Keterlibatan Tokoh Sutan Sjahrir Tinjaua

Afina Mahardhikaning Emas
1306402936
Ujian Akhir Semester Sastra Sejarah

KETERLIBATAN TOKOH SUTAN SJAHRIR:
TINJAUAN SASTRA SEJARAH DALAM ROMAN BURUNG-BURUNG
MANYAR KARYA Y.B. MANGUNWIJAYA

Pengantar
Sumber penulisan sejarah dapat diperoleh dari berbagai hal, salah satunya adalah
karya sastra. Pada awalnya, karya sastra sejarah lebih sering disebut hikayat (Liaw,
1982:203). Pemanfaatan sastra sebagai sumber sejarah dapat dipahami dengan cara
terlebih dahulu menempatkan sastra dalam kerangka sastra dan realitas (Sugihastuti,
2002:166). Untuk itu, perlu adanya kajian untuk membuktikan validitas unsur sejarah
dalam sebuah karya sastra.
Salah satu pengarang yang memiliki karya-karya sastra sejarah adalah Yusuf
Bilyarta Mangunwijaya. Beberapa karyanya berbentuk roman sejarah seputar sejarah
bangsa Indonesia. Beberapa karyanya antara lain, Burung-burung Rantau (1992), Di
Bawah Bayang-bayang Adikuasa (1987), Durga Umayi (1985), dan Burung-burung
Manyar (1981). Esai ini akan membahas unsur sejarah yang terdapat dalam roman
Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya.

Roman Burung-burung Manyar secara umum mengisahkan kehidupan
seorang laki-laki bernama Setadewa atau Teto. Ia hidup pada masa sebelum dan
setelah kemerdekaan. Roman ini terbagi menjadi tiga pembabakan. Pertama, periode
tahun 1934—1944, mengisahkan pejuangan melawan penindasan Belanda dan
Jepang. Kedua, periode tahun 1945—1950, mengisahkan kedatangan NICA dan

KNIL. Ketiga, tahun 1968—1978, mengisahkan penyelewengan yang dilakukan oleh
pejabat masa Orde Baru.
Penulisan roman Burung-burung Manyar tidak terlepas dari latar belakang
pengarang. Latar tempat yang terdapat dalam Burung-burung Manyar tidak jauh dari
latar belakang kehidupan pengarang. Y.B. Mangunwijaya dilahirkan di Ambarawa,
Jawa Tengah, pada 6 Mei 1929. Ia pernah menempuh pendidikan di Institut Filsafat
dan Teologi Sancti Pauli, Yokyakarta (1959), dan Sekolah Teknik Arsitektur ITB
(1596). Mangunwijaya juga pernah mengutarakan bahwa gaya kepenulisannya
banyak dipengaruhi oleh Multatuli, pengarang Max Havelaar. Multatuli dianggap
sebagai guru yang pertama di bidang penulisan karya sastra.1
Penulis menggunakan korpus roman Burung-burung Manyar dalam esai ini
karena keterlibatan tokoh-tokoh kemerdekaan di dalam novel. Beberapa tokoh sejarah
yang disebutkan di dalam novel adalah Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan
Sjahrir. Namun, dari ketiga tokoh tersebut, Burung-burung Manyar lebih banyak

menyebutkan peran Sutan Sjahrir pada masa setelah kemerdekaan. Untuk itu, esai ini
akan menelaah kebenaran peran Sutan Sjahrir yang disebutkan di dalam novel.
Penulis akan menggunakan korpus lain berupa buku sejarah yang membahas biografi
Sutan Sjahrir.
Keterlibatan Tokoh Sutan Sjahrir
Cerita Burung-burung Manyar berawal dari masa kecil Setadewa atau Teto, seorang
anak “kolong” dari Magelang. Ayahnya adalah seorang perwira KNIL. Namun, pada
masa penjajahan oleh Jepang, ayah Teto ditawan dan ibunya dijadikan gundik.
Karena kejadian tersebut, Teto mulai membenci Jepang. Kebenciannya pada Jepang
menjadi motivasi Teto untuk bergabung dengan Koninklijke Nederlands Indische
Leger atau KNIL, tantara kerajaan Belanda di Indonesia. Sejak kecil Teto sudah
berkenalan dengan Atik, anak dari sahabat kedua orang tua Teto. Setelah pertemuan
1 Dimuat dalam “Pengakuan Seorang Amatir”, dalam Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang.
Pamusuk Eneste (ed.). 1986. Jakarta: Gunung Agung

kedua mereka, Atik dan Teto saling jatuh cinta. Namun, mereka tidak dapat bersatu
karena keberpihakan Atik pada NKRI. Atik bekerja sebagai penerjemah pada staf
Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Rupanya usaha mereka untuk bersatu masih berlanjut hingga tahun 1978 saat
Teto melakukan perjalanan ke daerah asalnya. Ia bertemu dengan Atik yang ternyata

sudah berkeluarga dan memiliki anak. Saat itu Teto sudah bekerja sebagai ahli
komputer di perusahaan asing. Sebagai ahli komputer, Teto mengetahui adanya
manipulasi yang dilakukan pejabat di pemerintahannya. Teto berusaha bertahan
dengan idealismenya. Kemudian, ia melaporkan kecurangan tersebut dan akhirnya
Teto dipecat dari perusahaan.
Di akhir cerita, Atik menemui Teto untuk berpamitan. Atik dan suaminya akan
berangkat naik Haji sesuai permintaan keluarga suami Atik. Atik juga menitipkan
anak-anaknya pada Teto. Sesuai firasat Teto, pesawat yang dinaiki Atik terjatuh saat
perjalanan menuju Mekah. Sejak saat itu, anak-anak Atik diasuh oleh Teto dan
diangkat sebagai anak.
Sebagai sebuah roman sejarah, dalam hemat penulis, Burung-burung Manyar
memiliki jalan cerita yang mudah dipahami. Mangunwijaya mampu menyajikan
berbagai peristiwa sejarah dengan gaya bercerita yang ringan. Terlebih, kisah cinta
Teto dan Atik yang menjadi bumbu dalam novel ini menyebabkan pembaca tidak
bosan dengan banyaknya peristiwa sejarah yang disajikan. Selain itu, larisnya novel
ini di luar negeri2 juga menjadi bukti bahwa pihak yang tidak memahami sejarah
Indonesia mampu memahami novel ini.
Pembaca yang tidak memahami bahasa Jawa dan bahasa Belanda akan sedikit
mengalami kesulitan dalam membaca roman Burung-burung Manyar. Dalam roman
ini terdapat banyak istilah bahasa Jawa dan Belanda yang digunakan dalam

2 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam artikel “Ensiklopedia Sastra Indonesia: Burungburung Manyar” menyebutkan bahwa novel Burung-burung Manyar telah dialihbahasakan ke dalam
bahasa Jepang, Belanda, dan Inggris.

percakapan tokoh. Mangunwijaya telah memberi catatan kaki yang menyebutkan arti
istilah-istilah Jawa dan Belanda tersebut. Namun, hal ini dirasa kurang membantu
karena pembaca harus kembali membuka halaman yang menyebutkan arti dari istilah
asing tersebut.
Dalam salah satu fragmen periode kedua Burung-burung Manyar, Sutan
Sjahrir disebut beberapa kali oleh pengarang. Inilah keterlibatan pertama Sutan
Sjahrir dalam roman Burung-burung Manyar. Kemunculan tokoh Sutan Sjahrir bukan
tanpa sebab. Tokoh Atik disebut bekerja sebagai penerjemah staf Perdana Menteri
Sutan Sjahrir.
“… Kalau Mas Teto mau mencari perlindungan, di tempat Paman pasti
Mas Teto welkom. Ayah dan Atik sekarang memyumbang seapa-adanya di
kantor Perdana Menteri RI. (Perdana Menteri lenong!) Atik Cuma jadi juru
ketik kecil yang tak punya arti. Ayah bertugas entah, sering kian kemari
Yogya-Jakarta.” (Mangunwijaya, 2016:86)
Kutipan tersebut tidak secara langsung menyebut nama Sutan Sjahrir. Namun,
penyebutan jabatan perdana menteri pada masa tersebut merujuk pada Sutan Sjahrir.
“Segera kemudian jaitu pada tanggal 14 November 1945, Presiden

Sukarno setudju Sjahrir membentuk cabinet parlementer dan Sjahrir
mendjabat Perdana Menteri merangkap Menteri Luarnegeri dan Menteri
Dalam Negeri.” (Anwar, 1966:19)
Dalam fragmen lain, Mangunwijaya juga menyebutkan peran Sutan Sjahrir
sebagai perdana menteri pada masa tersebut. Peran sebagai perdana menteri yang
terdapat dalam Burung-burung Manyar ini merupakan keterlibatan kedua Sutan
Sjahrir.
“Gilanya, mereka berhasil dengan gaya sok diplomat amatir berunding
dengan pemimpin tertinggi Jenderal Christison himself, bahkan Letnan
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Aku yang paling pertama datang di mobil
itu. Kubentak penumpangnya, kusuruh keluar. Tetapi ketiga orang di
dalamnya, kurang ajar, hanya duduk tenang saja. Sopirnya, aku sudah lupa
rupanya, dapat berbahasa Belanda, dan edan sekali, berkata bahwa yang
menumpang itu perdana menteri dan ajudan. Oh, inikah si Kancil Syahrir?”
(Mangunwijaya, 2016:89).

Kutipan tersebut senada dengan catatan sejarah yang menyebutkan Sjahrir menjalin
hubungan dengan Belanda.
“Adanya kesamaan pandangan antara Hatta dengan Sjahrir mengenai
perdamaian dengan bangsa asing, memberikan dukungan yang kuat bagi

Sjahrir dalam menjalankan perundingan-perundingan dengan pihak Sekutu
dan Belanda. Bagi Sjahrir perundingan mengenai kemerdekaan Indonesia
menjadi perhatian utama kebijakan politik luar negerinya.” (Jamil, 1999:14—
15).
Keterlibatan ketiga adalah kebijakan yang dilakukan Sutan Sjahrir dan
terdapat dalam Burung-burung Manyar.
“Verbruggen semakin diam dan jenewernya semakin banyak yang
habis. Dalam saat-saat kepalanya sedang dibakar jenewer itu dan lidahnya
semakin kendur, ia sering berbicara serba berbahaya. Apalagi sesudah datang
berita koran tentang persetujuan Pemerintah India dengan kaum Republik
mengenai pembelian beras setengah juta ton oleh kaum Gandhi itu demi
penanggulangan bahaya kelaparan di sana.” (Mangunwijaya, 2016:119—120).
Kutipan tersebut menyebutkan kebijakan Sjahrir mengirimkan beras ke India. Hal ini
senada dengan catatan sejarah bahwa Perdana Menteri Sutan Sjahrir pernah
mengambil kebijakan tersebut.
“Seperti dikutip buku Kronik Revolusi Indonesia, pembicaraan pun
segera dilakukan oleh Sjahrir pada 18 Mei 67 tahun silam (1948), ketika
memulai pertemuan lewat penjamuan makan malam dengan wakil pemerintah
India, K.L. Punjabi, terkait niat pemerintah RI untuk mengirim bantuan beras
ke India.”3

Kutipan tersebut penulis sasdur dari artikel “Sjahrir Tembus Blokade Belanda dengan
Diplomasi Beras” yang dimuat laman pemberitaan Okezone pada 18 Mei 2015.
Penutup
Setelah melakukan tinjauan perbandingan isi roman Burung-burung Manyar
dengan bukti sejarah, penulis dapat mengambil dua simpulan. Simpulan pertama,
tokoh Sutan Sjahrir yang disebutkan dalam roman Burung-burung Manyar sesuai
3 Dikutip dari artikel “Sjahrir Tembus Blokade Belanda dengan Diplomasi Beras” yang dimuat
news.okezone.com pada Senin, 18 Mei 2015, pukul 05.05 WIB.

dengan peran yang dilakukan Sutan Sjahrir dalam dunia nyata. Kebijakan dan
deskripsi Sutan Sjahrir dalam novel sama dengan kebijakan dan deskripsi diri Sutan
Sjahrir yang sebenarnya. Simpulan pertama ini berkaitan dengan simpulan kedua.
Simpulan kedua, sastra dan sejarah tidak dapat berdiri sendiri. Roman
Burung-burung Manyar menjadi salah satu bukti bahwa sejarah dapat menghidupi
jalan cerita dalam karya sastra. Di sisi lain, sastra juga dapat menjadi wadah bagi
penulisan sejarah.

Daftar Acuan
Anwar, H. Rosihan. 1966. Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir.
Jakarta: PT Pembangunan.

Jamil, Ahmad. 1999. Peran Politik Sutan Sjahrir 1945—1947. Jakarta: Program
Pascasarjana Bidang Ilmu Sosial, Universitas Indonesia.
Liaw, Yock Fang. 1982. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Pustaka
Nasional.
Mangunwijaya, Y.B. 2016. Burung-burung Manyar: Sebuah Roman. Jakarta: PT
Gramedia.
________________, 1986. “Pengakuan Seorang Amatir”, dalam Mengapa dan
Bagaimana Saya Mengarang. Pamusuk Eneste (ed.). 1986. Jakarta: Gunung
Agung.
Sjahrir, Sutan, 1982. Sosialisme Indonesia Pembangunan: Kumpulan Tulisan Sutan
Sjahrir. Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional.
Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/BurungBurung_Manyar
pada Selasa, 29 November 2016 pukul 13.43 WIB.

diakses

http://news.okezone.com/read/2015/05/17/337/1151082/sjahrir-tembus-blokadebelanda-dengan-diplomasi-beras diakses pada Kamis, 15 Desember 2016
pukul 10.46 WIB.