke seluruh bagian dunia
(Hodkinson, 2011). Istilah diaspora mencakup baik penduduk yang bermigrasi, maupun
keturunannya yang kemudian tumbuh dan menetap di wilayah tertentu. Menurut Gilroy
(1993) dalam Hodkinson, diaspora tidak hanya mengaitkan migran atas dasar kesamaan
negara asal maupun etnis, tetapi juga kesamaan latar belakang dan pengalaman dari para
migran.
Dalam proses komunikasi antarbudaya, cara mengenalkan shared values atau nilainilai bersama dilakukan melalui proses sosialisasi. Dalam hal ini, media memiliki peran
13

Hodkinson, Paul. 2011. Media, Culture and Society: An Introduction. SAGE: Los Angeles, London, New
Delhi, Washington DC.

7

krusial dalam mensosialisasikan cetak biru ASEAN, terutama dalam level sosial dan budaya
guna menghubungkan antar warga negara-negara ASEAN. Hal ini sesuai dengan visi
ASEAN yakni people to people connectivity. Salah satu kerjasama yang dicanangkan oleh
ASEAN dalam cetak biru ASCC adalah kerjasama di bidang penerangan dan kebudayaan.
ASEAN telah membentuk Committee on Culture and Information (COCI), yang bertugas
untuk mengembangkan berbagai bentuk program pertukaran informasi dan kebudayan.
Contoh program-programnya adalah melalui penyelenggaraan pameran, pementasan seni
dan budaya, seminar dan workshop, pertukaran tenaga ahli, kerjasama penelitian, dan
produksi bahan publikasi bersama tentang kharakteristik kebudayaan masing masing negara.
COCI sebagai pusat informasi dalam ranah kebudayaan ditujukan agar masyarakat ASEAN
dapat saling mengenal eksistensi dan budaya satu sama lain, serta memiliki rasa solidaritas
antar sesama.
Salah satu penggunaan media massa sebagai alat untuk mensosialisasikan cetak biru
ASCC, adalah pembuatan kerangka kerjasama pertukaran berita televisi melalui ASEAN
Television News Exchange (ATN), dan pertukaran berita radio melalui ASEAN in Action
(AiA). Dilansir dalam situs resmi ASEAN14, ATN menyasar lembaga penyiaran publik di
negara-negara ASEAN. Di Indonesia, stasiun televisi yang tergabung dengan ATN adalah
Televisi Republik Indonesia (TVRI). Dalam dokumen kerjasama fungsional ASEAN yang
diterbitkan Kementerian Luar Negeri RI, tertulis bahwa TVRI telah diberi kepercayaan
sebagai koordinator untuk pengembangan program ATN. Radio Republik Indonesia (RRI)
pun telah ditunjuk sebagai koordinator pengembangan progam AiA. Program-program ini
dijalankan agar masyarakat di masing masing negara ASEAN dapat saling mengikuti
berbagai perkembangan yang terjadi di negara-negara tetangganya.
TVRI secara rutin telah melakukan pertukaran pemberitaan dengan negara negara
ASEAN lainnya sedikitnya sebanyak 46 kali. Pemberitaan ASEAN secara khusus
ditayangkan melalui beberapa program acara yang bernama Fokus ASEAN, Berita Siang,
World News, dan ASEAN Window di English News Service di akhir pekan. RRI secara
rutin juga menayangkan berita mengenai ASEAN pada setiap akhir pekan melalui saluran
nasional PRO-4. Beberapa program siaran berupa analisa dan informasi mengenai ASEAN,
ASEAN Quiz, siaran musik dari negara-negara ASEAN, dana Listeners’ Mailbag yang

14

http://www.asean.org/communities/asean-socio-cultural-community/item/links-to-national-asean-tv-newsatn-websites, diakses pada 20 Desember 2015.

8

merupakan siaran di mana pendengar dapat bertanya seputar isu-isu regional ASEAN. Selain
melalui media massa, banyak instansi maupun akademisi yang melakukan sosialisasi
mengenai Komunitas ASEAN melalui media sosial. Contohnya menggunakan wadah
Facebook page, Twitter, hingga video informasi melalui YouTube.
Dikaitkan dengan peranan media dalam komunikasi antarbudaya yang menurut
Hodkinson (2011) terbagi tiga, yakni media as a shaper, media as a mirror, dan media as a
representator, tinjauan konten-konten mengenai sosialisasi Komunitas ASEAN, khususnya

cetak biru ASCC yang diterbitkan di media, menjelaskan kedudukan dari peranan media
sebagai mirror dan representator. Media berperan sebagai kaca yang merefleksikan
masyarakat, yang berarti apa yang terjadi di masyarakat mempengaruhi konten yang
disajikan di media. Untuk menyadarkan masyarakat akan kesamaan budaya yang dimiliki
oleh negara-negara ASEAN, tayangan-tayangan yang dihadirkan kepada masyarakat perlu
memperlihatkan budaya-budaya dari anggota negara ASEAN lainnya. Media berperan
sebagai kaca dalam hal memperlihatkan hal-hal dan kebiasaan-kebiasaan kecil yang samasama dilakukan oleh negara-negara ASEAN. Contohnya bagaimana negara-negara Asia
Tenggara makan nasi sehari-hari, menggunakan seragam sekolah, dan memiliki wisata alam
yang indah. Media juga merefleksikan kembali kepada khalayak peristiwa, perilaku,
identitas, relasi sosial, ataupun nilai yang telah menjadi hal penting. Konten yang ada di
media terkait dengan realita sebenarnya (Hodkinson, 2011).
Melihat dari segi komunikasi antarbudaya, sosialisasi melalui media sebagai langkah
pembentukan identitas bersama sebagai langkah dari we feeling ASEAN adalah isu yang di
sorot oleh kaum elitis ASEAN maupun para akademisi. Pembentukan idementias bersama
ini dilakukan menggunakan soft power, berupa eskpansi bedasarkan pola pikir perihal
bagaimana mengatur negara. Power mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Mark Orbe
dalam Martin dan Nakayama (2004), menjelaskan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat
hierarki sosial yang memberikan keuntungan lebih pada suatu kelompok tertentu daripada
kelompok lainnya. Kelompok yang memiliki keuntungan tersebut berada dalam hierarki
paling atas, dan menurut Orbe, mempengaruhi sistem komunikasi dalam masyarakat secara
sadar maupun tidak sadar. Dikaitkan dengan Komunitas ASEAN, kelompok dalam hierarki
paling atas yang mengaplikasikan soft power untuk kepentingannya merupakan kaum elitis
negara-negara ASEAN beserta anggota ASEAN Secretariat yang berhak melakukan
pengambilan keputusan.

9

Menurut Loden dan Rosener dalam Martin dan Nakayama (2004), terdapat dua
kelompok yang mempengaruhi power. Pertama, dipengaruhi oleh dimensi primer atau halhal yang bersifat permanen seperti umur, etnis, gender, kemampuan fisik, ras, dan orientasi
seksual. Kedua, dipengaruhi oleh dimensi sekunder yang dapat berubah seperti latar
belakang pendidikan, tempat tinggal, dan status. Power juga berasal dari institusi sosial dan
peran individu dalam institusi tersebut. Tetapi tidak dipungkiri, power bersifat dinamis
(Martin dan Nakayama, 2004). Sudah banyak konferensi ASEAN tandingan dari level
masyarakat maupun yang diselenggarakan organisasi non-profit, sebagai bentuk counter dari
kebijakan-kebijakan ASEAN yang dinilai terlalu elitis.
Setelah melewati tahap sosialiasi dengan mengenalkan nilai-nilai budaya anggota
ASEAN melalui media dan power , implementasi kebijakan cetak biru ASCC selanjutnya
dalam proses komunikasi antarbudaya adalah adaptasi budaya. Adaptasi budaya menjadi
penting karena komunikasi dan budaya bersifat kompleks. Keduanya saling mempengaruhi
dan saling membentuk. Budaya mempengaruhi komunikasi, dan dibangun melalui
komunikasi. Seseorang yang melakukan komunikasi antarbudaya harus cepat tanggap
terhadap konteks. Menurut Martin dan Nakayama (2004), konteks tercipta oleh aspek fisik
dan sosial dalam situasi dimana komunikasi terjadi. Pasalnya, perbedaan budaya
mempengaruhi variabilitas budaya yang dibawa oleh masing-masing individu. Contohnya
dari segi perbedaan orientasi nilai budaya, yaitu cara pandang dunia mengenai kelompok
budaya tertentu, serta kepercayaan-kepercayaan yang dipegang teguh olehnya (Martin dan
Nakayama, 2004), yang menurut Hofstede dalam Martin dan Nakayama (2004), terbagi
menjadi perbedaan orientasi individual dan kolektif. Atau kebiasaan masyarakat
berkomunikasi, yang dibagi oleh DeVito (2013)15 menjadi dua, yaitu budaya low context
dan high context.
Budaya mempengaruhi komunikasi dari segi orientasi nilai budaya atau cultural
values. Selain variabilitas dan orientasi nilai budaya, bagaimana seseorang beradaptasi

dalam lingkungan dan konteks budaya baru memberikan kontribusi yang besar dalam proses
komunikasi antarbudaya yang ia alami. Biasanya, akan terjadi culture shock atau gegar
budaya, yang menurut Storti (2001)16 merupakan hal yang umum, berupa reaksi stres saat

15

DeVito, Joseph A. 2013. The Interpersonal Communication Book. Pearson: New York.

16

Storti, C. 2001. The art of crossing cultures, 2nd ed . Intercultural Press: Yarmouth, ME.

10

individu mendapati dirinya dalam budaya yang asing. Gegar budaya merupakan hal yang
harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan Komunitas ASEAN. Sehingga sosialisasi
dan edukasi yang menyeluruh kepada masyarakat harus dilakukan untuk mengantisipasi
terjadinya gegar budaya dalam proses adaptasi terhadap budaya baru.
Orientasi nilai budaya atau cultural values yang berbeda antar negara ASEAN dapat
menimbulkan konflik antarbudaya, yaitu konflik antara dua atau lebih kelompok budaya
(Martin dan Nakayama, 2004). Umunya, konflik antarbudaya dapat disebabkan karena
adanya stereotipe dan prasangka, karena kurang mengenal pihak satu sama lain. Stereotipe
adalah suatu pandangan mengenai kelompok masyarakat tertentu (Martin dan Nakayama,
2004). Sedangkan prasangka, menurut Newberd dalam Martin dan Nakayama (2004), adalah
persepsi negatif terhadap kelompok terentu yang didasari oleh pengalaman yang minim.
Berbeda dengan stereotipe yang membuat kita menanggap bagaimana kebiasaan suatu
kelompok atau masyarakat tertentu, prasangka mempengaruhi perasaan kita terdahap
kelompok tersebut. Salah satu penyebab dari stereotipe dan prasangka adalah etnosentrisme,
yaitu kecenderungan berpikir bahwa budaya kita lebih superior daripada budaya lain (Martin
dan Nakayama, 2004).

Penutup
Konflik antarbudaya yang terjadi antar negara-negara ASEAN dapat menghambat
terbentuknya shared identity dan tumbuhnya we feeling sesuai yang diharapkan dalam
implementasi cetak biru ASCC. Maka, dalam proses sosialisasinya kepada publik ASEAN,
strategi-strategi komunikasi mengenai kebijakan ASCC harus mempertimbangkan aspekaspek perbedaan budaya melalui studi komunikasi antarbudaya. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengangkat dan merayakan kesamaan yang ada, dan memperlihatkan perbedaan
antar negara sebagai sebuah keunikan yang berpeluang menjadi potensi besar jika
diintegrasikan.
Untuk level individu, dalam menjalankan proses komunikasi antarbudaya,
diperlukannya empati dan mindfullness terhadap sesama. Hal ini sesuai dengan prinsip
komunikasi antarbudaya yang efektif menurut DeVito (2013), yaitu mendidik diri sendiri
dengan cara bergaul dengan orang yang berbeda budaya, mengenai perbedaan, mengurangi
kadar etnosentrisme dalam diri sendiri, berhati-hati dengan stereotipe, dan menyesuaikan
perilaku komunikasi kita terhadap orang lain. Dengan komunikasi antarbudaya yang efektif,

11

Indonesia sebagai negara dengan keberagaman budaya, akan mampu bersaing dalam
menghadapi implementasi kebijakan Komunitas ASEAN.

Referensi
Martin, Judith N. dan Nakayama, Thomas K. 2004. Intercultural Communication in
Contexts. Boston: McGraw Hill.

Hodkinson, Paul. 2011. Media, Culture and Society: An Introduction. SAGE: Los
Angeles, London, New Delhi, Washington DC.
Gudykunst, W. B. 2003. Cross-cultural and intercultural communication . Sage:
Thousand Oaks, CA.
Ruben, Brent D. dan Stewart, Lea P. 2005. Communication and Human Behavior.
Pearson: New York.
DeVito, Joseph A. 2013. The Interpersonal Communication Book. Pearson: New
York.
Storti, C. 2001. The art of crossing cultures, 2nd ed. Intercultural Press: Yarmouth,
ME.
Macionis, John J. 1997. Sociology Sixth Edition. Prentice-Hall: New Jersey.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta: Jakarta.
Ting-Toomey, S. 1999. Communicating across cultures. New York: The Guilford
Press.
Departemen Perdagangan RI. Menuju ASEAN Economic Community 2015.
http://www.asean.org/asean/about-asean/overview, diakses pada 20 Desember 2015.
http://www.kemlu.go.id/Documents/Kerjasama%20Fungsional%20ASEAN.rtf,
diakses pada 20 Desember 2015.
http://www.asean.org/archive/5187-19.pdf, diakses pada 20 Desember 2015.
http://news.okezone.com/read/2015/11/22/18/1253735/komunitas-asean-resmiterbentuk, diakses pada 20 Desember 2015.
http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/11/23/090721594/negara-asean-sepakatiasean-community-2025-karena, diakses pada 21 Desember 2015.
http://www.asean.org/communities/asean-socio-cultural-community/item/links-tonational-asean-tv-news-atn-websites, diakses pada 20 Desember 2015.

12