PERILAKU PENGKONSUMSIAN AIR MINUM sistem
PERILAKU PENGKONSUMSIAN PRODUK BERISIKO:
KASUS PADA PENGKONSUMSIAN AIR BERSIH PDAM DI SURABAYA
Diajukan oleh:
Dr. Gancar C. Premananto
Sri Gunawan, DBA.
Departemen Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga
1
PERILAKU PENGKONSUMSIAN PRODUK BERISIKO:
KASUS PADA PENGKONSUMSIAN AIR BERSIH PDAM DI SURABAYA
ABSTRAKSI:
Air bersih dari PDAM di Indonesia khususnya di Surabaya sudah mencapai batas yang
mengkhawatirkan, dengan demikian pengkonsumsian terhadap air ini untuk air minum
sangatlah dipertanyakan, mengingat dampaknya pada kesehatan konsumennya.
Perilaku pengkonsumsian air bersih bagi warga menjadi hal yang menarik untuk
diamati. Sikap (risk attitude) dan persepsi (risk perception) atas risiko, serta tingkat
pengetahuan atas kualitas PDAM, dengan variabel moderator tingkat pendapatan dan
pendidikan diamati pengaruhnya terhadap perilaku pengkonsumsian (risk behavior)
produk PDAM. Pengujian dilakukan dengan mengadopsi model Arrow-Pratt yang
merupakan model dari ilmu Manajemen Keuangan, yakni diamati dari keterkaitan
pengkonsumsian produk berisiko dengan sikap dan persepsi atas risiko produk.
Penggunaan model dari ilmu Manajemen Keuangan juga memberikan kontribusi pada
diskusi perbedaan perceived risk dan risk perception. Hasil dari penelitian ini selain
menyajikan bentuk konvergensi ilmu antara Manajemen Keuangan dengan Manajemen
Pemasaran, juga diharapkan secara praktis dapat memberikan masukan bagi PDAM,
juga bagi Industri yang menjadi solusi terhadap air minum tersebut seperti industri Air
Minum dalam Kemasan (AMDK), water purifier dan air isi ulang dalam menyediakan
kebutuhan utama kehidupan.
Keywords: Risk attitude, risk perception, risk behavior, Arrow-Pratt
2
I. PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Pencemaran air sungai bukanlah hal baru di Indonesia. Kasus yang terjadi di Surabaya
sendiri,
berdasarkan
data
dari
Ecological
Observation
and
Wetlands
Conservation/ECOTON (Koran Tempo, 12 Juni 2012), sejak 2004 setidaknya ada 16
kasus pencemaran lingkungan yang ditangani oleh Kepolisian Resor Kota Besar
Surabaya. Dari sumber yang sama, pencemaran yang terjadi diperkirakan mencapai Rp
1.152 miliar akibat matinya ribuan ekor ikan dari berbagai spesies. PDAM
menambahkan zat adiktif seperti sulfat, kaporit dan zat-zat lain lebih banyak untuk
meningkatkan kadar oksigen (dissolved oxigen). Lebih lanjut, dengan mengamati
kondisi insang ikan nila dan ikan tawes, hasil riset dari Trihadiningrum dan Tandjung
(2007) dari ITS, menunjukkan bahwa pencemaran air di Kali Surabaya tercemar secara
bervariasi, dari yang sedang, agak berat dan berat. Pencemaran tersebut pada
dasarnya juga berdampak serius bagi manusia, mengingat 96% bahan baku PDAM
Surya Sembada Kota Surabaya mengandalkan air sungai Surabaya dan kemudian hasil
jadinya dikonsumsi oleh + 499 ribu pelanggan.
Kualitas bahan baku yang buruk dan mempengaruhi kualitas produk jadi PDAM
menjadikan pengkonsumsian produk tersebut menjadi bentuk dari pengkonsumsian
produk berisiko. Air minum yang kualitasnya buruk tentunya berdampak pada
kesehatan pihak yang mengkonsumsinya. Seperti yang terpapar dalam situs BPLHD
Jawa Barat (21 Juli 2009), beberapa akibat serius dapat terjadi pada organisma air dan
manusia baik langsung maupun tidak langsung. Yang terkena dampak langsung adalah
makhluk hidup yang habitatnya di lingkungan air tercemar, seperti tumbuhan air, ikan
dan bahkan burung pemakan ikan. Beberapa jenis limbah air dapat mengkibatkan
kematian pada organisma tersebut. Dampak bagi manusia adalah dampak langsung
dan tidak langsung. Dampak langsung yang terjadi adalah karena pengkonsumsian air
tersebut yang dapat mengakibatkan iritasi pada kulit dan mata, mengganggu
pernafasan bahkan menyebabkan kanker. Dampak tidak langsung, adalah akibat
mengkonsumsi organisma yang tercemar limbah. Limbah yang paling berbahaya yang
berpengaruh tidak langsung kepada manusia diantaranya adalah limbah industri berupa
3
merkuri,
seperti
contoh
di
Teluk Minamata
Jepang
tahun
1953-1960
yang
mengakibatkan 100 orang meninggal atau cacat.
Dengan melihat adanya potensi serius berkaitan dengan pengkonsumsian
produk PDAM, pada dasarnya konsumen memiliki pilihan dalam pola pengkonsumsian
air minum. Di pasaran telah tersedia dengan mudah air minum dalam kemasan
(AMDK). Masyarakat juga dengan mudah menemui depot air minum dalam kemasan.
Bahkan di ritel saat ini telah dijual alat pemurni air (water purifier) dengan harga yang
cukup terjangkau. Banyaknya pilihan opsi tersebut, menjadi daya tarik untuk penelitian
lebih lanjut. Konsumen pada dasarnya telah memiliki pilihan untuk tidak melakukan
konsumsi produk berisiko. Maka adalah penting, mengamati tingkat kepercayaan
konsumen terhadap produk air dari PDAM dengan pendekatan pengamatan terhadap
persepsi, sikap maupun perilaku pengkonsumsiannya.
Perilaku pengkonsumsian produk berisiko tidak dapat terlepas dari aspek internal
konsumennya. Menurut model Arrow – Pratt, yang diadaptasi oleh Paraschiv dan
Zahari (2000), Pennings et al. (2002), Pennings dan Wansink (2003), Pennings et al.
(2008) untuk masalah pangan – perilaku pengkonsumsian produk berisiko dipengaruhi
oleh sikap (risk attitude) dan persepsi atas risiko (risk perception)serta interaksi antar
keduanya. Bahwa seseorang tetap dimungkinkan mengkonsumsi produk yang berisiko
ketika ia memiliki sikap menyukai risiko (risk taker), dan sebaliknya. Juga bahwa
seseorang dimungkinkan mengkonsumsi produk yang berisiko karena ia menganggap
risiko produk tersebut kecil, dan sebaliknya. Dengan demikian model Arrow-Pratt
dijadikan
sebagai
model
utama
yang
digunakan
untuk
mengamati
perilaku
pengkonsumsian produk air PDAM.
Lebih lanjut persepsi terhadap risiko tidak terlepas dari pengetahuan individu
tersebut terhadap risiko dari produk. Informasi dan pengalaman yang dimiliki
menentukan pengetahuan yang dimiliki seseorang yang kemudian akan mempengaruhi
persepsinya terhadap risiko (Penning et al., 2002; Paraschiv dan Zaharia, 2000). Ketika
seseorang memiliki pengetahuan yang baik mengenai risiko suatu produk, maka
persepsinya terhadap risiko akan menjadi lebih tinggi. Untuk itu aspek pengetahuan
terhadap risiko sebagai determinan persepsi terhadap risiko dapat dimasukkan sebagai
4
variabel pelengkap dari model yang akan diuji. Hal ini juga disarankan dalam
Premananto (2003).
Secara
keseluruhan,
kondisi
demografis
konsumen
dimungkinkan
mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan pola perilaku pengkonsumsian
(Hawkins dan Mothersbaugh, 2010). Hal ini juga terdukung dari riset Premananto
(2003) yang mendapatkan hasil bahwa faktor pendidikan memberikan perbedaan dalam
mempersepsikan risiko produk. Maka model yang berusaha dimunculkan dalam riset ini
adalah pengujian terhadap model Arrow-Pratt untuk permasalahan pengkonsumsian
produk publik yang berisiko dengan mengembangkan model tersebut pada pengamatan
kondisi demografis yang berbeda.
I.2. Permasalahan
Air selaku produk publik haruslah dikelola sebaik mungkin karena menyangkut hajat
hidup orang banyak. Namun ketika kualitasnya terbukti buruk karena bahan bakunya
yang buruk, maka para konsumen dihadapkan pada perilaku pengkonsumsian produk
berisiko. Dengan menggunakan model Arrow-Pratt dilakukan pengujian pola perilaku
konsumen produk PDAM dengan mengkaitkannya dengan aspek internal konsumen
antara lain sikap dan persepsi atas risiko, dan ditambahkan variabel pengetahuan atas
risiko produk, norma subyektif, persepsi pengendalin serta faktor demografinya. Secara
lebih rinci, permasalahan yang berusaha diuji, antara lain:
1. Pengaruh Sikap atas risiko air PDAM terhadap perilaku pengkonsumsian air PDAM.
2. Pengaruh Persepsi atas risiko air PDAM terhadap perilaku pengkonsumsian air
PDAM.
3. Pengaruh interaksi antara Sikap dan Persepsi atas risiko air PDAM terhadap perilaku
pengkonsumsian air PDAM.
4. Pengaruh Pengetahuan atas air PDAM terhadap persepsi atas risiko air PDAM.
I.3. Tujuan
Riset ini ditujukan untuk menguji model Arrow-Pratt yang diadaptasi ke dalam ilmu
Manajemen Pemasaran untuk produk publik yakni air PDAM, yang menjadi kebutuhan
utama warga. Dengan demikian pengujian dilakukan dengan melakukan pengujian
5
model yang diambil dari Manajemen Keuangan dan dari Manajemen Pemasaran
sendiri, untuk memunculkan adanya konvergensi ilmu dalam menjelaskan sebuah
fenomena.
Riset juga ditujukan untuk memberikan masukan bagi para pengelola industri air
minum termasuk para pengambil kebijakan, mengenai persepsi dan sikap konsumen air
minum. Diharapkan dengan riset ini, dapat dirumuskan strategi dan program
pemasaran yang efektif.
I.4. Manfaat
1.
Memahami
perilaku
konsumen
untuk
produk
yang
berisiko
dengan
mengkonvergensikan teori dari Manajemen Keuangan dan Manajemen Pemasaran.
2.
Dengan
mengetahui
variabel
yang
dianggap
berpengaruh
pada
perilaku
pengkonsumsian produk berisiko maka produk substitusi dapat mempengaruhi
aspek tersebut, untuk meningkatkan daya terima produknya. Bila persepsi atas
risiko sebagai pemicu utama reaksi konsumen dalam mengkonsumsi produk
berisiko, maka pengkomunikasian dampak negatif secara lebih gencar merupakan
sarana yang efektif untuk dilakukan. Adapun bila sikap atas risiko merupakan
pemicu utama respon konsumen, maka fokus perhatian lebih baik diarahkan pada
usaha mengeliminasi risiko produk atau mencari alternatif produk.
6
II. LANDASAN TEORI
II.1. Risiko
II.1.1. Definisi Risiko
Menurut konvensi manajemen keuangan, risiko diinterpretasikan sebagai kondisi tidak
adanya kepastian (the absence of certainty). Lebih spesifik Doherty (1982)
menyampaikan bahwa risiko terjadi karena adanya variasi dari hasil akhir. “Risk refers
to the quality of variation in the range of possible outcomes; the greater the potential
variation, the greater the risk.” Adapun dalam perilaku konsumen, pengertian risiko
menjadi lebih spesifik dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan konsumen.
Loudon dan Bitta (1988) menerangkan pengertian risiko sebagai “… uncertainty
regarding the most appropriate purchase decision or the consequences of the
decision.”
Dalam pengambilan keputusan dan perilaku konsumen, konsep risiko sering
dianalisis dalam konsep perceived risk, yang memiliki 2 dimensi yakni persepsi atas
ketidakpastian/kemungkinan terjadi dan tingkat keseriusan konsekuensi negatif yang
didapat dari pengkonsumsian produk. Hal tersebut salah satunya dikemukakan oleh
Dowling dan Staelin (1994), “The concept of perceived risk most often used by
consumer researchers defines risk in terms of the consumer’s perception of the
uncertainty and adverse consequences of buying a product (or service).” Dukungan
juga disampaikan oleh Peter dan Olson (1999), “Perceived risks concern the
undesirable consequences that consumers want to avoid when they buy and use
products… the amount of perceives risk a consumer experiences is influenced by two
things: (1) the degree of unpleasantness of the negative consequences and (2) the
likelihood that these negative consequencess will occur.”
Dalam perilaku konsumen, risiko merupakan faktor kunci dalam proses
pengambilan keputusan. Hal tersebut dikarenakan setiap pembelian suatu produk
tertentu dapat mengakibatkan risiko tertentu, yang bervariasi besar kecilnya (Pennings
et al. (2002).
7
II.1.2. Bentuk-bentuk Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dari hasil suatu pembelian dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa bentuk (Schiffman dan Kanuk, 2000; Loudon dan Bitta, 1988), antara
lain:
(1) Financial risk, yakni konsumen mungkin akan kehilangan uangnya apabila
produk tidak berfungsi atau memakan biaya yang besar untuk membuatnya
berfungsi dengan baik,
(2) Performance risk, apabila produk tidak bekerja sebagaimana mestinya,
(3) Physical risk, yakni apabila produk berbahaya atau mengakibatkan dampak
negatif bagi kesehatan seseorang,
(4) Psychological risk, apabila produk yang dibeli tidak sesuai dengan citra diri
seseorang,
(5) Time-loss risk, apabila produk tersebut membuang waktu, kenyamanan dan
usaha konsumen untuk menyetel , memperbaiki atau memindahkannya.
Kategori yang hampir sama juga dikemukakan oleh Rohrmann (2002) namun lebih
mengarah pada bahaya yang mungkin terjadi saat melakukan aktivitas berisiko, yakni:
(1) Physical – accidents, seperti untuk aktivitas mendaki, mengebut dll.
(2) Physical – illness, seperti untuk aktivitas merokok, seks bebas, bekerja di sekitar
wilayah radiasi dll.
(3) Financial, seperti investasi di pasar saham, berjudi, adu pacuan kuda dll.
(4) Social, seperti mengikuti pemilihan/audisi/kontes, menyatakan diri homoseksual
dll.
Adapun dari perspektif psikologi (Schutz, 2000) menyatakan ada pembedaan
yang penting dari bentuk risiko berdasarkan kemampuan individu untuk mengontrol
aktivitasnya, yakni:
(1) Life-style risks, yakni risiko yang mengacu pada dampak yang diakibatkan dari
aktivitas individu sendiri, seperti merokok, minum minuman keras, hand-gliding,
seks bebas dsb. Pada prinsipnya risiko yang terjadi di bawah kontrol individu dan
merupakan subyek atau hasil dari keputusan individu.
8
(2) Environmental risk, yakni diakibatkan dari aktivitas bermasyarakat, baik karena
penggunaan teknologi (seperti pembangkit tenaga nuklir, industri bahan kimia),
produk-produk teknologi (seperti pestisida, gas karbon dari kendaraan, limbah)
atau juga karena proses alamiah (seperti banjir, gempa bumi). Pada prinsipnya,
individu tidak mempunyai kontrol terhadap terjadinya aktivitas pengkonsumsian
produk berisiko.
Khusus untuk produk makanan dan minuman, risiko terutama mengarah pada
physical risk - illness, yakni risiko pembelian dan pengkonsumsian produk terhadap
kesehatan diri konsumen. Untuk kategorisasi terakhir, untuk produk air PDAM, risiko
terjadi karena limbah, yang mengarah pada environmental risk.
II.2. Persepsi atas Risiko
Persepsi dalam perilaku konsumen (Schiffman dan Kanuk, 2000) adalah proses
yang
dilakukan
individu
dalam
menyeleksi,
mengorganisasikan
dan
menginterpretasikan stimuli menjadi gambaran yang bermakna dan logis. Dengan
makna persepsi sebagai proses, maka persepsi dipengaruhi oleh stimuli yang ada.
Persepsi atas risiko dalam perilaku konsumen dikaitkan dengan konsep
perceived risk. Namun fokus risiko dalam perilaku konsumen hanya mengarah pada
dampak negatif yang potensial dari suatu produk. Konsep perceived risk juga
mengasumsikan sudah adanya usaha menghindari risiko (risk aversion), yang artinya
telah terjadi risk preference dan menutup kemungkinan adanya seseorang yang
menyukai risiko (risk seeker) (Peenings et al., 2002). Padahal dalam beberapa kasus
produk dan jasa, walaupun produk telah jelas memiliki risiko negatif, tetap tersedia,
dibeli dan dikonsumsi secara legal , bahkan menjadi bisnis yang menguntungkan bagi
para produsennya. Contoh produk barang berisiko adalah rokok, minuman keras, air
minum PDAM dll sedang produk jasa berisiko adalah lokalisasi, tempat hiburan malam,
tayangan erotis dll. Untuk produk-produk tersebut, konsep perceived risk kurang
mampu untuk menjelaskan perilaku pengkonsumsian produk berisiko atau dapat
dikatakan kurang mampu menjelaskan kemungkinan adanya konsumen yang memilih
dan menyukai produk yang berisiko tersebut. Dengan alasan tersebut, beberapa
9
peneliti (Pennings et al., 2002; Pennings dan Wansink, 2003; Pennings et al. 2008)
kemudian
mengadopsi
konsep
Risk
Perception
dari
ilmu
Manajemen
Keuangan/Investasi untuk menggambarkan fenomena perilaku tersebut.
Risk perception dari konsep Manajemen Keuangan tidak menyempitkan makna
pada sesuatu yang tidak menyenangkan/negatif saja, namun lebih bermakna sesuatu
yang tidak pasti terjadinya di masa mendatang. Hal tersebut disampaikan oleh Doherty
(1985), “Risk, in this sense, does not imply that outcomes are adverse, only they are
not known in advance. Thus risks includes the possibility that there result may provide a
pleasant surprise.”
Bahkan pada dasarnya, risiko dapat dilihat dalam 3 perspektif
(Rohrmann, 2002), yakni:
(1) Perspektif negatif, risiko adalah kemungkinan terjadinya kerugian, ancaman atau
kerusakan secara fisik, sosial atau finansial,
(2) Perspektif netral, risiko berarti adanya ketidakpastian hasil (baik atau buruk) dari
suatu keputusan,
(3) Perspektif positif, risiko dimaknai sebagai sesuatu yang menantang dan
menggairahkan (thrill).
Konsep perceived risk hanya mengakomodasi perspektif pertama saja, adapun konsep
risk perception dapat mengakomodasi ketiga perspektif risiko yang ada. Konsep risk
perception tersebut merupakan konsep yang banyak digunakan dari disiplin ekonomi
dan statistik, dan digunakan untuk penelitian-penelitian yang berhubungan dengan
keuangan dan kesehatan (Pennings et al. 2002).
Definisi konsep Risk Perception menurut Pennings et al. (2002) sebagai berikut;
“Risk perceptions reflect the cosumers’ interpretation of the chance to be exposed to
the content of the risk and may be defined as a consumers’ assessment of the
uncertainty of the risk content in herent in a particular situation…risk perception deals
with the decision-maker’s interpretation of the chance to be exphosed to the content of
the risk.”
Dengan kata lain, risk perception berhubungan dengan perkiraan seseorang
terhadap kemungkinan dirinya terexpose/terkena resiko dari suatu hal atau produk.
Dalam penelitian ini risk perception berhubungan dengan perkiraan seorang konsumenf
10
mengenai kemungkinan dirinya terekspos penyakit akibat minum air PDAM. Risiko
terjangkit berbagai penyakit perut adalah yang terutama dapat terjadi
Komponen Risk perception merupakan variabel kontinu, yang memiliki dua
kontinum dari mempersepsikan tidak ada resiko sampai mempersepsikan adanya
resiko yang tinggi ( Pennings dan Walsink, 2003 )
Weber dan Milliman (1997) menyatakan bahwa risk perception merupakan faktor
utama penyebab perubahan perilaku dalam bertaruh, karena pada dasarnya risk
preference / risk attitude seseorang bersifat stabil.
Stusi psychometric mengenai risk perception (Schutz et al., 2000) menyatakan
bahwa resiko merupakan kombinasi dari besarnya resiko yang ditimbulkan (size of
damage) dan kemungkinan timbulnya resiko tersebut (probability of damage), maka
dalam pengukuran risk perception, kedua dimensi tersebut harus dapat diukur.
II.3. Sikap atas Risiko
Sikap (Attitude) secara sederhana dapat dinyatakan seberapa positif atau negatif,
menyenangi atau tidak menyenangi, pro atau kontra-nya seseorang terhadap sesuatu
hal/obyek (Loudon dan Bitta, 1988), jadi menyangkut perasaan atau reaksi evaluatif
terhadap suatu obyek. Pengertian lain menyatakan bahwa sikap pada dasarnya adalah
kecenderungan berperilaku untuk menyukai atau tidak menyukai suatu obyek tertentu
secara konsisten yang berasal dari proses learning (Schiffman dan Kanuk, 2000).
Pendekatan yang digunakan dalam definisi ini adalah pendekatan sikap dari komponen
afektif saja seperti yang dianut oleh Fishbein dan Ajsen, Oskamp serta Petty dan
Cacioppo (Azwar, 2003).
Adapun risk attitude atau sikap atas risiko merupakan variabel yang melekat
pada kepribadian seseorang. Pennings et al. (2002) menyatakan pengertian dari risk
attitude yakni “Risk attitude reflects a consumer’s general predisposition to risk in a
consistent way…risk attitude deal with the decision maker’s interpretation of content of
the risk and how much s(he) dislike the risk.” Adapun Rohrmann (2002) menyatakan
risk attitude sebagai “ a generic orientation (as a mind set) toward taking or avoiding a
risk when deciding hoe to proceed in situations with uncertain outcomes.”. Jadi risk
11
attitude berhubungan dengan kecenderungan seseorang bersikap, yang sifatnya
konsisten, terhadap situasi yang mengandung ketidakpastian munculnya resiko.
Dari definisi tersebut juga dapat dijelaskan bahwa risk attitude atau risk
preference yang merupakan variabel kontinyu yang memiliki kontinum dari extremely
risk averse (menolak risiko apapun dalam kondisi apapun) hingga extremely risk
seeking (selalu memilih risiko yang membawa hasil) (Pennings dan Wansink, 2003;
Weber dan Milliman, 1997). Hal sama juga disampaikan oleh Rohrmann (2002) dengan
menyatakan risk attitude berada dalam range dari sangat hati-hati hingga risk seeking
bahkan menikmati resiko.
Pada dasarnya terdapat tiga bentuk penggolongan sikap seseorang terhadap
risiko (Weston dan Copeland, 1995) ;
(1) Pencari risiko (risk seeker / risk lover), adalah kelompok yang senang mengambil
risiko.
(2) Penghindar risiko (risk averter / risk avoider), adalah kelompok yang cenderung
menjatuhkan keputusan pada sesuatu yang kurang mengandung resiko.
(3) Acuh terhadap resiko (indifference / risk neutral), kelompok yang tidak perduli
akan jenis invertasi yang akan diambil.
Schoemaker (1993) menyatakan bahwa risk attitude/risk preference ini
merupakan suatu konstruk yang membedakan individu yang sifatnya stabil, dalam
artian variabel ini tidak berubah dengan adanya perbedaan rangsangan atau konteks.
Pendapat tersebut juga didukung oleh Antony et al.(2001), yang menyatakan bahwa
aspek resiko tersebut relatif stabil dan tidak berpengaruh pada konteks / situasi-kondisi.
Beberapa teori juga sering mengasumsikan bahwa pada dasarnya seseorang berusaha
untuk konsisten terhadap sikap yang diambilnya (Schutz et al., 2000). Kestabilan dalam
bersikap tersebut akan terlihat dalam bentuk / domain yang khusus, atau dengan kata
lain stabil dalam suatu ruang lingkup permasalahan. Hal tersebut dinyatakan oleh
MacCrimmon dan Wehrung yang dikutip oleh Pennings dan Wansink (2003) yakni ‘risk
attitude is a domain-specific concept’, dalam penelitian ini domainnya adalah dalam hal
kesehatan atau physical illness (Rohrmann) (2002)).
Risk Preference ini merupakan variabel yang cukup dominan bagi pengambilan
keputusan yang beresiko (Weber dan Milliman, 1997). Dalam teory pengambilan
12
keputusan risk attitude merupakan komponen utama dalam mendefinisikan perilaku
individu dalam situasi yang beresiko (Kahneman dan Tversky, 1992; Thaler, 1985).
Karena itu Paraschiv dan Zahari (2000) menyatakan bahwa risk attitude dapat
menjelaskan perilaku seseorang dan perilakunya terhadap risiko.
II.4. Perilaku Berkaitan dengan Produk Berisiko
Dalam beberapa penelitian (Pennings, Wansink dan Meulenberg, 2002; Pennings dan
Wansink, 2003), perilaku atas produk berisiko (risk behavior) ini mempunyai banyak
padanan kata yang juga digunakan dalam penelitian consumer behavior – seperti risk
response, consumer’s reaction, consumer’s response, risk behavior dan risk
management behavior, yang kesemuanya mempunyai makna yang sama seperti yang
disampaikan oleh Rohrmann (2002), “..the actual behavior of people when facing a risk
situation.” Atau dengan kata lain aktifitas yang dilakukan oleh konsumen dalam
mengantisipasi dan menghadapi resiko, atas pengkonsumsian suatu produk. Paraschiv
dan Zahari (2000) lebih menyebutnya sebagai Demand for Risk Reduction.
Lebih lanjut sebelum tahap perilaku (behavior), tahap penting sebelumnya
adalah tahapan niat untuk berperilaku (intended behavior / behavior intention) yang
mencerminkan latent behavior dalam menghadapi risiko.
II.5. Model Arrow-Pratt
Pennings et al. (2002), menunjukkan bahwa model yang dikembangkan oleh Arrow
tahun 1971 dan Pratt pada tahun 1964, memberikan wawasan dari sudut pandang
Manajemen Keuangan mengenai hubungan persepsi atas risiko, sikap atas risiko dan
perilakunya. Dalam model yang diajukan, manajemen risiko direfleksikan dengan risk
premium, merupakan fungsi dari sikap atas risiko (risk aversion), dan persepsi atas
risiko (risk perception) serta interaksi antara keduanya. Rumus yang dibangun ArrowPratt adalah sebagi berikut;
π = (Ϭ2 / 2) * [ U”(W) / U’(W) ]
Dinyatakan oleh Scroeder et al. (2007), bahwa π adalah risk premium ; Ϭ2 adalah
komponen tingkat risiko; sedangkan [ U”(W) / U’(W) ] merupakan komponen sikap atas
13
risiko (risk aversion). Dengan demikian, risk premium merupakan fungsi dari tingkat
risiko dan sikap atas risiko.
II.5. Keterkaitan Antara Risk Perception, Risk Attitude dan Risk Behavior
II.5.1. Pengaruh Risk Perception terhadap Risk Behavior
Secara konsep Trimpop (1994) menyatakan bahwa sebelum seseorang / institusi
merespon risiko, mula-mula risiko dipersepsikan atau diidentifikasikan. Kemudian
Schiffman dan Kanuk (2002) juga menyatakan “ …consumers are influenced by risks
that they perceive, whether or not such risks actually exist. Risk that is not perceived –
no matter how real or how dangerous – will not influence comsumer behavior.”
Ditambahkan juga oleh Zaltman dan Wallendorf (1979) bahwa persepsi konsumen
terhadap risiko merupakan determinan yang penting terhadap perilaku konsumen.
Hubungan antara Risk Perception dengan Risk Behavior (Intention) secara
khusus telah diamati dalam beberapa studi (Paraschiv dan Zahari (2000); Placer dan
Delquie (1997)) yang menunjukkkan adanya keterkaitan antara kedua variabel tersebut,
namun ditemukan bahwa terkadang muncul ketidak konsistenan. Ketidakkonsistenan
dalam studi yang dilakukan oleh Placer dan Delque (1997) tersebut diakibatkan karena
adanya pengamatan terhadap risiko secara kolektif dan faktor lain diluar risk perception
yang mempengaruhi perilaku untuk mengurangi risiko misal pertimbangan faktor
lainnya atau mempertimbangkan persepsi dari pihak lain. Sedang studi risiko tunggal
yang dilakukan oleh Paraschiv dan Zaharia (2000) menunjukkan konsistensi yang tinggi
antara risk perception dan niat untuk mengurangi risiko.
Dalam studi Dowling dan Staelin (1994), juga dinyatakan bahwa persepsi
terhadap risiko digunakan sebagai variabel penjelas (explanatory variable) dalam
penelitian perilaku konsumen terutama mempengaruhi niat berperilaku ( intended
behavior)
Dari paparan diatas, intinya adalah bahwa konsep risk perception sebagai
variabel yang mempengaruhi risk intended behavior telah diimplementasikan dalam
beberapa studi. Dari hal ini, muncul hipotesis berikut;
H1: Persepsi atas Risiko berpengaruh terhadap Perilaku menjauhi risiko.
14
II.5.2. Pengaruh Risk Attitude terhadap Risk Intended Behavior
Winardi (1991) mengungkapkan bahwa sikap seorang individu bermanfaat
sebagai suatu pedoman umum bagi perilaku ke arah obyek terhadap mana sikap
ditujukan (attitudinal object). Lebih spesifik, Zaltman dan Wallendorf (1979) juga
menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu sikap dapat memprediksi perilaku dan untuk
pengukurannya yang lebih tepat aadalah mengukur niat berperilaku (behavioral
intention). Hal yang sama juga disampaikan oleh Engel Blackweel dan Miniard (1995)
dalam model A Contemporary view of the relationship among beliefs, feelings, attitude,
Vehavioral Intention and Behavior.
Secara konsep, Mackey (1994) juga menyatakan bahwa sikap (attitudes)
merupakan prediktor yang baik untuk melihat perilaku apabila individu yang mengambil
keputusan memiliki kontrol terhadap perilaku tersebut. Adapun aktifitas mengkonsumsi
produk berisiko seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, termasuk
aktivitas yang berada dalam kontrol si pelaku.
Dari berbagai studi (Weber & Milliman (1997); Kahneman & Tversky (1992);
Thaler (1985)) secara khusus juga telah diamati bahwa komponen utama yang
menentukan perilaku individu dalam situasi yang beresiko adalah risk attitude. Individu
yang berbeda dalam situasi yang sama dapat bereaksi berbeda terutama dikarenakan
individu yang berbeda memiliki risk attitude yang berbeda dan menerima tingkat risiko
yang berbeda.
Dari berbagai konsep dan studi diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
risk attitude dapat dijadikan sebagai variabel yang mempengaruhi dalam risk behavior (
intention). Dari paparan ini dimunculkan hipotesis kedua, yakni;
H2: Sikap atas Risiko berpengaruh terhadap Perilaku menjauhi risiko.
II.5.3. Pengaruh Interaksi Risk Attitude dan Risk Perception terhadap Risk
Behavior
15
Secara konseptual dinyatakan oleh Schiffman dan Kanuk (2000) menyatakan
bahwa tingkat risiko yang dipersepsikan oleh konsumendan sikap terhadap risiko
mempengaruhi strategi pembelian konsumen.secara bersama risk attitude dan risk
perception juga dilihat keterkaitan/hubungannya dengan risk behavior (intention) dalam
beberapa studi (Pennings, Wansink, & Meulenberg (2002); Antony, Lin dan Xu, (2001);
Pennings dan Wasink (2003). Argumen dari penelitian tersebut adalah bahwa pengaruh
risk attitude dan risk perception terhadap risk behavior (intention) tidak berjalan sendiri
namun dalam suatu kombinasi dan interaksi bersama.Dalam sikap yang bagaimanapun
seseorang tidak akan mengubah perilakunya apabila dipersepsikan tidak ada suatu
risiko, sebaliknya dalam risiko yang bagaimanapun perilaku seseorang akan tergantung
dapa sikapnya terhadap risiko.
H3: Persepsi dan sikap atas Risiko berinteraksi mempengaruhi Perilaku
menjauhi risiko.
II.6. Pengaruh Pengetahuan atas Risiko terhadap Risk Perception
Perbedaan dan perubahan persepsi salah satunya dikarenakan oleh perbedaan dan
perubahan
pengetahuan/informasi
yang
dimiliki
(knowledge)
(Hawkins
dan
Mothersbaugh, 2010; Schutz et al., 2000). Seseorang dapat memiliki perbedaan
persepsi atas risiko dengan orang lain, ketika ia memiliki perbedaan pengatahuna.
Bahkan orang yang sama dapat mengalami perubahan persepsi ketika orang tersebut
mendapatkan pengetahuan tambahan berkaitan dengan obyek yang dipersepsikan.
H4: Pengetahuan atas risiko berpengaruh terhadap persepsi atas risiko.
II.8. Kerangka Konseptual
Dari pembahasan terhadap konsep dan studi yang pernah dilakukan, maka
secara konseptual terdapat beberapa hubungan dari konsep risk perception, risk
attitudes dab risk behavior yang dapt disimpulkan sebagai berikut;
1. Risk perception mempengaruhi risk intended behavior,
2. Risk attitude mempengaruhi risk intended behavior,
16
3. Risk perception bersama dengan risk attitudes mempengaruhi risk intended
behavior,
4. Pengetahuan mempengaruhi risk perception.
Berdasarkan hubungan-hubungan tersebut maka disusun model hubungan /keterkaitan
antar variabel tersebut dengan bentuk sebagai berikut :
Gambar II.1. Kerangka Hubungan
antara Risk Perception, Risk attitude dan Risk Behavior.
PENGETAHUN ATAS
RISIKO AIR PDAM
H
PERSEPSI ATAS
RISIKO
AIR PDAM
H
H1
H2
SIKAP ATAS RISIKO
AIR PDAM
PERILAKU ATAS
PENGKONSUMSIAN
AIR PDAM
17
III. METODE PENELITIAN
III.1. Desain Penelitian
Penelitian utama merupakan penelitian kuantitatif yang dirancang untuk menganalisis
model hubungan antara risk perception, risk attitude dan risk behavior dalam
mengantisipasi dan menghadapi risiko akibat mengkonsumsi air PDAM. Pada dasarnya
ada beberapa hubungan utama dalam satu model yang akan dibahas dalam penelitian
ini, yakni :
(1) Pengaruh risk perception dan risk attitudes terhadap risk behavior, dapat
dituliskan dalam bentuk;
RB = β10 + β11 RP + β12 RA + β13 RA*RP e
(2) Pengaruh pengetahuan terhadao risk perception, dapat dinyatakan dalam
bentuk;
RP = β20 + β21 Pengetahuan + e
Kedua pola hubungan tersebut akan dianalisis secara simultan untuk mendapatkan
model yang utuh dengan menggunakan Structural Equation Modelling (SEM).
III.2. Sampling
Populasi dari penelitian adalah konsumen PDAM di Surabaya. Jumlahnya
diperkirakan 499 ribu pelanggan. Dengan tingkat keyakinan 95%, maka jumlah sampel
dari hasil perhitungan menunjukkan nilai 96. Ukuran sampel direncanakan diperbesar
menjadi + 200 responden, jumlah tersebut diatas merupakan jumlah minimal untuk
penelitian dengan analitis data statistik yakni 300, seperti yang diutarakan oleh Bailey
dalam buku milik Hasan (2002) dan lebih besar dari 100 yang dianggap oleh banyak
peneliti sebagai jumlah yang minimum (Soehartono, 2002). Ukuran sampel 200 juga
disarankan oleh Hair et al. (1998) yang merekomendasikan range antara 100-200
sebagai ukuran sampel untuk analisis data multivariat dan menyatakan bahwa jumlah
200 sebagai ‘critical sample size.’ Dan untuk menarik kesediaan responden. Maka
diberikan hadiah suvenir ballpoint cantik.
18
Pengambilan kota Surabaya sebagai tempat penelitian selain karena masalah
kemudahan akses, juga karena Surabaya merupakan kota besar/Ibu kota Provinsi Jawa
Timur yang memiliki masalah dalam limbah/pencemaran air.
Unit analisis dari penelitian ini adalah keluarga, yakni mereka yang sehariharinya menggunakan air untuk diminum. Namun lebih lanjut bahwa responden adalah
mereka yang dapat mewakili keluarga untuk menjawab, dalam hal ini adalah suami/istri
kelompok menengah ke atas. Kelompok tersebut dipilih karena mereka tentu dapat
memiliki kesempatan dan kemampuan untuk memilih minuman yang dikonsumsinya.
Kelompok ekonomi bawah, tidak seringkali tidak memiliki kebebasan untuk membuat
pilihan air yang dikonsumsi untuk air minum. Metode pengambilan sampel dilakukan
dengan metode purposive sampling.
III.3. Variabel Penelitian
Pada dasarnya ada 3 variabel utama dalam penelitian ini, yakni :
1. Risk perception, menjadi variabel bebas dari risk behavior, namun juga menjadi
variabel tergantung dari pengetahuan.
2. Risk attitudes, menjadi variabel bebas dari risk behavior.
3. Risk behavior, menjadi variabel tergantung
4. Pengetahuan atas risiko, menjadi variabel bebas dari risk perception
III.4. Definisi operasional
III.4.1. Persepsi atas Risiko
Risk perception atau persepsi atas risiko didefinisikan sebagai pandangan
seseorang mengenai seberapa besar kemungkinan dirinya terkena risiko sakit dari
pengkonsumsian air PDAM apabila meminumnya. Persepsi tersebut menyangkut
persepsi terhadap besarnya resiko yang ditimbulkan
(size of damage) dan
kemungkinan timbulnya risiko tersebut (probability of damage).
Untuk variabel risk perception, dimunculkan indikator-indikator sebagai berikut :
a.
Berkaitan dengan persepsi terhadap besarnya risiko yang ditimbulkan air PDAM
bagi kesehatan konsumen apabila meminumnya;
19
(1) Risiko minum air PDAM terhadap kesehatan saya adalah besar,
(2) Risiko minum air PDAM terhadap kesehatan saya adalah tidak kecil,
b. Berkaitan dengan persepsi terhadap kemungkinan bagi konsumen terkena penyakit
akibat minum air PDAM.
(1) Kemungkinan bahwa saya terkena gangguan kesehatan akibat minum air
PDAM adalah besar.
(2) Kemungkinan bahwa saya terkena gangguan kesehatan akibat minum air
PDAM adalah tidak kecil.
Pertanyaan lain adalah berkaitan dengan risiko secara umum, yakni dengan
indikator ‘Bagi saya air minum PDAM itu berisiko terhadap kesehatan bila diminum’.
Indikator diukur dengan skala Likerts 1-5. 1 untuk Sangat Setuju dan 5 untuk
Sangat Tidak Setuju. Semakin nilai skor persepsi total mendekati 5 artinya semakin
rendah persepsi responden atas terhadap risiko/bahaya minum air PDAM, sebaliknya
semakin mendekati 1, maka semakin tinggi persepsi atas risiko minum air PDAM.
III.4.2. Sikap atas Risiko
Risk attitude atau sikap atas risiko dalam hal ini didefinisikan sebagai
kecenderungan seseorang untuk mensikapi resiko yang dihadapinya manakala
mengkonsumsi air PDAM.
Untuk Risk attitude pengukurannya dilakukan dengan memunculkan pernyataanpernyataan sebagai berikut :
a. Saya selalu berusaha menghindari segala sesuatu yang membahayakan
keselamatan dan kesehatan jasmani rohani saya.
b. Saya sangat berhati-hati terhadap keselamatan dan kesehatan jasmani dan
rohani saya,
c. Saya tipe orang yang tidak menyukai sesuatu yang berisiko.
d. Saya selalu hati-hati terhadap makanan dan minuman yang saya konsumsi.
Indikator diukur dengan skala Likerts 1-5. 1 untuk Sangat Setuju dan 5 untuk
Sangat Tidak Setuju. Semakin nilai skor sikap total mendekati 5, maka semakin risk
taker sikap responden terhadap risiko. Sebaliknya semakin mendekati nilai 1, maka
20
semakin risk averter responden terhadap risiko. Nilai skor total 3 menunjukkan sikap
indifference.
III.4.3. Perilaku atas Produk berisiko
Risk Behavior atau Perilaku dalam menghadapi/merespon risiko didefinisikan
sebagai tindakan yang dilakukan oleh para pelanggan air PDAM dalam mengantisipasi/
menghadapi risiko air yang dikonsumsinya.
Untuk mengukur risk behavior akan ditanyakan hal-hal berikut;
a. Saya tidak menggunakan air minum PDAM untuk bahan minuman,
b. Saya menghindari penggunaan air PDAM untuk diminum.
c. Bila harus menggunakan air PDAM, saya akan mengolahnya terlebih dahulu
(direbus, dimasukkan water purifier dll)
Indikator diukur dengan skala Likerts 1-5. Skor 1 adalah untuk Sangat Setuju sedang 5
adalah untuk Sangat Tidak Setuju. Semakin rendah skor total variabel maka semakin ia
menghindari / berhati-hati dalam penggunaan air minum PDAM, dan sebaliknya
semakin tinggi skor variabel semakin ia tidak mempermasalahkan penggunaan air
PDAM untuk diminum.
III.4.4. Pengetahuan atas risiko air PDAM
Pengetahuan atas risiko air PDAM didefinisikan fakta, info, deskripsi yang
diketahui konsumen sebagai hasil dari pembelajaran konsumen berkaitan dengan air
PDAM. Pengetahuan akan diamati dari pengetahuannya terhadap kualitas air sungai di
Kali Surabaya yang menjadi bahan baku air PDAM dan juga pengetahuan mengenai air
PDAM sendiri. Untuk itu indikator yang diberikan antara lain:
a. Saya tahu kondisi air sungai di Surabaya mengkhawatirkan.
b. Saya tahu air sungai Surabaya banyak tercemar.
c. Kualitas air sungai Surabaya tidak baik.
d. Kualitas air PDAM buruk.
e. Air PDAM bisa langsung diminum (reverse coding)
f. Air PDAM tercemar.
21
Pengukuran dengan skala Likerts 1-5, semakin tinggi nilai skor semakin tahu
responden terhadap kualitas air sungai dan air PDAM, dan semakin rendah semakin ia
tidak tahu bahwa air sungai dan air PDAM sudah tidak baik untuk menjadi air minum.
III.5. Prosedur Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui penyebaran kuisioner kepada responden Kepala
Keluarga dari berbagai tingkat pendidikan. Kuisioner dibagi dalam beberapa bagian
sebagai berikut ;
a. Bagian I adalah untuk mengetahui data demografis responden. Sifat
pernyataan dan pernyataan yang diberikan adalah secara terbuka dan
tertutup sesuai kebutuhan.
b. Bagian II adalah untuk mengetahui latar belakang dan pola perilaku
responden dalam mengkonsumsi air minum PDAM. Sifat penyataan dan
pernyataan juga terbuka dan tertutup.
c. Bagian III adalah untuk mengetahui persepsi responden terhadap berbagai
variabel amatan. Sifat pernyataan dan pernyataan adalah secara tertutup.
III.6. Teknik Analisis
Untuk
menganalisis
data
hasil
penelitiannya,
dilakukan
pengujian
dengan
menggunakan SEM, dengan program SmartPLS. SEM digunakan karena ada beberapa
persamaan yang dianalisis secara bersamaan. Adapun SmartPLS dipilih karena ada
interaksi antara 2 variabel. Dengan menggunakan PLS maka tidak diperlukan variabel
baru yang datanya didapatkan dari hasil perkalian kedua variabel. PLS dapat
mengkomodasi interaksi tanpa memasukkan data baru.
III.7. Validasi dan Reliabilitas Alat Ukur
III.7.1. Validitas Alat Ukur
Salah satu keunggulan SEM adalah dapat sekaligus digunakan untuk melihat
validitas alat ukur (measurement model), selain untuk melihat keterkaitan antara
variabel amatan (structural model). Dalam program SmartPLS, baik tidaknya alat ukur
dilihat melalui perhitungan algoritma. Kesahihan konvergen dalam penelitian ini diamati
22
dari nilai AVE (average variance extracted) yang merefleksikan rata-rata komunalitas
untuk masing-masing variabel laten. Kesahihan konvergen, menurut Tenenhaus et al.
(2005) pada dasarnya juga dapat dilihat dari indeks komunalitas yang mengukur
kualitas model pengukuran untuk setiap blok. Namun dalam analisis dengan PLS, nilai
AVE sama dengan nilai komunalitasnya, yang artinya keduanya mengukur hal yang
sama. Dengan demikian, nilai AVE sudah dapat mewakili indeks komunalitas. Nilai AVE
yang memadai adalah > 0,5, yang mengindikasikan bahwa variabel laten mampu
dijelaskan lebih dari 50% oleh rata-rata variansi indikatornya (Henseler et al. 2009).
Adapun untuk kesahihan diskriminan, dinyatakan oleh Ghozali (2008, hal 24) bahwa
untuk indikator reflektif yang masih dalam tahap awal pengembangan skala, nilai
loading 0,5-0,6 dianggap sudah cukup baik.
III.7.2. Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas/keterandalan berkaitan dengan kehandalan dan konsistensi alat ukur.
Kriteria yang seringkali digunakan adalah Cronbach alpha, yang menyediakan informasi
berkaitan dengan estimasi reliabilitas berdasarkan interkorelasi indikator. PLS juga
menyediakan informasi Composite Reliability. Berbeda dengan Cronbach alpha yang
mengasumsikan semua indikator memiliki loading yang sama, Composite Reliability
mengasumsikan bahwa indikator dapat berbeda loading-nya. Namun keduanya dapat
dibaca dengan cara yang sama. Henseler et al. (2009) menyatakan bahwa nilai
reliabilitas konsistensi internal sebaiknya di atas 0,7 untuk penelitian dalam tahap awal
dan di atas 0,8 atau 0,9 untuk penelitian tingkat lanjut. Sedang nilai di bawah 0,6
menunjukkan alat ukut yang digunakan kurang dapat diandalkannya.
III.8. Kelayakan Model
Kesahihan Model Struktural (Inner Model)
Kesahihan model struktural secara parsial diamati dengan melihat signifikansi dari nilai
koefisien jalurnya. Signifikansi diamati dalam tingkat keyakinan 95% dan tingkat
signifikansi 0,05. Selanjutnya kesahihan model struktural per blok variabel endogen
diamati dengan melihat koefisien determinasinya (R 2). Henseler et al. (2009)
menyatakan bahwa rule of thumb dari penilaian koefisien determinasi adalah bahwa
23
nilai sekitar 0,67 adalah substansial; sekitar 0,33 adalah moderat; sedangkan nilai
sekitar 0,19 adalah lemah.
SEM dengan menggunakan PLS tidak menyediakan indeks dari Goodness of Fit
(GoF/GFI) yang dapat memvalidasi model secara global/utuh (Tenenhaus 2005). PLS
hanya menyediakan nilai koefisien determinasi (R 2) untuk masing-masing blok dari
variabel endogen/tergantung. Namun pada dasarnya dari nilai-nilai yang didapatkan
dari model pengukuran dan struktural secara parsial dapat diperoleh proksi untuk
melihat kualitas dari model secara global (global criterion). Proksi yang dimaksud untuk
nilai global adalah dengan menghitung geometric mean dari rerata komunalitas dan
rerata koefisien determinasi. Hasil yang diperoleh dianggap dapat menunjukkan indeks
GFI dari model secara keseluruhan (Tenenhaus et al. 2005).
GFI = V communality x R2
Nilai indeks berada di nilai antara 0 dan 1. Vinzi et al. (2010) dan Hair et al. (2010, p
667) menyatakan bahwa tidak ada batasan baku untuk menilai signifikansi dari nilai
yang ada, meskipun terdapat rule of thumb untuk GFI yang > 0,90 dianggap baik.
Karena tidak ada batasan pasti berapa nilai batas bawah yang bisa diterima untuk
suatu model structural, lebih lanjut Hair et al. (1998, p 661) menyatakan bahwa diterima
atau tidaknya besaran dari nilai pengukuran GFI adalah dengan membandingkannya
dengan model alternatif. Dalam penelitian ini, model akan diperbandingkan dengan
model awal sebelum dilakukan validasi.
24
BAB IV ANALISIS STATISTIK
IV.1. Deskripsi Responden
Unit
analisis
riset
adalah
keluarga,
dengan
responden
yang
berstatus
menikah/berkeluarga. 66% responden adalah Kepala Keluarga (143 orang), sedang
34% (75 orang) adalah anggota keluarga (istri). Namun semua responden adalah
pengambil
keputusan
dalam
keluarga
terutama
untuk
pemilihan
produk
makanan/minuman untuk keluarga.
Dari segi umur, sebagian besar responden atau + 74% berumur 40 tahun ke atas
(161 orang). Secara lebih spesifik, umur peserta dimunculkan dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1. Umur Responden
Persentas
Umur
20 - < 30 tahun
30 - < 40 tahun
40 - < 50 tahun
> 50 tahun
Jumlah
10
47
92
69
218
e
4.59 %
21.56 %
42.20 %
31.65 %
100 %
Sumber: Data diolah
Dari aspek pendapatan, sebagian besar responden (> 50%) berpendapatan lebih
dari Rp 3 juta. Namun masih ada responden yang berpendapatan kurang dari Rp 1 juta.
Dari hasil penelusuran terhadap data, responden yang berpendapatan kurang dari Rp 1
juta adalah non kepala keluarga dan dari hunian dimana dilakukan penyebaran
responden, adalah tidak mungkin pendapatannya di bawah Rp 1 juta. Dengan
demikian, responden tersebut masih tetap dapat dimasukkan dalam analisis.
Tabel 4.2. Pendapatan Responden
25
Pendapata
Jumla
Persentas
n
< 1 juta
1 - < 2 juta
2 - < 3 juta
3 - < 4 juta
4 - < 5 juta
>= 5 juta
t mnjawab
h
3
41
61
45
33
29
6
218
e
1.38
18.81
27.98
20.64
15.14
13.30
2.75
100
Sumber: Data diolah
Secara umum dari aspek pengetahuan tentang kesehatan responden yang
tinggal di Surabaya, sudah baik. Responden telah mengetahui bahwa sumber air untuk
PDAM di Surabaya sudah mengalami polusi. Hal tersebut dimungkinkan karena
responden berasal dari kelompok yang berpendidikan relatif tinggi, hanya 37%
berpendidikan SMU.
Tabel 4.3. Tingkat Pendidikan Responden
Pendidika
n
SMU
S1
S2
S3
T menjawab
Jumlah
81
113
13
5
6
218
Persentase
37.16
51.83
5.96
2.29
2.75
100.00
Sumber: Data diolah
Sebagian besar responden juga lebih memilih air minum galon langsung dari
produsen yang dipercaya. Hanya sebagian kecil yang memilih alternatif lain, namun
secara umum responden masih melakukan pemrosesan lebih lanjut untuk air
minumnya.
Tabel 4.4. Pengkonsumsian atas Air
Jumla
Perlakuan atas Air
PDAM direbus
PDAM + treatment Penjernih
h
14
1
Persentas
e
6.422
0.46
26
Isi ulang
Isi ulang direbus
Isi ulang + penjernih
Air galon
20
12
2
169
218
9.17
5.50
0.92
77.52
100.00
Sumber: Data diolah
IV.2. Hasil Analisis
IV.2.1. Hasil Analisis Awal
Hasil analisis dengan SmartPLS 2.0 di awal menunjukkan hasil yang kurang baik,
antara lain:
a. AVE untuk variabel sikap atas risiko 0,2135 atau di bawah 0,5
b. Composite Reliability untuk sikap atas risiko juga rendah yakni 0,16
c. Cronbach alpha untuk variabel perilaku juga kurang baik yakni 0,464
Nilai awal yang kurang baik tersebut mengindikasikan adanya permasalahan
dalam pengukuran variabel yang digunakan, khususnya dalam mengukur sikap
(attitude). Validitas alat ukur, kurang baik untuk variabel sikap atas risiko; sedangkan
reliabilitas alat ukur kurang baik baik untuk variabel sikap maupun perilaku atas risiko.
Untuk itu lebih lanjut dilihat loading factor masing-masing indikator. Dari hasil
penelusuran, terdapat beberapa nilai yang kurang baik. Untuk Risk attitude dari dari 4
indikator yang ada, hanya ada 1 saja yang valid, sedangkan untuk variabel perilaku dari
3 indikator, hanya ada 2 yang valid.
Gambar 2.1. Gambar Analisis Bootstrap Awal
27
IV.2.2. Hasil Analisis Kedua
Setelah dilakukan eliminasi indikator yang dirasa kurang baik, dilakukan analisis ulang
terhadap data dengan menggunakan SmartPLS. Hasil kedua menunjukkan nilai AVE
yang > 0.5, dan nilai Composite Reliability serta Cronbach alpha > 0,7. Tidak ada lagi
nilai yang kurang baik dalam perhitungan algoritma yang dilakukan. Untuk itu tahap
perhitungan dengan bootstrap dilakukan.
28
Gambar 4.1 Gambar Analisis Bootstrap Kedua
Hasil dari bootstrap menunjukkan nilai yang baik. Semua model struktural terdukung.
Hal tersebut dapat terlihat secara rinci pada Gambar 4.1 dan Tabel 4.5. Semua nilai t
menunjukkan hasil di atas 1,96.
Tabel 4.5. Path Coeffieitn s eaia ,TSTDEVa T-DEValuen)
Original
Sample
(O)
knowledge -> persepsi
0.719779
persepsi -> perilaku
persepsi * sikap ->
perilaku
0.57194
0.209295
sikap -> perilaku
0.250517
Sampl
e Mean
(M)
0.7260
7
0.5644
7
0.1954
0.2559
2
Standar
d
Deviatio Standar
n
d Error
(STDEV) (STERR)
0.03753 0.03753
1
1
0.05951 0.05951
5
5
0.09867 0.09867
9
9
0.07252
4
0.07252
4
T
Statisti
cs
(|O/STE
RR|)
19.178
16
9.6100
6
2.1209
72
3.4542
63
Hasil dari analisis menunjukkan hasil antara lain:
a. Persepsi atas risiko berpengaruh terhadap perilaku pengkonsumsian air minum
secara signifikan (t = 9,61) dengan arah yang positif (0,572), yang artinya semakin
29
tinggi persepsi atas risiko air minum semakin hati-hati perilaku pengkonsumsian air
minum yang dilakukan.
b. Sikap atas risiko berpengaruh terhadap perilaku secara signifikan (t = 3,454) dengan
arah yang negatif (- 0,25), yang artinya semakin seseorang memiliki tipe hati-hati,
maka ia semakin tidak menghindari penggunaan air PDAM untuk bahan minuman.
c. Pengetahuan terhadap persepsi signifikan (t = 19,178) dengan arah yang positif
(0,72), yang artinya semakin tinggi pengetahuan seseorang terhadap kondisi air
PDAM di Surabaya, semakin tinggi persepsinya terhadap risiko air PDAM.
d. Interaksi antara persepsi dan sikap juga signifikan (t = 2,12), yang artinya kedua
variabel bebas, persepsi dan sikap atas risiko berinteraksi mempengaruhi perilaku
pengkonsumsian produk berisiko.
e. Persepsi atas risiko lebih dominan mempengaruhi perilaku pengkonsumsian produk
berisiko (koefisien regresi = 0,57), dibanding pengaruh sikap atas risiko (dengan
koefisien regresi = -0,25)
Tabel 4.5. Simpulan Studi
Hipotesis
Hipotesis 1
Hipotesis 2
Hipotesis 3
Hipotesis 4
Pernyataan
Persepsi atas Risiko berpengaruh terhadap Perilaku
menjauhi risiko.
Sikap atas Risiko berpengaruh terhadap Perilaku
menjauhi risiko.
Persepsi dan sikap atas Risiko berpengaruh
terhadap Perilaku menjauhi risiko.
Pengetahuan atas risiko berpengaruh terhadap persepsi
atas risiko
Keterangan
Terdukung
Terdukung
Terdukung
Terdukung
IV. 3. Kelayakan Model Struktural
Berdasarkan Tenennhaus et al. (2005), kelayakan model path untuk PLS dapat diamati
dengan geometric mean dari rata-rata komunalitas dan rata-rata koefisien determinasi.
Perhitungan kelayakan model (Goodness of Fit) berdasarkan akar dari kedua rata-rata
komunalitas dan koefisien determinasi adalah sebesar 0,613534. Untuk nilai > 0,6
menunjukkan hasil yang cukup baik.
30
BAB V PEMBAHASAN
Keterdukungan semua hubungan antara variabel menunjukkan bahwa perilaku
pengkonsumsian produk berisiko terdukung dipengaruhi oleh persepsi atas risiko dan
sikap atas risiko. Sikap terhadap risiko juga dipengaruhi oleh persepsi atas risiko. Lebih
lanjut, pengetahuan tidak berpengaruh terhadap persepsi atas risiko.
V.1. Pengaruh Risk Perception terhadap Risk Behavior
Pengaruh signifikan persepsi terhadap risiko terhadap perilaku mendukung riset
sebelumnya. Hubungan antara Risk Perception dengan Risk Behavior (Intention)
secara khusus telah diamati dalam beberapa studi (Paraschiv dan Zahari 2000; Placer
dan Delquie 1997) yang menunjukkan adanya keterkaitan antara kedua variabel
tersebut,
namun
ditemukan
bahwa
terkadang
muncul
ketidak
konsistenan.
Ketidakkonsistenan dalam studi yang dilaku
KASUS PADA PENGKONSUMSIAN AIR BERSIH PDAM DI SURABAYA
Diajukan oleh:
Dr. Gancar C. Premananto
Sri Gunawan, DBA.
Departemen Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga
1
PERILAKU PENGKONSUMSIAN PRODUK BERISIKO:
KASUS PADA PENGKONSUMSIAN AIR BERSIH PDAM DI SURABAYA
ABSTRAKSI:
Air bersih dari PDAM di Indonesia khususnya di Surabaya sudah mencapai batas yang
mengkhawatirkan, dengan demikian pengkonsumsian terhadap air ini untuk air minum
sangatlah dipertanyakan, mengingat dampaknya pada kesehatan konsumennya.
Perilaku pengkonsumsian air bersih bagi warga menjadi hal yang menarik untuk
diamati. Sikap (risk attitude) dan persepsi (risk perception) atas risiko, serta tingkat
pengetahuan atas kualitas PDAM, dengan variabel moderator tingkat pendapatan dan
pendidikan diamati pengaruhnya terhadap perilaku pengkonsumsian (risk behavior)
produk PDAM. Pengujian dilakukan dengan mengadopsi model Arrow-Pratt yang
merupakan model dari ilmu Manajemen Keuangan, yakni diamati dari keterkaitan
pengkonsumsian produk berisiko dengan sikap dan persepsi atas risiko produk.
Penggunaan model dari ilmu Manajemen Keuangan juga memberikan kontribusi pada
diskusi perbedaan perceived risk dan risk perception. Hasil dari penelitian ini selain
menyajikan bentuk konvergensi ilmu antara Manajemen Keuangan dengan Manajemen
Pemasaran, juga diharapkan secara praktis dapat memberikan masukan bagi PDAM,
juga bagi Industri yang menjadi solusi terhadap air minum tersebut seperti industri Air
Minum dalam Kemasan (AMDK), water purifier dan air isi ulang dalam menyediakan
kebutuhan utama kehidupan.
Keywords: Risk attitude, risk perception, risk behavior, Arrow-Pratt
2
I. PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Pencemaran air sungai bukanlah hal baru di Indonesia. Kasus yang terjadi di Surabaya
sendiri,
berdasarkan
data
dari
Ecological
Observation
and
Wetlands
Conservation/ECOTON (Koran Tempo, 12 Juni 2012), sejak 2004 setidaknya ada 16
kasus pencemaran lingkungan yang ditangani oleh Kepolisian Resor Kota Besar
Surabaya. Dari sumber yang sama, pencemaran yang terjadi diperkirakan mencapai Rp
1.152 miliar akibat matinya ribuan ekor ikan dari berbagai spesies. PDAM
menambahkan zat adiktif seperti sulfat, kaporit dan zat-zat lain lebih banyak untuk
meningkatkan kadar oksigen (dissolved oxigen). Lebih lanjut, dengan mengamati
kondisi insang ikan nila dan ikan tawes, hasil riset dari Trihadiningrum dan Tandjung
(2007) dari ITS, menunjukkan bahwa pencemaran air di Kali Surabaya tercemar secara
bervariasi, dari yang sedang, agak berat dan berat. Pencemaran tersebut pada
dasarnya juga berdampak serius bagi manusia, mengingat 96% bahan baku PDAM
Surya Sembada Kota Surabaya mengandalkan air sungai Surabaya dan kemudian hasil
jadinya dikonsumsi oleh + 499 ribu pelanggan.
Kualitas bahan baku yang buruk dan mempengaruhi kualitas produk jadi PDAM
menjadikan pengkonsumsian produk tersebut menjadi bentuk dari pengkonsumsian
produk berisiko. Air minum yang kualitasnya buruk tentunya berdampak pada
kesehatan pihak yang mengkonsumsinya. Seperti yang terpapar dalam situs BPLHD
Jawa Barat (21 Juli 2009), beberapa akibat serius dapat terjadi pada organisma air dan
manusia baik langsung maupun tidak langsung. Yang terkena dampak langsung adalah
makhluk hidup yang habitatnya di lingkungan air tercemar, seperti tumbuhan air, ikan
dan bahkan burung pemakan ikan. Beberapa jenis limbah air dapat mengkibatkan
kematian pada organisma tersebut. Dampak bagi manusia adalah dampak langsung
dan tidak langsung. Dampak langsung yang terjadi adalah karena pengkonsumsian air
tersebut yang dapat mengakibatkan iritasi pada kulit dan mata, mengganggu
pernafasan bahkan menyebabkan kanker. Dampak tidak langsung, adalah akibat
mengkonsumsi organisma yang tercemar limbah. Limbah yang paling berbahaya yang
berpengaruh tidak langsung kepada manusia diantaranya adalah limbah industri berupa
3
merkuri,
seperti
contoh
di
Teluk Minamata
Jepang
tahun
1953-1960
yang
mengakibatkan 100 orang meninggal atau cacat.
Dengan melihat adanya potensi serius berkaitan dengan pengkonsumsian
produk PDAM, pada dasarnya konsumen memiliki pilihan dalam pola pengkonsumsian
air minum. Di pasaran telah tersedia dengan mudah air minum dalam kemasan
(AMDK). Masyarakat juga dengan mudah menemui depot air minum dalam kemasan.
Bahkan di ritel saat ini telah dijual alat pemurni air (water purifier) dengan harga yang
cukup terjangkau. Banyaknya pilihan opsi tersebut, menjadi daya tarik untuk penelitian
lebih lanjut. Konsumen pada dasarnya telah memiliki pilihan untuk tidak melakukan
konsumsi produk berisiko. Maka adalah penting, mengamati tingkat kepercayaan
konsumen terhadap produk air dari PDAM dengan pendekatan pengamatan terhadap
persepsi, sikap maupun perilaku pengkonsumsiannya.
Perilaku pengkonsumsian produk berisiko tidak dapat terlepas dari aspek internal
konsumennya. Menurut model Arrow – Pratt, yang diadaptasi oleh Paraschiv dan
Zahari (2000), Pennings et al. (2002), Pennings dan Wansink (2003), Pennings et al.
(2008) untuk masalah pangan – perilaku pengkonsumsian produk berisiko dipengaruhi
oleh sikap (risk attitude) dan persepsi atas risiko (risk perception)serta interaksi antar
keduanya. Bahwa seseorang tetap dimungkinkan mengkonsumsi produk yang berisiko
ketika ia memiliki sikap menyukai risiko (risk taker), dan sebaliknya. Juga bahwa
seseorang dimungkinkan mengkonsumsi produk yang berisiko karena ia menganggap
risiko produk tersebut kecil, dan sebaliknya. Dengan demikian model Arrow-Pratt
dijadikan
sebagai
model
utama
yang
digunakan
untuk
mengamati
perilaku
pengkonsumsian produk air PDAM.
Lebih lanjut persepsi terhadap risiko tidak terlepas dari pengetahuan individu
tersebut terhadap risiko dari produk. Informasi dan pengalaman yang dimiliki
menentukan pengetahuan yang dimiliki seseorang yang kemudian akan mempengaruhi
persepsinya terhadap risiko (Penning et al., 2002; Paraschiv dan Zaharia, 2000). Ketika
seseorang memiliki pengetahuan yang baik mengenai risiko suatu produk, maka
persepsinya terhadap risiko akan menjadi lebih tinggi. Untuk itu aspek pengetahuan
terhadap risiko sebagai determinan persepsi terhadap risiko dapat dimasukkan sebagai
4
variabel pelengkap dari model yang akan diuji. Hal ini juga disarankan dalam
Premananto (2003).
Secara
keseluruhan,
kondisi
demografis
konsumen
dimungkinkan
mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan pola perilaku pengkonsumsian
(Hawkins dan Mothersbaugh, 2010). Hal ini juga terdukung dari riset Premananto
(2003) yang mendapatkan hasil bahwa faktor pendidikan memberikan perbedaan dalam
mempersepsikan risiko produk. Maka model yang berusaha dimunculkan dalam riset ini
adalah pengujian terhadap model Arrow-Pratt untuk permasalahan pengkonsumsian
produk publik yang berisiko dengan mengembangkan model tersebut pada pengamatan
kondisi demografis yang berbeda.
I.2. Permasalahan
Air selaku produk publik haruslah dikelola sebaik mungkin karena menyangkut hajat
hidup orang banyak. Namun ketika kualitasnya terbukti buruk karena bahan bakunya
yang buruk, maka para konsumen dihadapkan pada perilaku pengkonsumsian produk
berisiko. Dengan menggunakan model Arrow-Pratt dilakukan pengujian pola perilaku
konsumen produk PDAM dengan mengkaitkannya dengan aspek internal konsumen
antara lain sikap dan persepsi atas risiko, dan ditambahkan variabel pengetahuan atas
risiko produk, norma subyektif, persepsi pengendalin serta faktor demografinya. Secara
lebih rinci, permasalahan yang berusaha diuji, antara lain:
1. Pengaruh Sikap atas risiko air PDAM terhadap perilaku pengkonsumsian air PDAM.
2. Pengaruh Persepsi atas risiko air PDAM terhadap perilaku pengkonsumsian air
PDAM.
3. Pengaruh interaksi antara Sikap dan Persepsi atas risiko air PDAM terhadap perilaku
pengkonsumsian air PDAM.
4. Pengaruh Pengetahuan atas air PDAM terhadap persepsi atas risiko air PDAM.
I.3. Tujuan
Riset ini ditujukan untuk menguji model Arrow-Pratt yang diadaptasi ke dalam ilmu
Manajemen Pemasaran untuk produk publik yakni air PDAM, yang menjadi kebutuhan
utama warga. Dengan demikian pengujian dilakukan dengan melakukan pengujian
5
model yang diambil dari Manajemen Keuangan dan dari Manajemen Pemasaran
sendiri, untuk memunculkan adanya konvergensi ilmu dalam menjelaskan sebuah
fenomena.
Riset juga ditujukan untuk memberikan masukan bagi para pengelola industri air
minum termasuk para pengambil kebijakan, mengenai persepsi dan sikap konsumen air
minum. Diharapkan dengan riset ini, dapat dirumuskan strategi dan program
pemasaran yang efektif.
I.4. Manfaat
1.
Memahami
perilaku
konsumen
untuk
produk
yang
berisiko
dengan
mengkonvergensikan teori dari Manajemen Keuangan dan Manajemen Pemasaran.
2.
Dengan
mengetahui
variabel
yang
dianggap
berpengaruh
pada
perilaku
pengkonsumsian produk berisiko maka produk substitusi dapat mempengaruhi
aspek tersebut, untuk meningkatkan daya terima produknya. Bila persepsi atas
risiko sebagai pemicu utama reaksi konsumen dalam mengkonsumsi produk
berisiko, maka pengkomunikasian dampak negatif secara lebih gencar merupakan
sarana yang efektif untuk dilakukan. Adapun bila sikap atas risiko merupakan
pemicu utama respon konsumen, maka fokus perhatian lebih baik diarahkan pada
usaha mengeliminasi risiko produk atau mencari alternatif produk.
6
II. LANDASAN TEORI
II.1. Risiko
II.1.1. Definisi Risiko
Menurut konvensi manajemen keuangan, risiko diinterpretasikan sebagai kondisi tidak
adanya kepastian (the absence of certainty). Lebih spesifik Doherty (1982)
menyampaikan bahwa risiko terjadi karena adanya variasi dari hasil akhir. “Risk refers
to the quality of variation in the range of possible outcomes; the greater the potential
variation, the greater the risk.” Adapun dalam perilaku konsumen, pengertian risiko
menjadi lebih spesifik dikaitkan dengan proses pengambilan keputusan konsumen.
Loudon dan Bitta (1988) menerangkan pengertian risiko sebagai “… uncertainty
regarding the most appropriate purchase decision or the consequences of the
decision.”
Dalam pengambilan keputusan dan perilaku konsumen, konsep risiko sering
dianalisis dalam konsep perceived risk, yang memiliki 2 dimensi yakni persepsi atas
ketidakpastian/kemungkinan terjadi dan tingkat keseriusan konsekuensi negatif yang
didapat dari pengkonsumsian produk. Hal tersebut salah satunya dikemukakan oleh
Dowling dan Staelin (1994), “The concept of perceived risk most often used by
consumer researchers defines risk in terms of the consumer’s perception of the
uncertainty and adverse consequences of buying a product (or service).” Dukungan
juga disampaikan oleh Peter dan Olson (1999), “Perceived risks concern the
undesirable consequences that consumers want to avoid when they buy and use
products… the amount of perceives risk a consumer experiences is influenced by two
things: (1) the degree of unpleasantness of the negative consequences and (2) the
likelihood that these negative consequencess will occur.”
Dalam perilaku konsumen, risiko merupakan faktor kunci dalam proses
pengambilan keputusan. Hal tersebut dikarenakan setiap pembelian suatu produk
tertentu dapat mengakibatkan risiko tertentu, yang bervariasi besar kecilnya (Pennings
et al. (2002).
7
II.1.2. Bentuk-bentuk Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dari hasil suatu pembelian dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa bentuk (Schiffman dan Kanuk, 2000; Loudon dan Bitta, 1988), antara
lain:
(1) Financial risk, yakni konsumen mungkin akan kehilangan uangnya apabila
produk tidak berfungsi atau memakan biaya yang besar untuk membuatnya
berfungsi dengan baik,
(2) Performance risk, apabila produk tidak bekerja sebagaimana mestinya,
(3) Physical risk, yakni apabila produk berbahaya atau mengakibatkan dampak
negatif bagi kesehatan seseorang,
(4) Psychological risk, apabila produk yang dibeli tidak sesuai dengan citra diri
seseorang,
(5) Time-loss risk, apabila produk tersebut membuang waktu, kenyamanan dan
usaha konsumen untuk menyetel , memperbaiki atau memindahkannya.
Kategori yang hampir sama juga dikemukakan oleh Rohrmann (2002) namun lebih
mengarah pada bahaya yang mungkin terjadi saat melakukan aktivitas berisiko, yakni:
(1) Physical – accidents, seperti untuk aktivitas mendaki, mengebut dll.
(2) Physical – illness, seperti untuk aktivitas merokok, seks bebas, bekerja di sekitar
wilayah radiasi dll.
(3) Financial, seperti investasi di pasar saham, berjudi, adu pacuan kuda dll.
(4) Social, seperti mengikuti pemilihan/audisi/kontes, menyatakan diri homoseksual
dll.
Adapun dari perspektif psikologi (Schutz, 2000) menyatakan ada pembedaan
yang penting dari bentuk risiko berdasarkan kemampuan individu untuk mengontrol
aktivitasnya, yakni:
(1) Life-style risks, yakni risiko yang mengacu pada dampak yang diakibatkan dari
aktivitas individu sendiri, seperti merokok, minum minuman keras, hand-gliding,
seks bebas dsb. Pada prinsipnya risiko yang terjadi di bawah kontrol individu dan
merupakan subyek atau hasil dari keputusan individu.
8
(2) Environmental risk, yakni diakibatkan dari aktivitas bermasyarakat, baik karena
penggunaan teknologi (seperti pembangkit tenaga nuklir, industri bahan kimia),
produk-produk teknologi (seperti pestisida, gas karbon dari kendaraan, limbah)
atau juga karena proses alamiah (seperti banjir, gempa bumi). Pada prinsipnya,
individu tidak mempunyai kontrol terhadap terjadinya aktivitas pengkonsumsian
produk berisiko.
Khusus untuk produk makanan dan minuman, risiko terutama mengarah pada
physical risk - illness, yakni risiko pembelian dan pengkonsumsian produk terhadap
kesehatan diri konsumen. Untuk kategorisasi terakhir, untuk produk air PDAM, risiko
terjadi karena limbah, yang mengarah pada environmental risk.
II.2. Persepsi atas Risiko
Persepsi dalam perilaku konsumen (Schiffman dan Kanuk, 2000) adalah proses
yang
dilakukan
individu
dalam
menyeleksi,
mengorganisasikan
dan
menginterpretasikan stimuli menjadi gambaran yang bermakna dan logis. Dengan
makna persepsi sebagai proses, maka persepsi dipengaruhi oleh stimuli yang ada.
Persepsi atas risiko dalam perilaku konsumen dikaitkan dengan konsep
perceived risk. Namun fokus risiko dalam perilaku konsumen hanya mengarah pada
dampak negatif yang potensial dari suatu produk. Konsep perceived risk juga
mengasumsikan sudah adanya usaha menghindari risiko (risk aversion), yang artinya
telah terjadi risk preference dan menutup kemungkinan adanya seseorang yang
menyukai risiko (risk seeker) (Peenings et al., 2002). Padahal dalam beberapa kasus
produk dan jasa, walaupun produk telah jelas memiliki risiko negatif, tetap tersedia,
dibeli dan dikonsumsi secara legal , bahkan menjadi bisnis yang menguntungkan bagi
para produsennya. Contoh produk barang berisiko adalah rokok, minuman keras, air
minum PDAM dll sedang produk jasa berisiko adalah lokalisasi, tempat hiburan malam,
tayangan erotis dll. Untuk produk-produk tersebut, konsep perceived risk kurang
mampu untuk menjelaskan perilaku pengkonsumsian produk berisiko atau dapat
dikatakan kurang mampu menjelaskan kemungkinan adanya konsumen yang memilih
dan menyukai produk yang berisiko tersebut. Dengan alasan tersebut, beberapa
9
peneliti (Pennings et al., 2002; Pennings dan Wansink, 2003; Pennings et al. 2008)
kemudian
mengadopsi
konsep
Risk
Perception
dari
ilmu
Manajemen
Keuangan/Investasi untuk menggambarkan fenomena perilaku tersebut.
Risk perception dari konsep Manajemen Keuangan tidak menyempitkan makna
pada sesuatu yang tidak menyenangkan/negatif saja, namun lebih bermakna sesuatu
yang tidak pasti terjadinya di masa mendatang. Hal tersebut disampaikan oleh Doherty
(1985), “Risk, in this sense, does not imply that outcomes are adverse, only they are
not known in advance. Thus risks includes the possibility that there result may provide a
pleasant surprise.”
Bahkan pada dasarnya, risiko dapat dilihat dalam 3 perspektif
(Rohrmann, 2002), yakni:
(1) Perspektif negatif, risiko adalah kemungkinan terjadinya kerugian, ancaman atau
kerusakan secara fisik, sosial atau finansial,
(2) Perspektif netral, risiko berarti adanya ketidakpastian hasil (baik atau buruk) dari
suatu keputusan,
(3) Perspektif positif, risiko dimaknai sebagai sesuatu yang menantang dan
menggairahkan (thrill).
Konsep perceived risk hanya mengakomodasi perspektif pertama saja, adapun konsep
risk perception dapat mengakomodasi ketiga perspektif risiko yang ada. Konsep risk
perception tersebut merupakan konsep yang banyak digunakan dari disiplin ekonomi
dan statistik, dan digunakan untuk penelitian-penelitian yang berhubungan dengan
keuangan dan kesehatan (Pennings et al. 2002).
Definisi konsep Risk Perception menurut Pennings et al. (2002) sebagai berikut;
“Risk perceptions reflect the cosumers’ interpretation of the chance to be exposed to
the content of the risk and may be defined as a consumers’ assessment of the
uncertainty of the risk content in herent in a particular situation…risk perception deals
with the decision-maker’s interpretation of the chance to be exphosed to the content of
the risk.”
Dengan kata lain, risk perception berhubungan dengan perkiraan seseorang
terhadap kemungkinan dirinya terexpose/terkena resiko dari suatu hal atau produk.
Dalam penelitian ini risk perception berhubungan dengan perkiraan seorang konsumenf
10
mengenai kemungkinan dirinya terekspos penyakit akibat minum air PDAM. Risiko
terjangkit berbagai penyakit perut adalah yang terutama dapat terjadi
Komponen Risk perception merupakan variabel kontinu, yang memiliki dua
kontinum dari mempersepsikan tidak ada resiko sampai mempersepsikan adanya
resiko yang tinggi ( Pennings dan Walsink, 2003 )
Weber dan Milliman (1997) menyatakan bahwa risk perception merupakan faktor
utama penyebab perubahan perilaku dalam bertaruh, karena pada dasarnya risk
preference / risk attitude seseorang bersifat stabil.
Stusi psychometric mengenai risk perception (Schutz et al., 2000) menyatakan
bahwa resiko merupakan kombinasi dari besarnya resiko yang ditimbulkan (size of
damage) dan kemungkinan timbulnya resiko tersebut (probability of damage), maka
dalam pengukuran risk perception, kedua dimensi tersebut harus dapat diukur.
II.3. Sikap atas Risiko
Sikap (Attitude) secara sederhana dapat dinyatakan seberapa positif atau negatif,
menyenangi atau tidak menyenangi, pro atau kontra-nya seseorang terhadap sesuatu
hal/obyek (Loudon dan Bitta, 1988), jadi menyangkut perasaan atau reaksi evaluatif
terhadap suatu obyek. Pengertian lain menyatakan bahwa sikap pada dasarnya adalah
kecenderungan berperilaku untuk menyukai atau tidak menyukai suatu obyek tertentu
secara konsisten yang berasal dari proses learning (Schiffman dan Kanuk, 2000).
Pendekatan yang digunakan dalam definisi ini adalah pendekatan sikap dari komponen
afektif saja seperti yang dianut oleh Fishbein dan Ajsen, Oskamp serta Petty dan
Cacioppo (Azwar, 2003).
Adapun risk attitude atau sikap atas risiko merupakan variabel yang melekat
pada kepribadian seseorang. Pennings et al. (2002) menyatakan pengertian dari risk
attitude yakni “Risk attitude reflects a consumer’s general predisposition to risk in a
consistent way…risk attitude deal with the decision maker’s interpretation of content of
the risk and how much s(he) dislike the risk.” Adapun Rohrmann (2002) menyatakan
risk attitude sebagai “ a generic orientation (as a mind set) toward taking or avoiding a
risk when deciding hoe to proceed in situations with uncertain outcomes.”. Jadi risk
11
attitude berhubungan dengan kecenderungan seseorang bersikap, yang sifatnya
konsisten, terhadap situasi yang mengandung ketidakpastian munculnya resiko.
Dari definisi tersebut juga dapat dijelaskan bahwa risk attitude atau risk
preference yang merupakan variabel kontinyu yang memiliki kontinum dari extremely
risk averse (menolak risiko apapun dalam kondisi apapun) hingga extremely risk
seeking (selalu memilih risiko yang membawa hasil) (Pennings dan Wansink, 2003;
Weber dan Milliman, 1997). Hal sama juga disampaikan oleh Rohrmann (2002) dengan
menyatakan risk attitude berada dalam range dari sangat hati-hati hingga risk seeking
bahkan menikmati resiko.
Pada dasarnya terdapat tiga bentuk penggolongan sikap seseorang terhadap
risiko (Weston dan Copeland, 1995) ;
(1) Pencari risiko (risk seeker / risk lover), adalah kelompok yang senang mengambil
risiko.
(2) Penghindar risiko (risk averter / risk avoider), adalah kelompok yang cenderung
menjatuhkan keputusan pada sesuatu yang kurang mengandung resiko.
(3) Acuh terhadap resiko (indifference / risk neutral), kelompok yang tidak perduli
akan jenis invertasi yang akan diambil.
Schoemaker (1993) menyatakan bahwa risk attitude/risk preference ini
merupakan suatu konstruk yang membedakan individu yang sifatnya stabil, dalam
artian variabel ini tidak berubah dengan adanya perbedaan rangsangan atau konteks.
Pendapat tersebut juga didukung oleh Antony et al.(2001), yang menyatakan bahwa
aspek resiko tersebut relatif stabil dan tidak berpengaruh pada konteks / situasi-kondisi.
Beberapa teori juga sering mengasumsikan bahwa pada dasarnya seseorang berusaha
untuk konsisten terhadap sikap yang diambilnya (Schutz et al., 2000). Kestabilan dalam
bersikap tersebut akan terlihat dalam bentuk / domain yang khusus, atau dengan kata
lain stabil dalam suatu ruang lingkup permasalahan. Hal tersebut dinyatakan oleh
MacCrimmon dan Wehrung yang dikutip oleh Pennings dan Wansink (2003) yakni ‘risk
attitude is a domain-specific concept’, dalam penelitian ini domainnya adalah dalam hal
kesehatan atau physical illness (Rohrmann) (2002)).
Risk Preference ini merupakan variabel yang cukup dominan bagi pengambilan
keputusan yang beresiko (Weber dan Milliman, 1997). Dalam teory pengambilan
12
keputusan risk attitude merupakan komponen utama dalam mendefinisikan perilaku
individu dalam situasi yang beresiko (Kahneman dan Tversky, 1992; Thaler, 1985).
Karena itu Paraschiv dan Zahari (2000) menyatakan bahwa risk attitude dapat
menjelaskan perilaku seseorang dan perilakunya terhadap risiko.
II.4. Perilaku Berkaitan dengan Produk Berisiko
Dalam beberapa penelitian (Pennings, Wansink dan Meulenberg, 2002; Pennings dan
Wansink, 2003), perilaku atas produk berisiko (risk behavior) ini mempunyai banyak
padanan kata yang juga digunakan dalam penelitian consumer behavior – seperti risk
response, consumer’s reaction, consumer’s response, risk behavior dan risk
management behavior, yang kesemuanya mempunyai makna yang sama seperti yang
disampaikan oleh Rohrmann (2002), “..the actual behavior of people when facing a risk
situation.” Atau dengan kata lain aktifitas yang dilakukan oleh konsumen dalam
mengantisipasi dan menghadapi resiko, atas pengkonsumsian suatu produk. Paraschiv
dan Zahari (2000) lebih menyebutnya sebagai Demand for Risk Reduction.
Lebih lanjut sebelum tahap perilaku (behavior), tahap penting sebelumnya
adalah tahapan niat untuk berperilaku (intended behavior / behavior intention) yang
mencerminkan latent behavior dalam menghadapi risiko.
II.5. Model Arrow-Pratt
Pennings et al. (2002), menunjukkan bahwa model yang dikembangkan oleh Arrow
tahun 1971 dan Pratt pada tahun 1964, memberikan wawasan dari sudut pandang
Manajemen Keuangan mengenai hubungan persepsi atas risiko, sikap atas risiko dan
perilakunya. Dalam model yang diajukan, manajemen risiko direfleksikan dengan risk
premium, merupakan fungsi dari sikap atas risiko (risk aversion), dan persepsi atas
risiko (risk perception) serta interaksi antara keduanya. Rumus yang dibangun ArrowPratt adalah sebagi berikut;
π = (Ϭ2 / 2) * [ U”(W) / U’(W) ]
Dinyatakan oleh Scroeder et al. (2007), bahwa π adalah risk premium ; Ϭ2 adalah
komponen tingkat risiko; sedangkan [ U”(W) / U’(W) ] merupakan komponen sikap atas
13
risiko (risk aversion). Dengan demikian, risk premium merupakan fungsi dari tingkat
risiko dan sikap atas risiko.
II.5. Keterkaitan Antara Risk Perception, Risk Attitude dan Risk Behavior
II.5.1. Pengaruh Risk Perception terhadap Risk Behavior
Secara konsep Trimpop (1994) menyatakan bahwa sebelum seseorang / institusi
merespon risiko, mula-mula risiko dipersepsikan atau diidentifikasikan. Kemudian
Schiffman dan Kanuk (2002) juga menyatakan “ …consumers are influenced by risks
that they perceive, whether or not such risks actually exist. Risk that is not perceived –
no matter how real or how dangerous – will not influence comsumer behavior.”
Ditambahkan juga oleh Zaltman dan Wallendorf (1979) bahwa persepsi konsumen
terhadap risiko merupakan determinan yang penting terhadap perilaku konsumen.
Hubungan antara Risk Perception dengan Risk Behavior (Intention) secara
khusus telah diamati dalam beberapa studi (Paraschiv dan Zahari (2000); Placer dan
Delquie (1997)) yang menunjukkkan adanya keterkaitan antara kedua variabel tersebut,
namun ditemukan bahwa terkadang muncul ketidak konsistenan. Ketidakkonsistenan
dalam studi yang dilakukan oleh Placer dan Delque (1997) tersebut diakibatkan karena
adanya pengamatan terhadap risiko secara kolektif dan faktor lain diluar risk perception
yang mempengaruhi perilaku untuk mengurangi risiko misal pertimbangan faktor
lainnya atau mempertimbangkan persepsi dari pihak lain. Sedang studi risiko tunggal
yang dilakukan oleh Paraschiv dan Zaharia (2000) menunjukkan konsistensi yang tinggi
antara risk perception dan niat untuk mengurangi risiko.
Dalam studi Dowling dan Staelin (1994), juga dinyatakan bahwa persepsi
terhadap risiko digunakan sebagai variabel penjelas (explanatory variable) dalam
penelitian perilaku konsumen terutama mempengaruhi niat berperilaku ( intended
behavior)
Dari paparan diatas, intinya adalah bahwa konsep risk perception sebagai
variabel yang mempengaruhi risk intended behavior telah diimplementasikan dalam
beberapa studi. Dari hal ini, muncul hipotesis berikut;
H1: Persepsi atas Risiko berpengaruh terhadap Perilaku menjauhi risiko.
14
II.5.2. Pengaruh Risk Attitude terhadap Risk Intended Behavior
Winardi (1991) mengungkapkan bahwa sikap seorang individu bermanfaat
sebagai suatu pedoman umum bagi perilaku ke arah obyek terhadap mana sikap
ditujukan (attitudinal object). Lebih spesifik, Zaltman dan Wallendorf (1979) juga
menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu sikap dapat memprediksi perilaku dan untuk
pengukurannya yang lebih tepat aadalah mengukur niat berperilaku (behavioral
intention). Hal yang sama juga disampaikan oleh Engel Blackweel dan Miniard (1995)
dalam model A Contemporary view of the relationship among beliefs, feelings, attitude,
Vehavioral Intention and Behavior.
Secara konsep, Mackey (1994) juga menyatakan bahwa sikap (attitudes)
merupakan prediktor yang baik untuk melihat perilaku apabila individu yang mengambil
keputusan memiliki kontrol terhadap perilaku tersebut. Adapun aktifitas mengkonsumsi
produk berisiko seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, termasuk
aktivitas yang berada dalam kontrol si pelaku.
Dari berbagai studi (Weber & Milliman (1997); Kahneman & Tversky (1992);
Thaler (1985)) secara khusus juga telah diamati bahwa komponen utama yang
menentukan perilaku individu dalam situasi yang beresiko adalah risk attitude. Individu
yang berbeda dalam situasi yang sama dapat bereaksi berbeda terutama dikarenakan
individu yang berbeda memiliki risk attitude yang berbeda dan menerima tingkat risiko
yang berbeda.
Dari berbagai konsep dan studi diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
risk attitude dapat dijadikan sebagai variabel yang mempengaruhi dalam risk behavior (
intention). Dari paparan ini dimunculkan hipotesis kedua, yakni;
H2: Sikap atas Risiko berpengaruh terhadap Perilaku menjauhi risiko.
II.5.3. Pengaruh Interaksi Risk Attitude dan Risk Perception terhadap Risk
Behavior
15
Secara konseptual dinyatakan oleh Schiffman dan Kanuk (2000) menyatakan
bahwa tingkat risiko yang dipersepsikan oleh konsumendan sikap terhadap risiko
mempengaruhi strategi pembelian konsumen.secara bersama risk attitude dan risk
perception juga dilihat keterkaitan/hubungannya dengan risk behavior (intention) dalam
beberapa studi (Pennings, Wansink, & Meulenberg (2002); Antony, Lin dan Xu, (2001);
Pennings dan Wasink (2003). Argumen dari penelitian tersebut adalah bahwa pengaruh
risk attitude dan risk perception terhadap risk behavior (intention) tidak berjalan sendiri
namun dalam suatu kombinasi dan interaksi bersama.Dalam sikap yang bagaimanapun
seseorang tidak akan mengubah perilakunya apabila dipersepsikan tidak ada suatu
risiko, sebaliknya dalam risiko yang bagaimanapun perilaku seseorang akan tergantung
dapa sikapnya terhadap risiko.
H3: Persepsi dan sikap atas Risiko berinteraksi mempengaruhi Perilaku
menjauhi risiko.
II.6. Pengaruh Pengetahuan atas Risiko terhadap Risk Perception
Perbedaan dan perubahan persepsi salah satunya dikarenakan oleh perbedaan dan
perubahan
pengetahuan/informasi
yang
dimiliki
(knowledge)
(Hawkins
dan
Mothersbaugh, 2010; Schutz et al., 2000). Seseorang dapat memiliki perbedaan
persepsi atas risiko dengan orang lain, ketika ia memiliki perbedaan pengatahuna.
Bahkan orang yang sama dapat mengalami perubahan persepsi ketika orang tersebut
mendapatkan pengetahuan tambahan berkaitan dengan obyek yang dipersepsikan.
H4: Pengetahuan atas risiko berpengaruh terhadap persepsi atas risiko.
II.8. Kerangka Konseptual
Dari pembahasan terhadap konsep dan studi yang pernah dilakukan, maka
secara konseptual terdapat beberapa hubungan dari konsep risk perception, risk
attitudes dab risk behavior yang dapt disimpulkan sebagai berikut;
1. Risk perception mempengaruhi risk intended behavior,
2. Risk attitude mempengaruhi risk intended behavior,
16
3. Risk perception bersama dengan risk attitudes mempengaruhi risk intended
behavior,
4. Pengetahuan mempengaruhi risk perception.
Berdasarkan hubungan-hubungan tersebut maka disusun model hubungan /keterkaitan
antar variabel tersebut dengan bentuk sebagai berikut :
Gambar II.1. Kerangka Hubungan
antara Risk Perception, Risk attitude dan Risk Behavior.
PENGETAHUN ATAS
RISIKO AIR PDAM
H
PERSEPSI ATAS
RISIKO
AIR PDAM
H
H1
H2
SIKAP ATAS RISIKO
AIR PDAM
PERILAKU ATAS
PENGKONSUMSIAN
AIR PDAM
17
III. METODE PENELITIAN
III.1. Desain Penelitian
Penelitian utama merupakan penelitian kuantitatif yang dirancang untuk menganalisis
model hubungan antara risk perception, risk attitude dan risk behavior dalam
mengantisipasi dan menghadapi risiko akibat mengkonsumsi air PDAM. Pada dasarnya
ada beberapa hubungan utama dalam satu model yang akan dibahas dalam penelitian
ini, yakni :
(1) Pengaruh risk perception dan risk attitudes terhadap risk behavior, dapat
dituliskan dalam bentuk;
RB = β10 + β11 RP + β12 RA + β13 RA*RP e
(2) Pengaruh pengetahuan terhadao risk perception, dapat dinyatakan dalam
bentuk;
RP = β20 + β21 Pengetahuan + e
Kedua pola hubungan tersebut akan dianalisis secara simultan untuk mendapatkan
model yang utuh dengan menggunakan Structural Equation Modelling (SEM).
III.2. Sampling
Populasi dari penelitian adalah konsumen PDAM di Surabaya. Jumlahnya
diperkirakan 499 ribu pelanggan. Dengan tingkat keyakinan 95%, maka jumlah sampel
dari hasil perhitungan menunjukkan nilai 96. Ukuran sampel direncanakan diperbesar
menjadi + 200 responden, jumlah tersebut diatas merupakan jumlah minimal untuk
penelitian dengan analitis data statistik yakni 300, seperti yang diutarakan oleh Bailey
dalam buku milik Hasan (2002) dan lebih besar dari 100 yang dianggap oleh banyak
peneliti sebagai jumlah yang minimum (Soehartono, 2002). Ukuran sampel 200 juga
disarankan oleh Hair et al. (1998) yang merekomendasikan range antara 100-200
sebagai ukuran sampel untuk analisis data multivariat dan menyatakan bahwa jumlah
200 sebagai ‘critical sample size.’ Dan untuk menarik kesediaan responden. Maka
diberikan hadiah suvenir ballpoint cantik.
18
Pengambilan kota Surabaya sebagai tempat penelitian selain karena masalah
kemudahan akses, juga karena Surabaya merupakan kota besar/Ibu kota Provinsi Jawa
Timur yang memiliki masalah dalam limbah/pencemaran air.
Unit analisis dari penelitian ini adalah keluarga, yakni mereka yang sehariharinya menggunakan air untuk diminum. Namun lebih lanjut bahwa responden adalah
mereka yang dapat mewakili keluarga untuk menjawab, dalam hal ini adalah suami/istri
kelompok menengah ke atas. Kelompok tersebut dipilih karena mereka tentu dapat
memiliki kesempatan dan kemampuan untuk memilih minuman yang dikonsumsinya.
Kelompok ekonomi bawah, tidak seringkali tidak memiliki kebebasan untuk membuat
pilihan air yang dikonsumsi untuk air minum. Metode pengambilan sampel dilakukan
dengan metode purposive sampling.
III.3. Variabel Penelitian
Pada dasarnya ada 3 variabel utama dalam penelitian ini, yakni :
1. Risk perception, menjadi variabel bebas dari risk behavior, namun juga menjadi
variabel tergantung dari pengetahuan.
2. Risk attitudes, menjadi variabel bebas dari risk behavior.
3. Risk behavior, menjadi variabel tergantung
4. Pengetahuan atas risiko, menjadi variabel bebas dari risk perception
III.4. Definisi operasional
III.4.1. Persepsi atas Risiko
Risk perception atau persepsi atas risiko didefinisikan sebagai pandangan
seseorang mengenai seberapa besar kemungkinan dirinya terkena risiko sakit dari
pengkonsumsian air PDAM apabila meminumnya. Persepsi tersebut menyangkut
persepsi terhadap besarnya resiko yang ditimbulkan
(size of damage) dan
kemungkinan timbulnya risiko tersebut (probability of damage).
Untuk variabel risk perception, dimunculkan indikator-indikator sebagai berikut :
a.
Berkaitan dengan persepsi terhadap besarnya risiko yang ditimbulkan air PDAM
bagi kesehatan konsumen apabila meminumnya;
19
(1) Risiko minum air PDAM terhadap kesehatan saya adalah besar,
(2) Risiko minum air PDAM terhadap kesehatan saya adalah tidak kecil,
b. Berkaitan dengan persepsi terhadap kemungkinan bagi konsumen terkena penyakit
akibat minum air PDAM.
(1) Kemungkinan bahwa saya terkena gangguan kesehatan akibat minum air
PDAM adalah besar.
(2) Kemungkinan bahwa saya terkena gangguan kesehatan akibat minum air
PDAM adalah tidak kecil.
Pertanyaan lain adalah berkaitan dengan risiko secara umum, yakni dengan
indikator ‘Bagi saya air minum PDAM itu berisiko terhadap kesehatan bila diminum’.
Indikator diukur dengan skala Likerts 1-5. 1 untuk Sangat Setuju dan 5 untuk
Sangat Tidak Setuju. Semakin nilai skor persepsi total mendekati 5 artinya semakin
rendah persepsi responden atas terhadap risiko/bahaya minum air PDAM, sebaliknya
semakin mendekati 1, maka semakin tinggi persepsi atas risiko minum air PDAM.
III.4.2. Sikap atas Risiko
Risk attitude atau sikap atas risiko dalam hal ini didefinisikan sebagai
kecenderungan seseorang untuk mensikapi resiko yang dihadapinya manakala
mengkonsumsi air PDAM.
Untuk Risk attitude pengukurannya dilakukan dengan memunculkan pernyataanpernyataan sebagai berikut :
a. Saya selalu berusaha menghindari segala sesuatu yang membahayakan
keselamatan dan kesehatan jasmani rohani saya.
b. Saya sangat berhati-hati terhadap keselamatan dan kesehatan jasmani dan
rohani saya,
c. Saya tipe orang yang tidak menyukai sesuatu yang berisiko.
d. Saya selalu hati-hati terhadap makanan dan minuman yang saya konsumsi.
Indikator diukur dengan skala Likerts 1-5. 1 untuk Sangat Setuju dan 5 untuk
Sangat Tidak Setuju. Semakin nilai skor sikap total mendekati 5, maka semakin risk
taker sikap responden terhadap risiko. Sebaliknya semakin mendekati nilai 1, maka
20
semakin risk averter responden terhadap risiko. Nilai skor total 3 menunjukkan sikap
indifference.
III.4.3. Perilaku atas Produk berisiko
Risk Behavior atau Perilaku dalam menghadapi/merespon risiko didefinisikan
sebagai tindakan yang dilakukan oleh para pelanggan air PDAM dalam mengantisipasi/
menghadapi risiko air yang dikonsumsinya.
Untuk mengukur risk behavior akan ditanyakan hal-hal berikut;
a. Saya tidak menggunakan air minum PDAM untuk bahan minuman,
b. Saya menghindari penggunaan air PDAM untuk diminum.
c. Bila harus menggunakan air PDAM, saya akan mengolahnya terlebih dahulu
(direbus, dimasukkan water purifier dll)
Indikator diukur dengan skala Likerts 1-5. Skor 1 adalah untuk Sangat Setuju sedang 5
adalah untuk Sangat Tidak Setuju. Semakin rendah skor total variabel maka semakin ia
menghindari / berhati-hati dalam penggunaan air minum PDAM, dan sebaliknya
semakin tinggi skor variabel semakin ia tidak mempermasalahkan penggunaan air
PDAM untuk diminum.
III.4.4. Pengetahuan atas risiko air PDAM
Pengetahuan atas risiko air PDAM didefinisikan fakta, info, deskripsi yang
diketahui konsumen sebagai hasil dari pembelajaran konsumen berkaitan dengan air
PDAM. Pengetahuan akan diamati dari pengetahuannya terhadap kualitas air sungai di
Kali Surabaya yang menjadi bahan baku air PDAM dan juga pengetahuan mengenai air
PDAM sendiri. Untuk itu indikator yang diberikan antara lain:
a. Saya tahu kondisi air sungai di Surabaya mengkhawatirkan.
b. Saya tahu air sungai Surabaya banyak tercemar.
c. Kualitas air sungai Surabaya tidak baik.
d. Kualitas air PDAM buruk.
e. Air PDAM bisa langsung diminum (reverse coding)
f. Air PDAM tercemar.
21
Pengukuran dengan skala Likerts 1-5, semakin tinggi nilai skor semakin tahu
responden terhadap kualitas air sungai dan air PDAM, dan semakin rendah semakin ia
tidak tahu bahwa air sungai dan air PDAM sudah tidak baik untuk menjadi air minum.
III.5. Prosedur Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui penyebaran kuisioner kepada responden Kepala
Keluarga dari berbagai tingkat pendidikan. Kuisioner dibagi dalam beberapa bagian
sebagai berikut ;
a. Bagian I adalah untuk mengetahui data demografis responden. Sifat
pernyataan dan pernyataan yang diberikan adalah secara terbuka dan
tertutup sesuai kebutuhan.
b. Bagian II adalah untuk mengetahui latar belakang dan pola perilaku
responden dalam mengkonsumsi air minum PDAM. Sifat penyataan dan
pernyataan juga terbuka dan tertutup.
c. Bagian III adalah untuk mengetahui persepsi responden terhadap berbagai
variabel amatan. Sifat pernyataan dan pernyataan adalah secara tertutup.
III.6. Teknik Analisis
Untuk
menganalisis
data
hasil
penelitiannya,
dilakukan
pengujian
dengan
menggunakan SEM, dengan program SmartPLS. SEM digunakan karena ada beberapa
persamaan yang dianalisis secara bersamaan. Adapun SmartPLS dipilih karena ada
interaksi antara 2 variabel. Dengan menggunakan PLS maka tidak diperlukan variabel
baru yang datanya didapatkan dari hasil perkalian kedua variabel. PLS dapat
mengkomodasi interaksi tanpa memasukkan data baru.
III.7. Validasi dan Reliabilitas Alat Ukur
III.7.1. Validitas Alat Ukur
Salah satu keunggulan SEM adalah dapat sekaligus digunakan untuk melihat
validitas alat ukur (measurement model), selain untuk melihat keterkaitan antara
variabel amatan (structural model). Dalam program SmartPLS, baik tidaknya alat ukur
dilihat melalui perhitungan algoritma. Kesahihan konvergen dalam penelitian ini diamati
22
dari nilai AVE (average variance extracted) yang merefleksikan rata-rata komunalitas
untuk masing-masing variabel laten. Kesahihan konvergen, menurut Tenenhaus et al.
(2005) pada dasarnya juga dapat dilihat dari indeks komunalitas yang mengukur
kualitas model pengukuran untuk setiap blok. Namun dalam analisis dengan PLS, nilai
AVE sama dengan nilai komunalitasnya, yang artinya keduanya mengukur hal yang
sama. Dengan demikian, nilai AVE sudah dapat mewakili indeks komunalitas. Nilai AVE
yang memadai adalah > 0,5, yang mengindikasikan bahwa variabel laten mampu
dijelaskan lebih dari 50% oleh rata-rata variansi indikatornya (Henseler et al. 2009).
Adapun untuk kesahihan diskriminan, dinyatakan oleh Ghozali (2008, hal 24) bahwa
untuk indikator reflektif yang masih dalam tahap awal pengembangan skala, nilai
loading 0,5-0,6 dianggap sudah cukup baik.
III.7.2. Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas/keterandalan berkaitan dengan kehandalan dan konsistensi alat ukur.
Kriteria yang seringkali digunakan adalah Cronbach alpha, yang menyediakan informasi
berkaitan dengan estimasi reliabilitas berdasarkan interkorelasi indikator. PLS juga
menyediakan informasi Composite Reliability. Berbeda dengan Cronbach alpha yang
mengasumsikan semua indikator memiliki loading yang sama, Composite Reliability
mengasumsikan bahwa indikator dapat berbeda loading-nya. Namun keduanya dapat
dibaca dengan cara yang sama. Henseler et al. (2009) menyatakan bahwa nilai
reliabilitas konsistensi internal sebaiknya di atas 0,7 untuk penelitian dalam tahap awal
dan di atas 0,8 atau 0,9 untuk penelitian tingkat lanjut. Sedang nilai di bawah 0,6
menunjukkan alat ukut yang digunakan kurang dapat diandalkannya.
III.8. Kelayakan Model
Kesahihan Model Struktural (Inner Model)
Kesahihan model struktural secara parsial diamati dengan melihat signifikansi dari nilai
koefisien jalurnya. Signifikansi diamati dalam tingkat keyakinan 95% dan tingkat
signifikansi 0,05. Selanjutnya kesahihan model struktural per blok variabel endogen
diamati dengan melihat koefisien determinasinya (R 2). Henseler et al. (2009)
menyatakan bahwa rule of thumb dari penilaian koefisien determinasi adalah bahwa
23
nilai sekitar 0,67 adalah substansial; sekitar 0,33 adalah moderat; sedangkan nilai
sekitar 0,19 adalah lemah.
SEM dengan menggunakan PLS tidak menyediakan indeks dari Goodness of Fit
(GoF/GFI) yang dapat memvalidasi model secara global/utuh (Tenenhaus 2005). PLS
hanya menyediakan nilai koefisien determinasi (R 2) untuk masing-masing blok dari
variabel endogen/tergantung. Namun pada dasarnya dari nilai-nilai yang didapatkan
dari model pengukuran dan struktural secara parsial dapat diperoleh proksi untuk
melihat kualitas dari model secara global (global criterion). Proksi yang dimaksud untuk
nilai global adalah dengan menghitung geometric mean dari rerata komunalitas dan
rerata koefisien determinasi. Hasil yang diperoleh dianggap dapat menunjukkan indeks
GFI dari model secara keseluruhan (Tenenhaus et al. 2005).
GFI = V communality x R2
Nilai indeks berada di nilai antara 0 dan 1. Vinzi et al. (2010) dan Hair et al. (2010, p
667) menyatakan bahwa tidak ada batasan baku untuk menilai signifikansi dari nilai
yang ada, meskipun terdapat rule of thumb untuk GFI yang > 0,90 dianggap baik.
Karena tidak ada batasan pasti berapa nilai batas bawah yang bisa diterima untuk
suatu model structural, lebih lanjut Hair et al. (1998, p 661) menyatakan bahwa diterima
atau tidaknya besaran dari nilai pengukuran GFI adalah dengan membandingkannya
dengan model alternatif. Dalam penelitian ini, model akan diperbandingkan dengan
model awal sebelum dilakukan validasi.
24
BAB IV ANALISIS STATISTIK
IV.1. Deskripsi Responden
Unit
analisis
riset
adalah
keluarga,
dengan
responden
yang
berstatus
menikah/berkeluarga. 66% responden adalah Kepala Keluarga (143 orang), sedang
34% (75 orang) adalah anggota keluarga (istri). Namun semua responden adalah
pengambil
keputusan
dalam
keluarga
terutama
untuk
pemilihan
produk
makanan/minuman untuk keluarga.
Dari segi umur, sebagian besar responden atau + 74% berumur 40 tahun ke atas
(161 orang). Secara lebih spesifik, umur peserta dimunculkan dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1. Umur Responden
Persentas
Umur
20 - < 30 tahun
30 - < 40 tahun
40 - < 50 tahun
> 50 tahun
Jumlah
10
47
92
69
218
e
4.59 %
21.56 %
42.20 %
31.65 %
100 %
Sumber: Data diolah
Dari aspek pendapatan, sebagian besar responden (> 50%) berpendapatan lebih
dari Rp 3 juta. Namun masih ada responden yang berpendapatan kurang dari Rp 1 juta.
Dari hasil penelusuran terhadap data, responden yang berpendapatan kurang dari Rp 1
juta adalah non kepala keluarga dan dari hunian dimana dilakukan penyebaran
responden, adalah tidak mungkin pendapatannya di bawah Rp 1 juta. Dengan
demikian, responden tersebut masih tetap dapat dimasukkan dalam analisis.
Tabel 4.2. Pendapatan Responden
25
Pendapata
Jumla
Persentas
n
< 1 juta
1 - < 2 juta
2 - < 3 juta
3 - < 4 juta
4 - < 5 juta
>= 5 juta
t mnjawab
h
3
41
61
45
33
29
6
218
e
1.38
18.81
27.98
20.64
15.14
13.30
2.75
100
Sumber: Data diolah
Secara umum dari aspek pengetahuan tentang kesehatan responden yang
tinggal di Surabaya, sudah baik. Responden telah mengetahui bahwa sumber air untuk
PDAM di Surabaya sudah mengalami polusi. Hal tersebut dimungkinkan karena
responden berasal dari kelompok yang berpendidikan relatif tinggi, hanya 37%
berpendidikan SMU.
Tabel 4.3. Tingkat Pendidikan Responden
Pendidika
n
SMU
S1
S2
S3
T menjawab
Jumlah
81
113
13
5
6
218
Persentase
37.16
51.83
5.96
2.29
2.75
100.00
Sumber: Data diolah
Sebagian besar responden juga lebih memilih air minum galon langsung dari
produsen yang dipercaya. Hanya sebagian kecil yang memilih alternatif lain, namun
secara umum responden masih melakukan pemrosesan lebih lanjut untuk air
minumnya.
Tabel 4.4. Pengkonsumsian atas Air
Jumla
Perlakuan atas Air
PDAM direbus
PDAM + treatment Penjernih
h
14
1
Persentas
e
6.422
0.46
26
Isi ulang
Isi ulang direbus
Isi ulang + penjernih
Air galon
20
12
2
169
218
9.17
5.50
0.92
77.52
100.00
Sumber: Data diolah
IV.2. Hasil Analisis
IV.2.1. Hasil Analisis Awal
Hasil analisis dengan SmartPLS 2.0 di awal menunjukkan hasil yang kurang baik,
antara lain:
a. AVE untuk variabel sikap atas risiko 0,2135 atau di bawah 0,5
b. Composite Reliability untuk sikap atas risiko juga rendah yakni 0,16
c. Cronbach alpha untuk variabel perilaku juga kurang baik yakni 0,464
Nilai awal yang kurang baik tersebut mengindikasikan adanya permasalahan
dalam pengukuran variabel yang digunakan, khususnya dalam mengukur sikap
(attitude). Validitas alat ukur, kurang baik untuk variabel sikap atas risiko; sedangkan
reliabilitas alat ukur kurang baik baik untuk variabel sikap maupun perilaku atas risiko.
Untuk itu lebih lanjut dilihat loading factor masing-masing indikator. Dari hasil
penelusuran, terdapat beberapa nilai yang kurang baik. Untuk Risk attitude dari dari 4
indikator yang ada, hanya ada 1 saja yang valid, sedangkan untuk variabel perilaku dari
3 indikator, hanya ada 2 yang valid.
Gambar 2.1. Gambar Analisis Bootstrap Awal
27
IV.2.2. Hasil Analisis Kedua
Setelah dilakukan eliminasi indikator yang dirasa kurang baik, dilakukan analisis ulang
terhadap data dengan menggunakan SmartPLS. Hasil kedua menunjukkan nilai AVE
yang > 0.5, dan nilai Composite Reliability serta Cronbach alpha > 0,7. Tidak ada lagi
nilai yang kurang baik dalam perhitungan algoritma yang dilakukan. Untuk itu tahap
perhitungan dengan bootstrap dilakukan.
28
Gambar 4.1 Gambar Analisis Bootstrap Kedua
Hasil dari bootstrap menunjukkan nilai yang baik. Semua model struktural terdukung.
Hal tersebut dapat terlihat secara rinci pada Gambar 4.1 dan Tabel 4.5. Semua nilai t
menunjukkan hasil di atas 1,96.
Tabel 4.5. Path Coeffieitn s eaia ,TSTDEVa T-DEValuen)
Original
Sample
(O)
knowledge -> persepsi
0.719779
persepsi -> perilaku
persepsi * sikap ->
perilaku
0.57194
0.209295
sikap -> perilaku
0.250517
Sampl
e Mean
(M)
0.7260
7
0.5644
7
0.1954
0.2559
2
Standar
d
Deviatio Standar
n
d Error
(STDEV) (STERR)
0.03753 0.03753
1
1
0.05951 0.05951
5
5
0.09867 0.09867
9
9
0.07252
4
0.07252
4
T
Statisti
cs
(|O/STE
RR|)
19.178
16
9.6100
6
2.1209
72
3.4542
63
Hasil dari analisis menunjukkan hasil antara lain:
a. Persepsi atas risiko berpengaruh terhadap perilaku pengkonsumsian air minum
secara signifikan (t = 9,61) dengan arah yang positif (0,572), yang artinya semakin
29
tinggi persepsi atas risiko air minum semakin hati-hati perilaku pengkonsumsian air
minum yang dilakukan.
b. Sikap atas risiko berpengaruh terhadap perilaku secara signifikan (t = 3,454) dengan
arah yang negatif (- 0,25), yang artinya semakin seseorang memiliki tipe hati-hati,
maka ia semakin tidak menghindari penggunaan air PDAM untuk bahan minuman.
c. Pengetahuan terhadap persepsi signifikan (t = 19,178) dengan arah yang positif
(0,72), yang artinya semakin tinggi pengetahuan seseorang terhadap kondisi air
PDAM di Surabaya, semakin tinggi persepsinya terhadap risiko air PDAM.
d. Interaksi antara persepsi dan sikap juga signifikan (t = 2,12), yang artinya kedua
variabel bebas, persepsi dan sikap atas risiko berinteraksi mempengaruhi perilaku
pengkonsumsian produk berisiko.
e. Persepsi atas risiko lebih dominan mempengaruhi perilaku pengkonsumsian produk
berisiko (koefisien regresi = 0,57), dibanding pengaruh sikap atas risiko (dengan
koefisien regresi = -0,25)
Tabel 4.5. Simpulan Studi
Hipotesis
Hipotesis 1
Hipotesis 2
Hipotesis 3
Hipotesis 4
Pernyataan
Persepsi atas Risiko berpengaruh terhadap Perilaku
menjauhi risiko.
Sikap atas Risiko berpengaruh terhadap Perilaku
menjauhi risiko.
Persepsi dan sikap atas Risiko berpengaruh
terhadap Perilaku menjauhi risiko.
Pengetahuan atas risiko berpengaruh terhadap persepsi
atas risiko
Keterangan
Terdukung
Terdukung
Terdukung
Terdukung
IV. 3. Kelayakan Model Struktural
Berdasarkan Tenennhaus et al. (2005), kelayakan model path untuk PLS dapat diamati
dengan geometric mean dari rata-rata komunalitas dan rata-rata koefisien determinasi.
Perhitungan kelayakan model (Goodness of Fit) berdasarkan akar dari kedua rata-rata
komunalitas dan koefisien determinasi adalah sebesar 0,613534. Untuk nilai > 0,6
menunjukkan hasil yang cukup baik.
30
BAB V PEMBAHASAN
Keterdukungan semua hubungan antara variabel menunjukkan bahwa perilaku
pengkonsumsian produk berisiko terdukung dipengaruhi oleh persepsi atas risiko dan
sikap atas risiko. Sikap terhadap risiko juga dipengaruhi oleh persepsi atas risiko. Lebih
lanjut, pengetahuan tidak berpengaruh terhadap persepsi atas risiko.
V.1. Pengaruh Risk Perception terhadap Risk Behavior
Pengaruh signifikan persepsi terhadap risiko terhadap perilaku mendukung riset
sebelumnya. Hubungan antara Risk Perception dengan Risk Behavior (Intention)
secara khusus telah diamati dalam beberapa studi (Paraschiv dan Zahari 2000; Placer
dan Delquie 1997) yang menunjukkan adanya keterkaitan antara kedua variabel
tersebut,
namun
ditemukan
bahwa
terkadang
muncul
ketidak
konsistenan.
Ketidakkonsistenan dalam studi yang dilaku