BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah - Perbedaan Kecerdasan sosial Siswa Single Sex Schools dan Coeducational Schools di Kota Padang

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

  Sebagai seorang manusia, kita memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain di sekitar kita. Interaksi kita dengan orang lain akan memiliki dampak positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari berbagai latar belakang budaya, sosial ekonomi, agama, jenis kelamin, bahasa, ras, etnis, kemampuan dan umur, saling berinteraksi karena kebutuhan yang paling mendasar pada manusia yaitu kebutuhan akan afiliasi untuk mendapatkan kasih sayang dan cinta. Menurut Maslow (dalam Schultz, 1976), kegagalan dalam pemuasan akan kebutuhan kasih sayang akan menyebabkan seseorang mengalami masalah emosional. Kebutuhan akan afiliasi ini dapat dihasilkan melalui beberapa cara antara lain, melalui hubungan yang dekat dengan teman, kekasih atau pasangan atau melalui hubungan sosial kita dalam suatu kelompok (Schultz, 1976).

  Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan sosial bagi setiap orang. Albrecht (2006), menyatakan bahwa kecerdasan sosial merupakan kemampuan untuk bergaul dengan baik dengan orang lain dan mengajak mereka untuk bekerja sama. Dengan kecerdasan sosial yang dimiliki interaksi antar individu menjadi lebih nyaman. Kecerdasan sosial yang dimiliki akan membuat seseorang merasa nyaman walaupun berinteraksi dengan orang lain dari berbagai latar belakang yang berlainan (Buzan, 2004). Kim (2003) menjelaskan bahwa banyak anak-anak yang mengalami penolakan dan dijauhi oleh teman sebayanya yang disebabkan rendahnya keterampilan sosial yang dimiliki. Kondisi tersebut akan menyebabkan anak menjadi underachievement dan mengalami penyimpangan sosial pada masa dewasa nanti (Pellegrini dalam Kim, 2003). Gottman (dalam Kim, 2003) menjelaskan bahwa anak-anak yang mengalami penolakan dan dijauhi teman sebayanya disebabkan rendahnya keterampilan sosial yang ditandai dengan tingginya perilaku agresif, perilaku memusuhi, bermain sendirian, tidak bersedia mengerjakan tugas, malu, cemas, takut, dan distress emosional. Goleman (2006) mengatakan juga bahwa pelajar yang dikucilkan dari kehidupan sosialnya cenderung memiliki perilaku yang keras, pengacau, sering absen di sekolah dan sering drop-out.

  Kecerdasan sosial sangat dibutuhkan dan berperan penting dalam ruang lingkup pendidikan. Goleman (2006) dengan menggunakan hasil sejumlah penelitian membuktikan bahwa siswa yang merasa terhubung atau dekat dengan komunitas belajarnya (sekolah), termasuk orang-orang di dalamnya, akan memiliki prestasi akademik yang lebih baik. Siswa yang telah mengembangkan kecerdasan sosial akan dapat mengembangkan kemampuan belajarnya dengan lebih baik. Mereka memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi respon emosi mereka terhadap situasi belajar sebagaimana mereka juga dapat mengidentifikasi dinamika sosial dalam kehidupan mereka (Goleman, 2006). Kecerdasan sosial atau kecerdasan sosial juga dapat meredam tindakan anarkis, karena orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi mempunyai keterampilan psikologis yang dapat digunakan untuk mencari jalan keluar secara damai dan santun (Suyono dalam Rosalia dan Prishastuti, 2011). Selain itu, perilaku agresif juga berhubungan dengan kecerdasan sosial, semakin tinggi kecerdasan sosial seseorang semakin rendah perilaku agresifnya dan begitu sebaliknya (Wulandari, 2010).

  Menurut Gerungan (2004), salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial siswa adalah sekolah. Peran sekolah lebih luas daripada hanya untuk meningkatkan taraf inteligensi saja. Di sekolah juga berlangsung beberapa bentuk dasar dari kelangsungan “pendidikan” pada umumnya, yaitu pembentukan sikap-sikap dan kebiasaan yang wajar, perangsang dari potensi-potensi anak, perkembangan dari kecakapan-kecakapan pada umumnya, belajar bekerja sama dengan kawan sekelompok, melaksanakan tuntutan-tuntutan dan contoh-contoh yang baik, belajar menahan diri demi kepentingan orang lain, memperoleh pengajaran, menghadapi saringan, yang semuanya, akan mempunyai dampak dalam mencerdaskan otak anak seperti yang dapat dibuktikan dengan tes-tes inteligensi.

  Di Indonesia ada sekolah yang terdiri dari siswa yang memiliki jenis kelamin sama dan ada juga dengan siswa yang berjenis kelamin campuran. Sekolah yang memiliki siswa yang terdiri dari jenis kelamin yang sama saja disebut dengan single

  sex schools dan sekolah yang memiliki siswa berjenis kelamin campuran yaitu laki-

  laki dan perempuan disebut dengan coeducational schools. Telah banyak penelitian di negara-negara lain mengenai single sex schools dan coeducational schools yang dikaitkan dengan berbagai persoalan antara lain, prestasi akademik, agresivitas,

  

gender stereotype, kemampuan verbal, body image, hingga hubungan interpersonal

  (Pahlke dkk, 2014). Salah satu contoh sekolah di Indonesia yang memiliki siswa dengan jenis kelamin sama dan campuran adalah SMK.

  Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK merupakan salah satu bentuk pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan berbagai program keahlian sebagai lanjutan dari SMP/MTs atau yang sederajat. Program keahlian yang ada di SMK disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja. Program keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan kerja tersebut, membuat SMK menjadi terpisah antara minat laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari adanya sekolah di Kota Padang. Dari 34 Sekolah Menengah Kejuruan yang tersebar di berbagai daerah di Kota Padang, menurut data dari Dinas Pendidikan Kota Padang (www.diknas-padang.org)., ada 2 Sekolah Menengah Kejuruan yang terdiri dari siswa laki-laki saja yaitu, SMK Labor dan SMK Profesional serta 1 Sekolah Menengah Kejuruan yang terdiri dari siswa perempuan saja yaitu, SMK PGRI. Selain itu, juga ada banyak SMK yang siswanya dominan laki-laki saja.

  Pada single sex school, para siswa berinteraksi dengan teman sebaya yang sejenis saja. Hal ini meningkatkan aktivitas yang sesuai dengan gender saja dan lama kelamaan perilaku anak juga dibeda-bedakan menurut gender saja (Martin dan Fabes, 2001). Misalnya, anak laki-laki bermain hanya dengan anak laki-laki saja maka dia akan menjadi lebih agresif dan bagi anak yang tidak mempunyai kontrol diri yang baik, maka dia lebih beresiko akan memiliki masalah dengan perilakunya (Fabes dkk,

  1997). Selain itu, penelitian Faris dan Felmlee (2010), juga menunjukan bahwa pertemanan antar gender atau laki-laki dan perempuan, akan mengurangi agresifitas, dibandingkan dengan sekolah yang di dalamnya hanya terdapat pertemanan sesama jenis. Padahal, perilaku agresif berhubungan terbalik dengan kecerdasan sosial seseorang (Wulandari, 2010). Penelitian menunjukan semakin tinggi kecerdasan sosial seseorang maka semakin rendah perilaku agresifnya dan begitu sebaliknya.

  Perkelahian antar pelajar atau tawuran merupakan suatu bukti tindak agresif yang dilakukan oleh pelajar. Di Sumatera Barat khususnya Kota Padang, tawuran masih kerap saja terjadi. Walaupun tawuran sekarang ini sudah mulai berkurang, namun hal ini masih saja terjadi. Bahkan pada saat hari Pendidikan Nasional tanggal

  2 Mei 2014, tawuran kembali terjadi antar siswa SMK (Haluan, 3 Mei 2014). Kebanyakan yang terlibat tawuran itu adalah dari Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh seorang guru SMK:

  “Memang kalo untuk tawuran sering kali umumnya anak-anak SMK yang terlibat, masih saja terjadi antar-antar sekolah gitu, baru kejadian 2 minggu yang lalu juga, anak-anak SMK tawuran. Dan yang ikut tawuran itu sekolahnya dominan laki-laki siswanya memang. Yah memang ada pengaruhnya juga kadang karena siswa laki-laki semua memang lebih agresif dia”

  (komunikasi personal, 6 Mei 2014) Selain itu, siswa di single sex school juga memiliki minat belajar yang kurang, hal ini disampaikan oleh seorang guru SMK: “ Minat belajar siswa disini juga kurang, ini mungkin pengaruh karena masih kurang sadarnya mereka dengan keuntungan mereka sekolah di SMK ini. Padahal kalau mereka tau, bagaimana nya pasti bisa lebih baik juga.”

  (komunikasi personal, 6 Mei 2014) Dari observasi yang peneliti dapatkan, siswa-siswa di single sex schools yang siswanya laki-laki semua banyak yang datang terlambat, dan suka keluar masuk kelas, padahal ada guru yang mengajar, bahkan ada yang mendengarkan musik dengan

  

headset, dan bermain game di handphone. Mereka tidak peduli dengan kegiatan

  belajar yang berlangsung. Minat belajar seorang siswa salah satunya dapat dipengaruhi oleh teman pergaulan. Jika teman pergaulan memiliki minat belajar yang positif maka siswa lain akan terbawa juga untuk belajar (Sholahuddin,2012).

  Di coeducational schools, seorang siswa dapat berinteraksi dengan teman sebaya yang memiliki jenis kelamin berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan lebih puas berada di coeducational schools dan dapat membantu mereka untuk berinteraksi dengan lawan jenis (Dale dalam Smyth, 2010). Selain itu penelitian di Ireland juga menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan yang dulu bersekolah di coeducational schools, memiliki aspek perkembangan sosial dan pribadi yang lebih positif (Hannan dan Shortall dalam Smyth, 2010).

  Namun, Sullivan (2009) menyatakan bahwa ada perbedaan hasil antara laki- laki dan perempuan berdasarkan sekolah yang diikutinya. Perempuan lebih banyak memperoleh keuntungan dari bersekolah di single sex schools daripada laki-laki. Penelitian Sullivan dkk (2011) menyatakan bahwa perempuan yang bersekolah di

  

single sex schools lebih baik dalam hasil ujian ketika mereka berusia 16 tahun dan

lebih banyak menerima gaji ketika mereka bekerja setelah dewasa.

  Coeducational schools lebih menunjukkan bagaimana lingkungan dunia nyata

  yang sebenarnya yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dale (dalam Mael, 1998) mengatakan bahwa coeducational schools lebih menunjukkan keadaan lingkungan interaksi sosial di dunia yang sebenarnya, sehingga sekolah ini lebih baik mempersiapkan generasi muda dalam berinteraksi dan berintegrasi dengan lawan jenis di dalam masyarakat. Interaksi yang terintegrasi antar kelompok itu merupakan metode yang efektif untuk meningkatkan hubungan antar kelompok (Pettigrew, 1998).

  Jadi, siswa yang berada di lingkungan coeducational schools lebih mampu mengembangkan pemahaman persepsi dari lawan jenisnya yang merupakan salah satu aspek juga dalam kecerdasan sosial yaitu kognisi sosial. Hal ini sesuai dengan pernyataan seorang siswi yang bersekolah di coeducational schools:

  “Kalo saya gak ada ngerasa canggung sama lawan jenis karena udah terbiasa interaksi sama mereka.. trus kalo dalam kerja kelompok juga udah biasa aja dan bisa ngertiin pikiran mereka juga karena sering berinteraksi gitu”

  (komunikasi personal, 18 November 2013) Namun, penelitian yang dilakukan oleh Pahlke dkk (2014), menyatakan bahwa tidak adanya perbedaan keterampilan interpersonal antara siswa yang mengikuti single sex schools dan coeducational schools. Hal ini mungkin dikarenakan masih kurangnya penelitian mengenai masalah keterampilan interpersonal atau kecerdasan sosial ini.

  Sekolah Menengah Kejuruan yang memiliki siswa perempuan dan laki-laki juga menjadi lebih semangat untuk belajar. Di SMK dengan berbagai jurusannya, tentu memiliki minat masing-masing dan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Ada jurusan yang lebih diminati perempuan sehingga kelas tersebut didominasi oleh perempuan dan begitu sebaliknya, ada jurusan yang diminati oleh laki-laki saja.

  Namun, mereka lebih suka jika laki-laki dan perempuan belajar digabung satu kelas karena membuat mereka semangat untuk belajar. Hal ini disampaikan oleh seorang guru SMK:

  “Ada jurusan-jurusan yang memang dominan laki-laki atau perempuan saja. Ada juga yang kelas yang ada laki-laki dan perempuannya. Nah, anak-anak yang kelas laki-laki atau di kelasnya perempuan saja kadang minta untuk digabung kelasnya belajar. Katanya biar lebih semangat. Jadi ada positifnya juga. walaupun negatifnya kalau yang pacaran mengganggu nanti ke pelajaran. tapi itu juga karena hormon mereka yaa,, namanya remaja lah pasti gitu..”

  (komunikasi personal, 20 Mei 2014) Dalam tahap perkembangan remaja, lingkungan teman sebaya sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan fisik, kognitif dan sosialnya (Santrock, 2010).

  Menurut Piaget (dalam Santrock, 2010), seorang remaja telah dapat berpikir secara abstrak dan mampu memikirkan sesuatu dengan rasional. Melalui interaksi dengan teman sebaya yang berbeda jenis kelamin, seorang remaja akan mampu melihat perbedaan perspektif yang ada, memahami dan menimbulkan kepedulian dalam dirinya dengan kemampuan kognitif yang ada padanya.

  Selain itu, pada saat remaja, partisipasi dalam kelompok akan meningkat dan persahabatan memainkan peranan penting dalam sekolah menengah dibandingkan ketika saat masih sekolah dasar (Santrock, 2010). Keberagaman teman di sekolah tentu akan membawa perbedaan dalam kelompok yang menjadi identitas seorang remaja. Persahabatan akan menjadi sangat penting bagi perkembangan remaja dan remaja biasanya lebih banyak mengungkapkan informasi kepada teman sebayanya dibandingkan dengan keluarga (Santrock, 2010). Memiliki lingkungan teman sebaya yang dekat dan memiliki keterikatan akan mempengaruhi empati seseorang sebagai aspek dari kecerdasan sosial.

  Oleh karena itu, dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai perbedaan kecerdasan sosial antara siswa coeducational schools dan single sex

  schools di Kota Padang.

  1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan kecerdasan sosial siswa coeducational schools dengan siswa di single sex schools di Kota Padang?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah di atas maka, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan kecerdasan sosial siswa coeducational

  schools dengan di single sex schools di Kota Padang.

  1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis.

  a.

  Manfaat teoritis Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai kecerdasan sosial remaja dan memberikan sumbangan terhadap bidang psikologi terutama psikologi pendidikan mengenai kecerdasan sosial remaja di sekolah ditinjau dari sekolahnya yaitu coeducational schools dan single sex schools.

  b.

  Manfaat praktis 1.

  Bagi sekolah penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kecerdasan sosial siswa di single sex schools dan

  coeducational schools.

  2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai kecerdasan sosial siswa di single sex schools dan coeducational schools.

1.5 Sistematika Penulisan

  Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah:

  BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan memuat tinjauan teoritis meliputi definisi kecerdasan sosial, faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan sosial, komponen social intelligence, single sex schools, coeducational

  schools, perbedaan kecerdasan sosial siswa di single sex schools dan coeducational schools dan hipotesis penelitian.

  BAB III METODELOGI PENELITIAN Dalam bab ini terdapat penjelasan mengenai, identifikasi variabel, definisi operasional, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, metode pengolahan data dan rancangan penelitian.

  BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisis data yang terdiri dari dari gambaran umum subjek penelitian dan hasil-hasil penelitian serta pembahasan mengenai analisis data tersebut.

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang diberikan bagi peneliti selanjutnya, siswa dan pihak sekolah serta orang tua siswa.