UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA Histori Histori

UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA

Historiografi Bangsa Indonesia: Studi Kasus 350 Tahun
Indonesia di Bawah Penjajahan Belanda

Oleh:
Akbar Kurniadi

Prodi Damai dan Resolusi Konflik
Fakultas Kemanan Nasional
Bogor
2017

Historiografi Bangsa Indonesia: Studi Kasus 350 Tahun
Indonesia di Bawah Penjajahan Belanda

Tulisan ini akan membahas kontroversi sejarah 350 tahun penjajahan
Belanda terhadap Indonesia, dengan fokus pertanyaan: benarkah Indonesia
350 tahun berada di bawah penjajahan Belanda?. Metode penelitian yang
digunakan dalam tulisan ini adalah metode atau pendekatan historis dan
hukum, sebagai alat analisis terhadap berbagai sumber yang berhubungan

dengan pemahaman sejarah 350 tahun Indonesia di bawah jajahan Belanda.
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai usaha mengetahui: (1) proses
kedatangan Belanda ke Nusantara; (2) landasan historis pemahaman 350
tahun Indonesia dijajah Belanda; dan (3) kebenaran historiografi bahwa
Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Hasil peneilitian ini, dikutip
dari (Abdullah, 2016:5), Resink mengungkapkan bahwa, jika hukum
internasional yang dijadikan landasan utama penentu hak dan kedaulatan
politik suatu negara maka Belanda menguasai seluruh wilayah yang disebut
sebagai “Hindia Belanda” hanya sekitar 37 tahun saja. Dengan demikian,
Belanda membutuhkan waktu lebih lama yaitu sekitar 300 tahun untuk bisa
menguasai seluruh wilayah yang disebut “Nederlandsh Indie”.
Dengan pendekatan historis dan hukum G.J. Resink, Guru Besar
Fakultas Hukum Universitet Indonesia, seorang ahli hukum internasional dan
sejarah kolonialisme mempertanyakan landasan akademis penulisan sejarah
Indonesia (Abdullah, 2016: 4), sehingga muncul apa yang kita sebut sebagai
sejarah kontroversial. Sejarah didefinisikan sebagai rekonstruksi masa lalu
(Kuntowijoyo, 1995:17 dalam Ahmad, 2010: 31). Sedangkan kontroversial
menurut Cavet (2007:2) mengutip The Report Teaching Controversial issues:
A European Perspective from the Children’s Identity


and Citizenship in

Europe Programme menyatakan bahwa “a controversial issue is on in which:
there are competing values and interests; there is political sensitivity;
emotions become strongly aroused; the subject/area is complex; the
subject/area is of topical interest”. (masalah kontroversial adalah dimana: ada

persaiangan nilai dan kepentingan; sensitivitas politik; emosi yang memucak;
subjek/area menjadi kompleks; subjek/area adalah kepentingan utama)
(Ahmad, 2010: 32).
Ditinjau berdasarkan pengaruhnya terhadap masyarakat di era ini,
sejarah kontroversial terbagai ke dalam dua jenis yaitu 1. Nonkontemporer
dan 2. Kontemporer. Sejarah kontroversial yang akan dibahas dalam tulisan
ini adalah sejarah kontroversial nonkontemporer, yaitu sejarah masa lampau
yang bersifat kontroversial karena faktor perbedaan pendapat, teori, atau
pendekatan yang dilakukan sejarawan dalam penulisan sejarah (dalam
Ahmad, 2010: 33 mengutip Ahmad, 2008: 119), dalam hal ini sejarah tentang
pemahaman 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda.
Sejak diakuinya Indonesia sebagai negara merdeka yang berdaulat,
berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di

Den Hag pada 27 Desember 1949 dengan apa yang secara resmi disebut
sebagai soevereiniteit overdraft- penyerahan kedaulatan, maka babak
perdebatan tentang penulisan sejarah dimulai kembali (Abdullah, 2016: 4).
Banyak sejarawan seperti Muhammad Hatta, Anhar Gonggong, dan G.J.
Resink yang berjuang untuk mengembalikan ingatan bangsa Indonesia ke
jalur yang terselamatkan dari mitos menyesatkan bahwa Indonesia berada di
bawah jajahan Belanda selama 350 tahun. Masing-masing sejarawan
menggunakan berbagai argumen yang mendukung pendapatnya.
Pendapat bahwa penjajahan selama 350 tahun dianggap sebagai
mitos didukung oleh pendapat seorang sejarawan, Taufik Abdullah, yang
mengungkapkan (dikutip dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) edisi
61, 2013: 6) bahwa “Indonesia dikuasai oleh Belanda 350 tahun, itu mitos
yang keliru, demikian papar sejarawan yang juga seorang peneliti. Baginya
Belanda baru kokoh menguasai seluruh daerah republik ini baru tahun 1910an, sebelum-sebelumnya Belanda gagal.”
Oleh karena itu, penulis mencoba menelusuri kembali catatan sejarah
masa lalu untuk mendapatkan benang merah dari akar kekeliruan sejarah
bangsa yang terjadi. Sejarah itu dimulai saat pasukan Islam di bawah
pimpinan Muhammad al-Fath sang Penakluk Eropa. Jatuhnya Konstantinopel

pada pertengahan abad ke 15 merupakan puncak kejayaan bagi umat Islam

saat itu. Namun berbeda halnya bagi Eropa, jatuhnya Konstantinopel
merupakan bencana yang bertubi karena berdampak terhadap putusnya
hubungan antara dunia Barat dan Timur, dan putusnya jalur perdagangan
menuju dunia Timur sehingga mengharuskan bangsa Eropa melakukan satu
ekspedisi penjelajahan samudera sebagai upaya pencarian sumber rempahrempah hingga sampai di Nusantara. Bangsa Eropa yang sampai di
Nusantara yaitu, Portugis, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Perancis. Di antara
kelima bangsa Eropa yang sampai di Nusantara, Belanda adalah negara
yang paling lama dan banyak mengukir sejarah di Nusantara mulai dari
kedatangan Cornelis De Houtman di Banten tahun 1596 hingga berdirinya
kongsi dagang yang disebut Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
tahun 1602-1799 dan mengutip Absiroh bahwa Sudirman (2014) menyatakan
ada 62 kapal yang diberangkatkan oleh 14 perusahaan yang tergabung
dalam kongsi dagang ini ke Indonesia (Absiroh, Isjoni, dan Bunari, 2016: 3-4).
Kekayaan wilayah Nusantara akan sumber rempah-rempahnya menciptakan
sebuah persaingan sengit di antara negara-negara Eropa (Portugis, Belanda,
Spanyol, Inggris, dan Perancis) untuk mewujudkan hegemoninya dalam
sektor perdagangan di Asia Timur (Wildan Herdiansyah, 2010: 17 dalam
Absiroh, Isjoni, dan Bunari, 2016: 5).
Menguatkan pandangan di atas, Gonggong memaknai “350 tahun
Indonesia


dijajah

Belanda”

sebagai

pencerminan

kesalahan

dalam

historiografi bangsa Indonesia. Menurutnya waktu sepanjang itu merujuk
pada awal berdirinya VOC tahun 1602 hingga 1942 awal kedatangan Jepang.
penjajahan Belanda terhadap Indonesia tidaklah dilakukan dengan mudah
karena untuk menaklukkan satu tempat membutuhkan waktu puluhan tahun,
dan pada masa awal + 200 tahun pertama bukan merupakan penjajahan
militer melainkan monopoli perdagangan yang dilakukan VOC sebagai
kelompok dagang. Seiring berjalannya waktu, VOC menjadi wakil pemerintah

kolonial yang diberi hak-hak istimewa hingga akhirnya mulai menanamkan
pengaruh dan kekuasaannya di beberapa wilayah di Nusantara (Okthariza,
2011: 142).

Pada awalnya, kedatangan bangsa Eropa ke wilayah Nusantara
bertujuan untuk melakukan hubungan perdagangan yang dilandasi prinsip
hubungan setara antara penjual dan pembeli. Namun, karena tingginya
tingkat

persaingan

antara

bangsa-bangsa

Eropa

untuk

menciptakan


hegemoninya dalam penguasaan sumber rempah-rempah maka keadaan
yang semula hanya berupa hubungan dagang lambat laun berubah menjadi
bentuk penjajahan. Lamanya bentuk penjajahan inilah yang menjadi
perdebatan dikalangan ahli sejarah. Benarkah Indonesia berada di bawah
penjajahan Belanda selama 350 tahun?
Resink telah menyiapkan berbagai argumennya untuk membantah
penyimpangan sejarah terkait 350 penjajahan Belanda terhadap Indonesia
yang bahkan telah menajdi satu doktrin umum di kalangan masyarakat
Indonesia dan dalam dunia pendidikan baik di SD, SMP, SMA, bahkan
Perguruan Tinggi. Menurut Resink, Indonesia tidak dijajah oleh Belanda
selama 350 tahun. Hal ini karena: pertama, Pemahaman 350 tahun
penjajahan muncul pada tahun 1936 saat Jenderal B.C. de Jonge
mengungkapkan bahwa, “kami orang Belanda sudah berada di sini 300 tahun
dan kami akan tinggal di sini 300 tahun lagi”. Ucapan ini dinilai terlalu congkak
dan gegabah karena pada faktanya melalui perjuangan bangsa dan rakyat
Indonesia, Belanda gagal membuktikan perkataannya bahwa, “kami tinggal di
sini 300 tahun lagi” (Lapian (dalam Kata Pengantar) G.J. Resink, 2013: xxi
dalam Absiroh dkk, 2016: 8).
Masih menurut Resink, selain ucapan Jenderal B.C. de Jonge, pidato

Presiden Soekarno sebelum membaca Teks Proklamasi juga dianggap
memprovokasi terbentukanya pemahaman bahwa benar adanya 350 tahun
Indonesia dijajah Belanda. Presiden Soekarno berkata, “Berpuluh-puluh tahun
kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerekan tanah air kita. Bahkan
beratus-ratus tahun gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan itu
ada naiknya dan ada turunnya” (Sudirman, 2014: 305 dalam Absiroh, 2016:
8). Hal ini dilakukan demi alasan mendongkrak dan membangkitkan
semangat serta sikap patriotisme dan nasionalisme.

Namun, alasan untuk membangkitkan semangat patriotisme oleh
Gonggong tetap dianggap salah dan tidak bisa dibenarkan. “karena ada
anggapan bahwa ketika VOC dibentuk pada 1602 segeralah “seluruh
Nusantara” ditaklukkan dan kemudian seluruh wilayah taklukkan itu diberi
nama Nederlandsche Indie, sebagai “simbol” bahwa seluruh “Nusantara”
telah ditaklukkan. Pengandaian ini tentu saja menghilangkan bukti sejarah
bahwa sepanjang kekuasaan VOC terjadi pelbagai perlawanan dari kerajaan
yang dipimpin oleh raja atau pemimpinnya sendiri. Sultan Hasanudin dari
Kerjaan Goa harus ditaklukkan begitu juga Sultan Agung, Diponegoro, Imam
Bonjol dan Aceh baru ditaklukkan pada 1905 (Gonggong, 2006: 60 dalam
Okthariza, 2011: 143). Dengan demikian pernyataan bahwa Indonesia dijajah

selama 350 tahun oleh Belanda adalah kesalahan besar karena berbanding
terbalik dengan fakta sejarah yang menunjukan adanya perlawanan dari
berbagai kerajaaan di Nusantara sampai pada akhirnya kekuasaaan Belanda
meliputi seluruh wilayah Nusantara yang disebut “Hindia Belanda”.
Kedua, penyebutan nama Indonesia. Nama “Indonesia” sendiri barulah
muncul pada pertengahan abad ke 19 (tahun 1850) dan orang pertama yang
menggunakan istilah “Indonesia” untuk pertama kalinya adalah James
Richardson Logan dalam kumpulan karyanya yang berjudul The Indian
Archipelago and Eastern Asia, terbit dalam Journal of the Asiatic Society of
Bengal (1847-1859) (Salam, 1984: 1 dalam Absiroh dkk, 2016: 9). Jika
dirasionalisasikan selama 350 tahun penjajahan Belanda terhadap Indonesia
dan dihitung mundur ke belakang dari tahun 1945, maka Belanda mulai
menjajah Indonesia dari tahun 1595 sedangkan kedatangan Belanda pertama
kali ke wilayah Nusantara yang diwakili oleh Cornelis de Houtman adalah
tahun 1596. Apabila awal kedatangan Houtman untuk pertama kalinya
dianggap sebagai bentuk penjajahan terhadapa wilayah “Nusantara” maka
bisa dipastikan itu tidak benar karena nama “Indonesia” sendiri belum muncul
pada saat itu (Absiroh dkk, 2016: 9).
Ketiga, hukum bangsa-bangsa di Makassar masa lalu. Adanya jabatan
yang istimewa dikalangan masyarakat Makassar yaitu Syahbandar sebagai

pejabat hukum Indonesia yang memperoleh kekuasaan administratif dalam
konteks hukum internasional pada awal abad ke 17. Bukti adanya salah satu

masyarakat Makassar yang menduduki jabatan istimewa tersebut pada masa
VOC cukuplah menjelaskan bahwa Makassar tidak dijajah oleh Belanda.
Keempat, raja dan kerajaan yang merdeka di nusantara (1850-1910).
Pada Tata Pemerintahan Hindia Belanda pasal 44 tahun 1854 memaparkan,
bahwa daerah yang kini disebut swapraja, pada paruh kedua abad ke 19,
dipandang sebagai kerajaan luar negeri yang merdeka di dalam lingkungan
Hindia Belanda. Pada rentan waktu 1870-1910 Belanda melihat banyaknya
kerajaan-kerajaan kecil yang merdeka di Sumba, Sulawesi Selatan, Negara
Aceh Merdeka, Langkat, Lingga, dan daerah-daerah batak yang merdeka
(Absiroh dkk, 2016: 11-12). Begitupun Sultan Aceh baru berhasil ditaklukkan
oleh Belanda dan terpaksa menandatangani perjanjian yang pada pokoknya
adalah menyerahkan kedaulatannya dan mengakui bahwa Aceh adalah
bagian dari Hindia Belanda pada tahun 1904. Namun menjadi catatan penting
bahwa setelah ditaklukkan pada 1904, rakyat Aceh tetap melakukan
perlawanan terhadap Belanda melalui perang gerilya. Barulah pada tahun
1912, Belanda berhasil menguasai Aceh sepenuhnya (Absiroh dkk, 2016: 12).
Pada akhirnya, dengan beberapa bukti yang telah dipaparkan di atas

dengan

sendirinya

dan

secara

tidak langsung telah

menggugurkan

pemahaman sejarah bahwa Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda
selama 350 tahun. Jika Resink berpendapat bahwa 350 tahun penjajahan
Belanda terhadap Indonesia adalah mitos, maka pendapat tersebut juga
disetujui dan diaminkan oleh beberapa sejarawan seperti Taufik Abdullah,
Bambang Purwanto, Anhar Gonggong, A.B. Lapian, Mestika Zed, dan Joss
Wibisono.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik. “Historiografi daalam Denyut Sejarah Bangsa.”
Kalam, Edisi 28 (2016): 1-28.
Absiroh, Ulil, Isjoni, dan Bunari. “Sejarah Pemahaman 350 Tahun
Indonesia Dijajah Belanda.” Prodi Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Riau, (2016): 1-14.
Ahmad, Tsabit Azinar. 2010. “Implementasi Critical Pedagogy dalam
Pembelajaran Sejarah Kontroversial di SMA Negeri Kota Semarang.” Thesis
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Okthariza Noory. “Diskursus Kekuasaan: Analisis Komparatif teori-teori
Kekuasaan Modern Pengalaman Indonesia Abad ke-20.” Skripsi Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Ilmu Filasafat Depok, (Juli 2011): 157-159.
“Perjuangan Kemerdekaan Indonesia Dibuktikan dari Arsip.” Majalah
ARSIP, Edisi 61 (MEI-Agustus 2013): 5-8.
Sudirman, Adi. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia .Jogjakarta: Diva
Press.
Zulkarnain. 2002 . Jalan Meneguhkan Negara Sejarah Tata Negara
Indonesia. Yogyakarta: Pujangga Press.