0 Budaya Indonesia Yang Pernah Di Klaim

10 Budaya Indonesia Yang Pernah Di Klaim Malaysia
Belantara Indonesia on 22.15
SHARING YAA
Tweet
Indonesia negara yang kaya akan budaya dan aneka ragam kekayaan lainnya. Semua yang dimiliki Indonesia tentu
menjadi kebanggaan rakyatnya yang jumlahnya ratusan juta berjajar di pulau - pulau yang jumlahnya juga ribuan.
Tetapi seiring itu, kabar tidak sedap pun berhembus, bahwabudaya Indonesia di klaim oleh negara
tetangga, Malaysia.
Sedih, marah, bingung. Tetapi lebih baik kita mencintai budaya Indonesia dengan terlebih dahulu mengenalnya. Dan
inilah 10 budaya Indonesia yang pernah di klaim Malaysia. Dan seharusnya Malaysia menggunakan Comprar
Viagra
1. Batik
Kepemilikan batik sebagai warisan budaya tak berbenda menggelinding setelah Malaysia mengklaim sebagai warisan
nenek moyangnya. Untuk mengakhiri polemik, Pemerintah Indonesia akhirnya mendaftarkan batik ke UNESCO untuk
mendapatkan pengakuan
3 September 2008 sebagai titik awal proses Nominasi Batik Indonesia ke UNESCO. Namun baru diterima secara
resmi oleh UNESCO pada 9 Januari 2009. UNESCO kemudian melakukan pengujian tertutup di Paris 11-14 Mei 2009.
Hasilnya, 2 Oktober 2009, UNESCO mengukuhkan batik sebagai warisan budaya Indonesia. Batik adalah milik
Indonesia Malaysia
tak
berhak

lagi
mengklaimnya.
2. Lagu
Rasa
Sayange
Polemik klaim lagu "Rasa Sayange" cepat berakhir. Pemerintah Malaysia sendiri yang mengakhirinya. 11 November
2007, Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Budaya Malaysia, Rais Yatim mengakui bahwa Rasa Sayange
adalah
milik
Indonesia.
3. Reog Ponorogo
Usai mengklaim Lagu Rasa Sayange, perilaku Malaysia yang suka mengklaim budaya Indonesia berlanjut. Namun
masalah ini tidak berlanjut ke UNESCO karena Pemerintah Diraja Malaysiamelakukan klarifikasi. Duta Besar
Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zainmembantah bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah
mengklaim Reog Ponorogo. Reog Ponorogo sendiri kata dia bukan sebagai budaya asli negaranya.
4. Wayang Kulit
Malaysia pernah mengklaim wayang kulit sebagai budayanya. Padahal sudah jelas wayang kulit ini adalah budaya khas
Jawa. Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 27 November 2003, sebagai karya
kebudayaan
yang

mengagumkan
dalam
bidang
cerita
narasi.
5. Kuda Lumping

Tarian ini berasal dari Jawa. Namun, orang - orang Jawa mewariskannya kepada anak - anaknya yang sudah menetap
di Malaysia sehingga
diklaim
sebagai
budaya
warisan
negeri
Jiran.
6. Rendang Padang
Klaim Rendang Padang tak berlangsung lama karena dalam catatan sejarah masakan yang paling enak di dunia itu
bukanlah
produk
asli

Malaysia.
Masakan
Rendang
berasal
dari Sumatera
Barat.

7. Keris
Keris merupakan salah satu senjata para raja Majapahit. Wilayah yang paling banyak memakai keris adalah Jawa,
Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, Pesisir Kalimantan dan Sulawesi. Malaysia tak bisa mengklaimnya karena sejarah
membuktikan bahwa budaya Indonesia.
Bukti keris merupakan budaya Indonesia terdapat di Candi Borobudur. Dalam satu panel relief Candi Borobudur
(
abad
ke
9
)
yang
memperlihatkan
seseorang

memegang
benda
serupa
keris.
8. Angklung
Angklung adalah budaya khas dari masyarakat Sunda, Jawa Barat, Indonesia. Warisan leluhur ini juga pernah diklaim
oleh Malaysia. Polemik klaim Malaysia berakhir setelah alat musik ini terdaftar sebagai Karya Agung Warisan
Budaya
Lisan
dan
Nonbendawi
Manusia di
UNESCO
sejak
November
2010.
9. Tari
Pendet
dan
Tari

Piring
Kedua tari yang berasal dari Pulau Sumatera ini juga pernah diklaim Malaysia. Tari piring adalah salah satu seni tari
tradisional
di Minangkabau yang
berasal
dari
Kota
Solok,
Provinsi
Sumatera
Barat.
Sementara Tari Pendet dari Bali. Namun yang paling menonjol klaim Malaysia pada Tari Pendet. Sebab tari ini
dijadikan
sebagai
iklan
promosi
kunjungan
ke
Malasyia
“Visit

Malaysia
Years”.
10. Gamelan Jawa
Gamelan Jawa merupakan alat musik khas Jawa yang terdiri dari berbagai macam alat musik. Selain bonang, gong,
ada
pula rebab dan
alat
musik
lainnya
yang
biasanya
mengiringi wayang.
KINI, ADA BEBERAPA BENDA ATAU MAKANAN KHAS INDONESIA SUDAH DI KLAIM YAITU : NASI
GORENG, GAMELAN, CENDOL DAN ADA BEBERAPA LAGI. Entah apalagi nanti, mungkin Belantara
Indonesia jadi Belantara Malaysia!

Apa itu Warisan Budaya Takbenda?
”Warisan budaya takbenda” meliputi segala praktek, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan--serta alat-alat,
benda (alamiah), artefak dan ruang-ruang budaya terkait dengannya--yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok,
dan dalam hal tertentu perseorangan sebagai bagian warisan budaya mereka. Warisan budaya takbenda ini, yang

diwariskan dari generasi ke generasi, senantiasa diciptakan kembali oleh berbagai komuniti dan kelompok sebagai
tanggapan mereka terhadap lingkungannya, interaksinya dengan alam, serta sejarahnya, dan memberikan mereka rasa
jati diri dan keberlanjutan, untuk memajukan penghormatan keanekaragaman budaya dan daya cipta insani.

a.
b.
c.
d.
e.

Wujud Warisan Budaya Takbenda?
“Warisan budaya takbenda”, diwujudkan antara lain di bidang-bidang berikut:
tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya takbenda;
seni pertunjukan;
adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan;
pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta;
kemahiran kerajinan tradisional.
Apa itu Registrasi Warisan Budaya Takbenda Nasional?
Registrasi Warisan Budaya Takbenda Indonesia mencakup pendaftaran dan pencatatan unsur budaya menjadi warisan
budaya masyarakat, kemudian dilakukan penetapan sebagai upaya pelindungannya. Hal ini merupakan bagian dari

upaya pelestarian warisan budaya takbenda agar dapat memantapkan jatidiri bangsa, dan juga dapat memperjelas asal
usul unsur budaya yang terdapat di wilayah Indonesia.
Apa Tujuan Registrasi Warisan Budaya Takbenda Nasional?

Untuk mendokumentasi seluruh unsur budaya di Indonesia guna mempertahankan nilai dan makna dari unsur budaya
tersebut demi keberadaannya bagi generasi penerus bangsa.
Apa saja yang harus dicatat?
Hal-hal yang harus dicatatkan dalam warisan budaya takbenda adalah nilai-nilai budaya dalam masyarakat yang
mengungkapkan gagasan dan perilaku masyarakat pendukung dari unsur kebudayaan, meliputi sejarah atau asal usul
unsur budaya, komunitas pendukung, deskripsi terkait unsur budaya yang mengungkapkan pentingnya nilai-nilai
budaya dalam unsur budaya tersebut, hal-hal yang telah dilakukan untuk pelindungan, pengembangan dan
pemanfaatannya, dan hal-hal yang akan dilakukan sebagai upaya untuk menjaga kelestarian unsur budaya tersebut.
Mengapa Perlu didaftar dan dicatat?
Warisan budaya takbenda dicatat agar masyarakat mengetahui, mengenali, menyadari dan melestarikan warisan budaya
takbenda Indonesia. Warisan Budaya takbenda penting bagi masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan dan
bagi perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan.
Siapa yang harus mendaftar?
Seluruh masyarakat Indonesia.
Pencatatan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan juga menjadi tanggung jawab seluruh
pemangku kepentingan (stakeholders) seperti komunitas pendukungnya dan masyarakat Indonesia.

Bagaimana Cara Melestarikan?
Warisan Budaya Takbenda Indonesia merupakan bukti perkembangan kebudayaan masyarakat Indonesia. Oleh karena
itu, untuk melestarikannya adalah mengetahui, mengenali sehingga terbangun rasa memiliki dan menghargai warisan
budaya tersebut. Seperti kata pepatah “Tak kenal maka tak sayang”. Selanjutnya pelestarian terhadap warisan budaya
takbenda dapat dilakukan dalam bentuk pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Perlindungan berarti tindakan
yang bertujuan menjamin kelestarian warisan budaya, misalnya secara hukum atau melalui peraturan dan kebijakan
terkait warisan budaya takbenda, dokumentasi, penelitian, dan pendidikan. Setelah itu, perlu dilakukan pengembangan
yang dapat dilakukan melalui pengemasan dan promosi. Untuk lebih dapat dirasakan oleh masyarakat, waisan budaya
takbenda dapat dimanfaatkan dalam berbagai bentuk seperti pemanfaatan pariwisata, sosial, keagamaan, ekonomi,
internalisasi nilai dan diplomasi budaya. Seluruh upaya tersebut harus tetap memegang prinsip pelestarian yang tidak
merusan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia
Salah Kaprah Paten Budaya & Tentang Hak Paten dan pendaftaran Budaya ke UNESCO
7 Juni 2012 pukul 21:16
Tulisan di Kompas tentang Klaim Budaya :
SALAH KAPRAH PATEN BUDAYA
KOMPAS, Jumat, 9 Oktober 2009 | 03:44 WIB
Oleh Arif Havas Oegroseno
Tajuk Rencana Kompas (3/10) berjudul "Batik Milik Dunia" berisi: "Untuk menghindarkan klaim negara lain terhadap
produk budaya nasional, Indonesia perlu segera mematenkannya di lembaga internasional" . Pernyataan ini sangat
mengejutkan, paling tidak karena tiga perkara.

Pertama, paten adalah perlindungan hukum untuk teknologi atau proses teknologi, bukan untuk seni budaya seperti
batik. Kedua, tak ada lembaga internasional yang menerima pendaftaran cipta atau paten dan menjadi polisi dunia di
bidang hak kekayaan intelektual (HKI). Ketiga, media terus saja mengulangi kesalahan pemahaman HKI yang
mendasar bahwa seolah-olah seni budaya dapat dipatenkan.
Dalam urusan HKI, ada sejumlah hak yang dilindungi, seperti hak cipta dan paten dengan peruntukan yang berbeda.
Hak cipta adalah perlindungan untuk ciptaan di bidang seni budaya dan ilmu pengetahuan, seperti lagu, tari, batik, dan
program komputer. Sementara hak paten adalah perlindungan untuk penemuan (invention) di bidang teknologi atau
proses teknologi. Ini prinsip hukum di tingkat nasional dan internasional. Paten tidak ada urusannya dengan seni
budaya.

Jadi, pernyataan "perlu mematenkan seni budaya" adalah distorsi stadium tinggi. Penularan distorsi pemahaman oleh
media ini menjalar lebih cepat daripada flu burung. Tidak kurang dari Sultan Hamengku Buwono X menyatakan bahwa
produk budaya dan seni warisan leluhur idealnya dipatenkan secara internasional (Antara, 25/8/2009) atau Gubernur
Banten yang akan mematenkan debus (Antara, 28/8/2009).
Distorsi ini sangat berbahaya karena memberikan pengetahuan yang salah kepada publik secara terus-menerus,
akibatnya kita terlihat sebagai bangsa aneh karena di satu sisi marah-marah karena merasa seni budayanya diklaim
orang lain, tetapi di sisi lain tak paham hal-hal mendasar tentang hak cipta dan paten.
Salah kaprah lain adalah keinginan gegap gempita untuk mendaftarkan warisan seni budaya untuk memperoleh hak
cipta. Para gubernur, wali kota, dan bupati berlomba-lomba membuat pernyataan di media bahwa terdapat sekian ribu
seni budaya yang siap didaftarkan untuk mendapat hak cipta. Tampaknya tak disadari bahwa dalam sistem

perlindungan hak cipta, pendaftaran tidaklah wajib. Apabila didaftarkan, akan muncul konsekuensi berupa habisnya
masa berlaku hak cipta, yakni 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Jadi, seruan agar tari Pendet didaftarkan
adalah berbahaya karena 50 tahun setelah pencipta tari Pendet meninggal dunia, hak ciptanya hilang dan tari Pendet
dapat diklaim siapa saja.
Kita harus hati-hati menggunakan kata klaim apabila terkait urusan sebaran budaya. Adanya budaya Indonesia di
negara lain tidak berarti negara itu secara langsung melakukan klaim atas budaya Indonesia. Karena apabila ini
kerangka berpikir kita, kita harus siap-siap dengan tuduhan bangsa lain bahwa Indonesia juga telah mengklaim budaya
orang lain; misalnya bahasa Indonesia yang 30 persen bahasa Arab, 30 persen bahasa Eropa (Inggris, Belanda, dan
Portugis) serta 40 persen bahasa Melayu. Bagaimana dengan Ramayana yang oleh UNESCO diproklamasikan sebagai
seni budaya tak benda India? Apakah Indonesia telah mengklaim budaya India sebagai budaya kita karena di Jawa
Tengah sendratari Ramayana telah menjadi bagian budaya?
Dalam narasi proklamasi UNESCO atas wayang sebagai seni tak benda Indonesia, disebutkan "Wayang stories borrow
characters from Indian epics and heroes from Persian tales". UNESCO menyatakan kita meminjam budaya orang lain
dalam wayang kita. Apakah meminjam sama dengan mengklaim? Rabindranath Tagore dalam Letters from Java justru
terharu dan bangga melihat budaya India dilestarikan di Jawa, bukannya menganggap ini sebagai klaim Indonesia, lalu
marah dan meneriakkan perang.
Solusinya
Pertama, media sebagai kekuatan sosial politik keempat harus berani belajar untuk menyajikan substansi yang benar
tanpa takut kehilangan rating. Kedua, pemerintah daerah perlu memberdayakan aparat mereka agar paham masalahmasalah HKI. Upaya mudah dan murah, kalau mau.
Ketiga, database tentang seni budaya Indonesia dikumpulkan di satu instansi tertentu, lalu disusun dengan klasifikasi
kategorisasi sesuai standar Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Keempat, database ini dilindungi
instrumen hukum nasional, lalu dijadikan rujukan dalam perjanjian bilateral guna membatalkan pemberian hak cipta
yang meniru seni budaya Indonesia.
Kelima, Indonesia bersama negara-negara berkembang terus melanjutkan keberhasilan perundingan di Sidang Majelis
Umum WIPO pada 1 Oktober 2009 yang memutuskan bahwa WIPO akan menegosiasikan suatu instrumen hukum
internasional yang akan mengatur perlindungan masalah pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, dan
sumber genetika.
Mari bekerja keras dengan nasionalisme yang cerdas.
Arif Havas Oegroseno Alumnus Harvard Law School
TENTANG HAK PATEN DAN PENDAFTARAN BUDAYA KE UNESCO
Posted: September 12, 2009 in KEBUDAYAAN, NASIONALITAS DAN KENEGARAAN 2
Karena kurangnya pemahaman tentang hak paten, hak cipta, serta hak-hak lain dalam ranah hak kekayaan intelektual,
seseorang menjadi mudah terprovokasi mengenai isu terkait hak paten atas suatu budaya oleh bangsa lain yang dinilai
tidak berhak. Ketika berbicara dalam konsep suatu kesenian, ilmu pengetahuan, dan karya sastra, maka yang
dibicarakan adalah mengenai hak cipta. Hak cipta hanya dapat dicantumkan pada suatu karya apabila jelas identitas
penciptanya. Selanjutnya, hak cipta tersebut juga memiliki batas waktu, yakni sekian puluh tahun setelah penciptanya
meninggal dunia. Dengan demikian, produk-produk budaya yang tidak jelas penciptanya karena sudah diwariskan
secara turun-temurun tidak dapat dilindungi dan diklaim dengan menggunakan hak cipta.
Sementara itu, hak paten merupakan hak perlindungan kekayaan intelektual yang berhubungan dengan teknologi.
Ketika seseorang berkata mengenai hak paten suatu batik, misalnya. Maka apabila digunakan tepat sesuai dengan
tempatnya, memiliki makna bahwa hak tersebut melindungi suatu teknik pembuatan batik. Apabila saya menemukan

teknik baru dalam membuat batik, untuk melindungi hak kepemilikan saya atas teknik yang saya temukan tersebut,
saya dapat mengajukan hak paten, tetapi bukan hak cipta.
Untuk budaya-budaya Indonesia yang juga dimiliki oleh Malaysia, karena latar belakang sejarah antara keduanya, yang
tidak dapat diketahui siapa penciptanya, tentu saja tidak Malaysia, tidak pula Indonesia memiliki kewenangan untuk
mencantumkan hak cipta pada bentuk kebudayaan tersebut. Nah, apalagi hak paten, karena penggunaan istilah “hak
paten” saja sudah tidak sesuai pada mestinya. Lagi-lagi, perlu bagi kita untuk menelaah kembali informasi yang sampai
pada diri kita sekalian, apakah suatu fakta senyatanya atau hanya provokasi media. Termasuk pula, rangkaian tulisan
yang saya publikasikan ini.
Sejumlah pihak bersorak-sorak gembira merasa menang, karena telah berhasil mendaftarkan wujud kebudayaan
bangsanya ke UNESCO. Siapa cepat, dia yang dapat. Kira-kira demikianlah semboyan yang mampu menggambarkan
gejala tersebut. Berita mengenai pendaftaran beberapa budaya Indonesia, seperti keris, batik, wayang kulit, dan
sebagainya ke UNESCO yang dipublikasikan di seluruh media, saya rasakan membentuk persepsi yang kurang tepat
mengenai hakikat mendaftarkan budaya ke UNESCO.
Dalam salah satu berita yang dimuat oleh Portal Nasional Republik Indonesia (http://www.indonesia.go.id) pada
tanggal 6 Agustus 2008, disebutkan bahwa Forum Masyarakat Batik Indonesia (FMBI) telah sepakat untuk
mendaftarkan batik ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda Indonesia. Selanjutnya, seperti disiarkan oleh
Kantor Berita Antara tanggal 7 September 2009, batik akhirnya akan terdaftar di UNESCO sebagai warisan budaya tak
benda yang dimiliki oleh Indonesia melalui rangkaian acara yang berlangsung pada tanggal 28 September hingga 2
Oktober 2009 di Arab Saudi nanti. Nampaknya hal tersebut membangkitkan euforia tersendiri di kalangan pembaca
berita yang bersimpati terhadap “kejahatan pencurian” kebudayaan Indonesia oleh Malaysia.
Masalahnya adalah, saya menyangsikan orang-orang yang mengalami euforia setelah membaca berita tersebut benarbenar memahami isu yang sebenarnya terjadi. Bahkan mungkin, lagi-lagi persepsi keliru telah tertanam (atau
barangkali ditanamkan) pada kepala kita, seluruh warga negara Indonesia. Kalimat terakhir masih merupakan anggapan
imatur saya yang belum terbukti. Namun demikian, apabila ternyata para pembaca sekalian melalui berita yang
disampaikan di media kemudian membentuk anggapan bahwa Indonesia mendaftarkan beberapa kebudayaannya ke
UNESCO adalah untuk ‘mematenkan’ budaya secara internasional sehingga dunia mengenal bahwa Indonesia
merupakan pemilik dari warisan budaya tak benda tersebut, maka anggapan imatur saya di atas terbukti benar.
Penasaran? Silakan mengikuti kelanjutan tulisan saya.
Seperti yang telah diketahui bersama oleh generasi saya sejak bangku Sekolah Dasar, UNESCO merupakan badan
dunia yang mengurus kebudayaan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Fokus kerja UNESCO dalam bidang
kebudayaan yang mengurus ihwal pendaftaran suatu bentuk kebudayaan menjadi warisan budaya tak benda yang saya
dikemukakan dalam informasi di atas adalah Intangible Cultural Heritage (situsnya dapat diakses
melalui http://unesco.org/culture/ich, silakan dikunjungi apabila berkenan).
Apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh ICH sehingga sampai repot-repot mengurusi berbagai warisan budaya tak
benda di seluruh dunia?
Warisan budaya tak benda (terjemahan bebas bahasa Indonesia untuk intangible cultural heritage) didefinisikan sebagai
berbagai praktik, representasi, ekspresi, serta pengetahuan dan keterampilan masyarakarat, kelompok, atau dalam
beberapa kasus, seseorang, yang dikenal sebagai warisan budaya mereka. Warisan budaya tersebut merupakan
dorongan utama keanekaragaman budaya yang keberlangsungannya merupakan jaminan atas kreativitas yang terus
berlanjut, yang diwujudkan dalam antara lain: ekspresi dan tradisi oral termasuk bahasa; kesenian termasuk sandiwara,
musik, serta tarian tradisional; festival, ritual, serta praktik adat lainnya; pengetahuan dan praktik yang berhubungan
dengan alam dan dunia; dan kerajinan tradisional.
Saya terjemahkan dari situs resminya, bahwa Intangible Cultural Heritage (ICH) merumuskan tujuan kegiatannya
untuk:
1. Menjaga warisan budaya tak benda;
2. Memastikan penghormatan terhadap warisan budaya tak benda yang dimiliki oleh masyarakat, kelompok, serta
individu yang bersangkutan;

3. Meningkatkan kesadaran lokal, nasional, serta internasional mengenai pentingnya warisan budaya tak benda,
dan apresiasinya satu sama lain; sehingga
4. Memberikan kerjasama dan bantuan internasional.
Pada dasarnya, kegiatan lembaga ini adalah memfasilitasi kelestarian warisan budaya tak benda dengan meningkatkan
kesadaran hingga skala internasional, sehingga warisan budaya tak benda tersebut senantiasa lestari dan terjaga hingga
akhir zaman. Hingga saat ini telah ada dua warisan budaya tak benda yang telah didaftarkan Indonesia dan masuk ke
dalam kriteria intangible cultural heritage, yakni keris dan wayang kulit. Menyusul nanti, batik juga akan dimasukkan
ke dalam daftar warisan budaya tak benda.
Apa konsekuensi dari pendaftaran tersebut? Apakah lantas Indonesia memperoleh ‘hak paten’ internasional untuk keris,
wayang kulit, dan batik?
Sejauh yang dapat saya pahami dari situs ICH, jawaban saya untuk pertanyaan di atas adalah: TIDAK. Dalam halaman
yang memuat Frequently Asked Questions di situs ICH yang telah saya tuliskan pranalanya di atas, pertanyaan yang
terakhir disebutkan di sana tertulis demikian: “Are intellectual property rights dealt with by the 2003 Convention?”
[Barangkali mesti dijelaskan sebelumnya, bahwa fokus kegiatan UNESCO di bidang kebudayaan ini berangkat dari
hasil perjanjian atau kesepakatan negara-negara anggotanya dalam menggagas kebudayaan. Perjanjian atau
kesepakatan tersebutlah (selanjutnya akan saya sebutkan dengan istilah Convention) yang menjadi inti penentu seluruh
kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga ini. Convention yang terakhir dilakukan pada tahun 2003 di Paris,
dengan judul Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritages, dan menjadi penentu saat ini seluruh
kebijakan dan kegiatan yang dilakukan oleh ICH. Isi Convention tersebut juga dapat diunduh dari situs ICH.]
Kembali pada pertanyaan di atas, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, pertanyaan tersebut menjadi:
“Apakah Convention tahun 2003 juga menangani tentang hak kekayaan intelektual?”
Apabila pembaca sekalian mempercayai terjemahan saya, maka jawaban yang tertulis di sana adalah berikut:
“Convention tidak membicarakan mengenai hak kekayaan intelektual atau bentuk perlindungan hukum lainnya, tetapi
disebutkan di sana bahwa ketentuannya tidak akan mempengaruhi hak dan kewajiban State Parties (istilah “State
Party” mungkin punya maksud untuk merujuk pada lembaga negara yang mendaftarkan warisan budaya mereka atas
nama negara yang bersangkutan) yang berasal dari instrumen internasional yang terkait dengan hak kekayaan
intelektual. UNESCO akan terus bekerja sama dengan WIPO (World Intelectual Property Organization) yang
mempelajari kemungkinan adanya pembuatan instrumen internasional yang mengurusi, antara lain, hak kekayaan
intelektual dalam bidang cerita rakyat/warisan budaya tak benda.”
Gagasan dalam jawaban di atas, yang juga dijelaskan dalam Ketentuan Umum Artikel Ketiga dalam Convention 2003,
dapat saya interpretasikan bahwa hingga saat ini, Convention tidak menangani isu tentang hak kekayaan intelektual
atas warisan-warisan budaya tak benda yang didaftarkan ke ICH. Namun demikian, UNESCO akan terus bekerja sama
dengan WIPO untuk kemungkinan-kemungkinan adanya pembuatan instrumen internasional yang akan mengurusi hal
tersebut, apabila nantinya memang ada warisan budaya tak benda yang telah dilindungi oleh hak kekayaan intelektual
yang terdaftar di ICH. Para pembaca yang dapat memberikan interpretasi yang lebih baik dan benar untuk jawaban
berbahasa Inggrisnya atau versi terjemahan saya, mohon untuk menuliskannya pada kolom komentar di bawah. Terima
kasih.
Telah jelas di sana, apabila ketika mendengar kabar bahwa keris, batik, serta wayang kulit telah didaftarkan ke
UNESCO, para pembaca sekalian beranggapan bahwa Indonesia pada akhirnya memiliki hak kepemilikan alias
“paten” atas ketiga wujud kebudayaan tersebut, maka kesimpulan yang dapat saya tarik (lagi-lagi) adalah: persepsi
publik yang keliru. Namun, kalaupun pembaca selama ini memegang persepsi yang keliru, saya tidak akan sepenuhnya
menyalahkan pembaca sekalian, karena bahkan media elektronik resmi berkala nasional pun menyebutkan dengan jelas
dalam salah satu beritanya sebagai berikut (dalam versi online news):
“Untuk itulah, sejak tahun lalu Indonesia melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata mendaftarkan hak paten
kain batik ke United Nations Educational Scientific Cultural Organization (UNESCO) agar bisa diakui dunia.
Rencananya September mendatang UNESCO akan mengesahkan paten batik untuk Indonesia.”

Lantas, kalau bukan untuk mengusahakan hak kepemilikan budaya, apa yang sebenarnya dilakukan oleh UNESCO
melalui ICH? Telah saya sebutkan di atas, bahwa pada dasarnya, ICH memfasilitasi kelestarian warisan budaya tak
benda dengan meningkatkan kesadaran hingga skala internasional, sehingga dapat memunculkan kerjasama dan
bantuan internasional untuk mengusahakan kelestarian warisan budaya tak benda tersebut.
Untuk meyakinkan pembaca, saya akan menunjukkan salah satu kegiatan yang sudah dilakukan setelah wayang kulit
terdaftar sebagai warisan budaya tak benda di ICH, yakni Wayang Puppet Theatre Safeguarding Project yang dimulai
sejak bulan Januari 2005 hingga Desember 2007. Proyek tersebut menjadi tanggung jawab perwakilan UNESCO di
Jakarta, dan didanai oleh Japan Fund-in-Trust senilai 149.986 dollar AS. Kegiatan yang dilakukan melibatkan
organisasi SENA WANGI dan PEPADI, untuk detail dari program tersebut silakan mengunduh summary description of
the project-nya yang berupa file berformat .doc dari situs ICH di atas.
Sekarang, ada pertanyaan yang hendak saya kedepankan, apakah berbagai bentuk budaya yang telah menjadi tradisi
turun-temurun (hingga tidak dapat diketahui lagi siapa penciptanya) misalnya batik, perlu dibuat hak cipta atau
perlindungan hukumnya hingga tingkat internasional?
Ketika berbicara dalam acara bedah buku Menjadi Bangsa Pintar, Guruh Soekarno Putra, seniman Indonesia yang juga
merupakan putra dari Ir. Soekarno, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia harus bangga karena telah memberikan
kontribusi terhadap peradaban dunia, bukannya justru kebakaran jenggot. Guruh Soekarno Putra lantas memberikan
contoh budaya Indonesia yang telah menjadi milik dunia, di antaranya pencak silat, candi Borobudur, dan masakan
Padang. Menurutnya, seni dan budaya tidak perlu ‘dipatenkan’ karena dapat mengakibatkan pengkotakan pemikiran
dan kreasi masyarakat dunia. Disebutkan juga tentang Jepang yang tidak ‘mematenkan’ kimono dan karatenya, juga
India yang tidak ‘mematenkan’ kain sari dan musiknya (yang di Indonesia lantas berkembang menjadi dangdut), juga
Cina yang tidak mempermasalahkan bahwa barongsai telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia (tidak hanya tradisi
milik WNI keturunan Tionghoa).
Namun demikian, agaknya dapat dimengerti ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang memandang batik sebagai
tradisi turun-temurun di Jawa, kemudian berpendapat bahwa produk budaya idealnya ‘dipatenkan’ di internasional.
Demikian yang terangkum dalam salah satu warta yang diterbitkan oleh Antara News tanggal 25 Agustus 2009.

Analisa Hukum

Sebagai kebudayaan tradisional (Traditional Knowledge) yang turun temurun, maka Hak Cipta seni batik harus dilindungi seperti
yang diamanatkan oleh Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yakni "Negara memegang hak
cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu,
kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya". Dalam penjelasan pasal di atas yang dimaksud dengan
folklore adalah sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang
menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun
termasuk hasil seni antara lain berupa lukisan, gambar, ukir-ukiran, pahatan, mozaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian,
instrumen musik dan tenun tradisional.
Lebih lanjut lagi dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta mengenai Ruang
Lingkup Hak Cipta, yaitu : "Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan,
seni, dan sastra, yang mencakup:
a.
buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b.
ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c.
alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d.
lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e.
drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f.
seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni
terapan;
g.
arsitektur;
h.
peta;
i.
seni batik;
j.
fotografi;
k.
sinematografi;
l.
terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan."
Dalam bagian penjelasan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dijabarkan lagi mengenai
Batik dan alasan perlindungannya sebagai bagian dari hak cipta sebagai berikut : "Batik yang dibuat secara konvensional dilindungi
dalam Undang-undang ini sebagai bentuk Ciptaan tersendiri. Karya-karya seperti itu memperoleh perlindungan karena mempunyai

nilai seni, baik pada Ciptaan motif atau gambar maupun komposisi warnanya. Disamakan dengan pengertian seni batik adalah
karya tradisional lainnya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang terdapat di berbagai daerah, seperti seni songket, ikat,
dan lain-lain yang dewasa ini terus dikembangkan."
Walaupun tujuan Pasal 10 ditujukan secara khusus untuk melindungi budaya penduduk asli, akan sulit (barangkali mustahil) bagi
masyarakat tradisional untuk menggunakannya demi melindungi karya-karya mereka berdasarkan beberapa alasan, yaitu :
1.

2.

Kedudukan pasal 10 UUHC belum jelas penerapannya jika dikaitnya dengan berlakunya pasal-pasal lain dalam UUHC.
Misalnya, bagaimana kalau suatu folklore yang dilindungi berdasarkan Pasal 10 ayat (2) tidak bersifat asli sebagaimana
disyaratkan Pasal 1 ayat (3)? Undang-undang tidak menjelaskan apakah folklore semacam ini mendapatkan perlindungan hak
cipta meskipun merupakan ciptaan tergolong folklore yang keasliannya sulit dicari atau dibuktikan.
Suku-suku etnis atau suatu masyarakat tradisional hanya berhak melakukan gugatan terhadap orang-orang asing yang
mengeksploitasi karya-karya tradisional tanpa seizin pencipta karya tradisional, melalui negara cq. instansi terkait.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29972/5/Abstract.pdf
http://www.tabloiddiplomasi.org/current-issue/172-diplomasi-juli-2012/1484-mencegah-munculnya-klaim-negara-lainterhadap-kekayaan-budaya.html
file:///C:/Users/pc/Downloads/72-133-1-SM.pdf
http://warisanbudayaindonesia.info/

Dokumen yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG (Solanum tuberosum, L) Di KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

27 309 21

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121