Peran rokok terhadap laju aliran saliva

(1)

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

Disusun oleh:

Abqariyatuzzahra Munasib

NIM : 1112103000090

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

puji dan syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga Laporan Penelitian berjudul “Peran Rokok terhadap Laju Aliran Saliva” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi panutan kehidupan.

Penulis menyadari Laporan penelitian ini tidak dapat tersusun sedemikian rupa tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak,oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. dr. Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter yang telah membimbing saya selama menjalani pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D dan dr.Nouval Shahab, Sp.U, Ph.D, FICS, FACS selaku Penanggung Jawab Riset Program Studi Pendidikan Dokter

4. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku Pembimbing 1 yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk membimbing penulis baik dalam pengambilan data, penyusunan laporan, hingga laporan ini dapat terselesaikan

5. dr. Fikri Mirza P, Sp.THT-KL selaku Pembimbing II yang terus memberikan bimbingan, arahan, dan saran-saran yang sangat membangun dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan penelitian

6. Mbak Lilis, Mbak Ai, dan Mbak Suryani selaku Laboran di laboratorium riset, biokimia dan biologi yang membantu dalam pengambilan data penelitian 7. Seluruh responden penelitian yang telah bersedia menjadi sampel penelitian


(6)

vi

Nailatul Izzatizahra yang memberikan dukungan terus menerus, semangat yang tak pernah hangus, dan lantunan do’a yang tak pernah putus untuk penulis dalam menyelesaikan penelitian ini

9. Faruq Yufarriqu, Muhammad Reza Syahli, Sari Dewi, dan Nabila Syifa, teman-teman seperjuangan dalam penelitian ini yang terus berjalan bersama, menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan semangat bersama dalam menyelesaikan penelitian ini.

10.Riza Mawaddatar, Eka Rahma, Annisafitria, Mulia Sari, Irwana Arif, Novia Putri, Atina Nabila, Hapsari, Nisa, yang terus mengingatkan, menemani dan memberikan semangatnya kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini 11.Kakak Fella Zaki yang banyak memberikan saran dalam pengolahan data penelitian ini, serta keluarga CSS MoRA, teman-teman PSPD 2012 dan keluarga IKPI Jakarta atas waktu yang telah banyak dilalui selama masa perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

12.Seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik langsung maupun tak langsung yang tentunya tidak dapat disebutkan satu persatu

Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak dalam mewujudkan laporan penelitian yang jauh lebih baik. Hasil laporan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk semua pihak. Semoga penelitian yang telah dilakukan ini mendapat barokah dan Ridlo dari Allah SWT, Aamiin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ciputat, 08 Oktober 2015


(7)

vii Rokok terhadap Laju Aliran Saliva.

Tujuan:Untuk mengetahui efek rokok terhadap laju aliran saliva. Metode: penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional yang diikuti oleh 55 laki-laki perokok dan 31 laki-laki non-perokok. Seluruh subjek penelitian mengisi formulir riwayat merokok, dan dilakukan pemeriksaan fisik gigi mulut oleh dokter gigi serta dilakukan pengambilan saliva tidak terstimulasi. Pengukuran laju aliran saliva menggunakan metode passive drool. Hasil: Laju aliran saliva pada perokok tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan non-perokok (p=0,241), dengan perbandingan nilai median perokok (0,24 ml/menit) lebih rendah dari pada non-perokok (0,3 ml/menit). Hasil pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut non-perokok lebih buruk dibandingkan non-perokok dan berbeda bermakna secara statistik, dilihat dari nilai CI (p=0,048) dan nilai OHIS (p=0,014). Simpulan: Pada penelitian ini rokok mempengaruhi kesehatan gigi mulut namun tidak mempengaruhi laju aliran saliva

Kata Kunci: Rokok, laju aliran saliva, kesehatan mulut

ABSTRACT

Abqariyatuzzahra Munasib. Medical Education Study Program. The Role of Smoking on Salivary Flow Rate.

Obejective: to investigate the role of smoking on salivary flow rate. Methods: This cross sectional study was carried out among 55 smokers and 31 non-smokers. All participants filled out form of smoking history and completed physical examination of mouth and teeth by the dentist and performed unstimulated saliva collection. The salivary flow rate was measured by passive drool method. Result: Salivary flow rate was not significantly different between male smokers and non-smokers(p=0,241) but the median value of smokers(0,24 ml/min) were lower than non-smokers(0,3 ml/min). Based on the value of CI(p=0,048) and OHIS(p=0,014), the physical examination of oral health of smokers were significantly worse. Conclusion: In this study smoking altered oral and dental health but did not altered salivary flow rate.


(8)

viii

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 2

1.3.Hipotesis ... 3

1.4.Tujuan ... 3

1.5.Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1.Landasan Teori ... 4

2.1.1.Saliva ... 4

2.1.1.1.Pengertian Saliva ... 4

2.1.1.2.Kelenjar Saliva ... 4

2.1.1.3.Kandungan Saliva ... 7

2.1.1.4.Fungsi Saliva ... 9

2.1.1.5.Regulasi Saliva ... 10

2.1.1.6.Produksi dan Sekresi Saliva ... 12

2.1.1.7.Laju Aliran Saliva ... 14

2.1.1.8.Faktor yang Mempengaruhi Sekresi Saliva ... 14

2.1.1.9.Metode Pengambilan Saliva ... 15

2.1.2.Rokok ... 17

2.1.2.1.Pengertian Rokok ... 17

2.1.2.2.Kandungan Rokok ... 18

2.1.2.3.Pengertian dan Klasifikasi Perokok ... 20

2.1.2.4.Tahapan Merokok ... 22

2.1.3.Kesehatan Gigi dan Mulut ... 22

2.1.4.Efek Rokok terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut ... 24

2.1.5.Efek Rokok terhadap Saliva ... 25

2.2.Kerangka Teori... 27

2.3.Kerangka Konsep ... 28


(9)

ix

3.3.Populasi dan Sampel ... 32

3.3.1.Kriteria Inklusi Umum ... 32

3.3.2.Kriteria Eksklusi Umum ... 32

3.3.3.Besar Sampel ... 33

3.4.Alat dan Bahan ... 34

3.5.Cara kerja Penelitian ... 34

3.6.Identifikasi Variabel ... 36

3.7.Managemen dan Analisis Data... 36

3.8.Alur Penelitian ... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 38

4.1.Hasil Penelitian ... 38

4.1.1.Karakteristik Subjek Penelitian ... 38

4.1.2.Karakteristik Perokok Subjek Penelitian ... 39

4.1.3.Status Kesehatan Gigi dan Mulut ... 40

4.1.4.Laju Aliran Saliva ... 41

4.2.Pembahasan ... 41

4.3.Aspek Keislaman ... 44

4.3.Keterbatasan Penelitian ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1.Kesimpulan ... 46

5.2.Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(10)

x

Gambar 2.1. Kelenjar parotis, submandibularis, dan sublingualis ... 5

Gambar 2.2.Struktur kelenjar parotis ... 6

Gambar 2.3.Struktur kelenjar submandibularis dan sublingualis ... 7

Gambar 2.4.Penghantaran impuls refleks sekresi saliva ... 11

Gambar 2.5.Sekresi air dan protein pada sel asinar kelenjar saliva ... 12

Gambar 3.1.Alat dan bahan penelitian ... 34

Gambar 3.2.Pengisian informed consent dan kuistioner ... 35

Gambar 3.3.Pemeriksaan gigi dan mulut ... 35


(11)

xi

Tabel 2.1.Kandungan saliva terstimulasi dan tidak terstimulasi ... 8

Tabel 2.2.Kandungan bahan kimia dalam tembakau ... 18

Tabel 2.3.Komponen major partikel asap rokok mainstream non-filter ... 19

Tabel 4.1.Karakteristik subjek penelitian... 38

Tabel 4.2.Karakteristik Perokok ... 39


(12)

xii Lampiran

1. Lembar informed consent dan kuistioner responden ... 55 2. Riwayat penulis ... 65


(13)

xiii CAMP : Adenosine Cyclic Monophosphat

CI : Calculus Index

DI : Debris Index

GATS : Global Adult Tobacco Survey

GI : Gingival Index

IMT : Indeks Masa tubuh

OHIS : Oral Higiene Index Simplified

TPM : Total Particulate Matter

TSNA : Tobacco Spesific Nitrosamine


(14)

1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Rokok merupakan suatu produk yang dikonsumsi dan dapat menjadi masalah kesehatan pada masyarakat. Jumlah perokok di seluruh dunia meningkat di setiap tahunnya seiring dengan peningkatan pertumbuhan penduduk. Fenomena merokok di tempat umum kerap kali dijumpai di Indonesia, menunjukkan bahwa kebiasaan tersebut seakan membudaya di kalangan penduduk Indonesia dari berbagai kelompok usia, profesi, ataupun jenis kelamin. GATS (Global Adult Tobacco Survey) pada tahun 2011 menyebutkan bahwa di Indonesia 67% penduduk laki-laki dan 2,7% perempuan merupakan konsumen rokok, sedangkan berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 didapatkan 64% laki-laki dan 2,1% perempuan dengan usia lebih dari 15 tahun mengkonsumsi rokok.1,2,3

Rokok dapat mengandung kurang lebih 5000 molekul kimia yang sebagian besarnya memiliki efek toksik dan memicu beberapa penyakit pada tubuh manusia. Komponen yang terdapat dalam batang rokok antara lain adalah tar, nikotin, propylene glycol, kadmium, nitrosamin, hydrogene cyanide, karbon monoksida, nitrit oksida, ester, nitrofenol, dan yang lainnya. Beberapa zat kimia tersebut bersifat pyrolisis, karsinogen, dan radikal bebas yang dapat mempengaruhi keseimbangan fisiologis tubuh dan menimbulkan penyakit atau kanker pada beberapa sistem tubuh seperti sistem respirasi, cardiovaskular ataupun gastrointestinal yang dapat membawa kepada kematian. 4,5

Terpajannya rongga mulut oleh komponen-komponen rokok secara tidak langsung dapat merubah keseimbangan dan kebersihan rongga mulut seperti pada saliva yang berfungsi sebagai salah satu pertahanan di rongga mulut, sehingga pada akhirnya akan berdampak pada penurunan kesehatan gigi dan mulut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Akaji EA et al. di tahun 2010 pada 230 orang penghuni penjara di Nigeria menunjukkan kesehatan rongga mulut perokok lebih buruk dari pada non-perokok.6

Saliva yang diproduksi oleh kelenjar parotis, submandibula dan sublingualis mengandung 99,4% air dan 0,6% elektrolit dan protein.


(15)

Kandungan protein pada 0,6% saliva antara lain terdiri dari amilase, lisozim, dan mukus. Bentuk saliva yang berupa cairan dan adanya kandungan mukus di dalamnya menjadikan saliva sebagai pelicin mukosa, pencampur makanan untuk mempermudah proses menelan serta pembersih sisa-sisa makanan, benda asing ataupun sel-sel yang telah rusak dengan bantuan alirannya yang cenderung konstan pada keadaan normal. Enzim lisozim yang terdapat pada saliva membantu untuk membunuh bakteri yang masuk ke dalam rongga mulut, sedangkan enzim amilase dapat mencerna karbohidrat dengan menguraikannya menjadi partikel yang lebih kecil. Jadi, seluruh komponen saliva dan laju aliran saliva memiliki pengaruh pada keseimbangan fungsi gigi dan rongga mulut.7

Konsumsi rokok dalam kurun waktu yang lama dapat menurunkan laju aliran saliva yang dibuktikan dalam penelitian Rad et al. di Iran pada tahun 2010 bahwa terdapat penurunan laju aliran saliva yang signifikan pada perokok dibandingkan dengan non-perokok. Berbeda dengan beberapa yang penelitian menyebutkan bahwa merokok tidak mempengaruhi laju aliran saliva seperti laporan dari Pangestu et al., Khan et al., dan Hidayani et al. pada penelitiannya, sehingga masih terdapat kontroversi mengenai pengaruh rokok terhadap laju aliran saliva.8,9,10,11,12

Jumlah perokok yang semakin bertambah setiap tahunnya dengan kandungan toksin yang tetap terdapat di dalam rokok tersebut dapat menyebabkan penyakit-penyakit sistemik termasuk rongga mulut sebagai paparan utama asap rokok, sedangkan masih terdapat perbedaan pendapat mengenai pengaruh rokok terhadap laju aliran saliva yang berfungsi sebagai salah satu sistem pertahanan rongga mulut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat ada tidaknya peran rokok terhadap laju aliran saliva yang dapat mengganggu keseimbangan fungsi normal rongga mulut dan menyebabkan penyakit-penyakit rongga mulut nantinya.

1.2Rumusan Masalah


(16)

1.3Hipotesis

Rokok dapat mempengaruhi laju aliran saliva

1.4Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui peran rokok terhadap saliva 1.4.2 Tujuan Khusus

Mengetahui perbedaan laju aliran saliva pada laki-laki perokok dan non-perokok

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat untuk : 1.5.1 Bagi peneliti

- Merupakan syarat kelulusan preklinik Program Studi Pendidikan Dokter.

- Menambah pengetahuan mengenai kadar laju aliran saliva pada laki-laki perokok dan non-perokok.

1.5.2 Bagi masyarakat

- Menambah pengetahuan mengenai dampak merokok terhadap kadar laju aliran salivapada laki-laki perokok dan non-perokok - Menambah pengetahuan mengenai dampak merokok terhadap

kesehatan rongga mulut dan gigi.

1.5.3 Bagi civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

- Sumber pengetahuan dan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian yang berkaitan dengan ini.


(17)

4 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori 2.1.1. Saliva

2.1.1.1. Pengertian Saliva

Saliva merupakan cairan pada rongga mulut yang disekresikan oleh beberapa kelenjar rongga mulut dengan kandungan terbesarnya adalah air dan kandungan lainnya adalah elektrolit dan protein. Saliva diproduksi terus menerus oleh tiga pasang kelenjar saliva dan disekresikan melalui duktus-duktus pendek. Dalam saliva terkandung 99,5% H20 dan 0,5% nya adalah elektrolit dan protein. Kelenjar-kelenjar saliva tersebut mensekresikan sekitar 1000 mililiter per harinya. Kadar pH saliva berkisar 6,5-6,9 sehingga memiliki fungsi sebagai pendapar.7,13,14

Komponen yang terkandung di dalam saliva masing-masing memiliki fungsi tersendiri. Struktur saliva yang berupa cairan dapat membersihkan sisa sisa makanan yang terdapat dalam rongga mulut. Protein dan enzim-enzim dalam saliva membantu proses pencernaan makanan dan presepsi rasa pada makanan. Produksi saliva diatur oleh saraf otonom dan stimulasi sekresi nya dipengaruhi oleh faktor kimiawi ataupun mekanik.7,13

2.1.1.2. Kelenjar Saliva

Kelenjar saliva merupakan kelenjar-kelenjar yang memproduksi dan mensekresikan saliva melalui duktus-duktus kecil ke dalam rongga mulut. Saliva yang terdapat di dalam rongga mulut diproduksi oleh tiga kelenjar saliva utama yang berpasangan yaitu kelenjar parotis, kelenjar submandibularis, kelenjar sublingualis dan kelenjar-kelenjar minor seperti kelenjar bukalis, labial, palatal dan lingual yang terdapat pada mukosa dan submukosa bibir, pipi, palatum dan lidah. 14,15

Kelenjar saliva tersusun dari beberapa sel yaitu sel serosa, sel mukosa dan sel mioepitel. Sel serosa dan sel sekretorik sekelilingnya


(18)

disatukan oleh suatu tautan yang biasa disebut dengan sel asinus serosa. Sel ini utamanya menghasilkan protein terpolarisasi, protein-protein lainnya dan enzim pencernaan seperti enzim ptialin. Sedangkan sel mukosa lebih banyak menghasilkan mukus yang di dalamnya terkandung musin glikoprotein hidrofilik yang dapat membantu membahasi atau menjadi pelumas mukosa rongga mulut. Selanjutnya sel mioepitel berfungsi untuk membatasi pelebaran bagian distal saat saliva memenuhi lumen dan kontraksi sel mioepitel dapat mempercepat sekresi produk kelenjar.13,14,15

Gambar 2.1 Kelenjar parotis, submandibularis dan sublingualis Sumber: Tortora, 2011

Kelenjar-kelenjar utama saliva merupakan penghasil saliva terbesar, antara lain adalah:

1. Kelenjar Parotis

Kelenjar parotis terletak di dekat telinga yaitu di bagian pipi sebelah anterior dan inferior dari telinga, tepatnya diantara kulit dan otot masseter. Pada kelenjar parotis ini hanya terdapat sel-sel asinar serosa yang lebih dominan menghasilkan enzim amilase dan protein kaya akan prolin. Prolin ini bersifat antimikroba dan membantu dalam pengikatan Ca+ sehingga dapat mempertahankan permukaan email gigi. 14,15,16


(19)

Gambar 2.2. Struktur kelenjar parotis Sumber: Whelton H, 2004

2. Kelenjar Submandibularis

Berbeda dengan kelenjar parotis, kelenjar submandibularis terdiri dari kombinasi sel asinar serosa dan sel mukosa sehingga akan didapatkan kombinasi produksi dari kedua sel tersebut yaitu enzim amilase dan musin yang mengandung glikoprotein. Kelenjar ini terletak pada bagian bawah rongga mulut bagian medial dan inferior dari mandibula. Produksi kelenjar submandibularis disalurkan menuju rongga mulut melalui duktus yang memanjang di mukosa rongga mulut bagian bawah sebelah lateral dari frenulum lingualis dan bagian posterior dari gigi. 15,16

3. Kelenjar Sublingualis

Kelenjar sublingualis merupakan kelenjar yang terletak di bawah dari lidah, yaitu di rongga mulut bagian bawah letaknya lebih superrior dari kelenjar submandibularis. Sel-sel mukosa lebih dominan pada kelenjar ini, sehingga hasil sekresi nya merupakan musin dengan kandungan glikoprotein yang tinggi, fungsinya adalah menjadi lubrikan dan melumasi rongga mulut. Duktus sublingualis


(20)

yang terbuka akan menyalurkan hasil sekresi dari kelenjar sublingualis menuju rongga mulut melalui rongga mulut bagian bawah.15,16

Gambar 2.3. Struktur kelenjar submandibularis dan lingualis Sumber: Whelton H, 2004

2.1.1.3. Kandungan Saliva

Saliva mengandung 95% air dan 0,5% nya adalah elektrolit, protein, dan komponen-komponen lainnya seperti enzim-enzim pencernaan, immunoglobulin A, bakteriolisis enzim lisozim, glikoprotein, polipeptida, oligopeptida, dan elektrolit seperti K+, Na+, Cl-, HCO3-. Masing-masing komponen yang terkandung dalam saliva ini memiliki fungsi yang berbeda-beda sehingga akan didapatkan bahwa saliva memiliki fungsi yang banyak dan beragam.17,18,19


(21)

Tabel 2.1. Kandungan saliva tidak terstimulasi dan terstimulasi

Sumber: Edgar M, 2004

Komposisi saliva berhubungan dengan kecepatan sekresi saliva, pada kecepatan aliran yang rendah saliva lebih cenderung memiliki osmolaritas rendah yaitu dengan konsentrasi Na+ Cl- dan HCO3- yang rendah dan kadar K+ tinggi. Sedangkan pada kecepatan aliran yang tinggi, sekresi saliva mengandung komposisi hampir sama dengan plasma yaitu Na+ dan Cl- dengan kadar tinggi dan kadar HCO3- dan K+ rendah, perbandingan kandungan saliva pada saliva tidak terstimulasi dan terstimulasi tercantumkan pada Gambar 2.2. Variasi komposisi saliva ini mempengaruhi kadar pH saliva yang berkisar pada 6,5 – 7 pada kondisi normal. Pada penelitian Indriana T et al. menyebutkan bahwa pH berbanding lurus dengan laju aliran saliva, semakin tinggi laju aliran saliva maka kadar pH juga semakin meningkat.13,21,22,23


(22)

2.1.1.4. Fungsi Saliva

Peran dan fungsi cairan saliva yang berada dalam rongga mulut ini berhubungan dengan komponen molekul penyusunnya. Glukosa, sodium, klorida, dan urea yang terkandung dalam saliva dengan konsentrasi rendah dapat memecah makanan yang masuk ke dalam mulut menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dan larut ke dalam cairan saliva sehingga akan merangsang reseptor taste bud yang berfungsi untuk mendeskripsikan rasa yang beragam.7,17

Kombinasi sekresi saliva yang diproduksi oleh kelenjar parotis, submandibularis, dan sublingualis berbentuk seromukosa yang tidak hanya mengandung enzim amilase namun juga terkandung musin dengan kadar glikoprotein yang tinggi yang akan menjaga viskositas saliva agar tidak berubah dan dapat melumasi rongga mulut agar tetap dalam keadaan lembab sehingga permukaan rongga mulut tetap terlindungi dari perlekatan bakteri-bakteri ataupun partikel-partikel benda asing yang masuk ke dalam mulut. Konsistensi saliva yang licin dengan kandungan terbesarnya air dan kental akibat adanya komponen-komponen tersebut berfungsi juga dalam melumasi makanan yang masuk, sehingga akan mempermudah proses menelan. 7,16,17

Tidak hanya proses pencernaan mekanik saja yang terjadi di dalam mulut, pencernaan kimiawi oleh enzim amilase yang terdapat dalam saliva juga terjadi di dalam rongga mulut. Ion klorida yang terkandung di dalam saliva akan mengaktivasi enzim amilase yang lebih dominan dihasilkan oleh sel-sel asinar serosa pada kelenjar parotis, sehingga dapat berfungsi untuk memecah karbohidrat menjadi polisakarida-polisakarida yang lebih sederhana.7,16,17

Fungsi lain dari saliva yaitu sebagai penetral atau pengontrol keseimbangan asam-basa dalam rongga mulut. Ion bikarbonat dan fosfat yang terdapat dalam kandungan saliva ini berperan dalam menetralkan keasaman makanan yang masuk ke dalam rongga mulut, sehingga kadar pH normal rongga mulut berkisar antara 6,35-6,85. Walaupun ion bikarbonat dan fosfat memiliki fungsi yang sama, namun masing-masing


(23)

menempati peran yang sedikit berbeda. Ion bikarbonat lebih dominan berperan untuk menetralkan sekresi saliva yang terstimulasi sedangkan ion fosfat pada sekresi saliva yang tidak terstimulasi.7,15,17

Faktor-faktor anti bakteri seperti Immunoglobulin A dan enzim lisozim yang terdapat dalam saliva juga melindungi rongga mulut dari infeksi mikroorganisme. Imunoglobulin A akan menghalangi perlekatan mikroorganisme ke dalam mukosa rongga mulut sehingga tidak akan terjadi penetrasi mikroorganisme yang menimbulkan terjadinya infeksi. Sedangkan enzim lisozim akan menghancurkan bakteri dengan cara melisiskan dinding bakteri yang masuk ke dalam rongga mulut. Melalui kedua mekanisme ini saliva memiliki fungsi sebagai antibakteri di dalam rongga mulut.7,12

Struktur saliva yang berbentuk cairan dan produksi nya yang terus menerus oleh kelenjar-kelenjar utama saliva akan membentuk suatu aliran saliva yang konstan dan berfungsi dalam membersihkan sisa-sisa makanan ataupun mikroorganisme yang masuk ke dalam mulut. Oleh sebab itu, aliran saliva memegang peranan penting dalam kebersihan dan kesehatan gigi dan mulut.7,15,16,17

2.1.1.5. Regulasi Saliva

Mekanisme sekresi saliva yang terdapat di dalam rongga mulut didominasi oleh pengaturan saraf otonom yang didahului dengan stimulasi pada sensory reseptor melalui kemoreseptor pada taste bud, mekanoreseptor pada ligamen periodontal dan jaringan mukosa ginggival, gustatory reseptor, nosiseptor, dan olfactory reseptor pada lamina kribiformis. Rangsangan pada sensory reseptor akan diteruskan ke serabut aferen yang dikontrol oleh nervus V, VII, IX, dan X menuju nukleus salivatory sebagai pusat sekresi saliva di medula oblongata. Selain itu, impuls pada nukleus salivatory dapat dihambat atau diaktivasi oleh pengaturan sistem pusat pada otak yang berasal dari rangsangan visual, suara, ataupun pikiran dan perasaan. Impuls yang sampai pada


(24)

nukleus salivatory akan mengaktifkan serabut eferen yang terdiri dari serabut saraf parasimpatis dan simpatis. 16,18, 19

Pada masing-masing kelenjar saliva diinervasi oleh kedua saraf otonom yaitu saraf simpatis dan parasimpatis. Inervasi oleh saraf simpatis pada kelenjar parotis lebih rendah daripada pada kelenjar submandibula, dan pada kelenjar labial (minor) inervasi simpatis jauh lebih rendah. Oleh karena itu, pada keadaan parasimpatis volume saliva yang disekresikan lebih banyak dari pada keadaan simpatis. 18,20,21

Gambar 2.4. Penghantaran impuls refleks sekresi saliva Sumber: Smith, 2004

Impuls pada nukleus salivatory yang mengaktifkan refleks sekresi parasimpatis berjalan dari saraf fasialis menuju submandibular ganglion melalui saraf corda timpani dan saraf lingual. Selain itu refleks sekresi saraf parasimpatis juga berjalan dari saraf glossofaringeus sampai pada otic ganglion yang akan dilanjutkan oleh saraf aurikulotemporal menuju kelenjar parotis. Sedangkan refleks sekresi simpatis yang teraktivasi akan meneruskan impuls menuju serabut saraf preganglion pada paravertebral trunkus simpatikus kemudian sampai pada serabut postganglion di ganglion servikalis superior yang selanjutnya mencapai kelenjar melalui arteri. 18,22,23,24

Aktivasi simpatis yang terjadi pada sekresi saliva melepaskan neurotransmitter noreadrenaline yang akan diterima oleh reseptor α


(25)

-adrenergik dan β-adrenergik pada sel asinar kelenjar. Refleks sekresi parasimpatis selain melepaskan neurotransmiter asetilkolin yang akan diterima oleh resptor muskarinik kelenjar, juga dilepaskan transmitter yang lain seperti vasoactive intestinal peptide dan akan ditangkap oleh reseptor vasoactive intestinal peptide sendiri. Stimulasi dari reseptor adrenergik, reseptor muskarinik maupun reseptor vasoactive intestinal peptide akan mengaktivasi adenosine cyclic monophosphate (cAMP) dan memicu mobilisasi Ca sehingga produksi saliva oleh kelenjar terbentuk dan disekresikan menuju rongga mulut.18

2.1.1.6. Produksi dan Sekresi Saliva

Produksi saliva oleh kelenjar parotis, submandibularis, sublingualis dan beberapa kelenjar saliva minor menghasilkan dua tipe sekresi saliva yaitu sekresi serosa yang mengandung ptialin dan sekresi mukosa yang mengandung musin. Sel-sel pada kelenjar tersebut memproduksi kandungan cairan saliva dan beberapa protein, selain itu sel duktus juga menghasilkan protein lain dalam jumlah kecil. Saliva terus menerus diproduksi sepanjang hari, normalnya sekresi saliva dalam sehari kurang lebih sekitar 1-2 liter.18

Saliva diproduksi oleh sel-sel asinar sekretorius pada masing-masing lobulus kelenjar yang kemudian disalurkan dan dimodifikasi kembali sepanjang duktus interkalaris menuju ke duktus intralobaris dan selanjutnya diekskresikan oleh duktus eksretorius utama menuju rongga mulut. Sekresi saliva terdiri dari sekresi primer yang terjadi di sel asinar dan sekresi sekunder di sepanjang duktus.13,14,18

Pelepasan neurotransmiter oleh saraf simpatis atau parasimatis memicu pelepasan cAMP dan meningkatkan mobilisasi Ca ke dalam sel. Di dalam sel asinar proses sekresi saliva terjadi melalui pembukaan kanal ion dan transport pada bagian apical membran sel asinar yang menuju ke arah lumen dan basolateral membran ke arah intersisial. Peningkatan Ca dalam sel membuka kanal K+ dan Cl-, dan membuat


(26)

perpindahan Na+ yang diikuti oleh air menuju lumen. Produk sekresi saliva primer yang dihasilkan oleh sel asinar pada awalnya bersifat hipotonis yang hampir sama dengan plasma. Selanjutnya sel-sel duktus yang dilewati saliva akan mereabsorbsi Na+ dan Cl- serta mensekresikan K+ dan HCO3- ke dalam lumen. Sehingga saat mencapai rongga mulut saliva yang disekresikan akan memiliki konsentrasi K+ dan HCO3- yang tinggi dan Na+ dan Cl- rendah.13,18,19,21,22

Proses sekresi sekunder yang terjadi di lumen duktus tersebut mempengaruhi konsentrasi saliva yang disekresikan ke dalam rongga mulut. Pada keadaan sekresi saliva lambat, rearbsobsi Na+ yang diikuti oleh sekresi K+ dan HCO3- terjadi sempurna sehingga saliva yang mencapai rongga mulut bersifat hipotonis dengan kandungan Na yang lebih rendah serta kandungan K+ dan HCO3- yang lebih tinggi. Berlaku sebaliknya, saat kecepatan sekresi saliva meningkat maka proses sekresi sekunder yang terjadi di sepanjang duktus tidak terjadi sempurna, sehingga sekresi saliva yang dihasilkan lebih bersifat isotonis yaitu konsentrasi Na+ yang lebih tinggi dan kandungan K+ serta HCO3- yang rendah.18,22,24,25

Gambar 2.5. Sekresi air dan protein pada sel asinar kelenjar saliva Sumber: Ekstrom J, 201


(27)

2.1.1.7. Laju Aliran Saliva

Saliva diproduksi normalnya 1-1,5 liter/hari, yang disekresikan terus menerus dengan kecepatan tertentu. Laju aliran saliva merupakan volume saliva yang diproduksi dan disekresikan oleh kelenjar saliva menuju rongga mulut dalam satu menit, dapat pula disebut sebagai laju aliran saliva. Normalnya laju aliran saliva berkisar antara 0,3 ml/menit sampai dengan 0,4 ml/menit. Produksi saliva tidak terstimulasi yang kurang dari 0,1 ml/menit disebut sebagai hiposalivasi, sedangkan laju aliran saliva yang distimulasi memiliki nilai normal 1-2 ml/menit dan disebut hiposaliva apabila nilai laju aliran saliva kurang dari 0,7 ml/menit. 26,27

2.1.1.8.Faktor yang Mempengaruhi Sekresi Saliva

Produksi dan sekresi saliva dipengaruhi oleh beberapa faktor pada beberapa bagian dan komponen, antara lain:

1) Pada reseptor

- Stimulus pada mekanoreseptor dan kemoreseptor berupa makanan merangsang serabut saraf menyalurkan impuls pada kelenjar untuk memproduksi saliva.18

- Iritasi pada lambung dan saluran pencernaan lainnya serta rasa mual mengaktivasi reseptor gustatorius sehingga akan meningkatkan rangsangan pembentukan saliva.18

- Bau masakan yang diterima oleh reseptor olfaktorius meningkatkan rangsangan produksi saliva.18

2) Jalur saraf

- Gangguan pada nervus yang termasuk dalam serabut aferen pembawa impuls pada pembentukan saliva dapat menghambat produksi ataupun sekresi saliva, seperti pada gangguang serebrovaskular. 18,28

- Faktor-faktor yang mengaktivasi saraf simpatis ataupun parasimpatis seperti aktifitas, suhu, dan obat-obatan yang bekerja


(28)

pada reseptor adrenergik ataupun kolinergik. Obat-obatan seperti obat antidepresan, antipsikotik, antihipertensi menginhibisi pada reseptor adrenergik atau kolinergik sehingga menurunkan produksi saliva.17,18,28

3) Kelenjar

- Pada usia lanjut jumlah produksi saliva cenderung mengalami penurunan disebabkan karena sel asinar pada usia lanjut akan mengalami penyempitan, sehingga fungsi normal pembentukan saliva juga akan menurun. 17,18,29

- Berat badan mempengaruhi ukuran kelenjar saliva, sehingga pada orang dengan berat badan yang besar umumnya didapatkan ukuran kelenjar nya lebih besar dibandingkan dengan yang memiliki berat badan rendah. 17

- Radioterapi pada tumor kepala dan leher juga menyebabkan sel asinar kelenjar menyempit, sehingga saliva yang diproduksi akan mengalami penurunan.17,30

4) Komponen penyusun produksi saliva

- Kadar air dalam tubuh yang rendah dapat menyebabkan produksi saliva yang rendah.17

- Kadar gula yang tinggi pada pasien diabetes melitus dapat menyebabkan peningkatan diuresis, sehingga akan berpengaruh pada produksi saliva. Oleh karena itu, sering kali pasien diabetes mellitus mengalami keluhan mulut kering.17,31

- Produksi saliva bergantung juga pada aliran darah yang menyuplai kelenjar saliva. Penurunan aliran darah dengan penyebab apapun akan menyebabkan penurunan saliva juga.18,24

2.1.1.9. Metode Pengambilan Saliva

Pengumpulan saliva terdiri dari dua metode besar yaitu pengumpulan saliva yang tidak terstimulasi dan pengumpulan saliva


(29)

yang terstimulasi. Metode pengumpulan saliva yang tidak terstimulasi dilakukan dengan melakukan pengambilan sampel saliva langsung dan tanpa stimulasi dari luar. Berbeda dengan metode pengumpulan saliva yang terstimulasi, pada pengambilan sampel saliva metode terstimulasi dilakukan stimulasi berupa rangsangan mekanoreseptor yaitu diberikan parafin ke dalam rongga mulut.32,33,34

Pengumpulan sampel dengan metode saliva terstimulasi dilakukan dengan memberikan parafin ke dalam rongga mulut dan memerintahkan untuk mengunyah parafin tersebut. Proses mengunyah parafin dilakukan terus menerus dalam jangka waktu tertentu tanpa melakukan proses menelan. Setiap satu menit, saliva yang terkumpul dalam rongga mulut diperintahkan untuk dikeluarkan dengan tetap melakukan pengunyahan parafin tersebut. Begitupun dengan menit menit selanjutnya sampai pada waktu yang telah ditentukan. Metode pengumpulan saliva yang tidak terstimulasi biasanya digunakan untuk menilai saliva secara umum dan komponen-komponen yang terkandung di dalamnya.32,33,34

Terdapat empat jenis cara pengumpulan sampel saliva yang biasa digunakan dalam penelitian yaitu spitting, passive drool, arbsorbent, dan

suction:34 1. Metode Spitting

Pada metode ini, saliva dikumpulkan dalam rongga mulut dalam keadaan mulut tertutup dan dikeluarkan setiap satu menit selama lima sampai lima belas menit. Pengumpulan saliva dalam rongga mulut dapat mempengaruhi aliran saliva, sehingga mempengaruhi penilaian laju aliran saliva.32,33

2. Metode Arbsorbent

Saliva dikumpulkan dengan cara meletakkan penyerap seperti swab,cotton, atau sponge dalam mulut selama satu sampai lima menit. Metode ini dapat memicu peningkatan aliran saliva dan perubahan beberapa komponen sehingga untuk pengukuran laju aliran saliva metode ini tidak akurat, sehingga dalam


(30)

pelaksanaannya penyerap diletakkan hanya dalam waktu dua menit dalam mulut untuk menghindari adanya perubahan konsentrasi komponen akibat aliran saliva yang terlalu tinggi.32,34

3. Passive Drool

Dalam metode passive drool saliva dikumpulkan secara pasif dalam tabung ukur dengan tanpa adanya rangsangan mekanoreseptor selama beberapa menit. Namun, metode ini seringkali sulit diterima oleh partisipan penelitian terutama apabila pengambilan sampel dilakukan di luar lingkungan rumah.33,34

4. Suction

Pengumpulan saliva menggunakan metode suction

dilakukan dengan cara mengaspirasi saliva yang diproduksi pada kelenjar yang ingin diteliti. Aspirasi saliva dapat dilakukan dengan menggunakan syringe, micropipet, saliva ejector, atau dengan gentle suction. 33,34

5. Arbsorbent (swab)

Saliva dikumpulkan dengan meletakkan swab, cotton, atau

sponge gauze pada orificium kelenjar saliva, kemudian dilakukan sentrifugasi pada sampel saliva. Umumnya metode ini digunakan untuk memeriksa komponen-komponen tertentu pada saliva. 33,34

2.1.2. Rokok

2.1.2.1. Pengertian Rokok

Pemerintah Republik Indonesia dalam Peraturan pemerintah RI No 109 tahun 2012 mendefinisikan rokok sebagai salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk dibakar, dihisap, dan atau dihirup asapnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotina tabacum, Nicotina rustica, dan spesies lainnya atau sintesisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dan atau dengan bahan tambahan. Sedangkan menurut Kamus Besar bahasa Indonesia, rokok dapat diartikan sebagai gulungan kertas kira-kira sebesar kelingking yang dibungkus daun nipah atau kertas. Selain itu, Rokok juga dimasukkan ke dalam golongan zat adiktif yang telah ditetapkan dalam


(31)

peraturan pemerintah RI No 19 tahun 2003 dan memiliki efek-efek berbahaya bagi tubuh manusia.35,36

2.1.2.2. Kandungan Rokok

Analisis kandungan rokok terus dilakukan peneliti-peneliti, pada tahun 2006 telah disebutkan terdapat 2.500 bahan kimia yang terkandung dalam tembakau yang siap diolah menjadi rokok. Sekitar 1.100 komponen dapat diturunkan langsung tanpa perubahan menjadi asap dan sisanya yaitu 1.400 komponen akan terpecah menjadi beberapa komponen lagi dan akan saling bereaksi sehingga akan terbentuk kurang lebih 4.800 komponen baru dalam asap rokok tersebut. Dari Ribuan bahan kimia dalam rokok, 69 komponennya merupakan karsinogenik.37,38,39

Tabel 2.2. Kandungan bahan kimia dalam tembakau

Sumber: Tirtosastro S, 2010

Asap rokok yang terbentuk terdiri dari dua jenis yaitu mainstream smoke (asap rokok yang dihirup perokok) dan sidestream smoke (asap rokok yang tidak dihirup perokok). Perbedaan pada mainstream ataupun


(32)

oksigen yang terbentuk dan derajat dilusi dengan udara. Asap

mainstream cenderung memiliki suhu yang lebih tinggi 800-900 derajat celcius, dengan pH yang lebih rendah 6,0-6,7 sehingga dapat mempengaruhi keasaman rongga mulut dan kandungan oksigen yang lebih tinggi kurang lebih 16%, berkaitan dengan pembentukan radikal bebas pada sel yang terpapar serta lebih sulit terdilusi dengan udara. Berbeda dengan asap sidestream yang memiliki temperatur lebih rendah 600 derajat celcius, dengan pH yang lebih tinggi 6,7-7,5 dan komponen oksigen yang terbentuk lebih rendah dibandingkan mainstream yaitu 2%. Melihat dari kecenderungan asap sidestream untuk terdilusi dengan udara membuat komponen-komponen yang terkandung pada asap tersebut akan memiliki ukuran partikel yang lebih kecil 0,01-1,0 µm dibandingkan dengan asap mainstream 0,1-1,0 µm. Pengaruhnya akan terjadi pada variasi tempat-tempat pengendapan partikel asap rokok tersebut dalam tubuh.38

Tabel 2.3. Komponen major partikel asap rokok mainstream non-filter


(33)

Kandungan bahan kimia dalam asap rokok dapat dianalisis menggunakan smoking machine dengan filter Cambridge dan dapat dibagi menjadi dua kategori besar yaitu asap rokok yang tertangkap filter dan asap rokok yang tidak tertangkap filter. Dalam asap rokok yang tertangkap filter terdapat TPM (total particulate matter) dengan komponen air, nikotin, dan tar. Tar sendiri adalah seluruh komponen TPM dikurangi komponen air dan nikotin. Sedangkan komponen asap rokok yang tidak tertangkap filter juga mengandung berbagai senyawa kimia diantaranya adalah B-a-P (benzo-a-pyrine) dan TSNA (tobacco spesific nitrosamine) yang bersifat karsinogenik yaitu memicu mutasi gen sehingga dapat menyebabkan perubahan fungsi normal sel.37,38

2.1.2.3. Pengertian Perokok dan Klasifikasi Perokok

Perilaku menghisap rokok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sebagai merokok, sedangkan orang yang menghisap rokok dinamakan perokok. Merokok juga didefinisikan sebagai menghirup hasil tembakau yang dibakar dalam bentuk rokok atau pipa. Sedangkan menurut WHO perokok adalah seseorang yang saat dilakukan survey sedang merokok atau menghisap segala jenis produk tembakau baik setiap hari ataupun kadang-kadang, perokok ini juga dikelompokkan menjadi beberapa kategori yaitu:35,39,40

a. Daily smoker (Perokok harian) adalah seseorang yang mengkonsumsi segala jenis produk dari tembakau, paling tidak satu kali dalam sehari. Seseorang yang setiap harinya setidak nya mengkonsumsi rokok sekali dan berhenti merokok hanya pada saat bulan puasa juga masih dikategorikan ke dalam perokok harian. 39,40

b. Occasional smoker (Perokok sesekali) adalah seseorang yang tidak setiap hari mengkonsumsi produk tembakau. Perokok sesekali ini dapat digolongkan lagi menjadi reducer, continuing occasional smoker, dan experimenter. 39,40


(34)

Reducer merupakan seseorang yang pernah merokok setiap hari namun sekarang mengurangi konsumsi tembakau nya dan tidak merokok setiap hari lagi. 39,40

Continuing occasional smoker yaitu seseorang yang telah merokok 100 rokok atau lebih namun tidak mengkonsumsi rokok setiap hari baik dulu ataupun sekarang.39,40

Experimenter adalah seseorang yang merokok kurang dari 100 batang per hari dan saat ini merokok sesekali.39,40

Seseorang disebut sebagai non perokok yaitu apabila saat dilakukan survey sedang tidak merokok. Non perokok dapat dikategorikan antara lain sebagai:

a. Ex-smoker adalah seseorang yang dulu mengkonsumsi produk

tembakau setiap hari (perokok harian), namun sekarang sudah tidak mengkonsumsi rokok lagi. 39,40

b. Never smoker merupakan seseorang yang tidak pernah mengkonsumsi

produk tembakau sama sekali, atau tidak pernah menjadi perokok harian yang mengkonsumsi rokok setiap hari, atau pernah mengkonsumsi rokok kurang dari 100 buah dalam hidupnya.35,39,40 c. An ex-occasional smoker adalah seseorang yang dulunya menjadi

perokok sesekali atau mengkonsumsi rokok namun tidak setiap hari, atau seseorang yang telah mengkonsumsi rokok 100 buah atau lebih dalam hidupnya.39,40

Selain itu, perokok juga dapat dikategorikan sesuai dengan riwayat lama nya merokok dan jumlah rata-rata batang rokok yang dikonsumsi setiap harinya. Pengelompokan perokok Indeks Brinkman dilakukan dengan cara mengalikan jumlah rata-rata batang rokok yang dikonsumsi setiap harinya qdengan riwayat lamanya merokok dalam tahun, sehingga dapat dikategorikan menjadi berikut:41

 Perokok ringan memiliki Indeks Brinkman 0-199  Perokok sedang memiliki Indeks Brinkman 200-600  Perokok berat memiliki Indeks Brinkman lebih dari 600


(35)

2.1.2.4. Tahapan Perokok

Menurut Leventhal dan Clearly untuk menjadi seorang perokok ada beberapa tahapan yang dapat dilalui dalam waktu satu tahun atau lebih, yaitu sebagai berikut:40,42

a. Tahap preparation

Tahap ini merupakan tahapan dimana seseorang yang akan merokok menyakinkan diri untuk menjadi perokok dan meyakini manfaat-manfaat yang akan diberikan oleh rokok. 40,42

b. Tahap initiation

Pada tahap ini seseorang tersebut mulai mencoba untuk mengkonsumsi rokok. 40,42

c. Tahap become smoker

Tahapan dimana konsumsi rokok mulai ditingkatkan secara bertahap di berbagai situasi. 40,42

d. Tahap maintenance of smoking

Pada tahap ini, perokok tersebut sudah mulai menjadikan merokok sebagai rutinitas yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesenangan atau menghilangkan kecemasan. 40,42

2.1.3. Kesehatan dan Kebersihan Gigi dan Mulut

Status kesehatan dan kebersihan gigi dan mulut dapat dilihat dengan menggunakan beberapa indeks penilaian diantaranya adalah OHIS (Oral higiene index simplified) yang didapatkan dari pengukuran debris index, calculus index, dan gingival index. Debris index digunakan untuk melihat adanya debris atau sisa-sisa makanan yang ada pada permukaan gigi, sedangkan calculus index untuk melihat karang gigi pada permukaan gigi. Gingival index digunakan untuk menilai keadaan gusi seseorang dengan melihat kondisi warna, konsistensi dan kecenderungan gusi berdarah. Dari akumulasi nilai calculus index dan debris index didapatkan nilai OHIS yang dapat menginterpretasikan status kebersihan gigi dan mulut seseorang. Hasil nilai OHIS 0-1,2 menunjukkan bahwa tingkat kebersihan gigi dan mulut baik, nilai OHIS 1,3-3,0 menandakan tingkat


(36)

kebersihan gigi dan mulut sedang, sedangkan nilai 3,1-6,0 diinterpretasikan bahwa tingkat kebersihan gigi dan mulut buruk.43,44

Pemeriksaan DI (Debris Index) bertujuan untuk melihat adanya sisa makanan/debris yang menempel pada permukaan gigi, dengan kriteria penilaian debris sebagai berikut: 43,44

- 0 : tidak ada debris/sisa makanan yang menempel pada gigi. - 1: debris lunak menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi. - 2 : debris lunak menutupi lebih dari 1/3 permukaan, tetapi tidak

lebih dari 2/3 permukaan gigi.

- 3 : debris lunak menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi.

Nilai DI skor diperoleh dari penjumlahan hasil penilaian debris dibagi dengan jumlah gigi yang diperiksa.

DI skor = Jumlah nilai debris Jumlah gigi yang diperiksa

Pemeriksaan CI (Calculus Index) bertujuan untuk melihat adanya kalkulus atau karang gigi yang terdapat pada permukaan gigi. Kriteria untuk penilaian CI yaitu:

- 0 : tidak terdapat kalkulus.

- 1 : kalkulus supragingival menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi.

- 2 : kalkulus supragingival lebih dari 1/3 tetapi tidak lebih dari 2/3permukaan gigi.

- 3 : kalkulus supragingival menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi. Nilai CI skor didapatkan dengan menjumlahkan hasil penilaian calculus dibagi dengan jumlah gigi yang diperiksa

CI skor = Jumlah nilai calculus Jumlah gigi yang diperiksa

Pemeriksaan GI (Gingival index) dinilai dengan keberadaan inflamasi gingival, dan perdarahan pada gigi yang diperiksa. Kriteria skor GI adalah:

- 0 : gingiva normal.

- 1 : inflamasi ringan pada gingiva yang ditandai perubahan warna, sedikit edema, palpasi tidak terjadi perdarahan.


(37)

- 2 : inflamasi gingiva sedang, warna merah, edema, berkilat, palpasi terjadi perdarahan.

- 3 : inflamasi gingiva parah, warna cenderung berdarah seperti merah menyolok, edema terjadi ulserasi, gingiva spontan.

Nilai GI skor didapatkan dengan menjumlahkan hasil penilaian gingival dibagi dengan jumlah gigi yang diperiksa

CI skor = Jumlah nilai gingival Jumlah gigi yang diperiksa

Selain dari debris index, calculus index, gingival index, dan OHIS, status kesehatan gigi dan mulut dapat juga dinilai dengan menggunakan skor DMFT (decayed, missing, and filled teeth) yaitu menilai banyaknya gigi yang berlubang, gigi yang hilang dan gigi yang telah ditambal. Oleh karena itu, penilaian menggunakan OHIS skor lebih baik digunakan untuk melihat tingkat kebersihan gigi mulut dan penilaian awal status kesehatan gigi dan mulut.44,45

2.1.4. Efek Rokok terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut

Lebih dari 4000 bahan kimia terkandung dalam batang rokok, dan lebih dari 300 diantaranya merupakan zat karsinogen yang dapat memicu pertumbuhan sel tidak normal. Dampak dari konsumsi rokok telah banyak dilaporkan dapat menyebabkan penyakit-penyakit sistemik dari kanker paru sampai penyakit jantung koroner, begitupun juga dengan rongga mulut yang tentunya tidak bebas dari efek rokok yang dikonsumsi. Pada laporan yang dibuat oleh Blom B et al. menunjukkan bahwa status kesehatan mulut perokok lebih rendah dibandingkan ex-perokok dan non-perokok. Selain itu juga, keluhan terhadap adanya gangguan kesehatan rongga mulut didapatkan lebih besar pada perokok dibandingkan non-perokok ataupun ex-perokok. Sehingga rokok dapat menjadi faktor resiko dari penyakit-penyakit yang terdapat di dalam rongga mulut seperti periodontis, gingivitis, caries atau bahkan kanker rongga mulut.45,46

Efek toksik rokok dapat menyebabkan penyakit rongga mulut dan gigi seperti Leukoplakia, Mucosal burn, Gingival recession, Edentulism,


(38)

Periapical abses, dan yang lainnya. Senyawa kimia rokok akan merusak jaringan lunak mukosa rongga mulut, sehingga pada perokok lebih banyak ditemukan penyakit-penyakit rongga mulut. Pada beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa efek rokok dapat menurunkan komponen-komponen dalam saliva yang dapat berpengaruh pada keberadaan spesies candida, yang artinya merokok memiliki peranan penting dalam peningkatan spesies Candida yang dapat menyebabkan candidiasis oral dengan manifestasi klinis berupa eritema, plak, angular selitis, dan sariawan. Walaupun efek rokok pada candidiasis masih dalam kontroversi, namun 83% dari penderita candidiasis merupakan perokok berat.6,8,45

Perubahan pada mukosa rongga mulut merupakan iritasi akibat efek dari toksik yang ditimbulkan rokok paling sering terjadi pada mukosa buccal disusul dasar rongga mulut. Perubahan atau lesi yang terjadi pada rongga mulut dapat menjadi lesi awal dan dapat berkembang menjadi keganasan rongga mulut.46

2.1.5. Efek Rokok terhadap Saliva

Efek rokok pada beberapa bagian tubuh tidak hanya akibat bahan kimia yang terkandung di dalam rokok itu sendiri, namun komponen panas dan senyawa-senyawa hasil pembakaran rokok tersebut pun dapat mempengaruhi fungsi normal sel. Rongga mulut menjadi organ tubuh yang pertama terpapar oleh rokok dan asapnya, sehingga rokok juga dapat mempengaruhi fungsi normal sel yang terdapat dalam rongga mulut termasuk saliva sebagai cairan yang terdapat di dalam rongga mulut.8,9,47

Pada penelitian Rad et al. menyebutkan bahwa merokok dapat menurunkan jumlah saliva yang berfungsi sebagai pelindung mukosa rongga mulut dan juga mengandung antibakteri. Kanwar et al. juga menyebutkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara laju aliran saliva perokok dan non-perokok, terlebih pada perokok yang telah mengkonsumsi rokok dalam waktu yang cukup lama. Konsumsi rokok yang lama juga dapat mengurangi sensitivitas dari reseptor rongga mulut,


(39)

sehingga refleks stimulasi sekresi saliva juga akan menurun dan akan berdampak pada penurunan laju sekresi saliva.8,9

Senyawa aldehid yang terdapat dalam rokok ataupun asap rokok dapat langsung merusak sel, dan juga dapat mempengaruhi pH pada saliva. Komponen rokok yang bersifat asam dapat merusak system buffer

bikarbonat dan menyebabkan kehilangan bikarbonat yang cukup banyak sehingga akan didapatkan derajat keasaman pada cairan saliva yang meningkat.8

Rokok yang mengandung radikal bebas juga dapat merusak protein-protein yang terdapat pada permukaan sel. Kolte et al. juga melaporkan bahwa kadar protein total, magnesium, dan fosfor saliva yang menurun pada perokok yang menderita periodontis atapun yang tidak menderita periodontis, jika dibandingkan dengan non-perokok. Namun, berbeda dengan laporan dari Laine et al. yang menyebutkan bahwa terdapat peningkatan protein total, sodium dan potasium akibat konsumsi rokok. Efek dari konsumsi rokok yang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel pada beberapa organ dalam rongga mulut dapat mempengaruhi komponen-komponen yang terkandung di dalam saliva seperti enzim amilase, laktat dehidrogenase, dan asam fosfatase pada penelitian yang dilakukan oleh Negleret al.48,49,50


(40)

2.1.4. Kerangka Teori

Variabel bebas Variabel terikat


(41)

(42)

2.3. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Pengukur Alat Ukur

Cara Ukur Skala Pengukur

an 1 Laju

aliran saliva Kecepatan produksi saliva yang tidak terstimulasi dalam ml di setiap menitnya

Peneliti Tabung ukur Melihat jumlah saliva yang dihasilkan dalam lima menit, kemudian dihitung kecepatanny a dalam ml/menit Numerik

2 Status merokok Dikatakan perokok jika saat pengambilan sampel telah menjadi perokok aktif dan masuk kriteria inklusi dan disebut non-perokok jika saat pengambilan sampel tidak merokok dan masuk kriteria inklusi

Peneliti Form identitas dan riwayat merokok Melakukan wawancara dan pengisian form data subjek penelitian Kategorik


(43)

3 OHIS(Ora l Higiene Index Simplified ) Nilai yang menunjukkan status kebersihat mulut Dokter gigi pembimbi ng Indeks OHIS Pemeriksaa n gigi dan mulut

Numerik

4 DI(Debris

Index) Nilai yang menunjukkan ketebalan debris pada permukaan gigi Dokter gigi pembimbi ng Indeks DI Pemeriksaa n gigi dan mulut

Numerik

5 CI(Calcul

us Index)

Nilai yang menunjukkan kalkulus pada gigi Dokter gigi pembimbi ng Indeks CI Pemeriksaa n gigi dan mulut

Numerik

6 GI(Gingiv

al Index)

Nilai yang menunjukkan gingivitis yaitu penilaian warna, konsistensi dan kecendrungan gusi berdarah Dokter gigi pembimbi ng Indeks GI Pemeriksaa n gigi dan mulut

Numerik

7 IMT(Inde ks Masa Tubuh) Berat badan(kg) dibagi tinggi badan(m) kuadrat yang menggambarkan status gizi

Peneliti Penguku r berat badan dan tinggi badan Pengukuran berat dan tinggi badan Numerik

8 Mulut kering

Rasa kering atau tidak enak yang dirasakan di rongga mulut

Peneliti Form identitas dan riwayat Melakukan wawancara dan pengisisan Kategorik


(44)

merokok form 9 Indeks

Brinkman

Perkalian lama paparan rokok dengan jumlah batang rokok yang

dikonsumsi per harinya

Peneliti Form identitas dan riwayat

Melakukan wawancara dan

pengisisan


(45)

32 BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik bivariat potong lintang

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Ciputat pada Februari 2015 – Juli 2015

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1. Kriteria Inklusi Umum

1. Laki-laki

2. Usia 20 sampai 55 tahun

3. Bersedia menyetujui lembar informed consent 4. Kriteria partisipan perokok :

a) Perokok aktif saat survey 5. Kriteria partisipan non-perokok :

a) Tidak pernah merokok

b) Pernah merokok, namun sudah tidak merokok minimal sejak 5 tahun yang lalu

3.3.2. Kriteria Eksklusi Umum

1. Sedang berpuasa pada saat pengambilan saliva

2. Tidak dapat berpartisipasi karena keadaan psikologis yang buruk (gaduh, gelisah, agitasi)

3. Memiliki kelainan sistemik yang mempengaruhi sekresi saliva(seperti Diabetes Melitus, Tumor, Kanker)


(46)

3.3.3. Besar Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel penelitian analitik tidak berpasangan dengan variabel numerik yakni sebagai berikut:

Keterangan:

Zα = kesalahan tipe I sebesar 10% = 1,282 Zβ = kesalahan tipe II sebesar 20% = 0,842

(X1– X2) = selisih minimal yang dianggap bermakna = 0,05 S = Sg = standar deviasi, diperoleh dengan rumus:

Sg = standar deviasi gabungan

S1 = standar deviasi kelompok 1 pada penelitian sebelumnya n1 = besar sampel kelompok 1 pada penelitian sebelumnya S2 = standar deviasi kelompok 2 pada penelitian sebelumnya n2 = besar sampel kelompok 2 pada penelitian sebelumnya

Maka akan didapatkan perkiraan besar sample berdasarkan penelitian

Pangestu tahun 2014 adalah sebagai berikut: (Sg)2= [(0,203)2 x (15-1) + (0,270)2 x (15-1)]

15+15-2

= [(0,041) x (14) + (0,073) x (14)]

28

= [0,574 + 1,022] = 0,057 28

(Sg) = √ = 0,239


(47)

N = 2{(1,645 + 1,645) 0,239}2

{0,2}2

N = 31

Maka pada penelitian ini dibutuhkan sampel sebanyak 31 orang untuk kelompok perokok dan 31 orang untuk non-perokok

3.4Alat dan Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah saliva perokok dan non perokok. Sedangkan alat penelitian yang digunakan antara lain :

1. Tabung ukur penampung 2. Jam tangan

3. Corong 40 mm 4. Tissue

5. Perlengkapan alat tulis

6. Alat pemeriksa gigi dan mulut

Gambar 3.1. Alat dan bahan penelitian

3.5Cara Kerja Penelitian

 Menentukan sample penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi


(48)

 Memperoleh informed consent dari subjek penelitian, pengisian data diri, riwayat merokok dan memberikan penjelasan mengenai prosedur pengumpulan saliva yang akan dilakukan kepada subjek penelitian

Gambar 3.2. Pengisian informed consent dan kuistioner

 Melakukan pemeriksaan gigi dan mulut subjek penelitian oleh dokter gigi untuk mengetahui status GI (Gingival Index), DI (Debri Index), CI

(Calculus Index), dan OHIS (Oral Higiene Index Score)

Gambar 3.3. Pemeriksaan gigi dan mulut

 Partisipan diinstruksikan untuk tidak makan dan minum 1 jam sebelum pengambilan saliva

 Pengambilan sampel saliva tidak terstimulasi menggunakan metode

passive drool dilakukan selama 5 menit dengan meminta subjek penelitian membuang saliva pada wadah penampung melalui corong di setiap menitnya.


(49)

 Pengukuran saliva dilihat dari saliva yang dikeluarkan oleh subjek penelitian selama 5 menit. Selanjutnya volume saliva yang dibuang dicatat

Gambar 3.4.Pengambilan sampel saliva

3.6Identifikasi Variabel

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah:

 Variabel bebas pada penelitian ini adalah kebiasaan merokok dan tidak merokok

 Variabel terikat pada penelitian ini adalah laju aliran saliva

 Variabel perancu pada penelitian ini antara lain: paparan rokok pada perokok pasif, dan aktivitas subjek penelitian yang berbeda beda

3.7Managemen dan Analisis Data

Data dari kuisioner yang telah diisi subjek penelitian dan data hasil pengukuran laju aliran saliva dimasukkan ke dalam komputer dan dianalisis menggunakan software SPSS. Dari kedua data tersebut dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui rata-rata, standar deviasi, dan frekuensi. Normalitas distribusi data diuji dengan uji Kolomogorov-Smirnov untuk kelompok yang lebih dari 50 orang dan Shapiro-Wilk untuk kelompok yang kurang dari 50 orang.

Uji hipotesis untuk melihat perbandingan penurunan laju aliran saliva pada perokok dan non perokok diuji dengan menggunakan uji T-test apabila distribusi normal dan dengan uji Mann-Whitney apabila uji tidak normal. Jika didapatkan nilai p<0.05 maka hasilnya adalah terdapat perbedaan signifikan


(50)

laju aliran saliva pada perokok dan non perokok. Sedangkan untuk melihat hubungan empat kelompok Indeks Brinkman dengan laju aliran saliva digunakan uji one way ANOVA apabila distribusi normal dan uji Kruskal-Wallis pada distribusi yang tidak normal.

3.8Alur penelitian

Pemilihan subjek penelitian

Inform consent dan pengisian lembar persetujuan inform consent

Pengisian form identitas subjek

Pengambilan sampel saliva tidak terstimulasi setiap satu menit dalam

Catat hasil saliva dan hitung laju aliran saliva (ml/menit)


(51)

38 BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 86 subjek penelitian, 55 dari 86 subjek merupakan perokok dan 31 adalah non-perokok dengan karakteristik usia, penyakit, Indeks Masa Tubuh (IMT), dan keluhan mulut kering sesuai pada tabel 4.1

Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik Perokok Non Perokok p

value Jumlah (55) Presentase Jumlah (31) Presentase

Usia 15-24 25-35 36-45 46-55 Rerata ± SD IMT

BB kurang (<18,5) Normal (18,5-22,9) BB berlebih (>22,9)

0 7 27 21 0 12,7 49,1 38,2 3 10 8 10 9,7 32,3 25,8 32,3 0,008* 43,5 ± 0,78 37,4 ± 1,77

0,569 13 12 30 23,63 21,81 54,56 3 6 22 9,7 19,4 70,9

Rerata ± SD 25,2 ± 7,83 24,4 ± 3,65

0,996 Riwayat Penyakit Tidak ada TBC Hipertensi Lainnya 51 2 1 1 92,7 3,6 1,8 1,8 26 1 4 0 83,9 3,2 12,9 0 Keluhan Mulut Kering Ada Tidak ada 18 37 32,7 67,3 3 28 9,7 90,3 0,017* *p value signifikan

Subjek penelitian perokok rata-rata berusia 43,5 tahun dan jumlah subjek perokok terbanyak terdapat pada kelompok usia 36-45 tahun sebanyak 49,1% dari 55 subjek perokok. Kelompok subjek penelitian non-perokok memiliki rata-rata usia 37,4 tahun dan jumlah terbanyak terdapat


(52)

pada kelompok usia 46-55 tahun yaitu sebanyak 34,4% dari 32 subjek non perokok. Dilihat dari hasil IMT yang diukur saat penelitian, didapatkan rata-rata IMT pada kelompok perokok adalah 25,2 dan non perokok adalah 24,4 yang keduanya termasuk dalam kategori berat badan berlebih. Berdasarkan riwayat penyakit 92,7% subjek perokok dan 81,3% subjek non perokok memiliki kesehatan yang baik dan tidak menderita penyakit tertentu, walaupun terdapat subjek yang menderita penyakit-penyakit tertentu seperti Tuberkulosis, Hipertensi dan yang lainnya. Kelompok perokok sebanyak 32,7% lebih sering mengalami keluhan mulut kering jika dibandingkan dengan non-perokok yang hanya 9,7% dari seluruh subjek non-perokok.

4.1.2. Karakteristik Perokok Subjek Penelitian

Subjek penelitian perokok dalam penelitian ini terdapat 55 orang, dan didapatkan karakteristik perokok tersebut dilihat dari jenis rokok, lama merokok, jumlah batang per hari dan indeks brinkman seperti yang tercantum dalam tabel 4.2

Tabel 4.2. Karakteristik Perokok

Karakteristik Perokok (n=55) Jumlah (n) Persentase Jenis Rokok Non-Kretek Kretek 37 17 69,1 30,9 Jumlah Rokok Perhari

<10 10-20 21-30 >30 11 29 9 6 20 52,7 16,4 10,9

Rerata ± SD 12(2-40) *

Lama Merokok <10 tahun 10-30 tahun >30 tahun 8 36 11 14,5 65,5 20

Rerata ± SD 21,8 ± 1,42

Indeks Brinkman Perokok Ringan Sedang Berat 21 21 13 38,2 38,2 23,6 *Median (Minimum-maximum)


(53)

Dari hasil penelitian pada tabel 4.2, sebagian besar perokok mengkonsumsi rokok non kretek (67,3%) termasuk filter atau herbal. Rokok yang dikonsumsi subjek perokok dalam satu hari memang bervariasi, nilai median konsumsi rokok dalam satu hari adalah 12 batang setara dengan satu bungkus rokok dan rata-rata subjek perokok telah merokok selama 21,8 tahun. Penggolongan perokok dapat dilihat dari jumlah batang rokok yang dikonsumsi dalam satu hari dan lamanya merokok (dalam tahun) sampai didapatkan hasil indeks brinkman yang membagi perokok ke dalam perokok ringan sebanyak 38,2%, perokok sedang 38,2% dan perokok berat 23,6%.

4.1.3. Status Kebersihan Gigi dan Mulut Subjek Penelitian

Kebersihan gigi dan mulut dapat dinilai dengan cara melakukan pemeriksaan fisik gigi dan mulut menggunakan beberapa indeks penilaian. Pada subjek penelitian baik perokok maupun non perokok dilakukan pemeriksaan fisik gigi dan mulut dengan menilai debris index, calculus index, ginggival index, dan OHIS. Sehingga didapatkan hasil pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut seperti pada tabel 4.3

Tabel 4.3. Status Kesehatan Gigi dan Mulut

Karakteristik Perokok Non Perokok p value

n = 55 n = 31

Debris Index 1,00 (0,33-1,67)* 0,83 (0,17-1,5)* 0,083 0,048**

0,960 0,014** Calculus Index 1,67 (0,83-2,83)* 1,67 (0,33-2,33)*

Gingival Index 1,17 (0,33-2,33)* 1,17 (0,17-2,17)*

OHIS 2,64 ± 0,65 2,26 ± 0,80

*Median (minimum-maximum) **p value signifikan

Dari hasil pemeriksaan debris index, calculus index, gingival index,

dan OHIS pada tabel 4.3 yang dapat menilai status kebersihan gigi dan mulut didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara subjek perokok dan non-perokok hanya pada nilai calculus index (U=634,000 Z=-1,980 p=0,048 r=-0,023) dan OHIS (T-test independent p=0,014) yang mengartikan bahwa status kebersihan gigi dan mulut pada perokok lebih rendah dari pada non-perokok dilihat dari calculus index dan OHIS,


(54)

sedangkan pada hasil penelitian debris index, dan gingival index tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara subjek perokok dan non-perokok.

4.1.4. Laju aliran saliva pada Saliva Subjek Penelitian

Laju aliran saliva pada perokok memiliki nilai median 0,24 ml/menit dengan nilai minimum 0,01 ml/menit dan maximum 1,10 ml/menit. Kelompok non perokok memiliki nilai median laju aliran saliva 0,30 ml/menit dengan nilai minimum 0,02 ml/menit dan maksimum1,12 ml/menit. Perbandingan laju aliran saliva perokok tidak berbeda bermakna dengan non-perokok (U=982,500 Z=1,172 p=0,241).

4.2. Pembahasan

Pada penelitian yang terdiri dari 55 subjek penelitian perokok dan 32 subjek non-perokok ini, dapat dilihat karakteristik masing-masing subjek penelitian. Kelompok subjek perokok rata-rata berusia 43,5 tahun dan kelompok terbanyak terdapat pada usia antara 36-45 tahun (49,1%), tidak jauh berbeda dengan data Riskesdas 2013 yang menunjukkan bahwa perokok penduduk Indonesia terbanyak berasal dari kelompok usia 30-34 tahun (33,4%) dan usia 35-39 tahun (32,2%). Perbedaan ini dapat terjadi oleh karena perbedaan pengklasifikasian umur yang digunakan. Sedangkan pada kelompok usia non-perokok rata-rata usia yang dimiliki subjek adalah 37,4 tahun. Sehingga didapatkan bahwa usia pada subjek memiliki perbedaan bermakna pada kelompok perokok dengan non-perokok (T-test Independent

p=0,186), rata-rata usia subjek non-perokok lebih rendah dari pada perokok.2 Karakteristik IMT subjek penelitian masing-masing 25,2 pada perokok dan 24,4 pada non-perokok yang keduanya berarti memiliki berat badan diatas nomal, sehingga pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan IMT yang bermakna. Pengaruh IMT pada laju aliran saliva pada penelitian ini dapat dikendalikan dengan membuat rerata IMT yang tidak berbeda pada kedua kelompok.17


(55)

Sebagian besar subjek penelitian tidak memiliki riwayat penyakit tertentu yaitu sebanyak 92,7% pada kelompok perokok dan 81,3% kelompok non-perokok, sehingga kekhawatiran kemungkinan adanya pengaruh riwayat penyakit terhadap laju aliran saliva bisa dikendalikan pada penelitian ini.

Melihat efek yang ditimbulkan rokok tentunya tidak lepas dari karakteristik perokok yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi lama paparan dan konsumsi jumlah batang rokok per harinya. Lama paparan dan konsumsi batang rokok yang dikonsumsi dapat dilihat dari nilai Indeks Brinkman. Didapatkan pada penelitian ini 21 orang (38,2%) masing-masing perokok ringan dan sedang dan 13 orang (23,6%) merupakan perokok berat.8,9

Rongga mulut dan komponen yang terdapat di dalamnya tentunya menjadi bagian pertama yang terpapar oleh rokok, sehingga kandungan-kandungan toksin yang terdapat dalam rokok dapat merusak bagian-bagian rongga mulut yang dapat mempengaruhi penurunan kesehatan gigi dan rongga mulut. Penelitian yang dilakukan oleh Azodo et al. didapatkan bahwa status kesehatan perokok cenderung lebih buruk, namun beberapa penelitian menyebutkan bahwa kerusakan mukosa dan gangguan rongga mulut hanya terjadi pada konsumsi rokok dalam waktu yang lama. Status kebersihan gigi dan mulut perokok pada penelitian ini lebih buruk dibandingkan dengan non-perokok jika dilihat dari calculus index (U=634,000 Z=-1,980 p=0,048 r=-0,023) dan OHIS (T-test independent p=0,014) saja, sedangkan pada debris index (Mann-Whitney p=0,083) dan gingival index (Mann-Whitney p=0,954) tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik antara perokok dan non-perokok. Menghindari adanya faktor lain yang dapat mempegaruhi kebersihan rongga mulut sehingga dapat menjadikan hasil yang bias terhadap efek rokok, maka dilakukan penyetaraan faktor-faktor lain seperti kebiasaan sikat gigi dan mengkonsumsi obat kumur pada kelompok perokok dan non perokok18,21

Paparan rokok pada rongga mulut dapat mengenai saliva sebagai cairan yang diproduksi untuk melindungi mukosa mulut. Pengaruh rokok terhadap penurunan laju aliran saliva masih kontroversial, karena beberapa penelitian


(56)

juga menyebutkan bahwa efek dari rokok tidak mempengaruhi saliva pada laju aliran salivanya. Hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara laju aliran saliva perokok dan non perokok (Mann-Whitney p=0,241), dengan perbandingan nilai median laju aliran saliva perokok (0,24 ml/menit) lebih rendah dari pada non-perokok (0,3 ml/menit). Riwayat keluhan mulut kering pada subjek perokok lebih sering didapatkan dari pada subjek non perokok (Chi square p=0,017), namun tidak diikuti dengan penurunan laju aliran saliva. Kemungkinan keluhan mulut kering yang dapat terjadi pada subjek perokok merupakan keluhan subjektif masing-masing individu, dibuktikan dengan tidak terdapat perbedaan laju aliran saliva yang bermakna pada kelompok dengan keluhan mulut kering dan kelompok yang tidak memiliki keluhan mulut kering.

Hasil penelitian saat ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Palomares et al. di Spanyol dan Khan et al. di Pakistan bahwa tidak terdapat perbedaan laju aliran saliva yang bermakna pada perokok dan non perokok. Penelitian serupa yang dilakukan di Indonesia oleh Pangestu et al. melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan penurunan laju aliran saliva yang bermakna di kelompok perokok (0,318 ml/menit) dibandingkan non-perokok (0,333 ml/menit). Penurunan volume dan pH hanya terjadi pada kelompok perokok usia lanjut lebih dari 60 tahun dibandingkan dengan perokok usia kurang dari 60 tahun yang dibuktikan oleh Hidayani et al. dalam penelitiannya. Hasil penelitian yang telah dilaporkan tersebut menunjukkan bahwa efek rokok tidak mempengaruhi produksi saliva pada kuantitas saliva dan laju aliran saliva, karena laju aliran saliva tidak hanya ditentukan oleh stimulus pada reseptor-reseptor rongga mulut yang diasumsikan mengalami kerusakan akibat rokok. Laju aliran saliva juga dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal maupun internal, baik dari penghantaran impuls oleh saraf atau fungsi dari sel kelenjar itu sendiri.10,11,12,47,48

Hasil berbeda ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rad et al. di Iran dan Singh et al. di India yang menyebutkan bahwa toksin-toksin rokok juga dapat mempengaruhi produksi saliva, pada laju aliran saliva dan pH. Penelitian yang dilakukan oleh Kanwar et al. di India menyebutkan


(57)

bahwa terdapat penurunan signifikan laju aliran saliva pada pria perokok (0,35 ml/menit), pria pengunyah tembakau (0,26 ml/menit) dibandingkan non perokok (0,45 ml/menit).8,9,49

Penelitian ini memang menunjukkan bahwa rokok tidak mempengaruhi produksi saliva pada kuantitasnya, namun terdapat kemungkinan bahwa rokok dapat mempengaruhi kualitas saliva. Kemungkinan efek rokok yang mempengaruhi kualitas saliva ini dapat dilihat dari efek rokok yang menyebabkan rendahnya status kebersihan gigi dan mulut perokok, sedangkan saliva merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status kebersihan gigi dan mulut. Laporan penelitian yang dilakukan oleh Syifa, Nasution, dan Syahli dengan responden yang sama menyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada derajat keasaman (pH), protein total dan kalsium saliva kelompok perokok dibandingkan non-perokok, yang menunjukkan bahwa konsumsi rokok dapat mempengaruhi kualitas saliva.54,55,56

1.3.Aspek Keislaman

Efek rokok yang dapat menyebabkan penyakit-penyakit dalam tubuh dan dapat berujung pada kematian membuktikan bahwa sudah sepatutnya untuk menghindari konsumsi rokok dengan kandungan bahan-bahan kimia yang berbahaya di dalamnya. Pedoman agama islam Al-qur’an dan hadits juga memaparkan dengan cukup jelas mengenai larangan untuk mencelakakan diri sendiri maupun orang lain, sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-baqarah ayat 195:

                           

Artinya: “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri pada kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (Q.S. Al-baqarah: 195)


(58)

Ayat tersebut menerangkan dengan jelas mengenai larangan untuk merugikan diri sendiri, seperti perilaku merokok yang dapat menyebabkan penyakit-penyakit tertentu hingga kematian. Kandungan bahan-bahan kimia dalam asap rokok yang dapat dihirup oleh perokok itu sendiri maupun orang di sekitarnya dapat menjadi toksik untuk sel-sel tubuh. Nabi bersabda dalam suatu hadits:

راارِض اَاو اراراض اَ “Tidak ada kemudharatan terhadap diri sendiri dan tidak juga kepada orang lain” (HR. Ibnu Majah no 2341)

Hadits tersebut semakin menjelaskan larangan merokok yang dapat merugikan tidak hanya pada diri sendiri namun juga pada orang lain. Oleh karena itu, sudah seharusnya bagi perokok untuk mulai mengurangi konsumsi rokok dan mulai berhenti merokok secara bertahap.

1.4.Keterbatasan Penelitian

Ketelitian yang kurang pada pengukuran laju aliran saliva menggunakan tabung ukur dengan ketelitian 0,5 ml karena melihat nilai laju aliran saliva yang kecil.


(59)

46 6.1. Simpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi rokok tidak berpengaruh terhadap laju aliran saliva (U=982,500 Z=1,172 p=0,241), walaupun didapatkan nilai median laju aliran saliva perokok (0,24 ml/menit) lebih rendah dibandingkan non-perokok (0,30 ml/menit).

6.2. Saran

a. Pengukuran laju aliran saliva sebaiknya menggunakan tabung pengukur yang memiliki ketelitian kurang dari 0,05 ml.

b. Pada penelitian ini konsumsi rokok tidak mempengaruhi jumlah produksi saliva, namun perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat efek rokok pada komponen-komponen yang terkandung di dalam saliva.


(60)

47

DAFTAR PUSTAKA

1. Ng M, Freeman MK, Fleming TD, Robinson M, Lindgren LD, Thomson B, et al. Smoking Prevalence and Cigarette Consumption in 187 Countries 1980-2012. JAMA [internet]. 2014 August [cited 2015 August 27];311(2):183-129.

Available from

http://www.healthdata.org/sites/default/files/files/research_articles/2014/JAM A_Smoking_prevalence_and_cigarette_consumption_in_187_countries_1980 -2012.pdf

2. WHO. Global Adult Tobacco Survey: Indonesia Report 2011. Jakarta: World Health Organization; 2012.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. Riset Dasar Kesehatan Tahun 2013. Jakarta: Kesehatan Kementerian Republik Indonesia; 2013.

4. Rodgman A. Pyrolisis. In: Rodgman A, Perfetti TA, editor. The Chemical Components of Tobacco and Tobacco Smoke 2nd Edition. London: CRC Press; 2013. p. 1303-1327

5. Sumartono W, Strait AM, Holy M, Thabrany H. Smoking and Socio-Demographic Determinant of Cardiovacular Disease among Males 45+ Years in Indonesia. Int J Environ Res Public Health[internet]. 2011 August[cited 2015 August 27]; 8(2): 528-539. Available from

http://doi.org/10.3390/ijerph8020528

6. Akaji EA, Folaranmi N. Tobacco Use and Oral Health of Inmates in a Nigerian Prison. NJCP[internet]. 2013 August[cited 2015 August 27]; 16(4):

473-477. Available from

http://www.njcponline.com/temp/NigerJClinPract164473-3379107_005619.pdf

7. Sherwood L. Sistem Pencernaan. In:Sherwood L, editor. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Ed 7. Jakarta: EGC; 2012. p. 589-591

8. Rad M, Kakoie S, Brojeni FN, Pourdamghan N. Effect of Long-term Smoking on Whole-mouth Salivary Flow Rate and Oral Health. JODD. 2010. 4(4): 110-114


(61)

9. Kanwar A, Sah K, Grover N, Chandra S, Singh RR. Long-term Effect of Tobacco on Resting Whole Mouth Salivary Flow Rate and pH: An Institutional based Comparative Study. EJGD. 2013 December; 2(3): 296-299 10.Khan GJ, Javed M, Ishaq M. Effect of Smoking on Salivary Flow Rate.

Gomal Journal of Medical Science. 2010 Dec. 8(2); 221-224

11.Hidayani TA, Hidajani J. Efek Merokok terhadap Status pH dan Volume Saliva pada Laki-Laki Dewasa dan Usia Lanjut. Dentika Dental Journal. 2011. 16(1); 70-73

12.Pangestu A. Deteksi Salivary Flow Rate pada Pria Perokok dan Non-Perokok. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2014

13.Guyton AC. Fisiologi Gastrointestinal. In: Guyton AC, Hall JE, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 12. Jakarta: EGC; 2011

14.Mescher AL. Histologi Dasar Junqueira Teks dan Atlas Ed 12. Jakarta: EGC; 2011. p. 245-255

15.Gerard J Tortora, BryanDerrickson. The Digestive System: Principles of Anatomy and Physiology. 12 Edition. US:John Wiley & Sons, Inc; 2009. p. 928-931

16.Martini FH. The Digestive System. In: Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF,editors. Fundamentals of Anathomy and Physiology 9th Ed. SanFransisco: Perason; 2012. p. 870-873

17.Almeida PDV, Gregio AMT, Machado MAN, Lima ADS, Azevedo LR. Saliva Composition and Functions: A Comprehensive Review. Journal of Contemporary Dental Practice[internet]; 2008 March [cited 2015 August 28].

9(3); 1-11. Available from

http://www.unc.edu/courses/2008ss2/obio/720/001/2008_Readings/070308_s aliva_review.pdf

18.Ekstrom J, Khosravani N, Castagnola M, Messana I. Saliva and Control It’s Secretion. In: Reiser MF, Hricak H, Knauth M, Ekberg O. Dysphagia Diagnosis and Treatment Medical Radiology Diagnostic Imaging. New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2012. p. 19-47


(62)

19.Whelton H. Introduction: the Anatomy and Physiology of Salivary Glands. In: Edgar M, Dawes C, O’Mullane D. Saliva and Oral Health 3rd Ed. London: British Dental Journal; 2004. p. 1-36

20.Proctor GB, Carpenter GH. Review Regulation of salivary Gland Function by Autonomic Nerves. Elsevier BV[internet]. 2006 Oct [cited 2015 August

28];133(1): 3-18. Available from

http://www.researchgate.net/publication/6642654_Regulation_of_salivary_gl and_function_by_autonomic_nerves._Auton_Neurosci

21.Rhoades RA. Gastrointestinal Physiology: Neurogastroenterology and Motility. In: Rhoades RA, Bell DR, editors. Medical Physiology: Principles for Clinical Medicine Ed 4th. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2013. p. 471-491

22.Costanzo LS. Fisiologi Gastrointestinal. In: Costanzo LS, Hartono A, editor. Essential Fisiologi Kedokteran Ed 5. Jakarta: Binarupa Aksara; 2012. p. 309-340

23.Indriana T. Perbedaan Laju Aliran Saliva dan pH karena Pengaruh Stimulus Kimiawi dan Mekanis. J Kedokt Meditek. 2011 August; 17(44): 1-5

24.Smith PM. Mechanisms of Salivary Secretion. In: Edgar M, Dawes C, O’Mullane D. Saliva and Oral Health 3rd Ed. London: British Dental Journal; 2004. p. 1-16

25.Catalan MA, Nakamoto T, Melvin JE. The salivary Gland Fluid secretion Mechanism. The Journal of Medicine Investigation; 2009 Dec[cited 2015

August 28]; 56: 192-196. Available from

https://www.jstage.jst.go.jp/article/jmi/56/Supplement/56_Supplement_192/_ article

26.Scully C, Georgakopoulou EA. Oral Involvement. In:Casals MR, Stone JH, Moutsopoulus HM, editors. Sjogren’s Syndrome Diagnosis and Therapeutics. New York: Springer; 2012. p. 85-103

27.Bradley PJ. Saliva, Salivation and Functional Testing. In: Anniko M, Sprekelsen MB, Bonkowsky V, Bradley PJ, Lurato S, editors. Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. New York: Springer; 2010. p. 339-342


(63)

28.Pedersen AML. Saliva[internet]. [Place unknown]: Zendium; 2007[cited

2015 August 28]. Available from

http://www.zendium.dk/Files/zendium.dk/material/publikationer/saliva.pdf 29.Kurniawan A, Wimardhani YS, Rahmayanti F. Oral Health and Salivary

Profiles of Geriatric Output Patients in Cipto Mangunkusumo General Hospital. Ina J Dent Res. 2010 Sept[2015 August 28]; 17(2); 53-57. Available from

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=202096&val=6661&title =Oral%20Health%20and%20Salivary%20Profiles%20of%20Geriatric%20O utpatients%20in%20Cipto%20Mangunkusumo%20General%20Hosp%20ital 30.Surjadi N, Amtha R. Radiotherapy Reduced Salivary Flow Rate and Might

Induced C.albicans Infection. Ina J Dent Res. 2012; 19(1); 14-19

31.Pratama MABP. Perbedaan Sekresi Saliva Sebelum dan Sesudah Berkumur Menggunakan Baking Soda pada Penderita Diabetes Melitus. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar; 2014

32.Fox PC, Ship JA. Salivary Gland Disease. In: Greenberg, Glick, Ship, editors. Burket’s Oral Medicine 11st Ed. India: BC Decker Inc; 2008. p. 191-222 33.Carthy DM. Biological Measurement in Intervention Research. In: Melnyk

BM, Dianne M, Beedy, editors. Intervention research:designing, conducting, analyzing, funding. USA: Springer publishing Company; 2012. p. 135-142 34.Vissink A, Wolff A, Veerman ECI. Saliva Collectors. In: Wong DT. Salivary

Diagnostics. USA: Wiley-Blackwell; 2008. p. 37-59

35.Sugono D. Rokok. In: Sugono D.. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Ed 4. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa Indonesia; 2008

36.Depkes RI. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2012 [cited

2015 August 29]. Available from

http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/47_PP%20Nomor%20109%20Tahu n%202012.pdf


(64)

37.Tirtosastro S, Murdiyati AS.Buletin Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak Industri 2: Kandungan Kimia Tembakau dan Rokok. Balai Penelitian Tembakau dan Serat Universitas Tribuana Tunggadewi. 2010 Apr. 2(1); 33-43

38.Geiss O. Environmental Tobacco Smoke, Chemistry of Tobacco. In: Geiss O, Kotzias D, editor. Tobacco, Cigarettes and Cigarette smoke. Luxembourg: Institute for Health and Consumer Protection, Directorate-General Joint Research Centre; 2007. p. 29-46

39.Weikunat R, Coggins CRR, Wang ZS, Kallischnigg G, Dempsey R.

Assessment of Cigarette Smoking in Epidemiologic Studies. Beiträge zur Tabakforschung International[internet]. 2013 Sept[cited 2015 Sept 1. 25(7);

638-648. Available from

http://www.pmiscience.com/library/assesment-cigarette-smoking-epidemiologic-studies

40.Tolonen H, Wolf H, Jakovljevic D, Kuulasmaa K. Smoking:Review of Survey for Risk Factor Major Chronic Disease. National Public Health

Institute[internet]. 2002[cited 2015 Sept 1]. Avilable from

http://www.thl.fi/publications/ehrm/product1/title.htm

41.Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK): Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia [Internet]. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003[Cited 2015 Sept 9]. Available from: http://klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf 42.Leffondre K, Abrahamowicz M, Siemiatycki J, Rachet B. Modeling Smoking

History: A Comparison of Different Approaches. Am J Epidemiol. 2002 June[cited 2015 Sept 1]. 156(9); 813-823. Available from

http://aje.oxfordjournals.org/content/156/9/813.full.pdf

43.Reddy S. Epidemiology of Gingival and Periodontal Disease. In: Reddy S, editor. Essentials of Clinical Periodontology and Periodontics 2nd Edition. New Delhi: Jaypee; 2008. p. 41-58

44.Notohartojo IT, Halim FXS. Gambaran Kebersihan Mulut dan Gingivitis pada Murid Sekolah Dasar di Puskesmas Sepatan, Kabupaten Tangerang. Media Litbang Kesehatan; 2010


(1)

59


(2)

60


(3)

61


(4)

62


(5)

63


(6)

64

Lampiran 2 Riwayat Penulis Identitas :

Nama : Abqariyatuzzahra Munasib

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Pasuruan, 09 September 1994

Agama : Islam

Alamat : Jalan raya tambakrejo No.04 Kraton Pasuruan

E-mail : abqariyah.azzahra12@mhs.uinjkt.ac.id

Riwayat Pendidikan :

 2000 – 2006 : SD Muhammadiyah 02 Bangil-Pasuruan  2006 – 2009 : SMP Muhammadiyah 12 Paciran-Lamongan  2009 – 2010 : SMAN 01 Pasuruan

 2010 – 2012 : MA Al-Ishlah Sendangagung-Lamongan

 2012- sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta