BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami Di Provinsi Aceh Dalam Perspektif Hukum

BAB I A. Latar Belakang

   Peristiwa bencana alam gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember

  

  2004 telah menimbulkan derita kemanusiaan dan menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dunia, kehilangan tempat tinggal dan harta benda serta lumpuhnya sektor ekonomi, infrastruktur hingga menimbulkan keresahan masyarakat terhadap status dan kepemilikan hak atas tanah. Dampak peristiwa tsunami di Provinsi Aceh (dulu

  5 Dalam terminologi Aceh, istilah atau kata tsunami tidak dikenal. Namun demikian, dalam masyarakat Aceh, terutama di kalangan orang tua dan juga kalangan yang belajar di dayah (pesantren, mengenalinya dengan istilah lain, “ie beuna” melalui cerita-cerita lisan. Ie berarti air dan beuna berarti

benar. Ie beuna dimaksudkan sebagai air yang menunjukkan kebenaran ayat-ayat Tuhan dalam

menghapus segenap kebatilan. Selain istilah ie beuna, ada pula yang menyebutnya dengan smong atau seumong . Lihat Abdullah Sanny, Lokakarya Nasional Menjaring Aspirasi Masyarakat dalam Rangka

Menyusun Program Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Pasca Tsunami , Banda Aceh: 1 Februari

2005, dalam Hasanuddin Yusuf, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), hal. 166.

Menurut orang tua-tua, ie beuna itu dapat berasal dari laut dan juga disertai semburan air dari

permukaan tanah. Lihat Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh: Menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami, Cetakan Kedua, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010), hal. 102. 6 Gempa bumi tanggal 26 Desember 2004 di Asia Tenggara, yang terbesar dalam kurun waktu

  40 tahun terakhir dan terbesar kelima sejak tahun 1900, tercatat 9,1 pada skala Richter. Gempa tersebut

beserta gelombang tsunami yang terjadi setelahnya menyebabkan bencana yang menewaskan lebih

dari 220.000 orang. Patahan seluas 1.000 kilometer persegi yang muncul akibat pergerakan sejumlah

lempengan di bawah permukaan bumi dan energi raksasa yang ditimbulkan oleh bongkahan tanah

raksasa yang berpindah tempat, berpadu dengan energi raksasa yang terjadi di samudra membentuk

gelombang tsunami. Gelombang tsunami itu menghantam negara-negara Asia Tenggara seperti

Indonesia, Sri Lanka, India, Malaysia, Thailand, Bangladesh, Myanmar, Maladewa dan Seychelles,

dan bahkan pesisir pantai Afrika seperti Somalia, yang terletak sejauh kurang lebih 5.000 kilometer. Istilah “tsunami”, yang dalam bahasa Jepang berarti gelombang pelabuhan, menjadi bagian dari bahasa dunia pasca tsunami raksasa Meiji pada tanggal 15 Juni 1896 yang melanda Jepang dan menyebabkan

  

  disebut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)), telah menimbulkan

   1.

  musnah dan kerusakan obyek/bidang-bidang tanah, termasuk hilang/ rusaknya tanda batas tanah dan titik dasar teknik;

  2. subyek hak hilang, meninggal, mengungsi, tidak diketahui alamat serta tidak memiliki ahli waris;

  3. rusak/hancurnya gedung kantor beserta dokumen pertanahan, seperti alas hak dan sertipikat hak atas tanah pada masyarakat, hak tanggungan pada Bank, buku tanah/dokumen pada Kantor Pertanahan; 4. petugas, aparatur dan pihak-pihak terkait hilang, meninggal dunia, tidak berada di tempat/tidak diketahui alamat, aparat desa/kecamatan, tokoh masyarakat, tokoh pemuda serta saksi/pihak yang berbatasan).

  Tsunami telah mengakibatkan terjadinya proses pemisahan secara fisik (penguasaan) antara bidang tanah dengan pemiliknya. Juga telah terjadi proses kemusnahan (hilang dan rusak) berbagai bukti (dokumen dan bukti fisik) hubungan pemilikan antara satu bidang tanah dengan orang tertentu. Hal tersebut sangat berpotensi menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang.

  Bidang tanah adalah satu-satunya harta (asset) yang tertinggal. Tanah yang tertinggal juga dalam keadaan rusak secara fisik dan kehilangan dokumen penguasaan/pemilikan, bahkan sebagian bidang tanah musnah. Kerusakan fisik tanah dan kehilangan dokumen penguasaan/pemilikan cenderung untuk dapat dinyatakan 7 Penggunaan kata Aceh bukan Nanggroe Aceh Darussalam, oleh penulis berdasarkan

  Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April

2009. Ditegaskan dalam Pergub No. 46 Tahun 2009 tersebut bahwa sebutan Daerah Otonom,

Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan,

Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh,

diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur “Nanggroe Aceh Darussalam” (“NAD”) menjadi sebutan/nomenklatur “Aceh”. 8 Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

  telah “lumpuh” nya penguasaan/pemilikan tanah warga di wilayah bencana. Sulit prespektif pertanahan tanpa terlebih dahulu melaksanakan pemulihan hak keperdataan atas tanah milik warga.

  Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) yang disampaikan pada rapat dengar pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tanggal 7 Maret 2005, kerusakan yang diakibatkan oleh gempa dan tsunami di Provinsi Aceh meliputi areal ± 28.483,7 Ha atau 1,27% dari luas Provinsi Aceh sebesar 2.252.053,9 Ha, yaitu: Kota Banda Aceh, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara. Gempa dan gelombang tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh juga menimbulkan dampak

  

  sebagai berikut: 1.

  Dampak Kelembagaan a.

  Sumber Daya Manusia Pegawai Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh yang meninggal dunia sebanyak 35 orang, dan dari pegawai yang selamat, terdapat beberapa pegawai yang mengalami trauma berat akibat kehilangan suami/istri/anak dan keluarga lainnya serta harta benda.

  b.

  Sarana dan prasarana kerja Kerusakan dan kehilangan sarana dan prasarana kerja di BPN Provinsi Aceh meliputi gedung kantor, perlengkapan/peralatan kantor, sarana mobilitas dan dokumen pertanahan. Kerusakan dan kehilangan dokumen pertanahan terparah adalah pada Kanwil BPN Provinsi Aceh, Kantor Pertanahan Kota 9 Banda Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Besar.

  Badan Pertanahan Nasional, Penjelasan Pemerintah Berkenaan dengan Agenda Rapat yang

  2. Dampak Fisik Kerusakan bidang-bidang tanah sebagai dampak dari bencana/peristiwa gempa tingkatan, yaitu: a.

  Rusak berat Tanahnya musnah, tenggelam atau turun.

  b.

  Rusak sedang Tanahnya ada tetapi batas tanah dan fondasi bangunan tidak tampak sama sekali tetapi dapat diidentifikasi.

  c.

  Rusak ringan Katagori rusak ringan yang dimaksudkan adalah daerahnya hanya terkena lidah air, serta tidak terdapat kerusakan dan sama sekali aman/tidak terkena dampak bencana.

  3. Dampak terhadap Koordinat Titik Kerangka Dasar Gempa tektonik secara teoritis menimbulkan pergeseran pada kulit bumi (topografi) yang berakibat pada terjadinya pergeseran koordinat titik kerangka dasar. Dari hasil pengamatan melalui pengukuran beberapa titik Kerangka Dasar Kadastar Nasional (KDKN) diduga telah terjadi pergeseran koordinat yang cukup signifikan, oleh karenanya untuk pelaksanaan rekonstruksi batas tanah diperlukan: a.

  Pengukuran KDKN Orde II dan Orde III dengan menggunakan GPS tipe Geodetik.

  b.

  Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran (baru) pasca tsunami dengan menampilkan bidang-bidang tanah.

  4. Dampak terhadap Pengelolaan dan Pelayanan Pertanahan Dampak kelembagaan, dampak fisik dan dampak lain yang ditimbulkan oleh gempa dan tsunami di Provinsi Aceh telah berakibat pada terhentinya penyelenggaraan pengelolaan dan pelayanan pertanahan pada Kantor-kantor Pertanahan yang terkena musibah yaitu meliputi Kantor Wilayah Badan Pertnahan Nasional Provinsi Aceh, Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Besar. Kerusakan gedung kantor dan tidak adanya perlengkapan serta peralatan kantor, sarana mobilitas, dan dokumen pertanahan, serta pegawai yang trauma karena kehilangan rumah, suami/istri, dan anak serta sanak keluarga lain, dan harta benda telah berakibat pada tidak berjalannya penyelenggaraan pengelolaan dan pelayanan pertanahan di Provinsi Aceh.

  Berdasarkan analisis, permasalahan pertanahan berkaitan dengan keberadaan obyek dan keberdaan subyek serta dokumen pertanahan dapat dinventarisir sebagai

  1. Obyek hak

  

  tanah mengalami kerusakan atau hilang antara lain batas-batas tanah dalam bentuk permanen, bangunan, batas-batas alam seperti pohon-pohon besar serta tempat-tempat pemakaman umum dan keluarga. Di beberapa lokasi sisa-sisa batas-batas tanah yang masih ada telah diratakan dengan buldoser sehingga batas fisik tanah yang masih tersisa menjadi semakin tidak jelas dan bahkan hilang.

   2.

  Subyek Hak Pemilik tanah atau ahli waris yang sah banyak yang meninggal dunia, hilang, tidak diketahui keberadaannya serta berdomisili di tempat pengungsian dan diantaranya mengungsi di luar Provinsi Aceh. Beberapa ahli waris masih di bawah umur dan belum ada kesepakatan diantara ahli waris.

  3. Dokumen Pertanahan Kondisi dokumen pertanahan yang berada pada Kantor Pertanahan dan 10 masyarakat banyak yang hilang dan dalam kondisi rusak/hancur. Dokumen

  Tanah Musnah adalah tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam

dan tidak dapat diidentifikasi lagi sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan

sebagaimana mestinya. Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan

Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan

Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi

Sumatera Utara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 168 (selanjutnya disebut UU No. 48 Tahun 2007). 11 Subyek hak menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak

  

Pengelolaan adalah perorangan atau badan hukum yang pendiriannya sah sesuai dengan ketentuan

  

  pertanahan meliputi alas hak dan sertipikat yang berada pada masyarakat

  

  tanda bukti hak atas tanah dan surat-surat yang berkaitan dengan tanah atau bukti kepemilikan lainnya atas tanah yang menjadi dasar dan persyaratan dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah. Masyarakat yang terkena tsunami baik yang selamat dari bencana maupun ahli waris sangat mengharapkan untuk memperoleh perlindungan hukum hak-hak atas tanah yang mereka miliki/kuasai sebelum terjadinya tsunami. Keinginan mereka untuk kembali menata kehidupan di lokasi semula juga sangat tinggi.

  Desakan agar jaminan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah warga korban tsunami juga disampaikan oleh Anggota Komisi A, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Banda Aceh yang mendesak Pemerintah Kota Banda Aceh 12 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

  Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 (selanjutnya disebut UUPA) tidak pernah disebut sertipikat tanah, namun seperti yang dijumpai dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c ada disebutkannya “surat tanda bukti hak”. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda bukti hak ini sudah sering ditafsirkan sebagai sertipikat tanah. Menurut Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, bahwa pengertian yang sama bahwa surat tanda bukti hak adalah sertipikat (lihat Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 203. Senada

dengan Herman Hermit, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak atas tanah atau satuan rumah

susun. Suatu pengakuan dan penegasan dari negara terhadap penguasaan tanah atau satuan rumah

susun secara perorangan atau bersama atau badan hukum yang namanya ditulis di dalamnya dan sekaligus menjelaskan lokasi, gambar, ukuran dan batas-batas bidang tanah atau satuan rumah susun tersebut (lihat Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah: Tanah Hak Milik, Tanah Negara, Tanah Pemda dan Balik Nama, Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 31). 13 Buku tanah merupakan dokumen yang menegaskan data keabsahan penguasaan/

kepemilikan hak si pemegang sertipikat dan data keabsahan obyektif bidang tanah yang dikuasai/

dimiliki si pemegang sertipikat (Herman Hermit, Ibid, hal. 35). Menurut definisi formalnya, “buku

tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya” (Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, segera mengganti sertipikat tanah warga korban tsunami. Jika status dan kepemilikan

  

munculnya sengketa di tengah masyarakat.

  Pemerintah dalam hal ini BPN yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 26 Tahun 1988, bertanggung jawab mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun peraturan

  

  perundang-undangan lainnya. Keputusan Presiden tersebut telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2012 dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI). Terakhir dalam Kabinet Kerja (Tahun 2014) telah berubah menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

  Program pemulihan urusan pertanahan menjadi tidak sederhana, dan menjadi hal yang sangat prioritas dilaksanakan karena tujuan kegiatan pertanahan dituntut

  

  untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemilik tanah. Sebagai 14 15 Harian Serambi Indonesia terbitan tanggal 8 Agustus 2005.

  A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Jakarta: Mandar Maju, 1993), hal. 10. 16 Tujuan kegiatan pertanahan antara lain memberikan jaminan kepastian hukum kepada

pemegang hak atas tanah, hal ini senada dengan tujuan hukum yang dikemukakan oleh E. Utrecht

bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (recht zekerheid) dalam pergaulan

manusia, E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1957), hal. 254.

  Sedangkan menurut Jeremy Bentham, bahwa hukum harus menuju ke arah sesuatu yang berguna, suatu anggapan yang mengutamakan utilitiet (utilities theorie). Menurut anggapan Theorie Utilitiet bahwa hukum harus mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah (berguna) bagi setiap orang, karena

yang berfaedah bagi setiap orang yang satu mungkin merugikan orang lain karena menurut anggapannya tujuan hukum didefinisikan dapat menjamin adanya kebahagiaan bagi sebanyak- upaya menjamin perlindungan hukum terhadap pemilik tanah di wilayah bencana mutlak diperlukan suatu program simultan yang sistematis, komprehensif dan terintegrasi di bidang pertanahan. Kegiatan ini diperlukan juga sebagai wujud

  

  komitmen perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di wilayah bencana. Oleh karena itu, Pemerintah dalam hal ini BPN, menyelenggarakan program pendaftaran tanah terhadap seluruh bidang tanah di seluruh desa/kelurahan di lokasi bencana

  

  tsunami tanpa memungut biaya, yang dilakukan melalui kegiatan Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh atau Reconstruction of Aceh Land

  Administration System (RALAS). RALAS dilaksanakan untuk mengembalikan setiap

  jengkal tanah kepada pemilik yang sebenarnya seperti keadaan sebelum terjadinya bencana alam tsunami tanggal 26 Desember 2004. Upaya itu dilakukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah.

  tentang kepastian hukum terdapat juga dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD

45) perubahan ketiga bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 17 Suatu hak baru berfungsi secara efektif, apabila hak tersebut dapat dipertahankan dan

dilindungi. Untuk itu, sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat), hak asasi harus

merupakan bagian dari hukum nasional dan harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan

melindungi hak asasi tersebut. Oleh karena itu, pengimplementasian hak asasi manusia harus

memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: 1.

  Hak asasi manusia harus dijadikan sebagai hukum positif, 2. Harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi hak asasi manusia tersebut,

  3. Harus ada kemandirian pengadilan sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka. Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: 18 Mandar Maju, 2012), hal. 244-245.

  Berdasarkan Pasal 15 UU No. 48 Tahun 2007, menyatakan bahwa Permohonan penerbitan tanda bukti hak pengganti, konversi hak atas tanah, pengakuan hak atas tanah, atau penetapan hak atas Program RALAS melakukan pendaftaran tanah berbasis masyarakat sebanyak dan komunitas yang berdekatan, sebagaimana Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 114-II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Daerah- daerah Pasca Tsunami. Pendaftaran tanah sebanyak 600.000 bidang tanah tersebut

   dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2009.

  Berdasarkan data dari Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh dari target 600.000 (enam ratus ribu) bidang tanah yang dilaksanakan melalui kegiatan RALAS, pencapaian pengukurannya sebanyak 321.479 (tiga ratus dua puluh satu ribu empat ratus tujuh puluh sembilan) bidang tanah sedangkan penerbitan sertipikatnya

   sebanyak 231.316 (dua ratus tiga puluh satu ribu tiga ratus enam belas).

  Berdasarkan kajian realisasi kegiatan RALAS berkaitan dengan pendaftaran tanah di lokasi tsunami masih jauh dari target yang direncanakan.

  Program rekonstruksi pemilikan penguasaan tanah yang dilakukan oleh jajaran BPN melalui kegiatan RALAS tersebut mendapat tantangan dalam pelaksanaannya mengingat kompleksnya permasalahan yang muncul sebagai dampak bencana alam gempa dan tsunami di Provinsi Aceh. Permasalahan rekonstruksi pertanahan sebagai upaya dalam rangka perlindungan hukum bidang pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh dihadapkan pada 2 (dua) sisi yang saling berbenturan, 19 Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 114-II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Daerah-daerah Pasca Tsunami. di mana di satu sisi tuntutan penanganan dalam kondisi darurat dan di sisi lain harus demokratis.

  Oleh karena problema tersebut, pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pertanahan pada wilayah bencana melalui peningkatan partisipasi masyarakat mutlak diperlukan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Komisi II DPR RI kepada Kepala BPN tentang bagaimana penanganan pasca bencana di Provinsi Aceh

   dan Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara.

  Partisipasi masyarakat merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam pemulihan hak-hak keperdataan di bidang pertanahan di wilayah bencana, hal yang terkait kesiapan BPN seperti ketersediaan peraturan dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan program besar dan mulia tersebut.

  Kegiatan rekonstruksi fisik merupakan pekerjaan dengan menggunakan teknologi tinggi yang belum pernah dilaksanakan oleh aparat BPN yang bertugas di Provinsi Aceh. Pelaksanaan kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan optimal, diperlukan sumber daya manusia yang profesional dan berkemampuan teknologi tinggi. Kendala yang dihadapi terhadap sumber daya manusia terutama yang bertugas di Provinsi Aceh sebagaimana telah diuraikan pada awal tulisan ini yaitu kekurangan pegawai sebagai akibat dari korban tsunami baik yang meninggal maupun yang 21 Lihat Rekomendasi Komisi II DPR RI kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: mengalami trauma dan kurangnya sumber daya manusia yang handal yang mampu hilang/musnah.

  Rekonstruksi obyek dan subyek hak atas tanah, khususnya berkaitan dengan masalah-masalah yang timbul akibat tidak diketahuinya lagi subyek atau pemilik tanah, dihadapkan pada belum tersedianya pranata hukum yang berkedudukan sebagai hukum positif yang dapat dijadikan dasar penyelesaian pada masa darurat.

  Berkaitan dengan tidak diketahuinya lagi subyek/pemilik tanah pasca tsunami, maka Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam (MPU NAD) telah menerbitkan Surat Keputusan MPU NAD Nomor 3 Tahun 2005 tanggal

  18 Rabiul Awal 1426 H/27 April 2005 M tentang Perlindungan Hak Atas Tanah, Hak Nasab Bagi Anak Yatim, Hak Isteri dan Waris Mafqud Akibat Gempa dan Gelombang Tsunami yang menyebutkan bahwa tanah dan harta benda yang ditinggalkan korban gempa dan tsunami yang tidak meninggalkan ahli waris adalah

  

  menjadi milik umat Islam yang diserahkan melalui Baitul Mal. Substansi fatwa tersebut telah mendapat legitimasi dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi 22 Surat Keputusan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam

  Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 18 Rabiul Awal 1426 H/27 April 2005 M tentang Perlindungan Hak

  Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Dalam “Tanah yang tidak ada lagi pemilik dan ahli warisnya yang beragama Islam menjadi harta agama dan dikelola oleh Baitul Mal”. Baitul Mal sebagai subyek hak atas tanah secara implisit tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan, tetapi berdasarkan keistimewaan dan kekhususan Provinsi Aceh dimungkinkan diatur dengan peraturan setempat. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

   Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang

  memberikan dasar bagi berlakunya hukum adat di bidang pertanahan (agraria), ketentuan-ketentuan mengenai Baitul Mal yang hidup di dalam masyarakat tersebut dapat dipergunakan sebagai sumber hukum guna penyelesaian masalah tersebut di atas. Kendala yang dihadapi bersumber pada ketentuan-ketentuan hukum tanah nasional (hukum positif) yang tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Baitul Mal dapat menjadi subyek hak atas tanah. Untuk itu guna memenuhi keperluan bagi upaya memberikan jaminan kepastian hukum, nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat tersebut dapat diadopsi dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-

   undangan.

  23 Pasal 5 UUPA mengatakan: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang

angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara,

yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dan dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada

  Rekonstruksi dalam rangka pemulihan, jaminan kepastian serta perlindungan pemulihan, jaminan kepastian hukum serta perlindungan hukum hak atas tanah merupakan syarat mutlak bagi upaya pemulihan kehidupan sosial kemasyarakatan terutama pembangunan kembali Provinsi Aceh pasca bencana. “Harus” terutama karena di sinilah representasi kehadiran negara untuk memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap penguasaan/ pemilikan masyarakat dalam bentuk hak atas tanah. Hal ini merupakan amanat dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) jo Pasal 19 ayat (1) UUPA.

  Namun demikian mengingat kenyataan urusan pertanahan yang dalam kondisi normal saja sangat rumit dan tidak mudah diselesaikan apalagi dalam kondisi yang serba tidak normal seperti yang terjadi di Provinsi Aceh pasca bencana. Oleh karena itu, rekonstruksi, kepastian dan perlindungan hukum terhadap penguasaan/pemilikan masyarakat dalam bentuk hak atas tanah di Provinsi Aceh pasca bencana alam harus benar-benar diselenggarakan secara integral dan holistik serta melibatkan seluas

   mungkin partisipasi masyarakat.

25 Kakanwil BPN NAD, “Rekonstruksi Bidang Pertanahan Pasca Bencana Alam Gempa Bumi

  dan Gelombang Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebagai Wujud Perlindungan dan

Jaminan Kepastian Hak Atas Tanah)”, makalah, disampaikan dalam seminar yang dilaksanakan

tanggal 1 Maret 2005 di Pekanbaru, hal. 2. Partisipasi masyarakat di sini dimaksudkan adalah suatu kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang ikut serta dalam suatu kegiatan secara bersama serta

mengembangkan langkah-langkah kegiatan. Partisipasi adalah hak dan bukan sebuah alat untuk

mencapai tujuan suatu kegiatan pembangunan. Inti pokok dari partisipasi masyarakat adalah

  Berdasarkan fakta-fakta di atas, perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam berjalan sesuai dengan target yang telah direncanakan.

  B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dikemukakan permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

  1. bagaimana ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh?

  2. bagaimana peran BPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh?

  3. bagaimana partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: 1. mengkaji ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh;

  2. mengkaji peran BPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh;

  3. menggali partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh.

D. Manfaat Penelitian

  maupun secara praktis, sebagai berikut: 1.

  Secara Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penemuan konsep-konsep perlindungan hukum dan kepastian hukum di bidang pertanahan terhadap masyarakat yang mengalami bencana gempa, tsunami atau keadaan darurat luar biasa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khasanah ilmu hukum, khususnya Hukum Pertanahan di Indonesia.

2. Secara Praktis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi BPN (sekarang Kementerian Agraria dan Tata Ruang), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), DPR, Pemerintah dalam upaya pembentukan pranata hukum pertanahan di Indonesia khususnya dalam rangka penanganan masalah pertanahan akibat bencana alam, seperti gempa dan tsunami.

E. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konsepsional

  1. Kerangka Teoretis

   Kerangka teoretis merupakan “kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,

  teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi 26 Kerangka teoretis suatu penelitian dimulai dengan mengidentifikasikan dan mengkaji

  berbagai teori yang relevan serta diakhiri dengan pengajuan hipotesis. Bahwa produk akhir dari proses pengkajian kerangka teoretis ini adalah perumusan hipotesis harus merupakan pangkal dan tujuan dari bahan perbandingan, pegangan teoretis yang mungkin disetujui ataupun tidak

  

28 Kerangka teoretis adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam

  memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan asumsi-asumsinya. Teori itu

  

  bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk, analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini. Robert K. Yin mengatakan: “theory means the design of research

  

steps according to some relationship to the literature, policy issues, or other

  

substance source”. Maksudnya pengertian teori adalah suatu langkah dalam

  kerangka penelitian yang berhubungan dengan literatur, isu kebijakan atau dari sumber substansi yang lain. Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk 27 Sedangkan teori itu sendiri adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia

  

fisik, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan

dengan pengalaman empiris. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu

penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskan, dan meskipun suatu penjelasan

tampaknya begitu meyakinkan, akan tetapi harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat

dinyatakan benar (valid atau sahih). M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 27 dan 80. Dalam hal ini, teori berguna untuk:

  (1) Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan; (2) Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan pengklasifikasian fakta-fakta yang dikumpulkan; (3)

  Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; dan (4) Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan peneliti tentang gejala-gejala yang telah dan sedang terjadi. Lihat Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, 28 (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 10.

  Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 129. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa di dalam penelitian hukum juga dapat disusun dengan menerangkan metode klasifikasi dan memilih ruang lingkup yang akan diteliti. Bandingkan dengan pendapat Robert K. Yin, Application of Case Study Research, (New Delhi: Sage Publications

International and Professional Publisher Newburry Park, 1993), hal. 4, bahwa teori adalah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Gorys Keraf mendefinisikan teori sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Lihat Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), hal. 47. menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan

   umum.

  Pembahasan mengenai Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami di Provinsi Aceh, teori dasar (grand theory) yang digunakan sebagai pisau analisis adalah Teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Unsur- unsur sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu: substance, structure and

   culture .

  Substansi hukum meliputi aturan, norma dan pola perilaku manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi hukum tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitab-kitab hukum (law in book) tetapi juga ada hukum yang hidup (living law) termaksud di dalamnya “produk” yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada dalam sistem itu, misalnya keputusan-keputusan yang mereka keluarkan dan aturan-aturan yang mereka susun. Dalam penelitian ini, substansi hukumnya adalah keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh sebagai dasar hukum bagi BPN untuk melakukan rekonstruksi pertanahan.

  Struktur dari sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman terdiri dari unsur- unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksi tiap-tiap peradilan dan upaya-upaya 31 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 134. hukum. Struktur hukum juga menyangkut penataan badan-badan penegak hukum sangat penting dalam struktur hukum adalah agency-agency/ organ-organ/pejabat- pejabat yang melaksanakan fungsi struktural tersebut diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai. Struktur hukum dalam penelitian ini adalah peran Pemerintah dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh diwakili oleh BPN dan BRR yang bekerja secara struktural, terintegrasi dan holistik untuk mewujudkan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada pemilik tanah.

  Budaya hukum menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran, dan harapan manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Budaya hukum dapat diartikan sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Budaya hukum yang dikaji dalam penelitian ini adalah budaya hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat Aceh selama pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami. Budaya hukum menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Apabila masyarakat hukum tersebut sederhana, maka kehidupan masyarakatnya terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum

  

  cenderung berbentuk tidak tertulis. Dengan demikian, budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar

   kepentingan-kepentingan.

  Sebagai middle theory, dalam penelitian ini menggunakan Teori Perlindungan Hukum oleh Salmond yang berasal dari Teori Hukum Alam. Awal mula dari munculnya Teori Perlindungan Hukum ini bersumber dari Teori Hukum Alam atau Aliran Hukum Alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan

35 Zeno (pendiri aliran Stoic).

  Salmond mengatakan dalam Teori Perlindungan Hukum, bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai

  

  kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan

   kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.

  Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk

  34 Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi: Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, (Jakarta: Chandra Pratama, 1999), hal. 196. 35 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 116. mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara

   Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa perlindungan hukum adalah

  memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua

   hak-hak yang diberikan oleh hukum.

  Perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon bagi rakyat sebagai

  

  tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa,

   termasuk penanganannya di lembaga peradilan.

  Philipus M. Hadjon membagi bentuk perlindungan hukum menjadi 2 (dua),

  

  yaitu: 1.

  Perlindungan hukum yang preventif Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada 38 rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas 39 Ibid, hal. 53.

  Ibid, hal. 54. Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat

difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel,

melainkan juga prediktif dan antisipatif. Lihat Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rusdakarya, 1993), hal. 118. Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum

dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk

memperoleh keadilan sosial. Lihat Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum

Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 55. 40 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia; Sebuah Studi tentang prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, (Surabaya:

  PT. Bina Ilmu, 1987), hal. 2 . 41 Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang: pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga, perlindungan sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.

2. Perlindungan hukum yang represif

  Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara partial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) badan, yaitu: a.

  Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum Dewasa ini dalam praktek telah ditempuh jalan untuk menyerahkan suatu perkara tertentu kepada Peradilan Umum sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

  b.

  Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindakan pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah yang berwenang untuk merubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut.

  c.

  Badan-badan khusus Merupakan badan yang terkait dan berwenang untuk menyelesaikan suatu sengketa. Badan-badan khusus tersebut antara lain adalah Kantor Urusan Perumahan, Pengadilan Kepegawaian, Badan Sensor Film, Panitia Urusan Piutang Negara, serta Peradilan Administrasi Negara.

  Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan

   kewajibannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman.

  Perlindungan hukum dan kepastian hukum yang diberikan Pemerintah (BPN) kepada masyarakat di wilayah pasca bencana gempa bumi dan tsunami di Provinsi Aceh yang tanahnya musnah baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar adalah memperoleh tanah pengganti atau ganti kerugian melalui pelaksanaan rekonstruksi pertanahan dengan cara melakukan pendaftaran tanah berbasis masyarakat secara gratis. Pasal 15 UU No. 48 Tahun 2007 mengatakan permohonan penerbitan tanda bukti hak pengganti, konversi hak atas tanah, pengakuan hak atas tanah, atau penetapan hak atas tanah dan pendaftarannya bagi masyarakat di wilayah pasca bencana gempa bumi dan tsunami tidak dikenakan biaya, bea, dan pajak sampai dengan tahun 2009.

  Sebagai applied theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum yang dikemukakan oleh Utrecht. Menurut Utrecht, hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (recht zekerheit) dalam pergaulan manusia dan hubungan-hubungan dalam pergaulan kemasyarakatan. Hukum menjamin kepastian

43 Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang

  diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya

kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek

  

  pada pihak yang satu terhadap pihak yang lain. Van Apeldoorn juga sependapat di

   Hukum Pertanahan Indonesia menginginkan kepastian mengenai siapa

  pemegang hak milik. Kebutuhan masyarakat akan suatu peraturan kepastian hukum terhadap tanah, sehingga setiap pemilik dapat terjamin haknya dalam

  

  mempertahankan hak miliknya dari gangguan luar. Untuk menjamin kepastian hukum terhadap hak atas tanah, Pasal 19 ayat (1) UUPA, mengamanatkan pemerintah

  

  untuk diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

  Pasal 19 ayat (2), menyebutkan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam ayat (1) meliputi: a. pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah;

  b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

  c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 44 45 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1957). 46 Ibid.

  Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda, (Jakarta: PT. Intermasa, 1980), hal. 21. 47 Menurut A.P. Parlindungan, pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre (bahasa Belanda

Kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terdapat suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin

Capistratum” yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Copotatio Terrens). Dalam arti yang jelas, cadastre adalah record pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian, Cadastre

merupakan alat yang tepat untuk memberikan uraian dan identifikasi tersebut dan juga sebagai Pasal 19 ayat (3), menyebutkan pendaftaran tanah diselenggarakan dengan kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 19 ayat (1) terkait pengaturan pendaftaran tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam perkembangan berikutnya Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru tentang pendaftaran tanah di Indonesia. Kebijakan baru tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang ditetapkan pada tanggal 8 Juli 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997). PP No. 24 Tahun 1997 telah ditindaklanjuti melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 (selanjutnya disebut Peraruan MNA/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997) yang merupakan peraturan pelaksana penyelenggaraan pendaftaran

   tanah di Indonesia.

  Lahirnya ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961 telah menyempurnakan pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia.

  Menurut A.P. Parlindungan, PP No. 24 Tahun 1997 telah memperkaya ketentuan

   Pasal 19 UUPA tersebut, karena: 48 Soni Harsono, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, “Kebijakan Baru di Bidang Pertanahan Dampak dan Aplikasinya dalam Pembangunan Nasional”, Sambutan Kunci/Makalah, Disampaikan dalam Rangka Dies Natalis XXVII KM. Teknik Geodesi-Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta: Universitas Gajahmada), 15 November 1997.

  1. dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum; dengan informasi pertanahan yang tersedia di kantor pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya;

  3. dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana.

  PP No. 10 Tahun 1961 dan PP No. 24 Tahun 1997 tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka rechtscadaster (pendaftaran tanah) yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa buku tanah dan sertipikat tanah yang terdiri dari salinan buku tanah

   dan surat ukur.

  Terdaftarnya bagian tanah tersebut, sebenarnya tidak semata-mata akan terwujudnya jaminan keamanan akan kepemilikannya dalam menuju kepastian hukum. Bahkan seseorang pemilik akan mendapatkan kesempurnaan dari haknya,