BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh pH saliva terhadap pelepasan ion nikel pada beberapa jenis braket stainless steel dalam saliva buatan (In Vitro)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Maloklusi dan deformitas dentofasial dianggap merupakan variasi dari

  perkembangan normal. Evaluasi yang dilakukan untuk mengatasinya memerlukan sejumlah alat-alat yang tepat sehingga didapatkan hasil perawatan yang maksimal.

  Perawatan ortodonti pada maloklusi dan deformitas dentofasial melibatkan alat ekstraoral maupun intraoral dalam jangka waktu perawatan yang panjang, oleh sebab itu para peneliti berusaha untuk menemukan alat yang terbaik, aman dan nyaman bagi pasien. Alat intraoral yang digunakan dalam perawatan ortodonti meliputi kawat, band dan braket. Material dari alat intraoral ini beragam antara lain plastik,

  1,2 seramik dan logam.

  Braket merupakan salah satu komponen penting pada perawatan ortodonti yang berguna menghantarkan gaya tertentu pada gigi. Penggunaan braket logam pada perawatan ortodonti telah dilakukan sejak awal tahun 1900 dan umumnya logam yang digunakan adalah logam mulia seperti emas dengan alasan sifatnya yang tahan lama dan anggapan bahwa pemakaian logam mulia menunjukkan status sosial yang lebih tinggi. Akan tetapi proses pembentukan emas sebagai alat untuk perawatan ortodonti tidaklah mudah, sehingga para peneliti mulai mencari material lain yang lebih mudah dibentuk, tahan lama dan nyaman untuk perawatan ortodonti. Pada

  2 tahun 1929, stainless steel pertama kali digunakan untuk menggantikan emas.

2.1 Logam Stainless Steel dalam bidang Ortodonti

  Stainless steel ( SS) pertama sekali ditemukan pada tahun 1913 oleh ahli

  metalurgi Inggris bernama Harry Brearly. Penemuan ini awalnya tidak sengaja menambahkan kromium pada baja rendah karbon dan menyebabkan baja tersebut menjadi tahan karat. Penelitian terhadap stainless steel terus berkembang dan tahun 1930-an mulai diproduksi. Stainless steel dalam metalurgi adalah alloy besi dengan kandungan kromium 10,5 % - 11 %. Penambahan kromium (Cr) bertujuan meningkatkan ketahanan korosi dengan membentuk lapisan oksida Cr O di

  2

  3

  permukaan logam stainless steel. Unsur lain selain besi, karbon dan kromium yaitu Nikel, Molybdenum dan Titanium dengan komposisi yang berbeda-beda sehingga menghasilkan variasi sifat mekanis dari beberapa produk stainless steel yang

  6,16 beredar di pasar.

  Steel didefinisikan sebagai alloy yang terbentuk dari besi dan karbon dengan

  konsentrasi antara 0.5 % - 2 %. Stainless steel adalah suatu steel yang mengandung lebih dari 11 % kromium, biasanya diantara 11,5% - 27%, dan bisa juga mengandung

  1 nikel, vanadium, molybdenum dan niobium dalam jumlah terbatas.

  Stainless Steel banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang kehidupan,

  contohnya industri, peralatan rumah tangga, medis dan alat kedokteran gigi, salah satunya bidang ortodonti. Sebelum stainless steel ditemukan, bahan dasar kawat, ligatur dan braket ortodonti terbuat dari emas 14-18 karat. Emas memiliki ketahanan korosi yang tinggi tetapi harganya sangat mahal. Stainless steel mulai digunakan dalam bidang ortodonti pada tahun 1933, ketika Archi Brusse menjelaskan mengenai sifat stainless steel untuk bidang ortodonti pada pertemuan American Society of

  Orthodontis (ASO). Kepopuleran stainless steel semakin meningkat di kalangan

  ortodontis karena memiliki kombinasi sifat mekanis yang baik, tahan korosi dan harga ekonomis. Stainless steel digunakan dalam bidang ortodonti sebagai bahan dasar braket, kawat. molar tube, band. Pegas dan lain-lain. Komposisi dan manufaktur stainless steel yang berbeda-beda menghasilkan beberapa jenis stainless

  steel dan diklasifikasikan oleh American Iron and Steel Institute (AISI).

  17

2.1.1 KLASIFIKASI DAN KOMPOSISI STAINLESS STEEL

  Klasifikasi stainless steel didasarkan pada struktur metalurginya, yaitu Austenitik, Ferritik, Martensitik, Duplek dan Precipitation Hardening.

  6 1.

  Austenitik Stainless Steel Austenitik stainless steel memiliki mikrostruktur face centre cubic. Penambahan 8 % nikel pada alloy ini mencegah transformasi austenit ke martensit saat pendinginan, sehingga austenit lebih stabil walaupun pada suhu kamar. Austenit SS banyak digunakan secara luas dalam bidang kedokteran gigi khususnya ortodonti karena sifatnya yang tahan korosi.

  Tipe AISI 304 L SS dan 303 banyak digunakan sebagai bahan dasar braket ortodonti dengan komposisi 18- 20 % kromium (Cr), 8-10 % Nikel, sedikit Mangan, Silikon dan karbon 0,003 %. AISI 303 adalah tipe austenitik stainless

  

steel pertama yang merupakan campuran 18 % kromium dan 8 % nikel dan

  sedikit Selenium. Sedangkan tipe 316L SS memiliki kandungan Nikel lebih tinggi 2-3 % Molybdenum dan karbon yang lebih rendah untuk menambah resistensi terhadap korosi intergranular. Tipe AISI 302 dengan komposisi 17-19 % kromium, 8-10 % Nikel dan 0,08 % karbon biasanya digunakan untuk kawat ortodonti.

  2. Ferritik Stainless Steel

  

Alloy ini adalah tipe AISI 400 dengan sifat ketahanan korosi yang cukup baik

  walaupun tidak sebaik austenitic SS disebabkan kandungan kromium yang lebih rendah. Komposisi kromium 11,5

  • – 27 %, karbon 0,20 % dan tanpa nikel. Pada perubahan temperatur, jenis alloy ini tidak menimbulkan perubahan fase ke keadaan padat, maka logam ini tidak mengeras dengan pemanasan. Walaupun banyak digunakan dalam bidang industri, tetapi alloy ini jarang digunakan dalam bidang kedokteran gigi.

  3. Martensitik Stainless Steel Sama halnya dengan jenis Ferritik Stainless Steel , jenis Martensitik juga dikategorikan tipe AISI 400. Akan tetapi sifat Martensitik berbeda dengan tipe Ferritik, tipe Martensitik dapat dikeraskan dengan cara dipanaskan (heat

  

treatment) sehingga memiliki sifat kekerasan yang baik tetapi ketahanan korosi

paling rendah dibandingkan dengan tipe Austenitik dan Ferritik SS.

  Komposisinya mengandung kromium 12-14 %, Molybdenum 0,2-1 %, Nikel 0- 2 % dan karbon 0,1

  • – 1 %.

4. Precipitation Hardening Stainless Steel

  Precipitation Hardening (PH) stainless steel adalah kombinasi optimal dari

  sifat-sifat martensitik dan austenitik yaitu lebih kuat dan ketahanan korosi yang baik. Kekuatan (tensile strength) yang tinggi disebabkan oleh proses heat

  treatment yang menghasilkan presipitat (endapan) salah satu atau lebih Copper,

  Aluminium, Titanium, Niobium dan Molybdenum yang memang ditambahkan ke dalam alloy Stainless Steel. Alloy ini digunakan bila diperlukan kombinasi kekuatan tinggi dan resistensi korosi. Salah satu pemakaian Precipitation

  

Hardening Stainless Steel yang paling dikenal adalah untuk kepala pemukul

stik golf.

  5. Duplex Stainless Steel Duplex Stainless Steel memiliki bentuk mikrostruktur campuran austenitik dan

  ferritik. Kombinasi dari kedua tipe tersebut menghasilkan kekuatan dua kali lipat lebih baik daripada austenitik dan tidak mudah fraktur dibandingkan dengan ferritik stainless steel. Selain itu, sifat tahan korosi dalam mulut terutama korosi karena gaya/tekan (stress corrosion cracking) lebih baik daripada austenitik stainless steel. Komposisinya mengandung kromium yang tinggi 18-30 %, Molybdenum yang tinggi 0,1-4,5 % dan Nikel lebih rendah 1,3- 6%, tembaga dan besi. Nitrogen ditambahkan untuk menambah kekuatan dan tahan korosi. Tipe 2304 dan 2205 Duplex stainless steel digunakan sebagai bahan dasar braket ortodonti dan indikasi untuk pasien yang alergi nikel. Penelitian Plat dkk melaporkan bahwa 2205 Duplex stainless steel lebih tahan korosi dibandingkan tipe AISI 316 L sebagai bahan dasar braket ortodonti.

2.1.2 SIFAT FISIS STAINLESS STEEL

  Stainless steel 18-8 merupakan tipe stainless steel yang paling resisten

  terhadap korosi, ini merupakan efek passivity dari kromium yang membentuk suatu oxyda layer (oxide film) yang sangat tipis dan transparan tetapi kuat dan kedap air.

  Lapisan ini bisa berbentuk Cr

  3

  atau FeCr

  2 O

  3

  yang mencegah terjadinya tarnish dan korosi.

2 O

1.2 Faktor yang mempengaruhi resisten terhadap korosi yaitu :  Adanya sifat passivity dari kromium.

   Resistensi makin tinggi dengan makin banyaknya kadar kromium pada stainless steel tersebut.

   Nikel dapat menambah resistensi terhadap korosi.  Molybdeum dapat menambah efek pasivity.  Larutan hipoclorit/ion klorin dapat menyebabkan terjadinya tarnish dan korosi .

2.1.3 SIFAT MEKANIS STAINLESS STEEL

   Hardness 100-200 BHN  Modulus elastisity 200 GN / m2

  2

   Tensile strength 1700MN/m Hal-hal yang dapat mempengaruhi sifat stainless steel : Pemanasan di atas 900 cenderung terjadinya prasipitasi kromium dari solid

  solution di dekat permukaan. Dengan berkurangnya kromium maka akan

  menyebabkan pula berkurangnya resistensi stainless steel terhadap tarnish dan korosi. Efek pemanasan yang menyebabkan berkurangnya resistensi korosi ini disebut weld-decay.

  Weld-decay dapat dikurangi dengan 2 cara : 1.

  Mengurangi kadar karbon pada stainless steel.

2. Menambah logam lain, mis : Titanium dan Miobium.

  Menurut Philips ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada stainless steel,

  1

  yaitu:

  1. Korosi 18-8 dapat kehilangan ketahanannya terhadap korosi jika

  Stainless steel

  dipanaskan antara 400° C sampai 900

  C, temperatur yang pasti tergantung dari kandungan karbonnya.

  Penyebab utama terjadinya korosi adalah masuknya potongan baja karbon atau logam serupa pada permukaan. Sebagai contoh, jika stainless steel tidak dimanipulasi secara hati-hati dengan tang dari besi karbon, maka ada kernungkinan beberapa baja dari tang akan tertanam dalam stainless steel tersebut. Atau jika pesawat dari stainless steel digrinding dengan bur baja karbon, beberapa baja dari alat akan tertanam pada logam tersebut. Keadaan ini menimbulkan arus listrik yang menyebabkan korosi.

  2.Kompatibiliti Walaupun berbeda, penelitian menunjukkan biokompatibilitas stainless steel yang sangat baik pada rongga mulut akan tetapi berdasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh Eliades dkk terjadi pelepasan ion bebas dari stainless steel selama pemakaian yang bersifat cytotoxitas.

2.2 Saliva dan Saliva Buatan

  Kavitas mulut memiliki suatu kondisi lingkungan yang dipengaruhi oleh temperatur, kualitas dan kuantitas saliva, pH saliva, plak, jumlah protein pada saliva, sifat fisika dan kimia makanan maupun minuman, kondisi kesehatan umum maupun mulut, kadar klorida pada saliva dan frekuensi makan. Kondisi di atas mempengaruhi kestabilan ion logam pada braket yaitu menyebabkan terjadinya pelepasan logam. Bila pelepasan ion terjadi dengan cepat maka braket akan korosi

  7

  yaitu disintegrasi logam yang menyebabkan kerusakan pada braket tersebut Dalam mulut seorang pasien sering terjadi variasi konsentrasi elektrolit karena adanya akumulasi makanan pada area interproksimal sedangkan pada area lain dialiri saliva normal, sehingga posisi braket stainless steel di dalam mulut pasien turut berperan terhadap terjadinya korosi pada braket tersebut. Secara natural kondisi intraoral sangat korosif sehingga sangat berpengaruh terhadap mikrostruktur braket yang berada dalam mulut pasien secara terus menerus dalam

  18 waktu yang lama.

  Perawatan ortodonti cekat sudah lama dianggap memiliki potensi mengganggu jaringan lunak dan keras pada rongga mulut. Pasien yang menjalani perawatan ortodonti cekat lebih sulit menjaga oral hygiene dengan metode konvensional, kemampuan self cleansing oleh saliva juga akan berkurang. Hal-hal ini dapat memacu timbulnya lesi karies, yang dapat terjadi sekitar 1 bulan, tanpa dihubungkan dengan kontrol plak mekanis. Keasaman saliva dapat berubah yang disebabkan oleh akumulasi plak dalam mulut dan kecepatan aliran saliva sehingga

  7,18 pH saliva dapat turun hingga 4,95.

  Saliva yang disebut juga cairan mulut adalah suatu cairan yang dikeluarkan kelenjar ludah di dalam rongga mulut. Saliva merupakan sekresi campuran yang diproduksi oleh kelenjar parotis sebanyak ± 90 % submandibula, sublingual dan kelenjar pada palatum lunak dan pada permukaan dalam bibir dan pipi. Saliva buatan mengandung komponen yang sama dengan saliva asli, tetapi tidak mengandung enzim. Saliva buatan dapat dibuat dengan berbagai macam metode pencampuran komposisi. Salah satu metodenya adalah dengan komposisi Fusayama, terdiri dari : NaCl (400mg/L), KCl (400mg/L), CaCl .H O(795 mg/L),

  2

  2 NaH

  2 PO 4 .H

2 O(90 mg/L), KSCN(300 mg/L), Na

  2 S.9H

  2 O (5mg/L) dan urea(1000 mg/L).

2.3 Braket dalam saliva

  Saliva merupakan elektrolit yang memungkinkan adanya reaksi antara ion-ion logam pada braket dengan saliva sehingga terjadi kerusakan secara elektrokimia

  4

  pada braket. Pada daerah yang kurang terpoles dengan baik, yaitu daerah anoda terjadi reaksi oksidasi, yaitu pelepasan ion elektron ke saliva yang menyebabkan daerah anoda merupakan daerah yang mudah mengalami korosi. Gambaran reaksinya sebagai berikut :

  • o -

  M M + e Sedangkan daerah katoda mengalami reaksi reduksi, dimana permukaan katoda akan mengambil elektron bebas di saliva yang diproduksi oleh anoda.

  Gambaran reaksinya adalah :

  M + e M

  2H + 2e H2

  • 6 -

  2H

2 O + O2 + 4e 3(OH)

  Korosi dimulai dari terjadinya tarnish pada logam, kemudian berlanjut dengan lepasnya ion-ion logam, akhirnya terjadilah korosi. Tarnish adalah berkurangnya pewarnaan permukaan logam atau perubahan pada permukaan logam yang telah dipoles. Tidak ada tanda yang jelas yang bisa menandai kapan mulai lepasnya ion-ion logam, tetapi bila proses tarnish tidak dihambat maka akan terjadi pelepasan ion-ion logam. Sedangkan korosi merupakan suatu kegagalan struktur logam secara mekanis dan berlangsung secara cepat akibat reaksi logam dengan linkungannya. Bila penyebab tarnish tidak dihilangkan maka warna logam akan semakin kusam, yang berarti proses korosi terus berlanjut. Penyebab tarnish adalah:

1. Air, oksigen dan ion klorida yang terdapat di saliva 2.

  Deposit-deposit dalam mulut yang menempel pada permukaan logam 3. Stain yang disebabkan oleh bakteri 4. Pembentukan senyawa-senyawa tertentu seperti oksida, sulfida atau klorida.

  

Stainless steel bersifat menyalurkan panas dan listrik, sehingga terjadi mobilitas

  elektron-elektron dalam logam. Elektron yang terletak di permukaan braket mudah meninggalkan braket sehingga pada permukaan braket terbentuk ion positif yabg labil dan bersifat anoda. Elektron yang terlepas akan menghasilkan energi panas dan listrik, sedangkan ion positif akan bersenyawa dengan ion lain. Kejadian seperti di atas sering terjadi pada area braket yang rusak atau kasar, karena tidak terpoles dengan baik. Interaksi ion-ion logam dengan lingkungan merupakan penyebab korosi yang paling umum, tetapi biasanya korosi tidak disadari oleh

  18 ortodontis sebelum braket mengalami kerusakan yang parah.

2.4 Efek Biologis dari nikel

  Produk korosi utama dari stainless steel adalah besi, krom dan nikel. Walau ketiga elemen tersebut semuanya memiliki potensi efek samping, nikel dan krom memperoleh perhatian terbesar karena laporan atas potensi mereka untuk menimbulkan efek alergi, toksis atau karsinogenik. Interpretasi atas temuan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati karena toksisitas yang terdokumentasi biasanya hanya berlaku pada bentuk terlarut dari elemen tersebut. Pada saat ini hubungan apapun antara pelepasan suatu logam dan toksisitas metabolik, bakteriologis, imunologis atau karsinogenik dianggap sebagai dugaan semata, karena hubungan sebab dan akibat belum dibuktikan pada manusia. Selain itu tidak mungkin bahwa

  13 pola yang sama berlaku pada aplikasi aloi dalam ortodonti dan ortopedi.

  Pada umumnya larutan nikel (0,05 µmol/L) dan kobal (0,01 µmol/L) ditemukan menghambat fagositosis bakteri oleh leukosit polimorfonuklear in vitro.

  Ion nikel dapat mempengaruhi kemotaksis leukosit melalui perubahan bentuk, sambil menstimulasi neutrofil untuk menjadi asferis dan bergerak lebih lambat, serta menghambat aktifitas kontraktil yang bergantung pada ion kalsium dengan men- depolarisasi membran sel neutrofil. Nikel juga diperlihatkan menghambat kemotaksis pada konsentrasi 2,5 sampai 50 ppm. Konsentrasi nikel dalam kisaran tersebut dilepaskan dari aloi dental dan diperlihatkan mengaktifkan monosit dan sel-sel endotel serta menekan atau mendukung pelepasan molekul adhesi interseluler oleh sel endotel. Yang terakhir ini bergantung pada konsentrasi nikel. Sebagian besar literatur menyatakan bahwa keberadaan nikel beresiko menimbulkan respon

  13 inflamasi dalam jaringan lunak.

  Senyawa nikel dalam bentuk arsenida dan sulfida merupakan karsinogen, alergen dan mutagen yang telah diakui. Nikel dapat menstimulasi hipoksia melalui

  up -regulasi Cap43, suatu gen yang mengatur hipoksia. Rute berbeda yang mengarah

  ke kesimpulan yang sama telah dikemukakan dimana stres oksidatif yang disebabkan oleh pemaparan terhadap logam dan khususnya nikel diperantarai oleh induksi laktat dehidrogenase, lipid peroksidase dan induksi reaksi Fenton. Proses reaksi Fenton

  • melibatkan reaksi O

  2 dengan logam kelumit oksidatif dan pembentukan O 2 , yang

  selanjutnya bereaksi dengan hidrogen peroksida untuk membentuk hidroksi radikal

  • dan OH . Hipotesis tambahan bagi stres oksidatif melibatkan induksi pembentukan asetaldehid oleh nikel, sementara bukti atas aksi oksidatif diilustrasikan oleh

  13 peningkatan reseptor laktoferin setelah pemaparan populasi sel terhadap nikel.

  Banyak penelitian juga telah menyatakan bahwa nikel dalam konsentrasi nontoksik merangsang kerusakan basis DNA yang bersifat spesifik-daerah dan single

  

strand scission . Keterlibatan faktor transkripsi NF-kB dan AP-1 telah ditetapkan

  melalui penelitian yang menunjukkan bahwa sel-sel resisten Ni mengurangi level pengikatan kedua faktor tersebut ke sekuens DNA mereka. Kerusakan DNA akibat Ni juga dapat timbul secara tidak langsung melalui penghambatan enzim, seperti 8- oxo-2´-deoxyguanosine dan 5´-triphosphate pyrophosphatase, yang mengembalikan perpecahan DNA. Pada konsentrasi nontoksis, nikel mendorong mutasi mikrosatelit, menghambat perbaikan eksisi nukleotida dan meningkatkan metilasi genom total.

  Pengaruh tersebut ke ketidakstabilan genetik telah disebutkan sebagai dasar aksi

  13 karsinogenik dari nikel.

2.5 Korosi dan Pelepasan Ion Logam

  Korosi merupakan kerusakan yang terjadi pada suatu material akibat reaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses korosi melibatkan 2 reaksi simultan yakni oksidasi dan reduksi (redoks). Ketika specimen logam murni (disebut elektroda) ditempatkan pada medium cairan (disebut elektrolit) yang tidak mengandung ion- ion specimen, maka ion logam akan cenderung larut ke dalam medium dan permukaan logam yang hilang ionnya akan memulai proses redeposisi untuk mempertahankan sifat logam tersebut, transfer ion logam ke medium cairan disebut proses oksidasi (hilangnya elektron) dan redeposisi yang menyebabkan reduksi. Tingkat korosi logam dipengaruhi oleh komposisi material serta reaksi kimia dari cairan tempat logam tersebut dicelupkan atau lingkungan sekitarnya.

  (Faccioni.dkk,2004;Eliades.dkk,2002) Meskipun stainless steel dikenal sebagai campuran logam yang tahan korosi, namun proses pembuatan yang berbeda-beda menghasilkan kualitas yang berbeda-beda juga, sehingga akan mempengaruhi tingkat ketahanan korosi. (Lin dkk, 2006).

  Terdapat beberapa jenis proses korosi yang dapat terjadi pada braket logam terkait dengan waktu pemakaian dan lingkungan rongga mulut yang antara lain :

1. Korosi merata ( uniform attack )

  Pada kondisi normal, braket logam stainless steel diselubungi lapisan oksida kromium yang mencegah terjadinya penetrasi agen korosi.

  Akan tetapi, pada beberapa kasus lapisan tersebut rusak akibat ekspos braket terhadap klorida. Umumnya korosi ini terjadi hampir di semua tingkat logam tetapi dalam tingkat yang berbeda dan dapat tidak terdeteksi hingga mengenai sebagian besar logam (Oh KT dkk, 2005; House dkk, 2008, Eliades dkk.2003)

Gambar 2.1 Korosi merata (www.corrosionclinic)

  2. Korosi sumuran (pitting corrosion ) Pada tingkat mikroskopis, braket ortodonti dapat memiliki banyak pit dan celah.

  Keadaan tersebut diperkirakan meningkatkan kerentanannya terhadap korosi karena mampu menampung mikroorganisme pembentuk plak. Mikroorganisme menyebabkan penurunan pH lokal dan pengurangan oksigen yang kemudian mempengaruhi proses pasifasi. (House dkk,2003).

Gambar 2.2 Korosi sumuran (www.corrosionclinic)

  3. Korosi celah ( crevice corrosion)

  Korosi ini dapat terjadi pada pesawat lepasan bila kawat atau komponen sekrup ekspansi memasuki akrilik. Diskolorasi kecoklatan dapat timbul di bawah permukaan akrilik yang berkontak dengan logam. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh bakteri dan biofilm permukaan antara kawat dan akrilik, sehingga mengakibatkan korosi celah dari logam (House dkk,2003).

Gambar 2.3 Korosi celah ( www.substech )

4. Korosi galvanik ( galvanic corrosion)

  Dalam ortodonti, korosi galvanik dapat timbul bila dua logam yang berbeda disatukan dalam pembuatan braket atau posted archwire. Dalam kasus pesawat lepas, kedua logam juga dapat berperan dalam korosi galvanik, namun situasi tersebut diperparah oleh adanya bagian sambungan yang disolder. Hal ini karena bagian sambungan solder aktif secara mekanis sehingga menyebabkannya lebih rentan terhadap korosi (Grimsdottir, Gjerdet, Hensten, 1992).

Gambar 2.4 Korosi galvanik (www.aluminumsurface)

5. Korosi fretting (Fretting corrosion)

  Korosi fretting terjadi di area kontak logam yang mengalami beban berkelanjutan. Misalnya pada pertemuan archwire/slot braket. Selama aplikasi beban, kedua logam mengalami proses cold welding dari tekanan pada pertemuan antara keduanya. Aplikasi kontinu tekanan demikian pada pertemuan tersebut akan menyebabkan bagian persambungan mengalami keausan, merusak lapisan oksida permukaan pelindung dan menyebabkan logam menjadi rentan terhadap korosi.

  (House dkk, 2008).

Gambar 2.5 Korosi fretting (www.corrosion-doctors)

2.6 Alat Uji

2.6.1 Uji Komposisi Unsur (XRF)

  Uji ini dilakukan dengan menggunakan alat X-Ray Fluoresence (XRF) tipe μEDX-1300. Uji XRF bertujuan menentukan jenis dan presentase komponen unsur- unsur penyusun braket sebelum direndam dalam saliva buatan.

  XRF merupakan teknik analisa non-destruktif yang digunakan untuk identifikasi serta penentuan konsentrasi elemen yang ada pada sampel padat, bubuk ataupun cair.

  Secara umum, XRF spektrometer, mengukur panjang gelombang komponen material secara individu, dari emisi fluorosensi yang dihasilkan sampel saat diradiasi dengan

  31 sinar-x.

  Metode XRF secara luas digunakan untuk menentukan komposisi unsur suatu material. Karena metode ini cepat dan tidak merusak sampel, metode ini dipilih untuk aplikasi di lapangan dan industri untuk kontrol material. Tergantung pada penggunaannya, XRF dapat dihasilkan tidak hanya oleh sinar-X tetapi juga sumber eksitasi primer yang lain seperti partikel alfa, proton atau sumber elektron dengan

  32 energi yang tinggi.

Gambar 2.6 Mesin X-Ray Fluorescence

  (XRF) tipe μEDX-1300.

  Kelebihan dan Kekurangan Metode XRF

  Keunggulan dari metode ini adalah sampel yang dianalisis tidak perlu dirusak, memiliki akurasi yang tinggi, dapat menentukan unsur dalam material tanpa adanya standar, serta dapat menentukan kandungan mineral dalam bahan biologik maupun dalam tubuh secara langsung. Kekurangan dari metode XRF adalah tidak dapat menganalisis unsur di bawah

  33 nomor atom 10.

2.6.2. Uji Inductively Coupled Plasma (ICP)

  Inductively Coupled Plasma (ICP) yang termasuk ke dalam Spektroskopi Atomik adalah sebuah teknik analisis yang digunakan untuk mendeteksi jejak logam dalam sampel dan untuk mendapatkan karakteristik unsur-unsur yang memancarkan gelombang tertentu. ICP merupakan instrumen yang digunakan untuk menganalisis kadar unsur-unsur logam dari suatu sampel dengan menggunakan metode spektrofotometer emisi. Spektrofotometer emisi adalah metode analisis yang didasarkan pada pengukuran intensitas emisi pada panjang gelombang yang khas untuk setiap unsur. Bahan yang akan dianalisis untuk alat ICP ini harus berwujud larutan yang homogen.

  Prinsip kerja ICP

  Langkah kerja ICP:

  • Preparasi Sampel Beberapa sampel memerlukan langkah preparasi khusus seperti penambahan asam, pemanasan, dan desktruksi dengan mikrowave.
  • Cairan diubah menjadi aerosol.

  Nebulisasi

  Desolvasi/ Volatisasi

Pelarut dihilangkan sehingga terbentuk aerosol kering.

  • Ikatan gas putus, dan hanya ada atom.

  Atomisasi

  • Atom memperoleh energi dari tumbukan dan memancarkan cahaya dari panjang gelombang yang khas.

  Eksitasi/ Emisi

  • Grating mendispersikan cahaya yang dapat diukur secara kuantitatif.

  Deteksi/ Pemisahan

Gambar 2.7 Inductively Coupled Plasma( ICP)

2.7 Landasan Teori

  Braket ortodonti dapat terbuat dari bahan logam maupun non logam. Salah satu logam yang dipakai untuk pembuatan braket adalah stainless steel. Braket dengan bahan stainless steel merupakan braket yang terbanyak digunakan di klinik karena braket stainless steel merupakan braket yang paling ekonomis dan mempunyai kekuatan tinggi. Stainless steel merupakan logam campuran dari besi (komponen utama), kromium 18 %-20%, nikel 8%-10% dengan sejumlah kecil mangan, silikon dan karbon yang kadarnya kurang dari 0,1 Nikel berfungsi membantu ketahanan logam terhadap korosi serta memperkuat logam.

  Konsentrasi nikel pada braket stainless steel telah banyak menimbulkan perdebatan, karena di satu sisi nikel diketahui memberikan reaksi alergi yang lebih banyak selama perawatan ortodonti dibandingkan dengan ion logam lainnya dan di sisi lain nikel merupakan salah satu elemen pembentuk austenitik.

  Selama perawatan ortodonti cekat, braket selalu berada dalam rongga mulut sehingga terjadi interaksi braket dengan lingkungannya. Salah satu kriteria yang harus dipenuhi oleh braket ortodonti adalah memiliki biokompabilitas yang baik dan daya tahan yang tinggi terhadap korosi. Produk utama hasil proses korosi yang paling merugikan bagi tubuh adalah ion nikel. Pelepasan ion nikel pada braket dipengaruhi oleh komposisi kandungan logam, metode pembuatan serta lingkungan dalam mulut.

  Perawatan ortodonti cekat sudah lama dianggap memiliki potensi mengganggu jaringan lunak dan keras pada rongga mulut. Pasien yang menjalani perawatan ortodonti cekat lebih sulit menjaga oral hygiene dengan metode konvensional, kemampuan self cleansing oleh saliva juga akan berkurang. Hal-hal ini dapat memacu timbulnya lesi karies, yang dapat terjadi sekitar 1 bulan, tanpa dihubungkan dengan kontrol plak mekanis. Keasaman saliva dapat berubah yang disebabkan oleh akumulasi plak dalam mulut dan kecepatan aliran saliva sehingga pH saliva dapat turun hingga 4,95.

  2.8. Kerangka Konsep Penelitian

  Braket stainless steel Perendaman dalam saliva buatan selama 7 hari

   Inductively Coupled Plasma (ICP) Ion nikel yang terlepas

  2.9 Hipotesis Penelitian

  1. Ada pelepasan nikel dari braket standar Edgewise stainless steel SD

  ® Orthodontic USA , Protect dan American Orthodontics pada perendaman dalam saliva buatan.

  2. Terdapat perbedaan lepasnya ion nikel antara braket standar Edgewise

  ® stainless steel SD Orthodontic USA , Protect dan American Orthodontics

  3. Terdapat perbedaan lepasnya ion nikel antara braket standar Edgewise

  ® stainless steel SD Orthodontic USA , Protect dan American Orthodontics dengan pH 5 dan pH 6,8.