Pesantren Wajah Multikultural Islam Indo

PESANTREN:
WAJAH MULTIKULTURAL ISLAM-INDONESIA
Hamam Faizin
Pesantren sebagai entitas tak terpisahkan dari Islam-Nusantara selalu menarik untuk dikaji
dan ditelaah ulang. Dunia pesantren dewasa ini telah banyak berperan dan memberikan
kontribusi berarti di tengah dinamika sosial yang menuntut perubahan. Sudah banyak para
peneliti membuktikan kontribusi tersebut. Di antaranya pondok pesantren telah memainkan
peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Pada zaman penjajahan
Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau
paling tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari pesantren. Mereka menggunakan
justifikasi religius dan term-term simbolik menuju gerbang kemerdekaan. 1 Pesantren juga
memiliki peran penting dalam mempertahankan tradisi tasawuf di Jawa.2 Sampai saat ini,
pesantren juga telah menjaga tradisi intelektualisme Islam di Nusantara, 3 bahkan terus
berlanjut hingga melahirkan ‘Santri Baru’ di aras pemikiran Islam kontemporer.4
Tidak berhenti di sini, sekitar awal tahun 1990-an, pesantren ditulis dan dipandang dengan
warna baru. Pesantren mulai dihitung sebagai entitas politik (baca: politk praktis) yang
menyumbang berbagai makna baru dan perubahan dalam diskursus politik di Indonesia.
Diskursus ini dikembangkan terutama untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan
alternatif di tengah sistem politik yang totalitarian. Greg Fealy, Andree Feilard, Greg
Barton adalah beberapa pengamat Indonesia yang mencoba melihat relasi NU-Pesantren
dengan tali politik nasional dalam panggung kontestasi yang tak berkesudahan.

Lebih dari itu, pesantren selalu berkembang. Ia tidak lagi sekadar memainkan fungsi
tradisional, tetapi juga menjadi penyuluh kesehatan; pusat pengembangan teknologi tepat
guna bagi masyarakat pedesaan; pusat usaha dan penyelamatan dan pelestarian lingkungan
hidup dan lebih penting menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar.5
Track record pesantren yang cukup panjang ini menunjukkan bahwa ada dinamika
pergulatan konsepsional dalam menghadapi persoalan-persoalan sosial, kultural, ekonomi
dan politik, termasuk yang berkaitan dengan masalah-masalah keislaman sendiri.
Fenomena pesantren memang sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan, dan
karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya.
1

Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2004, hal.
234. Baca juga Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, hal. 149.
2
Zulkifli, Sufism in Java: The Role of The Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java, Leiden-Jakarta,
INIS, 2002.
3
Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi Yogyakarta: LKiS, 2004.
4

Nur Khalik Ridwan, Santri Baru: Pemetaan, Wacana, Ideologi dan Kritik, Yogyakarta: Gerigi Pustaka,
2004.
5
Azyumardi Azra “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” dalam pengantar buku Nurcholish Madjid, Bilikbilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan Jakarta: Paramadina, 1997, hal. ix-xxvi. Baca juga Sahal
Mahfudz, Pesantren Melacak Makna, Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999, khusunya bagian ‘Budaya Santri telah
Berubah’, hal. 41-49.

1

Peranan dan keaktifannya dalam berkontribusi, sedikit banyak, menuntut pesantren
melakukan penyesuaian, pengembangan dan bahkan ketahanan diri (self-defence) terhadap
perubahan sosial. Penyesuaian, pengembangan dan ketahanan diri pesantren terhadap
perubahan sosial, termasuk industrialisasi dan urbanisasi, misalnya, telah terbukti
memberikan andil yang berarti bagi transformasi nilai demi pembentukan mental spiritual
santri dalam bidang kehidupan, bahkan dalam keadaan krisis sekalipun. Reaksi pesantren
menghadapi perubahan6 cukup beragam. Keragaman sikap tersebut menimbulkan
diversifikasi pesantren ke dalam model, kelompok dan ideologi tertentu hingga
membentuk sebuah mozaik kepesantrenan yang indah.
Terkait dengan perubahan sosial, sekitar satu dekade terakhir ini atau lebih tepatnya
semenjak runtuhnya rezim Orde Baru, bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada wacana

multikultural, yakni sistem nilai yang menerima kelompok lain secara sama sebagai satu
kesatuan, tak peduli perbedaan budaya, jender, agama ataupun yang lain. 7 Wacana ini
berhembus seiring dengan munculnya konflik-konflik yang bernuansa SARA dan tindak
kekerasan terorisme atas nama agama oleh sekelompok umat beragama. Konflik dan
tindakan terorisme tersebut paling tidak menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang
beragama tersebut belum bisa menyelesaikan keberbedaan dengan the other secara
kondusif dan konstruktif. Mereka tidak memiliki sistem atau kearifan dalam mengelola
keragaman tersebut. Penyelesaiannya hanyalah dengan cara yang desktruktif, yakni
konflik.
Persoalan konflik ini, terutama terorisme, semakin meruncing dan menggiring perhatian
khayalak kepada sebuah institusi pendidikan Islam klasik, yakni pesantren. Kenyataan ini
terbukti dengan terlibatnya kalangan pesantren dalam konflik yang terjadi di sejumlah
daerah dan terungkapnya para pelaku aksi pengeboman Bali yang melibatkan alumni santri
Pondok Pesantren al-Islam, Lamongan seperti Amrozi, Imam Samudra, Mukhlas dan
ditangkapnya Ustadz Abu Bakar Ba'asyir sebagai pimpinan Pondok Pesantren al-Mukmin,
Ngruki, Sukoharjo.8
Fenomena tersebut mendorong International Center for Islam and Pluralisme bekerja sama
dengan Badan Kerjasama Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) dan AusAID, melakukan
penelitian pada awal tahun 2006. Penelitian tersebut memfokuskan pada tema-tema seputar
wacana multikulturalisme, semisal toleransi, demokrasi, jender, dan Syari’at Islam, dan

secara spesifik menguji apakah betul kalangan pesanten mensahkan tindak kekerasan dan
tidak ramah terhadap perbedaan. Sampel yang diambil adalah 20 pesantren di Jawa Barat
dari 2200 pesantren yang tergabung dalam Badan Kerjasama Pondok Pesantren seIndonesia (BKSPPI).
6

Salah satu bukti konkret pengadopsian elemen-elemen kebudayaan Barat oleh pesantren adalah
diterapkannya sistem sekolah (madrasah) dan organisasi-organisasi modern. Lihat Ivan Alhadar, “Pesantren
Antara Tradisi dan Tantangan Kebudayaan Urban-Industri”, dalam Dinamika Pesantren: Dampak Pesantren
dalam Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat, Manfred Oepen dan Wolfgang Kareher (eds.), Jakarta:
P3M, 1988), hal. 144.
7
Webster’s New World College Dictionary.
8
Sebagaimana Laporan International Crisis Group (ICG) ada beberapa kasus pemboman yang dilakukan oleh
santri yakni pemboman di Keduataan Filipina di Jakarta, pemboman di hari Natal tahun 2000, pemboman
Gereja HKBP dan Santa Ana Jakarta 22 Juli 2001, bom di Mall Atrium Jakarta, 1 Agustus 2001, bom di
Gereja Petra Jakarta Utama 8 November 2001, bom di Pangkalan Kerinci Riau 2 Desember 2001, bom di
JW Marriot Jakarta 5 Agustus 2003.

2


Hasil penelitian tersebut cukup mengagetkan. Di antaranya dinyatakan bahwa kalangan
pesantren inkonsisten dalam menyikapi multikulturalisme. Di satu sisi, mereka bersikap
moderat dan toleran dalam masalah sosial, politik dan ekonomi. Namun, di sisi lain,
mereka bersikap intoleran dalam masalah akidah. Pemahaman sejumlah kalangan
pesantren di Jawa Barat belum sepenuhnya dapat menerima kenyataan multikulturalisme.
Hal ini diungkap tim peneliti ICIP dalam seminar dan workshop bertajuk “Persepsi
Komunitas Pesantren di Jawa Barat terhadap Isu-isu Keagamaan dan Multikulturalisme”,
di kawasan Depok, Jawa Barat.9
Tentu saja hasil penelitian ini menuai pro dan kontra. Terkait dengan wacana tersebut,
tulisan singkat ini akan mengeksplorasi bagaimana sebenarnya peran strategis pondok
pesantren dalam merespons realitas kekinian yang plural dan multikultur itu. Apakah
pesantren memang benar-benar menolak wacana multikultural dan apakah tindakan
terorisme dan penegakan Syari’at Islam yang dilakukan oleh sebagian pesantren
merupakan bukti penolakan tersebut? Atau bahkan sebaliknya, pesantren mendukung
wacana multikultural? Lalu, adakah nilai-nilai budaya atau tradisi-tradisi pesantren yang
mendukung wacana multikultural? Dan tentu pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang
serius dari semua pihak dan memerlukan sebuah analisis yang jernih dari berbagai sudut
pandang.
Pengakuan atas Perbedaan, Kesetaraan di Ruang Publik

Sebelum memasuki lebih jauh ke dalam pembahasan tentang pesantren, kiranya akan lebih
tepat apabila ada penyamaan persepsi tentang apa itu multikultural. Dengan tujuan agar
ada pemahaman yang sama sehingga kesalahpahaman (misunderstanding) bisa dihindari
sejak awal.
Hal tersebut dapat dimulai dari pertanyaan tentang apa sebetulnya yang dimaksud dengan
multikulturalisme? Ia kerap merupakan sebuah pertanyaan yang menjebak sebab
definisinya sangat tergantung pada konteks di mana istilah tersebut didiskusikan. Di
samping, itu konsep multikuluralisme selalu berubah sejauh masyarakat berusaha
menjadikan suara-suara mereka terdengar oleh sebuah audien yang tumbuh secara
berkelanjutan. Di Amerika Serikat sendiri, yang gagasan mulikuturalismenya kerap
dijadikan referensi utama, multiculturalism merupakan sebuah gerakan sosial dan politis.
Ia juga merupakan sebuah posisi yang menyakini keberbedaan antara setiap individu dan
kelompok untuk menjadi sebuah sumber kekuatan dan pembaharuan yang potensial
ketimbang menjadikannya sebagai titik picu konflik.
Multikulturalisme menghargai keragaman perspektif manusia dan mempertahankanya
melalui pengalaman dan latar belakang yang beragam yang berasal dari ras, etnik, jender,
orientasi seksual atau perbedaan kelas di masyarakat. Multikulturalisme berjuang untuk
meningkatkan cita-cita equality, equity dan kebebasan, dan memasukkan rasa
penghormatan bagi setiap individu dan kelompok sebagai sebuah prinsip fundamental bagi
kesuksesan dan pertumbuhan negara tersebut.

Awalnya, multikulturalisme terutama berkembang sebagai refleksi atas keadaan baru di
banyak negara Barat yang kini mengalami perubahan cukup besar akibat migrasi besarbesaran dari luar (Eropa Timur, Asia, Afrika). Dari sudut kebudayaan, mereka tidak
9

Abdullah Ubaid Matraji, “Multikulturalisme ala Pesantren,” dalam Syir’ah, Edisi 59, November 2006.

3

homogen lagi. Multikulturalisme mencoba memikirkan konsekuensi etis-politikya. Jika
multikulturalisme dapat meyakinkan para penyelenggara negara (pemerintah, partai-partai
politik, dan lain-lain), maka semua syarat terpenuhi untuk menciptakan suasana
kemasyarakatan penuh toleransi dan kerukunan.10
Istilah ‘multikulturalisme’ secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di
Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi
dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal
Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan
multi-lingual. Sedangkan sejumlah pakar seperti Fay, Jary D, J. Jary dan Watson
)2000( mendefinisikan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang mengakui dan
mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara
kebudayaan.

Jadi, secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya.”11 Sebenarnya, ada
tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat
yang terdiri keberagaman tersebut –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya
yang berbeda- yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural
(multicultural). Ketiga hal itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal yang sama,
walaupun semuanya mengacu kepada adanya ’ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas
mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih dari satu’ (many); keragaman menunjukkan
bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat
disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru.
Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan
multikultural.
Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai
kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.
Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu),
multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka
adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan
baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda
saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu
diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan
menuntut pengakuan (politics of recognition)12 terhadap semua perbedaan sebagai entitas

dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.
10

K. Bartens, “Ekumenisme dan Multikulturalisme” dalam Kompas, 2 Januari 2006.
Scott Lash dan Mike Featherstone (eds.), Recognition And Difference: Politics, Identity,Multiculture,
London: Sage Publication, 2002, hal. 2-6.
12
Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka di Princenton
University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yang kemudian berkembang di kajian lain, flsafat,
sosiologi, budaya dan lainnya. Gagasanya dipengaruhi oleh padangan Jean-Jacques Rousseau dalam
Discourse Inequality dan kesamaan martabat (equal dignity of human rights) yang dicetuskan Immanuel
Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, bahwa sesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah
sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkan
hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua element sosial-budaya, termasuk
juga negara. Lihat Charles Taylor, “The Politics of Recognation” dalam Amy Gutman, Multiculturalism,
Examining the Politics of Recognation, Princenton: Princenton University Press, 1994, hal. 18.
11

4


Kesadaran Multikultural di tengah Keragaman dan Kerentanan
Dari sinilah kiranya dapat dimengerti bahwa multikulturalisme merupakan pengalaman
normal manusia. Ia ada dan hadir dalam realitas empirik. Mau tidak mau pasti manusia
akan menghadapinya. Multikultural merupakan sunnatullah yang tidak bisa dielakkan lagi.
Di Indonesia keberagaman dalam budaya, agama, bahasa, ras dan etnis merupakan realitas
yang tak terbantahkan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kesadaran multikultural mau
tidak mau harus ditumbuhkan kembali sebagai counter wacana atas konflik dan tindakan
kekerasan yang selama ini terjadi.
Semangat multikultural memang sudah ada dan sudah ditanamkan oleh founding fathersmothers bangsa ini dengan merumuskan sebuah konsep negara yang mampu merengkuh
keberagaman dan kepelbagaian tersebut dalam kerangka persatuan dan kesatuan. Mereka
menetapkan negara ini bukan menjadi negara agama atau negara sekuler. Pilihannya
berada tepat di tengah-tengah di antara keduanya. Pilihan untuk menjadi negara non-agama
waktu itu memang memberikan dasar-dasar yang kuat bagi bangsa ini untuk bersikap
toleran, menghargai kepelbagaian dan menjunjung tinggi perbedaan itu. Namun, semangat
tersebut tidak memiliki gigi yang kuat sehingga mudah dikalahkan oleh kekuatan lain,
yakni rezim Orde Baru yang bersifat monokultural. Politik monokultural (penyeragaman)
ini dilakukan atas nama stabilitas untuk pembangunan (developmentalism). Pendek kata,
politik monokultural semakin kuat pada masa tersebut.
Sejak lengsernya Soeharto pada tahun 1998, bangsa Indonesia lalu mengalami transisi dari
monokultural ala Orde Baru menuju kesadaran multikultural dan transisi dari demokrasi

(prosedural) menuju konsolidasi demokrasi. Pada kondisi tersebut, sebagai bangsa yang
majemuk, Indonesia sangat rentan terhadap ancaman disintegrasi. Di tengah-tengah
kondisi dan kemajemukan budaya tersebut, benturan kepentingan dan potensi konflik
dalam masa transisi bisa menjadi bagian dari ancaman separatisme dan disintegrasi, dan
itupun sulit dihindari. Keran kebebasan yang dibuka lebar-lebar terkadang disalahartikan.
Maka, tidaklah heran apabila muncul serentetan konflik di berbagai daerah di tanah air,
seperti konflik Ambon, Poso, Sampit, dan lainnya.
Transisi menuju konsolidasi ke demokrasi tentu bukanlah situasi yang ideal untuk bisa
menyatukan beraneka ragam hal. Fenomena tersebut bukan saja akan semakin mengancam
persatuan Indonesia, melainkan juga bisa menghambat terwujudnya konsolidasi demokrasi
di mana nilai-nilai keadaban demokrasi (democratic civility), seperti toleransi, HAM,
masyarakat madani tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Rentetan konflik dan
tindakan kekerasan tersebut semakin meneguhkan kenyataan bahwa kesadaran
multikultural memang sangat penting. Ia bertujuan untuk membangun kerjasama,
kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur
lagi. Tujuan ini mengajak masyarakat untuk lebih arif melihat perbedaan dan berupaya
untuk bekerjasama secara positif dengan yang berbeda, selain terus mewaspadai segala
bentuk sikap yang bisa mereduksi multikulturalisme itu sendiri. Kesadaran akan adanya
keberagaman budaya meniscayakan adanya kesadaran akan keberagaman dan peningkatan
apresiasi yang dielaborasi secara positif sebagai wujud dari pemahaman multikulturalisme.
Sekali lagi, multikulturalisme sendiri adalah adanya kesediaan menerima kelompok lain
secara sama “sebagai kesatuan” yang alamiah (natural/sunnatullah) dan tidak

5

menimbulkan tindakan diskriminatif. Diskriminatif adalah buah dari pola perilaku dan
sikap hidup yang mencerminkan iri hati, dengki dan buruk sangka. 13 Hal tersebut dilakukan
tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa ataupun agama. Oleh karena
itu, isu yang sering muncul dalam wacana multikultural biasanya adalah diskriminasi,
pengabaian hak-hak budaya suatu komunitas agama, etnik, adat dan kepercayaan, serta
marjinalisasi negara terhadap kelompok-kelompok minoritas agama, etnik dan ras.
Jadi, fokus multikultural adalah bagaimana berbagai elemen-elemen masyarakat ikut
bersama-sama mewujudkan kebhinekaan dalam kebersamaan. 14 Dengan demikian,
berbagai konflik yang bernuansa agama dan etnis, yang sering melibatkan masyarakat
berhadapan di antara mereka sendiri secara horisontal bisa dihindari. Selain itu,
multikulturalisme juga bersentuhan dengan berbagai isu yang mendukung ideologi ini,
yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan
berusaha, Hak Asasi Manusia (HAM), hak budaya dan golongan minoritas, prinsip-prinsip
etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Pra-syarat Membangun Kesadaran Multikultural
Ada sejumlah persyaratan untuk mewujudkan kesadaran multikultural. Menurut Parsudi
Suparlan,15 dalam konteks upaya membangun kesadaran multikultural di Indonesia hanya
mungkin terwujud bila, pertama, konsep multikulturalisme menyebarluas dan dipahami
penting bangsa Indonesia, serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional
maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Syarat
pertama ini meniscayakan integritas dan komitmen dari segala elemen masyarakat sebab
tanpa integritas dan komitmen, rasanya sulit untuk mewujudkan kesadaran multikultural di
dalam diri seseorang dan juga komunitas yang lebih besar.
Kedua, kesamaan pemahaman di antara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan
bangunan konsep-konsep yang mendukungnya. Tidak adanya pemahaman yang sama
mengenai hal tersebut hanya akan menimbulkan anggapan-anggapan yang kontraproduktif, misalnya anggapan bahwa wacana multikulturalisme berasal dari Barat yang
berbeda dengan ideologi Islam atau multikulturalisme adalah model lain dari toleransi
yang berlebihan, dan sebagainya. Apalagi, istilah multikultural merupakan istilah yang
masih asing bagi sebagian kalangan.
Ketiga, adanya upaya-upaya taktis dan praktis (political will) yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan cita-cita ini, baik oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya maupun
masyarakat melalui pemimpin-pemimpinnya.
Berdasarkan atas syarat tersebut, kesadaran multikultural untuk meminimalisir konflik bisa
terwujud apabila adanya penanaman kesadaran pada masyarakat akan keragaman
13

Amin Abdullah, “Kesadaran Multikultural: Sebuah Gerakan “Interest Minimalization” dalam Meredakan
Konflik Sosial,” dalam kata pengantar buku M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural, Cross-cultural
Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2007, Cet. Ke-2, hlm. viii-xix.
14
Ahmad Baso, “Demokrasi dan Multikulturalisme,” dalam www.wahanakebangsaan.com.
15
Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, Keynote Address yang disajikan
dalam Sesi Pleno I pada Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3, “Membangun Kembali
Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika: Menuju Masyarakat Multikultural,” Universitas Udayana, Denpasar,
Bali, 16–19 Juli 2002,.Antropologi Indonesia , 2002.

6

(plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai
demokrasi dalam beragam aktivitas sosial.
Wacana tentang multikultural akhir-akhir ini semakin menemukan momentumnya untuk
diproduksi ulang mengingat maraknya fenomena gesekan bahkan konflik lintas suku,
agama, dan antar aliran kepercayaan (SARA) di Indonesia dekade ini. Dalam konteks
integritas bangsa, idiom multikulturalisme tampaknya lebih bisa diterima daripada
“pluralisme”16 karena diksi terakhir menimbulkan banyak resisitensi bagi kalangan
agamawan konservatif. Oleh sebab itu, wacana multikulturalisme semakin populer.
Indikasinya, diskusi mengenai wacana tersebut tidak saja terjadi di lingkungan tradisi
akademis, melainkan telah menjadi bagian dari wacana dan kebijakan publik. Diskursus
mengenai multikultural telah menjadi materi pendidikan, pelatihan, malahan kursus singkat
yang amat praktis. Oleh sebab itu, kiranya sudah saatnya bangsa ini merayakan
keberbedaan dengan menanamkan kesadaran multikultural.
Sayangnya istilah-istilah seperti sekularisme, pluralisme, dan multikuturalisme merupakan
‘isme’ yang dianggap membingungkan bagi kalangan pesantren. Kata multikulturalisme
memang asing di telinga warga Indonesia, khususnya kalangan pesantren yang tak pernah
diajarkan kitab berbahasa Inggris. Istilah dan pengertian asing ini sangat gencar menyerang
wacana di Indonesia dan menembus masuk ke pesantren yang sebenarnya tidak terusik
dengan istilah itu jika mereka tidak diganggu dengan berbagai tuduhan miring terhadap
aktivitas di pesantren, seperti terorisme. Fakta dan tekanan yang melingkupi pesantren ini
tentu membuat kalangan pesantren harus mereposisi diri, yakni berhati-hati dengan wacana
tersebut. Namun sikap tersebut hanya berkembang di sebagian kecil kelompok pesantren.
Dan hal tersebut sangat bisa dimaklumi.
Multikulturalisme dalam Islam: Gagasan dan Praktik
Berdasarkan atas pengertian-pengertian tentang multikultural di atas, kiranya apabila mau
menelisik lebih jauh, keadaan sejarah umat Islam menunjukkan bahwa apa yang sering
disebut ‘peradaban Islam’ sesungguhnya merupakan produk dari berbagai kebudayaan
(multikultur). Peradaban Islam pada dasarnya bersifat multikultural. Apa yang disebut
dengan politik Islam, ekonomi Islam, seni Islam dan sejenisnya tidak lain merupakan hasil
kreatif para pakar muslim dan non-muslim dari berbagai sumber tradisi ilmu dan
kebudayaan, yang seringkali sulit dilacak sumber asal-usulnya. Kalau diteliti secara serius
buku-buku karangan muslim mengenai politik Islam akan didapati teori-teori yang dikenal
dengan teori-teori Barat. Penggunaan rebana, alat-alat musik modern, pakaian para penari
dan lain-lain merupakan kreasi para seniman yang berasal dari beragam latar belakang
kultur.17
16

Perhatikan Keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonesia, Nomor: 7/Munas VII/MUI/II/2005 tentang
Pengharaman Paham Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama. Padahal pluralisme adalah sebuah
terminologi yang ingin menegaskan pandangan dan sikap terhadap keberagaman, kemajemukan dan
kebihinekaan alam semesta khususnya manusia. Sementara mutikulturalisme pada dasarnya sama dengan
pluralisme, tetapi konotasinya lebih mencerminkan pandangan dan sikap terhadap keberagaman ekspresi
budaya dan tradisi masyarakat. Keberagaman ini meliputi banyak hal, antara lain ras, warna kulit,
kebangsaan, jenis kelamin, pandangan, paham dan keyakinan agama dan sebagainya. Lihat Husain
Muhammad, “Pesantren sebagai Sumber Pembelajaran Pluralisme dan Multikulturalisme” makalah,
disampaikan dalam semiloka “Pluralisme, Good Governance dan Otonomi Daerah Melalui Pesantren di
Jawa” diselenggarakan atas kerjasama ICIP dan Pondok Pesantren Al-Ishlah, Bobos, Cirebon, Jawa Barat, 4
Mei 2008 di Aula MI Al-Ishlah, Bobos.
17
Muhammad Ali, “Peradaban Islam yang Multikultural,” dalam Republika, 11 Oktober 2002, hal. 5.

7

Di Iran, wajah keislaman mereka berbeda dengan wajah muslim Indonesia. Sebagian
muslimah di sana memakai cadar sementara di Indonesia tidak. Cara mereka menghormati
keluarga Ali juga lebih antusias ketimbang umat Islam Indonesia pada umumnya. Pendek
kata, di dalam peradaban Islam terdapat budaya yang sangat beragam, ada Islam Arab,
Persi, Turki, bengali, Punjabii, Maghribi, Asia, China dan sebagainya. 18 Di Asia Tenggra
Islam tidak hanya berbeda dengan Islam di Timur Tengah, tetapi juga berbeda di wilayah
Asia Tenggara sendiri. Di Melayu, Melayu diidentikkan dengan Islam dan sebaliknya
Islam diidentikkan dengan Melayu. Mereka yang bukan Melayu misalnya, ketika memeluk
Islam dianggap masuk Melayu. Begitu pula, mereka yang berasal dari Melayu tetapi tidak
memeluk Islam tidak dianggap Melayu. Di sini etnisitas dan agama sangat berkaitan.
Sedangkan di Indonesia kondisinya berbeda. Orang Islam berasal dari etnis yang berbeda
yang berjumlah sekitar 300-an etnis dan bahasa. Ada orang Betawi Islam, ada pula orang
Batak Islam dan seterusnya. Masing-masing memperlihatkan ekspresi ke-Islam-an yang
berbeda, karena sedikit banyak dipengaruhi oleh etnisitas dan adat masing-masing. Seni
Tari Randai di Sumatera Barat misalnya, merupakan perpaduan budaya Minang dan
bacaan-bacaan Islam.
Para ulama besar masa lalu juga telah menjadikan budaya atau tradisi masyarakat sebagai
dasar hukum. Cara-cara melaksanakan syari'ah seperti ini juga telah dilakukan para ulama,
terutama para penyebar agama Islam di Indonesia (para wali). Beberapa contoh misalnya
praktik kenduri baik untuk perkawinan atau khitan atau keperluan lain, penggunaan
kentongan atau bedug untuk memanggil/mengajak orang untuk shalat, di samping adzan,
penggunaan kain sarung dan peci. Demikian pula sistem pendidikan pesantren, bahkan
juga istilah pesantren dan santri, atau arsitektur bangunan masjid yang didirikan para
walisanga. Ini semua jelas bukan cara-cara yang dipraktekkan oleh Nabi dan para
sahabatnya, tetapi justeru diserap atau diadopsi dari tradisi dan budaya masyarakat Hindu
atau lainnya.
Di Banjarmasin, seorang ulama besar, Syeikh Muhammad Arsyad, telah memperkenalkan
hukum pembagian harta waris antara suami-isteri berdasarkan adat yang disebut "Adat
Perpantangan". Menurut adat ini harta peninggalan almarhum dibagi dua terlebih dahulu
antara suami dan isteri. Setelah itu harta hasil pembagian ini baru dibagi berdasarkan
hukum waris Islam. Pemikiran hukum ini dilakukan dalam rangka merespons tradisi
masyarakat Banjar, di mana para isteri di sana juga bekerja bersama suaminya. Maka harta
yang terkumpul akibat perkawinan keduanya menjadi harta bersama. Cara pembagian
seperti ini telah menjadi bagian dari sistem hukum waris di Indonesia dengan sebutan harta
"gono-gini", menggantikan sistem pembagian "sepikul-segendong".19 Ini artinya, hukum
adat bisa diakomodir oleh hukum Islam dan hukum Islam sangat bisa berintegrasi dengan
hukum adat.
Kenyataan-kenyataan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa multikulturalisme telah
mendapat apresiasi yang kuat dalam Islam. Di samping itu, apabila Islam ditelaah lebih
mendalam pasti juga akan ditemukan nilai-nilai multikultural yang kompatibel dengan

18

Ibid.
Husain Muhammad, “Multikulturalisme dan Syari’at Islam,” makalah, disampaikan pada diskusi
“Multikulturalisme vs Syari’at Islam” di Serang Banten. Makalah ini bisa diakses lewat http://fahmina.or.id.
19

8

ajaran-ajaran Islam. Sebab Islam sendiri adalah agama yang cinta damai dalam meramu
keberagaman.
Dilihat dari sisi bahasa, kata ‘Islam’ itu sendiri artinya damai. Nilai-nilai multikultural di
dalam agama Islam yang dimaksud adalah seperti pluralisme, kesetaraan, kemanusiaan,
penghormatan, keadilan dan sebagainya. sejatinya jauh sebelum wacana ini mencuat di
dunia Barat, Islam telah berbicara tentang hal tersebut. Satu ayat yang sangat representatif
dalam konteks ini adalah firman Allah SWT:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurât
[49]: 13).
Pemilihan uslub nida’ (gaya bahasa ‘memanggil’) yâ ayyuhâ an-nâs (hai manusia) dan
yang dipanggil adalah manusia (naas) dalam ayat tersebut mengindikasikan bahwa ayat ini
bersifat universal (‘amm), mencakup semua unsur manusia, tanpa melihat jenis kelamin,
warna kulit, bentuk tubuh, bahasa, dan keyakinan mereka. Sementara lafadz syu’ûb
(bangsa-bangsa) dan qabâil (suku-suku) menunjukkan bahwa manusia diciptakan dan
dipisah-pisah ke dalam beberapa kelompok masyarakat, ada yang masuk dalam komunitas
besar (sya’b), juga ada yang masuk dalam komunitas kecil (qabîlah). Keberbedaan
komunitas dan kelompok masyarakat ini meniscayakan adanya keragaman dan
keberbedaan dalam kultur, bahasa, dan peradaban.
Tujuan dari itu semua hanyalah satu yaitu li ta’ârafû (agar saling kenal mengenal). Kata
ta’âruf mengikuti wazan tafâ’ala-yatafâ’alu-tafâ’ulan yang memiliki fungsi saling
(resiprokal) membantu dan saling menguntungkan. Pesan yang terkandung di balik ayat
tersebut adalah bahwa melalui kegiatan perkenalan (ta’âruf), diharapkan akan terjadi
proses saling memberi dan menerima (take and give) dan bersikap arif (‘arif). Dengan
demikian, kedua belah pihak (antara satu bangsa dengan bangsa lain, atau antara suku satu
dengan suku lain) sama-sama menjadi subjek dan pelaku yang aktif, tidak ada diskriminasi,
subordinasi dan alienasi. Ayat ini bisa menjadi landasan bagi tumbuhnya kesadaran
multikultural di dalam Islam.
Islam selain memberikan landasan umum juga memberikan konsep-konsep atau ajaranajaran yang memerinci landasan umum tersebut. Berikut adalah perincian tentang konsep
atau ajaran Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai multikultural beserta dalil-dalil
normatifnya.

Pluralisme
Tidak seorangpun di dunia ini yang dapat menolak sebuah kenyataan bahwa alam semesta
adalah plural, beragam, berwarna-warni dan berbeda-beda. Keberagaman adalah hukum

9

alam semesta atau Sunnatullah. Dengan kata lain keberagaman merupakan kehendak Allah
dalam alam semesta. Al Qur’an menyatakan dengan jelas mengenai hal ini:
D
" i antara bukti kemahabesaran dan kemahabijaksanaan Tuhan adalah bahwa Dia
menciptakan langit dan bumi, dan menciptakan keberagaman bahasa dan warna
kulit manusia. Realitas ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi orangorang yang mengerti (li al 'alimin/ulu al-ilm)" (Q.S. al-Rum [30]; 22).
Dalam bacaan (qira’at) lain disebutkan: "li al 'alamin"(dzawi al 'uqul/bagi ciptaaan Tuhan
yang mempunyai pikiran/seluruh manusia). Muhammad Thahir bin 'Asyur menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan perbedaan bahasa adalah perbedaan berpikir dan berekspresi
(ikhtilaf al tafkir wa tanwi' al-tasharruf).20
Pluralisme di dalam al-Quran sudah disebutkan sejak penciptaan manusia. Tuhan sebagai
Dzat yang transenden menciptakan manusia dari sepasang laki-laki dan perempuan, dan
dari keduanya dijadikanlah manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa (QS al-Hujurat
[49]:13). Jadi secara natural manusia diciptakan oleh Tuhan sangat variatif dan berbeda.
Mengapa Tuhan sebagai Dzat yang Maha Tahu tidak menciptakan manusia dalam satu
rumpun suku yang homogen? Selain untuk menguji manusia untuk berlomba-lomba
menunjukkan usaha dan pengabdian terbaiknya (fastabiqul khairat) kepada Tuhan di dunia
yang plural, tujuan utama penciptaan manusia yang berbeda-beda adalah untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan saling memahami. Bukankah dengan adanya
perbedaan mendorong manusia untuk bertanya, menganalisa dan mencoba berpikir keras
untuk saling memahami? Perbedaan juga menuntut manusia untuk saling mempromosikan
harmonitas dan kerjasama. Tuhan menciptakan manusia dalam bentuk yang berbeda bukan
sebagai sumber perpecahan atau polarisasi masyarakat.
Sikap dan pandangan Al-Qur’an tentang pluralisme di atas dipraktikkan oleh Nabi
Muhammad SAW dan dideklarasikan sebagai prinsip kehidupan bersama dalam komunitas
masyarakat bangsa. Sebagaimana diketahui bersama bahwa ketika Nabi Muhammad SAW
tiba di Madinah (Yatsrib), beliau melihat sebuah realitas masyarakat yang plural baik dari
aspek kesukuan maupun keyakinan keagamaan. Madinah (Yatsrib) ketika itu terdiri dari
pemeluk tiga agama besar: Muslimin, Musyrikin dan Yahudi. Muslimin terdiri dari Anshar
dan Muhajirin. Golongan Yahudi terdiri dari bani Nadir, bani Qainuqa dan bani Quraizah.
Sementara golongan musyrik adalah orang-orang Arab penyembah berhala.
Di tengah kemajemukan masyarakat tersebut Nabi SAW membangun sistem sosial yang
isinya mencakup bagi tiga golongan tersebut. Sistem ini kemudian dikenal dengan
Shahifah Madinah (Piagam Madinah) atau Constitution of Madinah. Inilah konstitusi
pertama di dunia tentang hak-hak asasi mansia. Piagam ini pada intinya merupakan
perjanjian hidup bersama dalam kedamaian dan saling menghormati di antara penduduk
Madinah, terlepas dari latar belakang identitas sosial dan keyakinan agama mereka.
Piagam ini juga memberikan jaminan beragama bagi segenap penduduk Madinah. Pada
pasal 25 piagam ini ditegaskan: “Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orangorang Islam agama mereka.” Piagam ini juga memuat mekanisme atau tata cara yang harus
dilakukan dalam hubungan antar pemeluk agama. Pasal 37 menjelaskan: “orang-orang
20

Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir at-Tahrir wa al-Tanwir, Juz xxi , Tunisia: al-Dar al-Tunisiyyah lin
Nasyr, tanpa, tahun, hal. 34.

10

muslim dan orang-orang Yahudi perlu bekerjasama dan saling menolong dalam
menghadapi pihak musuh.” Pasal 44 menegaskan: “Semua warga harus saling bahu
membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib.”
Secara singkat pokok-pokok pikiran dalam piagam ini meliputi persatuan dan kesatuan
bangsa, persamaan dan keadilan, kebebasan beragama, pertahanan keamanan negara,
pelestarian adat istiadat atau kultur yang baik, supremasi hukum dan politik damai dan
prokteksi. Dari sejarah tersebut terlihatlah bahwa pluralisme dalam Islam sudah ada sejak
dahulu.
Persamaan (Equality)
Al-Quran juga menekankan bahwa manusia di dunia, tanpa memandang perbedaan suku
dan ras, disatukan dalam ketaatan mereka kepada satu Tuhan Sang Pencipta. Dalam ayat
yang lain, Al-Quran menekankan prinsip persatuan dalam perbedaan (unity in diversity).
“Sungguh komunitasmu adalah komunitas yang satu dan Aku adalah Tuhan-mu, maka
mengabdilah kepada-Ku” (Q.S. al-Anbiya’ [21]:92). Penekanan tentang pesan Tuhan yang
universal, bahwa tugas seluruh manusia adalah mengabdi kepada Tuhan, dengan jelas
tercermin dalam Al-Qur’an., yang menyebutkan bahwa perintah pengabdian kepada Tuhan
adalah pesan Tuhan kepada seluruh manusia, tak ada satu orang atau satu bangsa pun yang
tertinggal (QS. Fathir [35]:24).
Al-Quran juga mengakui adanya umat sebelum Muhammad dan kitab suci mereka.
Berulangkali Al-Quran mengkonfirmasikan bahwa kebenaran yang ada pada kitab-kitab
sebelum Muhammad adalah datang dari Tuhan yang sama, dan Al-Quran adalah wahyu
Tuhan terakhir yang bersifat penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya:
“Katakanlah bahwa kami beriman kepada Tuhan dan kepada kitab yang
diturunkan-Nya, kami juga beriman kepada kitab yang telah diturunkan kepada
Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan kami juga beriman kepada apa yang telah
diturunkan kepada Musa, Isa dan nabi-nabi yang lain. Kami tidak membuat
perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya dan hanya kepada Allahlah kami
beribadah (QS. Ali Imran [3]:84).
Adapula pernyataan Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan pada semangat persamaan.
Nabi Muhammad mengatakan: “Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, kecuali
karena ketaqwaannya.” Nabi SAW juga pernah mengatakan “Allah tidak melihat kalian
dari tubuh dan wajah kalian, melainkan pada hati dan perbuatan kalian.”
Pengertian taqwa dijelaskan secara luas dalam Al-Qur’an. Ia tidak semata-mata berarti
tekun dalam menjalankan ibadah-ibadah individual, melainkan juga berarti kerja-kerja
sosial yang baik, menegakkan keadilan, menyantuni fakir miskin dan anak-anak yatim,
menghargai orang lain dan kerja-kerja kemanusiaan dalam arti yang luas.

Toleransi
Dalam merespons keberbedaan dan keragaman budaya, suku, bangsa, bahasa, agama,
Islam menawarkan sebuah konsepsi berupa toleransi. Secara etimologis, kata tolerasi

11

berasal dari bahasa Belanda, ”tolerantie”, yang kata kerjanya adalah ”toleran.” Atau
berasal dari bahasa Inggris ”toleration” yang kata kerjanya adalah ”tolerate”. Toleransi
juga berasal dari bahasa latin, ”tolerare” yang berarti menahan diri, sabar, membiarkan
orang lain, dan berhati lapang terhadap pendapat yang berbeda. Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, toleran mengandung pengertian bersikap menghargai pendirian yang berbeda
dengan pendirian sendiri.21 Dari pengertian tersebut kiranya dapat dimengerti bahwa
toleransi adalah rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati antara satu dengan
yang lain dengan tetap menjunjung tinggi rasa persatuan dan persaudaraan demi
mewujudkan kehidupan yang damai, tentram dan bahagia.
Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut dengan istilah ”tasâmuh”22 yang artinya sikap
membiarkan, lapang dada, murah hati, dan suka berderma. Jadi, toleransi (tasamuh) adalah
menghargai dan menghormati keyakinan atau kepercayaan atau budaya dan kultur
seseorang atau kelompok lain dengan sabar dan sadar. Yang perlu dicatat adalah bahwa
toleransi tidak berarti ikut membenarkan keyakinan atau kepercayaan orang lain, tapi lebih
kepada menghargai dan menghormati hak asasi yang berbeda. Penerapan nilai-nilai
toleransi dalam Al-Quran sudah dicontohkan oleh Rasul Muhammad SAW ketika pertama
kali hijrah ke Madinah.23
Sejarah mencatat bahwa Rasul SAW bukan hanya mampu mendamaikan dua suku Aus dan
Khazraj yang senantiasa bertikai, tetapi juga mampu menerapkan jargon “no compulsion in
religion” terhadap masyarakat Madinah ketika itu. Tradisi toleransi beragama ini
dilanjutkan oleh Khulafaur Rashidin pasca Rasul SAW wafat. Sebagai contoh, sejarah
mencatat bagaimana Ali bin Abi Thalib sangat menekankan dan menghargai kebebasan
beragama ketika dia menjadi khalifah keempat. Dalam salah satu suratnya kepada Malik
al-Ashtar yang ditunjuk Ali menjadi Gubernur Mesir, dia mencatat “Penuhi dadamu
dengan cinta dan kasih sayang terhadap sesama, baik terhadap sesama Muslim atau nonMuslim.”24
Lebih jauh Al-Quran menghormati dan mengakui adanya ahlul kitab, sehingga apabila ada
keraguan pada diri Muhammad tentang penunjukkan dirinya sebagai Nabi dan Al-Quran
sebagai wahyu, Muhammad dipersilahkan untuk bertanya kepada para Ahli Kitab
sebagaimana yang dinyatakan dalam (QS. Yunus [10]:94:
“Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang
Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca
Kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari
Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang raguragu.”
Dan juga Q.S. al-‘Ankabut [29]:46):
21

Hari Setiawan, Kamus Bahasa Indonesia, Surabaya: Karya Gemilang Utama, 1996, hal. 330.
Ibnu Manzhûr, Lisân al-‘Arab, Bairut: Dâr Shâdir, 1998, hal. 95.
23
Penjelasan lebih mendalam tentang kegiatan yang dilakukan Rasulullah selama di Madinah dapat dilihat
dalam Abdul Muhdi Abdul Qadir, As-Sîrah an-Nabawîyah fî Dhau’ al-Kitâb wa as-Sunnah, Kairo:
Universitas Al-Azhar, 2005, hal. 125-142.
24
Zakiyuddin Baidhawy, “Ber-Islam Di Era Multikulturalisme,” dalam www.islamlib.com., 7 Juni 2004.
22

12

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara
yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka dan
katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu;
dan kami hanya kepada-Nya berserah diri".
Dalam hal toleransi dan kebebasan beragama dengan jelas Al-Quran menyebutkan bahwa
tidak ada paksaan dalam beragama (QS al-Baqarah [2] :256) dan dalam hal praktik
keagamaan Al-Quran menyebutkan bahwa “untukmu agamamu dan untukku agamaku”
(QS al-Kafirun [109]:6).
Kemanusiaan
Bahwa Allah menciptakan manusia di dunia ini secara sama dan nilai-nilai
kemanusiaannya dijamin oleh Allah, yakni melindungi kehormatan, nyawa dan harta benda
manusia. Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa Rasul Muhammad memberi khotbah di
hadapan sekitar 15.000 orang Islam di Mekah. Yang menarik, dalam khotbah itu, Rasul
menyeru kepada umat manusia (dengan menggunakan uslub nida’ “ayyuhan naas” [wahai
manusia]), bukan umat muslim saja.
Dalam khutbah tersebut, Rasul Muhammad mengatakan bahwa semua manusia, tanpa
memandang agama, suku, dan atribut primordial lain, diciptakan Allah sebagai makhluk
dengan derajat yang paling tinggi dan barang-barang milik manusia diberikan sebagai
penunjang kehidupan. Karena semua manusia merupakan ciptaan Tuhan, maka
pembunuhan, gangguan, atau perusakan terhadap manusia dan harta miliknya merupakan
penghinaan terhadap penciptaan mereka. Jadi, membunuh orang Kristen pada dasarnya
sama dengan membunuh orang Muslim karena pencipta mereka adalah sama. Demikian
juga membakar gereja atau Al-Kitab sama dengan membakar masjid atau Al-Quran karena
semua itu diberikan Tuhan untuk mendukung kehidupan manusia. Bahkan di dalam ayat
lain dengan tegas diibaratkan bahwa membunuh satu manusia saja yang tidak berdosa
bagaikan membunuh seluruh manusia di muka bumi ini, (QS Al-Maidah: [5] 32).
Allah juga memerintahkan kaum muslimin untuk berbuat baik (menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan) dan bertindak adil kepada mereka, sepanjang mereka tidak melakukan
penyerangan dan pengusiran. Al-Qur’an menegaskan:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orangorang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orangorang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu
dan membantu “yang lain” untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan
mereka sebagai kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. AlMumtahanah, [60]:7-8).
Itu semua merupakan gagasan besar tentang kemanusiaan (humanisme) yang diberikan
Islam. Pandangan kemanusiaan dalam Islam tidak lain adalah cara melihat manusia/orang

13

sebagai manusia/orang, apapun identitas dirinya, yang harus dihormati dan dihargai,
sebagaimana Tuhan sendiri menghormati dan menghargainya.
Dari sini kiranya dapat disimpulkan bahwa wacana multikultural sangat kompatibel dengan
peradaban Islam dan prinsip-prinsip Islam yang telah digariskan di dalam teks agama, baik
Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Sayangnya, di antara umat Islam ada yang tidak mau menerima kenyataan pluralitas dan
multikulturalitas ini. (Sebelum kalimat ini mungkin perlu diuraikan sebelumnya tentang
sekelompok orang Islam yang tidak toleran terhadap non-Islam!!!) Sekelompok umat Islam
dikejar ambisi untuk menyatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan politik, padahal
tidak pernah berhasil sepanjang sejarah, kecuali pada masa Nabi Muhammad SAW.
Kelompok ini ingin memperjuangkan Islam sebagai satu agama yang harus sama dalam
segala aspeknya. Namun mereka lupa bahwa mereka sendiri adalah produk sejarah lokal
dan produk sejarah masa kini. Mereka lupa bahwa pakaian yang mereka pakai, bentuk
tulisan kitab suci yang mereka baca, tulisan hadis yang mereka pelajari, fiqih ibadah dan
fiqih muamalat yang mereka ikuti semuanya memiliki dimensi sejarah. Mereka juga lupa
bahwa hanya dengan adaptasi dan akomodasi kebudayaan, Islam mampu diterima oleh
berbagai lapisan masyarakat. 25 Dan inilah yang dilakukan oleh pesantren selama bertahuntahun.
Pesantren adalah lembaga yang melestarikan nilai-nilai ajaran Islam. Ruh pesantren tidak
akan lepas dari misi Al-Qur’an dan hadis sebagai dalil naqli mereka. Meskipun begitu nilai
normatif agama dalam pesantren tentu tidak bisa dilepaskan dari wacana dan gerak praksis
kehidupan sehari-hari mereka. Hal inilah yang menyebabkan pesantren bisa diterima oleh
masyarakat karena dianggap lebih toleran dan fleksibel, mengerti perasaan dan jiwa
masyarakat.
Pesantren: Miniatur Masyarakat Multikultural
Pondok pesantren diakui sebagai sistem pendidikan tertua. Ia memiliki sejarah panjang di
negeri ini. Sejarah perkembangan pesantren itu sendiri tidak bisa dipisahkan dari sejarah
perkembangan Islam Nusantara. Bahkan geneologi sistem pendidikan pondok pesantren
dapat ditelusuri dari masa sebelum masuknya Islam di Indonesia.
Ketika Indonesia memasuki babak kemerdekaaan, keberadaan pesantren kebanyakan
masih berada di wilayah pinggiran atau pedesaan. Seiring dengan perkembangan
pembangunan di Indonesia, pondok pesantren mengalami perkembangan yang pesat.
Pesantren kini mengalami banyak kemajuan, misalnya madrasah-madrasah di lingkungan
pesantren semakin mengejar ketertinggalannya dengan sekolah-sekolah umum. Dalam hal
ilmu agama, pesantren memang menjadi basis bagi identitas moral. Pondok pesantren telah
masuk dalam bagian yang tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional, sebagaimana
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

25

Muhammad Ali, “Peradaban Islam yang Multikultural,” dalam Republika, 11 Oktober 2002, hal. 5.

14

Jumlah Pondok pesantren di Indonesia kini telah mencapai 14.656 dengan jumlah santri
3.369.103 (Data 2005).26 Jumlah tersebut secara garis besar bisa dikategorikan ke dalam
tiga kelompok besar: 27
1.
Pesantren modern yang bercirikan memiliki managemen dan administrasi dengan
standart modern, tidak terikat pada kyai sebagai figur sentral, pola dan sistem
pendidikan modern dengan kurikulum tidak hanya ilmu agama tetapi juga pengetahuan
umum, sarana dan bentuk bangunan pesantren lebih mapan dan teratur. Pesantren
dengan corak ini mencapai 1.172.
2.
Pesantren Tradisional bercirikan tidak memiliki managemen dan administrasi
modern, sistem pengelelolaan berpusat pada aturan yang dibuat kyai dan diterjemahkan
oleh pengurus pondok, terikat pada figur kyai, pola dan sistem pendidikan bersifat
konvensional berpijak pada tradisi lama, pengajaran bersifat satu arah dan bangunan
asrama tidak tertata rapi, masih menggunakan bangunan kuno dan bangunan kayu.
Pensantren tradisional ini mencapai 9.105 pesantren.
3.
Pesantren Semi-modern, paduan antara tradisional dan modern. Bercirikan nilainilai tradisional yang masih kental dipengang, kyai masih menempati figur sentral,
norma dan kode etik pesantren klasik tetap menjadi standar pola relasi dan norma
keseharian. Tetapi mengadaptasi sistem pendidikan modern dan sarana fisik pesantren.
Jumlah pesantren dengan corak ini mencapai 4.379 pesantren.
Tiga kategori ini pada dasarnya menunjukkan bahwa pesantren tidak bisa digolongkan
dalam satu jenis saja. Ia beragam dan variatif dalam menyikapi tantangan modernisasi. Di
samping itu, hal ini juga menunjukkan bahwa telah terjadi pluralisme di dunia pesantren.
Pesantren tidak lagi mencerminkan realitas yang tunggal sebagaimana pada awal-awal
pertumbuhannya. Telah terjadi perubahan nilai, pola, pemahaman dan ideologi dalam
dunia pesantren.
Sebagai sebuah kembaga pendidikan yang unik, pesantren memiliki elemen-elemen
penting,28 yakni, pertama, pondok. Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat
sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya. 29 Di Jawa,
besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil
dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas
dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri,
asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki. Komplek sebuah
pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk
perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian
dan atau lahan pertenakan.
Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh
penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan. Salah satu
26

Amin Haedari, “Pengantar,” dalam Direktori Pesantren, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren, Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia 2006, hal. iii.
27
Pembagian pesantren ini dan juga jumlahnya didasarkan pada Direktori Pesantren, hal. iii. Sedangkan ciriciri atau karakteristiknya didasarkan pada karya Hamdan Farchan, Titik Tengkar Pesantren: Resolusi Konflik
Masyarakat Pesantren, Yogyakarta: Pilar Religia, 2005, hal. 1-2.
28
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1994,
Cet. 6, hal. 44-56.
29
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, hal. 142.

15

niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri ad