BAB II TINJAUAN TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGI SASTRA, SETTING NOVEL, PANDANGAN GORIN (5 ETIKA) DALAM MASYARAKAT JEPANG, DAN RIWAYAT HIDUP NATSUO KIRINO 2.1 Definisi Novel - Analisis Sosiologis Tokoh Kazue Dan Yuriko Dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino

BAB II TINJAUAN TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGI SASTRA, SETTING NOVEL, PANDANGAN GORIN (5 ETIKA) DALAM MASYARAKAT JEPANG, DAN RIWAYAT HIDUP NATSUO KIRINO

2.1 Definisi Novel

  Menurut Ensiklopedia Indonesia, novel yang sama artinya dengan roman adalah jenis prosa rekaan yang cukup panjang tanpa meyangkut pautkan pengisahan tokohnya apakah sejak lahir sampai mati ataukah hanya satu episode saja dari kehidupannya. Panuti Sudjiman dalam (Rustapa, 1990:4) menyatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang dan menyuguhkan tokoh-tokoh yang menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Kedua sumber itu tidak bertentangan maksudnya. Keduanya menyatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang dan menyuguhkan tokoh tanpa menyebutkan apakah tokoh yang tampil itu dikisahkan sejak lahir sampai mati atau tidak. Hanya di dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa roman itu sama dengan novel maksudnya.

  Di dalam novel dapat diperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Maksudnya, novel memberi gambaran tentang tokoh-tokoh, peristiwa, dan latarnya secara fisik, seolah-olah dapat dilihat, diraba, serta didengar. Novel juga menghadirkan pengetahuan tentang hal-hal yang tidak dapat dilihat, dipegang, atau didengar, melainkan dirasakan oleh batin yang semua itu diperoleh secara tersirat dari gambaran tokohnya, dari peristiwanya, dari tempat yang dilukiskan atau waktu yang disebutkan.

  Dari sekian banyak bentuk sastra seperti essai, puisi, cerita pandek, dan sebagainya, novel-lah yang paling diminati. Novel merupakan karya yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar karena daya komunikasinya yang luas pada masyarakat.

  Sebuah novel mengisahkan tokoh-tokoh, melukiskan latar (tempat dan waktu) tokoh itu bergerak, menampilkan serangkaian peristiwa yang terjadi berkaitan erat dengan perkembangan tokoh pelakunya. Di samping itu, novel berisi rekaan yang sering kali mirip gambaran dunia nyata, sehingga pembaca novel dapat mengerti dan dapat menerima apa yang dilukiskan dalam novel itu berdasarkan pengetahuannya tentang dunia nyata. Membandingkan dunia rekaan dengan dunia nyata merupakan kegiatan berpikir. Ini jelas ada unsur pendidiknya.

  Ada yang berpendapat bahwa novel merupakan cermin masyarakat. Pendapat ini ada benarnya dan ada pula tidak benarnya. Yang membenarkan pendapat ini berasumsi bahwa novel atau cerita rekaan itu memberikan bayangan tentang apa yang terjadi dalam masyarakat pada suatu zaman walaupun tokoh-tokohnya bukan tokoh yang sesungguhnya. Misalnya Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Dalam kenyataan peristiwa itu memang ada, tetapi peristiwa dalam cerita tidak sama persis dengan yang ada dalam kenyataan karena pengarang telah memperkaya cerita itu dengan imajinasinya. Jika sama benar yang diceritakan pengarang cerita dengan peristiwa yang disampaikannya, maka tulisan itu bukan cerita lagi melainkan laporan peristiwa. Sebaliknya, orang yang berpendapat bahwa novel atau cerita rekaan bukan cermin masyarakat berasumsi bahwa cerita itu semata-mata berisi imajinasi pengarang. Jadi, apa yang diceritakan pengarang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia nyata (Rustapa, 1990:7).

  Novel dapat memberi dampak positif bagi pembacanya karena novel itu memberikan manfaat pendidikan dan hiburan. Akan tetapi, tidak sedikit novel yang memberikan dampak negatif, misalnya novel yang di dalamnya terdapat adegan-adegan yang kasar atau adegan yang dapat menimbulkan dorongan seksual kepada pembaca.

2.1.1 Unsur Intrinsik Novel

  Dalam sebuah novel terkandung unsur-unsur struktur yang membentuk novel tersebut. Unsur-unsur struktur novel tersebut adalah tema, penokohan, alur, latar, gaya bahasa, dan sudut pandang.

A. Tema

  Bila seorang pengarang mengemukakan hasil karyanya, sudah tentu ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Sesuatu yang menjadi persoalan atau pemikirannya itulah yang disebut tema.

  Tema ibarat dasar pada sebuah bangunan. Tema merupakan dasar segala penggambaran tokoh, penyusunan alur, dan penentuan latar. Tema tidak dituliskan secara eksplisit. Kita dapat menentukan tema novel setelah kita membaca kedeluruhan cerita. Jadi tema tidak dapat dilihat secara konkret, tetapi harus dipikirkan dan dirasakan, baru dapat disimpulkan (Rustapa, 1990:11). Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel.

  Biasanya dalam menyampaikan tema, pengarang tidak berhenti pada pokok persoalannya saja. Akan tetapi, disertakan pula pemecahannya atau jalan keluar menghadapi persoalan tersebut. Hal ini tentu sangat bergantung pada pandangan pengarang, itulah yang disebut amanat atau pesan (Suroto, 1989:89)

B. Penokohan

  Yang dimaksud penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana perilaku tokoh-tokoh tersebut. Ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian, sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokoh yang ditampilkan. Kedua hal tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Penampilan dan penggambaran sang tokoh harus mendukung watak tokoh tersebut secara wajar. Apabila penggambaran tokoh kurang selaras dengan watak yang dimilikinya atau bahkan sama sekali tidak mendukung watak tokoh yang digambarkan, jelas akan mengurangi bobot ceritanya (Suroto, 1989:92-93).

  Dalam melukiskan atau menggambarkan watak para tokoh dalam cerita dikenal tiga macam cara, yaitu:

1. Secara analitik, pengarang menjelaskan atau menceritakan secara terinci watak tokoh-tokohnya. Misalnya, A adalah seorang yang kikir dan dengki.

  Hampir setiap hari bertengkar dengan tetangga dan istrinya hanya karena masalah uang. Ia mudah sekali marah.

  2. Secara dramatik, pengarang tidak secara langsung menggambarkan watak tokoh-tokohnya dengan cara misalnya: a.

  Melukiskan tempat atau lingkungan sang tokoh.

  b.

  Pengarang mengemukakan atau menampilkan dialog antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.

  c.

  Pengarang menceritakan perbuatan, tingkah laku atau reaksi tokoh terhadap suatu kejadian.

3. Gabungan cara analitik dan dramatik, disini antara penjelasan dan dramatik harus saling melengkapi.

C. Alur

  Dalam sebuah novel ada rangkaian peristiwa yang saling berhubungan secara erat dan dasar hubungan itu adalah sebab akibat dan hubungan itu sangat logis. Rangkaian peristiwa yang demikian itu disebut alur (Rustapa, 1990:20)

  Secara tradisional plot cerita prosa disusun berdasarkan urutan sebagai berikut:

1. Perkenalan 2.

  Pertikaian 3. Perumitan 4. Klimaks 5. Peleraian

  Pada dasarnya, alur dapat digolongkan berdasarkan susunan atau urutannya, kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan susunan atau urutannya, alur dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: 1.

  Alur maju Yaitu, alur yang peristiwanya disusun secara kronologis. Dimulai dari perkenalan, kemudian peristiwa itu bergerak, keadaan mulai memuncak, diikuti dengan klimaks dan diakhiri dengan penyelesaian 2.

  Alur Mundur Yaitu, alur yang urutan peristiwanya dimulai dari peristiwa terakhir kemudian kembali pertama, peristiwa kedua, dan seterusnya sampai kembali lagi ke peristiwa terakhir tadi. Dalam susunan alur yang demikian biasanya pengarang mulai dengan menampilkan peristiwa sekarang, kemudian pengarang menceritakan masa lampau tokoh utama yang mengakibatkan sang tokoh terlibat dalam peristiwa yang sekarang terjadi.

  Sedangkan berdasarkan kualitatif, alur dibedakan menjadi 2, yaitu: 1. Alur rapat, yaitu: alur yang terbentuk apabila alur pembantu mendukung atau memperkuat alur pokoknya.

  2. Alur longgar, yaitu: alur yang terbentuk apabila alur pembantu tidak mendukung alur pokok.

  Alur rapat dan alur longgar hanya mungkin terjadi pada roman atau novel. Sebab hanya dalam kedua jenis prosa itulah pengarang memiliki kebebasan untuk mengembangkan peristiwa-peristiwa sampingan yang membentuk alur sendiri (Suroto, 1989:90)

  Sedangkan berdasarkan kuantitatif, alur dibedakan menjadi 2 yaitu: 1. Alur Tunggal, yaitu: alur yang hanya terjadi pada sebuah cerita yang memiliki sebuah jalan cerita saja. Disini pengarang tidak membentuk alur lain yang berasal dari peristiwa sampingan. Jadi yang diceritakan peristiwa pokoknya saja.

  2. Alur Ganda, yaitu: alur yang terjadi pada cerita yang memiliki alur lebih dari satu.

D. Latar

  Yang dimaksud dengan latar atau setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Sudah tentu latar yang dikemukakan, yang berhubungan dengan sang tokoh atau beberapa tokoh (Suroto, 1989:94).

  Latar berfungsi sebagai pendukung alur atau perwatakan. Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat, pengarang harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkannya. Hal itu dapat diperoleh melalui pengamatan langsung, buku, atau informasi dari orang lain.

  E. Gaya Bahasa

  Gaya bahasa adalah unsure lain yang terpenting dalam karya sastra. Di dalam sebuah cerita, seorang pengarang tentu berharap agar buah pikirannya dapat dipahami dan dinikmati pembacanya. Oleh karena itu, melalui imajinasinya pengarang berupaya memilih kata-kata yang ditata dalam rangkaian kalimat yang sederhana. Ia memadukan kata demi kata sehingga tercipta bahasa yang indah dan dapat menarik minat pembaca. Dengan kata lain, seorang pengarang menggunakan gaya bahasa tersendiri di dalam menyusun karyanya (Rustapa, 1990:49)

  F. Sudut Pandang

  Unsur berikutnya yang harus mendapat perhatian adalah pusat pengisahan. Pengarang sebagai pencipta karya sastra harus dapat mengemukakan ceritanya supaya dapat meyakinkan pembaca. Apakah ia berada di luar cerita atau terlibat di dalamnya. Masalah ini sebenarnya menyangkut cara pengisahan cerita oleh pengarang. Dari sudut pandang mana cerita itu dikemukakan (Rustapa, 1990:42)

2.1.2 Unsur Ekstrinsik Novel

  Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar tubuh karya sastra itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur luar sastra yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur-unsur tersebut meliputi latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain-lain (Suroto, 1989:138).

  Unsur ekstrinsik untuk tiap bentuk karya sastra sama. Unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat cerita. Seorang pengarang yang baik akan selalu mempelajari segala macam persoalan hidup manusia. Hal ini berkaitan dengan misi seorang pengarang yang selalu berhubungan dengan manusia dan seluk-beluknya. Seorang pengarang yang kurang mengetahui dan kurang bisa menyelami kehidupan manusia dan keunikannya hanya akan menghasilkan sebuah karya yang hambar dan janggal.

  Pengetahuan yang tidak kalah penting bagi seorang pengarang adalah ilmu jiwa. Dengan ilmu jiwa yang cukup memadai maka ia akan mampu menampilkan perwatakan yang pas. Dengan pengetahuan ilmu jiwa, pengarang akan menggambarkan gerak dan tingkah laku yang cocok dengan jiwa dan batinnya.

  Tidak hanya itu saja yang perlu diketahui, pengetahuan sosial budaya suatu masyarakat, seluk-beluk kehidupan masyarakat modern pun perlu dipelajari.

  Kesimpulannya, semua aspek kehidupan manusia dimana saja dan kapan saja perlu diketahui guna menunjang keberhasilan sebuah cerita.

  Selain unsur-unsur yang datangnya dari luar diri pengarang, hal-hal yang sudah ada dan melekat pada kehidupan pengarang pun cukup besar pengaruhnya terhadap terciptanya suatu karya sastra (Suroto, 1989:139).

2.2 Defenisi Sosiologi Sastra

  Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologis berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran kata tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003:1-2).

  Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya (Endaswara, 2008:77).

  Secara institusional obyek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan obyek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam.

  Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisis ilmiah dan obyektif, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subyektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Karena itu, menurut Damono (1978:6-8), apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian terhadap masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya cenderung sama. Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakat yang sama, maka hasil karyanya pasti berbeda. Hakikat sosiologi adalah obyektifitas dan kreatifitas, sesuai dengan panjang masing-masing pengarang. Karya sastra yang sama dianggap plagiat.

  Karya sastra bukan semata-mata kualitas itonom atau dokumen sosial, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.

  Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan obyektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik bersama. Di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif subyektif, sebagai kenyataan yang diciptakan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri.

  Karakterisasi tokoh-tokoh dalam novel misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwi arah, yaitu antara kenyataan dengan rekaan (Teew, 1984:224-249).

  Sastra merupakan refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Dalam hal ini, teks sastra dilihat sebagai suatu pantulan zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulasi tetap ada dalam sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa diabaikan. Aspek-aspek kehidupan sosial akan memantul penuh ke dalam karya sastra.

  Hal terpenting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan. Dari sini, tentu sastra tidak semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekedar copy-an kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan.

  Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.

  Secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian tentang: a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara obyektif.

  b.

  Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya.

  c.

  Stusi proses sosial. Yaitu, bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya.

  Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra terhadap struktur sosial. Aspek-aspek sosiologis yang terpantul dalam karya sastra tersebut, selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal, yaitu: a.

  Konsep stabilitas sosial.

  b.

  Konsep kesinambungan dengan masyarakat yang berbeda.

  c.

  Bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya.

  d.

  Bagaimana proses masyarakat lebih berubah secara bertingkat.

  e.

  Bagaimana perubahan besar masyarakat, misalnya dari feodalisme ke kapitalisme.

  Pandangan yang amat popular dalam studi sosiologi sastra adalah pendekatan cermin. Melalui pendekatan ini, karya sastra dimungkinkan menjadi cermin bagi zamannya. Dalam pandangan Lowenthal (Laurenson dan Swingewood, 1972:16-17) sastra sebagai cermin nilai dan perasaaan, akan merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan keadaan masyarakat lewat karyanya, tanpa perlu banyak diimajinasikan. Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.

2.2.1 Masalah Sosial

  Pada umumnya masalah sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian besar warga masyarakat. Hal itu disebabkan karena gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau norma dan nilai serta standar moral yang berlaku. Lebih dari itu, suatu kondisi juga dianggap sebagai masalah sosial karena menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian baik fisik maupun non fisik (Soetomo, 1995:10).

  Parillo dalam Soetomo (1995:4) menyatakan bahwa untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu memperhatikan 4 komponen, yaitu:

  1. Masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu.

  2. Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental baik pada individu maupun masyarakat.

  3. Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari suatu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat.

  4. Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan Sementara itu tidak semua masalah dalam kehidupan manusia merupakan masalah sosial. Masalah sosial pada dasarnya adalah masalah yang terjadi dalam antar hubungan warga masyarakat. Dengan demikian menyangkut aturan dalam hubungan bersama baik formal maupun informal. Masalah sosial terjadi apabila:

  1. Banyak terjadi hubungan antar warga masyarakat yang menghambat pencapaian tujuan penting dari sebagian besar warga masyarakat.

  2. Organisasi sosial menghadapi ancaman serius oleh ketidakmampuan mengatur hubungan antar warga.

2.2.2 Klasifikasi Masalah Sosial

  Masalah sosial yang akan dibicarakan pada bagian ini adalah kondisi yang terjadi setelah berlangsungnya suatu aktifitas pembangunan masyarakat.

  Mengingat bahwa gejala social merupakan fenomena yang saling berkaitan, maka tidak mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa aspek, dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya perubahan pada aspek yang lain. Terjadinya dampak yang tidak dikehendaki itulah yang kemudian dikategorikan ke dalam masalah sosial (Soetomo, 1995:165).

  Masalah sosial yang timbul itu bukan merupakan hal yang ikut direncanakan. Oleh sebab itulah maka lebih tepat disebut sebagai efek samping dari pembangunan masyarakat. Efek samping yang terjadi dapat bersumber dari pembangunan masyarakat, dan dapat pula bersumber dari dimensi sosial maupun fisik. Yang berasal dari dimensi sosial misalnya memudarnya nilai-nilai sosial masyarakat, merosotnya kekuatan berbagai pengikat norma-norma sosial sehingga menimbulkan bentuk perilaku menyimpang serta ketergantungan masyarakat terhadap pihak lain sebagai akibat system intervensi pembangunan yang kurang proporsional.

  Dalam dimensinya yang bersifat fisik, efek samping dari proses pembangunan antara lain berupa masalah yang berkaitan dengan pencemaran dan kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian, keberhasilan, dana terutama pada kesehatan masyarakat. Sedangkan dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kelangsungan proses pembangunan itu sendiri. Perubahan yang terjadi melalui proses pembangunan seringkali merupakan perubahan yang dipercepat dalam rangka mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan sesegera mungkin.

  Dengan demikian, dapat dipahami apabila pembangunan juga akan menyebabkan perubahan lingkungan.

2.3 Latar/Setting Novel

  Latar atau setting adalah tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar tempat dan waktu (Pradopo dalam Sangidu, 2007:139). Latar dalam karya sastra tidak harus berbentuk realitas yang bersifat objektif, tetapi dapat juga berbentuk realitas yang bersifat imajinatif.

  Latar di dalam Novel “Grotesque” karya Natsuo Kirino meliputi setting tempat dan setting waktu. Latar tempat yang dimaksud adalah Tokyo yang merupakan ibukota Jepang, sedangkan latar waktunya adalah sekitar tahun 2002. Selain itu, terdapat latar tempat yang lainnya, yaitu sebuah Perguruan Q, disanalah kedua tokoh ini menimba ilmu, dan mendapatkan perlakuan yang berbeda sebagai kelompok ‘orang luar’ yang menjadi awal timbulnya permasalahan.

2.4 Pandangan Gorin (5 etika) dalam Masyarakat Jepang

  Dalam masyarakat Jepang pada umumnya tidak mempercayai satu ajaran agama. Melainkan mempercayai banyak Tuhan, tetapi semuanya bersifat dasar, (Anezaki dalam Situmorang, 2009:105). Tetapi di dalamnya yang paling dominan adalah pengaruh budhist dan ajaran Konfusius dan Shintois.

  Sifat Jepang yang menonjol adalah peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat. Besarnya peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat sebenarnya tidak hanya terdapat pada bangsa Jepang, karena pada umumnya terdapat juga pada umat manusia yang belum terkena pengaruh individualisme. Akan tetapi di Jepang wujudnya lebih kuat dan nyata. Dalam bermasyarakat, bangsa Jepang lebih memberatkan pada berkelompok daripada individu.

  Dr. Nakane Chie dalam bukunya Japanese Society, membedakan antara kerangka (frame) dengan attribut dalam posisi individu di dalam masyarakat.

  Yang dimaksud dengan “kerangka” di sini adalah lingkungan dimana itu berada atau dalam kelompoknya, sedangkan attribut adalah tempat individu berada. Di Jepang, kerangka lebih penting daripada attribut. Peranan kelompok yang lebih tinggi daripada individu, tidak hanya berlaku untuk anggota kelompok,tetapi juga pimpinan kelompok. Bagi orang Jepang, hidup hanya akan berarti apabila berada dalam kelompok. Hidup sendiri, terlepas dari kelompok adalah satu penderitaan besar, ibarat sikap seekor gajah solitaire yang ditinggalkan oleh gerombolannya. Sebab itu, seorang akan senantiasa menjaga diri agar diakui dan diterima sebagai anggota kelompok, dan menjaga loyalitasnya dengan kelompok.

  Hubungan antar anggota dalam kelompok adalah berdasarkan senioritas. Hubungan antara kohai (yunior) dengan senpai (senior) amat penting. Di samping itu ada dōryō yaitu anggota dengan senioritas yang sama. Penentuan status ini amat penting dalam masyarakat Jepang hingga sekarang. Di satu pihak bisa menimbulkan kekakuan (rigidity), tetapi di pihak lain menghilangkan keragu-raguan dan menjamin keadaan yang tertib tanpa banyak gejolak. Setiap orang tahu dimana posisinya terhadap orang lain, dan kapan ia akan meningkat dalam tingkatan kelompok. Sebab sistem senioritas ini tidak berarti bahwa yang di atas tetap memegang pimpinan, walaupun ia yang tertua. Pada saatnya ia harus meninggalkan tempatnya sebagai pimpinan untuk memberikan tempat kepada yang lebih muda dan yang berangsur-angsur akan menjadi tua. Kemudian ia sendiri beralih dari status pimpinan menjadi penasehat.

2.5 Riwayat Hidup Natsuo Kirino dan Karya-Karyanya

  Natsuo Kirino memiliki nama asli Hasioka Mariko lahir 7 Oktober 1951 di(prefektur Ishikawa) dan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

  Karena memiliki ayah seorang arsitek, Kirino dan keluarganya pernah tinggal di beberapa kota di Jepang. Kirino menghabiskan masa remajanya di Sendai, Sapporo, kemudian akhirrnya menetap di Tokyo.

  Setelah menyelesaikan studi hukumnya, Kirino bekerja di berbagai bidang sebelum menjadi penulis novel fiksi, termasuk bekerja sebagai pembuat jadwal film yang akan tayang di bioskop, sebagai editor sekaligus penulis untuk sebuah majalah, dan lain sebagainya. Ia menikah ketika berusia 24 tahun dan mulai bekerja sebagai penulis professional setelah melahirkan seorang putri di usianya yang sudah mencapai 30 tahun. Kirino memulai karirnya pada tahun 1984 sebagai novelis roman, kemudian berputar haluan dan mengukuhkan diri sebagai penulis novel misteri pada tahun 90-an, dan membuat debutnya di usia 40 tahun.

  Dia dengan cepat membangun reputasi di negaranya sebagai penulis kisah misteri dengan bakat yang langka, yang karya-karyanya berbeda dari genre kisah kriminal yang biasanya. Ini terbukti saat dia memenangkan tidak hanya penghargaan Grand Prix untuk Fiksi Kriminal di Jepang-untuk novel Out pada tahun 1998-tapi juga salah satu penghargaan sastra tertinggi di negeri itu. Out adalah novel pertama Natsuo Kirino yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

  Natsuo Kirino membuat gebrakan baru dalam dunia kesusastraan Jepang dengan Out, novel literary mystery-nya yang kini telah memenangkan beberapa penghargaan dan ditulis dengan realisme plot yang tajam dan penuh ketegangan.

  Selain itu, tahun 1993 Natsuo Kirino menerima penghargaan tahun untuk karya fiksi Novel misteKao ni Furikakeru Ame. Sejauh ini, tiga dari novelnya) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Novel keempat, What Remains, sebuah kisah kekerasan pelecehan anak dan degradasi seksual, dinikmati pembaca yang cukup besar di Jepang.

  Bagaimanapun, Natsuo Kirio telah menghapuskan keraguan akan karyanya, yang juga dapat beredar dan laku di pasar AS. Kirino juga telah menulis sebuah serial dalam, yang diterbitkan pada tahun 2009. Sebuah novel berikutnya, dijadwalkan untuk publikasi pada tahun 2013.

2.6 Sinopsis Cerita Novel Grotesque

  Kazue dan Yuriko adalah dua orang siswa Perguruan Q, yaitu sebuah sekolah elite dan bergengsi. Di perguruan Q mereka dihadapkan dengan pembagian kelompok. Kelompok pertama disebut “kelompok orang dalam”, yaitu kelompok yang masuk ke sekolah lanjutan atas perguruan Q melalui sistim perguruan Q, yaitu mereka adalah siswa menengah perguruan Q dan otomatis bisa melanjut ke sekolah lanjutan atas perguruan Q tanpa harus mengikuti ujian seleksi.

  Sedangkan kelompok lain adalah kelompok “orang luar”, yaitu mereka yang masuk dengan cara lulus ujian seleksi.

  Kazue Sato adalah seorang wanita yang sangat taat kepada peraturan ayahnya. Semua yang dia lakukan sesuai dengan perintah ayahnya. Dia menghadapi masalah saat berada di sekolah lanjutan atas. Dia sangat berusaha untuk bisa masuk ke sekolah lanjutan atas perguruan Q yang sangat terkenal. Saat dia akhirnya masuk ke sekolah lanjutan atas perguruan Q dia dihadapkan pada pembagian kelompok siswa. Kelompok pertama disebut kelompok “orang dalam” sedangkan kelompok yang lain disebut kelompok “orang luar”. Kazue Sato termasuk ke dalam kelompok “orang luar”.

  Perbedaan kelompok “orang dalam” dan kelompok “orang luar” sangat jelas terlihat, kelompok “orang dalam” adalah siswa-siswa yang berasal dari keluarga kaya dan sangat berpengaruh di sekolah itu. Sedangkan kelompok “orang luar” adalah siswa yang baru masuk ke perguruan Q dengan seleksi dan mayoritas berasal dari keluarga yang biasa saja. Kelompok “orang dalam” memiliki kekuasan dan kebebasan di sekolah, berbeda dengan siswa kelompok “orang luar” mereka sering mendapat diskriminasi. Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh siswa kelompok “orang dalam” mereka sering bertindak sesuka hati dan memperlakukan siswa kelompok “orang luar” dengan semena-mena.

  Kazue Sato yang berasal dari keluarga yang biasa selalu ingin menjadi nomor satu dan menjadi yang terbaik. Oleh karena itu, dia tidak setuju kalau dirinya ditempatkan di kelompok “orang luar” yang merupakan kelompok yang ada di bawah kelompok “orang dalam”. Sehingga dia berusaha untuk bisa mendapatkan hak yang sama seperti kelompok “orang dalam”. Bahkan dia rela rebut-ribut untuk diperbolahkan masuk ke dalam klub olahraga, tetapi malah selalu dicela oleh senior dan kawan-kawannya.

  Berbeda dengan Yuriko yang kecantikannya boleh dikatakan sempurna seperti “monster” menurut penuturan kakaknya. Menginjak remaja Yuriko mencapai pengertian bahwa ia bisa mendapatkan apa saja dengan memanfaatkan kecantikannya. Hal itu terlihat dari awal dia masuk sekolah, seharusnya Yuriko tidak dapat lulus seleksi, karena hasil ujiannya sangat buruk. Tapi berkat kecantikannya yang membuat gurunya terpikat, akhirnya Yuriko diluluskan. Tidak hanya itu, berlanjut ke masa-masa sekolah, kecantikannya membuat murid-murid lain terpesona dan menjadikan dia sebagai pusat perhatian. Bahkan seniornya tidak segan-segan untuk memintanya bergabung dalam klub mereka.

  Di dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino dapat dilihat bahwa tokoh menampilkan masalah, yaitu adanya sikap diskriminasi sosial di perguruan Q membuat mereka mengambil tindakan yang berbeda, dengan hasil yang berbeda pula.

Dokumen yang terkait

Analisis Sosiologis Tokoh Wanita Zaman Heian Dalam Novel The Dragon Scroll Karya Inggrid J Parker

2 76 65

Analisis Sosiologis Tokoh Kazue Dan Yuriko Dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino

4 91 88

Analisis Sosiologis Terhadap Tokoh Utama Dalam Novel OUT Karya Natsuo Kirino

3 77 62

Analisis Interaksi Sosial Dua Kelompok Siswa Dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino.

1 102 56

Analisis “Peranan Wanita Sebagai Tokoh” Dalam Novel Out Karya Kirino Natsuo : Kirino Natsuo No Sakuhin No Auto No Shousetsu No “Shujinkou Toshite Onna No Yakuwari” No Bunseki

3 84 58

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL THE TOKYO ZODIAC MURDERS, SETTING NOVEL, KONSEP ROMAN DETEKTIF, UNSUR- UNSUR DETEKTIF DAN BIOGRAFI PENGARANG 2.1 Defenisi Novel - Unsur-Unsur Detektif dalam Novel The Tokyo Zodiac Murders

0 0 23

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KOMIK, SOSIOLOGI SASTRA, MASYARAKAT PEKERJA JEPANG PASCA PERANG DUNIA II DAN RIWAYAT HIDUP YOSHIHIRO TATSUMI 2.1 Komik - Analisis Sosiologis Cerita Komik “Abandon the Old in Tokyo” karya Yoshihiro Tatsumi

0 0 45

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “100 KAI NAKU KOTO” KARYA NAKAMURA KOU 2.1 Defenisi Novel - Analisis Psikologi Tokoh Utama Dalam Novel “100 Kai Naku Koto” Karya Nakamura Kou

0 0 13

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL COIN LOCKER BABIES DAN PSIKOANALISA SIGMUD FREUD 2.1 Definisi Novel - Analisis Psikologi Tokoh Hashio Mizouchi Dalam Novel Coin Locker Babieskarya Ryu Murakami.

0 0 22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOVEL, NILAI MORAL DAN BIOGRAFI PENGARANG 2.1 Defenisi Novel 2.1.1 Novel Sebagai Salah Satu Genre sastra - Analisis Pesan Moral dalam Novel “Furinkazan” Karya Yasushi Inoue

0 0 18