49393994 Kegagalan Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Syariah

PERAN EKONOMI SYARIAH DAN KEGAGALAN EKONOMI NEOKLASIK DI INDONESIA

Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Perencanaan dan Manajemen SDM

Oleh : Prof. Sayuti Hasibuan, Ph. D

Disampaikan pada Sidang Senat Terbuka Universitas Muhammadiyah Surakarta Rabu, 5 Maret 2008

Bismillahirrohmanirrohim

Yang saya hormati, Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Diktilitbang; Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah; Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat, dan segenap Anggota Senat Universitas Muhammadiyah Surakarta; Para Pejabat Sipil dan Militer; Para Wakil Rektor, Dekan dan Pembantu Dekan, Direktur dan Pembantu Direktur, Ketua Program dan Sekretaris Program, Ketua Lembaga, Kepala Biro, segenap Staf Program Pascasarjana, beserta Civitas Akademika Universitas Muhammadiyah Surakarta; Para tamu undangan, sahabat, handai taulan yang saya hormati,serta segenap hadirin yang berbahagia.

Assalamu’alaikum wr. wb., Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia kepada kita semua untuk dapat mengukuti pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar yang disampaikan pada Sidang Senat Terbuka Universitas Muhammadiyah Surakarta pada hari Rabu, 5 Maret 2008.

Selanjutnya saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia khususnya Sekretaris Jenderal Pendidikan Nasional Bapak Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika,M.S. dan Bapak Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Bapak Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA yang melalui Surat Keputusan Nomor: 62493 / A2.7/KP/2006 telah menetapkan saya dalam jabatan dosen Guru Besar dalam mata kuliah / bidang Ilmu Perencanaan SDM / Manajemen SDM.

Pada kesempatan ini saya kan menyampaikan pidato pengukuhanyang berjudul: ”Peran Ekonomi Syariah dan Kegagalan Ekonomi Neoklasik di Indonesia

Hadirin yang saya hormati, Satu pertanyaan yang wajar dikemukakan ialah kenapa tulisan-tulisan akademis

mengenai ekonomi syariah “ yang dapat dijadikan referensi “ terasa amat kurang di Indonesia saat ini? Apakah para ekonom Indonesia pada umumnya kurang mengenal konsep-konsep pokok ekonomi syariah ? Ataukah ekonomi neoklasik atau konvensional begitu dominan kedudukannya baik secara akademis maupun dari segi pembentukan kebijakan negara sehingga menggeser perhatian utama dari ekonomi syariah ? Barangkali tidak jauh dari kebenaran bila dikatakan bahwa peran ekonomi konvensional begitu dominan secara akademis maupun dari segi pembentukan kebijakan sehingga para ekonom Indonesia tidak melihat pentingnya mengeluarkan banyak energi bagi pengembangan ekonomi syariah. Secara akademis pengajaran ilmu ekonomi di Indonesia didominasi oleh pengajaran ekonomi neoklassik yang merupakan basis teoritis dari apa yang dapat disebut sebagai ekonomi konvensional. Jarang sekali fakultas ekonomi di Indonesia memasukkan ekonomi syariah dalam kurikulum pokok sistem perkuliahannya. Segala sesuatu ini berarti bahwa peran ekonomi neoklasik dalam pengaturan kehidupan ekonomi di Indonesia semakin tidak tergoyahkan. Apalagi pembentukan kebijakan dan pengajaran ekonomi berbasis ekonomi konvensional di universitas- universitas di Indonesia didukung sepenuhnya oleh lembaga lembaga ekonomi internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, maka kedudukan konsep-konsep ekonomi konvensional dalam pemikiran dan praxis kebijakan ekonomi seolah-olah tidak tergoyahkan.

Posisi yang demikian kuat mulai goyah setelah Indonesia mengalami krisis multidimensi berkepanjangan sejak tahun 1997. Krisis moneter di Muangthai pada akhir tahun 1997 yang menjadi sumber awal krisis di Indonesia, sesungguhnya adalah suatu kejadian relatif kecil secara internasional dibandingkan dengan depresi yang melanda dunia pada tahun 1920-an dan tahun 1930-an. Namun dampak dari krisis di Muangthai adalah krisis multidimensi di Indonesia yang setelah lebih dari sembilan tahun Indonesia belum berhasil mengatasinya. Sudah banyak langkah yang ditempuh untuk keluar dari krisis tetapi kenyataan yang

dihadapi ialah bahwa kondisi kehidupan ekonomi masyarakat belum bisa diperbaiki secara berarti. Secara singkat dapatlah disampaikan bahwa ditinjau dari segi peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat, pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini mengalami kegagalan yang menyedihkan. Adalah tesis dari makalah ini bahwa kegagalan pembangunan ekonomi di Indonesia utamanya adalah karena resep-resep yang dipergunakan dalam membangun ekonomi Indonesia adalah resep-resep ekonomi neoklassik yang memiliki ciri-ciri yang tidak mendukung terwujudnya sasaran-sasaran kesejahteraan rakyat . Ciri-ciri pokok yang mendasari ekonomi neoklasik adalah individualisme dan materialisme. Aplikasi faham-faham ini dalam membangun ekonomi ternyata gagal dalam mewujudkan cita-cita kesejahteranaan yang terkandung dalam visi pembangunan sosial-ekonomi Indonesia sebagaiman yang terkandung dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Selanjutnya, juga menjadi tesis makalah ini adalah bahwa bilamana Indonesia menginginkan cita-cita pembangunan ekonomi terwujud, maka resep-resep yang digunakan mestilah resep-resep berbasis kepada kemanusiaan yang adil dan beradab dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Nama yang diberikan untuk ekonomi yang demikian adalah ekonomi syariah.

Dalam kaitan ini, sebagai dosen mata kuliah Dasar-Dasar Ekonomi Islam, saya sambut baik terbitnya buku teks, Ekonomi Islam, yang ditulis oleh tim dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, yang bekerja sama dengan Bank Indonesia, yang merupakan tambahan penting terhadap literatur yang ada; walaupun harus dikatakan bahwa masalah pokok yang dihadapi oleh ekonomi bangsa saat ini, secara sistem, adalah beralih dari sistem materialistik-cum- individulistik sekuler dan ribawi ke sistem syariah; dan seyoginyalah sebuah buku teks ekonomi Islam memuat masalah=masalah aktual yang dapat dipelajari mahasiswa.

Hadirin yang saya hormati,

Dapat dicermati berbagai indikasi kegagalan pembangunan perekonomian Indonesia. Ini merupakan bagian pertama dari pidato ini.

Masalah Lapangan Kerja Produktif

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, antara lain disebutkan bahwa pemerintahan negara dibentuk “untuk memajukan kesejahteraan umum”. Banyak ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan umum. Lapangan kerja merupakan salah satu ukuran utama yang dapat dan perlu dimanfaatkan. Lapangan kerja produktif yang mencukupi merupakan sarana utama bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan dengan halal. Lapangan kerja menyangkut harga diri, dan pengangguran yang berkepanjangan akan berarti hilangnya harga diri selain dari menurunnya tingkat hidup bagi yang bersangkutan. Oleh karena itu pengangguran haruslah dihapuskan utamanya dengan mengambil kebijakan negara yang tepat dalam memperluas lapangan kerja produktif.

Ditinjau dari segi penghapusan pengangguran maka dapatlah disampaikan bahwa pembangunan perekonomian Indonesia sampai dengan saat ini masih jauh dari keberhasilan. Sebaliknya diketahui semakin meningkatnya pengangguran walaupun telah dicapai berbagai kemajuan di bidang pertumbuhan ekonomi dan ukuran-ukuran yang sejalan dengan pertumbuhan. Hal demikian terlihat dari pengalaman selama pelaksanaan pembangunan dalam Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I). “Selama 25 tahun pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai rata-rata 6,8 % per-tahun”. (Republik Indonesia, (1994)) . Ekspor Indonesia meningkat cukup tinggi khususnya ekspor non-migas. “Nilai keseluruhan ekspor meningkat menjadi sekitar 43 kali, yaitu dari US$ 872 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 37,2 miliar pada tahun 1993/94. Peningkatan pesat ini terutama berasal dari ekspor nonmigas yang meningkat menjadi sekitar 50 kali, yakni dari US$ 569 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 28,2 miliar pada tahun 1993/94, dan peranannya mencapai 75,8 % dari nilai seluruh ekspor”. (Republik Indonesia, 1994). Investasi juga cukup tinggi. “Dalam PJP I pinjaman luar negeri pemerintah meningkat dari US$ 266 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 5,9 miliar pada tahun 1993/94. … Pemasukan modal (neto) swasta meningkat dari US$ 65 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 6,7 miliar Ditinjau dari segi penghapusan pengangguran maka dapatlah disampaikan bahwa pembangunan perekonomian Indonesia sampai dengan saat ini masih jauh dari keberhasilan. Sebaliknya diketahui semakin meningkatnya pengangguran walaupun telah dicapai berbagai kemajuan di bidang pertumbuhan ekonomi dan ukuran-ukuran yang sejalan dengan pertumbuhan. Hal demikian terlihat dari pengalaman selama pelaksanaan pembangunan dalam Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I). “Selama 25 tahun pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai rata-rata 6,8 % per-tahun”. (Republik Indonesia, (1994)) . Ekspor Indonesia meningkat cukup tinggi khususnya ekspor non-migas. “Nilai keseluruhan ekspor meningkat menjadi sekitar 43 kali, yaitu dari US$ 872 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 37,2 miliar pada tahun 1993/94. Peningkatan pesat ini terutama berasal dari ekspor nonmigas yang meningkat menjadi sekitar 50 kali, yakni dari US$ 569 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 28,2 miliar pada tahun 1993/94, dan peranannya mencapai 75,8 % dari nilai seluruh ekspor”. (Republik Indonesia, 1994). Investasi juga cukup tinggi. “Dalam PJP I pinjaman luar negeri pemerintah meningkat dari US$ 266 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 5,9 miliar pada tahun 1993/94. … Pemasukan modal (neto) swasta meningkat dari US$ 65 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 6,7 miliar

“(Republik Indonesia, 1994). Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan ekonomi ajaib (The World Bank, 1993).

Namun pada saat bersamaan pengangguran juga meningkat. Pada tahun 1980, pengangguran terbuka berjumlah hanya 891 ribu orang atau 1,7 % dari angkatan kerja. Pada tahun 1990 jumlah pengangguran meningkat menjadi 2.365 ribu orang atau meningkat dengan 10.3 % per-tahun. Pada tahun 1995, pengangguran terbuka meningkat lagi menjadi 3,2 % dari angkatan kerja atau 6.304 ribu orang atau 21,7% setiap tahun. Pada tahun 2000 ke atas, keadaan cenderung bertambah suram. Menurut perhitungan Bappenas, sebagaimana yang dimuat di Harian Kompas tanggal 5 September 2006, pertambahan angkatan kerja tahun 2000 adalah 0,94 juta orang, tahun 2001:3,18 juta, tahun 2002:1,97 juta, tahun 2003:1,85 juta, tahun 2004:1,34 juta, tahun 2005:1,83 juta orang. Rata-rata per-tahun tambahan orang yang membutuhkan pekerjaan adalah 1,85 juta orang. Kemampuan perekonomian memberi lapangan pekerjaan rata-rata per-tahun selama enam tahun tersebut adalah 211 ribu orang untuk tiap kenaikan 1% dari pertumbuhan ekonomi. Jadi kalau seluruh orang yang membutuhkan pekerjaan mau ditampung dalam perekonomian bangsa maka perekonomian perlu tumbuh dengan 1,85 juta: 0,211 juta = 8,76% per-tahun rata-rata. Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan BI dalam iklan di Kompas adalah 6% pada tahun 2007 dan berkisar antara 5,7% - 6,7% atau rata-rata 6,2% pada tahun 2008. Dengan hitungan-hitungan ini, maka kecuali Allah menghendaki lain, pengangguran dan kemiskinan semakin meluas. Ditambah dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok seperti harga minyak goreng, kehidupan sosial ekonomi masyarakat semakin menghimpit. Keadaan akan semakin sulit dengan masih besarnya separuh pengangguran dalam perekonomian, yaitu angkatan kerja yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Dari berbagai sumber BPS, diketahui bahwa persentase separuh pengangguran ini adalah 36,5 % pada tahun 1980, 36,6 % pada tahun 1990,dan 36,9 % pada tahun 1995 pada saat pertumbuhan ekonomi tinggi. Pada Namun pada saat bersamaan pengangguran juga meningkat. Pada tahun 1980, pengangguran terbuka berjumlah hanya 891 ribu orang atau 1,7 % dari angkatan kerja. Pada tahun 1990 jumlah pengangguran meningkat menjadi 2.365 ribu orang atau meningkat dengan 10.3 % per-tahun. Pada tahun 1995, pengangguran terbuka meningkat lagi menjadi 3,2 % dari angkatan kerja atau 6.304 ribu orang atau 21,7% setiap tahun. Pada tahun 2000 ke atas, keadaan cenderung bertambah suram. Menurut perhitungan Bappenas, sebagaimana yang dimuat di Harian Kompas tanggal 5 September 2006, pertambahan angkatan kerja tahun 2000 adalah 0,94 juta orang, tahun 2001:3,18 juta, tahun 2002:1,97 juta, tahun 2003:1,85 juta, tahun 2004:1,34 juta, tahun 2005:1,83 juta orang. Rata-rata per-tahun tambahan orang yang membutuhkan pekerjaan adalah 1,85 juta orang. Kemampuan perekonomian memberi lapangan pekerjaan rata-rata per-tahun selama enam tahun tersebut adalah 211 ribu orang untuk tiap kenaikan 1% dari pertumbuhan ekonomi. Jadi kalau seluruh orang yang membutuhkan pekerjaan mau ditampung dalam perekonomian bangsa maka perekonomian perlu tumbuh dengan 1,85 juta: 0,211 juta = 8,76% per-tahun rata-rata. Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan BI dalam iklan di Kompas adalah 6% pada tahun 2007 dan berkisar antara 5,7% - 6,7% atau rata-rata 6,2% pada tahun 2008. Dengan hitungan-hitungan ini, maka kecuali Allah menghendaki lain, pengangguran dan kemiskinan semakin meluas. Ditambah dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok seperti harga minyak goreng, kehidupan sosial ekonomi masyarakat semakin menghimpit. Keadaan akan semakin sulit dengan masih besarnya separuh pengangguran dalam perekonomian, yaitu angkatan kerja yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Dari berbagai sumber BPS, diketahui bahwa persentase separuh pengangguran ini adalah 36,5 % pada tahun 1980, 36,6 % pada tahun 1990,dan 36,9 % pada tahun 1995 pada saat pertumbuhan ekonomi tinggi. Pada

Kesenjangan Peran Dunia Usaha

Kegagalan penyediaan lapangan kerja produktif dalam jangka panjang secara memadai dan berkelanjutan merupakan satu indikasi umum yang amat penting mengenai tidak atau kurang terwujudnya “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Indikasi ini menunjuk kepada marjinalisasi sebagian besar pengusaha dalam perekonomian bangsa dan kepada super-kayanya sebagain kecil pengusaha. Pada tahun 2003, umpamanya, menurut angka-angka yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (PJMN) 2004-2009, usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKMK) yang berjumlah 42,4 juta unit atau 99,9% dari jumlah seluruh unit usaha di Indonesia menghasilkan 56,7 % dari seluruh Produk Domestik Bruto dan menyerap 79,0 juta tenaga kerja atau 99,5 % dari seluruh tenaga kerja. Unit usaha besar yang merupakan hanya 0,1 % dari seluruh unit usaha menghasilkan 43,3 % dari PDB dan 0,5 % dari seluruh lapangan kerja yang ada pada waktu itu. Kesenjangan yang tercipta dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dengan struktur perekonomian yang demikian tentulah amat besar.

Investasi Padat Modal

Masalah lapangan kerja dan pengangguran dan kesenjangan dunia usaha terkait akrab dengan kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan investasi. Terdapat

kesenjangan antar-sektor yang besar dalam investasi. Dalam Repelita V (1989/90- 1993/94), umpamanya, jumlah investasi diperkirakan Rp.334,4 triliun. Dari jumlah ini sektor pertanian hanya kebagian 2,98 % pada hal pada waktu itu (1994) sektor pertanian menampung 48,15 % dari angkatan kerja yang berjumlah 82 juta orang lebih. Jasa-jasa yang mempekerjakan 13,27 % dari angkatan kerja hanya memperoleh 4,48 %. Industri pengolahan yang mempekerjakan 13,21 % dari angkatan kerja memperoleh dana invesatasi sebesar 34 %. Jadi sektor pertanian dan sektor jasa-jasa yang memperkerjakan lebih 60 % dari angkata kerjan hanya memperoleh sekitar 7,5 % dari investasi! Dilain pihak lembaga-lembaga keuangan yang menampung hanya 0,76 % dari angkatan kerja memperoleh investasi sebesar 10,94 %. Secara keseluruhan sektor –sektor diluar pertanian dan jasa-jasa yang mempekerjakan kurang dari 40 % angkatan kerja menikmati lebih dari 92 % investasi (Centre for Technical Services- Indonesian-German Technical Cooperation dan Bappenas, BookII Economic Sectors Data and Indicators, Jakarta, 1996, Tabel 1 dan Tabel 2). Dana investasi tidak diarahkan ke sektor padat karya tetapi ke sektor padat modal. Pola investasi demikian sangat anti-lapangan kerja dan anti-keadilan tetapi pro-kesenjangan.

Rendahnya Produktivitas Total Masyarakat Meningkatnya pengangguran selama PJP I, besarnya kesenjangan peran antara pengusaha besar yang amat sedikit dan para pengusaha yang tergolong kedalam UKMK, relatif kecilnya investasi disektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja seperti di sektor pertanian, semuanya menunjuk kepada kurang berperannya SDM Indonesia sebagai sumber pertumbuhan dalam pembangunan Indonesia. Salah satu studi yang dilakukan oleh penulis ini beberapa tahun yang lalu memperlihatkan bahwa selama tahun tahun 1972 s/d 1990, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, sebesar 7,2 %. Dari pertumbuhan ini, unsur modal menyumbang 5,1 %, unsur teanga kerja menyumbang 2,1 % dan produktivitas total masyarakat atau Total Factor Productivity (TFP) menyumbang 0 %. Dengan lain perkataan para SDM Indonesia selaku pelaku pembangunan disemua sektor secara rata-rata, mengandalkan kepada pertambahan input baru Rendahnya Produktivitas Total Masyarakat Meningkatnya pengangguran selama PJP I, besarnya kesenjangan peran antara pengusaha besar yang amat sedikit dan para pengusaha yang tergolong kedalam UKMK, relatif kecilnya investasi disektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja seperti di sektor pertanian, semuanya menunjuk kepada kurang berperannya SDM Indonesia sebagai sumber pertumbuhan dalam pembangunan Indonesia. Salah satu studi yang dilakukan oleh penulis ini beberapa tahun yang lalu memperlihatkan bahwa selama tahun tahun 1972 s/d 1990, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, sebesar 7,2 %. Dari pertumbuhan ini, unsur modal menyumbang 5,1 %, unsur teanga kerja menyumbang 2,1 % dan produktivitas total masyarakat atau Total Factor Productivity (TFP) menyumbang 0 %. Dengan lain perkataan para SDM Indonesia selaku pelaku pembangunan disemua sektor secara rata-rata, mengandalkan kepada pertambahan input baru

Meningkatnya Kejahatan Lebih dari itu, kejahatan termasuk korupsi, besar dan kecil, disektor negara maupun swasta, cenderung meningkat. Secara umum indeks kejahatan di Indonesia, pada tahun-tahun sebelum pergantian pemerintahan di tahun 1998, dengan tahun dasar 1985=100, adalah 110,8 pada tahun 1993, 110,5 pada tahun 1994, 116,0 pada tahun 1995, 112,3 pada tahun 1996 dan 108,8 tahun 1997. Khusus untuk kasus penyuapan sebagai salah satu bentuk korupsi maka indeks ini adalah 76,5 pada tahun 1993, 100,0 pada tahun 1994, 129,4 pada tahun 1995, 535,3 pada tahun 1996, dan 352,9 pada tahun 1997 dengan tahun dasar 1985=100. (Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal, Jakarta 1997, hal. 28).

Rendahnya Posisi Indonesia Dalam Indeks Pembangunan Manusia Dunia Secara umum dan internasional dapatlah disampaikan bahwa pembangunan yang

dilaksanakan selama ini telah gagal menempatkan Indonesia dalam posisi sesuai dengan jumlah penduduknya yang besar, yang no.4 di dunia. Indikasi yang penting mengenai hal ini adalah apa yang disebut sebagai indeks pembangunan manusia (human development index) sebagaimana yang dikembangkangkan dan diriset setiap tahun oleh sebuah badan PBB (UNDP). Pada tahun 2004, dari 177 negara di dunia, Indonesia menempati no. 108. Posisi ini sudah sedikit membaik dari posisi tahun sebelumnya yaitu 110. Posisi no. 1 ditempati oleh Norwegia. Human Development Index mengukur tiga katagori pencapaian manusia yaitu tingkat kesehatan penduduk, tingkat pencapaian pendidikan dan tingkat pencapaian di bidang ekonomi. Pencapaian di bidang kesehatan, sebagaimana diukur oleh umur rata-rata penduduk, maka Indonesia mencatat rata-rata umur penduduk 67,2 tahun pada tahun 2004 dan Norwegia mencatat 79,6 tahun. Di bidang pendidikan, persentase penduduk yang memasuki sekolah, menurut golongan umur, adalah 100 % di Norwegia; sedangkan di Indonesia persentase ini hanyalah 68%. Selama

tahun 1996-2004, sejumlah 28 % anak-anak Indonesia dibawah umur lima tahun mengalami kekurangan gizi yang ditandai berat badan dibawah standar. Sebesar 23 % penduduk Indonesia pada tahun 2004, belum memperoleh sumber air bersih yang memadai. Yang erat kaitannya dengan masalah pengangguran adalah masalah kemiskinan pendapatan. Dengan ukuran US$ 1 per kapita per hari sebagai ukuran kemiskinan maka 7.5 % penduduk Indonesia rata-rata selama tahun 1990- 2003 berada di bawah garis kemiskinan. Bilamana ukuran kemiskinan dinaikkan menjadi US$ 2 pendapatan per-kapita per hari, maka dalam periode yang sama jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 52,4%. (UNDP, 2006). Prospek masa depan tidaklah cerah. Menurut laporan ADB-UNDP-UNESCAP yang berjudul ”The Millennium Development Goal, Progress Report in Asia and the Pacific”, Indonesia bersama dengan Pakistan dan Bangladesh, diproyeksikan gagal mencapai MDG (medium development goal) mereka yaitu mengurangi menjadi setengah tingkat kemiskinan pada tahun 2015. (Harian Kompas, 2006). Memang pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per-kapita Indonesia meningkat tiap tahun. Tetapi itu tidak banyak artinya sebab peningkatan ini berarti semakin jauh jurang pemisah antara yang menganggur dengan yang tidak menganggur dan antara yang kaya dan yang miskin. Ini berarti, “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 semakin jauh dari kenyataan.

Hadirin yang saya hormati,

Dapatlah disimpulkan bahwa ditinjau secara struktural, pembangunan sosial- ekonomi Indonesia pasca-kemerdekaan, kebijakan-kebijakan pembangunan yang ditempuh selama ini telah tidak berhasil mewujudkan lapangan kerja produktif yang mencukupi begi kesejahteraan rakyat, telah tidak berhasil mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, telah mendorong terjadinya kejahatan berbagai ragam dan telah gagal menempatkan mutu SDM Indonesia ketempat yang terhormat secara internasioanal.

Dengan mengemukakan kelemahan-kelemahan ini dalam usaha pembangunan bangsa selama ini, tidaklah berarti ini mengurangi rasa syukur kita bahwa Republik Indonesia yang diroklamirkan pada tahun 1945 masih tetap utuh berdiri sampai dengan saat ini. Dilain pihak rasa syukur itu mengharuskan adanya upaya mencari tahu kenapa terdapat kelemahan-kelemahan demikian agar dapat diambil langkah-langkah perbaikan kemasa depan.

Hadirin yang saya hormati,

Apa Sebab Indonesia Sebegitu Jauh Gagal Dalam Mengupayakan Kesejahteraan Rakyatnya Sesuai Tuntutan Nilai-Nilai Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ? Tinjauan mengenai sebab-sebab ini merupakan bagian kedua dari pidato ini.

Pengingkaran Terhadap Hukum Sebab-Akibat

Kegagalan ini disebabkan digunakannya paradigma operasional ekonomi neoklasik materialisme dan individualisme dalam perencanaan dan pelaksanaan operasional pembangunan sosial ekonomi Indonesia selama ini. Paradigma operasional demikian berdampak negatif kepada pemanfaatan sepenuhnya SDM bangsa dalam mengupayakan berbagai tujuan yang mau dicapai karena tidak konsisten dengan resep-resep yang telah ditetapkan.

Tetapi kenapa harus gagal ? Ini oleh karena adanya pengingkaran terhadap hukum sebab-akibat. Dibidang sosial-kemanusiaan, berbeda dengan bidang fisik- alam, kemauan manusia menjadi sebab awal banyak gejala. Negara-negara Barat, umpamanya, masing- masing memiliki kemauan kolektif dan mereka sudah menemukan resep-resep yang cocok merealisasikan kemauan kolektif ini. Indonesia dengan nilai-nilai yang terkandung didalam Undang-Undang Dasar 1945, nyatanya belum menemukan resep yang cocok. Bahkan dapat dikatakan bagian dari para pemimpin Indonesia termasuk yang di birokrasi, ternyata belum faham benar kemauan kolektif bangsanya dan kalaupun faham, tidak atau kurang menguasai cara-cara merealisasikan kemauan ini. Tidaklah mengherankan bilamana strategi pembangunan yang diusung, sadar atau tidak, telah mengingkari hukum sebab- Tetapi kenapa harus gagal ? Ini oleh karena adanya pengingkaran terhadap hukum sebab-akibat. Dibidang sosial-kemanusiaan, berbeda dengan bidang fisik- alam, kemauan manusia menjadi sebab awal banyak gejala. Negara-negara Barat, umpamanya, masing- masing memiliki kemauan kolektif dan mereka sudah menemukan resep-resep yang cocok merealisasikan kemauan kolektif ini. Indonesia dengan nilai-nilai yang terkandung didalam Undang-Undang Dasar 1945, nyatanya belum menemukan resep yang cocok. Bahkan dapat dikatakan bagian dari para pemimpin Indonesia termasuk yang di birokrasi, ternyata belum faham benar kemauan kolektif bangsanya dan kalaupun faham, tidak atau kurang menguasai cara-cara merealisasikan kemauan ini. Tidaklah mengherankan bilamana strategi pembangunan yang diusung, sadar atau tidak, telah mengingkari hukum sebab-

Faham Ekonomi Neoklasik

Sebagaimana sudah diindikasikan sebelumnya, kegagalan ini berkaitan dengan faham sosial-ekonomi yang dianut sebagai dasar operasional penentuan kebijakan dalam pembangunan, khususnya dalam pembangunan ekonomi. Faham ini dapatlah disebut sebagai faham ekonomi neoklasik. Yang dimaksud dengan faham ekonomi neoklasik adalah suatu pendekatan umum dalam ekonomi dengan fokus kepada konsep-konsep dasar tertentu mengenai kelakuan manusia agar terwujud suatu alokasi sumber-sumber yang efisien. Yang amat penting adalah bahwa efisiensi alokasi sumber daya masyarakat ditentukan oleh tindakan-tindakan individu. Dalam kaitan ini faham ekonomi neoklasik membuat anggapan bahwa manusia memiliki preferensi-preferensi yang rasional yang dapat diidentifikasi, diberi nilai dan bahwa setiap individu memiliki informasi penuh mengenai apa yang ia kehendaki, mengenai harga-harga, produk, dan informasi-informasi lainnya yang relevan, baik informasi kini, masa yang lalu maupun masa depan sehingga tercipta kemampuan bagi individu-individu untuk memaksimumkan kegunaan bagi dirinya dan bagi perusahaan-perusahaan memaksimumkan keuntungan. Dengan anggapan mengenai prilaku manusia dan dengan anggapan bahwa adanya pasar dengan persaingan sempurna maka diciptakanlah sebuah struktur teoritis bagaimana efisiensi alokasi sumber daya bisa diwujudkan di masyarakat. Rumah- tangga rumah-tangga dalam batas-batas kemampuan keuangan mereka dan dengan harga-harga yang berlaku, akan membeli sekumpulan komoditas dan jasa dalam upaya meraih manfaat yang maksimal. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan akan membeli suatu kombinasi masukan tenaga kerja dan modal termasuk teknologi, yang akan menciptakan keuntungan yang maksimal bagi mereka. Dengan adanya pasar bebas dengan persaingan sempurna baik pada pasar unsur- unsur produksi maupun pada pasar barang-barang konsumsi, maka terciptalah Sebagaimana sudah diindikasikan sebelumnya, kegagalan ini berkaitan dengan faham sosial-ekonomi yang dianut sebagai dasar operasional penentuan kebijakan dalam pembangunan, khususnya dalam pembangunan ekonomi. Faham ini dapatlah disebut sebagai faham ekonomi neoklasik. Yang dimaksud dengan faham ekonomi neoklasik adalah suatu pendekatan umum dalam ekonomi dengan fokus kepada konsep-konsep dasar tertentu mengenai kelakuan manusia agar terwujud suatu alokasi sumber-sumber yang efisien. Yang amat penting adalah bahwa efisiensi alokasi sumber daya masyarakat ditentukan oleh tindakan-tindakan individu. Dalam kaitan ini faham ekonomi neoklasik membuat anggapan bahwa manusia memiliki preferensi-preferensi yang rasional yang dapat diidentifikasi, diberi nilai dan bahwa setiap individu memiliki informasi penuh mengenai apa yang ia kehendaki, mengenai harga-harga, produk, dan informasi-informasi lainnya yang relevan, baik informasi kini, masa yang lalu maupun masa depan sehingga tercipta kemampuan bagi individu-individu untuk memaksimumkan kegunaan bagi dirinya dan bagi perusahaan-perusahaan memaksimumkan keuntungan. Dengan anggapan mengenai prilaku manusia dan dengan anggapan bahwa adanya pasar dengan persaingan sempurna maka diciptakanlah sebuah struktur teoritis bagaimana efisiensi alokasi sumber daya bisa diwujudkan di masyarakat. Rumah- tangga rumah-tangga dalam batas-batas kemampuan keuangan mereka dan dengan harga-harga yang berlaku, akan membeli sekumpulan komoditas dan jasa dalam upaya meraih manfaat yang maksimal. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan akan membeli suatu kombinasi masukan tenaga kerja dan modal termasuk teknologi, yang akan menciptakan keuntungan yang maksimal bagi mereka. Dengan adanya pasar bebas dengan persaingan sempurna baik pada pasar unsur- unsur produksi maupun pada pasar barang-barang konsumsi, maka terciptalah

Individualisme

Di mana letak individualisme dalam pola berfikir faham neoklasik ? Dengan individualisme disini diartikan “The tendency to magnify individual liberty, as against external authority, and individual activity, as against associated activity” (Catholic Encyclopedia). Dengan pengertian demikian mengenai individuaisme, maka dapat dikatakan bahwa ekonomi neoklasik mengejawantahkan individualisme dalam bentuknya yang ekstrim. Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, seluruh struktur teoritis disiplin ekonomi neoklasik berlandaskan kepada anggapan bahwa para individu memiliki pengetahuan sempurna sehingga setiap individu mampu memaksimumkan kenikmatan dalam bentuk kegunaan atau “utility”. Setiap individu memiliki kebebasan penuh untuk memilih baik di bidang konsumsi maupun produksi. Sejalan dengan itu setiap individu memiliki kebebasan penuh untuk membentuk idenya sendiri atau berpendapat dan kebebasan penuh untuk bertindak dalam berbagai bidang kehidupan lainnya seperti dalam bidang politik, di bidang sosial dan di bidang keagamaan. Di bidang politik, menurut John Stuart Mill, intervensi pemerintah dalam urusan-urusan masyarakat perlulah ditekan menjadi seminimum mungkin. Setelah menjelaskan, dalam salah satu tulisannya, berbagai alasan kenapa tidak dikehendaki campur tangan pemerintah dalam urusan masyarakat, Mill menyimpulkan “Laisser-faire, in short, should be Di mana letak individualisme dalam pola berfikir faham neoklasik ? Dengan individualisme disini diartikan “The tendency to magnify individual liberty, as against external authority, and individual activity, as against associated activity” (Catholic Encyclopedia). Dengan pengertian demikian mengenai individuaisme, maka dapat dikatakan bahwa ekonomi neoklasik mengejawantahkan individualisme dalam bentuknya yang ekstrim. Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, seluruh struktur teoritis disiplin ekonomi neoklasik berlandaskan kepada anggapan bahwa para individu memiliki pengetahuan sempurna sehingga setiap individu mampu memaksimumkan kenikmatan dalam bentuk kegunaan atau “utility”. Setiap individu memiliki kebebasan penuh untuk memilih baik di bidang konsumsi maupun produksi. Sejalan dengan itu setiap individu memiliki kebebasan penuh untuk membentuk idenya sendiri atau berpendapat dan kebebasan penuh untuk bertindak dalam berbagai bidang kehidupan lainnya seperti dalam bidang politik, di bidang sosial dan di bidang keagamaan. Di bidang politik, menurut John Stuart Mill, intervensi pemerintah dalam urusan-urusan masyarakat perlulah ditekan menjadi seminimum mungkin. Setelah menjelaskan, dalam salah satu tulisannya, berbagai alasan kenapa tidak dikehendaki campur tangan pemerintah dalam urusan masyarakat, Mill menyimpulkan “Laisser-faire, in short, should be

Faham individualisme ekstrim sebagaimana yang terdapat dalam ekonomi neoklasik dapat dikatakan berlawanan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Yang perlu dimajukan melalui kebijakan pemerintahan negara adalah “kesejahteraan umum” dan bukan kesejahteraan orang per orang. Memang menurut faham Ketuhanan Yang Maha Esa dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, setiap individu akan bertanggung jawab langsung kepada-Nya di akhirat mengenai tindakannya selama di dunia, tetapi selama hidup di dunia setiap individu diwajibkan untuk turut serta dalam memajukan kesejahteraan umum. Dengan lain kata perlu ada keseimbangan di antara kepentingan individu dan kepentingan keseluruhan. Dari segi faham keagamaan, adanya keseimbangan merupakan suatu keharusan. “Thus, the basic distinguishing feature of the Islamic system is represented in its being based on a spiritual understanding of life and a moral sense of life. A major point of this system is the taking into consideration of both the individual and society, and the securing of a balance between life of the individual and social life. The individual is not considered the central principle in legislating and governing, nor is the large social existence the only thing to which the state pays attention and for whose sake it enacts its laws”. (as- Sadr, 2007).

Hadirin yang saya hormati,

Faham Individualisme Dan Birokrasi

Apa yang disampaikan Mill mengenai hubungan yang individualistis antara pemerintah dan masyarakat menyangkut masyarakat di luar pemerintah. Apakah hubungan yang individualistis ini juga menyangkut hubungan dengan masyarakat di dalam organisasi pemerintah, yaitu para pegawai pemerintah? Untuk menjawab pertanyaan ini perlulah diteliti karya-karya intelektual Max Weber. Menurut sebuah studi mengenai karya-karya Max Weber di bidang sosiologi, perspektif

intelektual Max Weber mengenai individualisme ialah bahwa individualisme tidak boleh dibatasi hanya pada individu yang memaksimumkan keuntungan keuangan tetapi individualisme perlu diaplikasikan kepada individu secara totalitas. “Weber believed ideas about economic conduct could have a power of their own, in addition to, as well as in conjunction with, the unquestioned importance of economic interest”. (Bendix, 1962). Sesungguhnya akan mengherankan bilamana Weber tidak menganggap indidvidualisme tidak merupakan faktor penting dalam keseluruhan perilaku manusia bila diperhatikan pandangannya mengenai kapitalisme yang ideal. Menurut Weber, kapitalisme yang ideal akan ditandai oleh “private ownership, profit, competition, laissez faire”. (Eiwell, 2007). Karakter individulistik demikian dari ekonomi neoklasik tercermin dalam birokrasi Weber. Menurut Weber birokrasi yang ideal ditandai dengan sistem “hierarchy, impersonality, written rules of conduct, achievement, specialized division of labor, and efficiency”. Kecenderungan kecenderungan individualistik demikian di kalangan para pegawai suatu organisasi cenderung mengubah organisasi tersebut menjadi oligarki atau dikuasai dan diatur oleh sejumlah kecil orang, oleh pejabat pejabat di lingkaran atas organisasi. Kecenderungan-kecenderungan individualistik demikian akan mempersulit upaya-upaya peningkatan efisiensi oleh karena efisiensi membutuhkan partisipasi yang efisien pada semua tingkatan dalam berbagai dimensi kegiatan.

Individualisme, Paradoks Arrow, Efisiensi Dan Produktivitas

Sesungguhnya terdapat alasan kuat untuk mempercayai bahwa efisiensi dan produktivitas dalam penggunaan sumber-sumber hampir tidak mungkin tercapai terutama pada saat seperti sekarang ini yang ditandai oleh suatu revolusi informasi dan perubahan cepat. Ini disebabkan berlakunya teorema ketidakmungkinan Arrow. “Arrow’s theorem states that there is no general way to aggregate preferences without running into some kind of irrationality or unfairness”. (Geanakoplos, 2001). Penjelasan matematika teorema ini dapat dijumpai dalam tulisan Geanakoplos. Tetapi secara sederhana, bukti ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Anggap ada dua orang/pihak, K dan Y yang harus menentukan urutan prioritas dari tiga pilihan yatu A, B dan C. Mana di antara ketiga pilihan yang dianggap sebagai

prioritas utama? Umpamakan K membuat ranking A>B>C. Jadi bagi si K, A> C. Sedangkan Y membuat pilihan B>C>A. Pilihan-pilihan ini harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain dilakukan secara bebas oleh masing-masing pihak, tidak ada tekanan bahwa pilihan seseorang harus diikuti (semua orang ikut memilih) dan pilihan harus bersifat transitif, artinya kalau dikatakan A>B>C, maka mestilah dianggap A>C, sebagaimana pilihan K. Sedangkan menurut Y, yang pilihannya juga memenuhi persyaratan teorema, C>A ; berlawanan dengan apa yang disusun oleh K. Disini jelas terlihat adanya suatu paradoks. Tentu kalau jumlah orang yang terlibat banyak dan pilihan juga berjumlah banyak, seperti halnya dalam suatu sistem pelaksanaan pembangunan, apalagi dalam pembangunan Indonesia yang penduduknya penuh kebhinekaan dan jumlahnya besar serta tersebar di daerah geografis yang luas yang mencakup daratan dengan belasan ribu pulau dan lautan, yang kekayaan alamnya banyak diincar oleh tetangga-tetangga yang materialistik, maka dapat dibayangkan berapa banyak paradoks yang akan muncul dalam sistem pelaksanaan. Paradoks-paradoks inilah yang pada dasarnya yang tidak memungkinkan terwujudnya efisiensi dan produktivitas dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi (Hasibuan, 2005).

Dalam kaitan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja maka semakin sedikit paradoks semakin besar dampak pertumbuhan ekonomi terhadap lapangan kerja. Semakin banyak paradoks dalam sistem manjemen perekonomian semakin sedikit dampak pertumbuhan ekonomi bagi lapangan kerja. Jadi kalau diinginkan adanya perluasan lapangan kerja produktif yang lebih besar dari tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu, maka paradoks-paradoks perlu dihapuskan sejauh mungkin. Tetapi dalam kaitan dengan konsep organisasi Max Weber, kenapa harus muncul paradoks? Dalam konsep Weber, hierarki berarti bahwa “Every official’s responsibilities and authority are part of a hierarchy of authority. Higher offices are assigned the duty of supervision, lower offices, the right of appeal ”.Furthermore, official business is conducted in accordance with stipulated rules characterized by three interrelated rules “(a) the duty of each official to do certain types of work is delimited in terms of impersonal criteria; (b) the official is given the authority Dalam kaitan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja maka semakin sedikit paradoks semakin besar dampak pertumbuhan ekonomi terhadap lapangan kerja. Semakin banyak paradoks dalam sistem manjemen perekonomian semakin sedikit dampak pertumbuhan ekonomi bagi lapangan kerja. Jadi kalau diinginkan adanya perluasan lapangan kerja produktif yang lebih besar dari tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu, maka paradoks-paradoks perlu dihapuskan sejauh mungkin. Tetapi dalam kaitan dengan konsep organisasi Max Weber, kenapa harus muncul paradoks? Dalam konsep Weber, hierarki berarti bahwa “Every official’s responsibilities and authority are part of a hierarchy of authority. Higher offices are assigned the duty of supervision, lower offices, the right of appeal ”.Furthermore, official business is conducted in accordance with stipulated rules characterized by three interrelated rules “(a) the duty of each official to do certain types of work is delimited in terms of impersonal criteria; (b) the official is given the authority

Hadirin yang saya hormati,

Materialisme Dan Tuhan Yang Maha Esa

Dengan materialisme saya maksudkan apa yang pada umumnya diartikan oleh kaum materialis. “Materialism, of the kind accepted by many philosophers and scientists, is a general view about what actually exists. Put bluntly the view is just this: Everything that actually exists is material, or physical” (Moser, P.K., Trout, J.D., Editors, 1995). Arti demikian dari faham materialisme secara langsung menolak adanya Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karena itu berlawanan dengan Undang- Undang Dasar 1945. Democritus, yang dianggap sebagai orang pertama yang mengembangkan faham materialisme secara sistematis mengajarkan bahwa “out of nothing comes nothing”. “The soul is a complex of very fine, smooth, round, and fiery atoms: these are highly mobile and penetrate the whole body, to which they impart life”. (Catholic Encyclopedia, 1997). Kaum beragama, khususnya yang beragma Islam, jelas tidak bisa menerima konsep demikian mengenai ruh. Al- Qur’an menyampaikan: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “ Ruh Dengan materialisme saya maksudkan apa yang pada umumnya diartikan oleh kaum materialis. “Materialism, of the kind accepted by many philosophers and scientists, is a general view about what actually exists. Put bluntly the view is just this: Everything that actually exists is material, or physical” (Moser, P.K., Trout, J.D., Editors, 1995). Arti demikian dari faham materialisme secara langsung menolak adanya Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karena itu berlawanan dengan Undang- Undang Dasar 1945. Democritus, yang dianggap sebagai orang pertama yang mengembangkan faham materialisme secara sistematis mengajarkan bahwa “out of nothing comes nothing”. “The soul is a complex of very fine, smooth, round, and fiery atoms: these are highly mobile and penetrate the whole body, to which they impart life”. (Catholic Encyclopedia, 1997). Kaum beragama, khususnya yang beragma Islam, jelas tidak bisa menerima konsep demikian mengenai ruh. Al- Qur’an menyampaikan: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “ Ruh

Hadirin yang saya hormati,

Mungkin para ekonom keberatan bilamana dikatakan bahwa ekonomi neoklasik memiliki pandangan dunia yang materialistik. Keberatan ini didasarkan kepada pendapat bahwa apa yang disebut kegunaan atau “utility” bisa saja mencakup hal- hal yang bersifat spiritual, umpamanya kenikmatan spiritual. Bilamana seseorang memilih untuk menghabiskan waktunya beribadah di mesjid atau seseorang menghabiskan sebagian besar uangnya untuk kepentingan amal, maka hal ini dapat diterima dalam pemikiran ekonomi neoklasik. Penerimaan ini didasarkan kepada prinsip bahwa orang bebas memilih cara yang mereka anggap sesuai dengan mereka punya “taste” atau keinginan. ” Taste” merupakan konsep yang mencakup dalam ekonomi neoklasik apapun pilihan yang dilakukan oleh para individu. Jadi secara filsafat tidak bisa dikatakan bahwa ekonomi neoklasik bersifat materialistik dalam pandangan dunianya. Tetapi secara praktis riil dapatlah dikatakan bahwa ekonomi neoklasik memang bersifat materialistik. Alfred Marshall, salah seorang ekonom neoklasik terkemuka, umpamanya mendefinisikan kekayaan atau “wealth” sebagai terdiri dari kekayaan materi dan kekayaan non-materi. Tetapi kekayaan non-materi yang dimaksud adalah kekayaan yang bisa menunjang peningkatan kekayaan materi. “In the second class are those immaterial goods which belong to him, are external to him, and serve directly as the means of enabling him to acquire material goods. Thus it excludes all his own personal qualities and faculties, even those which enable him to earn his living; because they are Internal. And it excludes his personal friendships, in so far as they have no direct business value. But it includes his business and professional connections, the organization of his business, and – where such things exist—the property in slaves, in labour dues, etc”. (Marshall,1950) Jadi unsur-unsur non-materi yang dianggap sebagai kekayaan adalah unsur-unsur yang bermanfaat dalam meningkatkan kekayaan materi. Dapat ditanyakan bagaimana menggolongkan keterampilan dan ilmu yang dimiliki oleh seseorang. Marshall beranggapan bahwa hal-hal ini merupakan kekayaan tetapi kekayaan Mungkin para ekonom keberatan bilamana dikatakan bahwa ekonomi neoklasik memiliki pandangan dunia yang materialistik. Keberatan ini didasarkan kepada pendapat bahwa apa yang disebut kegunaan atau “utility” bisa saja mencakup hal- hal yang bersifat spiritual, umpamanya kenikmatan spiritual. Bilamana seseorang memilih untuk menghabiskan waktunya beribadah di mesjid atau seseorang menghabiskan sebagian besar uangnya untuk kepentingan amal, maka hal ini dapat diterima dalam pemikiran ekonomi neoklasik. Penerimaan ini didasarkan kepada prinsip bahwa orang bebas memilih cara yang mereka anggap sesuai dengan mereka punya “taste” atau keinginan. ” Taste” merupakan konsep yang mencakup dalam ekonomi neoklasik apapun pilihan yang dilakukan oleh para individu. Jadi secara filsafat tidak bisa dikatakan bahwa ekonomi neoklasik bersifat materialistik dalam pandangan dunianya. Tetapi secara praktis riil dapatlah dikatakan bahwa ekonomi neoklasik memang bersifat materialistik. Alfred Marshall, salah seorang ekonom neoklasik terkemuka, umpamanya mendefinisikan kekayaan atau “wealth” sebagai terdiri dari kekayaan materi dan kekayaan non-materi. Tetapi kekayaan non-materi yang dimaksud adalah kekayaan yang bisa menunjang peningkatan kekayaan materi. “In the second class are those immaterial goods which belong to him, are external to him, and serve directly as the means of enabling him to acquire material goods. Thus it excludes all his own personal qualities and faculties, even those which enable him to earn his living; because they are Internal. And it excludes his personal friendships, in so far as they have no direct business value. But it includes his business and professional connections, the organization of his business, and – where such things exist—the property in slaves, in labour dues, etc”. (Marshall,1950) Jadi unsur-unsur non-materi yang dianggap sebagai kekayaan adalah unsur-unsur yang bermanfaat dalam meningkatkan kekayaan materi. Dapat ditanyakan bagaimana menggolongkan keterampilan dan ilmu yang dimiliki oleh seseorang. Marshall beranggapan bahwa hal-hal ini merupakan kekayaan tetapi kekayaan