BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Sosiologis Tokoh Kazue Dan Yuriko Dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino

  

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Jepang adalah salah satu negara yang terkenal karena kemajuannya di berbagai bidang. Dalam bidang ekonomi dan teknologi, Jepang dikenal sebagai negara super power menyaingi bangsa barat. Dengan ketekunan dan kerja keras, Jepang mampu bangkit kembali setelah kalah dalam Perang Dunia II.

  Dalam menjalani kehidupannya masyarakat Jepang didukung dengan fasilitas-fasilitas yang praktis dan canggih. Saat ini kehidupan masyarakat Jepang juga sudah banyak dipengaruhi oleh budaya barat, tetapi budaya tradisional mereka juga tetap mereka jaga dan memberi pengaruh dalam setiap kehidupan masyarakat Jepang.

  Selain teknologi, dalam bidang kesusastraan Jepang juga terus mengalami perkembangan. Jepang menghasilkan banyak karya sastra yang terkenal di dunia, terbukti dengan banyaknya sastrawan-sastrawan yang terkenal di dunia internasional. Seperti Akutagawa Ryonosuke, Yasunari Kawabata, Natsuo Kirino, dan lain-lain. Karya-karya mereka diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan penghargaan-penghargaan yang dilaksanakan setiap tahunnya untuk menghargai para sastrawan.

  Novel sebagai salah satu karya sastra di Jepang, sama seperti novel lainnya, merupakan karya fiksi tulis yang diceritakan secara panjang lebar. Sebagian besar novel mengungkapkan berbagai karakter dan menceritakan kisah yang kompleks dengan menampilkan berbagai tokoh dalam situasi yang berbeda. Untuk menciptakan dunia fiksi dalam novel yang mendekati kenyataan, novelis menggunakan 5 unsur yaitu plot, karakter, konflik, latar dan tema (Trianto,2009:118) banyak berisi tentang hal-hal yang terjadi dalam masyarakat.

  Menurut Jan Van Luxemburg (1986:23-24) sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial, sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisa sistim masyarakat. Sastra juga mencerminkan kenyataan dalam masyarakat dan merupakan sarana untuk memahaminya.

  Menurut Iswanto dalam Jabrohim (http://blognyaphie.blogspot.com/), Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang mengandung implikasi bahwa karya sastra (terutama cerpen, novel, dan drama) dapat menjadi potret kehidupan melalui tokoh-tokoh ceritanya.

  Karya sastra terbagi atas dua jenis yaitu karya sastra fiksi dan non fiksi. Menurut Aminuddin (2000 : 66), fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (1995: 166) fiksi adalah suatu bentuk kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh cerita pun tidak lepas dari kebebasan kreatifitas. Karya sastra fiksi lebih lanjut dapat dibedakan menjadi berbagai macam bentuk yaitu roman, novel, novelet maupun cerpen.

  Menurut Moeliono (1988:618) dijelaskan bahwa novel merupakan karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Dalam bahasa Jepang novel disebut dengan shousetsu.

  Kawabata Takeo dalam Muhammad Pujiono (2006:6) mengatakan bahwa novel timbul sebagai sesuatu yang menggambarkan tentang kehidupan sehari-hari sesuatu yang dapat dipahami dengan prinsip yang sama dengan kehidupan sehari-hari. Novel sebagai karya sastra fiksi memiliki dua unsur yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik.

  Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri atau unsur-unsur yang secara langsung membangun cerita. Unsur-unsur yang dimaksud adalah tema, plot, latar, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dll. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada di luar karya sastra tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya sastra tersebut atau dapat dikatakan sebagai unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur-unsur ekstrinsik itu yaitu kebudayaan, ekonomi, keyakinan dll. Untuk membuat suatu cerita maka diperlukan semua unsur-unsur tersebut untuk menciptakan hubungan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Dalam sebuah novel, setiap tokoh tentu menunjukkan watak, sifat dan peran dalam cerita. Setiap watak atau karakter yang muncul dalam cerita bisa menyebabkan banyak hal seperti persahabatan, pertentangan dan persaingan.

  Dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino juga terdapat latar belakang kehidupan sosial pada dua tokoh utama yang berdampak dalam pembentukan sehari-hari akibat adanya pembagian menjadi dua kelompok siswa di sekolah tempat mereka menuntut ilmu, yaitu kelompok “orang dalam” dan kelompok “orang luar”.

  Perbedaan kelompok “orang dalam” dan kelompok “orang luar” sangat jelas terlihat, kelompok “orang dalam” adalah siswa-siswa yang berasal dari keluarga kaya dan sangat berpengaruh di sekolah itu. Sedangkan kelompok “orang luar” adalah siswa yang baru masuk ke perguruan Q dengan seleksi dan mayoritas berasal dari keluarga yang biasa saja. Kelompok “orang dalam” memiliki kekuasan dan kebebasan di sekolah, berbeda dengan siswa kelompok “orang luar” mereka sering mendapat diskriminasi. Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh siswa kelompok “orang dalam” mereka sering bertindak sesuka hati dan memperlakukan siswa kelompok “orang luar” dengan semena-mena.

  Kazue Sato yang berasal dari keluarga yang biasa selalu ingin menjadi nomor satu dan menjadi yang terbaik. Oleh karena itu, dia tidak setuju kalau dirinya ditempatkan di kelompok “orang luar” yang merupakan kelompok yang ada di bawah kelompok “orang dalam”. Sehingga dia berusaha untuk bisa mendapatkan hak yang sama seperti kelompok “orang dalam”. seperti “monster” menurut penuturan kakaknya. Memasuki usia remaja Yuriko, mencapai pengertian bahwa ia bisa mendapatkan apa saja dengan memanfaatkan kecantikannya.

  Di dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino dapat dilihat bahwa tokoh menampilkan masalah, yaitu adanya sikap diskriminasi sosial di perguruan Q.

  Pandangan tentang moral dan etika khususnya bagi bangsa Jepang yang terdapat dalam novel ini, bahwa masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang bersifat vertikal, artinya berdasarkan hubungan atas-bawah, sekaligus bersifat patriakal. Sistem ini tidaklah terkait dengan kelas-kelas dalam masyarakat, melainkan lebih pada penekanan terhadap kesenioran. Hubungan kesenioran bisa diartikan sebagai hubungan antara atasan-bawahan, antara siswa kelas yang lebih atas dan siswa kelas yang bawah di sekolah, atau bisa juga hubungan antara orang tua-anak.

  Sistem vertikal dan patriakal ini pada dasarnya masih tetap berakar dalam masyarakat Jepang. Hubungan atas-bawah bangsa Jepang ini sebagian besar mendapat pengaruh dari ajaran Konfusius. Ajaran tersebut yaitu 五 倫 (5 hubungan manusia); (1) hubungan pimpinan dan bawahan, (2) hubungan suami dan istri, (3) hubungan orangtua dan anak, (4) hubungan kakak dan adik, dan (5

  Sama dengan pemikiran gorin (5 etika tentang kesadaran) yaitu pengabdian pengikut terhadap tuan, pengabdian anak terhadap ayah, pengabdian adik laki-laki terhadap kakak laki-laki, pengabdian istri terhadap suami, dan hubungan orang sederajat (Watsuji dalam Situmorang, 1995: 44).

  Bagi orang Jepang, hidup hanya akan berarti apabila berada dalam kelompok. Hidup sendiri, terlepas dari kelompok adalah satu penderitaan besar.

  Sebab itu, seorang akan senantiasa menjaga diri agar diakui dan diterima sebagai anggota kelompok, dan menjaga loyalitasnya dengan kelompok.

  Hal inilah yang menjadi permasalahan beberapa tokoh di dalamnya. Dapat pula dilihat agaimana tokoh Kazue berusaha sekuat tenaga dan melakukan segala cara untuk mendapatkan haknya seperti siswa kelompok dalam, namun usahanya itu tidak berhasil. Sementara tokoh Yuriko, hanya dengan mengandalkan kecantikan justru berhasil untuk bergabung dan diterima siswa kelompok dalam.

  Dan bagaimana Jepang masa kini telah mengalami perubahan pemikiran, bahwa seseorang perempuan dengan kecantikan yang luar biasa lebih menarik dan mudah untuk diterima daripada perempuan pintar dengan fisik yang tidak menarik. tindakan yang diambil oleh Kazue dan Yuriko dalam menghadapi pengelompokan sosial di sekitar mereka. Oleh karena itu penulis memilih judul “Analisis

  

Sosiologis Tokoh Kazue dan Yuriko dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino

  dengan harapan dapat memberikan pandangan dan informasi kepada pembaca mengenai kondisi sosial tokoh Kazue dan Yuriko yang digambarkan Natsuo Kirino dalam karya sastra yang telah melejitkan kepopulerannya itu.

1.2 Perumusan Masalah

  Sesuai dengan judul proposal, yaitu “Analisis Sosiologis Tokoh Kazue

  

dan Yuriko dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino ”, maka proposal ini akan

membahas mengenai kondisi sosial tokoh dalam melalui hari-harinya.

  Dalam novel Grotesque ini pengarang yaitu Natsuo Kirino menyebutkan adanya pembagian siswa menjadi dua kelompok saat menceritakan kehidupan Kazue Sato saat berada di sekolah lanjutan atas. Kedua kelompok tersebut adalah siswa kelompok “orang dalam” dan siswa kelompok “orang luar”. Perbedaan antara kedua kelompok ini sangat jelas. Siswa kelompok “orang dalam” adalah siswa dari keluarga yang kaya sedangkan siswa kelompok “orang luar” adalah dianggap sebagai siswa yang terbaik, mereka disegani dan memiliki kekuasaan. Sedangkan siswa di kelompok “orang luar” cenderung tidak memiliki kebebasan dan sering mendapatkan diskriminasi. Kazue Sato yang berasal dari kelompok “orang luar” ingin menjadi yang terbaik, dia juga ingin mendapatkan hak yang sama seperti siswa di kelompok “orang dalam” dan melakukan banyak usaha untuk bisa seperti siswa di kelompok “orang dalam” dan berusaha menentang segala sesuatu yang membatasi dirinya. Hingga sikap itu pun terbawa setelah dia menyelesaikan studinya.

  Lain halnya dengan Yuriko, dia adalah gadis remaja yang sama sekali tidak pintar, malah tergolong ‘tidak tahu apa-apa’. Tetapi dengan kecantikan luar biasa yang ia miliki, dengan mudahnya dia masuk ke perguruan Q, bahkan diterima di kelompok “orang dalam”. Sehingga dia berpikir bahwa kecantikannya adalah senjata yang paling ampuh.

  Dalam bentuk pertanyaan masalah yang akan di teliti dalam skripsi ini adalah :

  1. Bagaimana interaksi sosial tokoh Kazue dan Yuriko dalam lingkungan sekolah yang terungkap dalam novel Grotesque?

  Bagaimana pandangan Gorin (5 etika) hubungan golongan atas dan bawah yang terdapat pada novel Grotesque?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

  Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas, sehingga penulisan dapat lebih terarah.

  Dalam analisis ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada masalah sosiologi tokoh dalam novel Grotesque, yang digambarkan melalui dua tokoh utamanya yaitu, Kazue dan Yuriko. Bagaimana kedua tokoh ini bertahan dalam lingkungan sosial yang menganggap adanya perbedaan strata sosial antara siswa kelompok dalam dan kelompok luar. Selain kondisi sosial kedua tokoh, sebagai pendukung akan dipaparkan bagaimana pengaruh budaya Gorin (5 etika) pergaulan pada masyarakat Jepang yang menjadi latar belakang sosial pada tokoh utama dalam novel ini.

1. Tinjauan Pustaka

  Menurut Wolff dalam Endraswara (2003:77) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefenisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dan masyarakat.

  Sosiologi sastra menurut Ratna (2002:2) yaitu pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. Sosiologi sastra mewakili keseimbangan antara kedua komponen, yaitu sastra dan masyarakat. Oleh karena itu, analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu.

  Sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. sosial pun juga tidak bisa terabaikan. Aspek sosial akan memantul penuh dalam karya sastra (Endraswara 2003:78).

  Namun Swingewood dalam Faruk (1999:43) mengisyaratkan perlunya pemahaman mengenai tradisi sastra sebagai salah satu mediasi yang menjembatani hubungan antara sastra dengan masyarakat itu sendiri.

  Sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui 3 perspektif, yaitu:

1. Perspektif teks sastra

  Artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan, dan dijelaskan makna sosialnya 2. Perpektif biografis

  Yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life story seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Memang analisis ini akan terbentur pada kendala jika pengarang telah meninggal dunia, sehingga tidak bisa ditanyai. Karena itu, sebagai sebuah perspektif tentu diperuntukkan bagi pengarang yang masih hidup dan mudah terjangkau. Perspektif reseptif Yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.

  Unsur-unsur penunjang terciptanya sebuah karya sastra, khususnya prosa antara lain tema, penokohan, alur, plot, setting, dan sebagainya. Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Tokoh dalam sebuah karya sastra fiksi merupakan pelaku yang mengemban peristiwa yang memiliki posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau yang ingin sengaja disampaikan pada pembaca. Tokoh cerita menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dalam hal ini sangat tergantung pada si pengarang agar dapat melukiskan tokoh sesuai dengan pesan, amanat, atau moral yang ingin disampaikan kepada pembacanya.

  Dalam menganalisis suatu karya sastra diperlukan suatu pendekatan yang berfungsi sebagai acuan penulis dalam menganalisis karya sastra tersebut. Dalam menganalisis novel ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologis dan pendekatan semiotik

  Untuk melihat gambaran kehidupan sosial suatu individu secara khusus dan masyarakat pada umumnya dalam sebuah karya sastra adalah dengan menggunakan disiplin ilmu yaitu sosiologi sastra.

  Sosiologi dan sastra merupakan disiplin ilmu yang berbeda, kendati demikian sosiologi dan sastra walaupun mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna-makna sosial melalui teks sastra.

  Selain itu tinjauan sosiologi khususnya dilihat dari seni sastra berarti yang didasarkan pada hubungan antar manusia, hubungan antar kelompok, serta hubungan antar manusia dengan kelompok di dalam proses kehidupan bermasyarakat yang berdinamis yang dituangkan ke dalam karya sastra baik berupa cerpen ataupun novel. Dalam proses interaksi yang melibatkan anak dan remaja, terjadi proses sosialisasi. Sosialisasi inilah yang merupakan suatu kegiatan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat (dalam Soerjono, 1990:63)

  Dengan menggunakan teori sosiologis tersebut penulis dapat menganalisis kondisi sosial tokoh pada novel Grotesque menyebabkan timbulnya masalah sosial. Salah satunya contohnya adalah tokoh Kazue dan Yuriko yang menggunakan jalan yang berbeda untuk dapat diterima di lingkungan sosial sekitarnya.

  Menurut Hoed (dalam Nurgiyantoro 1995;40), semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rambut, pakaian, karya seni sastra, patung, dan lain-lain yang berada di sekitar kita. Bahasa juga merupakan tanda. Dalam karya sastra bahasa digunakan sebagai tanda untuk menunjukkkan suatu pemikiran, keadaan atau gejala sosial. Sehingga dalam meneliti sebuah novel pendekatan semiotik digunakan untuk melihat tanda-tanda yang ada dalam novel tersebut. Setelah mendapatkan tanda-tanda yang ada dalam ditafsirkan maknanya.

  Penulis menggunakan pendekatan semiotik karena mengetahui adanya persoalan-persoalan yang dialami tokoh Kazue dan Yuriko selama menjalani kehidupan dan berbaur dengan lingkungan agar dapat mencapai tujuan mereka masing-masing.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1. Tujuan Penelitian

  Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

  1. Untuk mendeskripsikan kondisi sosial tokoh Kazue dan Yuriko yang terungkap dalam novel Grotesque.

  2. Untuk mendeskripsikan pandangan Gorin (5 etika) yang terdapat pada novel Grotesque.

  Manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan mengenai sosiologis sastra dalam karya fiksi khususnya dalam novel Grotesque.

  2. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan menambah informasi tentang bagaimana pandangan Gorin (5 etika) pada masyarakat Jepang yang terlihat pada novel Grotesque.

3. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa Jurusan Sastra Jepang sebagai refrensi tentang analisis novel.

1.6 Metode penelitian

  Sebuah penelitian pasti menggunakan metode sebagai penunjang dalam mencapai tujuan. Metode ialah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Dalam menganalisis novel ini penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberi gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Metode yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasi, mengkaji dan menginterprestasi data.

  Dalam mengumpulkan data-data penelitian ini, penulis menggunakan teknik ilmu kepustakaan (Library Research), yaitu menyusuri sumber-sumber kepustakaan dengan cara membaca buku refrensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dijelaskan. Selain memanfaatkan literatur yang berupa buku, penulis juga memanfaatkan teknologi internet, mengumpulkan data dari berbagai website yang berhubungan dengan materi penelitian ini.

  Data yang diperoleh dari berbagai refrensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan dan saran. Teknik penelitian adalah dengan penelaahan terhadap buku-buku kepustakaan. Penulis mempelajari buku-buku tersebut kemudian menganalisis unsur-unsur ekstrinsik yang terkandung di dalamnya, dan menginterprestasikannya ke dalam teks-teks cerita dari novel Grotesque.