Perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia Periode 1990-1998

(1)

Periode 1990-1998

Skripsi ini Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh:

Tauhid Hudini 20403320310328

Pembimbing

Dra, Haniah Hanafie, M. Si NIP. 19610524 200003 2 002

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1429 H/2009 M


(2)

Skripsi berjudul “PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT

ISLAM di INDONESIA PERIODE 1990-1998”, telah diujikan dalam sidang

munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 Juni 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, …. 2008 Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A NIP. 150 232 921 NIP. 1969 0822 199703 1 002

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. Sirojudin Ali, MA Dr. M. Amin Nurdin, MA

NIP. 150 299 478 NIP. 150 262 447

Pembimbing,

Dra, Haniah Hanafie, M. Si NIP. 19610524 200003 2 002


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan

dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 26 Juni 2009


(4)

Skripsi berjudul “PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT

ISLAM di INDONESIA PERIODE 1990-1998”, telah diujikan dalam sidang

munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 25 Juni 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, …. 2008 Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A NIP. 150 232 921 NIP. 1969 0822 199703 1 002

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. Sirojudin Ali, MA Dr. M. Amin Nurdin, MA

NIP. 150 299 478 NIP. 150 262 447

Pembimbing,

Dra, Haniah Hanafie, M. Si NIP. 19610524 200003 2 002


(5)

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Judul Skripsi “Perubahan Hubungan Militer dengan Umat Islam di Indonesia Periode 1990-1998”

Skripsi ini menelaah tentang hubungan Islam dan militer di Indoneisa. Fenomena ini yang diambil sebagai studi kasus adalah peristiwa yang berlangsung selama masa tahun 1990-1998. Hal ini didasarakan pada asumsi bahwa pada masa tersebut berlangsung perubahan hubungan yang lebih baik diantara keduanya.

Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal tahun 1990-an terjadi perubahan hubungan yang lebih baik antara umat Islam dengan militer. Pada masa itu, hubungan antara kedua kekuatan (Islam dan Militer) tersebut mengalamai kelenturan. Ketegangan yang berlangsung sejak awal 1970-an terlihat mulai mencair. Ada kedekatan-kedekatan hubungan, khususnya antara jajaran elit militer dengan elit umat Islam.

Kedekatan tersebut disebabkan oleh banyak factor. Secara umum factor tersebut dapat diklarifikasikan dalam dua kategori, yaitu factor internal dan factor eksternal. Factor internal yang mendorong terjadinya perubahan antara kaum umat Islam dengan kalangan militer adanya tranpormasi orientasi y ng berlangsung baik di dalam kelompok Islam maupun militer. Di kalangan umat Islam berlangsung perubahan orientasi politik dari legalistic-formalistik, yaitu orientasi yang ingin menegakan Islam secara legal (konstitusional) dan formal (institusional) dalam tatanan bernegara yang pluralistic ini, ke orientasi substansialistik, yaitu oreantasi yang meletakan Islam sebagai ajaran universal yang harus di sosialisasikan


(6)

persamaan dan musyawarah.

Perubahan orientasi ini menjadi peretas bagi keinginan sebagain umat Islam untuk menampilkan Islam sebagai legal formal yang tidak disukai ileh militer. Mereka yang mempermasalahkan secara jelas-jelas terhadap azas tunggal Pancasila mulai berkurang. Lebih dari itu, muncul wacana yang melihat adanya korelasi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya perilaku politik yang lebih substantive itu menjadi perekat relasi militer dengan Islam.

Begitu juga dikalangan milter muncul perubahan persepsi tentang SIslam yang radikal, anti integrasi, dan ancaman bagi stabiltas Negara. Hal ini terjadi terutama disebabkan oleh naiknya militer yang mempunyai latar belakang pemahaman keIslaman yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah militer santri. Para militer muslim ini memandang Islam sebagai bagian dari Saptamarga yang harus diejahwantahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara yang menjadi factor eksternal bagi terjadinya perubahan hubungan umat Islam dengan militer adalah adanya kebijakan Negara (political will) yang akomodatif baik terhadap umat Islam maupun terhadap militer yang memiliki latar belakang keislaman yang baik. Kepentingan politik Negara (penguasa) terhadap umat Islam dan militer muslim ini telah memungkinkan munculnya titik temu antara umat Islam dengan militer.

Di samping itu, tuntutan global yang menghendaki adanya proses demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia diberbagai Negara juga ikut menjadi factor pendorong bagi perubahan politik yang berlangsung di


(7)

terjadi di Indonesia menjadi sorotan internasional. Tidak jarang berbagai pelanggaran itu mengundang ancaman terhadap kelangsungan kerjasama Indonesia dengan dunia internasional. Kenyataan ini telah memaksa Negara untuk memperhatikan dan membiarkan proses demokratisasi itu berjalan di negeri ini.

Berbagai factor itulah yang mempertemukan umat Islam dengan militer, khususnya sejak awalt hun 1990-an. Secara politik, keduanya dipertautkan oleh adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Tidak berlebihan apabila seorang Indonesianis, Harold Crouch menggambarkan semarak keagamaan yang muncul di lingkungan militer pada awal tahun 1990-an sebagai fenomena baru yang belum terlihat pada masa sebelumnya.


(8)

panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang telah menampakan sifat keagunganNya kepada para kekasihNya, yang menyinari segenap hati dengan persaksian sifat- sifat kesempurnaanNya, dan yang memperkenalkan kepada umatNya melalui kucuran nikmat rakhmat dan anugerah hidayahNya. Sebagai mahabah rasa syukur penulis atas segala rakhmat, nikmat, taufik dan hidayahNya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. skripsi ini merupakan salah satu Tugas Akhir dalam kurikulum jenjang pendidikan sarjana pada jurusan Pemikiran Politik Islam,

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA.

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan, bantuan dan bimbingan hingga terselesaikannya skripsi yang penulis beri judul PERUBAHAN HUBUNGAN MILITER DENGAN UMAT ISLAM DI INDONESIA Periode 1990-1998.

Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa- apa apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya haturkan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku

Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dra, Haniah Hanafie, M. Si selaku Dosen Pembimbing atas semua dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan.

7. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo (Fakultas FISIP UI), Perpustakaan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dan Perpustakaan Pusat Sejarah TNI, yang banyak memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur yang tersedia dan juga yang rela “menunggui” penulis hingga larut.

8. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada orang yang telah memberikan dan mengorbankan segala materi dan dukungan moral kepada penulis, Ayahanda H. Muahmmad Anwar, H. Emir dan Ibunda Hj. Lina. I Love You. Dan seluruh keluarga besar di Karawang, terimakasih atas segala curahan perhatian dan bantuannya. Dan mereka semua layak mendapat balasan surga dari Allah swt.


(10)

dalam setiap jejak langkah yang akan ditempuhnya.

9. Adik ku satu-satunya Yogi yang suka ngeselin tapi tetap menjadi motivasi ku, terimakasih untuk segala do’anya semoga kita berdua menjadi anak yang sukses dan bertanggung jawab.

10. Kepada Laily Wulandari, Sinta Rahmawati, mereka semua tak pernah lelah memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik, yang selalu memberikan kasih sayangnya, selalu memberikan motivasi belajar, mendo’akan, tak pernah bosan membantu.

11. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Saiman (Medan), Sofian (Banten), Pujiono (Gresik), Iskak (Jateng), Tsani (Bekasi), Zulfikar (Bogor), Indra (Bekasi), Rei (Tangerang), Isti (Bekasi), Yulita (Lampung), Buhari (Ternate), Ucup (Betawi), Sa’di (Madura), Hudori (Betawi), Muhsin (Betawi), Aziz (Jawa), Fadil (Aceh), Galo (Batam), Iin Solihin (Banten), Ijudin (Betawi), Asep (Solo), Awe (Ciputat), Surono (Kebumen), Hadi (Betawi), Nyit-nyit (Thailand) dan semua sahabat, teman-teman seperjuangan. Keyakinan dan kesungguhan merekalah yang menjadi sumber inspirasi penulis. 12. Rekan-rekan yang tergabung dalam organisasi intra dan ekstra

kampus, rekan-rekan aktivis. Terimakasih atas jalinan persaudaraannya, semoga cita-cita kita semua segera terengkuh.

13. Gemintang, rembulan, lampu-lampu jalan, hembusan angin, hujan, debu dan sinar matahari dan balutan semesta malam yang selalu setia


(11)

Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini, yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.


(12)

KATA PENGANTAR………...ii

DAFTAR ISI ……….v

BAB I. PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah ...…1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...14

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...14

D. Studi Kepustakaan...15

E. Metodologi Penulisan...18

F. Sistematika Penulisan...19

BAB II. KEBERADAAN UMAT ISLAM DI PENTAS POLITIK……...21

A. Pergerakan Politik Umat Islam pada masa Penjajahan.………..21

A.1 Pandangan dan Perilaku Kebangsaan SI………..27

A.2. Islam dan Soal Kebangsaan……….28

A.3. Peletak Dasar Identitas Kebangsaan dan Perlawanan…….33

A.4. Icon Pembebas dan Emansipsi kaum Bumiputera………...37

A.5. Pendorong Persaudaraan dan Solidaritas Anak Bangsa…..41

A.6. Persoalan Pembebasan dan Emansipasi………...43

B. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Parlementer………...44

B.1. Kabinet Natsir 1950-1951………...44

B.2. Kabinet Soekiman Wirdjosendjojo……….45

B.3. Kabinet Wilopo-Prawoto 1952-1953………..46

B.4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I dan II………...46

B.5. Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1959………47

B.6. Nasib Majelis Konstituante………48 C. Pergerakan Politik umat Islam pada masa Demokrasi Terpimpin.


(13)

(PDII).

D.2. Gagalnya Rehabilitasi Partai Masyumi dan Berdirinya Parmusi

D.3. Peran Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

BAB III. PERUBAHAN HUBUNGAN UMAT ISLAM DENGAN

MILITER SEBELUM TAHUN 1990-1998………

A. Penyingkiran Symbol-simbol ... B. Peminggiran Islam Politik……… C. Islam dan Militer Sebuah Sejarah Pasang Surut

BAB IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN ANTARA UMAT ISLAM DAN MILITER

A. Kebangkitan Nilai-nilai Islam ... ... B. Pergeseran Jabatan Militer pada Awal Tahun 1990-an………. C.

Hubungan Baru Islam dengan Militer………

BAB V. PENUTUP... A. Kesimpulan ... B.

Saran ...


(14)

A. Latar Belakang

Hubungan antara ABRI/TNI dan umat Islam sejak awal masa revolusi kemerdekaan mengalami dinamika dan romantika yang sangat menarik perhatian banyak kalangan. Dua kelompok masyarakat tersebut di Indonesia memang memiliki kekhasan (keunikan), tradisi, dan budaya sendiri-sendiri.1 Namun keduanya tetap memiliki orientasi dan prinsip yang sama dan tunggal dalam kehidupan bernegara, yaitu dalam bentuk kebangsaan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa umat Islam secara prinsipil senantiasa mempunyai komitmen dalam bidang pertahanan dan keamanan Negara, sehingga partnership antara kedua kelompok tersebut merupakan kekuatan nasional yang solid dan mantap dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasional. Dengan kata lain, keduanya saling melengkapi dan saling memperkuat. Dalam konteks inilah maka penerimaan dan pengakuan umat Islam terhadap dwifungsi ABRI/TNI adalah prinsipil dan hakiki.

Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah Islam, Umar bin Khathab adalah seorang perwira militer pada zaman Rasulallah Saw. Dia adalah seorang panglima perang, seorang jenderal. Ketika Rasulallah Saw meninggal dunia, diceritakan

1

Yahya A. Muhaimin adalah doctor ilmu politik dan dosen di FISIPOL Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Karyanya antara lain, Masalah-masalah Pembangunan Politik (sebagai editor), Perkembangan Militer di Indonesia 1945-1966, dan yang sempat menggemparkan – Bisnis dan Politik. Dia sebut-sebut sebagai seorang ahli dalam mengamati perkembangan militer di kancah perpolitikan di Indonesia


(15)

dalam sebuah tarikh,2 bahwa jenderal Umar bin Khathab sedang berada di pasar. Dia sedang berdagang atau sedang melakukan fungsi di bidang ekonomi.

Dari cerita tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa “dwifungsi militer” di dalam Islam adalah fakta, bukan “rekaan”. Karena itu penerimaan dwifungsi ABRI oleh umat secara prinsipil adalah social-politik pada masa modern sekarang berbeda dengan kehidupan militer dan system social-politik Islam pada masa Rasulallah Saw memang sesuatu yang real. Dan kedua hal tersebut memerlukan modifikasi dan penyesuaian-penyesuaian pada tingkat praktis pada masyarakat modern saat ini.

Peranan dan pengaruh umat Islam dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia hingga sekarang mengalami fluktuasi yang cukup besar. Kita semua megetahui bahwa pada masa revolusi menegakan Republik Indonesia, umat Islam memberikan sumbangan dan pengabdian yang sangat besar dengan komitmen kebangsaan yang amat kuat. Konsep yang menekankan bahwa revolusi itu hanya dilakukan oleh TNI, sesungguhnya tidak tepat. Karena jika dilihat pada sejarahnya, rakyatlah berjuang. Perlawanan atau revolusi rakyat yang menekankan pada nasionalisme sudah dimulai sejak tahun 1908 dengan berdirinya Budi Utomo yang di pimpin oleh Dr. Soetomo. Kemudian di ikuti oleh organisasi kemasyarakatan, seperti Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh K.H. Samanhudi,3 Sarekat Islam yang dipimpin oleh Cokroaminoto,4 Partai Nasional

2

Kisah tarikh ini diterima oleh penulis dari seorang ulama di daerah, yaitu KH Abdul Kafie pada tahun 1986

3

Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh K.H. Samanhudi pada tahun 1911 adalah sebuah perkumpulan yang mula-mula tidak sebagai partai politik. Perkumpulan ini didirikan oleh golongan menengah dengan maksud untuk mempertinggi kehidupan ekonomi


(16)

Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno dan lainnya. Mereka-mereka inilah yang telah memulai dan mempelopori perlawanan terhadap penjajahan. Kemudian setelah merdeka, barulah ada perlawanan bersenjata. Karena sebelum kemerdekaan, cikal bakal tentara nasional di kemudian hari pada dasarnya masih menjadi tentara KNIL atau Belanda, PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho. Kalaupun ada perlawanan bersenjata pada waktu kemerdekaan adalah lascar- laskar, seperti Hizbullah,5 Anshar, BPRI, Kesatuan Kristen, dan lainnya.

Percaturan Islam dengan ABRI/TNI tidak bisa terpisahkan dengan sejarah proklamasi dan dimulainya Orde Baru. Pada waktu kemerdekaan, timbul BKR yang kemudian menjadi TKR, dan akhirnya berubah menjadi TNI. Di samping itu ada juga lascar-laskar atau rakyat bersenjata seperti Hizbullah, Anshar, Kesatuan

rakyat, terutama untuk menghadapi bangsa Cina yang menguasai perdagangan perantara (Lihat, Leksikon Islam , penerbit Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988, h. 660)

4

Sarekat Islam (SI) merupakan kelanjutan SDI yang corak dan haluannya di ubah menjadi partai politik, ini terjadi pada tahun 1912 dan kempemimpinannya diserahkan pada H. Oemar Said Cokroaminoto, seorang keturununan bangsawan yang berjiwa democrat. SI memperoleh pengaruh besar di kalangan rakyat. Tidak lagi membatasi kegiatannya pada kepentingan dan kegiatannya pada golongan menengah saja, tetapi campur tangan juga pada perubahan-perubahan upah, sewa tanah, dan perburuhan. Pada tahun 1923, SI terpecah menjadi SI merah (yang terpengaruh oleh paham komunis) dan SI putih. Dan pada tahun 1923 pula SI berubah nama menjadi Partai Sarikat Islam, dan pada awal 1929 berganti nama lagi menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) (lihat Ibid., h. 661)

5

Secara harfiah berarti pasukan Allah. Barisan semi militer yang didirikan khusus bagi pemuda Muslim sebagai cadangan barisan PETA. Hizbullah didirikan oleh Masyumi pada 4 Desember 1944 atas dasar keyakinan agama Islam. Cikal bakalnya berasal dari pesantren Nahdlatul Ulama yang kemudian dijadikan menjadi bagian dari Masyumi, bahkan menjadi milik umat Islam. Kontribusi para anggota Hizbullah, baik secara pribadi ataupun kelompok cukup besar dalam melucuti senjata tentara Jepang dan sebagai kader perjuangan bangsa selanjutnya, terutama sekali di Jawa. Ketika terbentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat), 22 Agustus 1945, banyak anggota Hizbullah yang memasuki badan ini. Demikian pula ketika pemerintah RI Menyerukan para pemuda mantan anggota PETA, Heiho, Gyu Gun, KNIL, dan lain-lain untuk bergabung menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 9 Oktober 1945; banyak pula diantara anggota Hizbullah yang ikut bergabung. Malahan di Yogyakarta satu batayon Hizbullah menjadi batalyon dari 25 Resimen dan 22 Divisi III TKR di bawah naungan komandan Mayor A. Basumi. Para anggota Hizbullah stidak masuk BKR/TKR masih terus berjuang di bawah naungan Masyumi (Lihat Ensiklopedi Islam, PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1933, jil. 2, h. 121-122)


(17)

Kristen dan lain-lainnya. Kemudian tahun 1948 diadakan rasionalisasi dan rekonstruksi (RERA) oleh Bung Hatta dan lascar-laskar itu ditiadakan.

Kembali pada zaman penjajahan Jepang dengan terbentuknya PETA banyak daidancho (komandan batalyon) yang kebanyakan tokoh-tokohnya adalah orang Islam, seperti Mr. Kasman Singodemedjo, Jenderal Soedirman, Arudji Kartawinata dari Siliwangi, dan lainnya. Hal ini dapat terjadi karena sesuai dengan politik Jepang. Menurut mereka, orang Islam lah yang dianggap gigih dalam melawan penjajahan Belanda. Maka diangkatlah tokoh-tokoh Islam menjadi komandan batalyon. Ini sejarahnya.

Hanya saja, ketika Negara Indonesia yang baru merdeka harus mematuhi perjanjian Renville, yang salah satu isinya mengharuskan tentara mengosongkan daerah Siliwangi dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah. Ketika tentara Siliwangi hijrah timbullah Darul Islam dengan Tentara Islam Indonesia (TII) di Jawa Barat dan di bagian barat Jawa Tengah. Kemudian ketika kembali dari hijrah, tentara Siliwangi mendapatkan serangan dari DI/TII. Inilah yang menimbulkan trauma bagi TNI. Pergolakan yang ditimbulkan oleh umat Islam terkadang memang lalu mendapatkan cap macam-macam.

Pergolakan Darul Islam, peristiwa di Lampung dan Aceh tentu ada pengaruhnya. Sekarang sudah ada asas Pancasila. Dan tindakan selanjutnya adalah harus ada pendekatan baru antara pemerintah, ulama dan umara. Jadi asas tinggal mendukung. Sikap kekurangpercayaan harus sudah dihapus. Tapi terjadilah tragedy Tanjung Priok. Paska kejadian itu melihat ABRI/TNI giat sekali mengadakan pendekatan kepada golongan Islam.


(18)

Sekarang ini demi kepentingan status quo, digunakanlah Pancasila untuk tuduhan-tuduhan kecurigaan. Disebutkan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang ingin mengubah atau mengganti UUD 1945 dan Pancasila. Dengan digambarkannya bahwa keadaan Negara dalam keadaan darurat terus. Persatuan bangsa dalam keadaan bahaya. Padahal umat Islam pada umumnya sudah menerima asas Pancasila sebagai ideologi Negara. Dan dalam Pancasila itu, sila yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, causa prima. Dimana Pancasila sebagai ideology terbuka menerima baik pandangan dari semua aliran.

Sehingga pada masa-masa berikutnya hingga dua dasawarsa pemerintahan Orde Baru, posisi Islam benar-benar “tersudutkan”.6 Barangkali sebab pokoknya adalah karena “kecelakaan sejarah” yang merupakan konsekuensi dari perbedaan strategi dalam melawan kekuatan penjajah Belanda, yang kemudian menjurus ke arah konflik terbuka dan berkepanjangan antara ABRI/TNI (pemerintah) dengan beberapa tokoh perjuangan dari umat Islam yang kemudian berakibat pemberian cap “anti kebangsaan” kepada umat Islam. Jika pada masa revolusi umat Islam jelas begitu kental wawasan dan rasa kebangsaannya, maka pada “masa tersudutkan” itu umat Islam dikesankan oleh situasi begitu tipis wawasan kebangsaannya. Mungkin hal itu semakin diperparah karena kelompok komunis dengan sangat sistematis dan efektif membesar-besarkan dan menghidup- hidupkan terus tentang “kecelakaan sejarah” yang strategis tadi, dan kelompok

6

Lihat George McT. Kahin, Nationalisme and Revolution-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel University Press, 1966); Herberth Feith. The Decline of Constitutional Democracy-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel University Press, 1962); Herbeth Feith, “The Dynamics of Guided Democracy-Indonesia”, dalam Ruth McVey (ed) (New Haven, NY: Yale University Press, 1967); Daniel S. Lev, Transition to Guided Democracy (Cornel, 1966); Karl D. Jackson, Politic, Power and Communication-Indonesia (Berkley: California University Press, 1982)


(19)

komunis berhasil membuat masyarakat lupa akan kiprah komunis terutama dalam pemberontakan Madiun pada Desember 1948. Disegi lain karena factor politik yang semakin mengeras, kelompok-kelompok lain di luar komunis yang tidak menyukai peranan umat Islam “memperhebat “ proses tersebut di atas. Hal itu masih ditambah dengan pergolakan pemberontakan dibeberapa daerah yang malangnya juga meletakan beberapa tokoh penting umat Islam Indonesia. Situasi ini secara timabl balik menyebabkan bersemainya perasaan-perasaan tertentu pada umat Islam terhadap pemerintah, khususnya ABRI/TNI.

Hubungan umat Islam dengan ABRI/TNI secara perlahan dan “cukup mengejutkan” banyak kalangan non-muslim, mengalami perubahan substantive sejak dasawarsa yang lalu. Ada beberapa factor penting yang mendorong “perubahan dramatis” itu. Pertama, para generasi muda Muslim yang lahir kebanyakan pada masa 1940-an mulai bertindak berbeda dengan pendahulunya yaitu dengan melakukan antara mereka memang mendapat pendidikan tinggi di luar negeri dengan pengaruh kultur cosmopolitan yang berbeda dengan pendahulunya, namun aktualisasinya berbeda yakni lebih “terbuka”, lebih dialogis, dan lebih akomodatif daripada kebanyakan pendahulunya.

Kedua, banyak perwira ABRI/TNI yang menempati posisi-posisi strategis dan mereka datang dari kelurga Muslim yang lebih rasional, lebih akomodatif dengan keseimbangan berpikir yang sangat kuat. Mereka juga lebih menyadari makna potensi yang sangat besar yang dimiliki umat Islam bagi pembangunan bangsa dan Negara.


(20)

Dua kelompok baru tersebut, dari kalangan generasi penerus umat Islam (sipil) dan para penerus ABRI/TNI, telah membuka wawasan umat Islam yang lebih luas dan lebih terang benderang serta memberikan kesempatan untuk selalu berpikir serta bertindak positif dan konstruktif pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana juga dikalangan ABRI/TNI dan pejabat pemerintah umumnya. Dalam konteks ini beberapa tokoh ABRI/TNI menulis refleksinya terhadap umat Islam. Namun perlu juga kita mengingat terus bahwa kita selalu menyaksikan tendensi begitu kata-kata “umat Islam” disebutkan maka serta merta orang mengajukan pertanyaan “umat Islam yang mana?”7 sebab memang umat Islam sangatlah plural dengan tradisi berpikir yang luar biasa di kalangan umat Islam.

Fenomena hubungan Islam dan militer di Indonesia khususnya pada masa Orde Baru, yang dalam satu dasawarsa ke belakang ini mengalami perubahan drastis.8 Dalam menyoalkan Islam dan militer.

Hubungan Islam dan militer (ABRI/TNI) bila ditelusuri korelasi antara keduanya ada 3 faktor yang menyebabkan terjadinya hubungan militer dan Islam di Indonesia. Misalnya, pertama, bukankah Islam9 dan militer10 pada jati dirinya kental dan sarat muatan politik? Artinya, wilayah politik bagi mereka adalah wilayah yang tidak mungkin mereka tinggalkan. Dalam pengertian lebih jauh

7

Untuk pembahasan singkat mengenai keberagaman umat Islam, lihat Jalaludin Rakhmat, “Islam di Indonesia Masalah Defenisi, dalam M. Amien Rais (ed), Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, h. 37-57

8

Lihat kata pengantar Yahya Muhaimin dalam buku Islam di Mata Para jenderal

9

Meminjam istilah K.H.A Wahab Chasbullah yang kurang lebih menyebutkan bahwa hubungan Islam dan politik seperti gula dengan manisnya

10

Mengikuti Harold Crouch, militer di Indonesia telah menjadi organisasi kepentingan pada awal berdirinya yang kemudian menjadi kekuatan politik utama setelah tahun 1965. Lihat, Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta. 1986


(21)

tentang politik, yakni Negara (state), bukankah Negara bagi Islam merupakan institusi yang digunakan untuk memaksakan berlakunya suatu syariat11, sedangkan bagi militer Negara adalah institusi yang digunakan untuk kehendak politiknya? Dengan demikian, bagi keduanya keperkasaan Negara atas masyarakat mutlak diperlukan untuk melanggengkan kekuasaannya. Sehingga secara teoritis keduanya merupakan potensi ancaman serius bagi terciptanya civil society, sekaligus tegaknya demokrasi.

Kedua, sekurang-kurangnya potensi politik yang berdasarkan keagamaan, (baca Islam) adalah, tampaknya, satu-satunya bentuk yang masih dapat bertahan untuk hidup.12 Semua politik aliran (nasionalis, sosialis, komunis dan tradisionalis – Jawa) seperti apa yang diklasifikasikan oleh Lance Castle dan Herbeth Feith telah tiarap, walaupun geliatnya terkadang menyala. Sedangkan militer adalah pendiri sekaligus penyangga utama struktur pemerintahan pada masa Orde Baru.

Ketiga, pada dasarnya militer di Indonesia, seperti bidang apapun, merupakan bagian dari masyarakat. Karena merupakan bagian dari masyarakat, maka ia tidak bisa mengelak dari bagian dikotomi primordialisme yang tumbuh di masyarakat. (Prisma, Harold Crouch: 1986). Sedangkan Islam menurut beberapa pengamat yang meyakininya adalah sumber primordialisme. Sehingga wajar kalau rumor yang beredar di tengah-tengah masyarakat tentang adanya ABRI hijau dan ABRI merah- putih kadang-kadang ditelan mentah-mentah tanpa serve13

11

Muhammad Natsir, Capita Selecta, Bulan Bintang, Bandung, 1973, h. 437-442

12

Oleh sementara lahirnya pihak ICMI, dianggap sebagai bangkitnya kekuatan politik Islam (baca Masyumi)

13

Naiknya Feisal Tanjung sebagai panglima ABRI dan Hartono sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sebelum menjadi menteri penerangan oleh majalah Tiras dijadikan laporan utama sebagai kemenangan kaum santri sekaligus berakhirnya kekuasaan L.B. Moerdiani


(22)

Kajian pandangan militer terhadap Islam sebagai dasar Negara perlu dilakukan, karena dalam konteks awal Orde Baru, pemerintah pusat yang dikuasai oleh militer menolak untuk memberikan bagian kekuasaan yang lebih besar kepada Islam.14 Karena menurut militer, agama merupakan salah satu bagian dari masalah yang merintangi persatuan bangsa dan persatuan ketentaraan. Pengertian agama dalam konteks tersebut adalah agama Islam yang doktriner, sebuah ajaran yang berusaha menata kembali nilai-nilai Indonesia sesuai dengan nilai-nilai Islam Timur Tengah.15 Di samping itu selama pemerintahan pada masa Orde Baru, kasus-kasus keagamaan seperti Tanjung Priok, Aceh, Lampung, dan terakhir Haur Koneng di Jawa Barat, berakhir dengan pengadilan politik dan mengakibatkan jumlah tahanan politik Islam di Indonesia selama tahun 1985-1987 mencapai 200 orang lebih di berbagai lembaga pemasyarakatan.16 Mereka ditahan karena ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk melemahkan kelompok politik Islam dengan sedemikian rupa.

Kemudian yang menjadi pertanyaan mengapa kasus-kasus dan pengadilan politik tersebut dapat terjadi? Apakah ini murni persoalan intern umat Islam? Sebab banyak diantara kalangan intelektual dan pemikir keagamaan yang menganggap bahwa kegiatan mereka harus bebas dari politik

dikalangan tentara atau de-Benyisasi. Penilaian ini menurut saya kurang relevan karena klasifikasi polarisasi di intern tentara dengan adanya tentara hijau dan tentara merah-putih, atau Cilangkap dan Cendana,atau Cendana dengan Cijantung sering digunakan oleh masing-masing pengamat sangat berbeda-beda. Dengan kata lain, pendekatan model ini untuk “mengukur dan memproyeksikan” kekuatan politik tentara kadang-kadang tidak mendekati kenyataan

14

Dewi Fortuna Anwar. “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”, dalam Prisma, No. 4, April 1984. Tahun XII, L3S. Jakarta, h. 7

15

Howard M. Federspiel, “Militer dan Islam pada Masa Pemerintahan Soekarno di Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Shidique, Yasin Hussain (ed), Islam di Asia Tenggara Perkembangan Kontemporer, LP3ES, Jakarta. 1990, h. 42-43

16

Lihat majalah GUGAH, diterbitkan Serikat Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, edisi pertama 1990, h. 8-9


(23)

(pemerintahan/kekuasaan). Karena itu, berteologi atau bahkan teologi itu sendiri sebagai bagian dari kegiatan mereka mesti bebas dari kepentingan ekonomi maupun politik. Tapi secara nyata hal ini dipastikan hampir tidak mungkin, sebab pengetahuan (termasuk teologi) yang mereka hasilkan adalah kekuasaan. Dengan kata lain, berteologi bagi umat Islam adalah sebuah praktik berpolitik.17

Pandangan tertentu dari militer terhadap Islam sebagai dasar Negara sangat dimungkinkan karna beberapa hal. Pertama, Islam menjadi ideology alternative selain Pancasila di masa sidang BPUPKI dan konstituante.

Kedua, ada relasi sejarah antara militer dan Islam dalam beberapa kasus artikulasi politik Islam di masa lalu. Seperti DI/TII Kartosuwiryo, Kahar Muzakar, Abdul Aziz, dan Daud Beureueh, misalnya. Akibat dari peristiwa ini, permintaan reahabilitasi partai politik Masyumi tidak bisa dipenuhi, karena pada masa Orde Lama Masyumi dituduh memprakarsai gerakan-gerakan separatis dan mendukung pemberontakan DI/TII yang dimusuhi dan menimbulkan kerugian besar bagi angkatan bersenjata serta pimpinannya (Nurcholis Madjid, 1979).

Ketiga, makin melemahnya kekuatan politik Islam pada masa Orde Baru, untuk sebagian dapat dijelaskan oleh kenyataan bahwa ABRI dikuasai oleh golongan abangan/priyayi, yaitu kelompok yang selalu cemas dengan kekuatan Islam.18 Sehingga wajar apabila pada awal Orde Baru tujuan militer untuk melemahkan kelompok politik Islam sedemikian rupa sehingga efektivitas Islam sebagai ideology yang menentang falsafah Negara akan berakhir. Dan kekuasaan

17

Saiful Muzani, “Berteologi sebagai Praktik Politik, dalam Dr. Th. Sumartana dkk. (ed), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, Interfide, 1994, h. 175

18


(24)

pemerintah dapat berlanjut tanpa pertentangan ideologis.19 Di samping itu juga, larangan yang cepat atas demonstrasi-demonstrasi politik yang dipimpin oleh beberapa organisasi mahasiswa Islam dalam masa peralihan tahun 1965. Memperlihatkan dengan jelas kekhawatiran ABRI/TNI terhadap kelompok Islam pada suatu saat akan merupakan ancaman terhadap dominasi politik ABRI/TNI itu sendiri.20

Skripsi ini menelaah tentang perubahan yang terjadi dalam hubungan militer dengan umat Islam di Indoneisa. Fenomena ini yang diambil sebagai studi kasus adalah peristiwa yang berlangsung selama masa tahun 1990-1998. Hal ini didasarakan pada asumsi bahwa pada masa tersebut berlangsung perubahan hubungan yang boleh dikatakan lebih baik diantara kedua kelompok tersebut.

Dari penelitian ini diperoleh penjelasan bahwa sejak awal tahun 1990-an terjadi perubahan hubungan yang lebih baik antara umat Islam dengan militer. Pada masa itu, hubungan antara kedua kekuatan (Islam dan Militer) tersebut mengalamai kelenturan. Ketegangan yang berlangsung sejak awal 1970-an terlihat mulai mencair. Ada kedekatan-kedekatan hubungan, khususnya antara jajaran elit militer dengan elit umat Islam.

Kedektan tersebut disebabkan oleh banyak factor. Secara umum factor tersebut dapat diklarifikasikan dalam dua kategori, yaitu factor internal dan factor eksternal. Factor internal yang mendorong terjadinya perubahan antara kaum umat Islam dengan kalangan militer adanya tranpormasi orientasi y ng berlangsung baik di dalam kelompok Islam maupun militer. Di kalangan umat Islam berlangsung

19

Dewi Fortuna Anwar, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”…..h. 8

20


(25)

perubahan orientasi politik dari legalistic-formalistik, yaitu orientasi yang ingin menegakan Islam secara legal (konstitusional) dan formal (institusional) dalam tatanan bernegara yang pluralistic ini, ke orientasi substansialistik, yaitu orientasi yang meletakan Islam sebagai ajaran universal yang harus di sosialisasikan melalui sikap dan perilaku (budaya) seluruh lapisan masyarakat, seperti keadilan, persamaan dan musyawarah.

Perubahan orientasi ini menjadi peretas bagi keinginan sebagian umat Islam untuk menampilkan Islam sebagai legal formal yang tidak disukai oleh militer. Mereka yang mempermasalahkan secara jelas-jelas terhadap azas tunggal Pancasila mulai berkurang. Lebih dari itu, muncul wacana yang melihat adanya korelasi antara ajaran Islam dengan Pancasila. Oleh sebab itu, munculnya perilaku politik yang lebih substantive itu menjadi perekat relasi militer dengan Islam.

Begitu juga dikalangan milter muncul perubahan persepsi tentang Islam yang radikal, anti integrasi, dan ancaman bagi stabiltas Negara. Hal ini terjadi terutama disebabkan oleh naiknya militer yang mempunyai latar belakang pemahaman keIslaman yang baik yang kemudian dikenal dengan istilah militer santri. Para militer muslim ini memandang Islam sebagai bagian dari Saptamarga yang harus diejahwantahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara yang menjadi factor eksternal bagi terjadinya perubahan hubungan umat Islam dengan militer adalah adanya kebijakan Negara (political will) yang akomodatif baik terhadap umat Islam maupun terhadap militer yang memiliki latar belakang keislaman yang baik. Kepentingan politik Negara


(26)

(penguasa) terhadap umat Islam dan militer muslim ini telah memungkinkan munculnya titik temu antara umat Islam dengan militer.

Di samping itu, tuntutan global yang menghendaki adanya proses demokratisasi dan penghargaan terhadap hak asasi manusia diberbagai Negara juga ikut menjadi factor pendorong bagi perubahan politik yang berlangsung di Indonesia. Berbagai peristiwa pelanggran HAM dan perilaku represif militer yang terjadi di Indonesia menjadi sorotan internasional. Tidak jarang berbagai pelanggaran itu mengundang ancaman terhadap kelangsungan kerjasama Indonesia dengan dunia internasional. Kenyataan ini telah memaksa Negara untuk memperhatikan dan membiarkan proses demokratisasi itu berjalan di negeri ini.

Berbagai factor itulah yang mempertemukan umat Islam dengan militer, khususnya sejak awal tahun 1990-an. Secara politik, keduanya dipertautkan oleh adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Tidak berlebihan apabila seorang Indonesianis, Harold Crouch menggambarkan semarak keagamaan yang muncul di lingkungan militer pada awal tahun 1990-an sebagai fenomena baru yang belum terlihat pada masa sebelumnya. Penulis juga ingin mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan yang terjadi diantara tahun itu. Penulis mengambil periodesasi mulai tahun 1990 sampai dengan tahun 1998 silam. Alasan periodesasi ini adalah karena pada masa-masa itulah terjadi sebuah perubahan hubungan pada sepak terjang politik militer Indonesia terhadap umat Islam Indonesia, yaitu dengan pendekatan-pendekatan yang dilakukan ABRI/TNI kepada kalangan umat Islam, para tokoh-tokoh Islam, yang diteruskan dengan


(27)

kerjasama diberbagai ormas-ormas Islam. Pembatasan ini juga dimaksudkan agar dalam pembahasan skripsi ini dapat lebih terfokus dan terarah.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat kompleksitas masalah yang akan diteliti dan keterbatasan yang dimiliki penulis, maka masalah yang dibahas oleh penulis akan dibatasi pada perubahan hubungan ABRI/TNI dengan umat Islam di Indonesia dalam wilayah politik melalui perkembangan sejarah yang terjadi antara tahun 1990-1998.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka permasalahan penelitan ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana perubahan hubungan militer dengan ummat Islam antara tahun 1990-1998 ?

b. Kebijakan politik Negara yang mepengaruhi hubungan diantara kedua kelompok tersebut terhadap proses politik di Indonesia.

c. Bagaimana keberlangsungan hubungan ABRI/ TNI dengan orientasi Politik umat Islam di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang dilakukan ini adalah : a. Mempelajari sejarah hubungan ABRI/TNI dengan umat Islam

b. Menganalisa proses perubahan hubungan yang terjadi diantara kedua kelompok tersebut.


(28)

c. Dalam konteks kekinian yang ideal, dari penelitian skripsi ini diharapkan dapat menghadirkan pandangan baru, tidak hanya dalam konteks militer dan Islam tetapi dalam konteks pandangan dari sudut pengaruh hubungan kedua kelompok tersebut terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia sekarang ini.

2. Manfaat Penulisan

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, antara lain:

1. Secara teoritis atau akademis, diharapkan dapat memperkaya khazanah kepustakaan perpolitikan, khususnya mengenai hubungan relasi militer dan Islam.

2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi TNI agar dapat mewujudkan TNI yang profesional dan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi.21

3. Secara teoritis dan praktis dapat memberikan pandangan dan pembelajaran bagi pergerakan politik Islam di Indonesia.

D. Studi Kepustakaan

Kajian mengenai perubahan hubungan militer dan umat Islam, sejak awal masa revolusi kemerdekaan mengalami dinamika yang romantika yang sangat menarik perhatian banyak kalangan, bukanlah hal yang baru dalam khazanah kepustakaan politik Indonesia. Jika kita telusuri kepustakaan mengenai militer dan umat Islam di Indonesia, telah banyak penulis asing maupun lokal yang mengupas masalah tersebut, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalah. Namun demikian, kajian komprehensif yang mengupas secara menyeluruh mengenai

21

Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Jakarta: Magna Script, 2004), cet. 1, h. 73-75


(29)

perkembangan perubahan hubungan ABRI/TNI dan umat Islam – khususnya dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah– masih belum banyak dilakukan.

Di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur (baik dalam bentuk buku atau skripsi) yang pernah membahas perihal perubahan hubungan ABRI/TNI terhadap umat Islam Indonesia.

1. Abdoel Fatah dengan judul buku Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, adalah judul disertasi S-3 di Universitas Kebangsaan Malaysia yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh LKIS pada tahun 2005. Buku ini dalam membicarakan sepak terjang TNI dalam peta perpolitikan Indonesia hingga reformasi internal yang dilakukan TNI dapat dikatakan lengkap. Namun saya menilai, kekurangan buku ini adalah dalam hal keseimbangan informasi, data dan fakta mengenai banyak peristiwa yang dibahas. Karena buku ini terlalu banyak melihat dari sudut pandang kalangan internal militer. Hal ini dapat dimaklumi mengingat penulis dari buku ini adalah seorang anggota TNI Angkatan Laut. Dan dapat dipastikan kesan subjektif sangat kental dalam pembahasan buku ini.

2. Buku berjudul Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia (2005) dan Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan Profesionalisme TNI (2006), kedua buku ini ditulis oleh Yuddy Chrisnandi seorang anggota DPR yang cukup kritis. Khusus untuk buku pertamanya yang disebutkan di atas merupakan disertasi S-3 beliau di Universitas Indonesia dan diterbitkan oleh Pustaka LP3ES. Saya


(30)

mengakui, mungkin buku yang ditulis Yuddy ini merupakan buku yang paling pantas dijadikan rujukan primer jika kita ingin membahas persoalan seputar reformasi dalam tubuh TNI.

3. Untuk judul skripsi yang pernah mengulas permasalahan militer Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syauki dengan judul Konsep Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Menurut A.H. Nasution dan ditulis pada tahun 2006. Dalam skripsi ini lebih banyak dibicarakan mengenai hubungan sipil-militer khususnya dalam pandangan A.H. Nasution. Yang menjadi titik tekan dalam skripsi ini adalah mengenai fakta sejarah yang ada, di mana militer sejak dahulu kala dapat memainkan peranan penting dalam setiap perebutan kekuasaan hingga Orde Baru. Dan Nasution adalah pelaku sejarah yang turut mengotaki terbentuknya kekuatan politik militer di Indonesia. Menurut saya skripsi ini belum menyinggung perihal hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia.

4. Skripsi kedua yang saya ketahui dan menjadikan militer sebagai latar belakang permasalahan utama adalah Saipul Umam dengan judul skripsi Militer dan Politik: Analisis Terhadap Peran Politik Militer Dalam Birokrasi Orde Baru pada tahun 2006. Skripsi ini menjadikan salah satu cabang yang dikuasai lembaga TNI secara penuh pada era Orba, yakni sistem birokrasi. Keterlibatan militer dalam politik yang sudah terlalu melebihi ambang kewajaran dapat dilihat dalam skripsi ini. Fokus utama Saipul adalah birokasi Orde Baru yang sudah dirasuki tangan-tangan


(31)

militer dan bagaimana dampak terhadap bangsa Indonesia. Sama halnya seperti skripsi yang pertama disebutkan, skripsi ini belum menyinggung persoalan aktual dari perkembangan TNI yakni tentang perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia.

5. Skripsi berikutnya yang di susun oleh Yusup Fadli adalah MILITER DAN POLITIK Suatu Tinjauan Atas Reformasi Internal TNI Dan Implikasinya Terhadap Transisi Demokrasi Di Indonesia 1999-2004. Di dalam pembahasan skripsi ini membahas keterlibatan institusi militer dalam belantara politik Indonesia membawa dampak yang begitu luas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tengah-tengah pusaran politik tersebut, kalangan militer kemudian menyalurkan syahwat politiknya dan menentukan arah bandul politik untuk melindungi kepentingan-kepentingan tentara.

Walaupun sudah cukup banyak literatur yang berbicara mengenai hubungan ABRI/TNI dan Islam, tetapi dalam studi yang ditulis dalam lingkup UIN perihal perubahan hubungan ABRI/ TNI terhadap Islam di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam kerangka itulah penulis berusaha menempatkan penelitian skripsi yang dilakukan ini. Penulis meyakini bahwa persoalan yang akan diteliti dalam skripsi ini merupakan masalah yang aktual, relevan, dan belum secara khusus dikaji oleh penulis dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan datanya dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan yang dibahas dengan


(32)

menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya.22 Analisa data menggunakan metode deskriptif, yaitu bersifat eksploratif dengan menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah konklusi.23

Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Rencana sistematika penulisan skripsi ini terbagi dari lima 5 bab. Dari masing-masing bab merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dalam melihat persoalan yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu tentang perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia, dalam hal ini diupayakan pemetaan secara teoritis untuk lebih memfokuskan penelitian. Dengan didukung oleh sebuah metode, penulisan skripsi ini berusaha menempuh langkah-langkah yang lebih efektif dan objektif dalam menelaah permasalahan skripsi ini.. Pertama, bab ini terdiri dari pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, pembatasan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Kedua, pembahasan dalam bab ini adalah pola hubungan militer dan Islam, yang terdiri dari, konsep hubungan militer dengan umat Islam Indonesia, serta militer di era transisi status quo. Bab kedua ini mengupas masalah Islam dalam pergumulan politik Orde Baru. Pada bab ini akan dikupas pergulatan politik umat Islam di Indonesia sejak awal Orde baru dan perkembangannya sampai pada akhir tahun 1980-an. Hal ini dikarenakan sebagaimana kita ketahui sepanjang masa tersebut

22

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 206

23


(33)

politik Islam di Indonesia mengalami masa-masa kesuramannya dan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Karena pergulatan umat Islam tersebut merupakan kelanjutan dari hiruk-pikuk dari politik Orde Lama, maka akan sedikit dikupas pula bagaimana posisi umat Islam pada masa Orde Lama, khususnya menyangkut peran partai politik Islam di Indonesia. Ketiga, pada bab ini akan dibahas tentang perihal keterlibatan TNI dalam politik Indonesia, yang berisi tentang historiografi berdirinya TNI, dan sejarah masuknya TNI ke dalam wilayah politik yang mengungkap tentang sepak terjang militer sejak awal pemerintahan Orde Baru, termasuk dilegalkannya konsep dwifungsi ABRI/TNI oleh DPR. Konsep ini yang kemudian melegalkan semua kegiatan militer baik dalam bidang social maupun politik, bahkan berlanjut dalam masalah bisnis. Perkembangan ini sebenarnya tidak sepenuhnya tumbuh pada masa Orde Baru. Fenomena yang mengarah pada peran ganda militer telah diperhatikan pada masa Orde lama juga. Oleh sebab itu, mengupas peran militer pada masa Soekarno menjadi sangat penting untuk melacak akar keadaan sejarah keterlibatan militer dalam kehidupan social politik bangsa indonesia.

Keempat, sebagai bab inti, bab ini secara khusus akan mengupas pola perubahan hubungan militer dengan umat Islam di Indonesia pada awal Orde Baru. Pada bab ini akan diungkap pasang surut hubungan di antara kedua kelompok tersebut. Hubungan yang terjadi secara pasang surut ini tidak hanya terjadi pada masa Orde Baru, tetapi juga terjadi pada masa Orde Lama. Dari pengungkapan sejarah ini maka akan ditemukan titik temu hubungan di antara kedua kelompok tersebut dilihat dalam lintasan sejarah perjuangan bangsa


(34)

Indonesia, (baik pada awal kemerdekaan maupun dalam perkembangan selanjutnya). Sekaligus analisa tentang militer dan umat Islam menjelang masa- masa berahirnya pemerintahan Orde Baru sampai awal Reformasi. Pada bab ini sekaligus diungkap berlangsungnya peristiwa yang menunjukan bagaimana pola hubungan antara militer dengan kelompok Islam di Indonesia sebagai indikator tingkat hubungan di antara mereka. Walaupun tidak semua bukti menunjukan kenyataan pola hubungan yang terlihat “harmonis” tetapi paling tidak, akan terlihat adanya pola hubungan baru antara militer dengan kelompok Islam.

Kelima, bab ini adalah penutup sebagai konklusi dari keseluruhan analisa skripsi ini, yang berisikan kesimpulan dan saran-saran. Pada bab ini mengupas inti kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian skripsi ini yang menyangkut perubahan hubungan antara militer dengan umat Islam di Indonesia periode 1990- 1998. Di samping itu akan disinggung secara kritis dampak langsung dari hubungan tersebut bagi kehidupan politik bangsa Indonesia yang “plural dan heterogen”, serta rencana agenda ke depannya yang harus direalisasikan oleh militer dan umat Islam di Indonesia dalam rangka mambangun system yang profesional di dalam organisasi militer dan membangun kehidupan yang madani bagi umat Islam Indonesia.


(35)

KETEGANGAN:

Awal mula persinggungan umat Islam dengan militer adalah adanya “kecelakaan sejarah” yang merupakan konsekuensi dari perbedaan strategi dalam melawan kekuatan penjajah Belanda, yang kemudian menjurus ke arah konflik terbuka dan berkepanjangan antara ABRI/TNI (pemerintah) dengan beberapa tokoh perjuangan dari umat Islam yang kemudian berakibat pemberian cap “anti kebangsaan” kepada umat Islam yang dikesankan sangat tipis wawasan kebangsaannya. dan berujung pada tindakan pemberontakan disebagian kelompok umat Islam yang mendapat label separatis oleh militer…karena pada saat Orla, Soekarno masih terus berjuang untuk menjadikan Pancasila sebagai ideology tunggal dan menyingkirkan symbol-simbol Islam.

Soeharto menganggap perlu penjinakan terhadap kekuatan politik Islam, yaitu dengan cara peminggiran politik Islam yang menimbulkan sikap sinis dan akahirnya Negara berhasil menundukan Islam secara politik, ideology dan intelektual. Hal itu dikarenakan pemerintahan rezim militer ORBA belajar dari pengalaman ORLA, bahwa kekuatan politik Islam mampu membuat ketidakstabilan politik dan pemerintahan, (ex): Demonstrasi, perombakan cabinet, stabilitas hankam dan ekonomiyang

menghambat laju pembangunan. Akibatnya selama puluhan tahun sejak

kemerdekaan di proklamasikan, penindasan, peminggiran, diskriminasi dan ketidakadilan sosial menjadi fenomena sehari-hari yang tidak asing lagi. Bukan soal penindasan fisik akibat totalitarianisme orde baru tapi


(36)

juga soal penindasan kultural, symbol-simbol yang sesungguhnya belum pernah hilang dari kesadaran politik kolonial.

Keibijakan Orba pada umat Islam hanya pada ranah ibadah ritual karena sejak masa rezim militer Orba, Pancasila sering dihadapkan dengan komunisme dan Islam. Bagi agenda politik Orba adalah depolitisasi (pembatasan ruang gerak) Islam, proyek ini didasarkan pada asumsi Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi dan pembangunan. Hal ini yang menjadikan Orba bersikap memingggirkan politik Islam ketika Islam memasuki ranah doktrin ideology politik yang tercermin dalam “militansi Gerakan, islam dijadikan ideology manifest (nyata/wujud) dalam artian yang mengancam eksistensi rezim yang diwujudkan dalam bentuk komando Jihad, keberadaan symbol-simbol Islam dan kelompok Islam radikal. Hal ini sama dengan kebijakan Belanda yang mengebiri politik Islam sambil mempromosikan Islam Kultural. Belanda menganggap Islam sebagai kekuatan antikolonialisme. Karena itu Orba dengan rezim militernya membuat kebijakan yang mempromosikan Islam sebagai agama, membatasi pada tempat ibadah saja dan menjauhkan dari Negara. Dan dalam hal ini Islam diposisikan sama dengan PKI, bahkan lebih berbahaya. Sejak saat itu, keadaan umat Islam menjadi menjadi kekuatan yang selalu dipinggirkan secara politik dan kemesraan yang pernah terjalin dengan militer menjadi retak yang dalam sejarahnya dengan bantuan umat Islam ABRI/militer mampu menumpas PKI.


(37)

Militer pada tahun 1970 sampai awal 1980-an selalu menciptakan musuh- musuhnya sendiri, dengan beragam istilah untuk kemudian dihancurkan. Istilah umum yang sering dimunculkan adalah ekstrim kiri untuk menunjuk orang-orang yang terkait dengan Komunisme, dan ekstrim kanan untuk menuduh kelompok Islam radikal (Islam Politik). Tidaklah mengherankan jika pada masa Orba militer sangat menghegemoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas nama stabilitas dan

pembangunan militer melakukan penetrasi ke masalah-masalah

kemasyarakatan, persolan politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, organisasi, dll. Tak jarang militer melakukan tindakan refresifitas terhadap para aktivis yang melakukan penolakan atas nama kebijakan Orba.

Rezim militer yang tercermin dalam Orba Soeharto lebih dekat pada

kekuatan politik dan militer Abangan dan non-muslim yang

mengakibatkan kekuatan politik Islam terpinggirkan, dominasi elit militer yang dipimpin dari kalangan abangan dan non-muslim yang diwakili oleh Ali Moertopo, Soedomo, L.B. Moerdani mereka adalah orang-orang terdekat Soeharto dan memiliki peran yang sangat dominan dan strategis dalam pemerintahan Orba dan secara langsung mempengaruhi sikap militer terhadap umat Islam. hal ini yang menjadikan umat Islam menjadi radikal seperti tragedy Tanjung Priok, Lampung, Aceh dll…hal ini karena tingkat sikap represif militer terhadap umat Islam yang dirasakan sudah melewati ambang batas.


(38)

HARMONIS:

1970-an awal dari Tampilnya pembaharuan pemikiran politik Islam, perubahan yang terjadi tidak lepas dari peran serta para cendikiawan muslim yang berhaluan modernis. Yang sejak awal yang sejak awal telah memperjuangkan tersebarnya wacana Islam yang lebih inklusif yang menekankan pada nilai-nilai substansi ajaran Islam yang lebih universal daripada perjuangan yang bersifat formalistic-legalistik. Bagi mereka tokoh yang berhaluan modernis sosialisasi ajaran Islam bisa dilakukan melalui semua lembaga dan organisasi. lembaga pendidikan yang ditempuh oleh umat Islam telah menawarkan atmosfir baru bagi pencerahan pemikiran dalam memahami berbagai persoalan, termasuk masalah Negara dengan agama. Dalam hal ini pemikiran politik Islam yang berkembang kuat sejak awal adalah bahwa persoalan agama dan Negara merupakan realitas tunggal, keduanya memiliki hubungan yang menyatu untuk menegakan hukum atau ajaran Tuhan di muka bumi. Hubungan yang sempat terjadi tidak harmonisnya antara militer dengan umat Islam lebih disebabkan sebagai akibat dari keadaan struktur dan system (asas tunggal, fusi partai) politik pada saat itu yang menghendaki umat Islam sebagai kelompok yang marginal dan terbuang. Kedekatan hubungan yang dilakukan militer ditanggapi dengan proposional oleh kelompok muslim sebagai upaya untuk ishlah (melupakan masa lalu yang penuh dengan konflik) dan bersama-sama antara militer dan umat Islam membangun cita-cita bangsa.


(39)

Sejak naiknya beberapa militer yang memiliki latar belakang keislaman, muncul istilah militer hijau. Sulit dihindari bahwa sejak pertengahan tahun 1990-an semarak keagamaan di lembaga militer sangat terlihat. Hal ini merupakan bagian dari semarak gairah keagamaan yang muncul di berbagai tempat maupun lembaga. Kemesraan antara umat Islam dengan pemerintah, telah banyak berdampak dalam institusi militer. Militer tidak lagi memahami Islam sebagai agama radikal dan mengancam integrasi, tetapi sebagai suatu ajaran yang bisa menunjang terhadap laju pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintahan Orde Baru.

Feisal Tanjung menyebutkan bahwa kesatuan militer dengan umat Islam sebagai penduduk yang mayoritas negeri ini telah berurat akar dalam sejarah bangsa. Oleh sebab itu, militer dan umat Islam lah yang paling menderita bila terjadi malapetaka.


(40)

BAB II

KEBERADAAN UMAT ISLAM DI PENTAS POLITIK

A. Pergerakan Politik umat Islam pada masa penjajahan

Gerakan sosial politik pertama kali dipelopori oleh Syarikat Dagang Islam (SDI) tahun 1905 yang kemudian melahirkan Sarikat Islam (SI) sebagai gerakan partai politik Islam pertama kali di Indonesia kemudian berubah menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Peran politik umat Islam melalui partai-partai Islam dapat lihat, sejak masa Kolonial Belanda sampai kemerdekaan. Selain Sarekat Islam (SI) sebagai partai politik Islam pertama pada masa Kolonial Belanda, muncul juga Partai Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) dan Partai Islam Indonesia (PII). Bersama dengan kedua partai Islam tersebut, Sarekat Islam (SI) mengisi kehidupan politik umat Islam di Indonesia. Di antara ketiga partai itu, Sarekat Islam (SI) yang paling berperan dan dianggap sebagai partai umat Islam pada waktu itu.

Setelah Belanda angkat kaki dari bumi Indonesia, datanglah Jepang dengan membawa janji-janji. Kehadiran Jepang, tak beda dengan pendahulunya sebagai penjajah bangsa Indonesia dengan mengeksploitasi umat Islam dan rakyat secara keseluruhan. Perbedaan diantara keduanya terletak pada akses yang diberikan. Pihak Jepang lebih terbuka menerima umat Islam dan memberikan akses secara terbuka bagi umat Islam untuk bergabung dalam kantor-kantor Departemen Agama bentukan Jepang seperti shumuka dan shumubu. Sedangkan


(41)

(42)

dibentuk pihak Jepang sebagai pengganti MIAI, dengan harapan Masyumi dapat menjadi wadah penyalur aspirasi umat Islam dan sekaligus sebagai mediator komunikasi antara pihak Jepang dengan rakyat Indonesia, khususnya umat Islam. tapi Masyumi bentukan Jepang tidak berperan sebagaimana yang diharapkan. Tetapi ada keuntungan dari Jepang yang diperoleh rakyat Indonesia khususya umat Islam yaitu pelatihan kemiliteran yang dapat digunakan untuk merebut dan meraih kemerdekaan.

“Anda tidak dapat membayangkan bagaimana hebatnya kepanikan dalam bulan Mei dan Juni (1913) di kalangan orang Eropa mengenai Sarekat Islam” (Van der Wal)

(Firman Noor, CIDES) Kepanikan luar biasa yang dirasakan oleh orang Eropa di nusantara saat datangnya institusi pengiring “ratu adil” di lembaran baru abad ke-20 merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dinafikan. Seperti gelegar auman harimau di tengah lelapnya malam, hadirnya pergerakan anak bangsa itu telah menciutkan hati kaum penjajah yang selama bertahun-tahun hidup dalam ketenangan tanpa ganguan berarti. Tidak pernah sebelumnya terjadi kekalutan yang demikian besar menghinggapi hati kaum penjajah. Tidak pula saat sekelompok elit Priyayai Jawa yang berkumpul di Batavia mendeklarasikan organisasi yang mereka namai Boedi Oetomo (BO) yang menuntut perluasan hak ajar bagi priyayi rendahan pada tahun 1908.1 Barulah ketika mulai banyak

1

Bagi Penguasa Belanda Boedi Oetomo sama sekali tidak membahayakan. Selain karena berisikan kalangan pegawai pemerintah yang loyal (yang lebih suka berbahasa Belanda atau Jawa ketimbang Bahasa Indonesia dalam pertemuan-pertemuanya), tujuan organisasi ini pun dianggap tidak mengusik sama sekali penjajahan (karena hanya mencakup masalah perbaikan pendidikan yang sebenarnya telah dicanangkan oleh Belanda dengan politik etis) dan bersifat segmenter (tidak


(43)

pribumi – yang dianggap sebagai inlander, jongos, warga negara kelas terendah – melakukan perlawanan dengan berteriak “Sarekat Islam!” angin perubahan (the wind of change) dengan lambat tapi pasti mulai dirasakan.

Menurut APE Korver fenomena kepanikan yang belum pernah dirasakan sebelumnya menunjukan awal dari datang sebuah masa menuju pembebasan nasional, sekaligus menjadi bukti bagaimana sebuah organisasi yang mengatasnamakan Islam mampu berperan sebagai motor emansipasi dalam perjuangan mengukuhkan jati diri dan merebut keadilan.2 Sambutan yang demikian antusias dan cepat di seluruh penjuru tanah air, mulai dari Aceh, Palembang, Banten, Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Makassar, hingga Donggala, menjadi bukti tingginya pengharapan anak bangsa terhadap SI. Fenomena ini telah memaksa Gubernur Jenderal Idenburg dan aparatnya meningkat kewaspadaan, sembari bertanya-tanya mengapa hal itu dapat terjadi. Hal yang pasti, jika BO mendapatkan pengakuan dengan mulusnya, maka SI dipaksa dipecah sejak kelahirannya. Dan tidaklah karena potensi pemersatunya itu, Idenburg melakukan kebijakan devide et impera terhadap SI.

Dalam semangat zaman yang terbukti tidak akan pernah kembali itu, kehidupan berbangsa dan bernegara diwarnai oleh deru nafas milenaristis dari peluh keringat kaum tertindas bumiputera. Rasa persatuan dan kesadaran perlawanan “kaum koeli” memasuki tahapan baru yang dipicu dengan munculnya SI, sebuah perserikatan yang “tidak umum” dan radikal dimasanya. Sebuah perserikatan yang mampu menarik perhatian hampir semua golongan tidak saja berupaya menjadi alat persatuan seluruh anak bangsa) dengan hanya memfokuskan bagi upaya peningkatan perbaikan hidup orang Jawa dan Madura

2


(44)

kalangan Islam puritan, kaum pedagang dan rakyat jelata, namun pula orang abangan, para priyayi progresif dan bangsawan. Sebuah perkumpulan yang bersifat lintas-etnis karena tidak saja menggugah dan meningkatkan pengharapan orang Jawa, Madura, Pasundan, maupun Betawi, namun pula beragam suku mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sunda Kecil hingga Sulawesi.

Tidak itu saja, di dalam organisasi yang muncul di jantung Pulau Jawa ini, berkumpulah tokoh-tokoh besar pergerakan (yang belakangan kemudian menjadi ideologi dari berbagai macam keyakinan politik) seperti Samanhudi, R HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdoel Moeis, KH Ahmad Dahlan, sampai dr Sukiman, Kartosoewiryo, Ki Hajar Dewantara, Semaoen, Darsono. Semuanya mengusung sebuah keyakinan akan pembebasan, persatuan, perlawanan, dan kemandirian atas dasar identitas dan keyakinan bersama dalam SI, meski kemudian beberapa di antara tokoh itu keluar atau dikeluarkan. Dengan luasnya cakupan dukungan itu tidak mengherankan jika pada tahun keempat keberadaannya organisasi ini telah mendapatkan anggota sekitar 700.000 orang yang tersebar di 180 cabang.3 Sebuah prestasi yang secara nominal tidak ada tandingnya kala itu dan secara substansial telah mengkokretkan makna persatuan atas dasar rasa senasib sepenanggungan, bukan status sosial atau keetnisan.

3

Banyak versi mengenai jumlah anggoat SI dalam periode awalnya (1912-1916). Deliar Noer misalnya menyebutkan angka 860.000 terkait dengan mereka yang hadir dalam Kongres Nasional pertama pada tahun 1916. Namun angka 700 ribu nampak relatif masuk akal dengan demikian besar dan pesatnya pertumbuhan organisasi ini di seluruh Indonesia. Di Sumatera Selatan misalnya 1 dari 3 laki-laki bumiputera pada tahun-tahun tersebut diyakini adalah anggota SI


(45)

Meski kemudian mengalami pasang surut,4 namun peran dari organisasi massa dan cikal bakal partai politik tertua di Indonesia itu sulit dipisahkan dari upaya menghadirkan persatuan Indonesia. Dalam organisasi inilah segenap asa anak bangsa terkumpul dan derap awal pergerakan kemerdekaan nasional berawal. Rezim waktu pun memperlihatkan bagaimana sikap, keberpihakan dan pandangan-pandangan SI demikian relevan dalam menyemai bibit rasa kebangsaan, solidaritas dan persaudaraan di bumi pertiwi.

Sebagaimana umum diketahui, bahwa pada hakekatnya kebangsaan atau nasionalisme memiliki banyak makna dan pengertian. Benedict Anderson misalnya melihat nasionalisme sebagai sebuah institusi imajinatif yang mengikat beberapa kelompok masyarakat yang kerap tidak saling mengenal atas dasar persaudaraan, yang dari sana kemudian terciptalah bayangan tentang sebuah kedaulatan dengan sebuah batasan teritorial tertentu.5 Anderson memaklumi bahwa ikatan persaudaraan itu dapat beragam pemicunya, namun hal itu menjadi fundamen mutlak yang harus ada dalam menciptakan komunitas imajiner yang disebut bangsa itu. Sedangkan dalam pandangan Montserrat Guibernau dan John Rex, sejalan dengan pandangan “bapak teori nasionalisme” Ernest Rennan, dengan dilandasi oleh semangat untuk mengedepankan hak-hak masyarakat pada wilayah politik tertentu, nasionalisme sejatinya merupakan “kemauan untuk bersatu tanpa paksaan dalam semangat persamaan dan kewarganegaraan (trans

4

Mengenai fase perkembangan organsisasi sampai dengan tahun 1945 ini lihat dalam Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 70 dan 114

5

Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso Editions and NLB), 1983


(46)

etnis, pen)”.6 Sementara itu, Ernest Gellner mendefinisikan nasionalisme sebagai prinsip legitimasi politik yang meyakini bahwa unit-unit keetnisan dan unit-unit politik dalam suatu negara hendaknya harus saling selaras.7 Dalam batasan ini kesediaan bersatunya kelompok-kelompok etnis menjadi sebuah prasyarat bagi hadirnya sebuah entitas kebangsaan. Lebih lanjut Gellner mengatakan bahwa nasionalisme yang sepatutnya dikembangkan adalah sebuah nasionalisme yang menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan, dalam sebuah makna yang komprehensif.8 Maksudnya adalah sebagai sebuah nasionalisme yang mengajak (participative), tidak diskriminatif dan produktif bagi nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan. Kearah itulah sebenarnya makna keindonesiaan itu tertuju karena sifatnya yang jauh dari semangat chauvinistik.

Adapun pengertian nation (bangsa) menurut Gellner adalah kondisi di mana sebuah komunitas memiliki budaya yang sama, termasuk kesamaan dalam konteks sistem ide, simbol, perkumpulan dan cara bertingkah laku dan berkomunikasi, dan mengakui bahwa mereka terikat oleh persaudaraan atas dasar kebangsaan.9 Makna generik yang bersifat antropologis ketimbang normatif ini cukup relevan digunakan untuk mendefiniskan bangsa di manapun berada. Meskipun perdebatan apakah bangsa itu merupakan produk zaman kuno atau efek modernisasi tidak tercakup dalam batasan ini, dari berbagai pandangan tersebut dapat dilihat sebuah benang merah bahwa semangat untuk rela bersatu dan kepentingan masa depan merupakan esensi dari sebuah bangsa.

6

Montserrat Guibernau dan John Rex (eds.), The Ethnicity Reader Nationalism, Multiculturalism and Migrations (Cambridge: Polity Press, 1997), h. 8

7

Ernest Gellner, Nations and Nationalism (Oxford : Basil Blackwell, 1983), h. 1

8

Ernest Gellner, Nationalism (London: Phoenix, 1998), h. 11

9


(47)

Tentu saja batasan kebangsaan di atas bukanlah sesuatu yang final. Beberapa imbuhan perlu dimasukan ke dalam batasan generik itu. Dalam konteks pergerakan nasional, maka persoalan kebangsaan sejatinya terkait pula dengan masalah pembentukan identitas nasional, dengan misalnya kesedian membuat batasan yang jelas antara “kita” dan “mereka” dalam berhadapan dengan kekuatan kolonial. Batasan ini dibutuhkan dalam konteks praktis terutama dalam rangka memperjelas identifikasi masalah dan arah perjuangan. Penumbuhan semangat solidaritas dan persaudaraan dalam payung luka sejarah yang sama juga tidak dapat dilepaskan dalam batasan ini sebab belakangan akan turut menentukan ruh dari bangun imajiner kebangsaan. Lebih dari itu, semangat kebangsaan itu terkait pula dengan upaya dan keinginan untuk melakukan pembebasan, emansipasi dan partispasi politik bagi seluruh rakyat dan komitmen penentangan atau perlawanan terhadap sistem kolonial yang menghisap. Kesemuanya itu pada akhirnya tidak lain ditujukan untuk membangun kedaulatan yang seluas-luasnya. Dan dari batasan-batasan tersebut seperti komitmen SI mengenai penumbuhan semangat kebangsaan akan dilihat dalam beberapa indikator perjuangan umat Islam masa penjajahan yang terwakili oleh gerakan SI.

A.1. Pandangan dan Perilaku Kebangsaan SI

Para pemerhati gerakan kebangsaan Indonesia secara umum meyakini bahwa Sarekat Islam, yang umum disepakati lahir pada tahun 1912, merupakan organisasi pertama yang bersifat lintas kelas dan etnis, bahkan ideologi.10 Dalam

10

Mengenai sejarah pembentukan Sarekat Islam yang didahului oleh Sarekat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi yang dibentuk oleh H. Samanhudi 1905 dan juga belakangan oleh R.M Tirtoadisuryo 1910, di bilangan Bogor, lihat misalnya Deliar Noer, Gerakan Modern


(48)

kapasitasnya tersebut organisasi ini dipandang sebagai sebuah agensi yang memiliki karakteristik pemersatu yang berjiwakan semangat nasional. Jika Budi Oetomo (BO) dilihat oleh sebagian kalangan sebagai organisasi pergerakan yang cenderung bersifat elitis dan bahkan punya kecenderungan menjadi pendukung terbentuknya “nasionalisme jawa”11, maka Sarekat Islam merupakan organisasi yang berkontribusi dalam menegakan akar kebangsaan dan persatuan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam episode paling dinamis dalam sejarah pergerakan awal politik bumiputera pada awal abad ke-20, baik dalam bentuk pemikiran-pemikiran maupun aksi dan gerakan politik. Meski pada awalnya SI menolak disebut sebagai gerakan politik, hal itu sesungguhnya hanya merupakan pandangan sesaat yang segera saja bermetamorfosis. Bahkan George McTurner Kahin, dengan menimbang situasi politik kolonial saat itu, melihat langkah awal SI itu hanya sekedar kamuflase atau strategi jangka pendek untuk menghindari tekanan pemerintahan kolonial pada masa-masa awal pembentukannya.12

A.2. Islam dan Soal Kebangsaan

Terlepas dari itu, satu hal yang nampaknya menjadi sandungan bagi SI untuk sepenuhnya diakui sebagai pergerakan kebangsaan adalah soal keislamannya. Oleh karenanya memahami ke mana arah mana Islam yang dimaksud dari organisasi ini adalah penting adanya, sebelum melihat fakta-fakta sejarah seputar nilai-nilai kebangsaan SI.

Islam di Indonesia 1900-1942… h. 14-18. Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil? …h. 11-21

11

Lihat misalnya pandangan sedemikian dalam Syafiq A Mughni, “Munculnya Kesadaran Nasionalisme Umat Islam”, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Menjadi Indonesia. 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (Jakarta: Mizan, 2006), h. 527

12

George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell University Press, Itacha, 1952), h. 8


(49)

Para pengamat gerakan Islam di tanah air, nampak sepakat untuk menempatkan organisasi ini sebagai bagian dari barisan gerakan modern Islam (Islam modernis). Dengan kapasitasnya tersebut SI ditempatkan sama dengan organisasi semacam Muhammadiyah, Persis dan juga belakangan Masyumi. Dalam pemahaman kelompok modernis Islam dipandang lebih dari sekedar agama privat yang bersifat individualistik dan mengatur semata hubungan antara tuhan dan ciptaannya. Sebaliknya, Islam diyakini merupakan agama yang memberikan ruh (spirit), kebijakan (wisdom) dan arah (way) bagi kehidupan sosial dan konstruksi peradaban Dan Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan baik tersirat (substansi) maupun tersurat (formal) tentang pengelolaan sebuah kehidupan sosial dan politik yang sesuai dengan tuntunan nilai-nilai ketuhanan semasa hidupnya. Atas dasar itulah Islam dalam pandangan SI merupakan pedoman yang relevan bagi kehidupan sosial, termasuk juga politik bagi setiap muslim.

Dengan batasan pemahaman itu nilai-nilai politik Islam, baik yang tertulis dalam Al-Qur’an maupun yang tercontohkan dalam Negara Madinah, seperti keadilan sosial, semangat pembebasan, pengutamaan musyawarah, pengakuan terhadap pluralisme dan persamaan manusia, serta pengedepanan rasa persaudaraan, menjadi landasan berpolitik bagi setiap umatnya, tidak terkecuali SI. Secara umum nilai-nilai itu menjadi legitimasi yang paling fundamental bagi SI untuk mengokohkan perjuangannya. Dalam konteks pergantian abad 20, nilai- nilai itu semakin nyata dan relevan dalam upaya melakukan perlawanan terhadap sistem kolonial sekaligus sebagai modal perjuangan bagi ummat Islam pada khususnya dan kepentingan bangsa pada umumnya. Dalam memahami nilai-nilai


(1)

penentu mencairnya hubungan militer dengan umat Islam. Terjadinya kebangkitan umat Islam baik di kalangan sipil maupun militer, bersamaan dengan kepentingan penguasa untuk mengamankan kekuasaannya. Inilah yang menjadi titik temu umat Islam dengan militer. Keduanya dipertemukan, secara politik, oleh kepentingan penguasa, sementara di sisi lain, secara kultural, mereka sama-sama dipertemukan oleh adanya pemahaman yang sama tentang Islam. Harold Crouch menggambarkan bahwa semarak keagamaan yang muncul di lingkungan militer merupakan fenomena baru yang belum terlihat pada masa sebelumnya.

Umat Islam maupun militer merupakan dua entitas yang bisa berdampingan baik secara kultural maupun secara politik. Semua ini bisa terjadi apabila militer tidak lagi menjadi alat kepentingan politik penguasa, dan umat Islam bisa menampkkan nilai-nilai ajaran Islam yang egaliter, inklusif, dan substantif. Masing-masing harus dikembalikan pada fungsi komunitas dan peran yang sesungguhnya. Untuk memahami hubungan antara umat Islam dengan militer dengan militer harus dilihat dari dua faktor, yaitu faktor kultural dan faktor politik.

B. Saran-Saran

Berangkat dari beberapa poin yang penulis cantumkan, di penghujung bab ini akan dikemukakan saran-saran sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang merasa memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam skripsi ini.


(2)

Ketika menulis tentang perubahan hubungan militer dengan umat Islam, penulis masih terkendala dalam mendapatkan litelatur tentang sisi lain perubahan hubungan militer dengan umat Islam, selama ini literatur yang bertebaran hanya membahas tentang militer dipentas politik, hubungan militer dengan sipil, Islam dan TNI dalam reformasi. Semoga dengan munculnya tulisan yang bertemakan perubahan hubungan militer dengan umat Islam menjadi celah lahirnya literatur baru yang membahas masalah hubungan militer dengan umat Islam. Selain itu, dengan kehadiran tulisan ini diharapkan pula akan membuka ruang dialektika bahwa perubahan hubungan militer dengan umat Islam dalam konteks Indonesia, bahwa peran militer dan umat Islam sangat menunjang dalam pembangunan dan pembentukan masyarakat madani/civil society yang berkesinambungan dan kuat. Dengan hadirnya tulisan ini diharapkan pula bisa melahirkan serta memperbanyak penelitian tentang Perubahan hubungan militer dengan umat Islam.


(3)

DAFTAR REFERENSI

Adillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap KonsepDemokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999

Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Pustaka Pelajar 1999

Anderson, Benedict, S, Takashi, dan Siegel, Jams T. “The Indonesia Military in the Mid-1990s: Political Maneuvering or Structural Change?”, Indonesia, No. 63, April 1997

Anwar, Dewi Fortuna, “Ka’bah dan Garuda: Dilema di Indonesia”, dalam Prisma, No. 4, April 1984. Tahun XII, L3S. Jakarta, h. 7

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002)

A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil? (Jakarta: Grafiti Press, 1985) Bruinessen, Martin Van, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Bentang 1999

Briton, Peter, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, Jakarta: LP3ES, September, 1996 Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999

Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta. 1986 Dhakidae, Dhaniel, “Orde Baru dan Peluang Demokrasi“ Dalam Th. Sumartana,

dkk (Tim editor), ABRI dan Kekuasaan,Yogyakarta: Interfidei, 1999 Efendi, Bahtiar, Islam dan Negara, Transformasi Pemikran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina’ 1998

Esposito, L. John, Islam and Politics, Syracause, New York: Syracause Universitiy Press, 1991,Edisi III

Federspiel, M. Howard, “Militer dan Islam pada Masa Pemerintahan Soekarno di Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Shidique, Yasin Hussain (ed), Islam di Asia Tenggara Perkembangan Kontemporer, LP3ES, Jakarta. 1990

Feillard, Andree, “Islam Tradisional dan Tentara dalam Orde Baru; Sebuah Hubungan yang Ganjil”, dalam Greg Fealy dan Greg Barton (ed) Vol. 46.


(4)

No. 3, 1973. NU vis-a-vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999)

Feith, Herbeth, “The Dynamics of Guided Democracy-Indonesia”, dalam Ruth McVey (ed) (New Haven, NY: Yale University Press, 1967)

Hefner, Robert W, Islam, Pasar, Keadilan, Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi, (Yogyakarta: LKiS, 2000)

http://korantempo.com/korantempo/2007/06/11/Opini/krn,20070611,53.id.html Kadi, Saurip, TNI-AD, Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, (Jakarta: Grafiti, Juli

2000)

Kahin, McT. George, Nationalisme and Revolution-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel University Press, 1966); Herberth Feith. The Decline of Constitutional Democracy-Indonesia (Ithaca, NY: Cornel University Press, 1962)

Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, Agustus 1999, hlm. 194

Legge, J.D. Soekarno: A Political Biography, New York, (Washington: Praeger Publishers, 1972)

Liddle, R.William, Pemilu-pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik, Jakarta: LP3ES, 1992

Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Politik. Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Gema Insan Pers 1996

Mardjono, Hartono, Politik Indonesia 1996-2003, (Jakarta. Gema Insani Perss,1996)

Mehden, Fred R. von der, “Religion and Nationalism in Southeast Asia: Burma, Indonesia, The Philiphines” (Madison and London: The University of Wisconsin Press, 1968)

Mietzner, Marcus, “From Soeharto to Habibie: the Indonesian Armed Forces and Political Islam during the Transition”, dalam Geoff Forrestor (Editor), Post-Soeharto Indonesia, Renewel or Chaos?, Leiden: KITLV, 1999

Noer, Delia, Gerakan Modern Islam di iNdonesia 1900-1942, LP3ES 1982

Notosusanto, Nugroho, (ed),Pejuang dan Prajurit : Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI,Jakarta: Sinar Harapan, 1984

Nusa Bhakti, Ikrar, dkk, Tentara yang Gelisah, Hasil Penelitian Yipika Tentang Posisi ABRI dalam Gerakan Reformasi, Bandung: Mizan, 1999


(5)

Rakhmat, Jalaludin, “Islam di Indonesia Masalah Defenisi, dalam M. Amien Rais (ed), Islam di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press

Salim, Said, Tumbuh dan Berkembangnya Dwifungsi. Perkembangan Politik Militer Indonesia 1958-2000 cet I, Aksara Karunia 2002

Samego, Indria, “Bila ABRI Menghendaki”, (Bandung, Mizan, Agustus 1998), cet. II

Syamsudin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2000) Soebijono, dkk, Dwifungsi ABRI, Perkembangan dan Perananannya dalam

Kehidupan Politik di Indonesia, Yogyakarta: gadjah Mada University Press, 1997

Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer, Studi tentang Budaya Politik, (Jakarta: LP3ES, Agustus 1992)

Tanjung, Feisal, Jenderal TNI, ABRI-Islam, Mitra Sejati, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997

Tiras, ABRI dan Islam, No. 21/VI/13 Februari 1993.

Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta: Gema Insani Press, 1966)

Wahid, Adurahman, “Islam dan Militerisme dalam Lintasan Sejarah”, (Prisma, No. 12, Desember 1980)

Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Jakarta: Magna Script, 2004), cet. 1

www.asiaweek.com www.jawapos.com www.tni.com

Perlmutter, Almost, Militer dan Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998)

Yeon, Kim So, Makna dan Keterbatasan Sarekat Islam dalam Pergerakan Nasional, tesis (Depok: Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, 2003)

Zahra, Abu (ed), Politik demi Tuhan. Nasionalisme Religius di Indonesia, Pustaka Hidayah 1999


(6)