PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (3)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2013

I.

Pendahuluan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 (yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Juli 2013), merupakan kebijakan yang mengatur mengenai Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib
Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Pada tanggal 13 Juni 2013 lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No.
46 tahun 2013 (PP 46/2013). Peraturan ini mulai berlaku efektif sejak 1 Juli 2013.
Dengan diterbitkannya PP 46/2013, orang pribadi maupun badan dengan omzet
sampai dengan 4,8 milyar dalam satu tahun pajak dikenai pajak final sebesar 1%
dari omzet bulanan.

II.

Tujuan
 Untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan badan





yang memiliki peredaran bruto tertentu.
Untuk menggenjot penerimaan pajak
Dapat memasukkan sektor informal ke dalam sistem pajak indonesia
Dengan memiliki NPWP, para pengusaha UMKM dapat lebih mudah
memperoleh kredit dari bank

III.

Objek Pajak
Objek Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan (PPh) adalah Penghasilan dari Usaha
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto (omset) yang
tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun Pajak. Pajak yang terutang dan harus
dibayar adalah: 1% dari jumlah peredaran bruto (omset)

IV.

Bukan Objek Pajak


a) Penghasilan dari jasa sehubungan dengan Pekerjaan Bebas, seperti misalnya:
dokter, advokat/pengacara, akuntan, notaris, PPAT, arsitek, pemain musik,
pembawa acara;
b) Penghasilan dari usaha yang dikenai PPh Final (Pasal 4 ayat (2), seperti
misalnya sewa kamar kos, sewa rumah, jasa konstruksi (perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan), PPh usaha migas, dan lain sebagainya yang
diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah tersendiri.
V.

Subjek Pajak
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:
Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk



bentuk usaha tetap; dan
Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan




dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1
(satu) Tahun Pajak.
VI.

Pengecualian Subjek Pajak Peghasilan sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang,
baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b.

menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum
yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

Tidak termasuk Wajib Pajak badan adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah

beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

VII.

Tarif
Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 adalah 1% (satu persen). Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada
peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum
Tahun Pajak yang bersangkutan.

VIII.

Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan
yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto (omset) setiap bulan. Pajak
Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan dengan dasar
pengenaan pajak.
Menurut PP ini, pendapatan yang dihitung sebagai dasar untuk menentukan 4.8
miliar adalah semua pendapatan termasuk pendapatan perusahaan cabang (bila

ada), namun Tidak Termasuk pendapatan yang telah dikenakan PPh final dan
pendapatan yang berupa jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Misalnya:
(a) Data pendapatan (revenue) PT. JAK pada tahun fiskal 2012 nampak
sebagai berikut:
Penjualan = Rp 4,778,000,000
Pendapatan Bunga Jasa Giro = Rp 25,000,000
Total = Rp 4,803,000,000
Simpulan: Dilihat dari totalnya, pendapatan PT. JAK sudah di atas 4.8 miliar.
Namun karena yang 25 juta berupa pendapatan jasa giro dan telah dikenakan PPh
final oleh pihak bank, maka peredaran bruto yang diperhitungkan hanya Rp
4,778,000,000, sehingga masuk kriteria wajib pajak yang dikenakan PPh Final
dengan tarif 1 persen, sesuai dengan PP 46/2013 ini.

(b) Tahun fiskal 2012, data pendapatan PT. ABC yang berkantor pusat di
Tangerang memiliki data pendapatan sebagai berikut:
Penjualan di Kantor Pusat = Rp 2,800,000,000
Penjualan di Cabang Daan Mogot = Rp 1,200,000,000
Penjualan di Cabang Pal Merah = Rp 1,795,000,000
Total = Rp 5,795,000,000

Simpulan: Total pendapatan PT ABC termasuk cabang melebihi 4.8 miliar,
sehingga TIDAK memenuhi kriteria wajib pajak yang dikenakan PPh Final
dengan tarif 1 persen.
(c). Tahun fiskal 2012, data pendapatan Tuan Hartono Budhi, pemilik
Minimarket UD Kencana dan Toko Bangunan UD Makmur, adalah sbb:
Penjualan Minimarket UD. Kencana = Rp 2,100,000,000
Penjualan Toko Bangunan Minimarket = Rp 2,650,000,000
Pendapatan dari Pekerjaan Bebas = Rp 250,000,000
Total = Rp 5,000,000,000
Simpulan: Total pendapatan Tuan Hartono Budhi memang melebihi 4.8 miliar
dalam satu tahun fiskal. Namun karena pendapatan dari pekerjaan bebas tidak
dihitung, jadinya belum melewati Rp 4.8 miliar, sehingga memenuhi kriteria untuk
dikenakan PPh Final dengan tarif 1 persen.
IX.

Jasa Sehubungan Dengan Pekerjaan Bebas
Yang disebut dengan “jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas” dalam hal ini
adalah jasa yang dihasilkan oleh seorang:




Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris.



Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan Zperagawati,
pemain drama, dan penari.



Olahragawan.



Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator.




Pengarang, peneliti, dan penerjemah.



Agen iklan.



Pengawas atau pengelola proyek.



Perantara (makelar/calo).



Petugas penjaja barang dagangan.




Agen asuransi.



Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau
penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Pendapatan jasa di atas TIDAK DIPERHITUNGKAN dalam menentukan apakah
peredaran bruto WP melebihi atau tidak melebihi 4.8 miliar.
Sedangkan pendapatan yang diperhitungkan dalam menentukan “peredaran
bruto tidak melebihi 4.8 miliar” adalah penadapatan yang berupa:


Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja seperti gaji, honorarium,
penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan lain
sebagainya.



Penghasilan dari usaha dan kegiatan.




Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dipergunakan untuk usaha.



Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.
Menurut AR yang sempat penulis ajak berbincang, untuk menentukan apakah WP
memenuhi atau tidak memenuhi kriteria “peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar”
yang dipersyarakatkan oleh PP 46/2013 ini, pihak Ditjen Pajak (DJP) perlu
melakukan evaluasi terhadap peredaran bruto WP terlebih dahulu.

Masalah yang membuat penentuan peredaran bruto ini akan menjadi sedikit
rumit adalah PP 46 ini diberlakukan di tengah-tengah tahun fiskal (1 Juli 2013),
sementara batasan “peredaran bruto tidak melebihi 4.8 miliar” yang digunakan
adalah total peredaran selama satu tahun fiskal (alias 12 bulan). Belum lagi kalau
WP terdaftar sebagai wajib pajak di tengah-tengah tahun fiskal.


Cara menentukan peredaran bruto yang tidak melebihi 4.8 Milyar
Dalam hal tahun fiskal terakhir sebelum tahun fisakal berlakunya PP ini meliputi
kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka yang digunakan adalah:
Jumlah peredaran bruto tahun fiskal terakhir sebelum tahun fiskal berlakunya PP ini,
lalu disetahunkan (lihat contoh di bawah).
Misalnya:
PT. Untung Abadi rnenggunakan tahun kalender sebagai Tahun Pajak. Terdaftar
sebagai Wajib Pajak sejak bulan Agustus 2013. Peredaran bruto selama bulan
Agustus 2013 sampai dengan Desember 2013 adalah Rp 150,000,000. Peredaran
bruto tahun 2013 yang disetahunkan adalah:
Rp 150,000,000 x 12/5 = Rp 360,000,000
Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun 2013 tidak melebihi Rp
4,800,000,000, rnaka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai pajak yang
bersifat final sesuai ketentuan dalarn PP ini.
(b) Dalam hal WP terdaftar pada tahun fiskal yang sama dengan diberlakukannya PP
ini namun terjadi pada bulan sebelumnya, maka yang digunakan adalah: Jumlah
peredaran bruto dari bulan saat WP terdaftar sampai dengan bulan sebelum
berlakunya PP ini, lalu disetahunkan. Misalnya:
PT. Emas Permata terdaftar 3 (tiga) bulan sebelum berlakunya PP ini pada tahun
fiskal yang sama dengan tahun berlakunya PP ini. Jumlah peredaran bruto selama 3

(tiga) bulan tersebut adalah Rp 150,000,000. Peredaran bruto selama 3 bulan yang
disetahunkan adalah:
Rp 150,000,000 x 12/3 = Rp 600,000,000
Simpulan: Karena peredaran bruto disetahunkan untuk 3 bulan tersebut tidak
melebihi Rp 4,800,000,000, maka penghasilan yang diperoleh mulai pada bulan
berlakunya PP ini sampai dengan akhir tahun fiskal bersangkutan, dikenai PPh
bersifat final sesuai ketentuan dalam PP ini.
(c) Dalam hal WP baru terdaftar sejak berlakunya PP ini, maka yang digunakan
adalah: Jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari
usaha, lalu disetahunkan. Misalnya:
PT. Maju Selalu terdaftar sebagai WP baru pada bulan November 2014. Pada bulan
November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 15,000,000.
Penghasilan bruto bulan November 2014 disetahunkan adalah:
12/1 x Rp 15,000,000 = Rp 180,000,000
Karena penghasilan bulan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai
Wajib Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp 4,800,000,000, maka
penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai PPh bersifat final sesuai dengan
PP ini.
X.

Pajak Yang Terutang dan Dibayar di Luar Negeri
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh WP tetap DAPAT DIKREDITKAN terhadap PPh yang
terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya.

XI.

Kompensasi Kerugian

WP yang dikenai PPh Final berdasarkan PP ini dan menyelenggarakan pembukuan,
dapat melakukan kompensasi kerugian (Lost Carry Forward) dengan penghasilan
yang TIDAK DIKENAKAN PPh Final, dengan ketentuan sebagai berikut:


Kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun fiskal berikutnya berturut-turut
sampai dengan 5 (lima) tahun fiskal. Misalnya: Jika PT. JAK mengalami kerugian
pada tahun fiskal 2010, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan
penghasilan pada tahun fiskal 2011 sampai dengan 2015.



Tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini tetap diperhitungkan
sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas. Misalnya: Jika PT.
JAK pada tahun fisal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan ketentuan PP ini, maka
jangka waktu kompensasi kerugian tetap dihitung sampai dengan tahun fiskal 2015.



Kerugian pada suatu tahun fiskal dikenakannya PPh final berdasarkan PP ini
tidak dapat dikompensasikan pada tahun fiskal berikutnya. Misalnya: Jika PT. JAK
pada tahun fiskal 2014 dikenai PPh Final berdasarkan PP ini dan mengalami
kerugian berdasarkan pembukuan, maka atas kerugian tersebut tidak dapat
dikompensasikan dengan tahun fiskal berikutnya.

XII.

Permasalahan / Kendala dalam PP Nomor 46 Tahun 2013
1. Dasar Penerbitan
Dalam bagian pertimbangan, disebutkan bahwa PP 46/2013ini merujuk kepada
pasal 4 ayat (2) huruf e UU PPh. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, PP
46/2013 pasal 4 ayat (2) huruf e UU PPh merujuk kepada pemajakan terhadap
objek tertentu. Dasar penerbitan yang tidak tepat tersebut berpotensi untuk
dipermasalahkan dalam sengketa-sengketa yang terkait dengan peraturan ini.
2. Salah Sasaran
Selain itu, jika memang tujuan diterbitkannya peraturan ini adalah untuk
memasukkan sektor informal ke dalam sistem perpajakan, cakupan subjek pajak
yang tercakup dalam peraturan ini juga berpotensi tidak tepat sasaran. Subjek
pajak yang tercakup dalam PP 46/2013 adalah orang pribadi dan badan (kecuali
BUT) dengan omzet sampai dengan 4,8 miliar rupiah dalam satu tahun pajak.

Dengan begitu, badan usaha yang sudah masuk ke dalam sektor formal seperti
Perseroan Terbatas (PT) atau bahkan Penanaman Modal Asing (PMA) juga
secara otomatis tercakup dalam PP 46/2013 ini.
3. Timbulnya Ketidakpastian
Sebagaimana kita ketahui, sebelum PP 46/2013 diterbitkan, sebelumnya sudah
sudah terdapat peraturan-peraturan perpajakan yang mengatur mengenai
pemajakan atas subjek pajak dengan omzet tertentu. Untuk subjek pajak badan,
terdapat pasal 31E UU PPh yang memberikan keringanan bagi subjek pajak
badan dengan omzet sampai dengan 50 miliar rupiah. Keringanan tersebut
berupa pengurangan pajak sebesar 50% atas penghasilan kena pajak sampai
dengan 4,8 miliar rupiah. Untuk subjek pajak orang pribadi, terdapat ketentuan
mengenai penghitungan penghasilan dengan menggunakan norma. Ketentuan ini
berlaku bagi orang pribadi yang memiliki usaha dengan omzet di bawah 4,8
miliar rupiah dan memilih untuk melakukan pencatatan. Diterapkannya PP
46/2013 yang mencakup subjek pajak baik orang pribadi maupun badan dengan
omzet sampai dengan 4,8 miliar berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi
subjek pajak dalam menentukan acuan penghitungan pajaknya, apakah harus
mengikuti ketentuan dalam PP 46/2013 atau dapat memilih menerapkan
ketentuan yang telah berlaku sebelumnya.
4. Isu Ketidakadilan
Pajak yang bersifat final mengakibatkan pengusaha yang mengalami kerugian
tidak dapat mengkompensasi kerugiannya dan tetap harus membayar pajak.
Tentu, hal ini akan cenderung memberatkan pengusaha dengan keuntungan yang
tidak menentu. Hal ini berbeda dengan mekanisme penghitungan pajak pada
umumnya yang memperhitungkan kerugian. Dengan menggunakan mekanisme
pada umumnya, wajib pajak yang mengalami kerugian dalam satu tahun pajak
tidak perlu membayar pajak penghasilan adalam tahun tersebut. Selain itu,
kerugian yang diderita dapat dikompensasikan ke penghitungan pajak tahun
berikutnya.

Selain itu, penerapan tarif flat sebesar 1% dari omzet dapat mengakibatkan
pengusaha dengan margin laba bersih besar akan membayar beban pajak yang
lebih ringan dibandingkan dengan pengusaha dengan margin laba bersih yang
lebih kecil.
Lebih lanjut, ketidakadilan juga timbul jika kita melihat dari sisi subjek pajak
badan milik asing. Dalam konteks ini, pihak asing yang berinvestasi di Indonesia
melalui BUT tidak tercakup dalam PP 46/2013, sedangkan bentuk lain seperti
PMA tetap tercakup di dalamnya (selama omzetnya tidak melebihi 4,8 miliar
rupiah). Padahal, menurut UU PPh, BUT merupakan subjek pajak yang
perlakukan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
XIII.

Contoh Perhitungan Pajak
CONTOH #1
Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus menjual
suku cadangnya, Agus Hidayat yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak
tahun 2009 memiliki 2 (dua) buah bengkel yang berada di wilayah yang
berbeda, yakni bengkel A terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X dan
bengkel B terdaftar di KPP Y. Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013
masing-masing bengkel tersebut rnemiliki peredaran bruto sebagai berikut:
Peredaran bruto bengkel A Rp100.000.000,00
Peredaran bruto bengkel B Rp150.000.000,00
Peredaran bruto yang dijadikan dasar penentuan tarif PPh yang bersifat final
adalah jumlah peredaran bruto
bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah).
Karena

total

peredaran

bruto

selama

tahun

2013.

kurang

dari

Rp4.800.000.000,00 (ernpat miliar delapan ratus juta rupiah) maka atas
penghasilan dari usaha yang diterirna oleh Agus Hidayat pada tahun 2014

dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari
peredaran bruto.
Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat mernperoleh peredaran bruto
dari bengkel A sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan dari bengkel
B sebeear Rp15,000.000,00 (lima belas juta.rupiah), maka paling lambat pada
tanggal 17 Februari 2014 [karena tanggal 15 Februari jatuh pada hari Sabtu),
Agus Hidayat wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar :
a. Bengkel A
PPh terutang:
1% x Rp10.000.000,00 = Rp100.000,00
(dilaporkan ke KPP X)
b. Bengkel B
PPh terutang:
1% x Rp15.000.000,00 = Rp150.000,00
(dilaporkan ke KPP Y)
Pada bulan Maret 2013 sebuah perusahaan swasta bernama PT Amira Ekspedisi
melakukan perawatan dan reparasi 5 (lima) motor rnilik perusahaan tersebut di
bengkel A milik Agus Hidayat, Tagihan yang dibuat kepada PT Amira Ekspediai
atas jasa perawatan dan reparasi tersebut adalah sebesar Rp1.500.000,00 (satu
juta lima ratus ribu rupiah). Atas tagihan tersebut PT Amira Ekspedisi
melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% x Rpl.500.000,00 =
Rp30.000,00.
Namun demikian, jika Agus Hidayat telah mendapatkan Surat Keterangan Bebas
dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang dikeluarkan oleh KPP X, atas
pembayaran tagihan tersebut tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 oleh PT
Amira Ekspedisi.
CONTOH #2

Irine menjalankan usaha butik pakaian, memiliki butik pakaian di kota Batam
dan di Singapura. lrine telah terdaftar sebagai WajibPajak sejak tahun 2009 di
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X. Berdasarkan pencatatannya selama tahun
2013 masing-masing butik tersebut memiliki peredaran bruto sebagai berikut:
Peredaran brute butik di Batam

Rp.3.000.000.000,00

Peredaran bruto butik di Singapura Rp.5.000.000.000,00
Dari peredaran bruto butik di Batam sebeser Rp3.000.000.000,00 salah satunya
merupakan hasil penjualan sebesar Rp50.000.000,00 kepada Mr. x seorang
pengusaha dari Singapura.
Selain dari penghasilan usaha butik, Irine juga memperoleh penghasilan dari
sewa apartemen di Singapura sebesar Rp100.000.000,00
Peredaran Bruto yang dijadikan dasar pengenaan PPh yang bersifat final adalah
jurnlah peredaran bruto butik di Batam saja, yakni sebesar Rp3.000.000.000,00.
Penghasilan yang diterima Irine dari sewa aparternen dan butik di
Singapura, tidak diperhitungkandalam menghitung batasan peredaran bruto
untuk dapat dikenai PPh bersifat final.
CONTOH #3
Hari Nugroho yang berstatus kawin dengan 2 (dua) tanggungan adalah orang
pribadi pengusaha konstruksi yang juga rnerniliki toko material "Cakar Beton".
Selain usaha tersebut, Hari Nugroho juga aktif memberikan jasa konsultansi
kepada klien yang mernbutuhkan sarannya. .Jumlah seluruh penghasilan yang
diterirna oleh Hari Nugroho pacta.tahun2013 diketahui sebagai berikut:
a. Penjualan bruto dari toko material "Cakar Beton" Rp.3.500.000.000,00
b. Nilai kontrak jasa pelaksanaan konstruksi (termasuk pemakaian material dari
toko "Cakar Beton") Rp900.000.000,00.
c. Jasa konsultansi sebesar Rp500.000.000,00

Total peredaran bruto Hari Nugroho pada tahun 2013 adalah sebesar
Rp4.900.000.000,00
Untuk menentukan PPh dari usaha toko material "Cakar Beton" eli tahun 2014
dikenai tarif. umum atau tarif yang bersifat final, adalah berdasarkan peredaran
bruto dad usaha

toko material

"Calcar Beton"

seja yakni

sebesar

Rp3.500.000.000,00. Sedangkan peredaran bruto dari jasa pelaksanaan
konstruksi dan jasa konsultan tidak diperhitungkan mengingat jasa pelaksanaan
konstruksi dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan Peraturan
Pernerintah tersendiri dan jasa konsultansi termasuk dalarn lingkup jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas.
Kewajiban pembayaran PPh Hari Nugroho di tahun 2014 adalah sebagai berikut:
a. PPh sebesar 1% bersifat final dari peredaran bruto usaha toko material
"Cakar Beton", untuk setiap bulannya;
b. PPh dari usaha jasa konstruksi, yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah tersendiri; dan
c. Angsuran PPh Pasal 25 (Januari s.d. Desember), atas penghasilan dari jasa
konsultasi.
Misalkan biaya dari jasa konsultasi di tahun 2013 sebesar Rp 169.625.000,00
dan PPh yang telah dipotong/dipungut pihak lain di tahun 2013 sebesar Rp
14.750.000,00, maka kewajiban angsuran
PPh Pasal 25 di tahun 2014 sebagai berikut:
Penghasilan bruto jasa konsultasi tahun 2013 Rp 500.000.000,00
Biaya kegiatan jasa konsultasi tahun 2013 Rp 169.625.000,00
PTKP (K/2) Rp 30.375.000,00
Penghasilan Kena Pajak jasa konsultasi Rp 300.000.000,00
PPh terutang jasa konsultasi Rp 38.750.000,00
Pajak yang dipotong/dipungut pihak lain Rp 14.750.000,00
PPh terutang Rp 24.000.000,00

Angsuran PPh Pasal 25 atas jasa konsultasi Rp 2.000.000,00
(1/12 x Rp 24.000.000,00)