Analisis Sosiologis Tokoh Kazue Dan Yuriko Dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino

(1)

ANALISIS SOSIOLOGIS TOKOH KAZUE DAN YURIKO DALAM NOVEL GROTESQUE KARYA NATSUO KIRINO

Kirino Natsuo ni Yoru ni Grotesque to iu Shousetsu no Kazue to Yuriko to iu Shujin Kou no Shakai Gakubunseki

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

dalam bidang Ilmu Sastra Jepang Oleh

Nova Linawati Br. M 070708038

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

ANALISIS SOSIOLOGIS TOKOH KAZUE DAN YURIKO DALAM NOVEL GROTESQUE KARYA NATSUO KIRINO

Kirino Natsuo ni Yoru ni Grotesque to iu Shousetsu no Kazue to Yuriko to iu Shujin Kou no Shakai Gakubunseki

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang.

Oleh

Nova Linawati Br. M 070708038

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof.Drs.Hamzon Situmorang, M.S.,Ph.D Zulnaidi, SS.,M.Hum NIP 195807041984121001 NIP 1967080720040110011

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa, atas kasih karuniaNya yang tak pernah berhenti mengalir sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ANALISIS SOSIOLOGIS TOKOH KAZUE DAN YURIKO DALAM NOVEL GROTESQUE KARYA NATSUO KIRINO. Meskipun

proses pengerjaan skripsi ini banyak diwarnai kesalahan, tetapi selalu ada harapan untuk bisa berubah dan berkarya lebih baik lagi untuk Tuhan, bangsa, keluarga, dan almamater Sastra Jepang USU.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, baik bantuan moril maupun bantuan spiritual. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya, penghargaan serta penghormatan kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Dr. Syaron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Dosen pembimbing I dan Bapak Zulnaidi, SS.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu dan pemikirannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini hingga selesai.

4. Seluruh Staff pengajar Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada penulis.

5. Teristimewa kepada orang tua tercinta M.P Simangunsong dan Alm. D. Hutagalung yang telah memberikan kasih sayang, doa, keikhlasan, dukungan dan pengorbanan yang luar biasa yang tidak dapat digantikan oleh siapapun. Semoga Tuhan membalas setiap jerih lelah orang tuaku.

6. Abang-abang dan kakakku yang selalu memberi semangat pada penulis untuk menyelesaikan perkuliahan ini

7. Sahabat terbaikku, anak-anak Ilalang, Bosdon, Ita, Wili, Rein, Lolo, Roki, Bane, Ria, Anggi, Siska, Melin yang selalu ada waktu bersama dalam suka maupun duka. Aku berharap kita semua jadi orang sukses.


(5)

8. Teman-teman seperjuangan angkatan 2007 yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Semoga kita dapat mengenang satu sama lain. Serta senpai-senpai dan kohai-kohai yang membantu secara langsung maupun tidak langsung

9. Saudara seperjuanganku Novaria Napitupulu yang selalu bersamaku dalam menikmati suka selama di kampus. Dirimu udah seperti saudaraku sendiri!!! 10. Seluruh keluarga besarku yang telah mendoakan penulis hingga dapat

menyelesaikan skripsi ini. Terutama abangku Yowbes Simangunsong yang telah meminjamkan printernya.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang membantu dan memberikan dukungan pada penulis. Semoga kalian diberkati Tuhan.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, begitu juga dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis serta para pembaca.

Medan, April 2013


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

………...

i

DAFTAR ISI

………... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ……… 1

1.2 Perumusan Masalah ……… 8

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ……… . 10

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ………... 11

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….. 16

1.6 Metode Penelitian ……….. 17

BAB II TINJAUAN TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGI SASTRA, PANDANGAN GORIN (5 ETIKA) DALAM KELOMPOK DI JEPANG, DAN RIWAYAT HIDUP NATSUO KIRINO 2.1 Defenisi Novel ………... 19

2.1.1. Unsur Intrinsik Novel ………... 22

2.1.2. Unsur Ekstrinsik Novel ……….... 28


(7)

2.2.1 Masalah Sosial ……….. 34 2.2.2 Klasifikasi Masalah Sosial ……….... 36 2.3 Latar/Setting Novel ……….... 37 2.4 Pandangan Gorin (5 etika) dalam Kelompok di Jepang ……. 38 2.5 Riwayat Hidup Natsuo Kirino dan Karya-karyanya ………... 40 2.6 Sinopsis Cerita Novel Grotesque ………... 42 BAB III ANALISIS SOSIOLOGIS TOKOH KAZUE DAN YURIKO

DALAM NOVEL GROTESQUE KARYA NATSUO KIRINO

3.1 Analisis Sosiologis Tokoh Yuriko ……… 45 3.2 Analisis Sosiologis Tokoh Kazue Sato ………...………….. 60 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ……….. 73 4.2 Saran ………. 75 DAFTAR PUSTAKA


(8)

Abstrak

ANALISIS SOSIOLOGIS TOKOH KAZUE DAN YURIKO DALAM NOVEL “GROTESQUE” KARYA NATSUO KIRINO

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial, sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisa sistim masyarakat, juga mencerminkan kenyataan dalam masyarakat dan merupakan sarana untuk memahaminya. Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya.

Karya sastra terbagi atas dua jenis yaitu karya sastra non fiksi dan fiksi. Karya sastra yang bersifat nonfiksi berupa puisi, drama, dan lagu. Sedangkan karya sastra yang bersifat

Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan

fiksi adalah suatu bentuk kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh cerita pun tidak lepas dari kebebasan kreatifitas. Karya sastra fiksi lebih lanjut dapat dibedakan menjadi berbagai macam bentuk yaitu roman, cerpen, maupun novel.


(9)

tentang kehidupan sehari-hari di dalam masyarakat, meskipun kejadiannya tidak nyata. Novel sebagai karya sastra fiksi memiliki dua unsur yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri atau unsur-unsur yang secara langsung membangun cerita. Unsur-unsur yang dimaksud adalah tema, plot, latar, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dll. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada di luar karya sastra tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya sastra tersebut atau dapat dikatakan sebagai unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur-unsur ekstrinsik itu yaitu kebudayaan, ekonomi, keyakinan dll. Untuk membuat suatu cerita maka diperlukan semua unsur-unsur tersebut untuk menciptakan hubungan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.

Menurut Endaswara, sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya. Salah satu novel


(10)

yang menunjukkan lingkungan sosial adalah novel Grotesque karya Natsuo Kirino. Dalam novel ini menceritakan bagaimana tokoh Kazue dan Yuriko yang dihadapkan pada suatu kondisi sosial, sehingga membuat mereka mencari jalan untuk dapat diterima di lingkungan sosialnya. Pada akhirnya perbedaan cara yang digunakan menentukan hasil yang diterima.

Dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif, berdasarkan teori Koentjaraningrat yaitu memberi gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Metode deskriptif merupakan metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang tampak. Dalam novel ini dapat dilihat bagaimana kondisi sosiologis tokoh Kazue dan Yuriko sebagai pendatang baru di perguruan Q mengharuskan mereka masuk ke dalam kelompok “orang luar” yang mendapat diskriminasi sosial. Dalam novel ini dapat dilihat adanya pandangan Gorin (5 etika kesopanan) masih sangat kental. Dimana murid baru dianggap sebagai junior, sementara murid lama adalah senior yang memiliki hak istimewa.

Masalah sosial yang dihadapi ini membuat Kazue dan Yuriko menggunakan kelebihan mereka untuk dapat diterima oleh kelompok “orang dalam”. Kazue yang digambarkan tidak menonjol secara fisik, mengerahkan


(11)

seluruh tenaga dan kemampuannya di bidang akademis, dia berusaha untuk menjadi siswa yang berprestasi di sekolah. Tidak hanya itu, Kazue juga berambisi untuk bergaya sama seperti siswa “orang dalam” hingga dianggap berlebihan dan dijadikan lelucon oleh teman-temannya. Keinginannya untuk dapat mendapat penerimaan justru dimanfaatkan oleh temannya, mereka tidak benar-benar menerima Kazue, hanya memanfaatkan kerja kerasnya dan perstasinya. Sementara Yuriko, boleh dikatakan tidak melakukan perjuangan yang berarti. Kecantikan luar biasa yang dimilikinya menjadi senjata yang ampuh. Justru kelompok “orang dalam” dengan senang hati menerimanya untuk bergabung bersama mereka, padahal prestasi akademis Yuriko sangat buruk. Hal ini membuat Yuriko mendapatkan pengertian bahwa ia bisa mendapatkan apa saja dengan memanfaatkan kecantikannya.

Dari novel ini kita dapat mempelajari budaya berkelompok sangat berarti bagi orang Jepang, sebab itu seseorang berusaha untuk dapat diterima sebagai anggota kelompok. Selain itu, dapat pula dilihat adanya pergeseran pandangan sosial, bahwa ketekunan dan kecerdasan tidak lagi menjadi hal yang utama, tetapi penampilan dapat menutupi kekurangan di bidang akademis. Hal ini tidak hanya terjadi di Jepang saja, tetapi secara umum terjadi di zaman modern ini.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Jepang adalah salah satu negara yang terkenal karena kemajuannya di berbagai bidang. Dalam bidang ekonomi dan teknologi, Jepang dikenal sebagai negara super power menyaingi bangsa barat. Dengan ketekunan dan kerja keras, Jepang mampu bangkit kembali setelah kalah dalam Perang Dunia II.

Dalam menjalani kehidupannya masyarakat Jepang didukung dengan fasilitas-fasilitas yang praktis dan canggih. Saat ini kehidupan masyarakat Jepang juga sudah banyak dipengaruhi oleh budaya barat, tetapi budaya tradisional mereka juga tetap mereka jaga dan memberi pengaruh dalam setiap kehidupan masyarakat Jepang.

Selain teknologi, dalam bidang kesusastraan Jepang juga terus mengalami perkembangan. Jepang menghasilkan banyak karya sastra yang terkenal di dunia, terbukti dengan banyaknya sastrawan-sastrawan yang terkenal di dunia internasional. Seperti Akutagawa Ryonosuke, Yasunari Kawabata, Natsuo Kirino, dan lain-lain. Karya-karya mereka diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan


(13)

tersebar di banyak negara. Selain itu, di Jepang juga banyak terdapat penghargaan-penghargaan yang dilaksanakan setiap tahunnya untuk menghargai para sastrawan.

Novel sebagai salah satu karya sastra di Jepang, sama seperti novel lainnya, merupakan karya fiksi tulis yang diceritakan secara panjang lebar. Sebagian besar novel mengungkapkan berbagai karakter dan menceritakan kisah yang kompleks dengan menampilkan berbagai tokoh dalam situasi yang berbeda. Untuk menciptakan dunia fiksi dalam novel yang mendekati kenyataan, novelis menggunakan 5 unsur yaitu plot, karakter, konflik, latar dan tema (Trianto,2009:118) banyak berisi tentang hal-hal yang terjadi dalam masyarakat.

Menurut Jan Van Luxemburg (1986:23-24) sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial, sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisa sistim masyarakat. Sastra juga mencerminkan kenyataan dalam masyarakat dan merupakan sarana untuk memahaminya.

Menurut Iswanto dalam Jabrohim (http://blognyaphie.blogspot.com/), Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang


(14)

serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Pendapat tersebut mengandung implikasi bahwa karya sastra (terutama cerpen, novel, dan drama) dapat menjadi potret kehidupan melalui tokoh-tokoh ceritanya.

Karya sastra terbagi atas dua jenis yaitu karya sastra fiksi dan non fiksi. Menurut Aminuddin (2000 : 66), fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Sedangkan menurut Nurgiyantoro (1995: 166) fiksi adalah suatu bentuk kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh cerita pun tidak lepas dari kebebasan kreatifitas. Karya sastra fiksi lebih lanjut dapat dibedakan menjadi berbagai macam bentuk yaitu roman, novel, novelet maupun cerpen.

Menurut Moeliono (1988:618) dijelaskan bahwa novel merupakan karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Dalam bahasa Jepang novel disebut dengan shousetsu.

Kawabata Takeo dalam Muhammad Pujiono (2006:6) mengatakan bahwa novel timbul sebagai sesuatu yang menggambarkan tentang kehidupan sehari-hari


(15)

di dalam masyarakat, meskipun kejadiannya tidak nyata. Tetapi itu merupakan sesuatu yang dapat dipahami dengan prinsip yang sama dengan kehidupan sehari-hari. Novel sebagai karya sastra fiksi memiliki dua unsur yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik.

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri atau unsur-unsur yang secara langsung membangun cerita. Unsur-unsur yang dimaksud adalah tema, plot, latar, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dll. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada di luar karya sastra tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya sastra tersebut atau dapat dikatakan sebagai unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur-unsur ekstrinsik itu yaitu kebudayaan, ekonomi, keyakinan dll. Untuk membuat suatu cerita maka diperlukan semua unsur-unsur tersebut untuk menciptakan hubungan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Dalam sebuah novel, setiap tokoh tentu menunjukkan watak, sifat dan peran dalam cerita. Setiap watak atau karakter yang muncul dalam cerita bisa menyebabkan banyak hal seperti persahabatan, pertentangan dan persaingan.

Dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino juga terdapat latar belakang kehidupan sosial pada dua tokoh utama yang berdampak dalam pembentukan


(16)

karakter mereka masing-masing dan alur kehidupan yang mereka jalani sehari-hari akibat adanya pembagian menjadi dua kelompok siswa di sekolah tempat mereka menuntut ilmu, yaitu kelompok “orang dalam” dan kelompok “orang luar”.

Perbedaan kelompok “orang dalam” dan kelompok “orang luar” sangat jelas terlihat, kelompok “orang dalam” adalah siswa-siswa yang berasal dari keluarga kaya dan sangat berpengaruh di sekolah itu. Sedangkan kelompok “orang luar” adalah siswa yang baru masuk ke perguruan Q dengan seleksi dan mayoritas berasal dari keluarga yang biasa saja. Kelompok “orang dalam” memiliki kekuasan dan kebebasan di sekolah, berbeda dengan siswa kelompok “orang luar” mereka sering mendapat diskriminasi. Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh siswa kelompok “orang dalam” mereka sering bertindak sesuka hati dan memperlakukan siswa kelompok “orang luar” dengan semena-mena.

Kazue Sato yang berasal dari keluarga yang biasa selalu ingin menjadi nomor satu dan menjadi yang terbaik. Oleh karena itu, dia tidak setuju kalau dirinya ditempatkan di kelompok “orang luar” yang merupakan kelompok yang ada di bawah kelompok “orang dalam”. Sehingga dia berusaha untuk bisa mendapatkan hak yang sama seperti kelompok “orang dalam”.


(17)

Berbeda dengan Yuriko yang kecantikannya boleh dikatakan sempurna seperti “monster” menurut penuturan kakaknya. Memasuki usia remaja Yuriko, mencapai pengertian bahwa ia bisa mendapatkan apa saja dengan memanfaatkan kecantikannya.

Di dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino dapat dilihat bahwa tokoh menampilkan masalah, yaitu adanya sikap diskriminasi sosial di perguruan Q. Pandangan tentang moral dan etika khususnya bagi bangsa Jepang yang terdapat dalam novel ini, bahwa masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang bersifat vertikal, artinya berdasarkan hubungan atas-bawah, sekaligus bersifat patriakal. Sistem ini tidaklah terkait dengan kelas-kelas dalam masyarakat, melainkan lebih pada penekanan terhadap kesenioran. Hubungan kesenioran bisa diartikan sebagai hubungan antara atasan-bawahan, antara siswa kelas yang lebih atas dan siswa kelas yang bawah di sekolah, atau bisa juga hubungan antara orang tua-anak. Sistem vertikal dan patriakal ini pada dasarnya masih tetap berakar dalam masyarakat Jepang. Hubungan atas-bawah bangsa Jepang ini sebagian besar mendapat pengaruh dari ajaran Konfusius. Ajaran tersebut yaitu 五 倫 (5 hubungan manusia); (1) hubungan pimpinan dan bawahan, (2) hubungan suami dan istri, (3) hubungan orangtua dan anak, (4) hubungan kakak dan adik, dan (5


(18)

hubungan kawan dan sahabat (http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu). Sama dengan pemikiran gorin (5 etika tentang kesadaran) yaitu pengabdian pengikut terhadap tuan, pengabdian anak terhadap ayah, pengabdian adik laki-laki terhadap kakak laki-laki, pengabdian istri terhadap suami, dan hubungan orang sederajat (Watsuji dalam Situmorang, 1995: 44).

Bagi orang Jepang, hidup hanya akan berarti apabila berada dalam kelompok. Hidup sendiri, terlepas dari kelompok adalah satu penderitaan besar. Sebab itu, seorang akan senantiasa menjaga diri agar diakui dan diterima sebagai anggota kelompok, dan menjaga loyalitasnya dengan kelompok.

Hal inilah yang menjadi permasalahan beberapa tokoh di dalamnya. Dapat pula dilihat agaimana tokoh Kazue berusaha sekuat tenaga dan melakukan segala cara untuk mendapatkan haknya seperti siswa kelompok dalam, namun usahanya itu tidak berhasil. Sementara tokoh Yuriko, hanya dengan mengandalkan kecantikan justru berhasil untuk bergabung dan diterima siswa kelompok dalam. Dan bagaimana Jepang masa kini telah mengalami perubahan pemikiran, bahwa seseorang perempuan dengan kecantikan yang luar biasa lebih menarik dan mudah untuk diterima daripada perempuan pintar dengan fisik yang tidak menarik.


(19)

Dari hal di atas maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana sikap dan tindakan yang diambil oleh Kazue dan Yuriko dalam menghadapi pengelompokan sosial di sekitar mereka. Oleh karena itu penulis memilih judul “Analisis Sosiologis Tokoh Kazue dan Yuriko dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino” dengan harapan dapat memberikan pandangan dan informasi kepada pembaca mengenai kondisi sosial tokoh Kazue dan Yuriko yang digambarkan Natsuo Kirino dalam karya sastra yang telah melejitkan kepopulerannya itu.

1.2 Perumusan Masalah

Sesuai dengan judul proposal, yaitu “Analisis Sosiologis Tokoh Kazue dan Yuriko dalam Novel Grotesque Karya Natsuo Kirino”, maka proposal ini akan membahas mengenai kondisi sosial tokoh dalam melalui hari-harinya.

Dalam novel Grotesque ini pengarang yaitu Natsuo Kirino menyebutkan adanya pembagian siswa menjadi dua kelompok saat menceritakan kehidupan Kazue Sato saat berada di sekolah lanjutan atas. Kedua kelompok tersebut adalah siswa kelompok “orang dalam” dan siswa kelompok “orang luar”. Perbedaan antara kedua kelompok ini sangat jelas. Siswa kelompok “orang dalam” adalah siswa dari keluarga yang kaya sedangkan siswa kelompok “orang luar” adalah


(20)

siswa yang berasal dari keluarga biasa saja. Siswa di kelompok “orang dalam”, dianggap sebagai siswa yang terbaik, mereka disegani dan memiliki kekuasaan. Sedangkan siswa di kelompok “orang luar” cenderung tidak memiliki kebebasan dan sering mendapatkan diskriminasi. Kazue Sato yang berasal dari kelompok “orang luar” ingin menjadi yang terbaik, dia juga ingin mendapatkan hak yang sama seperti siswa di kelompok “orang dalam” dan melakukan banyak usaha untuk bisa seperti siswa di kelompok “orang dalam” dan berusaha menentang segala sesuatu yang membatasi dirinya. Hingga sikap itu pun terbawa setelah dia menyelesaikan studinya.

Lain halnya dengan Yuriko, dia adalah gadis remaja yang sama sekali tidak pintar, malah tergolong ‘tidak tahu apa-apa’. Tetapi dengan kecantikan luar biasa yang ia miliki, dengan mudahnya dia masuk ke perguruan Q, bahkan diterima di kelompok “orang dalam”. Sehingga dia berpikir bahwa kecantikannya adalah senjata yang paling ampuh.

Dalam bentuk pertanyaan masalah yang akan di teliti dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana interaksi sosial tokoh Kazue dan Yuriko dalam lingkungan sekolah yang terungkap dalam novel Grotesque?


(21)

2. Bagaimana pandangan Gorin (5 etika) hubungan golongan atas dan bawah yang terdapat pada novel Grotesque?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas, sehingga penulisan dapat lebih terarah.

Dalam analisis ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada masalah sosiologi tokoh dalam novel Grotesque, yang digambarkan melalui dua tokoh utamanya yaitu, Kazue dan Yuriko. Bagaimana kedua tokoh ini bertahan dalam lingkungan sosial yang menganggap adanya perbedaan strata sosial antara siswa kelompok dalam dan kelompok luar. Selain kondisi sosial kedua tokoh, sebagai pendukung akan dipaparkan bagaimana pengaruh budaya Gorin (5 etika) pergaulan pada masyarakat Jepang yang menjadi latar belakang sosial pada tokoh utama dalam novel ini.


(22)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Menurut Wolff dalam Endraswara (2003:77) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefenisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dan masyarakat.

Sosiologi sastra menurut Ratna (2002:2) yaitu pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. Sosiologi sastra mewakili keseimbangan antara kedua komponen, yaitu sastra dan masyarakat. Oleh karena itu, analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu.

Sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya.


(23)

Sekalipun aspek imajinasi dan manipulasi tetap ada dalam karya sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa terabaikan. Aspek sosial akan memantul penuh dalam karya sastra (Endraswara 2003:78).

Namun Swingewood dalam Faruk (1999:43) mengisyaratkan perlunya pemahaman mengenai tradisi sastra sebagai salah satu mediasi yang menjembatani hubungan antara sastra dengan masyarakat itu sendiri.

Sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurang-kurangnya melalui 3 perspektif, yaitu:

1. Perspektif teks sastra

Artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong, diklasifikasikan, dan dijelaskan makna sosialnya

2. Perpektif biografis

Yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life story seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Memang analisis ini akan terbentur pada kendala jika pengarang telah meninggal dunia, sehingga tidak bisa ditanyai. Karena itu, sebagai sebuah perspektif tentu diperuntukkan bagi pengarang yang masih hidup dan mudah terjangkau.


(24)

3. Perspektif reseptif

Yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. Unsur-unsur penunjang terciptanya sebuah karya sastra, khususnya prosa antara lain tema, penokohan, alur, plot, setting, dan sebagainya. Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Tokoh dalam sebuah karya sastra fiksi merupakan pelaku yang mengemban peristiwa yang memiliki posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau yang ingin sengaja disampaikan pada pembaca. Tokoh cerita menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dalam hal ini sangat tergantung pada si pengarang agar dapat melukiskan tokoh sesuai dengan pesan, amanat, atau moral yang ingin disampaikan kepada pembacanya.


(25)

2. Kerangka teori

Dalam menganalisis suatu karya sastra diperlukan suatu pendekatan yang berfungsi sebagai acuan penulis dalam menganalisis karya sastra tersebut. Dalam menganalisis novel ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologis dan pendekatan semiotik

Untuk melihat gambaran kehidupan sosial suatu individu secara khusus dan masyarakat pada umumnya dalam sebuah karya sastra adalah dengan menggunakan disiplin ilmu yaitu sosiologi sastra.

Sosiologi dan sastra merupakan disiplin ilmu yang berbeda, kendati demikian sosiologi dan sastra walaupun mempunyai perbedaan tertentu namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan terhadap makna-makna sosial melalui teks sastra.

Selain itu tinjauan sosiologi khususnya dilihat dari seni sastra berarti yang didasarkan pada hubungan antar manusia, hubungan antar kelompok, serta hubungan antar manusia dengan kelompok di dalam proses kehidupan bermasyarakat yang berdinamis yang dituangkan ke dalam karya sastra baik berupa cerpen ataupun novel. Dalam proses interaksi yang melibatkan anak dan remaja, terjadi proses sosialisasi. Sosialisasi inilah yang merupakan suatu kegiatan


(26)

yang bertujuan agar pihak yang dididik dan diajak kemudian mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat (dalam Soerjono, 1990:63)

Dengan menggunakan teori sosiologis tersebut penulis dapat menganalisis kondisi sosial tokoh pada novel Grotesque menyebabkan timbulnya masalah sosial. Salah satunya contohnya adalah tokoh Kazue dan Yuriko yang menggunakan jalan yang berbeda untuk dapat diterima di lingkungan sosial sekitarnya.

Menurut Hoed (dalam Nurgiyantoro 1995;40), semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rambut, pakaian, karya seni sastra, patung, dan lain-lain yang berada di sekitar kita. Bahasa juga merupakan tanda. Dalam karya sastra bahasa digunakan sebagai tanda untuk menunjukkkan suatu pemikiran, keadaan atau gejala sosial. Sehingga dalam meneliti sebuah novel pendekatan semiotik digunakan untuk melihat tanda-tanda yang ada dalam novel tersebut. Setelah mendapatkan tanda-tanda yang ada dalam


(27)

sebuah novel, tanda-tanda itu akan dideskripsikan berdasarkan konteksnya, dan ditafsirkan maknanya.

Penulis menggunakan pendekatan semiotik karena mengetahui adanya persoalan-persoalan yang dialami tokoh Kazue dan Yuriko selama menjalani kehidupan dan berbaur dengan lingkungan agar dapat mencapai tujuan mereka masing-masing.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan kondisi sosial tokoh Kazue dan Yuriko yang terungkap dalam novel Grotesque.

2. Untuk mendeskripsikan pandangan Gorin (5 etika) yang terdapat pada novel Grotesque.


(28)

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan mengenai sosiologis sastra dalam karya fiksi khususnya dalam novel Grotesque.

2. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan menambah informasi tentang bagaimana pandangan Gorin (5 etika) pada masyarakat Jepang yang terlihat pada novel Grotesque.

3. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa Jurusan Sastra Jepang sebagai refrensi tentang analisis novel.

1.6 Metode penelitian

Sebuah penelitian pasti menggunakan metode sebagai penunjang dalam mencapai tujuan. Metode ialah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Dalam menganalisis novel ini penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberi gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Metode


(29)

deskriptif merupakan metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasi, mengkaji dan menginterprestasi data.

Dalam mengumpulkan data-data penelitian ini, penulis menggunakan teknik ilmu kepustakaan (Library Research), yaitu menyusuri sumber-sumber kepustakaan dengan cara membaca buku refrensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dijelaskan. Selain memanfaatkan literatur yang berupa buku, penulis juga memanfaatkan teknologi internet, mengumpulkan data dari berbagai website yang berhubungan dengan materi penelitian ini.

Data yang diperoleh dari berbagai refrensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan dan saran. Teknik penelitian adalah dengan penelaahan terhadap buku-buku kepustakaan. Penulis mempelajari buku-buku tersebut kemudian menganalisis unsur-unsur ekstrinsik yang terkandung di dalamnya, dan menginterprestasikannya ke dalam teks-teks cerita dari novel Grotesque.


(30)

BAB II

TINJAUAN TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGI SASTRA, SETTING

NOVEL, PANDANGAN GORIN (5 ETIKA) DALAM MASYARAKAT

JEPANG, DAN RIWAYAT HIDUP NATSUO KIRINO

2.1 Definisi Novel

Menurut Ensiklopedia Indonesia, novel yang sama artinya dengan roman adalah jenis prosa rekaan yang cukup panjang tanpa meyangkut pautkan pengisahan tokohnya apakah sejak lahir sampai mati ataukah hanya satu episode saja dari kehidupannya. Panuti Sudjiman dalam (Rustapa, 1990:4) menyatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang dan menyuguhkan tokoh-tokoh yang menampilkan serangkaian peristiwa dan latar secara tersusun. Kedua sumber itu tidak bertentangan maksudnya. Keduanya menyatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang panjang dan menyuguhkan tokoh tanpa menyebutkan apakah tokoh yang tampil itu dikisahkan sejak lahir sampai mati atau tidak. Hanya di dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa roman itu sama dengan novel maksudnya.


(31)

Di dalam novel dapat diperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Maksudnya, novel memberi gambaran tentang tokoh-tokoh, peristiwa, dan latarnya secara fisik, seolah-olah dapat dilihat, diraba, serta didengar. Novel juga menghadirkan pengetahuan tentang hal-hal yang tidak dapat dilihat, dipegang, atau didengar, melainkan dirasakan oleh batin yang semua itu diperoleh secara tersirat dari gambaran tokohnya, dari peristiwanya, dari tempat yang dilukiskan atau waktu yang disebutkan.

Dari sekian banyak bentuk sastra seperti essai, puisi, cerita pandek, dan sebagainya, novel-lah yang paling diminati. Novel merupakan karya yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar karena daya komunikasinya yang luas pada masyarakat.

Sebuah novel mengisahkan tokoh-tokoh, melukiskan latar (tempat dan waktu) tokoh itu bergerak, menampilkan serangkaian peristiwa yang terjadi berkaitan erat dengan perkembangan tokoh pelakunya. Di samping itu, novel berisi rekaan yang sering kali mirip gambaran dunia nyata, sehingga pembaca novel dapat mengerti dan dapat menerima apa yang dilukiskan dalam novel itu berdasarkan pengetahuannya tentang dunia nyata. Membandingkan dunia rekaan dengan dunia nyata merupakan kegiatan berpikir. Ini jelas ada unsur pendidiknya.


(32)

Ada yang berpendapat bahwa novel merupakan cermin masyarakat. Pendapat ini ada benarnya dan ada pula tidak benarnya. Yang membenarkan pendapat ini berasumsi bahwa novel atau cerita rekaan itu memberikan bayangan tentang apa yang terjadi dalam masyarakat pada suatu zaman walaupun tokoh-tokohnya bukan tokoh yang sesungguhnya. Misalnya Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Dalam kenyataan peristiwa itu memang ada, tetapi peristiwa dalam cerita tidak sama persis dengan yang ada dalam kenyataan karena pengarang telah memperkaya cerita itu dengan imajinasinya. Jika sama benar yang diceritakan pengarang cerita dengan peristiwa yang disampaikannya, maka tulisan itu bukan cerita lagi melainkan laporan peristiwa. Sebaliknya, orang yang berpendapat bahwa novel atau cerita rekaan bukan cermin masyarakat berasumsi bahwa cerita itu semata-mata berisi imajinasi pengarang. Jadi, apa yang diceritakan pengarang sama sekali tidak ada kaitannya dengan dunia nyata (Rustapa, 1990:7).

Novel dapat memberi dampak positif bagi pembacanya karena novel itu memberikan manfaat pendidikan dan hiburan. Akan tetapi, tidak sedikit novel yang memberikan dampak negatif, misalnya novel yang di dalamnya terdapat adegan-adegan yang kasar atau adegan yang dapat menimbulkan dorongan seksual kepada pembaca.


(33)

2.1.1 Unsur Intrinsik Novel

Dalam sebuah novel terkandung unsur-unsur struktur yang membentuk novel tersebut. Unsur-unsur struktur novel tersebut adalah tema, penokohan, alur, latar, gaya bahasa, dan sudut pandang.

A. Tema

Bila seorang pengarang mengemukakan hasil karyanya, sudah tentu ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada pembacanya. Sesuatu yang menjadi persoalan atau pemikirannya itulah yang disebut tema.

Tema ibarat dasar pada sebuah bangunan. Tema merupakan dasar segala penggambaran tokoh, penyusunan alur, dan penentuan latar. Tema tidak dituliskan secara eksplisit. Kita dapat menentukan tema novel setelah kita membaca kedeluruhan cerita. Jadi tema tidak dapat dilihat secara konkret, tetapi harus dipikirkan dan dirasakan, baru dapat disimpulkan (Rustapa, 1990:11). Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel.

Biasanya dalam menyampaikan tema, pengarang tidak berhenti pada pokok persoalannya saja. Akan tetapi, disertakan pula pemecahannya atau jalan keluar menghadapi persoalan tersebut. Hal ini tentu sangat bergantung pada pandangan pengarang, itulah yang disebut amanat atau pesan (Suroto, 1989:89)


(34)

B. Penokohan

Yang dimaksud penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana perilaku tokoh-tokoh tersebut. Ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian, sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokoh yang ditampilkan. Kedua hal tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Penampilan dan penggambaran sang tokoh harus mendukung watak tokoh tersebut secara wajar. Apabila penggambaran tokoh kurang selaras dengan watak yang dimilikinya atau bahkan sama sekali tidak mendukung watak tokoh yang digambarkan, jelas akan mengurangi bobot ceritanya (Suroto, 1989:92-93).

Dalam melukiskan atau menggambarkan watak para tokoh dalam cerita dikenal tiga macam cara, yaitu:

1. Secara analitik, pengarang menjelaskan atau menceritakan secara terinci watak tokoh-tokohnya. Misalnya, A adalah seorang yang kikir dan dengki. Hampir setiap hari bertengkar dengan tetangga dan istrinya hanya karena masalah uang. Ia mudah sekali marah.

2. Secara dramatik, pengarang tidak secara langsung menggambarkan watak tokoh-tokohnya dengan cara misalnya:


(35)

a. Melukiskan tempat atau lingkungan sang tokoh.

b. Pengarang mengemukakan atau menampilkan dialog antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.

c. Pengarang menceritakan perbuatan, tingkah laku atau reaksi tokoh terhadap suatu kejadian.

3. Gabungan cara analitik dan dramatik, disini antara penjelasan dan dramatik harus saling melengkapi.

C. Alur

Dalam sebuah novel ada rangkaian peristiwa yang saling berhubungan secara erat dan dasar hubungan itu adalah sebab akibat dan hubungan itu sangat logis. Rangkaian peristiwa yang demikian itu disebut alur (Rustapa, 1990:20)

Secara tradisional plot cerita prosa disusun berdasarkan urutan sebagai berikut:

1. Perkenalan 2. Pertikaian 3. Perumitan 4. Klimaks 5. Peleraian


(36)

Pada dasarnya, alur dapat digolongkan berdasarkan susunan atau urutannya, kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan susunan atau urutannya, alur dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

1. Alur maju

Yaitu, alur yang peristiwanya disusun secara kronologis. Dimulai dari perkenalan, kemudian peristiwa itu bergerak, keadaan mulai memuncak, diikuti dengan klimaks dan diakhiri dengan penyelesaian

2. Alur Mundur

Yaitu, alur yang urutan peristiwanya dimulai dari peristiwa terakhir kemudian kembali pertama, peristiwa kedua, dan seterusnya sampai kembali lagi ke peristiwa terakhir tadi. Dalam susunan alur yang demikian biasanya pengarang mulai dengan menampilkan peristiwa sekarang, kemudian pengarang menceritakan masa lampau tokoh utama yang mengakibatkan sang tokoh terlibat dalam peristiwa yang sekarang terjadi.

Sedangkan berdasarkan kualitatif, alur dibedakan menjadi 2, yaitu:

1. Alur rapat, yaitu: alur yang terbentuk apabila alur pembantu mendukung atau memperkuat alur pokoknya.


(37)

2. Alur longgar, yaitu: alur yang terbentuk apabila alur pembantu tidak mendukung alur pokok.

Alur rapat dan alur longgar hanya mungkin terjadi pada roman atau novel. Sebab hanya dalam kedua jenis prosa itulah pengarang memiliki kebebasan untuk mengembangkan peristiwa-peristiwa sampingan yang membentuk alur sendiri (Suroto, 1989:90)

Sedangkan berdasarkan kuantitatif, alur dibedakan menjadi 2 yaitu: 1. Alur Tunggal, yaitu: alur yang hanya terjadi pada sebuah cerita yang memiliki

sebuah jalan cerita saja. Disini pengarang tidak membentuk alur lain yang berasal dari peristiwa sampingan. Jadi yang diceritakan peristiwa pokoknya saja.

2. Alur Ganda, yaitu: alur yang terjadi pada cerita yang memiliki alur lebih dari satu.

D. Latar

Yang dimaksud dengan latar atau setting adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa. Sudah tentu latar yang dikemukakan, yang berhubungan dengan sang tokoh atau beberapa tokoh (Suroto, 1989:94).


(38)

Latar berfungsi sebagai pendukung alur atau perwatakan. Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang sedang dikemukakan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat, pengarang harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkannya. Hal itu dapat diperoleh melalui pengamatan langsung, buku, atau informasi dari orang lain.

E. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah unsure lain yang terpenting dalam karya sastra. Di dalam sebuah cerita, seorang pengarang tentu berharap agar buah pikirannya dapat dipahami dan dinikmati pembacanya. Oleh karena itu, melalui imajinasinya pengarang berupaya memilih kata-kata yang ditata dalam rangkaian kalimat yang sederhana. Ia memadukan kata demi kata sehingga tercipta bahasa yang indah dan dapat menarik minat pembaca. Dengan kata lain, seorang pengarang menggunakan gaya bahasa tersendiri di dalam menyusun karyanya (Rustapa, 1990:49)

F. Sudut Pandang

Unsur berikutnya yang harus mendapat perhatian adalah pusat pengisahan. Pengarang sebagai pencipta karya sastra harus dapat mengemukakan


(39)

ceritanya supaya dapat meyakinkan pembaca. Apakah ia berada di luar cerita atau terlibat di dalamnya. Masalah ini sebenarnya menyangkut cara pengisahan cerita oleh pengarang. Dari sudut pandang mana cerita itu dikemukakan (Rustapa, 1990:42)

2.1.2Unsur Ekstrinsik Novel

Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar tubuh karya sastra itu sendiri. Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur luar sastra yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur-unsur tersebut meliputi latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain-lain (Suroto, 1989:138).

Unsur ekstrinsik untuk tiap bentuk karya sastra sama. Unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan sosial yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat cerita. Seorang pengarang yang baik akan selalu mempelajari segala macam persoalan hidup manusia. Hal ini berkaitan dengan misi seorang pengarang yang selalu berhubungan dengan manusia dan seluk-beluknya. Seorang pengarang yang kurang mengetahui dan kurang bisa


(40)

menyelami kehidupan manusia dan keunikannya hanya akan menghasilkan sebuah karya yang hambar dan janggal.

Pengetahuan yang tidak kalah penting bagi seorang pengarang adalah ilmu jiwa. Dengan ilmu jiwa yang cukup memadai maka ia akan mampu menampilkan perwatakan yang pas. Dengan pengetahuan ilmu jiwa, pengarang akan menggambarkan gerak dan tingkah laku yang cocok dengan jiwa dan batinnya. Tidak hanya itu saja yang perlu diketahui, pengetahuan sosial budaya suatu masyarakat, seluk-beluk kehidupan masyarakat modern pun perlu dipelajari. Kesimpulannya, semua aspek kehidupan manusia dimana saja dan kapan saja perlu diketahui guna menunjang keberhasilan sebuah cerita.

Selain unsur-unsur yang datangnya dari luar diri pengarang, hal-hal yang sudah ada dan melekat pada kehidupan pengarang pun cukup besar pengaruhnya terhadap terciptanya suatu karya sastra (Suroto, 1989:139).

2.2 Defenisi Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti


(41)

ilmu. Jadi, sosiologis berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran kata tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003:1-2).

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu yang mampu merefleksikan zamannya (Endaswara, 2008:77).

Secara institusional obyek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan obyek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiolog melukiskan kehidupan manusia dan


(42)

masyarakat melalui analisis ilmiah dan obyektif, sastrawan mengungkapkannya melalui emosi, secara subyektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Karena itu, menurut Damono (1978:6-8), apabila ada dua orang sosiolog yang melakukan penelitian terhadap masalah suatu masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya cenderung sama. Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakat yang sama, maka hasil karyanya pasti berbeda. Hakikat sosiologi adalah obyektifitas dan kreatifitas, sesuai dengan panjang masing-masing pengarang. Karya sastra yang sama dianggap plagiat.

Karya sastra bukan semata-mata kualitas itonom atau dokumen sosial, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan obyektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik bersama. Di dalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif subyektif, sebagai kenyataan yang diciptakan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri.


(43)

Karakterisasi tokoh-tokoh dalam novel misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsirannya bersifat bolak-balik, dwi arah, yaitu antara kenyataan dengan rekaan (Teew, 1984:224-249).

Sastra merupakan refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Dalam hal ini, teks sastra dilihat sebagai suatu pantulan zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulasi tetap ada dalam sastra, aspek sosial pun juga tidak bisa diabaikan. Aspek-aspek kehidupan sosial akan memantul penuh ke dalam karya sastra.

Hal terpenting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.


(44)

Dari sini, tentu sastra tidak semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra bukan sekedar copy-an kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan jiplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi halus dan estetis.

Secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian tentang: a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara obyektif. b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya.

c. Stusi proses sosial. Yaitu, bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya.

Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra terhadap struktur sosial. Aspek-aspek sosiologis yang terpantul dalam karya sastra tersebut, selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal, yaitu:

a. Konsep stabilitas sosial.

b. Konsep kesinambungan dengan masyarakat yang berbeda.

c. Bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya. d. Bagaimana proses masyarakat lebih berubah secara bertingkat.

e. Bagaimana perubahan besar masyarakat, misalnya dari feodalisme ke kapitalisme.


(45)

Pandangan yang amat popular dalam studi sosiologi sastra adalah pendekatan cermin. Melalui pendekatan ini, karya sastra dimungkinkan menjadi cermin bagi zamannya. Dalam pandangan Lowenthal (Laurenson dan Swingewood, 1972:16-17) sastra sebagai cermin nilai dan perasaaan, akan merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan keadaan masyarakat lewat karyanya, tanpa perlu banyak diimajinasikan. Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.

2.2.1 Masalah Sosial

Pada umumnya masalah sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian besar warga masyarakat. Hal itu disebabkan karena


(46)

gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau norma dan nilai serta standar moral yang berlaku. Lebih dari itu, suatu kondisi juga dianggap sebagai masalah sosial karena menimbulkan berbagai penderitaan dan kerugian baik fisik maupun non fisik (Soetomo, 1995:10).

Parillo dalam Soetomo (1995:4) menyatakan bahwa untuk dapat memahami pengertian masalah sosial perlu memperhatikan 4 komponen, yaitu: 1. Masalah itu bertahan untuk suatu periode waktu.

2. Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian fisik atau mental baik pada individu maupun masyarakat.

3. Merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari suatu atau beberapa sendi kehidupan masyarakat.

4. Menimbulkan kebutuhan akan pemecahan

Sementara itu tidak semua masalah dalam kehidupan manusia merupakan masalah sosial. Masalah sosial pada dasarnya adalah masalah yang terjadi dalam antar hubungan warga masyarakat. Dengan demikian menyangkut aturan dalam hubungan bersama baik formal maupun informal. Masalah sosial terjadi apabila:


(47)

1. Banyak terjadi hubungan antar warga masyarakat yang menghambat pencapaian tujuan penting dari sebagian besar warga masyarakat.

2. Organisasi sosial menghadapi ancaman serius oleh ketidakmampuan mengatur hubungan antar warga.

2.2.2 Klasifikasi Masalah Sosial

Masalah sosial yang akan dibicarakan pada bagian ini adalah kondisi yang terjadi setelah berlangsungnya suatu aktifitas pembangunan masyarakat. Mengingat bahwa gejala social merupakan fenomena yang saling berkaitan, maka tidak mengherankan bahwa perubahan yang terjadi pada salah satu atau beberapa aspek, dikehendaki atau tidak dikehendaki, dapat menghasilkan terjadinya perubahan pada aspek yang lain. Terjadinya dampak yang tidak dikehendaki itulah yang kemudian dikategorikan ke dalam masalah sosial (Soetomo, 1995:165).

Masalah sosial yang timbul itu bukan merupakan hal yang ikut direncanakan. Oleh sebab itulah maka lebih tepat disebut sebagai efek samping dari pembangunan masyarakat. Efek samping yang terjadi dapat bersumber dari pembangunan masyarakat, dan dapat pula bersumber dari dimensi sosial maupun fisik. Yang berasal dari dimensi sosial misalnya memudarnya nilai-nilai sosial


(48)

masyarakat, merosotnya kekuatan berbagai pengikat norma-norma sosial sehingga menimbulkan bentuk perilaku menyimpang serta ketergantungan masyarakat terhadap pihak lain sebagai akibat system intervensi pembangunan yang kurang proporsional.

Dalam dimensinya yang bersifat fisik, efek samping dari proses pembangunan antara lain berupa masalah yang berkaitan dengan pencemaran dan kelestarian lingkungan. Hal ini menjadi masalah karena dalam jangka pendek akan membawa pengaruh pada keindahan, kerapian, keberhasilan, dana terutama pada kesehatan masyarakat. Sedangkan dalam jangka panjang akan berpengaruh terhadap kelangsungan proses pembangunan itu sendiri. Perubahan yang terjadi melalui proses pembangunan seringkali merupakan perubahan yang dipercepat dalam rangka mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan sesegera mungkin. Dengan demikian, dapat dipahami apabila pembangunan juga akan menyebabkan perubahan lingkungan.

2.3 Latar/Setting Novel

Latar atau setting adalah tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar tempat dan waktu (Pradopo dalam Sangidu, 2007:139). Latar dalam karya sastra


(49)

tidak harus berbentuk realitas yang bersifat objektif, tetapi dapat juga berbentuk realitas yang bersifat imajinatif.

Latar di dalam Novel “Grotesque” karya Natsuo Kirino meliputi setting tempat dan setting waktu. Latar tempat yang dimaksud adalah Tokyo yang merupakan ibukota Jepang, sedangkan latar waktunya adalah sekitar tahun 2002. Selain itu, terdapat latar tempat yang lainnya, yaitu sebuah Perguruan Q, disanalah kedua tokoh ini menimba ilmu, dan mendapatkan perlakuan yang berbeda sebagai kelompok ‘orang luar’ yang menjadi awal timbulnya permasalahan.

2.4 Pandangan Gorin (5 etika) dalam Masyarakat Jepang

Dalam masyarakat Jepang pada umumnya tidak mempercayai satu ajaran agama. Melainkan mempercayai banyak Tuhan, tetapi semuanya bersifat dasar, (Anezaki dalam Situmorang, 2009:105). Tetapi di dalamnya yang paling dominan adalah pengaruh budhist dan ajaran Konfusius dan Shintois.

Sifat Jepang yang menonjol adalah peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat. Besarnya peranan kelompok dalam kehidupan masyarakat sebenarnya tidak hanya terdapat pada bangsa Jepang, karena pada umumnya terdapat juga pada umat manusia yang belum terkena pengaruh individualisme.


(50)

Akan tetapi di Jepang wujudnya lebih kuat dan nyata. Dalam bermasyarakat, bangsa Jepang lebih memberatkan pada berkelompok daripada individu.

Dr. Nakane Chie dalam bukunya Japanese Society, membedakan antara kerangka (frame) dengan attribut dalam posisi individu di dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan “kerangka” di sini adalah lingkungan dimana itu berada atau dalam kelompoknya, sedangkan attribut adalah tempat individu berada. Di Jepang, kerangka lebih penting daripada attribut. Peranan kelompok yang lebih tinggi daripada individu, tidak hanya berlaku untuk anggota kelompok,tetapi juga pimpinan kelompok. Bagi orang Jepang, hidup hanya akan berarti apabila berada dalam kelompok. Hidup sendiri, terlepas dari kelompok adalah satu penderitaan besar, ibarat sikap seekor gajah solitaire yang ditinggalkan oleh gerombolannya. Sebab itu, seorang akan senantiasa menjaga diri agar diakui dan diterima sebagai anggota kelompok, dan menjaga loyalitasnya dengan kelompok.

Hubungan antar anggota dalam kelompok adalah berdasarkan senioritas. Hubungan antara kohai (yunior) dengan senpai (senior) amat penting. Di samping

itu ada dōryō yaitu anggota dengan senioritas yang sama. Penentuan status ini

amat penting dalam masyarakat Jepang hingga sekarang. Di satu pihak bisa menimbulkan kekakuan (rigidity), tetapi di pihak lain menghilangkan


(51)

keragu-raguan dan menjamin keadaan yang tertib tanpa banyak gejolak. Setiap orang tahu dimana posisinya terhadap orang lain, dan kapan ia akan meningkat dalam tingkatan kelompok. Sebab sistem senioritas ini tidak berarti bahwa yang di atas tetap memegang pimpinan, walaupun ia yang tertua. Pada saatnya ia harus meninggalkan tempatnya sebagai pimpinan untuk memberikan tempat kepada yang lebih muda dan yang berangsur-angsur akan menjadi tua. Kemudian ia sendiri beralih dari status pimpinan menjadi penasehat.

2.5 Riwayat Hidup Natsuo Kirino dan Karya-Karyanya

Natsuo Kirino memiliki nama asli Hasioka Mariko lahir 7 Oktober 1951 di Karena memiliki ayah seorang arsitek, Kirino dan keluarganya pernah tinggal di beberapa kota di Jepang. Kirino menghabiskan masa remajanya di Sendai, Sapporo, kemudian akhirrnya menetap di Tokyo.

Setelah menyelesaikan studi hukumnya, Kirino bekerja di berbagai bidang sebelum menjadi penulis novel fiksi, termasuk bekerja sebagai pembuat jadwal film yang akan tayang di bioskop, sebagai editor sekaligus penulis untuk sebuah majalah, dan lain sebagainya. Ia menikah ketika berusia 24 tahun dan


(52)

mulai bekerja sebagai penulis professional setelah melahirkan seorang putri di usianya yang sudah mencapai 30 tahun. Kirino memulai karirnya pada tahun 1984 sebagai novelis roman, kemudian berputar haluan dan mengukuhkan diri sebagai penulis novel misteri pada tahun 90-an, dan membuat debutnya di usia 40 tahun.

Dia dengan cepat membangun reputasi di negaranya sebagai penulis kisah misteri dengan bakat yang langka, yang karya-karyanya berbeda dari genre kisah kriminal yang biasanya. Ini terbukti saat dia memenangkan tidak hanya penghargaan Grand Prix untuk Fiksi Kriminal di Jepang-untuk novel Out pada tahun 1998-tapi juga salah satu penghargaan sastra tertinggi di negeri itu. Out adalah novel pertama Natsuo Kirino yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Natsuo Kirino membuat gebrakan baru dalam dunia kesusastraan Jepang dengan Out, novel literary mystery-nya yang kini telah memenangkan beberapa penghargaan dan ditulis dengan realisme plot yang tajam dan penuh ketegangan.

Selain itu, tahun 1993 Natsuo Kirino menerima penghargaan tahun untuk karya fiksi Novel misteKao ni Furikakeru Ame. Sejauh ini, tiga dari

novelnya

Inggris. Novel keempat, What Remains, sebuah kisah kekerasan pelecehan anak dan degradasi seksual, dinikmati pembaca yang cukup besar di Jepang.


(53)

Bagaimanapun, Natsuo Kirio telah menghapuskan keraguan akan karyanya, yang juga dapat beredar dan laku di pasar AS. Kirino juga telah menulis sebuah serial dalam yang diterbitkan pada tahun 2009. Sebuah novel berikutnya, dijadwalkan untuk publikasi pada tahun 2013.

2.6 Sinopsis Cerita Novel Grotesque

Kazue dan Yuriko adalah dua orang siswa Perguruan Q, yaitu sebuah sekolah elite dan bergengsi. Di perguruan Q mereka dihadapkan dengan pembagian kelompok. Kelompok pertama disebut “kelompok orang dalam”, yaitu kelompok yang masuk ke sekolah lanjutan atas perguruan Q melalui sistim perguruan Q, yaitu mereka adalah siswa menengah perguruan Q dan otomatis bisa melanjut ke sekolah lanjutan atas perguruan Q tanpa harus mengikuti ujian seleksi. Sedangkan kelompok lain adalah kelompok “orang luar”, yaitu mereka yang masuk dengan cara lulus ujian seleksi.

Kazue Sato adalah seorang wanita yang sangat taat kepada peraturan ayahnya. Semua yang dia lakukan sesuai dengan perintah ayahnya. Dia menghadapi masalah saat berada di sekolah lanjutan atas. Dia sangat berusaha


(54)

untuk bisa masuk ke sekolah lanjutan atas perguruan Q yang sangat terkenal. Saat dia akhirnya masuk ke sekolah lanjutan atas perguruan Q dia dihadapkan pada pembagian kelompok siswa. Kelompok pertama disebut kelompok “orang dalam” sedangkan kelompok yang lain disebut kelompok “orang luar”. Kazue Sato termasuk ke dalam kelompok “orang luar”.

Perbedaan kelompok “orang dalam” dan kelompok “orang luar” sangat jelas terlihat, kelompok “orang dalam” adalah siswa-siswa yang berasal dari keluarga kaya dan sangat berpengaruh di sekolah itu. Sedangkan kelompok “orang luar” adalah siswa yang baru masuk ke perguruan Q dengan seleksi dan mayoritas berasal dari keluarga yang biasa saja. Kelompok “orang dalam” memiliki kekuasan dan kebebasan di sekolah, berbeda dengan siswa kelompok “orang luar” mereka sering mendapat diskriminasi. Dengan kekuasaan yang dimiliki oleh siswa kelompok “orang dalam” mereka sering bertindak sesuka hati dan memperlakukan siswa kelompok “orang luar” dengan semena-mena.

Kazue Sato yang berasal dari keluarga yang biasa selalu ingin menjadi nomor satu dan menjadi yang terbaik. Oleh karena itu, dia tidak setuju kalau dirinya ditempatkan di kelompok “orang luar” yang merupakan kelompok yang ada di bawah kelompok “orang dalam”. Sehingga dia berusaha untuk bisa


(55)

mendapatkan hak yang sama seperti kelompok “orang dalam”. Bahkan dia rela rebut-ribut untuk diperbolahkan masuk ke dalam klub olahraga, tetapi malah selalu dicela oleh senior dan kawan-kawannya.

Berbeda dengan Yuriko yang kecantikannya boleh dikatakan sempurna seperti “monster” menurut penuturan kakaknya. Menginjak remaja Yuriko mencapai pengertian bahwa ia bisa mendapatkan apa saja dengan memanfaatkan kecantikannya. Hal itu terlihat dari awal dia masuk sekolah, seharusnya Yuriko tidak dapat lulus seleksi, karena hasil ujiannya sangat buruk. Tapi berkat kecantikannya yang membuat gurunya terpikat, akhirnya Yuriko diluluskan. Tidak hanya itu, berlanjut ke masa-masa sekolah, kecantikannya membuat murid-murid lain terpesona dan menjadikan dia sebagai pusat perhatian. Bahkan seniornya tidak segan-segan untuk memintanya bergabung dalam klub mereka.

Di dalam novel Grotesque karya Natsuo Kirino dapat dilihat bahwa tokoh menampilkan masalah, yaitu adanya sikap diskriminasi sosial di perguruan Q membuat mereka mengambil tindakan yang berbeda, dengan hasil yang berbeda pula.


(56)

BAB III

ANALISIS SOSIOLOGIS TOKOH KAZUE DAN YURIKO DALAM

NOVEL GROTESQUE KARYA NATSUO KIRINO

3.1 Analisis Sosiologis Tokoh Kazue

1. Berikut adalah kehidupan tokoh Kazue dan hubungannya dengan keluarga yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

Cuplikan 1

“Kazue sudah rajin sejak sekolah dasar. Syukurlah ia gadis yang cerdas, dan ia senang belajar. Jadi sudah sepantasnya kalau ia berhasil sejauh ini. Tetapi kupikir hanya belajar saja tidak cukup. Bagaimanapun juga ia seorang gadis dan aku ingin ia memperhatikan caranya berpakaian. Dan karena sekarang ia bersekolah di Sekolah Lanjutan Atas Q untuk perempuan muda, aku ingin ia menjadi lebih seperti perempuan anggun. Mencoba, kau tahu. Dan sejauh menyangkut dia, ia masih melakukan sebisanya untuk memenuhi harapanku. Maka ia sangat kusayangi. Aku memujinya membabi buta karena aku ayahnya. (Grotesque:126).


(57)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat peranan ayah sebagai sosok yang sangat dihormati dalam keluarga. Ayah merupakan pemimpin keluarga. Hal ini merupakan salah satu aturan atau pola dalam sistem keluarga tradisional Jepang. Ayah Kazue juga yang berperan dalam membentuk kebiasaan dan ketekunan Kazue, sehingga dia menjadi wanita muda yang berprestasi. Prestasi Kazue merupakan kebanggaan besar. Ayahnya sudah menanamkan sikap tekun dan bekerja keras untuk mencapai sesuatu. Dan imbalannya, Kazue menjadi anak yang paling disayang dan dipuja-puja keluarganya karena berhasil masuk ke perguruan Q dengan tekun belajar.

Dari cuplikan di atas juga dapat di lihat bahwa ayah Kazue pula yang membuatnya terobsesi untuk bergaya mengikuti trend siswa perguruan Q yang terlihat anggun. Hal inilah yang bakal menjadi permasalahan bagi Kazue yang sangat menuruti keinginan ayahnya itu, Kazue melakukan segala cara, bahkan hal-hal yang konyol sekalipun untuk bergaya seperti siswa kelompok “orang dalam”. Bukannya diterima, Kazue justru menjadi bahan tertawaan teman-temannya.


(58)

Cuplikan 2

Jelas bahwa ayah Kazue tidak memperhatikan masalah-masalah internal Sekolah Lanjutan Atas Q untuk perempuan muda. Ia sama sekali tidak peduli dengan dampaknya pada Kazue atau bagaimana hal ini membuatnya menderita. Ayah Kazue memang bajingan yang egois. Dijajah dengan kehendak ayahnya yang kuat, Kazue mempercayai nilai-nilainya secara mutlak. Kalau sekarang aku memikirkannya, aku menyadari bahwa kekuasaan ayahnya ke atas Kazue setara dengan pengendalian diri. (Grotesque: 128,129)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa karakter keras ayah Kazue diturunkan ke anaknya. Dan bagi Kazue, ayahnya bagaikan dewa. Apapun yang menjadi keinginan ayahnya merupakan kewajiban mutlak yang harus dipatuhi tanpa harus dipertimbangkan terlebih dahulu, apa dampaknya. Ayah Kazue bahkan terlihat tidak peduli dengan nasib anaknya yang merasa tertolak di lingkungan sekolahnya. Selama Kazue mengikuti nilai-nilai yang diajarkannya, dia merasa bahwa anaknya aman-aman saja.


(59)

Dari cuplikan di atas juga dapat dilihat, karakter Kazue sangat berbeda dengan anak muda kebanyakan yang biasanya ingin bebas dalam bertindak, serta menentang peraturan dari orang tuanya. Sebaliknya, Kazue sangat patuh pada setiap aturan yang diberikan oleh ayahnya, dan menganggap hal itu paling benar.

Cuplikan 3

Semuanya diputuskan menurut urutan ini, siapa yang berhak mandi paling dulu dan siapa yang boleh makan makanan yang terbaik. Ayahku selalu yang pertama, itu wajar saja, bukan? Lalu aku yang kedua. Ibuku dulu biasanya yang kedua, tetapi begitu aku berhasil masuk tingkat teratas dalam peringkat pendidikan nasional untuk kelompok usiaku, aku jadi yang kedua. Jadi sekarang ayahku yang pertama, lalu aku yang kedua, lalu ibuku, kemudian adikku yang terakhir. Tapi kalau ia tidak hati-hati, adikku bisa melampaui ibuku.”

“Kau menentukan urutan menggigit di keluargamu itu berdasarkan nilai-nilai pendidikan?”

“Nah, katakan saja bahwa kami membuat urutan menurut upaya yang dikerahkan.” (Grotesque: 117)


(60)

Analisis

Dari cuplikan di atas kita dapat melihat ada peraturan mengenai urutan dalam keluarga yang menjadi tradisi keluarga Kazue. Dimana setiap anggota keluarga mendapat urutan berdasarkan pendidikan yang telah ditempuh. Bahkan seorang peranan ibu menjadi tidak istimewa, karena saat anaknya berhasil melampaui pendidikannya, posisi ibu dapat diurutkan di bawah anak. Dari cuplikan di atas juga dapat disimpulkan bahwa peraturan itu bukanlah hal yang lazim di lingkungan Kazue. Hal itu terlihat dari sikap teman Kazue yang begitu heran dengan kebiasaan aneh keluarga Kazue yang menentukan urutan menggigit berdasarkan nilai-nilai pendidikan.

2. Berikut adalah kehidupan tokoh Kazue dan hubungannya dengan teman sekelas yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

Cuplikan 1

Di antara kami yang masuk untuk pertama kali, masing-masing dari kami, sesudah berhasil lulus ujian masuk, memakai rok yang panjangnya tepat di tengah lutut, tepat sesuai dengan peraturan sekolah.


(61)

Tetapi separuh siswa yang sudah sejak tingkat sekolah dasar atau sekolah menengah ada di sistem itu, memakai rok yang pendek hingga ke paha mereka. Rok-rok ini panjangnya sedemikian sehingga memberi keseimbangan sempurna dengan kaus kaki selutut warna biru tua berkualitas tinggi yang dipakai para gadis itu. Rambut mereka berwarna seperti kastanye. Giwang tusuk yang indah dari emas mengilap di telinga mereka. Aksesori rambut dan tas serta selendang mereka sangat berselera, dan mereka semua memiliki benda-benda bermerk mahal. Tidak ada cara lain untuk menjelaskannya kecuali bahwa kami gadis-gadis baru tidak memiliki yang rupanya dipunyai gadis-gadis lain sejak lahir: kecantikan dan kekayaan. (Grotesque: 64,65)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat perbedaan yang sangat mencolok sudah terbentuk dari awal masuk sekolah. “Orang dalam” adalah orang yang lebih bebas daripada “orang luar”. Hal ini terlihat dari pakaian serta perhiasan yang dipakai sangat berbeda. Siswa kelompok luar begitu patuh dengan peraturan yang ditetapkan pihak sekolah. Dengan memakai rok yang panjangnya tepat selutut, sementara bagi siswa kelompok dalam, peraturan itu tidak berlaku. Mereka bebas


(62)

memakai rok pendek hingga ke paha dan kaus kaki berkualitas, bahkan mengenakan perhiasan, aksesoris, serta mewarnai rambut. Tas yang mereka gunakan juga sangat berbeda dengan apa yang dipakai siswa “kelompok luar”.

Dari cuplikan di atas juga dapat dilihat, bagaimana pergaulan anak sekolah di Jepang. Bahwa tampilan seorang senior, atau siswa yang berkuasa dapat ditandai dari pakaian yang mereka kenakan. Dengan kata lain, siswa yang berkuasa di sekolah, roknya lebih pendek daripada siswa yang tidak berkuasa.

Cuplikan 2

Waktu itu hari hujan di bulan Mei. Kami sedang mengikuti pelajaran olahraga. Kami diharapkan bermain tenis hari itu, tetapi gara-gara hujan kami terpaksa tetap di ruang olahraga dan berlatih menari. Kami berganti baju di ruang locker ketika satu siswa mengangkat satu kaus kaki dan berteriak, “Punya siapa ini? Siapa yang kehilangan kaus kaki?”

Kaus kaki itu jenis kaus selutut warna biru tua yang dipakai hampir semua orang. Hanya saja ada logo Ralph Lauren di bagian atasnya. “Nah, coba lihat! Lihat!”


(63)

Bunyi tawa memenuhi ruangan. Gadis-gadis lain menghampirinya untuk melihat, membentuk lingkaran si seputar pemegang kaus kaki itu.

“Wah, rupanya disulam!” “Mahakarya hebat!”

Pemilik kaus kaki rupanya membeli kaus kaki biru tua biasa dan menyulam pinggiran atasnya dengan benang merah agar tampak seperti logo Ralph Lauren.

Aku mengerti bahwa Kazue menyulam kaus kakinya bukan karena keluarganya terlalu miskin untuk membeli barang asli tetapi karena pendirian yang rasional. Namun menurutku, jenis rasionalitas Kazue, yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemewahan sekolah, konyol sekali. Kazue mempunyai kepicikan watak yang sudah tertanam dalam dirinya. Karena itulah tidak ada yang menyukainya. (Grotesque: 68,69,71)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa siswa kelompok “orang dalam” menjadi sangat dominan dan berlaku sesukanya. Saat menemukan keganjilan pada kaus kaki biasa yang disulam logo Ralph Lauren, dengan bebas siswa tersebut mengambil serta menjadikannya lelucon untuk memperolok pemiliknya.


(64)

Dari cuplikan di atas juga dapat dilihat bagaimana karakter Kazue yang terlalu berlebihan dalam mengikuti trend yang ada. Kazue yang bersifat rasionalitas, sehingga merasa bahwa membeli kaus kaki Ralph Lauren yang asli adalah suatu pemborosan. Tetapi ambisinya untuk menyetarakan diri dengan siswa kelompok “orang dalam” membuatnya bertindak konyol, dengan menyulam sendiri logo Ralph Lauren pada kaus kaki biasa yang dimilikinya. Tetapi, apa yang dilakukannya untuk meningkatkan kepercayaan dirinya, justru menjadi celaan teman-temannya yang berasal dari siswa kelompok “orang dalam”.

Cuplikan 3

“ Oh. Ini namanya Kelopak Mata Elizabeth.”

Ia membeli suatu produk kecantikan yang dilem perempuan Jepang ke kelopak matanya untuk memberikan lipatan tambahan. Ia melihat salah satu murid orang-dalam menempelkannya ke matanya di toilet. Memikirkan Kazue mengangkat tongkat plastik bercabang dua dan tipis seperti tusuk gigi ke matanya membuatku bergidik. Lalu roknya sudah menyusut begitu drastis sehingga kau bisa melihat separuh naik ke pahanya yang kurus. Ia berusaha begitu keras untuk terlihat menarik


(65)

sehingga ia justru jadi kelihatan lebih konyol lagi. Gadis-gadis lain di kelas saling menyenggol waktu mereka melihat Kazue dan tidak berusaha menyembunyikan tawa mereka. (Grotesque: 241)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa karakter Kazue yang ambisius justru menyeratnya semakin dalam. Kazue yang semakin berlebihan penampilannya untuk terlihat setara dan dapat diterima oleh siswa kelompok “orang dalam” tidak lagi berpikir panjang dengan jalan yang diambilnya. Kazue merombak penampilannya habis-habisan dan merasa begitu percaya diri dengan apa yang dilakukannya.

Dari cuplikan di atas juga dapat disimpulkan bahwa karakter Kazue bukan hanya ambisius, tetapi dia juga seorang wanita yang tidak peka dengan keadaan. Sementara dengan jelas teman-teman sekelasnya menertawakan sikap anehnya, hal itu tidak menjadi masalah yang berarti dan tidak mengurangi rasa percaya dirinya, asalkan dia dapat memenuhi setiap ambisinya. Hal itu merupakan dampak negatif dan bentukan dari lingkungan keluarganya yang selalu berusaha malakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginannya.


(66)

Cuplikan 4

“Sato, aku mau minta pertolonganmu.” Dua teman sekelas kami yang juga dalam tim ice skating datang menghampiri Kazue. Keduanya orang-dalam. “Ada apa?” tanya Kazue, membalik untuk memandang mereka dengan riang. Waktu mereka melihat Kelopak Mata Elizabet-nya, senyuman merebak pada muka mereka yang mereka coba sembunyikan. Tetapi Kazue tidak melihatnya.

“Tim sudah menunjuk komite peninjauan tengah semester, dan kami yang ditugaskan. Aku sungkan bertanya sebenarnya, tetapi bolehkan kami menyalin catatan bahasa Inggris dan Sastra Klasikmu? Kau murid terbaik di tim.”

“Tentu saja,” jawab Kazue, berseri-seri dengan bangga.

“Kalau begitu, kau keberatan tidak kalau kami juga pinjam catatan ilmu sosial dan geografimu? Semuanya akan sangat berterima kasih.”

“Tidak jadi masalah.”

Mereka bergegas keluar ruangan. Aku yakin mereka sedang tertawa histeris di lorong. (Grotesque: 243, 242)


(67)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa Kazue jarang sekali memiliki pergaulan di luar lingkungan keluarganya, hal itu menyebabkan Kazue begitu saja percaya dengan setiap perkataan orang dan tidak menyadari bahwa perkataan temannya hanyalah cerita yag dikarang-karang, untuk dapat meminjam catatan Kazue. Kazue tidak menyadari apa yang menjadi niat siswa kelompok “orang dalam” mau berteman dengannya.

Selain itu, keinginan Kazue untuk dapat diterima siswa “orang dalam” membuatnya menjadi tidak peka, bahwa sebenarnya teman-temannya hanya memanfaatkan dirinya, tidak benar-benar tulus menerimanya sebagai teman mereka. Kepicikan Kazue juga terlihat, karena dia beranggapan bahwa usahanya dalam merubah penampilannya yang membuat teman-temannya mulai menerimanya di dalam kelompok mereka. Padahal di belakang Kazue, mereka justru memperolok dan menjadikannya bahan tertawaan.


(68)

3. Berikut adalah kehidupan tokoh Kazue dan hubungannya dengan senior yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut

Cuplikan 1

“Begini, aku ingin ikut tim pemandu sorak. Aku memasukkan permohonanku dan sebelum mereka membacanya mereka sudah menolakku, begitu saja. Bukankah menurutmu itu salah?” (Grotesque: 84) Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa tokoh Kazue memiliki keinginan yang sangat kuat untuk masuk ke dalam tim pemandu sorak, tanpa menyadari keadaan fisiknya yang tidak menarik. Sementara pada umumnya yang menjadi anggota tim pemandu sorak adalah perempuan yang menarik secara fisik.

Hal itulah yang menjadi penilaian senior dari tim pemandu sorak dalam menyeleksi anggota. Senior menganggap rendah Kazue, bahkan tidak mengacuhkan keberadaannya. Tetapi Kazue yang ambisius berpikir bahwa itu sangat tidak adil, karena mereka sama sekali tidak memperhatikan usahanya. Kazue terlihat meminta dukungan temannya untuk sependapat bahwa sikap dan perlakuan senior mereka itu salah.


(69)

Cuplikan 2

Aku menunjuk ke gadis kurus yang bergerak tersentak-sentak seperti boneka wayang. Rambutnya tebal dan berat, dan ekspresi wajahnya dan cara menggerakkan tubuhnya kelihatan seperti ia sudah mencapai batas kemampuannya. Tampaknya ia kesakitan.

“Itu Kazue Sato. Ia siswa dari luar. Ia ingin bergabung dengan tim pemandu sorak tetapi ditolak. Ia bahkan ribut-ribut tentang itu.” (Grotesque: 194)

Analisis

Dari cuplikan diatas dapat dilihat watak Kazue yang begitu keras kepala dan tidak dapat menerima begitu saja saat dia merasa diperlakukan tidak adil. Kazue tetap mempertahankan pendapatnya dan menentang senior. Dia bahkan berani untuk ribut-ribut dengan seniornya karena merasa haknya tidak diberikan.

Dari cuplikan di atas juga dapat dilihat bahwa sikap memaksa yang ada dalam diri Kazue menjadi bumerang bagi dia dalam lingkungan sosialnya. Kazue tidak menyadari kapasitasnya sebagai seorang junior yang seharusnya bersikap hormat pada senior. Penentangan yang dilakukannya membuat Kazue semakin tidak disukai lingkungan sekolahnya.


(70)

Cuplikan 3

“Nah, ini supaya kau tahu saja. Aku sudah bergabung dengan tim ice skating. Mereka nomor dua pada daftarku sesudah tim pemandu sorak, jadi aku senang dengan keadaan sekarang.”

“Menurutku mereka hanya membiarkan kau membersihkan tempat dan merawat sepatu mereka. Mungkin mereka menyebutnya pelatihan fisik, tetapi sebenarnya lebih seperti perpeloncoan. Dan berapa kali kau harus lari keliling lapangan waktu itu ketika suhu lebih dari 95 derajat Fahrenheit? Kau kelihatan seperti akan mati! Apakah itu jenis hiburan yang cocok untuk seorang putri?”

“Itu bukan perpeloncoan atau apapun semacamnya!” Kekuatan Kazue untuk berbicara akhirnya pulih. “Kau harus berlatih seperti itu untuk membentuk kekuatan dasar.” (Grotesque: 220,221)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bahwa akhirnya tokoh Kazue diterima oleh tim ice skating. Menurut pandangan temannya, Kazue hanya dimanfaatkan sebagai tukang bersih-bersih tempat dan merawat sepatu anggota lain. Mereka juga menjadikannya lelucon bahkan dia dikerjai habis-habisan. Tetapi katakter


(71)

Kazue yang picik dan selalu merasa dirinya istimewa, tidak terima dianggap seperti itu, karena dia merasa memang pantas masuk tim berkat kerja kerasnya. Bahkan apa yang menjadi tugasnya bukanlah hal yang manjengkelkan, tetapi memang suatu kewajiban untuk membentuk kekuatan dasar.

3.2 Analisis Sosiologis Tokoh Yuriko

1. Berikut adalah kehidupan tokoh Yuriko dan hubungannya dengan keluarga yang dapat dilihat melalui cuplikan berikut:

Cuplikan 1

Ayahku warga negara Swiss keturunan Polandia. Ayahku pebisnis, mengimpor permen-permen model Barat. Mungkin kegiatan bisnisnya terdengar mengesankan, tetapi sebenarnya produk yang diimpornya adalah cokelat dan kue berkualitas rendah, hanya camilan murahan. Kami hidup sangat hemat. Makanan, pakaian kami, dan bahkan perlengkapan sekolahku, semua produk Jepang. (Grotesque: 9)


(72)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bagaimana lingkungan sosial tokoh Yuriko, yang berasal dari keturunan Barat-Jepang. Ia memiliki ayah seorang pebisnis yang mengimpor permen-permen model Barat. Tetapi keadaan yang sebenarnya, tidak terlalu mengesankan. Karena ayahnya hanyalah pengusaha camilan murahan. Yuriko dibesarkan oleh keluarga yang hidup sederhana dan sangat hemat.

Cuplikan 2

“Itu anakmu? Suamimu orang asing?” Si perempuan memandang ke arahku. Aku menundukkan mataku dan tidak berkata apapun. Aku tidak seperti Yuriko. Aku jemu dan bosan menjadi objek pandangan penuh rasa ingin tahu. Kalau aku sendirian saja, maka aku tidak akan terlalu menonjol. Tetapi gara-gara aku di sana bersama si monster Yuriko, aku tidak mungkin lewat tanpa diperhatikan. Si perempuan terus mencecar.

“Jadi, ku pikir suamimu bukan orang Jepang?” “Itu benar.”


(73)

“Terima kasih.” Gelombang kebanggaan melintasi wajah ibuku.

“Tetapi pasti aneh mempunyai anak yang sama sekali tidak mirip dirimu.” Si permpuan acuh tak acuh menggumamkan ini, seakan bicara kepada dirinya sendiri. Wajah ibuku cemberut (Grotesque: 25,26)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bagaimana kondisi sosial keluarga Yuriko yang sangat sederhana, mereka terbiasa mengunjungi tempat permandian umum. Yuriko juga memiliki seorang kakak perempuan yang keadaan fisiknya jauh berbeda dengannya. Bahkan Yuriko juga sangat berbeda dengan ibunya. Kecantikan Yuriko yang aneh dan tidak biasa serta perbedaan antara keluarga ini selalu menarik minat orang untuk mengamati perbedaan yang mencolok yang terdapat pada keluarga itu.

Hal itulah yang menyebabkan ibu dan kakak perempuan Yuriko menjadi sangat risih dengan perbedaan yang ada serta komentar-komentar yang ditujukan pada mereka. Bahkan kakak Yuriko sangat membencinya, dan menganggap kecantikan Yuriko seperti monster.


(74)

Cuplikan 3

Ibuku membenci aku. Melahirkan anak yang kelihatan begitu tidak mirip dirinya sendiri betul-betul membuat ibuku terseret dalam kekacauan, dan ia tidak pernah benar-benar pulih. Ia masih hidup dalam keadaan terguncang. Sesudah aku dewasa malah semakin parah jadinya dan waktu diputuskan kami pindah ke Swiss, ibuku menjadi satu-satunya orang Asia di dalam keluarga. (Grotesque: 159)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat kondisi sosial tokoh Yuriko merasa tertolak di keluarganya karena perbedaannya yang sangat menonjol itu membuat ibunya merasa tidak suka dengannya. Kecantikan Yuriko menjadi musibah bagi ibunya, dan dia selalu merasa tidak pantas untuk memiliki anak secantik Yuriko.

Keadaan tersebut membuat adanya jurang pemisah antara Yuriko dan ibunya. Tidak seperti kebanyakan gadis remaja yang pada umumnya sangat dekat dengan sosok seorang ibu, Yuriko justru mencari perhatian dari luar karena tidak mendapatkan hal itu dari keluarganya sendiri.


(75)

Cuplikan 4

Aku sudah bilang ke Yuriko agar jangan kembali ke Jepang, tetapi toh ia disini. Suaranya yang santai di ujung saluran telepon sangat kontras dengan gadis resah yang ku dengar beberapa jam setelah ibu kami meninggal. Jelas bahwa sekarang ia melahap seluruh perhatian yang diberikan Keluarga Johnson dan bergelimang dalam kemewahan rumah mereka yang indah di Distrik Minato yang elit. (Grotesque: 132)

Analisis

Dari cuplikan di atas, dapat diketahui bahwa setelah ibu Yuriko meninggal dunia, ia kembali ke Jepang dan diangkat sebagai anak oleh keluarga Johnson. Di sana Yuriko mendapatkan kemewahan yang selama ini tidak didapatkannya dari orang tua kandungnya.

Kasih sayang yang berupa kemewahan dianggap cukup oleh Yuriko, karena dia sudah terbiasa untuk tidak memiliki ikatan batin dengan siapapun. Baginya kemewahan sudah cukup untuk melengkapi kecantikan yang dimilikinya. Kondisi sosial inilah yang membentuk Yuriko berpikir bahwa kecantikan luar biasa yang dimilikinya ditambah kemewahan merupakan hal yang paling berharga melebihi apapun.


(1)

Analisis

Dari cuplikan di atas dapat dilihat bagaimana hubungan yang terbentuk

antara Yuriko dan seniornya, bahwa kecantikan Yuriko yang luar biasa mampu

menarik perhatian seniornya untuk mengajaknya bergabung dalam tim pemandu

sorak. Sementara, ketika Kazue yang mendaftar untuk bergabung, ia ditolak.

Yuriko justru diundang langsung oleh ketua tim. Dia juga merasakan perlakuan

istimewa yang didapatnya dari senior.

Dari cuplikan di atas juga dapat dilihat karakter individualism Yuriko

yang terbentuk dari keluarganya, bahwa dia berusaha menolak tawaran seniornya

karena tidak suka melakukan kegiatan berkelompok. Tidak disangka-sangka, sang

senior bukan hanya mengundangnya untuk bergabung dengan tim, lebih dari itu,


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Melihat dari uraian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Novel Grotesque merupakan karya Natsuo Kirino. Novel ini

menggambarkan keadaan Jepang zaman modern, terutama kehidupan

sosial anak muda Jepang pada masa itu.

2. Tema novel ini menyangkut “Cara yang dilakukan untuk dapat diterima

sebagai anggota kelompok dalam”. Dalam hal ini masing-masing tokoh

menggunakan kelebihannya sendiri untu dapat masuk ke dalam kelompok

orang dalam, hingga terlepas dari diskriminasi sosial.

3. Novel Grotesque mempunyai dua tokoh utama yaitu Kazue dan Yuriko.

Kazue adalah siswa yang pintar dan ambisius untuk mendapatkan

keinginannya, tetapi secara fisik kurang menarik. Sedangkan Yuriko

adalah siswa yang memiliki wajah yang sangat rupawan, tetapi secara


(3)

langsung antara Kazue dan Yuriko untuk dapat diterima sebagai kelompok

“orang dalam” di Perguruan Q.

4. Dengan membaca novel Grotesque, dapat dilihat bagaimana keadaan anak

muda Jepang zaman modern. Novel ini tidak hanya menyajikan cerita,

tetapi juga banyak makna dan pesan moral yang disampaikan oleh

pengarang melalui tokoh-tokoh dalam novel. Salah satunya tokoh Kazue,

yang mengalami diskriminasi sosial dan sering dicela teman-temannya,

namun dia tetap semangat menjalani masa-masa pendidikannya dan

berjuang untuk dapat diterima di lingkungan sosialnya.

5. Dalam novel Grotesque dapat dilihat perubahan sosial, karakter,

pandangan hidup dan pergaulan anak muda Jepang zaman tradisional dan

zaman modern. Prinsip zaman tradisional adalah “ketekunan dan kerja

keras lebih dihargai”. Wujud pemikiran ini menjelma dalam sikap umum

atau nilai-nilai masyarakat. Sehingga untuk dapat dihargai dan diterima di

lingkungan sosial, harus dengan ketekunan dan kerja keras. Setelah zaman

modern, pola pemikiran dan pandangan hidup anak muda Jepang berubah.

Prinsip anak muda masa modern adalah “Dengan kecantikan/ketampanan


(4)

mengutamakan kelas sosial dan fisik untuk dapat diterima lingkungan

sosialnya, bukan karena kepintaran lagi.

4.2 Saran

1. Melalui skripsi ini penulis berharap agar apresiasi masyarakat terhadap

sastra lebih baik lagi, khususnya novel. Karena selain mendapat cerita

yang bagus, berbagai macam pengetahuan dapat diketahui, terutama

terhadap novel Grotesque yang sudah banyak dipasarkan.

2. Penulis menyarankan kepada siapa saja yang ingin menganalisis sebuah

karya sastra, terutama novel yang dilihat dari sosiologinya, terlebih

dahulu harus mengumpulkan berbagai refrensi mengenai novel yang akan

diteliti, seperti zaman yang ada dalam novel dan memahami betul


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial (Edisi Revisi). Jakarta: PT Rineka Cipta.

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru

Algesindo.

Amri, Miftachul. 2002. Fenomena Kaum Muda Jepang Mencari Identitas.

Darma, Budi. 1984. Sejumlah Esai Sastra. Jakarta: PT Karya Unipress.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:

MedPress.

Firdaus, Zulfahnur Z. 1986. Analisis dan Rangkuman Bacaan Sastra. Jakarta:

Universitas Terbuka, Debdikbud.

Kirino, Natsuo. 2010. Grotesque. Jakarta: Kompas Gramedia

Koenjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial: Asal Moral dalam Kehidupan Manusia.

Jakarta: Rineka Cipta


(6)

Soetomo. 1995. Masalah sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT. Dunia Pustaka

Jaya

Suryohadiprojo, Saydiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam

Perjoangan Hidup. Jakarta: Universitas Indonesia

Tarihoran, Juwita. 2009. Analisis Sosiologis Tokoh Boku dan Nezumi Dalam

Novel “Dengarlah Nyanyian Angin” Karya Haruki Murakami (Skripsi).

Medan: Fakultas Ilmu Budaya USU.

Zulvianita. 2010. Analisis Sikap dan Perilaku “Hatarakisugi” Pada Tokoh Utama

Dalam Komik Hataraki Man karya Moyoco Anno (Skripsi). Medan: