1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian Terhadap Anak Di Bawah Umur Korban Tsunami Di Aceh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gempa dan tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan

  dampak yang sangat dahsyat. Bukan saja ratusan ribu jiwa yang melayang dan kerugian materiel yang tak pernah terbayangkan, tetapi juga meninggalkan puluhan ribu anak yatim piatu, sehingga muncul pula berbagai persoalan dalam masalah kewarisan dan perwalian.

  Sebagaimana diketahui tsunami telah melahirkan serangkaian problem hukum yang tidak teratasi oleh instrumen hukum yang tersedia sebelumnya. “Beberapa persoalan yang menuntut penyelesaian secara cepat dan tepat adalah persoalan hak- hak keperdataan korban dan keluarganya dimana hilangnya keluarga, atau keluarga yang hanya menyisakan anak-anak, menuntut penyelesaian hukum, baik atas hak kewarisan maupun hak perwalian sebagai upaya melindungi anak-anak korban itu di

  1 masa yang akan datang”.

  Persoalan-persoalan di atas belum mendapatkan ruang penyelesaian hukum yang memadai. “Belum adanya landasan hukum sebagai panduan untuk menyelesaikan masalah-masalah itu menyebabkan masing - masing pihak di Aceh 1 Ernita Dewi, Perempuan Aceh dihadapan Hukum setelah Konflik dan Tsunami berlalu,

  laporan Case Studi , International Development Law Organisation Post-Tsunami Legal Assistance Initiative For Indonesia and United Nation Development Programme Access to Justice and Capacity Building in Aceh (Aceh Justice Project), 2007, hal. 2.

  1 berinisiatif dan berkreasi secara berbeda-beda dalam memandang dan menyelesaikan

  2 masalah hukum tersebut”.

  Permasalahan perwalian merupakan hal terpenting bagi kelangsungan hidup anak kecil (anak dibawah umur) atau anak yang masih belum bisa mengurus diri sendiri seperti anak-anak terlantar, baik dalam mengurus harta kekayaan maupun dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum cakap bertindak dalam hukum. Oleh karena itu maka perlu adanya seseorang atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara juga membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang mengurus, demi keselamatan, kelangsungan hidup anak dan hartanya.

  Pasca tsunami di Aceh masalah perwalian ada yang dilaksanakan bukan hasil penunjukkan resmi berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan bersama dalam keluarga. “sehingga pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali pun tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, berdasarkan kesepakatan dan kenyakinan dalam masyarakat tersebut, hal

  3

  ini menyebabkan tidak memiliki suatu kepastian hukum.” Proses perwalian ini dilakukan karena telah menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat adat, “bahwa ketentuan mengenai perwalian hanya dilakukan melalui 2 Ismailhasani,Sisa-Masalah-Hukum Pasca Tsunami, /http://ismailhasani.wordpress.com/2005/12/26/ , Terakhir diakses pada tanggal 12 Desember 2011. 3 Chairul Fahmi, Perwalian, http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf, Terakhir diakses 20 April 2012.

  musyawarah pihak keluarga, dan atau melibatkan petua kampung (tertua desa) dalam menentukan pihak mana yang menjadi wali, baik dalam pengasuhan anak tersebut atau pemeliharaan harta yang ditinggalkan. Sehingga seringkali antara satu daerah

  4 (gampong) dengan daerah lain mempunyai ketentuan yang berbeda”.

  Dalam kasus tertentu, wali ditunjuk dengan proses adat. “dimana wali tersebut, ditentukan oleh pihak keluarga dan tokoh masyarakat yang dilaksanakan di Meunasah (tempat ibadah) di pedesaan tersebut, yang melibatkan para petua gampong (tertua desa) untuk mengkonfirmasi mengenai pengangkatan seorang wali

  5

  dalam keluarga tertentu.” Namun dalam kasus-kasus yang dipersengketakan maka penunjukan wali diberi kewenangan kepada geuchik (kepala desa) dan/atau imeum meunasah (Imam).

  Sering kali dalam perwalian ini menjadi permasalahan jika seorang anak memiliki warisan, seperti tanah, rekening bank, uang pensiun dan lain sebagainya.

  Hal tersebut menyebabkan adanya klaim dari orang-orang tertentu yang ingin menjadi wali. Ini dilakukan agar memungkinkan sebagai wali dapat menikmati pula harta yang diwariskan kepada anak tersebut.

  Menyangkut permasalahan-permasalahan yang terjadi pasca tsunami di Aceh, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 4 Ibid , hal. 6

5 Badruzzaman Ismail ‘Wali perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi NAD’ paper

  dipresentasikan pada wokshop Pewalian Anak, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah Prov.Aceh, Putroe Kande Foundation dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005.

  Nomor 2 tahun 2007 Tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam rangka pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 48 tahun 2007. “Undang-Undang ini merupakan payung hukum untuk penanganan permasalahan hukum seperti

  6 Pertanahan, Perbankan serta Pewarisan dan Perwalian”.

  “Umumnya Undang-undang ini mengatur tentang permasalahan hukum dalam penyelengaraan administrasi pemerintah, hak keperdataan, perwalian, pertanahan, dan

  7 perbankan”.

  Sebagaimana ditegaskan dalam BAB V Pasal 31 Undang-undang nomor 48 tahun 2007, “anak dibawah umur yang orang tuanya telah meninggal atau tidak cakap bertindak menurut hukum, maka harta kekayaannya dikelola oleh wali sesuai dengan

  8 peraturan perundang undangan”.

  Dalam hal keluarga tidak mengajukan permohonan penetapan wali, maka Baitulmal atau Balai Harta Peninggalan (BHP), sebagai wali pengawas mengajukan permohonan penetapan wali kepada pengadilan.

  Kemudian dalam pelaksanaan dari Undang-undang ini dikeluarkan Qanun (Peraturan Daerah) yang mengatur Baitul Mal yaitu Qanun Aceh Nomor 10 tahun 6 Pengaturan Tentang Perwarisan, Perwalian dan Perbankan dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2007 , http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM,. terakhir di akses pada tanggal 26 oktober 2010. 7 8 Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2007 huruf .C.

  Lihat Pasal 31 Undang-undang nomor 48 tahun 2007, tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekontruksi wilayah dan kehidupan Masyrakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatra Utara.

  2007 tentang Baitul Mal. Pengertian tentang Baitul Mal terdapat pada Pasal 1 butir 11 Ketentuan Umum Qanun tersebut yaitu:

  “Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam”.

  Hal ini tidak terlepas dari perkembangan hukum di Aceh yang memiliki keunikan sendiri jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, meskipun Provinsi Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tidak terpisahkan dari sistem hukum Nasional, namun keberadaan hukum adat dan hukum syari’at mendapat tempat yang strategis dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Undang-undang Nomor. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang Nomor. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), merupakan bentuk pengakuan terhadap eksistensi hukum adat dan hukum syari’at, sebagai sistem hukum yang berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini menggambarkan kewenangan yang luas Provinsi NAD sesuai peraturan perundang-undangan, untuk mengatur dirinya sendiri termasuk dalam bidang hukum. Implikasi lain dari diterapkan otonomi khusus bagi Provinsi NAD adalah pengakuan lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang memiliki kewenangan memberikan masukan kepada eksekutif dan legislatif, di samping itu pembentukan Majelis Adat Aceh (MAA) yang salah satu fungsinya mengembangkan nilai adat istiadat juga ikut mewarnai otonomi khusus tersebut.

  “Perkembangan hukum di Aceh di dasarkan atas 3 (tiga) sistem hukum yang telah berkembang di masyarakat (living law). yaitu berupa sistem Hukum Syari’ah, Hukum Nasional, dan Hukum Adat. Ketiga sistem hukum ini mempunyai paradigma sendiri, baik dalam teori maupun praktek. Harmonisasi ketiga sistem hukum tersebut untuk mensinergikan pembentukan dan penegakan hukum merupakan mainstream penting dalam pembentukan tatanan hukum di Aceh”.

9 Menurut Hukum Islam perwalian terhadap anak meliputi perwalian terhadap

  diri pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama. Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak. Semua pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi tanggung jawab siwali.

  “Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri”.

  10 Menurut Arif Masdoeki “Perwalian adalah pengawasan terhadap anak

  dibawah umur yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang-undang”.

  11 9 Dinamika-pembangunan-hukum-di-nanggroe-aceh-darussalam-pasca-gempa-dan-tsunami- sebuah-refleksi-antara-cita-dan-realitas&catid=40:article&Itemid=294 http://www.isjn.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=186: terakhir diakses tanggal

  13 Desember 2011 10 Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. 2010.terakhir diakses 12 Januari 2012. 11 Arif Masdoeki dan M.H TirtaHamidjaja, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Persindo, Jakarta, 1963, hal. 156.

  Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sebagaimana disebutkan dalam

  Pasal 330 ayat (3) dinyatakan bahwa “Perwalian (voogdij) adalah pengawasan

  12 terhadap anak di bawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua”.

  Sebagaimana juga dalam Undang- undang Nomor. 1 tahun 1974 Pasal 50-54 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 107-112 yang menyatakan bahwa perwalian adalah “sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum”.

  Masalah perwalian ini telah diatur dalam peraturan perundangan-undang yang ada di Indonesia baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang- undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan dalam Kompilasi Hukum Islam.

  Dalam Kitab Undang-undang Hukum perdata, bab kelima belas tentang perwalian pada umumnya untuk anak-anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua maka berlaku bagian kelima Pasal 359 yang menyatakan anak-anak yang tidak bernaung dibawah kekuasaan orang tua dan perwaliannya tidak diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah memanggil keluarga sedarah ataupun semenda.

  Anak yang berada dibawah perwalian adalah: (1)Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang 12 tua;

  R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet.39 (Pradnya Paramita, Jakarta, 2008) hal.90.

  (2) Anak sah yang orang tuanya telah bercerai; (3) Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijke kind).

  “Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali-ibu (moedervoogd) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi teman wali (medevoogd).

  13

  “Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut Undang- undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak- anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang (Wettelijke

14 Seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada dibawah perwalian orang

  Voogdij).

  tua yang mengakuinya. “Apabila seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatanya (datieve

15 Tetapi ada juga kemungkinan, “seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya

  voogdij) ”.

  mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian menurut Wasiat (testamentair voogdij)”.

  16

  13 Anonim, Diskusi dan Konsultasi Masalah Hukum, Pengaturan Mengenai Perwalianditinjau Dari Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perwalian-menurut-kuhperdata. terakhir diakses 12 September 2012. 14 R.Subekti dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit, hal. 103 15 Ibid, hal. 103 16 Ibid, hal 102

  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku untuk lingkungan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam hal pengangkatan wali terhadap anak yang dibawah umur yang muslim Pada Bab XI mengatur pula masalah perwalian dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 sebagai berikut:

  1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

  2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

  Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 33 mengatur pula masalah perwalian sebagai berikut:

  1. Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

  2. Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.

  3. Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan.

  4. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

  Dalam ketentuan umum Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) huruf h dikemukakan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan oleh seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil guna kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau kedua orang tuanya masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

  Dalam kompilasi Hukum Islam BAB XV mengenai perwalian Pasal 107 juga menegaskan sebagai berikut: 1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya. 3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut. 4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum. Bedasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul: Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian

  Terhadap Anak di bawah Umur Korban Tsunami di Aceh.

  B. Rumusan Masalah

  Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah hukum perwalian bagi anak yang tidak ada orang tuanya?

  2. Bagaimana pelaksanaan perwalian terhadap anak korban tsunami yang tidak ada orang tuanya di Aceh?

  3. Apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan perwalian terhadap anak dibawah umur korban tsunami di Aceh?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagi berikut:

  1. Untuk mengetahui hukum perwalian bagi anak yang tidak ada orang tuanya.

  2. Untuk mengetahui perwalian terhadap anak dibawah umur korban tsunami yang tidak ada lagi orang.

  3. Untuk mengetahui kendala didalam menentukan pengangkatan wali terhadap anak dibawah umur yang menjadi korban tsunami di Aceh.

  D. Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu:

  1. Secara teoritis, Dari penelitian dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan ilmu hukum dan dapat menambah pengetahuan dalam perwalian terhadap anak.

  2. Secara praktis, Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan sebagai penyempurnaan aturan yang menyangkut perwalian anak.

  E. Keaslian penelitian

  Dari hasil penelusuran keperpustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul: Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian Terhadap

  Anak Dibawah Umur Korban Tsunami di Aceh, belum pernah ada yang meneliti sebelumnya.

  Dari hasil penelusuran keaslian penulisan, penelitian yang menyangkut Pelaksanaan Perwalian Terhadap Anak Dibawah Umur pernah dilakukan oleh Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, yaitu:

  1. Nama : Meifina Rosary NIM : 057011053 Program Studi : Magister Kenotariatan Judul Thesis : “Tinjauan yuridis terhadap perwalian pada anak muslim dibawah umur menurut undang-undang nomor 1 tahun

  1974 dan Kompilasi Hukum Islam” (studi kasus di pengadilan Negeri Medan).

  2. Nama : Salimah NIM : 037011075 Program Studi : Magister Kenotariatan Judul Thesis : “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang ditemukan akibat Gempa dan Tsunami” (penelitian di Banda

  Aceh). Namun tesis-tesis tersebut, berbeda baik judul, tempat penelitian, maupun permasalahannya dengan penelitian ini. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tesis-tesis tersebut adalah:

  Judul tesis Meifina Rosary “Tinjauan Yuridis Terhadap Perwalian Pada Anak Muslim di bawah Umur Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam” (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan). Dengan rumusan masalah:

  1. Bagaimana tinjauan perwalian terhadap anak muslim dibawah umur menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam?

  2. Bagaimana cara pengangkatan terhadap wali bagi anak muslim di bawah umur di Pengadilan Agama?

  3. Apa yang menjadi pertimbangan hakim di Pengadilan Agama dalam pengangkatan terhadap wali bagi anak muslim dibawah umur? Judul tesis Salimah “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang ditemukan akibat Gempa dan Tsunami” (penelitian di Banda Aceh). Dengan rumusan masalah:

  1. Bagaimanakah kriteria anak korban gempa dan tsunami yang secara khusus mendapat perlindungan hukum dan bagaimana bentuk perlindungan hukumnya?

  2. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam upaya perlindungan hukum terhadap anak yang diketemukan akibat gempa bumi dan tsunami?

  3. Upaya apa yang dilakukan untuk mencegah terjadinya Child Trafficking (perdagangan anak) terhadap anak korban gempa dan tsunami? Penulis tertarik membahas penelitian dengan judul “tinjauan yuridis pelaksanaan perwalian terhadap anak dibawah umur pasca tsunami di Aceh” (studi di

  Banda Aceh), khususnya dalam konteks perwalian di Aceh setelah bencana gempa dan tsunami, yang menyebabkan sistem perwalian yang dilaksanakan pada umumnya bukan dari hasil penunjukkan berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan bersama dalam keluarga atau komunitas dalam masyarakat setempat.

  Dimana pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali, tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, yang berdasarkan pada kesepakatan dan kenyakinan dalam masyarakat, sehingga hal ini menyebabkan tidak memiliki suatu kepastian hukum, banyak anak-anak yang tidak memiliki orang tua dan membutuhkan suatu kepastian hukum dalam kedudukan perwalian, maka diperlukan suatu putusan hukum yang mengikat.

  Berdasarkan pembuktian diatas dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Teori merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan melalui proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu masalah dan “suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang

  17 dapat menunjukkan ketidak benarannya”.

  Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa salah satu arti teori ialah:

  18 “pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu” .

  Menurut J. Supranto “teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi

  19 variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab” .

  Otje Salman dan Anton F Susanto, mengutip pendapat W.L.Neuman yang menyebutkan, bahwa: 17 18 M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, Hal 203 W.J.S.Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985,

  hal.1055. 19 J.Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal.192- 193.

  “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”

  20 .

  Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian teori menurut pendapat beberapa ahli, dengan rumusan sebagai berikut: “Kerangka Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum”.

21 Menurut M Solly lubis. “Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau

  butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang bagi pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setujui ataupun yang tidak disetujui, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti”.

  22 Teori ini sendiri adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling

  berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atas segala gejala yang ada atau “seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antara variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang di gambarkan oleh variabel dengan lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut”.

  23 20 HR.Otje Salman S dan Anton F Susantop, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal, 22. 21 Ibid, hal. 23. 22 M. Solly Lubis (I), Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung ; Mandar Maju,1994), hal. 80, 23 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia Yogyakarta, 1989, hal 12-13. Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah merupakan suatu keharusan. Hal ini dikarenakan, kerangka teori itu digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas, adapun teori yang digunakan teori Hukum Pembangunan yang dikemungkakan Mukhtar Kusumaatmaja yang memakai kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalamnya. Pada dasarnya “Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang”.

  24 Menurut Lilik Mulyadi yang mengutip pendapat Mukhtar Kusumaatmadja,

  menyebutkan bahwa: Tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.

25 Hukum sebagai sarana pembaharuan terkait erat dengan cita-cita

  pembangunan hukum nasional yang dapat menjawab kebutuhan hukum masyarakat, seperti diketahui “masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralis dan dalam

  24 Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal 5. 25 Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja , http://www.badilum.info/images/stories/artikel/kajian_deskriptif_analitis_teori_hukum_pembangunan. pdf, terakhir diakses 16 pebruari 2012. budaya hukum Indonesia dikenal 3 (tiga) tradisi normatif, yaitu Hukum Adat

  26 Pribumi, Hukum Islam dan Hukum Sipil Belanda”.

  “Bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan itu dapat berupa itikad baik

  (tegoeder trouw)

  dalam berhukum untuk membangun sistem hukum yang baik, maka

  27

  diperlukan suatu basis yang kokoh yang diatasnya sistem hukum dapat dibangun”, dengan kata lain hukum sebagai teks dapat berjalan sebagai mana mestinya jika di barengi dengan itikad baik dari pihak yang bersentuhan dengan hukum tersebut.

  Bismar Nasution menyatakan “dalam memenuhi adanya kepastian hukum dan ketertiban tersebut harus berdasarkan pada tindakan nyata dalam pelaksanaan perwalian tersebut, dengan menggunakan prinsip-prinsip yang berdasarkan pada

  28 keadilan, keterbukaan, pertanggung jawaban dan tanggung jawab”.

  Selain itu menurut Andrian Suhedi Keadilan adalah : Suatu ukuran normatif yang sering dikaitkan dengan good governance untuk dapat menciptakan keadilan diperlukan beberapa prasyarat yang saling terkait satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi, diantaranya berupa

  1. Transparansi (transparancy);

  2. Akuntanbilitas (accountanbility);

  3. Kepastian (predictability);

  29 4. Partisipasi (partisipation).

  Bekerjanya hukum tidak terlepas dari pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa: 26 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Studi tentang Konflik dan resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia , Terjemahan Pustaka Alphabhet, Jakarta, 2008, hal. 9. 27 Satjipto Raharjo, Hukum dan Perilaku, hidup baik adalah dasar hukum yang baik, Penerbit Kompas Media Nusantara, Jakarta,2009. 28 Bismar Nasution, Peranan Birokrasi dalam Mengupayakan Good Governace : Suatu Kajian dari

  Pandangan Hukum dan Moral, Makalah yang disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia”reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-Prinsip Good Governance”, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara. 29 Andrian Suhedi, PrinsipKeterbukaan dalam Pasar Modal, Rekturisasi Perusahaan dan good

  Corporate Government , Cipta Karya, Jakarta, 2006, hal.205

  “Hukum tidak bekerja menurut ukuran dan pertimbangannya sendiri melainkan dengan dengan pemikiran dan pertimbangan apa yang baik yang dilakukan bagi masyarakat, sehingga muncul persoalan bagaimana membuat keputusan yang pada akhirnya bisa memberikan sumbangan terhadap efesiensi

  30 produksi masyarakatnya”.

  Pelayanan hukum harus memenuhi rasa keadilan didalam masyarakat, walaupun rasa keadilan itu sulit untuk dipastikan namun setidaknya harus memenuhi suatu ukuran normatif yang hidup didalam masyarakat yang akan melahirkan suatu kepastian hukum.

  Banyak negara berkembang yang mencantumkan gagasan ideal negara hukum, The Rule of Law pada konstitusi yang dibuatnya, namun hal tersebut tidak menjadi jaminan, didalam pelaksanaannya ternyata banyak pihak yang tidak tunduk dan taat terhadap hukum. Seperti yang dikemukakan Irmayani yang mengutip pendapat Jan Michiel Otto “bahwa hanya ada sedikit kepastian hukum yang nyata di Negara-negara berkembang karena terdapat ketidaksesuaian aturan hukum dengan

  31 pelaksanaanya”.

  Ketiadaan hukum yang efektif untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat di Negara berkembang, menimbulkan sikap frustasi, pada kenyataannya untuk menciptakan dan mendatangkan keadilan di masyarakat, “hukum pada saat ini 30 31 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 146.

  Irmayani, Akuntabilitas Tim Pengamat Kemasyarakatan (TPP) Pada Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan , Tesis,Medan, 2009, hal.37. malah sering menjadi masalah daripada menyelesaikan masalah, bahkan tidak sedikit yang bersikap apriori terhadap hukum”.

  32 Senada dengan Irmayani yang juga mengutip pendapat Jan Michiel Otto,

  bahwa : Hukum menjadi tidak efektif karena faktor-faktor yang secara yuridik dan nonyuridik. Misalnya penegak hukum Negara-negara berkembang sering sekali kesulitan mencari dan menemukan aturan hukum mana yang berlaku dalam menghadapi situasi konkrit, begitupun dengan penerapan interprestasi yang digunakan. Setidaknya ada tiga jenis faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepastian hukum nyata yaitu:

  1. Aturan-aturan hukum itu sendiri;

  2. Instalasi-instalasi yang membentuk dan menerapkan hukum; 3. Lingkungan sosial yang lebih luas yaitu politik, ekonomi, sosial-budaya.

  33 Perlindungan anak yang merupakan suatu bidang pembangunan nasional,

  dimana hakikat pembangungan nasional adalah membangun manusia seutuhnya, yang mana melindungi anak adalah melindungi manusia yaitu membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak menimbulkan berbagai permasalahan sosial, yang dapat menggangu ketertiban, keamanan dan pembangunan nasional. Berarti perlindungan anak yang salah satu upayanya yaitu melalui perwalian, yang harus diusahakan apabila ingin mensukseskan pembangunan Nasional.

  Di samping teori utama yang dipergunakan sebagai alat analisis penelitian ini, juga akan didukung dengan beberapa teori lain sebagai teori pendukung yaitu teori 32 Satjipto Raharjo, Opcit, hal. 1 33 Irmayani, Opcit, hal.35-36.

  perwalian. “Setiap orang harus ada walinya, wali itu dapat terdiri dari orang tuanya atau orang lain yang ditunjuk oleh orang tuanya atau ditetapkan oleh Pengadilan.

  Wali ini penting dalam hubungannya dengan perkawinan bila yang bersangkutan

  34 perempuan, berkaitan dengan harta benda dan pewarisan”.

  Sebagaimana telah disebutkan bahwa teori perwalian sebagai teori pendukung, teori ini penting diikut sertakan karena pada dasarnya semua orang harus ada walinya. Wali terhadap anak secara realitas memang sangat dibutuhkan. Setiap ada urusan tentang anak selalu dikaitkan dengan orang tua atau walinya.

  Teori pendukung lain adalah teori keadilan. “Merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang hak mengasuh, merawat, memelihara dan

  

35

mewujudkan perlindungan hak-hak anak”.

  “Dapat dipastikan adanya ketidakadilan apabila anak yang telah hilang orang tuanya tidak mendapat perhatian apapun dari orang lain atau juga tidak adil apabila orang tua yang tidak memperoleh anak tidak mendapat tempat mencurahkan kasih

  36 sayangnya”.

  Selain teori-teori diatas juga di ikutkan teori pengayoman. Menurut Soediman Kartohadiprodjo:

  Hukum melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan di masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi, melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan 34 Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

  Ditinjau Dari Hukum Islam. http://www. repository.usu.ac.id, terakhir diakses tanggal 17 Maret 2012

  35 36 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 8, , Al-Maarif, Bandung, 1994, hal. 160.

A. Hamid Sarong, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, Ringkasan Hasil Penelitian , USU,( Medan, 2007), hal. 9.

  dalam berbagai kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan

  37 peraturan sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tentram.

2. Konsepsi

  Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. “Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia

  38 teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas”.

  Selanjutnya, Sumandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud dengan konsep. Menurut beliau, “sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang

  39 digenaralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional”.

  Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti. ”Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu dinamakan fakta, sedangkan konsep

  40 merupakan suatu uraian mengenai hubungan dalam fakta-fakta tersebut”.

  Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah yang dibahas. Karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu masalah, tidak boleh memiliki makna ganda. Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka 37 Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Pembangunan, Jakarta, 1993, hal. 245. 38 39 Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1999, hal 34 40 Sumandi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 3.

  

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan kedua, UI-Press, 1986, hal.132. penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa variabel yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang dibahas. Disamping itu, dengan adanya penegasan kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan pandangan dalam menganalisa masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek yuridis, maupun dipandang dari aspek sosiologis.

  Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

  a. Perwalian adalah: “Kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau badan sebagai wakil dari anak atau sebagai pengampu dari orang yang tidak cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum demi kepentingan dan atas nama anak atau orang yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya tidak cakap melakukan

  41

  perbuatan hukum.” Secara etimologi pewalian dalam bahasa Indonesia ialah “segala sesuatu

  42 yang menjadi urusan wali”. Dalam bahasa Arab disebut dengan Wilayah.

  43 “Perwalian ialah An-Nasrah (pertolongan)”.

  Secara terminologi (istilah) perwalian merupakan “Kekuasaan 41 melakukan akad dan transaksi, baik akad nikah maupun akad lainya tanpa 42 Pasal 1 butir 25 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007, Tentang Baitul Mal.

  WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal. 1147. 43 Ahmad Hurdi, Al-Ahwal as Syakhshiyah, Mesir; Maktabah Kuliyah Alrabiyah,1969, hal. 3.

  ketergantungan kepada orang lain. Para Fugaha (ahli Hukum Islam) juga

  44 membagi perwalian atas perwalian diri pribadi dan atas harta”.

  b. “Wali adalah seseorang yang bertindak menggantikan orang tua sianak yang

  45 belum dewasa atau belum akil baliq untuk melaksanakan perbuatan hukum”.

  c. Pengertian anak adalah “seseorang yang masih dibawah usia tertentu dan belum

  46 dewasa serta belum kawin”.

  Pengertian anak secara khusus adalah sebagai berikut : Menurut pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

  Perlindungan Anak, dan Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan”.

  d. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

  Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi e. dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Hak mempunyai dua makna yang asasi yaitu: “(1) sekumpulan kaidah dan nash 44 yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam hubungan manusia

  Zakiyuddin Sya’ban, Al-hakam as-syar’iyyahll ahwal asSyakhshiyyah, Dar an- Nahdhah al- arabiyah, Kairo, 1969, hal, 214. 45 46 Yan Pramudya Puspa, kamus hukum, cv. Aneka, Semarang , 1977, hal 894.

  Aminah Azis, Aspek hukum Perlindungan Anak, Universitas Sumatra Utara press, Medan, 1998, hal. 18 -19 sesama manusia baik mengenai orang maupun harta bendanya, (2) kekuasaan

  47

  menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang bagi selainnya.”

  f. Peraturan perundang-undangan adalah aturan-aturan atau norma-norma yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur permasalahan yang berkembang didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peraturan hukum adalah memberikan tata tertib dan menjamin adanya kepastian hukum didalam masyarakat tetap dipelihara sebaik-baiknya dengan harapan setiap warga taat mematuhi peraturan hukum yang berlaku.

  g. Qanun adalah adalah “Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka

  

48

penyelenggaraan otonomi khusus”.

  h. Baitul Mal adalah “Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan

  49 yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam”.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

  Sifat penelitian adalah yuridis normatif, dengan menggunakan “pendekatan

  50

  perundang-undangan (statue approach)”, yang mengfokuskan pada mengumpulkan 47 Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hal. 86-87. 48 Pasal 1 angka 8 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2001 Tentang Otonomi khusus Bagi provinsi daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 49 50 Pasal 1 butir 25 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 Tentang Baitul Mal.

  Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, edisi pertama, cetakan kelima, Prenada Media Grup, Jakarta, 2009, hal. 102. semua perundang-undangan yang terkait dengan perwalian, kemudian menganalisa hukum baik yang tertulis di dalam buku, melakukan pengkajian peraturan perundang- undangan yang berhubungan dengan pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaannya di Indonesia maupun hukum yang diputuskan melalui proses pengadilan.

  Penelitian ini mengunakan metode deskriptif analitis, yang maksudnya adalah “suatu analisis data yang tidak keluar dari suatu ruang lingkup sampelyang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan seperangkat data atau menunjukan kamparasi datayang ada hubungannya dengan

  51 seperangkat data lain”.

  Dengan demikian penelitian ini diarahkan untuk menggambarkan dan sekaligus juga menganalisis fakta-fakta tentang perwalian dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai wali dari anak dibawah umur. Sehingga pada akhirnya didapatkan gambaran tersebut dengan melihat kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap aturan hukum tentang perwalian ini.

2. Sumber Data

  Dalam penulisan ini sumber data yang digunakan diperoleh dari data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier dan data primer, yaitu sebagai berikut:

  1. Data Sekunder, Terdiri dari bahan hukum primer, merupakan bahan hukum terkait, yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki perundang-undangan. 51 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal.39.

  Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi seperti buku-buku teks, kamus-kamus hukum, hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, makalah, majalah dan sebagainya, serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan tentang masalah.

  Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum dan eksiklopedia dalam penelitian ini.

  2. Data Primer Data primer dilakukan dengan cara mengadakan wawancara secara langsung terhadap pihak terkait untuk melakukan dan memastikan validasi terhadap data sekunder yang telah diperoleh dalam rangka melakukan pemecahan masalah.

  Teknik Pengumpulan Data 3.

  a. Studi Kepustakaan Menurut Bambang Waiuyo.“Sebagai penelitian hukum yang bersifat normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research) yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah,

  52

  koran, artikel dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.”

  b. Wawancara

  53 Disamping studi kepustakaan, penelitian ini juga melakukan “wawancara”

  untuk mendapatkan data pendukung menjamin ketepatan dan keabsahan hasil 52 53 Bambang Waiuyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 14.

  Hermawan Warsito, Penghantar Metode Penelitian ,buku panduan mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama,1997, hal. 71. Mengatakan wawancara merupakan alatq pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya, yaitu pewawancara, (interviewer),Responden, pedoman wawancara dan situasi wawancara. wawancara, maka wawancara dilakukan dengan narasumber yang memiliki kompetensi keilmuan dan otoritas yang sesuai, yaitu:

  1. Ketua Mahkamah Syar’iyah kota Banda Aceh;

  2. Anggota Baitul Mal kota Banda Aceh; 3. Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh.

4. Analisis Data

  Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriftif analistis, dimana analisis data merupakan sebuah “proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

  54 dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan” .

  Menurut Koentjoroningrat. “Kegiatan analisis dimulai dengan melakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul, baik dari inventarisasi peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah yang berkaitan dengan judul penelitian, baik media cetak dan laporan-laporan penelitian lainnya mendukung studi pustaka

  55

  kemudian wawancara digunakan untuk mendukung analisis data.”

  54 Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Penebit Remaja Rosdakarya. Bandung. 2004. hal, 103. 55 Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta,1997, hal.19