Meneropong LGBTIQ Apa yang Teologi Iman
Meneropong LGBTIQ:
Apa yang Teologi/Iman Kristen Hadapi?
Suatu Kritik Ideologi1
Dr. Abraham Silo Wilar, M.Th, M.A2
Gereja?
“Orang-normal” saja banyak yang tidak dipedulikan gereja,
bagaimana lagi dengan LGBTIQ? (Bevy Joseph)
Pendahuluan
Topik ini adalah topik panas. Tepatnya, bagi saya, topik ini adalah suatu
pencobaan! Mengapa demikian? Karena apapun yang disampaikan di tulisan ini, saya
merasa gagasan-gagasan di sini akan menuai pro-kontra. Bukan hanya di sini, tetapi
juga di gereja di mana saya berada, pro-kontra itu akan berlanjut di gereja.
Sebelum melangkah lebih jauh. Saya ingin mengajak kita semua untuk
mencermati beberapa foto di bawah ini:
Gambar 1 –diambil oleh Nicole Cambré
Sumber: http://www.dailymail.co.uk/news/article-3539525/Gay-pride-Two-malelions-spotted-mating-Botswana-safari-park-ignoring-pregnant-lioness.html
Gambar 2
1
Disampaikan
di
Acara
PWKI,
Makassar,
28
Mei
2016
2
Saat
ini
bertugas
sebagai
PJ
di
GPIB
Bukit
Zaitun,
Makassar.
Dapat
dihubungi
di
[email protected].
2
Sumber: http://listverse.com/2013/04/20/10-animals-that-practice-homosexuality/
Terlepas dari label apapun yang akan saya terima, saya ingin memulai
makalah ini dengan pro-kontra. Itu dilakukan bukan karena saya ingin mengulang
tetapi karena saya ingin bertolak dari sesuatu yang historis. Selanjutnya, dari yang
historis itu, saya ingin menyoroti bagaimana teologi atau iman Kristen berfungsi
membangun pro-kontra tersebut dengan argumentasi masing-masing –dan karena itu,
kemudian, teologi menjadi ideologi. Setelah melihat bagaimana teologi di-fungsikan
untuk pro-kontra, saya ingin mengulas fenomena teologi yang mendukung pro-kontra
sebagai pluralitas teologi yang di balik pluralitas tersebut ada pluralitas ideologi.
A. Pro-Kontra LGBTIQ
Masing-masing grup telah mengeluarkan publikasi yang menyuarakan
pandangan/posisi grup atas LGBTIQ. Dengan melihat publikasi yang ada, posisi dari
setiap pandangan disusun berdasarkan suatu metodologi tertentu di dalam membaca
“ayat-ayat homoseksual”. Di samping metodologi di dalam membaca, perlu dicatat di
sini bahwa setiap pandangan (baik pro ataupun kontra) dapat dilihat sebagai suatu
ideologi dari pembaca; sehingga, ayat-ayat homoseksual yang didekati dengan
metodologi tertentu (apapun itu bentuk metodologi yang dipilih dan digunakan) tidak
hanya berbicara soal dimensi metodologis tetapi dimensi ideologi pembaca.
David J. A. Clines mengulas hal ideologi dari para pembaca dan para penulis
Kitab Suci Yahudi di dalam bukunya “Interested Parties: The Ideology of Writers and
Readers of the Hebrew Bible” (1995).3 Di buku tersebut, Clines mengambil beberapa
teks dari Kitab Suci Yahudi dan menggunakan ideology criticism sebagai metodologi
untuk mencari dan menunjukkan ideologi dari teks-teks tersebut, ideologi dari para
3
David
J.
A.
Clines,
Interested
Parties:
The
Ideology
of
Writers
and
Readers
of
the
Hebrew
Bible.
Sheffield:
Sheffield
Academic
Press,
1995.
3
penulis teks-teks di Kitab Suci tersebut dan ideologi dari para pembaca teks-teks
tersebut. Singkatnya, teks-teks di Kitab Suci Yahudi sudah memiliki ideologi-nya
sendiri, dan para pembaca yang membaca teks-teks tersebut juga memiliki ideologi
mereka sendiri. Istilah ideologi, menurut Clines, memiliki denotasi dan konotasi. Baik
denotasi ataupun konotasi memiliki beberapa pengertian tentang ideologi. Dengan
melihat denotasi dan konotasi dari ideologi, Clines tidak memandang ideologi sebagai
hal negatif, yaitu: 1. Ide yang dibagi bersama; 2. Ide yang utamanya di-asumsikan
daripada di-argumentasikan; dan seterusnya.4
Di tempat lain, Walter Brueggemann misalnya memandang ideologi sebagai
“kepentingan-yang-diteruskan sebagai kebenaran” (1988).5 Artinya; ideologi adalah
suatu interest yang diterima sebagai kebenaran, dan kebenaran itu diterima secara
taken for granted. Dengan melihat pengertian ideologi dari Clines dan Brueggemann,
kita dapat memahami bahwa “ideologi” bersifat komunal dan personal dan dapat
dikatakan bahwa ideologi sejajar dengan “keyakinan atau faith” dari suatu pandangan.
Dengan demikian, ada ideologi atau interest yang terkandung di masing-masing
pihak, baik pro ataupun kontra LGBTIQ.
Lebih lanjut, Gust A. Yep, Karen E. Lovaas, dan John Elia di dalam artikel
yang ditulis bersama menyatakan bahwa ideologi me-refleksikan dan me-reproduksi
relasi kuasa di dalam masyarakat.6 Oleh karena itu, pro-kontra di seputar LGBTIQ
tidak hanya sekedar soal penerimaan dan penolakan tetapi berhubungan dengan
konstruksi relasi-kuasa; sehingga, pada titik ini, pro-kontra memiliki dimensi kuasa di
samping dimensi ideologi.
Bertolak dari kerangka teoritis tentang ideologi yang ada di seputar prokontra, ada beberapa pertanyaan yang menarik untuk diajukan, yaitu: Mengapa
teologi (menjadi) suatu ideologi? Apa yang sebenarnya sedang iman Kristen hadapi
ketika berhadapan dengan isu LGBTIQ? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut saya ingin meninjau pihak pro dan kontra, khususnya argumen dan ideologi
dari masing-masing pihak serta pluralitas teologi yang menjadi realitas tersendiri di
isu LGBTIQ.
4
Ibid.,
10.
5
Ibid.,
13;
:Lihat
juga
Walter
Brueggemann,
Israel’s
Praise:
Doxology
against
Idolatry
and
Ideology.
Philadelphia:
Fortress
Press,
1988,
111.
4
1. Kontra LGBTIQ
Robert K. Gnuse menyebutkan sejumlah ayat-ayat homoseksual yang sering
dikutip untuk mengutuk homoseksual, yaitu:7
Noah and Ham (Genesis 9:20-27); Sodom and Gomorrah (Genesis 19:1-11);
Leviticus laws condemning same-sex relationships (Leviticus 18:22, 20:13);
two words in two Second Testament vice lists (1 Corinthians 6:9–10; 1
Timothy 1:10), and Paul’s letter to the Romans (Romans 1:26-27).
Di samping ayat-ayat di atas, narasi penciptaan manusia, yaitu pria dan wanita, sering
dijadikan rujukan untuk menolak orang-orang LGBTIQ, termasuk pernikahan
sesama-jenis. Sejalan dengan penolakan terhadap pernikahan sesama-jenis, The
United Methodist Church pada bagian Social Principles and Creeds menyatakan
bahwa definisi pernikahan adalah persatuan seorang pria dan perempuan.8 Sejalan
dengan Sinode Gereja Metodis di atas, GPIB pada Akta Gereja butir B.5.2.3
menyatakan bahwa Homoseksual tidak dapat dibenarkan. Roma 1:27; 1 Timotius
1:10-11 dijadikan landasan untuk tidak-membenarkan homoseksualitas.9
Innocent Himbaza di dalam tulisannya di the Bible on the Question of
Homosexuality, memberi kesan netral terhadap LGBTIQ. Itu ia tunjukkan ketika
membahas kisah Sodom dan Gomora di Kejadian 19, dan Gibeah di Hakim-Hakim
19:11-25 dan pembahasannya memberi indikasi bahwa homoseksualitas sudah ada di
masa kitab-kitab tersebut, tetapi homoseksualitas yang ada pada masa kini berbeda
dengan homoseksualitas yang ada di kedua teks itu. Namun demikian, kesan netral
tersebut seolah lenyap ketika tulisannya memberikan evaluasi negatif terhadap
homoseksualitas.10 Buku ini mengangkat kisah-kisah di Perjanjian Lama, seperti
Sodom dan Gomora, Gibeah (Hakim-Hakim 19:11-25) dan Daud dan Yonathan, dan
6
Gust
A.
Yep,
Karen
E.
Lovaas,
and
John
P.
Elia,
“A
Critical
Appraisal
of
Assimilationist
and
Radical
Ideologies
Underlying
Same-‐Sex
Marriage
in
LGBT
Communities
in
the
United
States”.
Journal
of
Homosexuality,
45:1,
48.
7
Robert
K.
Gnuse,
“Seven
Gay
Texts:
Seven
Passages
Used
to
Condemn
Homosexuality”.
Biblical
Theology
Bulletin
Volume
45
Number
2
(2015),
68.
8
www.umc.org/what-‐we-‐believe/the-‐nurturing-‐community#human-‐sexuality.
Diakses
Mei
25,
2016.
9
Gereja
Protestan
di
Indonesia
bagian
Barat,
Pemahaman
Iman
&
Akta
Gereja
(Buku
I).
Jakarta:
2015,
239-‐240.
10
Innocent
Himbaza,
“Old
Testament
Stories
and
Homosexuality”,
in
Innocent
Himbaza,
Adrien
Schenker,
and
Jean-‐Baptiste
Edart,
the
Bible
on
the
Question
of
Homosexuality.
Washington,
DC:
the
Catholic
University
of
America
Press,
2012,
22.
5
juga membahas dua tokoh di Perjanjian Baru, yaitu Paulus dari Tarsus dan Yesus di
dalam kaitannya dengan homoseksualitas
1.1.
Argumen yang digunakan oleh Pihak Kontra
1.1.1. Alkitabiah
Argumentasi semacam ini digunakan karena Alkitab menuliskan demikian
maka apa yang tercetak di Alkitab harus ditaati. Di sini, setiap kata dari Alkitab dan
format penulisan dilihat sebagai Firman Allah as it is sehingga pembaca sudah merasa
cukup membaca apa yang tertulis dan mengikuti yang tertulis tanpa perlu melihat
latar historis dari setiap ayat-ayat homoseksual
1.1.2. Allah berkata demikian
Argumentasi ini berhubungan dengan poin 2.1.1. Karena seluruh isi Alkitab,
termasuk setiap kata dan format penulisan dipahami sebagai Firman Allah, maka
Allah yang ada di setiap kata dan format itu merupakan otoritas tertinggi untuk
menilai homoseksual.
1.2.
Ideologi dari Pihak Kontra: Bibliocracy
Dengan melihat argumentasi yang diajukan oleh kelompok ini, yaitu: otoritas
Alkitab dan Allah, maka apa yang mereka sampaikan merefleksikan suatu ideologi
“bibliocracy”, yaitu, suatu bentuk relasi-kuasa yang berpusatkan kepada Alkitab. Di
dalam ideologi ini, Allah hanya dikenal melalui tulisan-tulisan yang sudah ada di
Alkitab; Allah tidak eksis di luar tulisan-tulisan itu.
2. Pro LGBTIQ
Di kelompok ini, ayat-ayat homoseksual yang dikutip untuk mengutuk
homoseksual dikaji ulang secara berbeda. Hasil dari kajian-ulang tersebut adalah
suatu perspektif yang sungguh-sungguh berbeda dari perspektif pihak Pro.
2.1. Argumen yang digunakan oleh Pihak Pro
2.1.1. Membaca-ulang ayat-ayat homoseksual: Perspektif Biblis
Michael Carden, seorang pelajar biblika dan sekaligus seorang homoseksual,
menuliskan buku “Sodomy – A History of a Christian Biblical Myth”, yang di dalam
buku itu ia membaca-ulang ayat-ayat homoseksual.11 Contoh, Kejadian 19 umum
dibaca dalam relasi dengan Kejadian 18-19. Tetapi, di dalam membaca-ulang ayatayat homoseksual, Carden menyebutkan bahwa kota Sodom disebut pada Kejadian
10:19 sebagai salah satu dari empat kota yang merepresentasikan warisan (kejayaan)
6
Kanaan –dan Kanaan yang disebut di pasal 10 ini sudah disebutkan di Kejadian 9:25
yang di dalam ayat tersebut Kanaan secara khusus sudah di-kutuk. Dengan
menempuh cara ini, Carden ingin menunjukkan bahwa kisah Sodom dan Gomora
merupakan suatu “disaster story”, kisah bencana. Untuk menguatkan genre ini,
Carden menelusuri mitologi Yahudi tentang kisah bencana di sejumlah kota dari
masyarakat Yahudi, dan menemukan bahwa kota-kota dihukum oleh Yang Ilahi
sebagai bentuk hukuman Tuhan karena perilaku-perilaku tidak pantas terhadap orangasing, sang liyan.12 Dengan kata-lain, kutukan Tuhan atas Sodom dan Gomorah
pertama-tama disebabkan karena kota-kota ini telah menjadi pusat ketidak-adilan dan
penindasan, bukan karena homoseksualitas. Hal tersebut terlihat dari usaha
pemerkosaan orang-asing. Tuhan menghukum kota-kota ini adalah ekspresi dari
usaha Tuhan untuk menghilangkan ketidak-adilan dan penindasan.13
2.1.2. Metodologi “Lintas-Ilmu”: Perspektif non-Biblis
Memahami homoseksualitas tidak cukup hanya menggunakan ayat-ayat
homoseksualitas di Alkitab. Realitas ini disadari oleh banyak ilmuwan, termasuk
ilmuwan Kristen. Contoh, Aldo Poiani melalui bukunya Animal Homosexuality
mengajak audiens (baca: para pembaca bukunya) untuk melihat homoseksualitas
dalam bingkai biologi (baca: genetik), psikologi, dan sosial agar homoseksualitas
sungguh dapat dipahami lebih mendalam.14 Di bukunya Poiani menyatakan bahwa
homoseksualitas bukan suatu kondisi medis (baca: sakit terkait organ tubuh, misalnya,
kulit ter-silet lalu bisa disembuhkan) tetapi suatu fenomena, yang saya istilahkan
sebagai, natural organism. Fenomena ini terjadi di antara animals, termasuk manusia
(bandingkan: ungkapan rational animal untuk menyebut manusia sebagai binatang
yang rasional dan zoology philosophy of Elias Canetti). Lebih lanjut, Poiani
menyebutkan ada banyak gen yang berkaitan dengan homoseksualitas.15 Misalnya,
gen yang berkaitan dengan “manusia kembar” merupakan pintu masuk bagi para
ilmuwan gen untuk mempelajari homoseksualitas.16 Singkat cerita, Poiani
11
Michael
Carden,
Sodomy:
A
History
of
a
Christian
Biblical
Myth.
London:
Equinox,
2004.
12
Ibid.,
15
13
Ibid.,
39.
14
Aldo
Poiani,
Animal
Homosexuality:
A
Biosocial
Perspective.
Cambridge:
Cambridge
University
Press,
2010.
15
Ibid.,
57.
16
Ibid.,
65.
7
memaparkan banyak teori, dan metodologi yang berkembang di isu homoseksualitas.
Sebagai tambahan, Jacques Arènes, seorang Kristen-Perancis yang sekaligus ilmuwan
Psikoanalisa, juga memandang penting untuk menggunakan Psikoanalisa sebagai ilmu
untuk memahami homoseksualitas. Di dalam ilmu ini, ada tiga tipe homoseksualitas,
yaitu: le type névrotique, le type pervers, dan le type narcissique.17
Bertolak dari tulisan Poiani dan Arène menunjukan bahwa kajian lintas-ilmu
sangat menolong untuk menyingkapkan hal- hal yang tidak tersingkapkan oleh ayatayat Alkitab ketika berbicara tentang homoseksualitas.
2.2.
Ideologi dari Pihak Pro
Dengan melihat argumentasi yang diajukan oleh kelompok ini, yaitu: membacaulang ayat-ayat homoseksual, maka apa yang disampaikan oleh kelompok ini
mencerminkan suatu “ideologi seksual” –meminjam istilah Yep, Lovaas dan Elia. Di
dalam ideologi ini, terdapat dua kelompok, yaitu: kelompok asimilasionis, dan
kelompok radikal. Masing-masing muncul dan mengembangkan eksistensi mereka di
dalam dunia politik di Amerika.18
Untuk konteks Indonesia, menurut saya, isu LGBTIQ dan gerakan yang
dilakukan oleh para aktivis LGBTIQ dapat dilihat sebagai “ideologi radikal” yang
berkompetisi dengan sejumlah isu lokal, seperti penutupan masjid Ahmadiyah,
kebencian terhadap kelompok Shi’a, dan seterusnya. Sebab, seperti yang ditunjukan
oleh Hélène Bouvier, masyarakat Indonesia cukup akrab dengan banci di dalam dunia
kesenian.19 Tetapi, relasi internasional di era digital ini, yang memungkinkan transfer
informasi dan ideologi dari satu wilayah ke wilayah lain lebih cepat, telah membuat
keakraban dengan banci yang sudah ada di masyarakat telah menjadi suatu gerakan
perjuangan yang me-radikalisasi keakraban tersebut yang terkesan stagnan dan pro
status quo terhadap kaum hetero. Dengan radikalisasi ini, isu LGBTIQ bukan suatu
“ideologi seksual” (seperti yang terjadi di Amerika) tetapi suatu ideologi radikal yang
mendorong pengakuan dan penerimaan terhadap kelompok LGBTIQ mengalami
17
Jacques
Arènes,
“Il
est
difficile
de
transformer
une
homosexualité
de
type
nevrotique
en
hétésexualité”
en
Claire
Lesegretain,
Les
Chrétiens
&
l’homosexualité:
L’enquête.
Paris:
Presses
de
la
Renaissance,
2004,
61.
18
Gust
A.
Yep,
Karen
E.
Lovaas,
and
John
P.
Elia,
“A
Critical
Appraisal
of
Assimilationist
and
Radical
Ideologies
Underlying
Same-‐Sex
Marriage
in
LGBT
Communities
in
the
United
States”.
Journal
of
Homosexuality,
45:1,
51.
19
Hélène
Bouvier,
Lèbur!
Seni
Musik
dan
Pertunjukan
dalam
Masyarakat
Madura.
Jakarta:
Yayasan
Obor
Indonesia,
2002,
223.
8
percepatan. Dalam pengertian inilah, istilah radikal saya gunakan di “ideologi
radikal”.
B. Pluralitas Teologi: Pluralitas Ideologi
Willard M. Swartley mencatat pola kecenderungan di dalam membaca ayatayat homoseksual, yaitu: Yesus dan Kitab Injil dipandang sebagai sumber yang tidak
mengutuk LGBTIQ, dan teks-teks Perjanjian Lama dan Paulus dipandang sebagai
sumber yang mengutuk LGBTIQ. 20 Bertolak dari realitas tersebut, kita dapat melihat
bahwa ada pluralitas teologi, dan pluralitas teologi itu merujuk kepada pluralitas
ideologi. Dengan kata-lain, suatu teologi adalah ideologi. Contoh, sejarah mencatat
bahwa Gereja Timur terpecah-belah karena Kristologi secara khusus persoalan
hakikat Kristus. Perpecahan ini karena masing-masing pihak memiliki teologi tentang
Kristus dan teologi yang dianut merupakan ideologi dari masing-masing kelompok.
Di dalam pemahaman spesifik ini, maka pertentangan teologi di isu LGBTIQ
sebenarnya adalah suatu bentuk clash of ideology. Artinya; pihak pro dan kontra
dengan segala bentuk argumentasi mereka sedang berusaha menduduki ruang-publik
melalui kontes-argumen dan aksi-aksi yang dilakukan. Pada titik ini, pertanyaan yang
perlu diajukan: “mengapa teologi (menjadi) ideologi?
Dalam amatan saya, teologi menjadi ideologi karena ia berada pada posisi
sebagai produk dari proses pelembagaan suatu kepercayaan/keyakinan; sehingga,
teologi mewakili suatu institusi tertentu. Teologi menjadi ideologi karena kondisikondisi baku dan tertutup; sehingga, tidak ada ruang negosiasi dan self-criticism.
Minimnya ruang itu membuat suatu teologi (yang baku dan tertutup itu) menjadi
abadi yang tidak memiliki masa-akhir, sejajar dengan Tuhan.
C. Postscriptum: Mencari-ulang jalan beriman Kristen di era lintas-ilmu
Scott Thumma menuliskan risetnya tentang identitas religius dari sekelompok
orang Kristen Evangelis yang orientasi seksualnya adalah homoseksual.21 Riset
Thumma meneliti pergumulan dari kaum muda gay Injili, yang di satu sisi mereka
hidup bersama dengan istilah “lahir-baru”, “konservatifisme”, dan seterusnya, dan di
sisi lain, mereka adalah gay, dan berhasil menunjukan kepada kita bahwa identitas
relijius itu adalah suatu konstruksi yang dibangun di dalam suatu proses dan waktu
20
Willard
M.
Swartley,
Homosexuality:
Biblical
and
Moral
Discernment.
Waterloo,
Ontario:
Herald
Press,
2003,
18.
21
Scott
Thumma,
“Negotiating
a
religious
identity:
the
case
of
the
Gay
Evangelical”.
Sociological
Analysis
1991,
52:4,
333-‐347.
9
tertentu. Itu berarti suatu identitas relijius, yang utamanya dibentuk oleh teologi
tertentu, dapat berubah.
Menyadari itu, identitas suatu gereja yang misalnya anti-gay sesungguhnya
dapat berubah sebab orang-orang yang di dalam gereja yang membentuk identitas
gereja tersebut tidak dapat menghindari diri dari dekonstruksi-rekonstruksi sebab
identitas suatu gereja yang anti gay adalah (juga) produk yang dibuat pada periode
tertentu dan waktu tertentu. Oleh karena itu, mencari-ulang jalan beriman sangat perlu
dilakukan. Contoh, apakah di dalam proses beriman kajian lintas-ilmu tidak
dibutuhkan oleh teologi? Apakah kita memeluk suatu teologi atau ideologi di dalam
kehidupan bergereja?
Bahan Bacaan
Arènes, Jacques. 2004. “Il est difficile de transformer une homosexualité de type
nevrotique en hétésexualité” en Claire Lesegretain, Les Chrétiens &
l’homosexualité: L’enquête. Paris: Presses de la Renaissance, 2004, 61
Brueggemann, Walter. 1988. Israel’s Praise: Doxology against Idolatry and
Ideology. Philadelphia: Fortress Press.
Bouvier, Hélène . 2002. Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat
Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Carden, Michael. 2004. Sodomy: A History of a Christian Biblical Myth. London:
Equinox.
Clines, David J. A. 1995. Interested Parties: The Ideology of Writers and Readers of
the Hebrew Bible. Sheffield: Sheffield Academic Press.
Gnuse, Robert K. 2015. “Seven Gay Texts: Seven Passages Used to Condemn
Homosexuality”. Biblical Theology Bulletin Volume 45 Number 2, 68.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat. 2015. Pemahaman Iman & Akta
Gereja (Buku I). Jakarta, 239-240
Himbaza, Innocent. 2012. “Old Testament Stories and Homosexuality”, in Innocent
Himbaza, Adrien Schenker, and Jean-Baptiste Edart, the Bible on the
Question of Homosexuality. Washington, DC: the Catholic University of
America Press, 22.
Poiani, Aldo. 2010. Animal Homosexuality: A Biosocial Perspective. Cambridge:
Cambridge University Press.
10
Swartley, Willard M. 2003. Homosexuality: Biblical and Moral Discernment.
Waterloo, Ontario: Herald Press.
Thumma, Scott. 1991. “Negotiating a religious identity: the case of the Gay
Evangelical”. Sociological Analysis, 52:4, 333-347.
Yep, Gust A, Lovaas, Karen E, and Elia, John P. 2003. “A Critical Appraisal of
Assimilationist and Radical Ideologies Underlying Same-Sex Marriage in
LGBT Communities in the United States”. Journal of Homosexuality, 45:1,
51.
Situs
www.umc.org/what-we-believe/the-nurturing-community#human-sexuality. Diakses
May 25, 2016.
Apa yang Teologi/Iman Kristen Hadapi?
Suatu Kritik Ideologi1
Dr. Abraham Silo Wilar, M.Th, M.A2
Gereja?
“Orang-normal” saja banyak yang tidak dipedulikan gereja,
bagaimana lagi dengan LGBTIQ? (Bevy Joseph)
Pendahuluan
Topik ini adalah topik panas. Tepatnya, bagi saya, topik ini adalah suatu
pencobaan! Mengapa demikian? Karena apapun yang disampaikan di tulisan ini, saya
merasa gagasan-gagasan di sini akan menuai pro-kontra. Bukan hanya di sini, tetapi
juga di gereja di mana saya berada, pro-kontra itu akan berlanjut di gereja.
Sebelum melangkah lebih jauh. Saya ingin mengajak kita semua untuk
mencermati beberapa foto di bawah ini:
Gambar 1 –diambil oleh Nicole Cambré
Sumber: http://www.dailymail.co.uk/news/article-3539525/Gay-pride-Two-malelions-spotted-mating-Botswana-safari-park-ignoring-pregnant-lioness.html
Gambar 2
1
Disampaikan
di
Acara
PWKI,
Makassar,
28
Mei
2016
2
Saat
ini
bertugas
sebagai
PJ
di
GPIB
Bukit
Zaitun,
Makassar.
Dapat
dihubungi
di
[email protected].
2
Sumber: http://listverse.com/2013/04/20/10-animals-that-practice-homosexuality/
Terlepas dari label apapun yang akan saya terima, saya ingin memulai
makalah ini dengan pro-kontra. Itu dilakukan bukan karena saya ingin mengulang
tetapi karena saya ingin bertolak dari sesuatu yang historis. Selanjutnya, dari yang
historis itu, saya ingin menyoroti bagaimana teologi atau iman Kristen berfungsi
membangun pro-kontra tersebut dengan argumentasi masing-masing –dan karena itu,
kemudian, teologi menjadi ideologi. Setelah melihat bagaimana teologi di-fungsikan
untuk pro-kontra, saya ingin mengulas fenomena teologi yang mendukung pro-kontra
sebagai pluralitas teologi yang di balik pluralitas tersebut ada pluralitas ideologi.
A. Pro-Kontra LGBTIQ
Masing-masing grup telah mengeluarkan publikasi yang menyuarakan
pandangan/posisi grup atas LGBTIQ. Dengan melihat publikasi yang ada, posisi dari
setiap pandangan disusun berdasarkan suatu metodologi tertentu di dalam membaca
“ayat-ayat homoseksual”. Di samping metodologi di dalam membaca, perlu dicatat di
sini bahwa setiap pandangan (baik pro ataupun kontra) dapat dilihat sebagai suatu
ideologi dari pembaca; sehingga, ayat-ayat homoseksual yang didekati dengan
metodologi tertentu (apapun itu bentuk metodologi yang dipilih dan digunakan) tidak
hanya berbicara soal dimensi metodologis tetapi dimensi ideologi pembaca.
David J. A. Clines mengulas hal ideologi dari para pembaca dan para penulis
Kitab Suci Yahudi di dalam bukunya “Interested Parties: The Ideology of Writers and
Readers of the Hebrew Bible” (1995).3 Di buku tersebut, Clines mengambil beberapa
teks dari Kitab Suci Yahudi dan menggunakan ideology criticism sebagai metodologi
untuk mencari dan menunjukkan ideologi dari teks-teks tersebut, ideologi dari para
3
David
J.
A.
Clines,
Interested
Parties:
The
Ideology
of
Writers
and
Readers
of
the
Hebrew
Bible.
Sheffield:
Sheffield
Academic
Press,
1995.
3
penulis teks-teks di Kitab Suci tersebut dan ideologi dari para pembaca teks-teks
tersebut. Singkatnya, teks-teks di Kitab Suci Yahudi sudah memiliki ideologi-nya
sendiri, dan para pembaca yang membaca teks-teks tersebut juga memiliki ideologi
mereka sendiri. Istilah ideologi, menurut Clines, memiliki denotasi dan konotasi. Baik
denotasi ataupun konotasi memiliki beberapa pengertian tentang ideologi. Dengan
melihat denotasi dan konotasi dari ideologi, Clines tidak memandang ideologi sebagai
hal negatif, yaitu: 1. Ide yang dibagi bersama; 2. Ide yang utamanya di-asumsikan
daripada di-argumentasikan; dan seterusnya.4
Di tempat lain, Walter Brueggemann misalnya memandang ideologi sebagai
“kepentingan-yang-diteruskan sebagai kebenaran” (1988).5 Artinya; ideologi adalah
suatu interest yang diterima sebagai kebenaran, dan kebenaran itu diterima secara
taken for granted. Dengan melihat pengertian ideologi dari Clines dan Brueggemann,
kita dapat memahami bahwa “ideologi” bersifat komunal dan personal dan dapat
dikatakan bahwa ideologi sejajar dengan “keyakinan atau faith” dari suatu pandangan.
Dengan demikian, ada ideologi atau interest yang terkandung di masing-masing
pihak, baik pro ataupun kontra LGBTIQ.
Lebih lanjut, Gust A. Yep, Karen E. Lovaas, dan John Elia di dalam artikel
yang ditulis bersama menyatakan bahwa ideologi me-refleksikan dan me-reproduksi
relasi kuasa di dalam masyarakat.6 Oleh karena itu, pro-kontra di seputar LGBTIQ
tidak hanya sekedar soal penerimaan dan penolakan tetapi berhubungan dengan
konstruksi relasi-kuasa; sehingga, pada titik ini, pro-kontra memiliki dimensi kuasa di
samping dimensi ideologi.
Bertolak dari kerangka teoritis tentang ideologi yang ada di seputar prokontra, ada beberapa pertanyaan yang menarik untuk diajukan, yaitu: Mengapa
teologi (menjadi) suatu ideologi? Apa yang sebenarnya sedang iman Kristen hadapi
ketika berhadapan dengan isu LGBTIQ? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut saya ingin meninjau pihak pro dan kontra, khususnya argumen dan ideologi
dari masing-masing pihak serta pluralitas teologi yang menjadi realitas tersendiri di
isu LGBTIQ.
4
Ibid.,
10.
5
Ibid.,
13;
:Lihat
juga
Walter
Brueggemann,
Israel’s
Praise:
Doxology
against
Idolatry
and
Ideology.
Philadelphia:
Fortress
Press,
1988,
111.
4
1. Kontra LGBTIQ
Robert K. Gnuse menyebutkan sejumlah ayat-ayat homoseksual yang sering
dikutip untuk mengutuk homoseksual, yaitu:7
Noah and Ham (Genesis 9:20-27); Sodom and Gomorrah (Genesis 19:1-11);
Leviticus laws condemning same-sex relationships (Leviticus 18:22, 20:13);
two words in two Second Testament vice lists (1 Corinthians 6:9–10; 1
Timothy 1:10), and Paul’s letter to the Romans (Romans 1:26-27).
Di samping ayat-ayat di atas, narasi penciptaan manusia, yaitu pria dan wanita, sering
dijadikan rujukan untuk menolak orang-orang LGBTIQ, termasuk pernikahan
sesama-jenis. Sejalan dengan penolakan terhadap pernikahan sesama-jenis, The
United Methodist Church pada bagian Social Principles and Creeds menyatakan
bahwa definisi pernikahan adalah persatuan seorang pria dan perempuan.8 Sejalan
dengan Sinode Gereja Metodis di atas, GPIB pada Akta Gereja butir B.5.2.3
menyatakan bahwa Homoseksual tidak dapat dibenarkan. Roma 1:27; 1 Timotius
1:10-11 dijadikan landasan untuk tidak-membenarkan homoseksualitas.9
Innocent Himbaza di dalam tulisannya di the Bible on the Question of
Homosexuality, memberi kesan netral terhadap LGBTIQ. Itu ia tunjukkan ketika
membahas kisah Sodom dan Gomora di Kejadian 19, dan Gibeah di Hakim-Hakim
19:11-25 dan pembahasannya memberi indikasi bahwa homoseksualitas sudah ada di
masa kitab-kitab tersebut, tetapi homoseksualitas yang ada pada masa kini berbeda
dengan homoseksualitas yang ada di kedua teks itu. Namun demikian, kesan netral
tersebut seolah lenyap ketika tulisannya memberikan evaluasi negatif terhadap
homoseksualitas.10 Buku ini mengangkat kisah-kisah di Perjanjian Lama, seperti
Sodom dan Gomora, Gibeah (Hakim-Hakim 19:11-25) dan Daud dan Yonathan, dan
6
Gust
A.
Yep,
Karen
E.
Lovaas,
and
John
P.
Elia,
“A
Critical
Appraisal
of
Assimilationist
and
Radical
Ideologies
Underlying
Same-‐Sex
Marriage
in
LGBT
Communities
in
the
United
States”.
Journal
of
Homosexuality,
45:1,
48.
7
Robert
K.
Gnuse,
“Seven
Gay
Texts:
Seven
Passages
Used
to
Condemn
Homosexuality”.
Biblical
Theology
Bulletin
Volume
45
Number
2
(2015),
68.
8
www.umc.org/what-‐we-‐believe/the-‐nurturing-‐community#human-‐sexuality.
Diakses
Mei
25,
2016.
9
Gereja
Protestan
di
Indonesia
bagian
Barat,
Pemahaman
Iman
&
Akta
Gereja
(Buku
I).
Jakarta:
2015,
239-‐240.
10
Innocent
Himbaza,
“Old
Testament
Stories
and
Homosexuality”,
in
Innocent
Himbaza,
Adrien
Schenker,
and
Jean-‐Baptiste
Edart,
the
Bible
on
the
Question
of
Homosexuality.
Washington,
DC:
the
Catholic
University
of
America
Press,
2012,
22.
5
juga membahas dua tokoh di Perjanjian Baru, yaitu Paulus dari Tarsus dan Yesus di
dalam kaitannya dengan homoseksualitas
1.1.
Argumen yang digunakan oleh Pihak Kontra
1.1.1. Alkitabiah
Argumentasi semacam ini digunakan karena Alkitab menuliskan demikian
maka apa yang tercetak di Alkitab harus ditaati. Di sini, setiap kata dari Alkitab dan
format penulisan dilihat sebagai Firman Allah as it is sehingga pembaca sudah merasa
cukup membaca apa yang tertulis dan mengikuti yang tertulis tanpa perlu melihat
latar historis dari setiap ayat-ayat homoseksual
1.1.2. Allah berkata demikian
Argumentasi ini berhubungan dengan poin 2.1.1. Karena seluruh isi Alkitab,
termasuk setiap kata dan format penulisan dipahami sebagai Firman Allah, maka
Allah yang ada di setiap kata dan format itu merupakan otoritas tertinggi untuk
menilai homoseksual.
1.2.
Ideologi dari Pihak Kontra: Bibliocracy
Dengan melihat argumentasi yang diajukan oleh kelompok ini, yaitu: otoritas
Alkitab dan Allah, maka apa yang mereka sampaikan merefleksikan suatu ideologi
“bibliocracy”, yaitu, suatu bentuk relasi-kuasa yang berpusatkan kepada Alkitab. Di
dalam ideologi ini, Allah hanya dikenal melalui tulisan-tulisan yang sudah ada di
Alkitab; Allah tidak eksis di luar tulisan-tulisan itu.
2. Pro LGBTIQ
Di kelompok ini, ayat-ayat homoseksual yang dikutip untuk mengutuk
homoseksual dikaji ulang secara berbeda. Hasil dari kajian-ulang tersebut adalah
suatu perspektif yang sungguh-sungguh berbeda dari perspektif pihak Pro.
2.1. Argumen yang digunakan oleh Pihak Pro
2.1.1. Membaca-ulang ayat-ayat homoseksual: Perspektif Biblis
Michael Carden, seorang pelajar biblika dan sekaligus seorang homoseksual,
menuliskan buku “Sodomy – A History of a Christian Biblical Myth”, yang di dalam
buku itu ia membaca-ulang ayat-ayat homoseksual.11 Contoh, Kejadian 19 umum
dibaca dalam relasi dengan Kejadian 18-19. Tetapi, di dalam membaca-ulang ayatayat homoseksual, Carden menyebutkan bahwa kota Sodom disebut pada Kejadian
10:19 sebagai salah satu dari empat kota yang merepresentasikan warisan (kejayaan)
6
Kanaan –dan Kanaan yang disebut di pasal 10 ini sudah disebutkan di Kejadian 9:25
yang di dalam ayat tersebut Kanaan secara khusus sudah di-kutuk. Dengan
menempuh cara ini, Carden ingin menunjukkan bahwa kisah Sodom dan Gomora
merupakan suatu “disaster story”, kisah bencana. Untuk menguatkan genre ini,
Carden menelusuri mitologi Yahudi tentang kisah bencana di sejumlah kota dari
masyarakat Yahudi, dan menemukan bahwa kota-kota dihukum oleh Yang Ilahi
sebagai bentuk hukuman Tuhan karena perilaku-perilaku tidak pantas terhadap orangasing, sang liyan.12 Dengan kata-lain, kutukan Tuhan atas Sodom dan Gomorah
pertama-tama disebabkan karena kota-kota ini telah menjadi pusat ketidak-adilan dan
penindasan, bukan karena homoseksualitas. Hal tersebut terlihat dari usaha
pemerkosaan orang-asing. Tuhan menghukum kota-kota ini adalah ekspresi dari
usaha Tuhan untuk menghilangkan ketidak-adilan dan penindasan.13
2.1.2. Metodologi “Lintas-Ilmu”: Perspektif non-Biblis
Memahami homoseksualitas tidak cukup hanya menggunakan ayat-ayat
homoseksualitas di Alkitab. Realitas ini disadari oleh banyak ilmuwan, termasuk
ilmuwan Kristen. Contoh, Aldo Poiani melalui bukunya Animal Homosexuality
mengajak audiens (baca: para pembaca bukunya) untuk melihat homoseksualitas
dalam bingkai biologi (baca: genetik), psikologi, dan sosial agar homoseksualitas
sungguh dapat dipahami lebih mendalam.14 Di bukunya Poiani menyatakan bahwa
homoseksualitas bukan suatu kondisi medis (baca: sakit terkait organ tubuh, misalnya,
kulit ter-silet lalu bisa disembuhkan) tetapi suatu fenomena, yang saya istilahkan
sebagai, natural organism. Fenomena ini terjadi di antara animals, termasuk manusia
(bandingkan: ungkapan rational animal untuk menyebut manusia sebagai binatang
yang rasional dan zoology philosophy of Elias Canetti). Lebih lanjut, Poiani
menyebutkan ada banyak gen yang berkaitan dengan homoseksualitas.15 Misalnya,
gen yang berkaitan dengan “manusia kembar” merupakan pintu masuk bagi para
ilmuwan gen untuk mempelajari homoseksualitas.16 Singkat cerita, Poiani
11
Michael
Carden,
Sodomy:
A
History
of
a
Christian
Biblical
Myth.
London:
Equinox,
2004.
12
Ibid.,
15
13
Ibid.,
39.
14
Aldo
Poiani,
Animal
Homosexuality:
A
Biosocial
Perspective.
Cambridge:
Cambridge
University
Press,
2010.
15
Ibid.,
57.
16
Ibid.,
65.
7
memaparkan banyak teori, dan metodologi yang berkembang di isu homoseksualitas.
Sebagai tambahan, Jacques Arènes, seorang Kristen-Perancis yang sekaligus ilmuwan
Psikoanalisa, juga memandang penting untuk menggunakan Psikoanalisa sebagai ilmu
untuk memahami homoseksualitas. Di dalam ilmu ini, ada tiga tipe homoseksualitas,
yaitu: le type névrotique, le type pervers, dan le type narcissique.17
Bertolak dari tulisan Poiani dan Arène menunjukan bahwa kajian lintas-ilmu
sangat menolong untuk menyingkapkan hal- hal yang tidak tersingkapkan oleh ayatayat Alkitab ketika berbicara tentang homoseksualitas.
2.2.
Ideologi dari Pihak Pro
Dengan melihat argumentasi yang diajukan oleh kelompok ini, yaitu: membacaulang ayat-ayat homoseksual, maka apa yang disampaikan oleh kelompok ini
mencerminkan suatu “ideologi seksual” –meminjam istilah Yep, Lovaas dan Elia. Di
dalam ideologi ini, terdapat dua kelompok, yaitu: kelompok asimilasionis, dan
kelompok radikal. Masing-masing muncul dan mengembangkan eksistensi mereka di
dalam dunia politik di Amerika.18
Untuk konteks Indonesia, menurut saya, isu LGBTIQ dan gerakan yang
dilakukan oleh para aktivis LGBTIQ dapat dilihat sebagai “ideologi radikal” yang
berkompetisi dengan sejumlah isu lokal, seperti penutupan masjid Ahmadiyah,
kebencian terhadap kelompok Shi’a, dan seterusnya. Sebab, seperti yang ditunjukan
oleh Hélène Bouvier, masyarakat Indonesia cukup akrab dengan banci di dalam dunia
kesenian.19 Tetapi, relasi internasional di era digital ini, yang memungkinkan transfer
informasi dan ideologi dari satu wilayah ke wilayah lain lebih cepat, telah membuat
keakraban dengan banci yang sudah ada di masyarakat telah menjadi suatu gerakan
perjuangan yang me-radikalisasi keakraban tersebut yang terkesan stagnan dan pro
status quo terhadap kaum hetero. Dengan radikalisasi ini, isu LGBTIQ bukan suatu
“ideologi seksual” (seperti yang terjadi di Amerika) tetapi suatu ideologi radikal yang
mendorong pengakuan dan penerimaan terhadap kelompok LGBTIQ mengalami
17
Jacques
Arènes,
“Il
est
difficile
de
transformer
une
homosexualité
de
type
nevrotique
en
hétésexualité”
en
Claire
Lesegretain,
Les
Chrétiens
&
l’homosexualité:
L’enquête.
Paris:
Presses
de
la
Renaissance,
2004,
61.
18
Gust
A.
Yep,
Karen
E.
Lovaas,
and
John
P.
Elia,
“A
Critical
Appraisal
of
Assimilationist
and
Radical
Ideologies
Underlying
Same-‐Sex
Marriage
in
LGBT
Communities
in
the
United
States”.
Journal
of
Homosexuality,
45:1,
51.
19
Hélène
Bouvier,
Lèbur!
Seni
Musik
dan
Pertunjukan
dalam
Masyarakat
Madura.
Jakarta:
Yayasan
Obor
Indonesia,
2002,
223.
8
percepatan. Dalam pengertian inilah, istilah radikal saya gunakan di “ideologi
radikal”.
B. Pluralitas Teologi: Pluralitas Ideologi
Willard M. Swartley mencatat pola kecenderungan di dalam membaca ayatayat homoseksual, yaitu: Yesus dan Kitab Injil dipandang sebagai sumber yang tidak
mengutuk LGBTIQ, dan teks-teks Perjanjian Lama dan Paulus dipandang sebagai
sumber yang mengutuk LGBTIQ. 20 Bertolak dari realitas tersebut, kita dapat melihat
bahwa ada pluralitas teologi, dan pluralitas teologi itu merujuk kepada pluralitas
ideologi. Dengan kata-lain, suatu teologi adalah ideologi. Contoh, sejarah mencatat
bahwa Gereja Timur terpecah-belah karena Kristologi secara khusus persoalan
hakikat Kristus. Perpecahan ini karena masing-masing pihak memiliki teologi tentang
Kristus dan teologi yang dianut merupakan ideologi dari masing-masing kelompok.
Di dalam pemahaman spesifik ini, maka pertentangan teologi di isu LGBTIQ
sebenarnya adalah suatu bentuk clash of ideology. Artinya; pihak pro dan kontra
dengan segala bentuk argumentasi mereka sedang berusaha menduduki ruang-publik
melalui kontes-argumen dan aksi-aksi yang dilakukan. Pada titik ini, pertanyaan yang
perlu diajukan: “mengapa teologi (menjadi) ideologi?
Dalam amatan saya, teologi menjadi ideologi karena ia berada pada posisi
sebagai produk dari proses pelembagaan suatu kepercayaan/keyakinan; sehingga,
teologi mewakili suatu institusi tertentu. Teologi menjadi ideologi karena kondisikondisi baku dan tertutup; sehingga, tidak ada ruang negosiasi dan self-criticism.
Minimnya ruang itu membuat suatu teologi (yang baku dan tertutup itu) menjadi
abadi yang tidak memiliki masa-akhir, sejajar dengan Tuhan.
C. Postscriptum: Mencari-ulang jalan beriman Kristen di era lintas-ilmu
Scott Thumma menuliskan risetnya tentang identitas religius dari sekelompok
orang Kristen Evangelis yang orientasi seksualnya adalah homoseksual.21 Riset
Thumma meneliti pergumulan dari kaum muda gay Injili, yang di satu sisi mereka
hidup bersama dengan istilah “lahir-baru”, “konservatifisme”, dan seterusnya, dan di
sisi lain, mereka adalah gay, dan berhasil menunjukan kepada kita bahwa identitas
relijius itu adalah suatu konstruksi yang dibangun di dalam suatu proses dan waktu
20
Willard
M.
Swartley,
Homosexuality:
Biblical
and
Moral
Discernment.
Waterloo,
Ontario:
Herald
Press,
2003,
18.
21
Scott
Thumma,
“Negotiating
a
religious
identity:
the
case
of
the
Gay
Evangelical”.
Sociological
Analysis
1991,
52:4,
333-‐347.
9
tertentu. Itu berarti suatu identitas relijius, yang utamanya dibentuk oleh teologi
tertentu, dapat berubah.
Menyadari itu, identitas suatu gereja yang misalnya anti-gay sesungguhnya
dapat berubah sebab orang-orang yang di dalam gereja yang membentuk identitas
gereja tersebut tidak dapat menghindari diri dari dekonstruksi-rekonstruksi sebab
identitas suatu gereja yang anti gay adalah (juga) produk yang dibuat pada periode
tertentu dan waktu tertentu. Oleh karena itu, mencari-ulang jalan beriman sangat perlu
dilakukan. Contoh, apakah di dalam proses beriman kajian lintas-ilmu tidak
dibutuhkan oleh teologi? Apakah kita memeluk suatu teologi atau ideologi di dalam
kehidupan bergereja?
Bahan Bacaan
Arènes, Jacques. 2004. “Il est difficile de transformer une homosexualité de type
nevrotique en hétésexualité” en Claire Lesegretain, Les Chrétiens &
l’homosexualité: L’enquête. Paris: Presses de la Renaissance, 2004, 61
Brueggemann, Walter. 1988. Israel’s Praise: Doxology against Idolatry and
Ideology. Philadelphia: Fortress Press.
Bouvier, Hélène . 2002. Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat
Madura. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Carden, Michael. 2004. Sodomy: A History of a Christian Biblical Myth. London:
Equinox.
Clines, David J. A. 1995. Interested Parties: The Ideology of Writers and Readers of
the Hebrew Bible. Sheffield: Sheffield Academic Press.
Gnuse, Robert K. 2015. “Seven Gay Texts: Seven Passages Used to Condemn
Homosexuality”. Biblical Theology Bulletin Volume 45 Number 2, 68.
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat. 2015. Pemahaman Iman & Akta
Gereja (Buku I). Jakarta, 239-240
Himbaza, Innocent. 2012. “Old Testament Stories and Homosexuality”, in Innocent
Himbaza, Adrien Schenker, and Jean-Baptiste Edart, the Bible on the
Question of Homosexuality. Washington, DC: the Catholic University of
America Press, 22.
Poiani, Aldo. 2010. Animal Homosexuality: A Biosocial Perspective. Cambridge:
Cambridge University Press.
10
Swartley, Willard M. 2003. Homosexuality: Biblical and Moral Discernment.
Waterloo, Ontario: Herald Press.
Thumma, Scott. 1991. “Negotiating a religious identity: the case of the Gay
Evangelical”. Sociological Analysis, 52:4, 333-347.
Yep, Gust A, Lovaas, Karen E, and Elia, John P. 2003. “A Critical Appraisal of
Assimilationist and Radical Ideologies Underlying Same-Sex Marriage in
LGBT Communities in the United States”. Journal of Homosexuality, 45:1,
51.
Situs
www.umc.org/what-we-believe/the-nurturing-community#human-sexuality. Diakses
May 25, 2016.