Tanggung jawab komisaris independen. doc

MAKALAH TATA KELOLA PERUSAHAAN
Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi

Kelompok 7:
Dhestha Sufian Mardiana - 1306484274
Ivan Julio - 1306484633
Maria Virginia Melati - 1306484785
Sintia Resmi Januarini - 1306485352

Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
Depok
2014

Daftar Isi

Daftar Isi

2

Statement of Authorship


3

Bab 1. Pendahuluan 4
Bab 2. Pembahasan 5
2.1 Peranan Dewan Komisaris dan Direksi secara umum 5
2.1.1 Persamaan dan Perbedaan Peranan dewan komisaris dan direksi
2.2 Kelebihan dan kelemahan struktur dewan one tier dan two tier

8

2.3 Komisaris Independen dan peranannya dalam tata kelola perusahaan
2.3.1 Komisaris Independen menurut Peraturan Bursa Efek Jakarta 10
2.4 Kelemahan peraturan tentang komisaris independen saat ini 12
2.4.1 Peraturan Komisaris Independen di Indonesia 13
2.5 Analisa Kasus PT Askrindo

14

2.5.1 Profil PT Askrindo


14

2.5.2 Kasus PT Askrindo

15

2.5.3 Pembahasan Kasus PT Askrindo
Bab 3. Kesimpulan 24
Bab 4. Daftar Pustaka

25

18

5
9

STATEMENT OF AUTHORSHIP


“Saya/kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir
adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya/kami
gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.
Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada
mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan dengan
jelas menggunakannya.
Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan
atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.”
Mata ajaran

: Tata Kelola Perusahaan

Judul tugas

: Tanggung Jawab Dewan Komisaris dan Direksi

Tanggal: 9 Oktober 2014
Dosen

: Desi Adhariani S.E., Ak., M.Si


Nama

NPM

Dhestha Sufian Mardiana

1306484274

Ivan Julio

1306484633

Maria Virginia Melati

1306484785

Sintia Resmi Januarini

1306485352


TTD

BAB 1
PENDAHULUAN
Menurut konsep GCG perusahaan akan memperoleh nilai perusahaan (value of
the firm) yang maksimal apabila fungsi dan tugas masing-masing pelaku organisasi
bisnis yang modern dapat dipisahkan dengan membentuk:
(1) Board of Directors, meliputi dewan direksi dengan syarat mereka bekerja full time
dengan tidak boleh merangkap pekerjaan. Mereka mengelola perusahaan melalui
berbagai keputusan managerial stratejik perusahaan.
(2) Board of Commisionners (BOC), meliputi dewan komisaris biasa dan Komisaris
Independen serta berbagai komite yang dibentuknya. Fungsi utama BOC adalah
mengawasi arah kepengusahaan dan jalannya perusahaan menurut prinsip-prinsip
GCG.
Dengan pedoman GCG tersebut maka dapat dibangun saling kepercayaan antara
pemilik perusahaan dan para pimpinan perusahaan (Dewan Direksi dan para Manajer
tingkat puncak). Guna mengawasi lebih lanjut kinerja perusahaan dan menjaga
kepentingan para pemilik modal secara profesional, maka pemilik perusahaan melalui
RUPS, mengangkat anggota komisaris untuk duduk dalam Dewan Komisaris. Rapat

Umum

Pemegang

Saham

(RUPS)

mempunyai

wewenang

meminta

pertanggungjawaban Dewan Komisaris dan Dewan Direksi terkait dengan
pengelolaan Perseroan dan mengangkat dan memberhentikan Direktur dan Anggota
Dewan Komisaris, memutuskan pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara
Direktur dan lain-lain.

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1

Peranan Dewan Komisaris dan Direksi secara umum
Direksi dan Dewan Komisaris. Pasal 1 angka 5 dan angka 6 Undang-undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) mengatur definisi yang
dimaksud dengan Direksi dan Dewan Komisaris. Direksi adalah organ Perseroan yang
bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan
Perseroan, serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, sesuai
dengan ketentuan anggaran dasar. Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang
bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan
anggaran dasar serta memberi nasehat kepada Direksi.
2.1.1

Persamaan dan Perbedaan Peranan dewan komisaris dan direksi
Pada prinsipnya ada perusahaan yang menggabungkan peranan Dewan

Komisaris dan Dewan Direksi pada perusahaan, tetapi ada juga yang memisahkan

peran kedua dewan tersebut. Berikut ini adalah persamaan dan perbedaan berdasarkan
OECD CG:
a. Persamaan Dewan Direksi dan Dewan Komisaris:
1. Memonitor kinerja manajerial dan mencapai tingkat imbal balik (return) yang
memadai bagi pemegang saham.
2. Dewan harus mencegah timbulnya benturan kepentingan dan meyeimbangkan
berbagai kepentingan di perusahaan.
3. Dewan perlu dapat melakukan penilaian yang obyektif dan independen agar
dapat menjalakankan tanggung jawab yang sudah disebutkan di poin pertama
dan kedua.
4. Memastikan perusahaan selalu mematuhi ketentuan peraturan hukum yang
berlaku, terutama di bidang perpajakan, persaingan usaha, perburuhan, dan
lingkungan hidup.
5. Dewan perlu memiliki akuntabilitas terhadap perusahaan dan pemegang saham
serta bertindak baik untuk kepentingan mereka.

6. Dewan diharapkan bertindak adil kepada pemangku kepentingan (stakeholder)
lainnya, seperti karyawan, kreditur, pelanggan, pemasok, dan masyarakat di
sekitar perusahaan.
Persamaan tersebut dapat diuraikan kedalam enam sub prinsip, sebagai

berikut:
1. Anggota dewan harus bertindak berdasarkan informasi yang jelas, dengan
itikad yang baik, berdasarkan due diligence dan kehati-hatian, serta demi
kepentingan perusahaan dan pemegang saham.
2. Apabila keputusan dewan dapat mempengaruhi suatu kelompok pemegang
saham secara berbeda dengan kelompok pemegang saham lain, maka dewan
harus memperlakukan seluruh pemegang saham secara adil.
3. Dewan harus menerapkan standar etika yang tinggi dan memperhatikan
kepentingan para pemangku kepentingan. Standar etika yang tinggi merupakan
kepentingan jangka panjang perusahaan agar memperoleh kredibilitas dan
kepercayaan tidak hanya dalam kegiatan sehari-hari tapi juga terhadap
komitmen-komitmen jangka panjang yang dibuat perusahaan.
4. Fungsi-fungsi utama yang harus dimiliki oleh suatu dewan adalah sebagai
berikut:
1) Menelaah dan mengarahkan strategi perusahaan, rencana utama,
kebijakan mengenai resiko, anggaran tahunan, dan rencana usaha,
menetapkan sasaran kinerja, memonitor penerapan dan kinerja perusahaan
serta memantau belanja modal yang besar, akuisisi dan divestasi.
2) Memonitor efektifitas praktik tata kelola perusahaan serta membuat
perubahan-perubahan yang diperlukan.

3) Menyeleksi, memberikan kompensasi, memonitor serta bila perlu
mengganti pejabat eksekutif serta mengawasi perencanaan penggantian
pejabat.
4) Menyesuaikan remunerasi eksekutif kunci dan dewan dengan kepentingan
jangka panjang dari perusahaan dan pemegang saham.
5) Memastikan proses nominasi dan pemilihan dewan secara transparan dan
formal.
6) Memonitor dan mengelola potensi benturan kepentingan dari manajemen,
anggota Dewan serta pemegang saham, termasuk penyalahgunaan aset
perusahaan dan penyelewengan dalam transaksi dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa.

7) Memastikan

integritas

sistem

pelaporan


akuntasi

dan

keuangan

perusahaan, termasuk audit independen, serta memastikan bahwa sistem
pengendalian yang tepat telah diterapkan, khususnya mengenai sistem
manajemen resiko, pengendalian keuangan dan operasional, serta
kesesuaian dengan peraturan perundangan serta standard-standard yang
berlaku.
8) Mengawasi proses keterbukaan dan komunikasi.
5. Dewan harus dapat melaksanakan penilaian yang obyektif dan independen
dalam melakukan pengurusan perusahaan. Prinsip ini diperlukan agar dewan
dapat melaksanakan tugasnya dalam memonitor kinerja manajerial, mencegah
benturan kepentingan dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan dalam
perusahaan. Dalam mewujudkan prinsip tersebut, beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah:
1) Dewan komisaris harus mempertimbangkan untuk menugaskan anggota
dewan komisaris dalam jumlah yang cukup yang mampu melakukan
penilaian yang independen untuk tugas-tugas dimana terdapat potensi
benturan kepentingan. Contoh dari tanggungjawab utama tersebut adalah
memastikan integritas laporan keuangan dan non keuangan, penelaahan
transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa,
nominasi anggota dewan dan eksekutif kunci, serta dewan remunerasi.
2) Apabila komite-komite di bawah dewan komisaris telah terbentuk,
mandat, komposisi dan prosedur kerja mereka harus ditentukan dengan
baik dan diungkapkan oleh Dewan.
3) Anggota dewan harus dapat mengikatkan diri mereka secara efektif
kepada tanggung jawab mereka.
6. Dalam rangka memenuhi tanggung jawabnya, anggota dewan komisaris harus
memiliki akses terhadap infomasi yang akurat, relevan dan tepat waktu yang
dibutuhkan untuk mendukung tugas pembuatan keputusan-keputusan bagi
perusahaan. Anggota dewan komisaris pada umumnya tidak memiliki akses
yang sama sebagaimana yang dimiliki manajemen perusahaan terhadap
informasi mengenai kondisi perusahaan.
b. Perbedaan Dewan Komisaris dan Dewan Direksi
Dewan komisaris :
1. Berperan sebagai pengawas (non-executive director)
2. Melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi, meliputi
pengawasan atas kebijakan direksi dalam melakukan pengurusan perusahaan

yang bertujuan untuk kepentingan perusahaan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan perusahaan.
Dewan Direksi :
1. Berperan sebagai pengurus perusahaan (executive director)
2. Menjalankan pengurussan Perusahaan dengan kebijakannya sendiri tetapi tetap
dalam batas-batas yang ditentukan UU dan anggaran dasarnya.
3. Direksi dapat memberikan kuasa tertulis kepada karyawan perusahaan atau
kepada orang lain untuk melakukan perbuatan hukum tertentu atas nama
perusahaan.
4. Direksi dapat mewakili perusahaan baik di dalam maupun di luar
pengadilan,kewenangan itu dimiliki direksi tidak terbatas dan tidak bersyarat
selama tidak bertentangan dengan UU dan anggaran dasar serta keputusan
RUPS.

2.2

Kelebihan dan kelemahan struktur dewan one tier dan two tier
Menurut konsep corporate governance, struktur perusahaan harus didesain

untuk mendukung jalannya aktivitas organisasi secara bertanggungjawab dan
terkendali. Struktur perusahaan dibagi menjadi 2 sistem yaitu one tier dan two tier.
Sistem one-tier merupakan sebuah struktur dimana hanya ada pimpinan tanpa adanya
pemisahan tersendiri untuk fungsi pengawasan. Sedangkan, two-tier terdapat badan
pengawas yang mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin.
Berikut ini adalah kelebihan dan kelemahan struktur dewan one tier dan two tier :

Kelebihan one-tier:
1.
2.
3.
4.

Lebih cepatnya dalam pengambilan keputusan
Direksi punya akses langsung ke informasi
Mendefinisikan dengan jelas struktur manajemen
Membuat pemimpin organisasi dapat leluasa memberikan arahan dan perintah
berdasarkan visi dan misi perusahaan

Kelemahan one-tier:
1. Bergantung dengan CEO
2. Tidak adanya system pengawasan karena fungsi pengawasan dan pimpinan
digabung.

Kelebihan two-tier:
1. Adanya pemisahan antara direction dan control
2. Dewan pengawas bisa mengeluarkan pemegang saham di rapat umum
3. Sangat menjanjikan performa organisasi yang bagus karena adanya dewan
komisaris yang merupakan pemegang kekuasaan sebagai pengawas sehingga
diharapkan akan dapat mencegah atau mengurangi kecurangan.
4. Terdapat badan pengawas yang mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemimpin
Kelemahan two-tier:
1. Hampir tidak terlibat dalam aktivitas bisnis
2. Dewan pengawas tergantung pada informasi dari dewan manager
2.3

Komisaris Independen dan peranannya dalam tata kelola perusahaan.
Good Corporate Governance (GCG) diperlukan untuk mendorong pasar yang

transparan, effisien, dan konsisten dengan peraturan perundangundangan. Oleh karena
itu, penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu
negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan
masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.
Pada era bisnis pasca perang dingin banyak pelaku bisnis dengan berbagai
macam jenis korporasi mulai menjalankan tatakelola perusahaan dengan baik secara
terbuka, sistematis dan bertanggung jawab. Hal ini terdorong kebutuhan pasar yang
menuntut perusahaan public menjalankan sistem manajemennya secara baik,
transparan, dan auditable, menyusul maraknya berbagai skandal sistem pelaporan
keuangan perusahaan- perusahaan global beberapa tahun yang lalu. Menurut konsep
GCG perusahaan akan memperoleh nilai perusahaan yang maksimal apabila fungsi
dan tugas masing-masing pelaku organisasi bisnis yang modern dapat dipisahkan
dengan bentuk: (1) Board of Directors (BOD), dengan syarat mereka bekerja full time
dengan tidak boleh merangkap pekerjaan. Mereka mengelola perusahaan melalui
berbagai keputusan managerial perusahaan. (2) Board of Commisionners (BOC),

meliputi komisaris biasa dan komisaris independen serta berbagai komite yang
dibentuknya. Fungsi utama BOC adalah mengawasi arah kepengurusan dan jalannya
perusahaan menurut prinsip GCG.
Agar fungsi dan tugas Dewan Komisaris berjalan dengan baik, perlu
dipastikan bahwa setiap kebijakan dan keputusan yang dikeluarkan tidak memihak
kepentingan Board of Directors sebagai agent, atau bias dengan kepentingan pemilik.
Dalam hal ini komisaris independen dapat berperan untuk mewakili pemegang saham
minoritas.
Komisaris Independen adalah anggota dewan Komisaris yang tidak memiliki
hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga
dengan anggota dewan Komisaris lainnya, Direksi dan/atau pemegang saham
pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk
bertindak independen. Status independen terfokus kepada tanggung jawab untuk
melindungi pemegang saham, khususnya pemegang saham independen dari praktik
curang atau melakukan tindak kejahatan pasar modal.

2.3.1

Komisaris Independen menurut Peraturan Bursa Efek Jakarta
Keberadaan Komisaris Independen telah diatur Bursa Efek Jakarta melalui

peraturan BEJ tanggal 1 Juli 2000. Dikemukakan bahwa perusahaan yang listed di
Bursa harus mempunyai Komisaris Independen yang secara proporsional sama
dengan jumlah saham yang dimiliki pemegang saham yang minoritas (bukan
controlling shareholders). Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal
Komisaris Independen adalah 30% dari seluruh anggota Dewan Komisaris. Beberapa
kriteria lainnya tentang Komisaris Independen adalah sebagai berikut:
1. Komisaris Independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham
mayoritas atau pemegang saham pengendali (controlling shareholders) Perusahaan
Tercatat yang bersangkutan;
2. Komisaris Independen tidak memiliki hubungan dengan direktur dan/atau
komisaris lainnya Perusahaan Tercatat yang bersangkutan;
3. Komisaris Independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada perusahaan lainnya
yang terafiliasi dengan Perusahaan Tercatat yang bersangkutan;

4. Komisaris Independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal;
5. Komisaris Independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang
bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan controlling shareholders)
dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Pada pasal 5, Ayat (1) penjelasan atas peraturan Bank Indonesia disebutkan
bahwa, keberadaan Komisaris Independen dimaksudkan untuk mendorong terciptanya
iklim dan lingkungan kerja yang lebih obyektif dan menempatkan kewajaran
(fairness) dan kesetaraan di antara berbagai kepentingan termasuk kepentingan
pemegang saham minoritas dan Stakeholders lainnya.
Dalam Undang-undang Perseroan Terbatas (UUPT ) Nomor 40 tahun 2007,
Pasal 120/1 UUPT telah mengatur dan mewajibkan bahwa dalam Anggaran Dasar
Perseroan untuk menempatkan minimal satu orang komisaris independen dan satu
orang komisaris utusan. Selain itu komisaris independen dapat menghindari benturan
kepentingan antara pemegang saham mayoritas dan minoritas. Dalam suatu perseroan
komisaris diharapkan menjadi penyeimbang terhadap keputusan yang dibuat oleh
pemegang saham mayortas, jadi seperti mewakili pemegang saham minoritas. Ini
dimaksudkan agar kepentingan pemegang saham minoritas tidak terabaikan.
Kemampuan komisaris independen untuk dapat benar-benar independen dan
mampu menolak pengaruh, intervensi atau tekanan dari manajemen atau pemegang
saham mayoritas yang memiliki kepentingan atas transaksi atau keputusan tertentu.
sebab rata-rata struktur kepemilikan saham emiten, masih terkait kontrol mayoritas
pemegang saham di dalam menjalankan perusahaannya,
Insentifitas pengawasan yang terus menerus mensyaratkan aktifitas dan
perhatian setiap individu yang terpilih sebagai komisaris independen, di dalam
mengawasi kegiatan perseroan tidak dapat terpecah dengan adanya pekerjaan atau
kesibukan lainnya. Untuk itu emiten yang memilki komisaris independen hendaknya
mereka yang berkemampuan , berpengetahuan serta mempunyai waktu dan intergritas
yang tinggi di dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang ada. Kualitas
pengawasan juga ditentukan oleh bagaimana desain pengambilan keputusan bersama
jajaran komisaris lainnya dan terpenuhi persyaratan yang ditentukan oleh bursa efek.

Keberadaan komisaris independen dimaksudkan untuk menciptakan iklim
yang lebih objektif, independen dan untuk menjaga fairness serta memberikan
keseimbangan antara kepentingan pemegang saham mayoritas dan perlindungan
terhadap kepentingan pemegang saham minoritas, bahkan kepentingan stakehorlder
lainnya. Komisaris independen sangat dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan yang
ada di Indonesia terutama bagi perusahaan publik. Dengan adanya komisaris
independen semua pihak yang berkepentingan mendapatkan manfaat yang besar,
terutama terbentuknya situasi yang suitable dengan prinsip Good Corporate
Governance, dimana komisaris dapat memberikan pandangan dengan tingkat
independensi dan akuntabilitas yang lebih tinggi.
2.4

Kelemahan peraturan tentang komisaris independen saat ini
Komisaris independen merupakan bagian dari dewan komisaris memiliki tugas

yang sama dengan tugas komisaris pada umumnya. Dalam UU No. 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (UUPT), disebutkan bahwa tugas komisaris adalah
mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan
nasehat kepada Direksi.
Dalam prakteknya, banyak komisaris yang melalaikan tugasnya untuk
memberikan pengawasan terhadap kebijaksanaan direksi dalam menjalankan
perseroan, hal tersebut terjadi karena kurangnya informasi yang didapat oleh dewan
komisaris yang di dalamnya termasuk komisaris independen. Dalam pengertian
hukum, sebenarnya komisaris, terlebih komisaris utama, tidak bertugas membuat
keputusan. Namun dalam prakteknya, komisaris utama biasanya justru sangat
berperan dalam pembuatan kebijakan strategis perusahaan. Hal ini juga menjadikan
komisaris tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
Banyaknya komisaris yang melakukan kelalaian dalam melaksanakan
tugasnya memang menjadi suatu fenomena. Namun demikian, bahwa sampai saat ini,
terhadap kelalaian para komisaris tersebut adalah belum ada suatu pengaturan hokum
untuk kelalaian yang disebabkan oleh para komisaris.
2.4.1

Peraturan Komisaris Independen di Indonesia

Pada praktek di Indonesia Dewan Komisaris ini tidak ubahnya hanya pajangan
saja. karena tidak selalu dapat menjadi partner yang baik bagi Dewan Direksi.
Dengan atau tanpa komisaris independen, dewan komisaris terlebih di Indonesia ini
adalah partner yang pasif dari BOD (Board of Directors). Sehingga tidak efektif, atau
dapat disebut sebagai formalitas perusahaan saja.
Istilah komisaris independen tidak terdapat dalam UUPT. Istilah tersebut
hanya terdapat dalam peraturan BEJ (Bursa Efek Jakarta). Dalam peraturan tersebut,
BEJ mewajibkan setiap emiten atau perusahaan publik yang terdaftar di BEJ untuk
memiliki komisaris independen, direktur independen, serta komite audit dan atau
sekretaris perusahaan (corporate secretary). Dalam peraturan tersebut diatur bahwa
jumlah komisaris independen harus mencapai 30 persen dari jumlah anggota dewan
komisaris. Selain itu, telah ditetapkan pula berbagai persyaratan untuk menjadi
komisaris independen, seperti komisaris independen tidak boleh terafiliasi dengan halhal yang terkait dengan perusahaan.
Dalam peraturan BEJ, Komisaris Independen dipilih bersama anggota dewan
komisaris lainnya dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Dalam RUPS
tersebut, pemegang saham hadir untuk memilih anggota dewan komisaris perusahaan.
Kekurangan dalam pelaksanaan RUPS adalah biasanya banyak pemegang saham yang
tidak mengetahui terlebih lagi mengerti tentang informasi jalannya perusahaan.
Pemegang saham seharusnya mendapat perlakuan yang sama dan kemudahan dalam
mengakses informasi tentang perusahaannya. Karena kebijakan yang keluar dari
RUPS nantinya digunakan sebagai dasar aturan perusahaan.
2.5

Analisa Kasus PT Askrindo

2.5.1

Profil PT Askrindo
PT. (Persero) Asuransi Kredit Indonesia atau PT. Askrindo (Persero)

merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam
asuransi/penjaminan atas kredit yang disalurkan oleh perbankan kepada UMKM. PT
Askrindo didirikan pada tanggal 6 April 1971 berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 1/1971 tanggal 11 Januari 1971. Sesuai dengan Visi dan
Misinya, PT. Askrindo (Persero) senantiasa menjalankan peran dan fungsinya
sebagai Collateral Subtitution Institution, yaitu lembaga penjamin yang menjembatani

kesenjangan antara UMKM yang layak namun tidak memiliki agunan cukup untuk
memperoleh kredit dengan lembaga keuangan, baik perbankan maupun lembaga non
bank (feasible tetapi tidak bankable).
Sejalan dengan berubahnya waktu, saat ini PT. Askrindo (Persero) memiliki
empat lini usaha yaitu Asuransi Kredit Bank, Asuransi Kredit Perdagangan, Surety
Bond dan Customs Bond. Saat ini PT Askrindo telah memiliki 55 Kantor Cabang
yang tersebar di 33 Propinsi. PT. Askrindo sejak tahun 2007 melaksanakan program
pemerintah dalam rangka Inpres 6/2007 atau yang lebih dikenal sebagai penjaminan
Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dalam pelaksanaannya PT Askrindo memberikan
penjaminan atas kredit yang disalurkan oleh enam Bank pelaksana yaitu : Bank BRI,
Bank BNI, Bank Mandiri, Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri dan 26 (dua puluh
enam) Bank Pembangunan Daerah.

Gambar 1.1
Struktur Organisasi PT Askrindo (Persero)

2.5.2

Kasus PT Askrindo
Kasus PT Askrindo bermula ketika pada tahun 2000-2005 PT Askrindo

melakukan kerjasama pemberian jaminan Letter of Credit (L/C) dengan beberapa
bank seperti Bank Mandiri dan Bank Negara Indonesia (BNI) dengan nilai jaminan
yang cukup besar. Dalam realisasi kerjasama itu, kedua bank memberikan jaminan
L/C kepada beberapa nasabah Askrindo.
Bank Mandiri telah memberikan non cash loan (NCL) kepada nasabahnasabah Askrindo dengan total outstanding per tanggal 14 Maret 2007 sebesar US$
50,78 juta dengan rincian Tranka Kabel sebesar US$ 3,48 juta, Multi megah Internusa
US$ 1,01 juta, Vitron International US$ 26,42 juta, Mentari Bahakti Jaya Utama US$
0,70 juta, CV Porintdo qq. Trio Sakti Mitra Utama US$ 17,89 juta, Tri Kemindo
Mandiri Pratama US$ 0,50 juta dan Trio Sakti Mitra Abadi US$ 0,78 juta.
Namun dalam perkembangannya, para nasabah PT Askrindo penerima
jaminan L/C ini tidak mampu memenuhi kewajibannya. Akibatnya, Bank Mandiri dan
BNI mencairkan rekening deposito yang digunakan sebagai sumber pembiayaan

sebagai kewajiban nasabah PT Askrindo. Kemudian, PT Askrindo melakukan
berbagai upaya agar nasabahnya tersebut dapat memenuhi kewajibannya dengan
cara pre-claim treatment kepada para nasabah penerima jaminan L/C. PT Askrindo
melakukan pre-claim

treatment dengan

membeli

surat

sanggup/promisorry

note Tranka Kabel senilai Rp 42,7 miliar dan memberikan dana talangan sebesar Rp
26 miliar untuk biaya operasional. Tapi ternyata pre-claim treatment dengan cara
tersebut juga tidak berhasil untuk mengembalikan sumber pembiayaan yang telah
dicairkan oleh bank Mandiri.
Setelah melakukan tindakan penyelamatan yang pertama, PT Askrindo
kembali memberikan tindakan penyelamatan berikutnya berupa pembelian Medium
Term Note (MTN) milik Tranka Kabel sebesar Rp 89 miliar, terbagi dalam tiga seri
yaitu MTN seri A Rp 20 miliar, MTN seri B Rp 40 miliar dan TN seri C Rp 29 miliar
yang jatuh tempo pada 30 November 2007. Selain itu, Askrindo juga memberikan
fasilitas pinjaman sebesar Rp 140 miliar. Tujuannya agar jaminan yang diberikan PT
Askrindo kepada bank Mandiri dapat kembali ke kas PT Askrindo. Namun setelah
diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2005, disimpulkan terhadap fasilitas yang
telah diberikan Askrindo terdapat Rp 173 miliar tidak didukung oleh jaminan kuat
yang diberikan oleh pihak PT Tranka Kabel dan tindakan penyelamatan yang kedua
tersebut mengalami kegagalan untuk mencapai tujuannya.
Kemudian untuk kembali melakukan tidakan penyelamatan yang ketiga, PT
Askrindo melakukan praktik investasi yang tidak dikategorikan sebagai investasi
untuk perusahaan asuransi, yaitu penempatan investasi berbentuk REPO dan KPD
(Kontrak Pengelolaan Dana). Perusahaan asuransi bahkan dilarang untuk melakukan
transaksi REPO. PT Askrindo melakukan KPD melalui tiga perusahaan Manajer
Investasi, yaitu PT. Harvestindo Asset Management, PT. Jakarta Investment, dan PT.
Reliance Asset Management, dan dua Perusahaan yang bukan merupakan MI (PT
Batavia Prosperindo Financial Services dan PT Jakarta Securities). PT Askrindo telah
melakukan investasi melalui KPD sejak tahun 2005 sedangkan Repo mulai dilakukan
sejak tahun 2008.
Pada tahun 2008, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) menemukan adanya praktik KPD pada PT Askrindo saat BapepamLK memerintahkan kepada seluruh perusahaan asuransi untuk melaporkan
keberadaan investasi melalui KPD. Bapepam dan LK kemudian memerintahkan PT
Askrindo untuk menghentikan KPD tersebut dan mengeluarkan investasi KPD
tersebut dari jenis investasi untuk perhitungan kesehatan keuangan perusahaan.

Lalu tahun 2010 berdasarkan laporan keuangan tahun 2009 audited BapepamLK kembali menemukan transaksi investasi yang tidak sesuai dengan undang-undang,
yaitu transaksi REPO. Bapepam dan LK telah mengenakan sanksi peringatan kepada
PT Askrindo dan memintanya untuk menghentikan transaksi repo. Bapepam juga
memerintahkan kepada PT Askrindo untuk melaporkan secara berkala perkembangan
penyelesaian KPD dan REPO. Berdasarkan laporan keuangan Askrindo tahun
2010 (unaudited), PT Askrindo mempunyai investasi berupa obligasi dan reksa dana.
Namun berdasarkan pemeriksaan Bapepam dan LK pada awal tahun 2011, Askrindo
tidak dapat membuktikan kepemilikan beberapa obligasi dan reksa dana.
Terdapat dugaan korupsi antara manajemen PT Askrindo dengan perusahaan
yang dijaminnya. Direksi dari PT Tranka Kabel yang merupakan salah satu
perusahaan yang dijamin PT Askrindo, Umar Zen, divonis penjara 15 tahun dan denda
Rp. 5 Miliar subside 2 tahun penjara. Umar Zen yang mengetahui bahwa
perusahaannya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan dana dari PT Askrindo
tetap bersepakat dengan Direktur Keuangan dan Teknologi Informasi PT Askrindo
Rene Setyawan dan Kadiv Keuangan dan Akuntansi PT Askrindo, Zulfan Lubis untuk
mendapatkan dana. PT Tranka Kabel dianggap tidak memenuhi syarat karena
sebelumnya perusahaan telah beberapa kali mendapatkan bantuan dana dari PT
Askrindo.
Atas kasus ini, Rene yang merupakan Direktur Keuangan PT Askrindo divonis
oleh Mahkamah Agung (MA) hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 5 Miliar
subsider 2 tahun penjara. Selain itu Zulvan Lubis yang merupakan Kadiv Keuangan
PT Askrindo juga divonis oleh MA dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 1
Miliar subside 6 bulan kurungan serta pembayaran uang pengganti senilai Rp 796,38
juta subsider enam bulan kurungan.
Selain pada direksi PT Askrindo dan juga perusahaan yang dijamin oleh
Askrindo seperti PT Traka Kabel, efek dari kasus ini juga dirasakan oleh perusahaan
manajer investasi (MI) yang berhubungan dengan investasi bermasalah PT Askrindo.
Perusahaan MI tersebut antara lain adalah PT Harvestindo Asset Management, PT
Jakarta Investment, PT Reliance Asset Management, PT Batavia Prosperindo
Financial Services, dan PT Jakarta Securities yang sempat disidik oleh pihak
kepolisian. Dari seluruh perusahaan MI tersebut, PT Reliance Asset Management dan
PT Jakarta Investment dicabut izin usahanya oleh Bapepam-LK. Bapepam-LK juga
mencabut izin dari beberapa wakil MI dan direktur perusahaan MI tersebut.

2.5.3

Pembahasan Kasus PT Askrindo
Terkait dengan kasus PT Askrindo, terdapat dua fokus utama, yaitu

pelanggaran terhadap prinsip OECD CG prinsip 6, yaitu tanggung jawab dewan
direksi dan dewan komisaris dan pelanggaran terhadap peraturan Bapepam No IX.16
tentang direksi dan komisaris emiten dari perusahaan publik .
Dalam prinsip OECD CG dinyatakan bahwa kerangka kerja tata kelola
perusahaan harus memastikan pedoman strategis perusahaan, monitoring yang efektif
terhadap manajemen oleh dewan, serta akuntabilitas dewan terhadap perusahaan dan
pemegang saham. Menurut prinsip ini, tanggung jawab dewan yang utama adalah
memonitor kinerja manajerial dan mencapai tingkat imbal balik (return) yang
memadai bagi pemegang saham.
Agar dewan dapat menjalankan tanggung jawab tersebut secara efektif, maka
dewan perlu dapat melakukan penilaian yang obyektif dan independen. Selain itu,
tanggung jawab lain yang tidak kalah penting yaitu memastikan bahwa perusahaan
selalu mematuhi ketentuan peraturan hukum yang berlaku, terutama di bidang
perpajakan, persaingan usaha, perburuhan, dan lingkungan hidup. Dewan perlu
memiliki akuntabilitas terhadap perusahaan dan pemegang saham serta bertindak
yang terbaik untuk kepentingan mereka. Dewan juga diharapkan bertindak secara adil
kepada pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya, seperti kepada karyawan,
kreditur, pelanggan, pemasok dan masyarakat sekitar perusahaan.
Dalam kasus ini dapat diketahui bahwa dewan komisaris secara garis besar
dalam hal ini telah melakukan kegagalan dalam memonitor kinerja manajerial dan
mencapai tingkat imbal balik (return) yang memadai bagi pemegang saham yang
dalam hal ini adalah negara, tidak memastikan bahwa perusahaan selalu mematuhi
ketentuan peraturan hukum yang berlaku, dan tidak bertindak secara adil kepada
pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya, seperti kepada nasabah, pemegang
saham, dan perusahaan manajer investasi dengan:
1. Membiarkan perusahaan korporat yang bukan UMKM seperti PT Tranka Kabel
yang sudah jelas tidak memiliki kriteria untuk diberi jaminan dalam
pendanaannya mendapatkan penjaminan atas L/C yang diterbitkan oleh Bank
2.

Mandiri.
Membiarkan manajemen dalam memberikan pendanaan kepada PT Tranka Kabel
dengan cara pembelian MTN, padahal sudah jelas diketahui bahwa PT Tranka
Kabel telah gagal dalam melakukan pembayaran L/C kepada Bank Mandiri yang

telah mengakibatkan kerugian besar yang ditanggung oleh PT Askrindo akibat
3.

pembayaran atas jaminan L/C tersebut.
Membiarkan manajemen melakukan transaksi REPO yang sudah jelas terlarang
dilakukan perusahaan pembiayaan oleh undang-undang, dan melakukan KPD
melalui pihak Manajer Investasi yang merugikan baik perusahaan maupun pihak
Manajer Investasi tanpa melaporkan kegiatan tersebut pada BAPEPAM – LK.
Bagi perusahaan tindakan tersebut jelas merugikan karena perusahaan untuk
ketiga kalinya harus memberikan pendanaan pada perusahaan yang memiliki
kredit macet dan tidak mampu menjalankan kewajibannya yang lampau. Jika
dana-dana tersebut tidak disalurkan ke pihak yang salah, maka dana tersebut
dapat digunakan untuk mengembangkan lebih banyak UKMN yang memang
menjadi tujuan perusahaan pada mulanya. Untuk pihak Manajer Investasi
kerugiannya adalah pencabutan ijin usaha.
Secara lebih detail berikut ini kami akan menjelaskan sub prinsip OECD enam

yang telah dilanggar Dewan Komisaris PT Askrindo, yaitu:
1. Sub Prinsip D dalam OECD Prinsip 6 menggambarkan secara terperinci fungsifungsi utama dewan komisaris yang perlu dipenuhi agar dapat melaksanakan
tugasnya dengan bertanggung jawab dan memastikan kerja manajemen berjalan
dengan baik yang tentunya memperhatikan kepentingan pemegang saham. Poin 1
Sub prinsip D menerangkan bahwa fungsi dewan komisaris yakni menelaah dan
mengarahkan strategi perusahaan, kebijakan mengenai resiko dan memantau
belanja modal yang besar. Dewan Komisaris dalam kasus Askrindo ini perlu
dipertanyakan fungsi pengawasannya, sebab beberapa investasi yang secara jelas
dilarang dilakukan oleh Askrindo sudah berlangsung cukup lama. Investasi
melalui Kontrak Pengelolaan Dana (KPD) sudah dilakukan Askrindo sejak tahun
2005, sedangkan Repurchase Agreement (Repo) sejak tahun 2008. Penempatan
investasi tidak dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan tidak menghitung
risiko kerugian. Bila Dewan komisaris melaksanakan fungsinya dengan baik,
seharusnya tindakan ilegal ini tidak berlangsung lama, atau setidaknya setelah
mendapatkan surat peringatan dari Bapepam LK, Dewan Komisaris bertindak
dengan tegas.
4. Askrindo belum memiliki komite remunerasi dan komite nominasi, sehingga
fungsi poin 5 dan 6 dalam Sub Bab D Prinsip 6 OECD belum dilaksanakan.
5. Poin 7 Sub Bab D menerangkan bahwa Dewan Komisaris wajib memonitor dan
mengelola potensi benturan kepentingan daro manajemen, anggota Dewan serta

pemegang saham, termasuk dalam penyalahgunaan asset perusahaan dan
penyelewengan dalam transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa. Fungsi ini merupakan peran paling strategis yang perlu diperhatikan
Dewan Komisaris. PT Tranka Kabel diduga tidak layak dalam menerima dana
yang diberikan oleh PT Askrindo, adanya keterlibatan pihak dalam Askrindo yang
menyetujui pencairan dana jaminan untuk PT Tranka menyimpulkan bahwa
Dewan Komisaris gagal dalam melindungi kepentingan pemegang saham karena
tidak mampu mendeteksi transaksi ini.
6. Sub Prinsip E menjelaskan bahwa Dewan harus dapat melaksanakan penilaian
yang obyektif dan independen dalam melakukan pengurusan perusahaan. Prinsip
ini diperlukan agar dewan dapat melaksanakan tugasnya dalam memonitor
kinerja manajerial, mencegah benturan kepentingan dan menyeimbangkan
kepentingan-kepentingan dalam perusahaan. Dalam hubungannya dengan kasus
PT Askrindo, dewan khususnya dewan komisaris sebagai pengawas seharusnya
memberikan masukan yang lebih bijak termasuk mengawasi tindakan perusahaan
agar tidak menyalahi peraturan hukum. Manajemen PT Askrindo, beredasarkan
keputusan akhir Direktur Keuangan dan TI Rene Setyawan beserta kadiv
keuangan, berinisiatif untuk mengalokasikan dana melalui jasa Manajemen
Investasi ke KPD dan repo yang jelas-jelas melanggar peraturan perundangundangan pasar modal. Hal yang menjadi penyebabnya utamanya adalah empat
perusahaan yang dijamin PT Askrindo yaitu PT Tranka Kabel, PT Vitron, PT
Indowan, dan PT Multimegah tidak dapat membayar L/C kepada Bank Mandiri
dan diketahui Bank Mandiri telah mendebet deposito PT Askrindo karena
keempat kliennya gagal bayar. Menurut pengakuan Rene Setyawan di pengadilan,
melalui komisaris utama dikeluarkan keputusan untuk menyelamatkan PT Tranka
Kabel dan investasi PT Askrindo atasnya.Itulah sebabnya muncul Inisiatif untuk
berinvestasi pada sumber pendanaan yang terbilang high risk, di mana diketahui
juga saat itu perusahaan sedang mengalami masa kerugian dan ingin agar jaminan
yang dibayarkannya kepada Bank Mandiri atas keempat perusahaan kembali.
7. Prinsip yang terakhir yang dilanggar adalah dalam rangka memenuhi tanggung
jawabnya, anggota dewan komisaris harus memiliki akses terhadap infomasi yang
akurat, relevan dan tepat waktu. Semestinya dewan diinformasikan secara jelas
mengenai rencana perusahaan untuk melakukan investasi, sehingga setidaknya
dewan memiliki pertimbangan yang mungkin dapat menghindari kesalahan dan

kelalaian Direktur Keuangan beserta Kadiv

keuangan dalam menjalankan

tugasnya untuk menyelamatkan investasi perusahaan.
Selain itu, di dalam kasus ini terlihat jika komite audit kurang berjalan dengan
baik. Sebab adanya manipulasi laporan keuangan membuktikan terdapat masalah
yang kemudian juga luput dari pengawasan dewan komisaris. Pada saat
persidangan, pihak manajemen PT Askrindo tidak dapat mengeluarkan bukti
invoice jika mereka memiliki investasi obligasi dan reksa dana.
Selanjutnya, kami akan menjelaskan sub prinsip OECD enam yang telah
dilanggar direktur keuangan PT Askrindo, yaitu :
1. Tanggung jawab pengelolaan (fiduciary duty) yang terdiri dari dua elemen
penting, yaitu duty of care dan duty of loyalty. Direktur keuangan PT Askrindo
melanggar fiduciary duty khususnya pada elemen duty of care dengan
melakukan berbagai transaksi yang telah disebutkan sebelumnya baik dengan
nasabah maupun dengan pihak manajer investasi. Dalam mengambil keputusan
atas berbagai transaksi tersebut, direktur keuangan PT Askrindo mengabaikan
ketidaktepatan dalam pemberian jaminan pembiayaan pada nasabah PT
Askrindo dan mengabaikan bahwa beberapa nasabah PT Askrindo memiliki
reputasi likuiditas yang buruk. Seharusnya jika pihak PT Askrindo mengetahui
ketidakmampuan nasabahnya dalam melunasi kewajibannya, tidak seharusnya
PT Askrindo melakukan pembiayaan lebih lanjut dengan melakukan REPO dan
2.

KPD yang bukan jenis investasi yang diperbolehkan untuk perusahaan asuransi.
Dewan harus menerapkan standar etika yang tinggi dan memperhatikan
kepentingan para pemangku kepentingan. Tidak hanya dengan tindakan sendiri
tetapi juga dengan mengawasi key executives dan manajemen secara umum.
Standar etika yang tinggi ini penting dalam penentuan kredibilitas dan
kepercayaan terhadap perusahaan.
Askrindo dalam kasus ini melanggar

etika

bisnis,

terutama

dalam

permasalahannya dengan PT. Jakarta Investment. Saat menawarkan peluang
investasi, Askrindo mempromosikan nasabah-nasabah yang bermasalah sebagai
nasabah premium, nasabah yang layak menggunakan dana investasi dari Jakarta
Investment. Askrindo samasekali tak menyebutkan jika para nasabah Askrindo
ini adalah nasabah yang gagal bayar jaminan L/C. Hal ini tentu tidak etis dalam
bisnis karena merekomendasian nasabah-nasabah yang telah diketahui
bermasalah oleh Askrindo. Tidak hanya itu, Askrindo juga melakukan rekayasa
pembukuan dan sengaja melakukan salah hitung yang dilakukan dengan tidak
mengakui adanya pembayaran yang telah diterima dari 3 nasabah kepada pihak

JI. Tindakan ini merugikan pihak JI sehingga membuat partner bisnisnya
tersebut merugi hingga 148 miliar. Hal ini tentunya membuat kridibilitas dan
kepercayaan terhadap Askrindo menurun. Dalam lampiran GCG Aksrindo yang
tertera dalam annual report dan website resmi Askrindo dijelaskan bahwa PT
Askrindo menjunjung tinggi etika bisnis dengan adanya pedoman etika bisnis
tersendiri yang didalamnya bertuliskan pada poin pertama adalah taat atas
perundang-undangan disusul dengan penjelasan etika hubungan perusahaan
dengan mitra kerja. Namun kedua hal ini tidak sesuai dengan apa yang
dilakukan Askrindo dalam menjaga hubungannya dengan para stakeholders.
Setelah membahas pelanggaran terhadap prinsip ke enam OECD CG berikut ini
juga kami akan memaparkan tentang pelanggaran terhadap peraturan Bapepam No
IX.16 tentang direksi dan komisaris emiten dari perusahaan publik :
1.
Point 1 a yaitu mempunyai akhlak dan moral yang baik.
2.
Point 3 yaitu anggota direksi dan atau komisaris dilarang baik langsung maupun
tidak langsung membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material
atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat
tidak menyesatkan mengenai keadaan Emiten atau Perusahaan Publik yang
terjadi pada saat pernyataan dibuat. Pernyataan tidak benar dibuat Rene selaku
direktur keuangan karena merekomendasikan nasabah bermasalah dan membuat
keterangan atau rekomendasi palsu atas nasabahnya kepada pihak manajemen
investasi, agar pihak manajemen investasi dapat menempatkan pembiayaan
berupa REPO dan KPD pada nasabah-nasabah bermasalah tersebut.
Selain itu direktur keuangan PT Askrindo tidak pernah mengungkapkan adanya
transaksi REPO dan KPD yang telah dilakukan pada BAPEPAM-LK. Atas
pelanggaran point 3 tersebut, anggota direksi dan atau komisaris wajib
bertanggungjawab secara sendiri-sendiri maupun tanggungrenteng atas kerugian
pihak lain.
Selanjutnya dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal,
Bapepam berwenang mengenakansanksi terhadap setiap pelanggaran ketentuan
peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran
tersebut.

BAB 3
KESIMPULAN
Setelah menelaah teori yang ada dan mengamati kasus yang dibahas dapat
disimpulkan bahwa :
1.

Kedudukan dan fungsi Dewan Komisaris dan Dewan Direksi sangat
penting bagi suatu perusahaan. Masing-masing perlu menjalankan
fungsinya dengan baik. Jika fungsi tersebut tidak berjalan dengan baik

2.

maka suatu perusahaan tidak dapat beroperasi secara optimal.
Penerapan sistem one tier atau two tier pada sebuah struktur dewan
tergantung pada kebijakan perusahaan, manakah yang lebih baik untuk
perusahaan tersebut. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan
kekuarangan masing-masing yang perlu diperhatikan dan disesuaikan

3.

dengan perusahaan.
Kelalaian komisaris independen dalam tugasnya terjadi karena
kurangnya informasi yang didapat. Termasuk kondisi Dewan Komisaris
di Indonesia, istilah komisaris independen yang tidak terdapat dalam
UUPT dan hanya terdapat dalam peraturan BEJ (Bursa Efek Jakarta)
kurang menekankan fungsi dan hak dari Komisaris Independen itu

4.

sendiri.
PT Askrindo seharusnya menjalankan peraturan-peraturan yang telah
ada dan tidak menutupi permasalahan dengan permasalahan lainnya,
sehingga dapat merugikan banyak pihak.

BAB 4
DAFTAR PUSTAKA
www.legalakses.com/organ-perseroan-terbatas/
www.bapepam.go.id/pasar_modal/publikasi_pm/kajian_pm/studi-2006/StudiPenerapan-OECD.pdf
deka-cg.blogspot.com/2013/06/indonesia-one-tier-atau-two-tier.html
www.hukumonline.com/berita/baca/hol3564/fungsi-komisaris-independen-belumefektif
FCGI Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan Corporate
Governance( Tata Kelola Perusahaan )
www.hukumperseroanterbatas.com/2012/01/03/tanggung-jawab-direksi-dan-dewankomisaris-dalam-perseroan-terbatas/
Askrindo.co.id
nasional.kontan.ac.id
detik.com
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal NOMOR: KEP- 45/PM/2004 tentang
Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik
Studi Penerapan Prinsip-Prinsip Oecd 2004 Dalam Peraturan Bapepam Mengenai
Corporate Governance