Perbedaan Kecerdasan sosial Siswa Single Sex Schools dan Coeducational Schools di Kota Padang

(1)

PERBEDAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA SINGLE SEX SCHOOLS DAN COEDUCATIONAL SCHOOLS DI KOTA PADANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

Nadya Putri Delwis

101301024

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2013/2014


(2)

Perbedaan Kecerdasan sosialSiswa Single Sex Schools dan Coeducational Schools di Kota Padang

Nadya Putri Delwis dan Fasti Rola

ABSTRAK

Kecerdasan sosial merupakan kemampuan seseorang untuk memahami orang lain dan bagaimana reaksi mereka terhadap berbagai situasi yang berbeda. Kecerdasan sosial merupakan sekumpulan keterampilan yang memungkinkan kita dalam berinteraksi dengan lebih baik (Goleman, 2006). Kecerdasan sosial sangat dibutuhkan dan berperan penting dalam ruang lingkup pendidikan. Siswa yang merasa lebih terhubung dengan lingkungan belajarnya menunjukkan prestasi akademik yang lebih baik (Goleman, 2006). Perkembangan sosial ini menurut Gerungan (2004) dipengaruhi oleh keluarga dan sekolah. Tipe sekolah antaranya ada single sex schools dan coeducational schools.Single sex schools adalah sekolah yang terdiri dari siswa dengan jenis kelamin yang sama dan coeducational schools adalah sekolah yang terdiri dari siswa dengan jenis kelamin yang berbeda.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode analisis independent sample t-test. Populasi penelitian ini adalah SMK di Kota Padang dengan metode sampling yaitu cluster random sampling. Sekolah yang terlibat dalam penelitian ini ada 6 sekolah terdiri dari 2 (dua) single sex schools dan 4 (empat) coeducational schools. Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 241 siswa terdiri dari 68 siswa single sex schools dan 173 siswa coeducational schools. Teknik pengumpulan data menggunakan sebuah skala kecerdasan sosial yang dirancang peneliti menggunakan teori kecerdasan sosial dari Goleman (2006) dengan jumlah aitem sebanyak 36 aitem dan reliabilitas sebesar 0.83. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan kecerdasan sosialpada siswa single sex schools dan coeducational schools di Kota Padang (sig= 0.498, p > 0.05).


(3)

The Differences of Social Intelligence between Single Sex Schools and Coeducational Schools Students in Padang

Nadya Putri Delwis dan Fasti Rola

ABSTRACT

Social intelligence is an ability to understand other peoples and how to react in any situations. Social intelligence is a few skills to help us to better interact with other people (Goleman, 2006). Social intelligence is important in education field. The students who feels connected with study environment will get better academic achievement (Goleman, 2006). Social development according to Gerungan (2004) affected by family and schools. There is type of schools, single sex schools and coeducational schools. Single sex schools is school which have only same sex students and coeducational schools is school which have differences sex students.

This research using quantitative approach with independent sample t-test. The population in this research is SMK in Padang and used cluster random sampling. This research used 6 schools consist 2 (two) single sex schools and 4 (four) coeducationall schools. Total sample in this research was 241 students consist of 68 single sex schools students and 173 coeducational schools students. The researcher used social intelligence scale to collect data, created by researcher based on social intelligence theory from Goleman (2006) which consist of 36 item and the reliability is 0.83. The result of processing data is there wasn’t differences social intelligence between single sex schools and coeducational schools students in Padang (sig=0.498, p > 0.05). Key words: Social Intelligence; Single Sex Schools; Coeducational Schools


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti sampaikan pada Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan kekuatan kepada peneliti dengan rahmat dan hidayah-Nya untuk menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir.

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada orang tua peneliti yang telah memberikan kekuatan dan selalu ada untuk peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. Peneliti menyadari skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan dan tanpa bantuan serta dukungan dari berbagai pihak sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sungguh-sungguh kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Kak Fasti Rola, M.Psi., psikolog selaku Dosen Penguji I sekaligus Dosen Pembimbing yang dengan sabar membantu dan membimbing peneliti selama menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Sri Supriyantini, M.Si., psikolog selaku Dosen Penguji II 4. Kak Dina Nazriani, MA selaku Dosen Penguji III

5. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi USU yang telah memberikan ilmu kepada peneliti selama masa kuliah.

6. Pratiwi Putri Delwis, adik peneliti, atas kasih sayang dan kekuatan yang diberikan serta selalu membantu peneliti untuk tertawa ketika mengerjakan skripsi ini.


(5)

7. Merissa Puspa Safira, sepupu peneliti, yang menjadi motivator bagi peneliti untuk menjadi lebih baik

8. Sahabat peneliti, Irun, April, Melva, Risa, Yani, yang memberikan dukungan dan kegembiraan selama berada di perkuliahan ini. Bersyukur memiliki kalian.

9. Romy Firnanda, yang telah mengajarkan banyak hal, memberikan dukungan, doa dan menjadi orang yang dapat diandalkan bagi peneliti dalam hal apa pun.

10. Semua teman-teman yang telah membantu peneliti dalam mengambil data selama dan memberikan semangat ketika di Padang yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11.Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Padang yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian di sekolah masing-masing.

Peneliti memita maaf atas kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.5 Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Kecerdasan sosial ... 12

2.1.1 Definisi kecerdasan sosial ... 12

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan sosial ... 14

2.1.3 Komponen kecerdasan sosial ... 16

2.2 Tipe Sekolah ... 19

2.2.1 Coeducational schools ... 19

2.2.2 Single sex schools ... 20 2.3 Perbedaan kecerdasan sosial remaja di single sex schools dan


(7)

coeducational schools ... 21

2.4 Hipotesis penelitian ... 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 27

3.1Identifikasi Variabel ... 27

3.2 Definisi Operasional ... 27

3.2.1 Tipe Sekolah ... 27

3.3Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel ... 29

3.3.1 Populasi penelitian ... 29

3.3.2 Metode pengambilan sampel ... 29

3.4Metode Pengumpulan Data ... 29

3.5Metode Pengolahan Data ... 30

3.5.1 Validitas alat ukur ... 33

3.5.2 Reliabilitas alat ukur ... 34

3.5.3 Hasil uji coba alat ukur ... 34

3.6 Rancangan Penelitian ... 36

3.6.1 Tahap persiapan ... 36

3.6.2 Tahap pelaksanaan ... 38

3.6.3 Pengolahan data ... 39

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1 Analisa Data ... 40

4.1.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 40

4.1.2 Hasil Penelitian ... 41

4.2 Pembahasan ... 51

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

5.1 Kesimpulan ... 56

5.2 Saran ... 57


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blueprint skala Kecerdasan sosial ··· 31

Tabel 2. Hasil uji coba skala Kecerdasan sosial ··· 34

Tabel 3 Penyebaran Subjek berdasarkan Sekolah dan Jenis Kelamin ··· 40

Tabel 4 Hasil Uji Normalitas menggunakan metode Liliefors ··· 41

Tabel 5 Hasil Uji Homogenitas dengan Levene Statistic ··· 43

Tabel 6 Hasil Uji Independent Sample T-test Kecerdasan sosialsiswa Single Sex Schools dan Coeducational Schools··· 44

Tabel 7 Deskripsi Kelompok Statistik Siswa Single Sex Schools dan Coeducational Schools ··· 44

Tabel 8 Nilai Empirik dan Hipotetik Kecerdasan Sosial ··· 47

Tabel 9 Norma Kategorisasi Kecerdasan sosial ··· 48

Tabel 10 Kategorisasi Kecerdasan sosial ··· 48

Tabel 11 Kecerdasan sosialberdasarkan jenis kelamin siswa ··· 49

Tabel 12 Kecerdasan sosial single sex school perempuan dengan coeducational schools ··· 49

Tabel 13Kecerdasan sosial single sex schools laki-laki dengan coeducational schools ··· 50

Tabel 14 Kecerdasan sosialsiswa perempuan dari single sex schools dan coeducational schools ··· 50

Tabel 15 Kecerdasan sosialsiswa laki-laki dari single sex schools dan coeducational schools ··· 51


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran uji normalitas single sex schools ··· 42 Gambar 2. Gambaran uji normalitas coeducational schools ··· 43


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Uji Reliabilitas Skala Kecerdasan sosial ... 63

Lampiran 2 Hasil Uji Normalitas Coeducational Schools ... 70

Lampiran 3 Hasil Uji Normalitas Single Sex Schools ... 74

Lampiran 4 Hasil Independent Sample T-Test ... 78

Lampiran 5 Hasil Mean Kecerdasan sosial Single Sex Schools (Laki-Laki) Dan Coeducational Schools ... 80

Lampiran 6 Hasil Mean Kecerdasan sosial Single Sex Schools (Perempuan) Dan Coeducational Schools ... 82

Lampiran 7 Hasil Mean Kecerdasan sosialLaki-Laki Dan Perempuan ... 84

Lampiran 8 Hasil Mean Kecerdasan sosialSiswa Perempuan Single Sex Schools Dan Coeducational Schools ... 86

Lampiran 9 Hasil Mean Kecerdasan sosialSiswa Laki-Laki Single Sex Schools Dan Coeducational Schools ... 88

Lampiran 10 Data Mentah Penelitian ... 90

Lampiran 11 Skala Kecerdasan sosialsebelum try out ... 105


(11)

Perbedaan Kecerdasan sosialSiswa Single Sex Schools dan Coeducational Schools di Kota Padang

Nadya Putri Delwis dan Fasti Rola

ABSTRAK

Kecerdasan sosial merupakan kemampuan seseorang untuk memahami orang lain dan bagaimana reaksi mereka terhadap berbagai situasi yang berbeda. Kecerdasan sosial merupakan sekumpulan keterampilan yang memungkinkan kita dalam berinteraksi dengan lebih baik (Goleman, 2006). Kecerdasan sosial sangat dibutuhkan dan berperan penting dalam ruang lingkup pendidikan. Siswa yang merasa lebih terhubung dengan lingkungan belajarnya menunjukkan prestasi akademik yang lebih baik (Goleman, 2006). Perkembangan sosial ini menurut Gerungan (2004) dipengaruhi oleh keluarga dan sekolah. Tipe sekolah antaranya ada single sex schools dan coeducational schools.Single sex schools adalah sekolah yang terdiri dari siswa dengan jenis kelamin yang sama dan coeducational schools adalah sekolah yang terdiri dari siswa dengan jenis kelamin yang berbeda.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode analisis independent sample t-test. Populasi penelitian ini adalah SMK di Kota Padang dengan metode sampling yaitu cluster random sampling. Sekolah yang terlibat dalam penelitian ini ada 6 sekolah terdiri dari 2 (dua) single sex schools dan 4 (empat) coeducational schools. Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 241 siswa terdiri dari 68 siswa single sex schools dan 173 siswa coeducational schools. Teknik pengumpulan data menggunakan sebuah skala kecerdasan sosial yang dirancang peneliti menggunakan teori kecerdasan sosial dari Goleman (2006) dengan jumlah aitem sebanyak 36 aitem dan reliabilitas sebesar 0.83. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan kecerdasan sosialpada siswa single sex schools dan coeducational schools di Kota Padang (sig= 0.498, p > 0.05).


(12)

The Differences of Social Intelligence between Single Sex Schools and Coeducational Schools Students in Padang

Nadya Putri Delwis dan Fasti Rola

ABSTRACT

Social intelligence is an ability to understand other peoples and how to react in any situations. Social intelligence is a few skills to help us to better interact with other people (Goleman, 2006). Social intelligence is important in education field. The students who feels connected with study environment will get better academic achievement (Goleman, 2006). Social development according to Gerungan (2004) affected by family and schools. There is type of schools, single sex schools and coeducational schools. Single sex schools is school which have only same sex students and coeducational schools is school which have differences sex students.

This research using quantitative approach with independent sample t-test. The population in this research is SMK in Padang and used cluster random sampling. This research used 6 schools consist 2 (two) single sex schools and 4 (four) coeducationall schools. Total sample in this research was 241 students consist of 68 single sex schools students and 173 coeducational schools students. The researcher used social intelligence scale to collect data, created by researcher based on social intelligence theory from Goleman (2006) which consist of 36 item and the reliability is 0.83. The result of processing data is there wasn’t differences social intelligence between single sex schools and coeducational schools students in Padang (sig=0.498, p > 0.05). Key words: Social Intelligence; Single Sex Schools; Coeducational Schools


(13)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar belakang masalah

Sebagai seorang manusia, kita memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain di sekitar kita. Interaksi kita dengan orang lain akan memiliki dampak positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari berbagai latar belakang budaya, sosial ekonomi, agama, jenis kelamin, bahasa, ras, etnis, kemampuan dan umur, saling berinteraksi karena kebutuhan yang paling mendasar pada manusia yaitu kebutuhan akan afiliasi untuk mendapatkan kasih sayang dan cinta. Menurut Maslow (dalam Schultz, 1976), kegagalan dalam pemuasan akan kebutuhan kasih sayang akan menyebabkan seseorang mengalami masalah emosional. Kebutuhan akan afiliasi ini dapat dihasilkan melalui beberapa cara antara lain, melalui hubungan yang dekat dengan teman, kekasih atau pasangan atau melalui hubungan sosial kita dalam suatu kelompok (Schultz, 1976).

Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan sosial bagi setiap orang. Albrecht (2006),menyatakan bahwa kecerdasan sosial merupakan kemampuan untuk bergaul dengan baik dengan orang lain dan mengajak mereka untuk bekerja sama. Dengan kecerdasan sosial yang dimiliki interaksi antar individu menjadi lebih nyaman. Kecerdasan sosial yang dimiliki akan membuat seseorang merasa nyaman walaupun berinteraksi dengan orang lain dari berbagai latar belakang yang berlainan (Buzan, 2004). Kim (2003) menjelaskan bahwa banyak anak-anak yang mengalami penolakan


(14)

dan dijauhi oleh teman sebayanya yang disebabkan rendahnya keterampilan sosial yang dimiliki. Kondisi tersebut akan menyebabkan anak menjadi underachievement dan mengalami penyimpangan sosial pada masa dewasa nanti (Pellegrini dalam Kim, 2003). Gottman (dalam Kim, 2003) menjelaskan bahwa anak-anak yang mengalami penolakan dan dijauhi teman sebayanya disebabkan rendahnya keterampilan sosial yang ditandai dengan tingginya perilaku agresif, perilaku memusuhi, bermain sendirian, tidak bersedia mengerjakan tugas, malu, cemas, takut, dan distress emosional. Goleman (2006) mengatakan juga bahwa pelajar yang dikucilkan dari kehidupan sosialnya cenderung memiliki perilaku yang keras, pengacau, sering absen di sekolah dan sering drop-out.

Kecerdasan sosial sangat dibutuhkan dan berperan penting dalam ruang lingkup pendidikan. Goleman (2006) dengan menggunakan hasil sejumlah penelitian membuktikan bahwa siswa yang merasa terhubung atau dekat dengan komunitas belajarnya (sekolah), termasuk orang-orang di dalamnya, akan memiliki prestasi akademik yang lebih baik. Siswa yang telah mengembangkan kecerdasan sosial akan dapat mengembangkan kemampuan belajarnya dengan lebih baik. Mereka memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi respon emosi mereka terhadap situasi belajar sebagaimana mereka juga dapat mengidentifikasi dinamika sosial dalam kehidupan mereka (Goleman, 2006). Kecerdasan sosial atau kecerdasan sosial juga dapat meredam tindakan anarkis, karena orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi mempunyai keterampilan psikologis yang dapat digunakan untuk mencari jalan


(15)

keluar secara damai dan santun (Suyono dalam Rosalia dan Prishastuti, 2011). Selain itu, perilaku agresif juga berhubungan dengan kecerdasan sosial, semakin tinggi kecerdasan sosial seseorang semakin rendah perilaku agresifnya dan begitu sebaliknya (Wulandari, 2010).

Menurut Gerungan (2004), salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial siswa adalah sekolah. Peran sekolah lebih luas daripada hanya untuk meningkatkan taraf inteligensi saja. Di sekolah juga berlangsung beberapa bentuk dasar dari kelangsungan “pendidikan” pada umumnya, yaitu pembentukan sikap-sikap dan kebiasaan yang wajar, perangsang dari potensi-potensi anak, perkembangan dari kecakapan-kecakapan pada umumnya, belajar bekerja sama dengan kawan sekelompok, melaksanakan tuntutan-tuntutan dan contoh-contoh yang baik, belajar menahan diri demi kepentingan orang lain, memperoleh pengajaran, menghadapi saringan, yang semuanya, akan mempunyai dampak dalam mencerdaskan otak anak seperti yang dapat dibuktikan dengan tes-tes inteligensi.

Di Indonesia ada sekolah yang terdiri dari siswa yang memiliki jenis kelamin sama dan ada juga dengan siswa yang berjenis kelamin campuran. Sekolah yang memiliki siswa yang terdiri dari jenis kelamin yang sama saja disebut dengan single sex schools dan sekolah yang memiliki siswa berjenis kelamin campuran yaitu laki-laki dan perempuan disebut dengan coeducational schools. Telah banyak penelitian di negara-negara lain mengenai single sex schools dan coeducational schools yang dikaitkan dengan berbagai persoalan antara lain, prestasi akademik, agresivitas,


(16)

gender stereotype, kemampuan verbal, body image, hingga hubungan interpersonal (Pahlke dkk, 2014). Salah satu contoh sekolah di Indonesia yang memiliki siswa dengan jenis kelamin sama dan campuran adalah SMK.

Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK merupakan salah satu bentuk pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan berbagai program keahlian sebagai lanjutan dari SMP/MTs atau yang sederajat. Program keahlian yang ada di SMK disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja. Program keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan kerja tersebut, membuat SMK menjadi terpisah antara minat laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari adanya sekolah di Kota Padang. Dari 34 Sekolah Menengah Kejuruan yang tersebar di berbagai daerah di Kota Padang, menurut data dari Dinas Pendidikan Kota Padang (www.diknas-padang.org)., ada 2 Sekolah Menengah Kejuruan yang terdiri dari siswa laki-laki saja yaitu, SMK Labor dan SMK Profesional serta 1 Sekolah Menengah Kejuruan yang terdiri dari siswa perempuan saja yaitu, SMK PGRI. Selain itu, juga ada banyak SMK yang siswanya dominan laki-laki saja.

Pada single sex school, para siswa berinteraksi dengan teman sebaya yang sejenis saja. Hal ini meningkatkan aktivitas yang sesuai dengan gender saja dan lama kelamaan perilaku anak juga dibeda-bedakan menurut gender saja (Martin dan Fabes, 2001). Misalnya, anak laki-laki bermain hanya dengan anak laki-laki saja maka dia akan menjadi lebih agresif dan bagi anak yang tidak mempunyai kontrol diri yang baik, maka dia lebih beresiko akan memiliki masalah dengan perilakunya (Fabes dkk,


(17)

1997). Selain itu, penelitian Faris dan Felmlee (2010), juga menunjukan bahwa pertemanan antar gender atau laki-laki dan perempuan, akan mengurangi agresifitas, dibandingkan dengan sekolah yang di dalamnya hanya terdapat pertemanan sesama jenis. Padahal, perilaku agresif berhubungan terbalik dengan kecerdasan sosial seseorang (Wulandari, 2010). Penelitian menunjukan semakin tinggi kecerdasan sosialseseorang maka semakin rendah perilaku agresifnya dan begitu sebaliknya.

Perkelahian antar pelajar atau tawuran merupakan suatu bukti tindak agresif yang dilakukan oleh pelajar. Di Sumatera Barat khususnya Kota Padang, tawuran masih kerap saja terjadi. Walaupun tawuran sekarang ini sudah mulai berkurang, namun hal ini masih saja terjadi. Bahkan pada saat hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2014, tawuran kembali terjadi antar siswa SMK (Haluan, 3 Mei 2014). Kebanyakan yang terlibat tawuran itu adalah dari Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh seorang guru SMK:

“Memang kalo untuk tawuran sering kali umumnya anak-anak SMK yang terlibat, masih saja terjadi antar-antar sekolah gitu, baru kejadian 2 minggu yang lalu juga, anak-anak SMK tawuran. Dan yang ikut tawuran itu sekolahnya dominan laki-laki siswanya memang. Yah memang ada pengaruhnya juga kadang karena siswa laki-laki semua memang lebih agresif dia”

(komunikasi personal, 6 Mei 2014)

Selain itu, siswa di single sex school juga memiliki minat belajar yang kurang, hal ini disampaikan oleh seorang guru SMK:

“ Minat belajar siswa disini juga kurang, ini mungkin pengaruh karena masih kurang sadarnya mereka dengan keuntungan mereka sekolah di SMK ini. Padahal kalau mereka tau, bagaimana nya pasti bisa lebih baik juga.”


(18)

(komunikasi personal, 6 Mei 2014)

Dari observasi yang peneliti dapatkan, siswa-siswa di single sex schools yang siswanya laki-laki semua banyak yang datang terlambat, dan suka keluar masuk kelas, padahal ada guru yang mengajar, bahkan ada yang mendengarkan musik dengan headset, dan bermain game di handphone. Mereka tidak peduli dengan kegiatan belajar yang berlangsung. Minat belajar seorang siswa salah satunya dapat dipengaruhi oleh teman pergaulan. Jika teman pergaulan memiliki minat belajar yang positif maka siswa lain akan terbawa juga untuk belajar (Sholahuddin,2012).

Di coeducational schools, seorang siswa dapat berinteraksi dengan teman sebaya yang memiliki jenis kelamin berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan lebih puas berada di coeducational schools dan dapat membantu mereka untuk berinteraksi dengan lawan jenis (Dale dalam Smyth, 2010). Selain itu penelitian di Ireland juga menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan yang dulu bersekolah di coeducational schools, memiliki aspek perkembangan sosial dan pribadi yang lebih positif (Hannan dan Shortall dalam Smyth, 2010).

Namun, Sullivan (2009) menyatakan bahwa ada perbedaan hasil antara laki-laki dan perempuan berdasarkan sekolah yang diikutinya. Perempuan lebih banyak memperoleh keuntungan dari bersekolah di single sex schools daripada laki-laki. Penelitian Sullivan dkk (2011) menyatakan bahwa perempuan yang bersekolah di single sex schools lebih baik dalam hasil ujian ketika mereka berusia 16 tahun dan lebih banyak menerima gaji ketika mereka bekerja setelah dewasa.


(19)

Coeducational schools lebih menunjukkan bagaimana lingkungan dunia nyata yang sebenarnya yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dale (dalam Mael, 1998) mengatakan bahwa coeducational schools lebih menunjukkan keadaan lingkungan interaksi sosial di dunia yang sebenarnya, sehingga sekolah ini lebih baik mempersiapkan generasi muda dalam berinteraksi dan berintegrasi dengan lawan jenis di dalam masyarakat. Interaksi yang terintegrasi antar kelompok itu merupakan metode yang efektif untuk meningkatkan hubungan antar kelompok (Pettigrew, 1998). Jadi, siswa yang berada di lingkungan coeducational schools lebih mampu mengembangkan pemahaman persepsi dari lawan jenisnya yang merupakan salah satu aspek juga dalam kecerdasan sosial yaitu kognisi sosial. Hal ini sesuai dengan pernyataan seorang siswi yang bersekolah di coeducational schools:

“Kalo saya gak ada ngerasa canggung sama lawan jenis karena udah terbiasa interaksi sama mereka.. trus kalo dalam kerja kelompok juga udah biasa aja dan bisa ngertiin pikiran mereka juga karena sering berinteraksi gitu”

(komunikasi personal, 18 November 2013)

Namun, penelitian yang dilakukan oleh Pahlke dkk (2014), menyatakan bahwa tidak adanya perbedaan keterampilan interpersonal antara siswa yang mengikuti single sex schools dan coeducational schools. Hal ini mungkin dikarenakan masih kurangnya penelitian mengenai masalah keterampilan interpersonal atau kecerdasan sosialini.

Sekolah Menengah Kejuruan yang memiliki siswa perempuan dan laki-laki juga menjadi lebih semangat untuk belajar. Di SMK dengan berbagai jurusannya,


(20)

tentu memiliki minat masing-masing dan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Ada jurusan yang lebih diminati perempuan sehingga kelas tersebut didominasi oleh perempuan dan begitu sebaliknya, ada jurusan yang diminati oleh laki-laki saja. Namun, mereka lebih suka jika laki-laki dan perempuan belajar digabung satu kelas karena membuat mereka semangat untuk belajar. Hal ini disampaikan oleh seorang guru SMK:

“Ada jurusan-jurusan yang memang dominan laki-laki atau perempuan saja. Ada juga yang kelas yang ada laki-laki dan perempuannya. Nah, anak-anak yang kelas laki-laki atau di kelasnya perempuan saja kadang minta untuk digabung kelasnya belajar. Katanya biar lebih semangat. Jadi ada positifnya juga. walaupun negatifnya kalau yang pacaran mengganggu nanti ke pelajaran. tapi itu juga karena hormon mereka yaa,, namanya remaja lah pasti gitu..”

(komunikasi personal, 20 Mei 2014)

Dalam tahap perkembangan remaja, lingkungan teman sebaya sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan fisik, kognitif dan sosialnya (Santrock, 2010). Menurut Piaget (dalam Santrock, 2010), seorang remaja telah dapat berpikir secara abstrak dan mampu memikirkan sesuatu dengan rasional. Melalui interaksi dengan teman sebaya yang berbeda jenis kelamin, seorang remaja akan mampu melihat perbedaan perspektif yang ada, memahami dan menimbulkan kepedulian dalam dirinya dengan kemampuan kognitif yang ada padanya.

Selain itu, pada saat remaja, partisipasi dalam kelompok akan meningkat dan persahabatan memainkan peranan penting dalam sekolah menengah dibandingkan


(21)

tentu akan membawa perbedaan dalam kelompok yang menjadi identitas seorang remaja. Persahabatan akan menjadi sangat penting bagi perkembangan remaja dan remaja biasanya lebih banyak mengungkapkan informasi kepada teman sebayanya dibandingkan dengan keluarga (Santrock, 2010). Memiliki lingkungan teman sebaya yang dekat dan memiliki keterikatan akan mempengaruhi empati seseorang sebagai aspek dari kecerdasan sosial.

Oleh karena itu, dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai perbedaan kecerdasan sosial antara siswa coeducational schools dan single sex schools di Kota Padang.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada perbedaan kecerdasan sosial siswa coeducational schools dengan siswa di single sex schools di Kota Padang? 1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan kecerdasan sosial siswa coeducational schools dengan di single sex schools di Kota Padang.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis. a. Manfaat teoritis


(22)

Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai kecerdasan sosial remaja dan memberikan sumbangan terhadap bidang psikologi terutama psikologi pendidikan mengenai kecerdasan sosial remaja di sekolah ditinjau dari sekolahnya yaitu coeducational schools dan single sex schools.

b. Manfaat praktis

1. Bagi sekolah penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kecerdasan sosial siswa di single sex schools dan coeducational schools.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai kecerdasan sosial siswa di single sex schools dan coeducational schools.

1.5Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan memuat tinjauan teoritis meliputi definisi kecerdasan sosial, faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan


(23)

sosial, komponen social intelligence, single sex schools, coeducational schools, perbedaan kecerdasan sosial siswa di single sex schools dan coeducational schools dan hipotesis penelitian.

BAB III METODELOGI PENELITIAN

Dalam bab ini terdapat penjelasan mengenai, identifikasi variabel, definisi operasional, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, metode pengolahan data dan rancangan penelitian.

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisis data yang terdiri dari dari gambaran umum subjek penelitian dan hasil-hasil penelitian serta pembahasan mengenai analisis data tersebut.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran yang diberikan bagi peneliti selanjutnya, siswa dan pihak sekolah serta orang tua siswa.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecerdasan sosial

2.1.1 Definisi kecerdasan sosial

Kecerdasan sosial merupakan kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain dan memahami orang lain. Konsep kecerdasan sosial ini berpangkal dari konsep kecerdasan sosial yang dikemukakan oleh Thorndike (dalam Goleman, 2006) yang menjelaskan kecerdasan sosial sebagai kemampuan untuk memahami dan mengelola orang lain baik laki-laki dan perempuan. Sebagai seorang siswa, kecerdasan sosial sangat diperlukan bagi mereka dalam pembelajaran. Kecerdasan sosial membantu siswa dalam berinteraksi dengan teman sebaya, guru dan juga masyarakat serta mempunyai keberanian untuk mengemukakan pendapat, dan sebagai bekal untuk kehidupan masa depan yang lebih kompleks lagi.

Kecerdasan sosial kadang disebut juga dengan inteligensi interpersonal yaitu orang yang mampu memahami, berinteraksi, dan berhubungan baik dengan orang lain. Inteligensi interpersonal ini meliputi memahami orang lain, kemampuan sosial, dan keterampilan menjalin hubungan (Alder, 2001). Selanjutnya, Albrecht (2006) mengemukakan kecerdasan sosial adalah suatu kemampuan untuk bergaul dengan baik dan mengajak orang lain untuk bekerja sama.


(25)

Goleman (2006), mengemukakan juga bahwa kecerdasan sosial merupakan kemampuan seseorang untuk memahami orang lain dan bagaimana reaksi mereka terhadap berbagai situasi yang berbeda. Kecerdasan sosial membantu seorang siswa untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan dapat berpengaruh pada prestasi akademik. Siswa yang merasa lebih terhubung dengan lingkungan belajarnya menunjukkan prestasi akademik yang lebih baik (Goleman, 2006). Kecerdasan sosial merupakan sekumpulan keterampilan yang memungkinkan kita dalam berinteraksi dengan lebih baik (Goleman, 2006).

Buzan (2002) mengatakan bahwa orang yang memiliki kecerdasan sosial baik akan mampu berkomunikasi dengan orang lain dengan menggunakan otak dan juga tubuhnya. Mereka memiliki kemampuan membaca bahasa tubuh orang lain dan mendengarkan untuk dapat sukses dalam kehidupan luas. Kecerdasan sosial akan membuat seseorang nyaman berada dimanapun dengan orang lain yang berbeda latar belakang, umur, budaya, dan latar belakang sosial serta mampu membuat mereka merasa nyaman.

Jadi, berdasarkan definisi para ahli di atas, kecerdasan sosial berarti kemampuan seseorang dalam berinteraksi, bergaul, memahami dan bekerja sama dengan orang lain dalam situasi yang berbeda-beda dengan menggunakan keterampilan-keterampilan sosial yang dimiliki.


(26)

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan sosial

Perkembangan sosial berarti seseorang memiliki kemampuan untuk memahami dan bergaul dengan orang lain. Perkembangan sosial siswa juga berarti proses perkembangan sosial siswa dalam berhubungan dengan orang lain di masyarakat (Syah, 2004). Perkembangan sosial ini menurut Gerungan (2004) dipengaruhi oleh keluarga dan sekolah.

a. Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertama dalam belajar untuk kehidupan sosial. Dari keluarga seseorang belajar bagaimana norma-norma lingkungan, internalisasi norma-norma, perilaku dan lain-lain. Pengalaman-pengalaman berinteraksi dalam keluarga menjadi awal dan pedoman untuk berinteraksi dengan masyarakat luas.

Pola asuh, status sosio-ekonomi, keutuhan keluarga, sikap orang tua dapat mempengaruhi perkembangan sosial seorang anak. Faktor sosioekonomi bukan suatu faktor mutlak yang mempengaruhi perkembangan sosial anak, hal itu semua tergantung kepada sikap orang tua dan interaksinya di dalam keluarga. Namun, kesempatan bagi siswa yang memiliki latar belakang keluarga sosioekonominya tinggi, akan lebih memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi-potensi di dalam dirinya.


(27)

Keutuhan keluarga baik dari struktur keluarga seperti perceraian maupun orang tua yang tidak harmonis, itu sangat penting perannya dalam perkembangan sosial seorang siswa. Siswa yang memiliki keluarga yang tidak utuh seperti salah satu orang tua tidak ada, atau bercerai maupun orang tua yang sering bertengkar itu akan memberikan dampak negatif terhadap perkembangan sosial siswa.

Dalam penelitian Pengasuhan Otoriter berpotensi menurunkan Kecerdasan Sosial, Self-Esteem dan Prestasi Akademik Remaja, memberikan hasil bahwa kecerdasan sosial dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Skor kecerdasan sosial akan semakin tinggi jika skor persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoritatif juga tinggi dan jika skor persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter tinggi, maka skor kecerdasan sosial yang dihasilkan rendah.

Selain itu, seseorang yang berasal dari keluarga besar, atau seorang anak bungsu dalam keluarga, seorang anak yang masuk playgroup atau taman kanak-kanak, akan memiliki inteligensi interpersonal atau inteligensi sosial yang lebih baik dibandingkan dengan anak tunggal yang kurang memiliki kesempatan bergaul dengan anak-anak lain (Alder, 2001).


(28)

b. Sekolah

Pendidikan selain untuk memiliki ilmu pengetahuan, juga efektif untuk keterampilan negosiasi, konseling, pidato, atau berbicara di muka umum, mengajar, mewawancarai, dan keterampilan-keterampilan lain yang termasuk dalam kategori inteligensi interpersonal atau inteligensi sosial. (Alder, 2001).

Sekolah bukan hanya sebagai tempat untuk menambah ilmu pengetahuan saja tetapi juga perkembangan sosial anak. Anak yang berinteraksi dengan teman sebaya, guru, staf yang lebih tua dari dirinya akan dapat mengajarkan sesuatu yang tidak hanya sekedar pengembangan intelektualitas saja. Di sekolah akan dapat bekerja sama dalam kelompok, aturan-aturan yang harus dipatuhi, yang semuanya termasuk dalam meningkatkan perkembangan kecerdasan sosial anak. Selain itu, empati sebagai aspek dari kecerdasan sosial juga dipengaruhi oleh teman sebaya seorang anak.

2.1.3 Komponen kecerdasan sosial

Goleman (2006) mengemukakan bahwa kecerdasan sosial merupakan sekumpulan keterampilan yang membantu seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain lebih baik. Kecerdasan sosial disusun oleh dua komponen yaitu kesadaran sosial dan fasilitas sosial. Kesadaran sosial merupakan keterampilan seseorang dalam memahami pikiran dan perasaan orang lain yang terbagi antara empati dasar, penyelarasan, ketepatan empatik dan kognisi sosial. Fasilitas sosial yaitu bagaimana


(29)

kita berinteraksi dengan orang lain yang terdiri dari sinkronisasi, presentasi diri, pengaruh dan kepedulian (Goleman, 2006).

Komponen kecerdasan sosial menurut Goleman (2006), yaitu:

1) Kesadaran sosial a. Empati dasar

Yaitu kemampuan membaca isyarat non verbal yang diberikan orang lain. Walaupun seseorang dapat berhenti berbicara, namun dia tidak akan dapat menghentikan sinyal-sinyal mengenai apa yang dia rasakan melalui nada suara, ekspresi wajah dan sinyal-sinyal emosi lainnya. b. Penyelarasan

Yaitu kemampuan mendengarkan dan memperhatikan secara penuh apa yang disampaikan oleh orang lain dan hanya fokus pada lawan bicara sehingga kita dapat berbicara satu sama lain dan memberikan respon yang sesuai bukan hanya pembicaraan sepihak saja.

c. Ketepatan empatik

Yaitu kemampuan untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain melalui bahasa non verbal yang diberikannya. Dengan memiliki kemampuan membaca bahasa non verbal seseorang, maka akan membuat kita semakin akurat dalam merasakan dan memahami pikiran serta perasaan orang lain.


(30)

d. Kognisi sosial

Yaitu kemampuan individu memahami dan memilih hal apa yang tepat untuk dilakukan dalam situasi yang berbeda-beda walaupun tidak ada aturan yang tertulis mengenai hal itu (unspoken rules). Kognisi sosial akan membantu individu dalam memecahkan dilema sosial seperti bagaimana mendapatkan teman baru dalam lingkungan baru.

2) Fasilitas sosial a. Sinkronisasi

Yaitu kemampuan individu berinteraksi menggunakan bahasa non-verbal. Individu mampu dalam menggunakan bahasa non-verbal akan dapat berinteraksi dengan orang lain dengan lancar.

b. Presentasi diri

Yaitu bagaimana individu menampilkan diri dengan efektif saat berinteraksi dengan orang lain. Salah satu aspek dari presentasi diri ini adalah karisma.

c. Pengaruh

Yaitu kemampuan mempengaruhi orang lain untuk berbuat sesuatu menggunakan perkataan dengan hati-hati dan mampu mengendalikan diri.


(31)

d. Kepedulian

Yaitu kepedulian kita terhadap orang lain. Semakin kita peduli terhadap orang lain, maka semakin besar pula keinginan kita untuk mengorbankan waktu dan tenaga kita untuk membantu orang tersebut.

2.2 Tipe Sekolah

2.2.1 Coeducational schools

Keefektifan sekolah masih sering diukur dari performa akademik siswa-siswanya, namun pandangan itu masih menimbulkan kontroversi mengingat peran dari sekolah selain itu adalah mengajarkan sosialisasi kepada generasi muda (Mael, 1998). Pendidikan pada hakekatnya memberikan pembelajaran kepada siswa mengenai kehidupan nyata dan lingkungan sosial yang harus dihadapi dalam konsep yang heterogen (Hendrastomo, 2012).

Coeducational schools merupakan sekolah yang memiliki siswa laki-laki dan perempuan. Dale (dalam Mael, 1998) mengatakan bahwa coeducational schools atau coeducational schools lebih menunjukkan keadaan lingkungan interaksi sosial di dunia yang sebenarnya, sehingga sekolah ini lebih baik mempersiapkan generasi muda dalam berinteraksi dan berintegrasi dengan lawan jenis di dalam masyarakat. Dale (dalam Sullivan, 2011) juga menyatakan bahwa siswa di coeducational schools baik laki-laki dan perempuan memiliki sikap yang lebih bersahabat satu sama lain. Harris (dalam Mael, 1998) juga mengatakan bahwa coeducational schools juga dapat


(32)

mengurangi sex stereotypes. Selain itu, coeducational schools juga menjauhkan siswa laki-laki dari prilaku kekerasan dan anti sosial (Jones&Thompson dalam Mael, 1998).

2.2.2 Single sex schools

Pendidikan merupakan faktor kunci dalam pengembangan sumber daya manusia dengan esensi mampu menciptakan manusia yang berkompetensi tinggi, mampu bersaing dan mendayagunakan dirinya untuk kemandirian dan meningkatkan potensi yang ada di dalam diri untuk menjadi manusia yang unggul (Hendrastomo, 2012).

Single sex schools yaitu sekolah dimana hanya terdapat siswa yang berjenis kelamin sama di sekolah tersebut. Banyak perdebatan mengenai keuntungan dan kerugian dari single sex schools ini bagi siswa yang mengikutinya. Penelitian Ormerod dkk, (dalam Smyth, 2010) di Inggris, menunjukkan bahwa siswa perempuan lebih cenderung memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi pada sekolah atau kelas single sex. Sementara itu Spielholfer dkk, (dalam Smyth, 2010) menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari rata-rata prestasi akademik siswa laki-laki di single sex schools atau coeducational schools.

Dalam perkembangan sosial siswa, beberapa penelitian menunjukkan bahwa siswa perempuan lebih mengembangkan kompetensi sosial dan self-image dengan lebih baik ketika berada di lingkungan yang kurang kompetitif yaitu di single sex schools (Carpenter dkk dalam Smyth, 2010). Namun, penelitian juga menunjukkan


(33)

bahwa memisahkan antara laki-laki dan perempuan di sekolah itu tidaklah baik untuk perkembangannya. Siswa yang berada di single sex schools menjadi lebih menerima gender stereotype (Conley, 2011). Di Amerika, single sex schools lebih dibandingkan kepada sekolah yang lebih khusus dimana kebanyakan single sex schools ini berisikan siswa yang berlatar belakang sosioekonomi dan agama yang lebih homogen daripada di coeducational schools (Mael, 1998).

2.3 Perbedaan kecerdasan sosial siswa single sex schools dan coeducational schools

Single sex schools merupakan sekolah yang memiliki siswa dengan jenis kelamin sama dan coeducational schools merupakan sekolah dengan siswa yang berjenis kelamin berbeda atau campuran. Di Indonesia terdapat dua jenis sekolah ini. Salah satu contohnya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK merupakan pendidikan kejuruan dengan berbagai program keahlian. Akibat memiliki berbagai program keahlian tersebut maka hal ini dapat memisahkan minat antara laki-laki dan perempuan sehingga akibatnya ada sekolah yang hanya memiliki siswa laki-laki saja atau perempuan saja.

Telah banyak perdebatan maupun penelitian mengenai keuntungan dan kerugian dari single sex schools dan coeducational schools ini, mulai dari performa akademik, sikap terhadap akademik, disiplin di sekolah, kenyamanan di sekolah, aspirasi siswa dan ketertarikan kerja (terutama bagi perempuan), self-esteem siswa,


(34)

dan kesuksesan setelah sekolah (Mael, 1998). Dunia sekolah seharusnya menjadi agen sosialisasi dalam mengenalkan kepada anak mengenai dunia sosialnya dalam konsep yang heterogen (Hendrastomo, 2012). Di single sex schools, hanya terdapat teman sebaya yang berjenis kelamin sama dan kebanyakan single sex schools juga merupakan sekolah yang berlatar belakang siswa dengan level sosioekonomi dan agama yang homogen juga (Mael, 1998).

Kecerdasan sosial merupakan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dan sekumpulan keterampilan (kesadaran situasi, kehadiran, authenticity, kejelasan dan empati) yang digunakan untuk berinteraksi dengan sukses dengan orang lain (Albrecht, 2006). Goleman (2006), juga menjelaskan kecerdasan sosial sebagai kemampuan untuk memahami orang lain dan bagaimana reaksi mereka dalam situasi yang berbeda. Kecerdasan sosial juga memiliki dua komponen yaitu kesadaran sosial yang terdiri dari empat aspek, empati dasar, penyelarasan, ketepatan empatik, dan kognisi sosial, komponen yang kedua adalah fasilitas sosial yang terdiri dari sinkronisasi, presentasi diri, pengaruh dan kepedulian (Goleman, 2006). Jadi, yang paling ditekankan dalam kecerdasan sosial adalah kemampuan memahami pikiran dan perasaan orang lain dengan menggunakan kemampuan verbal dan non-verbal secara tepat dan sesuai dengan situasi yang ada.

Kecerdasan sosial ini dipengaruhi oleh faktor sekolah. Jenis sekolah yang ditempati anak akan berpengaruh terhadap prestasi akademik dan perkembangan


(35)

kelamin sama yang disebut single sex schools dan berjenis kelamin campuran yang disebut dengan coeducational schools. Dalam coeducational schools, laki-laki dan perempuan dapat saling berdiskusi mengenai pendapat masing-masing dan berinteraksi secara natural sebagaimana kehidupan nyata di dunia sosial yang sesungguhnya. Sering sekali perspektif antara laki-laki dan perempuan berbeda-beda dan dengan saling interaksi mereka menjadi dapat pemahaman mengenai perspektif masing-masing 1998) mengatakan bahwa coeducational schools lebih menunjukkan keadaan lingkungan interaksi sosial di dunia yang sebenarnya, sehingga sekolah ini lebih baik mempersiapkan generasi muda dalam berinteraksi dan berintegrasi dengan lawan jenis di dalam masyarakat. Dale juga mengatakan coeducational schools juga memenuhi kebutuhan para remaja dalam bidang sosial dan juga akademisnya.

Di single sex schools, siswa hanya berinteraksi dan bekerja sama dengan teman sebaya yang berjenis kelamin sama. Siswa perempuan di single sex schools lebih mampu mengembangkan keterampilan sosial yang baik dibandingkan dengan yang berada di coeducational schools (Carpenter dalam Smyth, 2010). Sedangkan siswa laki-laki di coeducational schools lebih terjauhkan dari perilaku kekerasan dan perilaku anti sosial (Jones&Thompson dalam Mael, 1998). Kecerdasan sosial juga berhubungan dengan perilaku agresif seseorang, dimana orang yang memiliki kecerdasan sosial tinggi maka prilaku agresifnya akan semakin rendah (Wulandari, 2010).


(36)

Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh coeducational schools dan single sex schools ini terhadap prestasi akademik siswanya. Namun, hasil yang didapatkan tidak konsisten, ada yang hasilnya menyatakan bahwa coeducational schools lebih baik dalam pencapaian akademis dan ada yang hasilnya single sex schools lebih baik dalam pencapaian akademis, bahkan ada yang mengatakan tidak ada perbedaan pencapaian akademis dari kedua sekolah. Studi longitudinal telah dilakukan di New Zealand mengenai efek coeducational schools dan single sex schools terhadap prestasi akademis, yang memberikan hasil bahwa siswa yang bersekolah di single sex schools lebih memiliki prestasi akademis yang lebih baik daripada siswa yang bersekolah di coeducational schools (Woodward, 1999). Namun, juga dengan catatan melihat sisi personal dari siswa, latar belakang sosial, fungsi keluarga dan orang tua serta faktor sekolah.

Penelitian juga dilakukan mengenai self-concept dari siswa yang bersekolah di coeducational schools dan single sex schools, hasilnya menyatakan bahwa siswa yang sekolah di single sex schools lebih dapat mengurangi jarak yang ada antara konsep diri perempuan dan laki-laki (Smyth, 2010). Ini berarti bahwa di single sex schools, perempuan ataupun laki-laki tidak merasa canggung untuk memilih jenis kegiatan yang bersifat “feminin” atau “maskulin” sehingga mereka lebih mampu mengembangkan potensinya tanpa ragu-ragu.


(37)

Smyth 2010) menemukan bahwa wanita yang bersekolah di single sex schools, akan lebih suka untuk mengambil pekerjaan yang “maskulin” dibandingkan “feminim”. Hal ini bisa disebabkan karena kebebasan berekspresi ketika di single sex schools dan tidak ada rasa malu atau segan terhadap lawan jenis.

Dari uraian di atas, dapat dilihat mengenai perbedaan antara siswa coeducational schools dan single sex schools. Masing-masing sekolah tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Single sex schools memiliki kelebihan dalam penekanan terhadap konsep diri dan prestasi akademik yang didapatkan siswa. Sedangkan coeducational schools lebih menekankan keuntungan sebagai bentuk dunia sosial yang sebenarnya, sehingga para siswa lebih positif perkembangannya, tidak hanya terbatas dari akademis saja namun juga sosialnya. Sesuai dengan penelitian Cicilia (1999), bahwa sikap seorang siswa terhadap sekolah homogen atau single sex schools akan berpengaruh terhadap sikap heteroseksualnya. Semakin positif sikap seorang siswa terhadap single sex schools, yang berarti dia menerima semua homogenitas di sekolahnya tersebut, maka semakin negatif sikap heteroseksualnya, yang diartikan sebagai pergaulan mereka terhadap lawan jenis. Ini berarti bahwa single sex schools akan mempengaruhi kepedulian siswa terhadap lawan jenis. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas maka dapat diasumsikan bahwa terdapat perbedaan kecerdasan sosial siswa di single sex schools dan coeducational schools.


(38)

2.4 Hipotesis penelitian

Berdasarkan landasan teori yang dikemukakan sebelumnya maka hipotesis penelitian ini adalah adanya perbedaan kecerdasan sosial siswa di single sex schools dan coeducational schools.


(39)

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

Bab III ini membahas tentang metode penelitian yang akan digunakan, meliputi definisi operasional, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, metode pengolahan data dan rancangan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan bersifat komparasi yang bertujuan mengetahui perbedaan dua kelompok atau lebih, yaitu menguji perbedaan kecerdasan sosial siswa di coeducational schools dan single sex schools.

3.1 Identifikasi Variabel

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari:

3.1.1 Variabel bebas : Tipe sekolah (coeducational schools dan single sex schools) 3.1.2 Variabel tergantung : Kecerdasan sosial

3.2 Definisi Operasional 3.2.1 Tipe Sekolah

Tipe sekolah terdiri dari: a. Coeducational schools

Coeducational schools adalah sekolah yang memiliki siswa dengan jenis kelamin berbeda-beda yaitu ada siswa laki-laki dan siswa perempuan.


(40)

b. Single sex schools

Single sex schools adalah sekolah yang memiliki siswa dengan jenis kelamin sama, yaitu siswa perempuan saja atau siswa laki-laki saja.

3.2.2 Kecerdasan sosial

Kecerdasan sosial merupakan kemampuan siswa untuk dapat berinteraksi, bergaul, memahami, dan bekerja sama dengan orang lain yang dilihat dari (1) kesadaran sosial yaitu keterampilan siswa dalam memahami pikiran dan perasaan orang lain yang terdiri dari kemampuan membaca bahasa non verbal dengan tepat, kemampuan memperhatikan dengan sungguh-sungguh lawan bicara, kemampuan memahami pikiran dan perasaan orang lain dari bahasa non verbal yang diberikan serta kemampuan memahami dan berperilaku dengan tepat sesuai situasi yang ada, dan (2) fasilitas sosial yaitu cara siswa berinteraksi dengan orang lain yang terdiri dari kemampuan berinteraksi dengan menggunakan bahasa non verbal, cara individu menampilkan diri dengan efektif, kemampuan mempengaruhi orang lain, dan kepedulian terhadap orang lain.

Kecerdasan sosialini akan diukur dengan skala yang disusun peneliti sendiri berdasarkan komponen oleh Goleman (2006), yang telah disebutkan di atas. Jika semakin tinggi skor pada skala, maka semakin tinggi kecerdasan sosial. Jika semakin rendah skor skala, maka semakin rendah kecerdasan sosial.


(41)

3.3 Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 3.3.1 Populasi penelitian

Populasi penelitian merupakan kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2010). Populasi ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik kelompok maupun individu yang membedakannya dengan populasi yang lain. Populasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa coeducational schools dan single sex schools di Kota Padang.

Populasi penelitian yaitu siswa SMK yang coeducational schools dan single sex schools di Kota Padang. Jumlah sekolah SMK di Kota Padang yang termasuk coeducational schools yaitu 31 sekolah. Jumlah sekolah SMK di Kota Padang yang termasuk single sex schools yaitu 3 sekolah.

3.3.2 Metode pengambilan sampel

Dalam penelitian ini metode pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random sampling yaitu sampel akan diambil secara acak dari populasi (sekolah) yang ada dan setiap anggota populasi akan dipilih secara acak untuk dijadikan sampel.

Teknik cluster random sampling ini dilakukan karena pengambilan sampel mengacu pada kelompok yaitu siswa coeducational schools dan single sex schools. Dari beberapa coeducational schools dan single sex schools yang ada di Kota Padang, maka akan diambil secara acak coeducational schools dan single sex schools. Setelah ditentukan sekolah yang akan dijadikan sampel, maka akan dipilih secara acak lagi


(42)

kelas-kelas dari masing-masing sekolah tersebut. Namun, terjadi kendala di lapangan dalam mengacak kelas di masing-masing sekolah, hal ini dikarenakan telah selesainya ujian nasional sehingga siswa kelas XII tidak ke sekolah lagi dan siswa kelas XI sedang magang selama 3 bulan. Oleh karena itu, peneliti hanya bisa mengambil sampel dari siswa kelas X yang bisa diteliti. Peneliti mengambil satu hingga tiga kelas di tiap sekolah mengingat jumlah siswa SMK dalam satu kelas tidak tetap, ada yang 30 siswa namun ada juga yang 10 siswa dalam satu kelas. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 241 orang siswa, yang terdiri dari 173 siswa coeducational schools dan 68 siswa single sex schools.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Dalam pendekatan kuantitatif, prosedur pengumpulan data harus akurat dan objektif melalui pengukuran yang valid dan reliabel agar dapat mencapai tingkat objektivitas yang tinggi. Pengukuran yang valid harus dilakukan secara sistematis. (Azwar, 2010). Alat pengambil data (instrument) akan menentukan kualitas data yang dikumpulkan dan sekaligus juga menentukan kualitas penelitian (Suryabrata, 2011). Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecerdasan sosial yang disusun berdasarkan komponen yang dikemukakan oleh Goleman (2006), yang meliputi kesadaran sosial dan fasilitas sosial. Kesadaran sosial terdiri dari empati dasar, penyelarasan, ketepatan empatik dan kognisi sosial. Sedangkan fasilitas sosial terdiri dari sinkronisasi, presentasi diri, pengaruh, dan kepedulian.


(43)

Adapun blueprint skala penelitian yang akan dibuat disajikan di tabel 1. Tabel 1. Blueprint skala Kecerdasan sosial

No. Komponen Indikator Perilaku

Aitem Total

Aitem

Bobot

F UF

1. Kesadaran sosial Empati dasar yaitu kemampuan membaca bahasa non verbal seseorang dengan tepat 61, 18, 35, 11 63, 22, 2, 24

8 12,5 %

Penyelarasan yaitu

kemampuan memberikan perhatian secara penuh dan hanya fokus pada lawan bicara saja untuk dapat selaras dengan perasaan dan kebutuhan lawan bicara 54, 26, 27, 12 29, 3, 39, 32,

8 12,5 %

Ketepatan empatik yaitu kemampuan untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain berdasarkan isyarat non verbal yang diberikan 1, 23, 30,4 51,64, 15,8

8 12,5 %

Kognisi sosial yaitu

kemampuan individu dalam memahami dan

9, 42, 20, 28

13, 47, 7, 36


(44)

berprilaku secara tepat sesuai dengan situasi yang ada

2. Fasilitas sosial Sinkronisasi yaitu kemampuan individu berinteraksi menggunakan bahasa non-verbal dengan baik 43, 34, 19, 16 37, 38, 31, 40

8 12,5 %

Presentasi diri yaitu bagaimana individu menampilkan diri dengan efektif saat berinteraksi dengan orang lain 41, 10, 33, 44 55, 46, 14, 48

8 12,5 %

Pengaruh yaitu kemampuan

mempengaruhi orang lain untuk berbuat sesuatu menggunakan perkataan dengan hati-hati dan mampu mengendalikan diri 57, 50, 5, 52 53, 25, 45, 59

8 12,5 %

Kepedulian yaitu kepedulian kita terhadap orang lain 49, 58, 21, 60 17, 62, 56, 6

8 12,5 %


(45)

3.5 Metode Pengolahan Data

Pengolahan data menggunakan SPSS 17.0 for Windows. Jika data terdistribusi normal, maka pengolahan data yang digunakan menggunakan pendekatan statistik parametrik yaitu independent sample t-test. Sebelumnya, akan dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas terlebih dahulu.

Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah data yang diperoleh terdistribusi secara normal. Uji normalitas diuji menggunakan uji Kolmogorov Smirnov. Data dikatakan terdistribusi secara normal jika p > 0,05.

Uji homogenitas digunakan untuk menguji kesamaan masing-masing variabel pada populasi. Uji homogenitas dilakukan dengan Levene Statistics menggunakan bantuan SPSS 17.0 for Windows. Jika nilai p>0,05 maka varians subjek penelitian dikatakan homogen. Sedangkan jika nilai p<0,05 maka varians subjek penelitian tidak homogen.

3.5.1 Validitas alat ukur

Agar alat ukur yang digunakan mampu menghasilkan data yang akurat, maka diperlukan suatu pengujian validitas (Azwar, 2010). Uji validitas digunakan untuk melihat sejauh mana alat ukur yang digunakan dapat mengukur atribut yang ingin diukur. Untuk menguji validitas alat ukur, peneliti menguji validitas isi (content validity) dengan analisis rasional. Validitas isi ini terbagi dua yaitu validitas muka (face validity) dan validitas logik (logic validity). Validitas logik melihat sejauh mana


(46)

isi tes menunjukkan atribut yang ingin diukur dengan bantuan professional judgment yaitu dosen pembimbing.

3.5.2 Reliabilitas alat ukur

Uji reliabilitas menggunakan teknik koefisien reliabilitas Alpha dari Cronbach dan data yang diperoleh berasal dari penyajian satu kali pengenaan tes pada kelompok individu sebagai responden (single-trial administration) dengan bantuan SPSS 17.0 for Windows.

3.5.3 Hasil uji coba alat ukur

Uji coba skala Kecerdasan sosial dilakukan pada 80 siswa SMK di Kota Padang. Adapun blueprint hasil uji coba skala dijelaskan pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji coba skala Kecerdasan sosial No. Komponen Indikator

Perilaku

Aitem Total

Aitem

Bobot

F UF

1. Kesadaran sosial Empati dasar yaitu kemampuan membaca bahasa non verbal seseorang dengan tepat

18 (10) 63 (36), 2 (1)

3 8,3 %

Penyelarasan yaitu

kemampuan memberikan perhatian secara penuh dan hanya fokus pada lawan bicara saja untuk dapat selaras dengan perasaan dan 54 (32), 26 (13), 12 (5)


(47)

bicara Ketepatan empatik yaitu kemampuan untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain berdasarkan isyarat non verbal yang diberikan 51 (30), 15 (7) ,8

(3)

3 8,3 %

Kognisi sosial yaitu

kemampuan individu dalam memahami dan berprilaku secara tepat sesuai dengan situasi yang ada 42 (22), 28 (14) 47 (26), 7 (2)

4 11,1 %

2. Fasilitas sosial Sinkronisasi yaitu kemampuan individu berinteraksi menggunakan bahasa non-verbal dengan baik 43 (23), 19 (11), 16 (8) 37 (17), 38 (18), 31 (15), 40 (20)

7 19,4 %

Presentasi diri yaitu bagaimana individu menampilkan diri dengan efektif saat berinteraksi dengan orang lain 41 (21), 10 (4), 33 (16), 44 (24) 14 (6), 48 (27)

6 16,7%

Pengaruh yaitu kemampuan

mempengaruhi orang lain untuk

50 (29) 53 (31), 45 (25), 59 (34)


(48)

berbuat sesuatu menggunakan perkataan dengan hati-hati dan mampu mengendalikan diri Kepedulian yaitu kepedulian kita terhadap orang lain 49 (28), 21 (12) 17 (9), 62 (35), 56 (33)

5 13,9 %

Jumlah aitem 36 100%

Ket: a. Nomor yang digarisbawahi adalah nomor aitem lama b. Nomor yang di dalam kurung adalah nomor aitem baru

Setelah dilakukan uji coba, ditemukan 28 aitem yang gugur pada skala Kecerdasan sosialsehingga jumlah aitem yang semula 64 menjadi sisa 36 aitem yang memenuhi syarat koefisien korelasi aitem total (rix0,25) dan digunakan dalam penelitian. Adapun reliabilitas Alpha skala yang diujicobakan adalah sebesar 0,83. Sedangkan koefisien korelasi aitem-aitem bergerak dari 0,252 hingga 0,672.

3.6 Rancangan Penelitian 3.6.1 Tahap persiapan

Tahap persiapan penelitian termasuk pencarian referensi, survey awal dan permohonan izin, penyusunan alat ukur, uji coba alat ukur dan revisi alat ukur.

a. Pencarian referensi

Pertama kali yang dilakukan adalah mencari referensi mengenai variabel yang akan diukur. Peneliti menggunakan referensi yang berasal dari buku,


(49)

jurnal, artikel dan penelitian skripsi yang berkaitan dengan variabel yang ingin diteliti.

b. Penyusunan alat ukur

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecerdasan sosial yang dirancang berdasarkan komponen kecerdasan sosial yang dikemukakan oleh Goleman (2006). Skala ini akan berbentuk skala Likert. Selanjutnya, peneliti meminta penilaian dari dosen pembimbing mengenai aitem-aitem tersebut untuk melihat kesesuaian dengan variabel yang hendak diukur.

c. Permohonan izin melakukan penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada kepala sekolah melalui surat pengantar dari Fakultas Psikologi USU dan dari Dinas Pendidikan Kota Padang.

d. Survey ke sekolah

Survey diperlukan untuk melihat dan mendapatkan informasi mengenai siswa dan keadaan sekolah yang akan diambil siswanya sebagai subjek penelitian. Wawancara dilakukan kepada guru dan siswa di sekolah-sekolah tersebut untuk mendapatkan gambaran mengenai siswa dan keadaan sekolah. Kemudian memohon izin untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut. e. Uji coba alat ukur


(50)

Skala kecerdasan sosial diujicobakan kepada siswa SMK di Kota Padang dengan jumlah subjek 80 siswa. Uji coba skala dilakukan pada tanggal 21, 23 dan 24 Mei 2014 pada 3 Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Padang. f. Revisi alat ukur

Setelah diadakan uji coba dan didapatkan hasilnya maka akan diseleksi aitem-aitem yang layak untuk dimasukkan ke dalam skala kecerdasan sosial melalui pengujian validitas dan reliabilitas. Uji validitas telah dilakukan sebelumnya melalui professional judgement dari dosen pembimbing dan uji reliabilitas menggunakan Cronbach Alpha. Setelah diketahui aitem-aitem yang memenuhi validitas dan reliabilitasnya, maka peneliti menyusun alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Dari hasil uji validitas dan reliabilitas terdapat 28 aitem yang gugur dan tidak diikutsertakan dalam skala penelitian sebenarnya. Skala penelitian terdiri dari 36 aitem yang dibuat dalam bentuk booklet dan kertas A4 dengan huruf Times New Roman ukuran 17.

3.6.2 Tahap pelaksanaan

Setelah alat ukur direvisi, maka dilaksanakan penelitian kepada subjek mengenai kecerdasan sosial dengan memberikan skala kecerdasan sosial yang telah dirancang peneliti. Penelitian dilakukan selama 4 hari di 6 Sekolah Menengah Kejuruan di Kota Padang pada tanggal 2, 3, 4 dan 5 Juni 2014. Pada tanggal 2 Juni 2014, peneliti melakukan penelitian ke dua sekolah yaitu SMK Labor sebanyak 2


(51)

kelas, kelas X dan kelas XI yang beberapa telah sekolah setelah magang dan SMK 8 sebanyak 2 kelas. Pada tanggal 3 Juni 2014 peneliti melakukan penelitian ke SMK Nasional sebanyak 1 kelas dan SMK PGRI sebanyak 3 kelas. Pada tanggal 4 Juni 2014 peneliti melakukan penelitian ke SMK 7 sebanyak 3 kelas dan SMK 4 sebanyak 2 kelas. Peneliti memberikan skala kecerdasan sosialkepada subjek dan memberikan instruksi cara pengerjaan sebelum dimulai pengisian.

3.6.3 Pengolahan data

Data yang telah didapatkan dari subjek, kemudian diolah dengan menggunakan SPSS version 17.0 for Windows. Setelah dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov diketahui bahwa data terdistribusi secara normal, maka pengolahan data yang digunakan menggunakan pendekatan statistik parametrik yaitu independent sample t-test. Sebelumnya juga dilakukan uji homogenitas dengan Levene Statistics dan diketahui bahwa data yang diuji homogen.


(52)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai analisa data dan pembahasan sesuai dengan data yang diperoleh. Diawali dengan memberikan gambaran umum mengenai subjek penelitian, hasil penelitian dan pembahasan.

4.1 Analisa Data

4.1.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 241 siswa yang dibedakan antara siswa di single sex schools dan coeducational schools. Siswa yang berasal dari single sex schools terdiri dari 68 siswa dan siswa yang berasal dari coeducational schools terdiri dari 173 siswa. Penyebaran subjek berdasarkan sekolah dan jenis kelamin akan ditampilkan dalam tabel 3.

Tabel 3 Penyebaran Subjek berdasarkan Sekolah dan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Sekolah

Jumlah Persentase

Single sex schools

(laki-laki saja)

Single sex schools (perempuan

saja)

Coeducational schools

Laki-laki 34 - 43 77 31.9%

Perempuan - 34 130 164 68%


(53)

Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa siswa laki-laki dalam penelitian ini berjumlah 77 siswa (31.9%) dan siswa perempuan berjumlah 164 siswa (68%). Siswa coeducational schools terdiri dari 43 siswa laki-laki dan 130 siswa perempuan. Sedangkan, siswa single sex schools terdiri dari 2 sekolah yaitu sekolah yang dengan siswa laki-laki saja dan sekolah dengan siswa perempuan saja, masing-masing terdiri dari 34 siswa. Total semua subjek penelitian ini adalah 241 siswa.

4.1.2 Hasil Penelitian

Sebelum analisa data, maka dilakukan terlebih dahulu uji normalitas dan homogenitas untuk mengetahui apakah asumsi tes parametrik telah terpenuhi.

i. Hasil Uji Asumsi

Uji asumsi yang dilakukan adalah uji normalitas. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data tersebut normal atau tidak. Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode Kolmogorov Smirnov dengan bantuan SPSS for Windows versi 17.0. Data dikatakan terdistribusi secara normal jika nilai p > 0,05. Hasil uji normalitas ditampilkan dalam tabel 4.

Tabel 4 Hasil Uji Normalitas menggunakan metode Kolmogorov Smirnov

Sekolah Sig.

Single sex schools 0.200

Coeducational schools 0.200

Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai signifikansi pada siswa single sex schools sebesar 0.200 dan pada siswa coeducational schools sebesar 0.200. Hal ini


(54)

menunjukkan bahwa nilai signifikansi > 0,05 sehingga data berarti terdistribusi secara normal.

Selain itu hasil uji normalitas single sex schools juga dapat dilihat dalam gambar normal QQ Plot berikut:


(55)

Gambar 2. Gambaran uji normalitas coeducational schools

Dari gambar-gambar diatas dapat dilihat bahwa penyebaran plot-plot mengikuti garis-garis fit line, yang berarti menunjukkan bahwa data terdistribusi secara normal.

Selanjutnya uji asumsi yang dilakukan adalah uji homogenitas untuk mengetahui apakah varians dari dua kelompok adalah sama. Adapun untuk mengetahui varians tersebut adalah menggunakan Levene Statistic. Interpretasi hasil uji homogenitas adalah dengan perbandingan nilai signifikansi (p) dengan Alpha (α). Jika nilai p < α maka disimpulkan bahwa varians pada penelitian tidak homogen dan


(56)

jika p > α maka disimpulkan bahwa varians penelitian adalah homogen. Adapun hasil dari uji homogenitas ditampilkan pada tabel 5.

Tabel 5 Hasil Uji Homogenitas dengan Levene Statistic

Levene Statistic Siq

0.801 0.372

Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai Levene Statistic sebesar 0,801 sedangkan nilai signifikansi sebesar 0.372. Nilai signifikansi lebih besar dari 0,05. Berarti nilai p > α yang menunjukkan bahwa data tersebut adalah homogen.

ii. Hasil Penelitian Utama

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kecerdasan sosial antara siswa single sex schools dan coeducational schools di Kota Padang. Metode analisa data yang digunakan adalah independent sample t-test. Oleh karena itu dilakukan perumusan hipotesis statistik yaitu:

1. Ho : μ1 = μ2, artinya tidak ada perbedaan kecerdasan sosial antara siswa single sex schools dan coeducational schools di Kota Padang.

2. Ha : μ1 ≠ μ2, artinya ada perbedaan kecerdasan sosial antara siswa single sex schools dan coeducational schools di Kota Padang.

Ho ditolak jika p < α yang berarti ada perbedaan kecerdasan sosial antara siswa single sex schools dan coeducational schools di Kota Padang. Hasil uji statistik independent sample t-test ditampilkan pada tabel 6.


(57)

Tabel 6 Hasil Uji Independent Sample T-test Kecerdasan sosialsiswa Single Sex Schools dan Coeducational Schools

t df Sig.

(2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Kecerdasan

sosial

-0.678 239 0.498 -1.335 1.971

Berdasarkan hasil uji independent sample t-test dapat dilihat bahwa nilai p sebesar 0.498 yang berarti nilai p > α artinya Ho diterima dan Ha ditolak yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan kecerdasan sosial antara siswa single sex schools dan coeducational schools di Kota Padang.

Tabel 7 Deskripsi Kelompok Statistik Siswa Single Sex Schools dan

Coeducational Schools

Sekolah N Mean Std. Deviation

Single Sex Schools 68 135.10 14.236

Coeducational Schools 173 136.44 13.588

Dari tabel 7 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata kecerdasan sosial siswa single sex schools (M=135.10; SD=14.236) sedangkan nilai rata-rata kecerdasan sosialsiswa coeducational schools (M=136.44; SD= 13.588).

iii. Effect Size

Effect size merupakan nilai yang menggambarkan sejauh mana bermaknanya atau pentingnya perbedaan atau pengaruh pada variabel-variabel yang ada dalam penelitian. Salah satu cara pengukuran effect size adalah dengan pengukuran Cohen’s d, Pearson correlation coefficient r (Field, 2009). Effect size berguna karena dapat menyediakan penilaian objektif terhadap pentingnya sebuah


(58)

efek. Cohen (dalam Field, 2009) memberikan suatu patokan yang dapat digunakan untuk melihat besar kecilnya efek yaitu:

a. r = 0.10 : efek kecil b. r = 0.30 : efek sedang c. r = 0.50 : efek besar

Adapun rumus effect size yang dipakai adalah sebagai berikut:

�= � �

��+ ��

Nilai t dan df pada penelitian ini yang didapat dengan menggunakan SPSS for 17.0 Windows adalah sebesar -0.678 dan 239. Maka effect size pada penelitian ini adalah sebesar:

r = � −

o. 6782

−0.6782+ 239 = � 0.459

239.459

= 0.04

Nilai r 0.04 menunjukkan bahwa effect size pada penelitian ini sangat kecil berdasarkan dari acuan yang diajukan Cohen di atas.


(59)

iv. Kategorisasi Data Penelitian

Skala kecerdasan sosial yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 36 aitem. Nilai skala berkisar antara 1 sampai dengan 5. Hasil perhitungan rata-rata empirik dan hipotetik dapat dilihat di tabel 8 berikut:

Tabel 8 Nilai Empirik dan Hipotetik Kecerdasan Sosial Jenis Sekolah Nilai Jumlah Mean Std.

Deviasi

Nilai Min.

Nilai Maks. Single sex

schools

Empirik 68 135.10 14.236 102 164

Hipotetik 68 108 24 36 180

Coeducational schools

Empirik 173 136.44 13.588 83 171

Hipotetik 173 108 24 36 180

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata hipotetik kecerdasan sosial sebesar 108 dan standar deviasi berjumlah sebesar 24. Sedangkan nilai rata-rata empirik single sex schools sebesar 135.10 dan standar deviasi sebesar 14.236. Serta nilai rata-rata empirik coeducational schools sebesar 136.44 dan standar deviasi sebesar 13.588. Jadi, nilai rata-rata empirik kecerdasan sosial baik pada single sex schools dan coeducational schools lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata hipotetiknya. Hal ini berarti bahwa rata-rata kecerdasan sosial subjek dalam penelitian ini lebih tinggi daripada standar nilai kecerdasan sosial yang diperoleh sesuai skala penelitian.


(60)

Norma kategorisasi yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 9 berikut:

Tabel 9 Norma Kategorisasi Kecerdasan sosial Rentang Nilai Kecerdasan sosial Kategorisasi

X < (Mean – SD) Rendah

(Mean – SD) ≤ X < (Mean + SD) Sedang

(Mean + SD) ≤ X Tinggi

Keterangan: SD = Standar Deviasi

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata hipotetik kecerdasan sosial sebesar 108 dan standar deviasi berjumlah sebesar 24.

Tabel 10 Kategorisasi Kecerdasan sosial Rentang Nilai

Kecerdasan sosial

Kategori Single sex schools Coeducational schools

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

X < 84 Rendah 0 0% 1 0.5%

84 ≤ X < 132 Sedang 30 44.1% 56 32.4%

132 ≤ X Tinggi 38 55.9% 116 67.1%

Total 68 100% 173 100%

Dari tabel 10 dapat diketahui bahwa tidak ada siswa single sex schools yang memiliki kecerdasan sosial kategori rendah, yang termasuk kategori sedang sebanyak 30 siswa (44.1%), dan termasuk kategori tinggi sebanyak 38 siswa (55.9%). Sedangkan siswa coeducational schools yang memiliki kecerdasan sosial kategori rendah berjumlah 1 siswa (0.5%), yang termasuk kategori sedang sebanyak 56 siswa (32.4%) dan yang termasuk kategori tinggi sebanyak 116 siswa (67.1%).


(61)

v. Hasil Penelitian Tambahan

1. Kecerdasan sosialberdasarkan jenis kelamin siswa

Kecerdasan sosial berdasarkan jenis kelamin siswa dapat dilihat dalam tabel 11 berikut:

Tabel 11 Kecerdasan sosialberdasarkan jenis kelamin siswa

Jenis Kelamin N Mean Std. Deviation

Laki-laki 77 133.83 15.272

Perempuan 164 137.11 12.903

Dari tabel 11 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata kecerdasan sosial siswa dengan jenis kelamin laki-laki adalah sebesar 133.83 dengan simpangan baku sebesar 15.272 dan nilai rata-rata kecerdasan sosial dengan jenis kelamin perempuan sebesar 137.11 dengan simpangan baku sebesar 12.903.

2. Kecerdasan sosial single sex school perempuan dengan coeducational schools

Kecerdasan sosial single sex schools perempuan dengan coeducational schools dapat dilihat pada tabel 12 berikut:

Tabel 12 Kecerdasan sosial single sex school perempuan dengan coeducational schools

Sekolah N Mean Std. Deviation

Single Sex Schools 34 139.56 13.692

Coeducational Schools 173 136.44 13.588

Dari tabel 12 dapat dilihat bahwa single sex schools dengan siswa perempuan saja memiliki nilai rata-rata sebesar 139.56 dengan simpangan


(62)

baku sebesar 13.692 dan nilai rata-rata coeducational schools sebesar 136.44 dengan simpangan baku sebesar 13.588.

3. Kecerdasan sosial single sex school laki-laki dengan coeducational schools

Kecerdasan sosial single sex school laki-laki dengan coeducational schools dapat dilihat pada tabel 13 berikut:

Tabel 13Kecerdasan sosial single sex schools laki-laki dengan coeducational schools

Sekolah N Mean Std. Deviation

Single Sex Schools 34 130.65 13.531

Coeducational Schools 173 136.44 13.588

Dari tabel 13 dapat dilihat bahwa single sex schools dengan siswa laki-laki saja memiliki nilai rata-rata sebesar 130.65 dengan simpangan baku sebesar 13.531 dan nilai rata-rata coeducational schools sebesar 136.44 dengan simpangan baku sebesar 13.588.

4. Kecerdasan sosial siswa perempuan dari single sex schools dan coeducational schools

Kecerdasan sosial siswa perempuan dari single sex schools dan coeducational schools dapat dilihat pada tabel 14 berikut:

Tabel 14 Kecerdasan sosialsiswa perempuan dari single sex schools dan coeducational schools

Sekolah N Mean Std. Deviation


(63)

Dari tabel 14 dapat dilihat bahwa rata-rata siswa perempuan di coeducational schools adalah sebesar 136.47 dengan standar deviasi 12.665 dan rata-rata siswa single sex schools perempuan sebesar 139.56 dengan standar deviasi 13.692.

5. Kecerdasan sosial siswa laki-laki dari single sex schools dan coeducational schools

Kecerdasan sosial siswa laki-laki dari single sex schools dan coeducational schools dapat dilihat pada tabel 15 berikut:

Tabel 15 Kecerdasan sosialsiswa laki-laki dari single sex schools dan coeducational schools

Sekolah N Mean Std. Deviation

Single Sex Schools 34 130.65 13.531

Coeducational Schools 130 136.35 16.232

Dari tabel 15 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata siswa laki-laki di coeducational schools adalah sebesar 136.35 dengan standar deviasi 16.232 dan rata-rata siswa single sex schools laki-laki sebesar 130.65 dengan standar deviasi 13.531.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini, menunjukkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak, yang berarti tidak terdapatnya perbedaan kecerdasan sosial siswa single sex schools dan siswa coeducational schools.. Menurut Suryabrata (2010)


(64)

ada hal-hal yang dapat membuat tidak terbuktinya hipotesis penelitian antara lain landasan teori, sampel, alat pengambilan data, rancangan penelitian, perhitungan dan variabel luaran. Kecerdasan sosial selain dipengaruhi oleh sekolah juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya yang tidak dapat dikorntrol oleh peneliti.

Tidak adanya perbedaan kecerdasan sosial pada siswa single sex schools dan coeducational schools dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, karena tidak adanya faktor kontrol dari keadaan subjek itu sendiri. Kecerdasan sosial ini dapat dipengaruhi oleh faktor lain selain lingkungan sekolah seperti pola asuh orang tua, faktor gen, teman sebaya, dan faktor saudara.

Selanjutnya, tidak terbuktinya hipotesis penelitian ini dapat terjadi karena siswa di SMK Kota Padang hanya memiliki 4,5 jam waktu belajar selama di sekolah yakni dari pukul 07.30 WIB sampai 12.00 WIB. Sehingga, waktu untuk berinteraksi dengan teman sebaya di luar sekolah bagi siswa sangat besar. Bagi siswa single sex schools yang di sekolah tidak memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan lawan jenis, maka di luar sekolah mereka memiliki kesempatan besar untuk berinteraksi bahkan memiliki hubungan khusus seperti pacaran dengan teman di luar sekolah. Hal ini akan membuat siswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam berinteraksi dengan orang lain.

Faktor lainnya yang mempengaruhi hasil penelitian ini adalah keadaan keluarga seperti faktor ekonomi, status keluarga, pola asuh orang tua dan saudara. Selain itu, menurut Alder (2001) kecerdasan sosialitu juga dipengaruhi oleh keadaan


(65)

keluarga tersebut apakah keluarga besar atau hanya merupakan anak tunggal. Dari beberapa sekolah-sekolah dimana subjek bersekolah tentu memiliki ragam siswa dan dari latar belakang yang berbeda-beda. Gaya kelekatan (attachment styles) juga memiliki pengaruh terhadap empati seseorang yang merupakan komponen dari kecerdasan sosial(Goleman, 2006). Orang yang memiliki gaya kelekatan yang secure, adalah orang yang memiliki empati lebih besar dibandingkan orang yang memiliki gaya kelekatan avoidant (ditolak) dan anxious(cemas).

Berdasarkan hasil penelitian tambahan ditinjau dari jenis kelamin, nilai rata kecerdasan sosial siswa laki-laki adalah sebesar 133.83 sedangkan nilai rata-rata kecerdasan sosial siswa perempuan adalah sebesar 137.11. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan sosial laki-laki jika dibandingkan dengan nilai rata-rata kecerdasan sosial perempuan lebih rendah 3.28 poin. Namun, jika dilihat berdasarkan kategori kecerdasan sosial berdasarkan nilai rata-rata hipotetik, siswa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kecerdasan sosial tinggi.

Selanjutnya, ditinjau dari siswa single sex schools perempuan dengan siswa coeducational schools menunjukkan bahwa nilai rata-rata kecerdasan sosial siswa single sex schools perempuan sebesar 139.56 dan nilai rata-rata kecerdasan sosial siswa coeducational schools sebesar 136.44 yang berarti bahwa siswa single sex schools perempuan dengan siswa coeducational schools memiliki kecerdasan sosial yang termasuk kategori tinggi berdasarkan kategorisasi menggunakan nilai hipotetik. Sedangkan ditinjau dari siswa single sex schools laki-laki dengan siswa


(66)

coeducational schools maka siswa single sex schools laki-laki memiliki nilai rata-rata kecerdasan sosial sebesar 130.65 (kategori sedang) dan nilai rata-rata kecerdasan sosialsiswa coeducational schools sebesar 136.44 (kategori tinggi).

Selain itu penelitian tambahan juga menunjukkan hasil yang sama ditinjau dari jenis kelamin dan sekolah yang diikuti. Ditinjau dari siswa perempuan dari single sex schools dan siswa perempuan dari coeducational schools menunjukkan bahwa nilai rata-rata kecerdasan sosial siswa single sex schools dan coeducational schools masing-masingnya sebesar 139.56 dan 136.47. Hal ini menunjukkan bahwa siswa perempuan dari single sex schools dan coeducational schools memiliki kecerdasan sosialyang termasuk ke kategori tinggi. Namun, nilai rata-rata kecerdasan sosialdari siswa perempuan single sex schools lebih tinggi sekitar 3.09 poin dibandingkan dengan siswa perempuan di coeducational schools. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Carpenter (dalam Smyth, 2010) bahwa siswa perempuan di single sex schools lebih mampu mengembangkan keterampilan sosial yang baik dibandingkan dengan yang berada di coeducational schools.

Sedangkan ditinjau dari siswa laki-laki dari single sex schools dan siswa laki-laki dari coeducational schools menunjukkan bahwa nilai rata-rata kecerdasan sosial masing-masingnya sebesar 130.65 dan 136.35. Hal ini menunjukkan bahwa siswa laki-laki di single sex schools memiliki kecerdasan sosial yang sedang dan siswa laki-laki di coeducational schools memiliki kecerdasan sosial yang tinggi. Dari perbandingan nilai rata-rata kecerdasan sosial didapat bahwa siswa laki-laki di


(1)

dengan (=) pada jawaban yang salah dan berikan tanda silang (X) pada jawaban yang Anda anggap sesuai.

Dalam skala penelitian ini anda akan menemukan kata-kata “bahasa non verbal”. Adapun artinya adalah:

Bahasa non verbal adalah bahasa yang tidak menggunakan kata-kata. Yang termasuk bahasa non verbal antara lain:

1. ekspresi wajah, contohnya yaitu tersenyum, merengut, menaikkan alis, dll

2. nada suara 3. volume suara

4. sentuhan contohnya yaitu menjabat tangan, memegang pundak orang lain, dll

5. pandangan mata

6. jarak tubuh dengan orang lain misalnya jarak kita dengan orang lain ketika berbicara, duduk, berdiri,dll

7. gerak tubuh contohnya yaitu anggukan, gelengan, menggaruk, dll

8. gesture tubuh contohnya yaitu menopang dagu, menundukkan kepala, cara duduk, dll


(2)

No

Pernyataan Pilihan

1.

Saya tidak mampu menilai perasaan seseorang dari raut

wajahnya STS TS N S SS

2.

Saya bersikeras dengan pendapat saya walaupun pendapat saya

terbukti salah STS TS N S SS

3.

Pada saat seorang teman terlihat kesakitan, saya tidak berusaha

bertanya keadaannya STS TS N S SS

4.

Saya akan tersenyum ramah

pada teman yang saya jumpai STS TS N S SS

5.

Saya akan mendengarkan sungguh-sungguh hal-hal yang

dibicarakan oleh teman STS TS N S SS 6. Saya orang yang kaku STS TS N S SS

7.

Saya tetap mengganggu teman walaupun dia terlihat sedang

merengut atau cemberut STS TS N S SS

8.

Saya menyesuaikan nada bicara


(3)

9. kesulitan orang lain STS TS N S SS

10.

Saya akan mengetahui bahwa teman lawan jenis menyukai saya

dari cara dia memandang STS TS N S SS

11.

Selain dengan kata-kata, saya mampu menggunakan ekspresi wajah untuk menegaskan apa yang saya maksud

STS TS N S SS

12.

Saya akan tetap menyempatkan diri menolong teman, walaupun

ada urusan yang penting STS TS N S SS

13.

Saya mampu memahami hal yang diinginkan teman dari apa yang

dibicarakannya STS TS N S SS

14. Saya mampu menyesuaikan diri dalam berbagai situasi STS TS N S SS

15. Saya tidak melihat ke arah lawan bicara pada saat berbicara STS TS N S SS


(4)

17.

Ekspresi wajah saya tidak sesuai dengan perasaan saya

STS TS N S SS

18. Saya tidak tersenyum ketika dikenalkan pada teman baru STS TS N S SS

19. Saya tidak mempedulikan teman saya yang curhat kepada saya STS TS N S SS

20.

Saya tidak mampu menggunakan bahasa non verbal untuk

menyampaikan perasaan STS TS N S SS

21.

Saya mampu menunjukkan kepercayaan diri ketika

berinteraksi dengan orang lain STS TS N S SS

22.

Saya akan berusaha

mengenalkan diri kepada orang

di lingkungan yang baru STS TS N S SS

23.

Saya mampu menggunakan gerak tubuh untuk menyampaikan

keinginan STS TS N S SS

24.

Saya akan menyesuaikan

tampilan diri saya sesuai dengan


(5)

25. menghibur teman yang sedang

sedih STS TS N S SS

26. Saya tidak akan berusaha melerai teman yang sedang berkelahi STS TS N S SS

27. Saya tidak tahu cara mencairkan suasana STS TS N S SS

28.

Walaupun sedang terburu-buru, saya tetap membantu teman

yang sedang sakit STS TS N S SS

29. Saya mampu memotivasi teman untuk berbuat sesuatu STS TS N S SS

30.

Pada saat teman saya mulai terlihat marah,saya akan tetap

mengolok-oloknya STS TS N S SS

31. Di rumah pendapat saya cenderung diabaikan STS TS N S SS

32.

Saya akan mendengarkan keluhan teman-teman saya


(6)

33.

Saya rasa membantu orang lain itu hanya membuang-buang

waktu STS TS N S SS

34.

Saya akan memaksa seseorang melakukan apa yang saya

inginkan STS TS N S SS

35.

Saya tidak tergerak untuk menolong teman yang sedang kesulitan

STS TS N S SS

36.

Saya tidak dapat menilai seseorang berbohong dari

pandangan matanya STS TS N S SS