Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian Terhadap Anak Di Bawah Umur Korban Tsunami Di Aceh

(1)

TESIS

Oleh

YUDHI MARZA HARCA

107011113/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

YUDHI MARZA HARCA

107011113/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Prof. Dr. Abdullah Syah, MA)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Prof. Abdullah Syah, MA, PhD


(5)

Nama : YUDHI MARZA HARCA

Nim : 107011113

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERWALIAN

TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR KORBAN TSUNAMI DI ACEH

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :YUDHI MARZA HARCA


(6)

dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum cakap bertindak dalam hukum. Oleh karena itu maka perlu adanya seseorang atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara juga membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang mengurus, demi keselamatan, kelangsungan hidup anak dan hartanya.

Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang mekanisme perwalian anak dibawah umur korban tsunami di Aceh, menjelaskan aturan-aturan perwalian, penerapanya dimasyarakat, aturan aturan baru yang lahir setelah tsunami,serta pengawasan terhadap perwalian tersebut dan akibat hukumnya.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa perwalian ada yang dilaksanakan bukan hasil penunjukkan resmi berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan bersama dalam keluarga. Sehingga pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali pun tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, hal ini menyebabkan tidak memiliki suatu kepastian hukum. Perwalian merupakan suatu lembaga yang berupaya untuk mengurusi kepentingan anak yang belum dewasa, baik kepentingan pribadinya maupun kepentingan harta bendanya. wali wajib bertanggung jawab atas kesejahteraan dan mengurus harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya, Wali dapat dituntut oleh keluarga sianak ataupun anak itu sendiri atas kerugian yang ditimbulkan oleh wali. Kendati dalam peraturan perundang-undangan telah diatur permasalahan perwalian ini, akan tetapi pasca tsunami peraturan tentang perwalian ini tidak di indahkan dalam menanganinya sehingga banyak menyisakan pemasalahan hukum yang tidak terselesaikan. Khususnya masyarakat adat Aceh yang memiliki karakter sederhana cenderung memahami dan melaksanakan sesuatu melalui suatu prosedur yang mudah dan tidak berbelit-belit. Akibat kurangnya pemahaman dari masyarakat menyangkut hukum perwalian dan kurangnya kontrol dari pihak-pihak atau lembaga perwalian yang berwenang menjadi wali/wali pengawas serta kurangnya koordinasi antara lembaga yang terlibat meyebabkan keberadaan perwalian anak yang berada di Gampong (desa) tidak terpantau baik kepengurusan maupun pengawasannya.

Disarankan agar Perlunya penyeragaman aturan hukum menyangkut perwalian sehingga tidak menyebabkan pluralisme hukum dimasyarakat. Perlunya sosialisasi kemasyarakat menyangkut perwalian secara formal sehingga tidak muncul anggapan, penyelesaian perkara perwalian di Pengadilan berbelit-belit dan sulit untuk dilaksanakan.Meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang berhubungan dengan masalah perwalian melalui peraturan perundang-undangan, yang mengatur kesepakatan kerjasama antara Baitul Mal dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan permasalahan perwalian. Dengan demikian dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan terbangunnya kelembagaan yang akuntabel dan professional.


(7)

not able to take care of their property or their own environment. In other words, they have not yet been able to act legally; therefore, someone or a group of people are needed to take care of and guide them as guardians for the sake of their safety, their survival, and their property.

The research used descriptive analytic approach which described and analyzed the mechanism of the guardian of young children who are the victims of tsunami in Aceh and explained the regulations of guardianship, its application in society or new regulations existed after the tsunami occurred, the supervision of the guardian, and its legal consequences.

The result of the research showed that the guardianship was not conducted officially but based on the agreement among the members of the family. Consequently, the management of the children’s property with a guardianship is not conducted legally but whatever is available so that there is no legal certainty. Guardianship is an institution which attempts to take care of young children’s interest, either their personal interest or their property. A guardian is responsible for children’s welfare and for taking care of their property. A guardian can be sued by the children’s families or by the children themselves when he harms them. Although there is a regulation on guardianship, it has been ignored after the incident of tsunami so that there are many legal problems which cannot be solved. Specifically, Acehnese have simple characters that tend to think and to carry out something which is not difficult and complicated. Since they lack of understanding about guardianship, and the lack of control by the parties or the guardianship institutions that have the right to become the guardian/supervisor, and the lack of coordination among the institutions, the guardianship of children, either its management or its supervision, at Gampong (villages) cannot be controlled effectively.

It is recommended that the legal standardization of guardianship is needed so that there will be no pluralism in the society. The socialization about guardianship formally is also needed so that there will be no assumption that the guardianship case in the Court is very complicated and very difficult to be solved. Coordination among the government institutions regarding guardianship through legal provisions which regulate the cooperative agreement between Baitul Mal (Treasury) and the institutions related to guardianship should be increased in order that the quality of public service can be increased and accountable and professional institutions can be established.


(8)

berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERWALIAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR

KORBAN TSUNAMI DI ACEH”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu

persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. H.T. Syamsul Bahri, SH., Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA.Ph.D., dan Prof. Dr. Abdullah Syah, M.A. selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.


(9)

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah. 6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

7. Ketua Mahkamah Syariyah Banda Aceh beserta staf, Pimpinan Baitul mal Di Kota Banda Aceh, beserta staf bagian pembiaaan dan seluruh responden dan informan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini. 8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2010 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Teristimewa diucapkan dengan tulus hati terima kasi kepada kedua orang tua penulis, H. Razali Harun dan ibunda Hj. Nurhayati Abdullah serta adik-adik tercinta Fitria Harca, SH.Dan Putra Ricky Harca, ST.yang selalu mengasihi dan mendoakan, serta memberikan nasehat dan motivasi untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis dan dalam penyelesaian tesisi ini.

Serta terima kasih terhadap semua pihak yang tidak dapat disebut satu-persatuatas kebaikan dan ketulusan, dan dukungan serta doanya.


(10)

kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Maret 2013 Penulis,


(11)

Nama : Yudhi Marza Harca

Tempat / Tgl. Lahir : Banda Aceh, 10 Maret 1982. Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jalan Hasan Saleh Lr. H. Keuchik Man. Nomor 18. Neusu Aceh, Banda Aceh.

II. ORANG TUA

Nama Ayah : H. Razali Harun

Nama Ibu : Hj. Nurhayati Abdullah

III. PENDIDIKAN

SD Negeri 77 Banda Aceh Tamat Tahun 1994 SMP Negeri 3 Banda Aceh Tamat Tahun 1997 SMA Negeri 2 Banda Aceh Tamat Tahun 2000

S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Tamat Tahun 2006 S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara Medan Tahun 2010 s/d 2013.


(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... ………….……… vii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... ... 1

B. Rumusan Masalah ... . 10

C. Tujuan Penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian . ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi………... 14

G. Metode Penelitian ... 24

BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM PERWALIAN ANAK YANG TIDAK ADA ORANG TUANYA ... 28

A. Pengertian Anak dan Batasan Usia Anak ... 28

1. Pengertian Anak... 28

2. Batasan Usia Anak... 31

3. Hak-hak anak ... 35

B. Pengertian dan macam-macam perwalian ... 36

1. Pengertian Perwalian ... 36

2. Berbagai Macam Perwalian... 40

3. Asas-asas dalam perwalian ... 42

4. Syarat-Syarat Seorang Anak Memperoleh Perwalian 43 C. Dasar hukum perwalian ... 43


(13)

5. Landasan Hukum Menurut Undang-undang 23 tahun

2002 tentang perlindungan anak ... 50

6. Hukum Perwalian Dalam Qanun Aceh... 51

D. Tujuan dan Saat Berlakunya Perwalian ... 52

1. Tujuan Perwalian ... 52

2. Mulai Berlakunya Perwalian ... 54

BAB III PELAKSANAAN PERWALIAN ANAK DIBAWAH UMUR YANG TIDAK ADA LAGI ORANG TUANYA DI BANDA ACEH ... 56

A. Tinjauan Pelaksanaan Perwalian menurut Adat dan kebiasaan di Aceh ... 56

1. Pelaksanaan Penunjukan Wali Pada Mayarakat Aceh 56 2. Penunjukan Wali Oleh Pengadilan di Aceh ... 64

3. Prosedur Pengajuan Permohonan Perwalian Pada Makamah Syar’iyah... 72

4. Kedudukan Perempuan Dalam Perwalian ... 75

B. Orang yang ditunjuk sebagai wali, Kewajiban sebagai wali, serta larangannya ... 76

1. Yang ditunjuk sebagai wali ... 76

2. Syarat-syarat menjadi wali ... 81

3. Kewajiban wali ... 82

4. Larangan-larangan dalam perwalian... 84

C. Baitul Mal Sebagai Salah Satu Lembaga Perwalian Di Aceh 84 1. Tugas dan Kewenangan Baitul Mal... 84

2. Dasar Hukum Baitu Mal ... 89


(14)

BAB IV KENDALA DALAM PELAKSANAAN PERWALIAN

TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR KORBAN

TSUNAMI DI BANDA ACEH ... 107

1. Kendala Sarana Perundang-Undangan ... 107

2. Kurangnya Pemahaman Terhadap Perwalian di masyarakat ... 108

3. Kendala Kurangnya Koordinasi Antara Lembaga Yang Terlibat Dengan Masalah perwalian ... 110

4. Pengawasan Perwalian... 111

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 114

A. Kesimpulan ... 114

B. Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA... 118 LAMPIRAN


(15)

TABEL 2: Perkara Perwalian yang di putus oleh Mahkamah Syariah Kota


(16)

dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum cakap bertindak dalam hukum. Oleh karena itu maka perlu adanya seseorang atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara juga membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang mengurus, demi keselamatan, kelangsungan hidup anak dan hartanya.

Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang mekanisme perwalian anak dibawah umur korban tsunami di Aceh, menjelaskan aturan-aturan perwalian, penerapanya dimasyarakat, aturan aturan baru yang lahir setelah tsunami,serta pengawasan terhadap perwalian tersebut dan akibat hukumnya.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa perwalian ada yang dilaksanakan bukan hasil penunjukkan resmi berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan bersama dalam keluarga. Sehingga pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali pun tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, hal ini menyebabkan tidak memiliki suatu kepastian hukum. Perwalian merupakan suatu lembaga yang berupaya untuk mengurusi kepentingan anak yang belum dewasa, baik kepentingan pribadinya maupun kepentingan harta bendanya. wali wajib bertanggung jawab atas kesejahteraan dan mengurus harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya, Wali dapat dituntut oleh keluarga sianak ataupun anak itu sendiri atas kerugian yang ditimbulkan oleh wali. Kendati dalam peraturan perundang-undangan telah diatur permasalahan perwalian ini, akan tetapi pasca tsunami peraturan tentang perwalian ini tidak di indahkan dalam menanganinya sehingga banyak menyisakan pemasalahan hukum yang tidak terselesaikan. Khususnya masyarakat adat Aceh yang memiliki karakter sederhana cenderung memahami dan melaksanakan sesuatu melalui suatu prosedur yang mudah dan tidak berbelit-belit. Akibat kurangnya pemahaman dari masyarakat menyangkut hukum perwalian dan kurangnya kontrol dari pihak-pihak atau lembaga perwalian yang berwenang menjadi wali/wali pengawas serta kurangnya koordinasi antara lembaga yang terlibat meyebabkan keberadaan perwalian anak yang berada di Gampong (desa) tidak terpantau baik kepengurusan maupun pengawasannya.

Disarankan agar Perlunya penyeragaman aturan hukum menyangkut perwalian sehingga tidak menyebabkan pluralisme hukum dimasyarakat. Perlunya sosialisasi kemasyarakat menyangkut perwalian secara formal sehingga tidak muncul anggapan, penyelesaian perkara perwalian di Pengadilan berbelit-belit dan sulit untuk dilaksanakan.Meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang berhubungan dengan masalah perwalian melalui peraturan perundang-undangan, yang mengatur kesepakatan kerjasama antara Baitul Mal dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan permasalahan perwalian. Dengan demikian dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik dan terbangunnya kelembagaan yang akuntabel dan professional.


(17)

not able to take care of their property or their own environment. In other words, they have not yet been able to act legally; therefore, someone or a group of people are needed to take care of and guide them as guardians for the sake of their safety, their survival, and their property.

The research used descriptive analytic approach which described and analyzed the mechanism of the guardian of young children who are the victims of tsunami in Aceh and explained the regulations of guardianship, its application in society or new regulations existed after the tsunami occurred, the supervision of the guardian, and its legal consequences.

The result of the research showed that the guardianship was not conducted officially but based on the agreement among the members of the family. Consequently, the management of the children’s property with a guardianship is not conducted legally but whatever is available so that there is no legal certainty. Guardianship is an institution which attempts to take care of young children’s interest, either their personal interest or their property. A guardian is responsible for children’s welfare and for taking care of their property. A guardian can be sued by the children’s families or by the children themselves when he harms them. Although there is a regulation on guardianship, it has been ignored after the incident of tsunami so that there are many legal problems which cannot be solved. Specifically, Acehnese have simple characters that tend to think and to carry out something which is not difficult and complicated. Since they lack of understanding about guardianship, and the lack of control by the parties or the guardianship institutions that have the right to become the guardian/supervisor, and the lack of coordination among the institutions, the guardianship of children, either its management or its supervision, at Gampong (villages) cannot be controlled effectively.

It is recommended that the legal standardization of guardianship is needed so that there will be no pluralism in the society. The socialization about guardianship formally is also needed so that there will be no assumption that the guardianship case in the Court is very complicated and very difficult to be solved. Coordination among the government institutions regarding guardianship through legal provisions which regulate the cooperative agreement between Baitul Mal (Treasury) and the institutions related to guardianship should be increased in order that the quality of public service can be increased and accountable and professional institutions can be established.


(18)

Gempa dan tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan dampak yang sangat dahsyat. Bukan saja ratusan ribu jiwa yang melayang dan kerugian materiel yang tak pernah terbayangkan, tetapi juga meninggalkan puluhan ribu anak yatim piatu, sehingga muncul pula berbagai persoalan dalam masalah kewarisan dan perwalian.

Sebagaimana diketahui tsunami telah melahirkan serangkaian problem hukum yang tidak teratasi oleh instrumen hukum yang tersedia sebelumnya. “Beberapa persoalan yang menuntut penyelesaian secara cepat dan tepat adalah persoalan hak-hak keperdataan korban dan keluarganya dimana hilangnya keluarga, atau keluarga yang hanya menyisakan anak-anak, menuntut penyelesaian hukum, baik atas hak kewarisan maupun hak perwalian sebagai upaya melindungi anak-anak korban itu di masa yang akan datang”.1

Persoalan-persoalan di atas belum mendapatkan ruang penyelesaian hukum yang memadai. “Belum adanya landasan hukum sebagai panduan untuk menyelesaikan masalah-masalah itu menyebabkan masing - masing pihak di Aceh

1

Ernita Dewi, Perempuan Aceh dihadapan Hukum setelah Konflik dan Tsunami berlalu, laporan Case Studi , International Development Law Organisation Post-Tsunami Legal Assistance Initiative For Indonesia and United Nation Development Programme Access to Justice and Capacity


(19)

berinisiatif dan berkreasi secara berbeda-beda dalam memandang dan menyelesaikan masalah hukum tersebut”.2

Permasalahan perwalian merupakan hal terpenting bagi kelangsungan hidup anak kecil (anak dibawah umur) atau anak yang masih belum bisa mengurus diri sendiri seperti anak-anak terlantar, baik dalam mengurus harta kekayaan maupun dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum cakap bertindak dalam hukum. Oleh karena itu maka perlu adanya seseorang atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara juga membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang mengurus, demi keselamatan, kelangsungan hidup anak dan hartanya.

Pasca tsunami di Aceh masalah perwalian ada yang dilaksanakan bukan hasil penunjukkan resmi berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan bersama dalam keluarga. “sehingga pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali pun tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, berdasarkan kesepakatan dan kenyakinan dalam masyarakat tersebut, hal ini menyebabkan tidak memiliki suatu kepastian hukum.”3

Proses perwalian ini dilakukan karena telah menjadi suatu kebiasaan dalam masyarakat adat, “bahwa ketentuan mengenai perwalian hanya dilakukan melalui

2

Ismailhasani,Sisa-Masalah-Hukum Pasca Tsunami,

/http://ismailhasani.wordpress.com/2005/12/26/ , Terakhir diakses pada tanggal 12 Desember 2011.

3 Chairul Fahmi, Perwalian, http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf, Terakhir diakses


(20)

musyawarah pihak keluarga, dan atau melibatkan petua kampung (tertua desa) dalam menentukan pihak mana yang menjadi wali, baik dalam pengasuhan anak tersebut atau pemeliharaan harta yang ditinggalkan. Sehingga seringkali antara satu daerah (gampong) dengan daerah lain mempunyai ketentuan yang berbeda”.4

Dalam kasus tertentu, wali ditunjuk dengan proses adat. “dimana wali tersebut, ditentukan oleh pihak keluarga dan tokoh masyarakat yang dilaksanakan di Meunasah (tempat ibadah) di pedesaan tersebut, yang melibatkan para petua gampong (tertua desa) untuk mengkonfirmasi mengenai pengangkatan seorang wali dalam keluarga tertentu.”5 Namun dalam kasus-kasus yang dipersengketakan maka

penunjukan wali diberi kewenangan kepada geuchik (kepala desa) dan/atau imeum meunasah (Imam).

Sering kali dalam perwalian ini menjadi permasalahan jika seorang anak memiliki warisan, seperti tanah, rekening bank, uang pensiun dan lain sebagainya. Hal tersebut menyebabkan adanya klaim dari orang-orang tertentu yang ingin menjadi wali. Ini dilakukan agar memungkinkan sebagai wali dapat menikmati pula harta yang diwariskan kepada anak tersebut.

Menyangkut permasalahan-permasalahan yang terjadi pasca tsunami di Aceh, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

4Ibid, hal. 6

5

Badruzzaman Ismail ‘Wali perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi NAD’ paper dipresentasikan pada wokshop Pewalian Anak, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah


(21)

Nomor 2 tahun 2007 Tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam rangka pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 48 tahun 2007. “Undang-Undang ini merupakan payung hukum untuk penanganan permasalahan hukum seperti Pertanahan, Perbankan serta Pewarisan dan Perwalian”.6

“Umumnya Undang-undang ini mengatur tentang permasalahan hukum dalam penyelengaraan administrasi pemerintah, hak keperdataan, perwalian, pertanahan, dan perbankan”.7

Sebagaimana ditegaskan dalam BAB V Pasal 31 Undang-undang nomor 48 tahun 2007, “anak dibawah umur yang orang tuanya telah meninggal atau tidak cakap bertindak menurut hukum, maka harta kekayaannya dikelola oleh wali sesuai dengan peraturan perundang undangan”.8

Dalam hal keluarga tidak mengajukan permohonan penetapan wali, maka Baitulmal atau Balai Harta Peninggalan (BHP), sebagai wali pengawas mengajukan permohonan penetapan wali kepada pengadilan.

Kemudian dalam pelaksanaan dari Undang-undang ini dikeluarkan Qanun (Peraturan Daerah) yang mengatur Baitul Mal yaitu Qanun Aceh Nomor 10 tahun

6

Pengaturan Tentang Perwarisan, Perwalian dan Perbankan dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2007, http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM,.terakhir di akses pada tanggal 26 oktober 2010.

7

Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2007 huruf .C.

8 Lihat Pasal 31 Undang-undang nomor 48 tahun 2007, tentang Penanganan Permasalahan Hukum

Dalam rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekontruksi wilayah dan kehidupan Masyrakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatra Utara.


(22)

2007 tentang Baitul Mal. Pengertian tentang Baitul Mal terdapat pada Pasal 1 butir 11 Ketentuan Umum Qanun tersebut yaitu:

“Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam”.

Hal ini tidak terlepas dari perkembangan hukum di Aceh yang memiliki keunikan sendiri jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, meskipun Provinsi Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tidak terpisahkan dari sistem hukum Nasional, namun keberadaan hukum adat dan hukum syari’at mendapat tempat yang strategis dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Undang-undang Nomor. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-undang Nomor. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), merupakan bentuk pengakuan terhadap eksistensi hukum adat dan hukum syari’at, sebagai sistem hukum yang berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini menggambarkan kewenangan yang luas Provinsi NAD sesuai peraturan perundang-undangan, untuk mengatur dirinya sendiri termasuk dalam bidang hukum. Implikasi lain dari diterapkan otonomi khusus bagi Provinsi NAD adalah pengakuan lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang memiliki kewenangan memberikan masukan kepada eksekutif dan legislatif, di


(23)

samping itu pembentukan Majelis Adat Aceh (MAA) yang salah satu fungsinya mengembangkan nilai adat istiadat juga ikut mewarnai otonomi khusus tersebut.

“Perkembangan hukum di Aceh di dasarkan atas 3 (tiga) sistem hukum yang telah berkembang di masyarakat (living law). yaitu berupa sistem Hukum Syari’ah, Hukum Nasional, dan Hukum Adat. Ketiga sistem hukum ini mempunyai paradigma sendiri, baik dalam teori maupun praktek. Harmonisasi ketiga sistem hukum tersebut untuk mensinergikan pembentukan dan penegakan hukum merupakan mainstream penting dalam pembentukan tatanan hukum di Aceh”.9

Menurut Hukum Islam perwalian terhadap anak meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama. Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak. Semua pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi tanggung jawab siwali.

“Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri”.10

Menurut Arif Masdoeki “Perwalian adalah pengawasan terhadap anak dibawah umur yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang-undang”.11

9

Dinamika-pembangunan-hukum-di-nanggroe-aceh-darussalam-pasca-gempa-dan-tsunami-sebuah-refleksi-antara-cita-dan-realitas&catid=40:article&Itemid=294

http://www.isjn.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=186: terakhir diakses tanggal 13 Desember 2011

10

Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. 2010.terakhir diakses 12 Januari 2012.

11Arif Masdoeki dan M.H TirtaHamidjaja, Masalah Perlindungan Anak, Akademika


(24)

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 330 ayat (3) dinyatakan bahwa “Perwalian (voogdij) adalah pengawasan

terhadap anak di bawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua”.12

Sebagaimana juga dalam Undang- undang Nomor. 1 tahun 1974 Pasal 50-54 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 107-112 yang menyatakan bahwa perwalian adalah “sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum”.

Masalah perwalian ini telah diatur dalam peraturan perundangan-undang yang ada di Indonesia baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang- undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan dalam Kompilasi Hukum Islam.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum perdata, bab kelima belas tentang perwalian pada umumnya untuk anak-anak yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua maka berlaku bagian kelima Pasal 359 yang menyatakan anak-anak yang tidak bernaung dibawah kekuasaan orang tua dan perwaliannya tidak diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah memanggil keluarga sedarah ataupun semenda.

Anak yang berada dibawah perwalian adalah:

(1)Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua;


(25)

(2) Anak sah yang orang tuanya telah bercerai;

(3) Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijke kind).

“Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali-ibu (moedervoogd) kawin lagi, dalam hal mana suaminya

menjadi teman wali (medevoogd).13

“Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut Undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang (Wettelijke

Voogdij).14

Seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada dibawah perwalian orang tua yang mengakuinya. “Apabila seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatanya (datieve

voogdij)”.15

Tetapi ada juga kemungkinan, “seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian menurut Wasiat(testamentair voogdij)”.16

13Anonim, Diskusi dan Konsultasi Masalah Hukum,Pengaturan Mengenai Perwalianditinjau

Dari Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perwalian-menurut-kuhperdata. terakhir diakses 12 September 2012.

14R.Subekti dan R. Tjitrosudibio,Op. Cit,hal. 103 15Ibid,hal. 103


(26)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku untuk lingkungan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam hal pengangkatan wali terhadap anak yang dibawah umur yang muslim Pada Bab XI mengatur pula masalah perwalian dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 sebagai berikut:

1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 33 mengatur pula masalah perwalian sebagai berikut:

1. Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

2. Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.

3. Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan.

4. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dalam ketentuan umum Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) huruf h dikemukakan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan oleh seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil guna kepentingan dan atas


(27)

nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau kedua orang tuanya masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Dalam kompilasi Hukum Islam BAB XV mengenai perwalian Pasal 107 juga menegaskan sebagai berikut:

1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.

3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.

4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

Bedasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul: Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian Terhadap Anak di bawah Umur Korban Tsunami di Aceh.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hukum perwalian bagi anak yang tidak ada orang tuanya? 2. Bagaimana pelaksanaan perwalian terhadap anak korban tsunami yang tidak

ada orang tuanya di Aceh?

3. Apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan perwalian terhadap anak dibawah umur korban tsunami di Aceh?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagi berikut:


(28)

1. Untuk mengetahui hukum perwalian bagi anak yang tidak ada orang tuanya. 2. Untuk mengetahui perwalian terhadap anak dibawah umur korban tsunami

yang tidak ada lagi orang.

3. Untuk mengetahui kendala didalam menentukan pengangkatan wali terhadap anak dibawah umur yang menjadi korban tsunami di Aceh.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu: 1. Secara teoritis,

Dari penelitian dapat memberikan manfaat untuk mengembangkan ilmu hukum dan dapat menambah pengetahuan dalam perwalian terhadap anak.

2. Secara praktis,

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan sebagai penyempurnaan aturan yang menyangkut perwalian anak.

E. Keaslian penelitian

Dari hasil penelusuran keperpustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul: Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian Terhadap Anak Dibawah Umur Korban Tsunami di Aceh,belum pernah ada yang meneliti sebelumnya.

Dari hasil penelusuran keaslian penulisan, penelitian yang menyangkut Pelaksanaan Perwalian Terhadap Anak Dibawah Umur pernah dilakukan oleh


(29)

Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, yaitu:

1. Nama : Meifina Rosary NIM : 057011053

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Thesis : “Tinjauan yuridis terhadap perwalian pada anak muslim dibawah umur menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam” (studi kasus di pengadilan Negeri Medan).

2. Nama : Salimah NIM : 037011075

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Thesis : “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang ditemukan akibat Gempa dan Tsunami” (penelitian di Banda Aceh).

Namun tesis-tesis tersebut, berbeda baik judul, tempat penelitian, maupun permasalahannya dengan penelitian ini. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tesis-tesis tersebut adalah:

Judul tesis Meifina Rosary “Tinjauan Yuridis Terhadap Perwalian Pada Anak Muslim di bawah Umur Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam” (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan). Dengan rumusan masalah:

1. Bagaimana tinjauan perwalian terhadap anak muslim dibawah umur menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam?


(30)

2. Bagaimana cara pengangkatan terhadap wali bagi anak muslim di bawah umur di Pengadilan Agama?

3. Apa yang menjadi pertimbangan hakim di Pengadilan Agama dalam pengangkatan terhadap wali bagi anak muslim dibawah umur?

Judul tesis Salimah “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang ditemukan akibat Gempa dan Tsunami” (penelitian di Banda Aceh). Dengan rumusan masalah:

1. Bagaimanakah kriteria anak korban gempa dan tsunami yang secara khusus mendapat perlindungan hukum dan bagaimana bentuk perlindungan hukumnya?

2. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam upaya perlindungan hukum terhadap anak yang diketemukan akibat gempa bumi dan tsunami?

3. Upaya apa yang dilakukan untuk mencegah terjadinya Child Trafficking (perdagangan anak) terhadap anak korban gempa dan tsunami?

Penulis tertarik membahas penelitian dengan judul “tinjauan yuridis pelaksanaan perwalian terhadap anak dibawah umur pasca tsunami di Aceh” (studi di Banda Aceh), khususnya dalam konteks perwalian di Aceh setelah bencana gempa dan tsunami, yang menyebabkan sistem perwalian yang dilaksanakan pada umumnya bukan dari hasil penunjukkan berdasarkan hukum formal, tetapi berdasarkan persetujuan bersama dalam keluarga atau komunitas dalam masyarakat setempat. Dimana pengelolaan harta milik si anak yang membutuhkan wali, tidak dijalankan sesuai petunjuk hukum, melainkan berjalan apa adanya, yang berdasarkan pada kesepakatan dan kenyakinan dalam masyarakat, sehingga hal ini menyebabkan tidak


(31)

memiliki suatu kepastian hukum, banyak anak-anak yang tidak memiliki orang tua dan membutuhkan suatu kepastian hukum dalam kedudukan perwalian, maka diperlukan suatu putusan hukum yang mengikat.

Berdasarkan pembuktian diatas dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan melalui proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu masalah dan “suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya”.17

Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa salah satu arti teori ialah:

“pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu”18.

Menurut J. Supranto “teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab”19.

Otje Salman dan Anton F Susanto, mengutip pendapat W.L.Neuman yang menyebutkan, bahwa:

17M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, Hal 203 18

W.J.S.Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hal.1055.

19J.Supranto,Metode Penelitian Hukum Dan Statistik,Rineka Cipta, Jakarta, 2003,


(32)

“Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”20.

Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian teori menurut pendapat beberapa ahli, dengan rumusan sebagai berikut:

“Kerangka Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum”.21

Menurut M Solly lubis. “Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang bagi pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang mungkin ia setujui ataupun yang tidak disetujui, ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti”.22

Teori ini sendiri adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atas segala gejala yang ada atau “seperangkat proposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antara variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang di gambarkan oleh variabel dengan lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut”.23

20

HR.Otje Salman S dan Anton F Susantop,Teori Hukum,Refika Aditama, Bandung, 2005, hal, 22.

21

Ibid,hal. 23.

22

M. Solly Lubis (I),Filsafat Ilmu Dan Penelitian,(Bandung ; Mandar Maju,1994), hal. 80,


(33)

Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah merupakan suatu keharusan. Hal ini dikarenakan, kerangka teori itu digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas, adapun teori yang digunakan teori Hukum Pembangunan yang dikemungkakan Mukhtar Kusumaatmaja yang memakai kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalamnya. Pada dasarnya “Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat(law as a tool of social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang”.24

Menurut Lilik Mulyadi yang mengutip pendapat Mukhtar Kusumaatmadja, menyebutkan bahwa:

Tujuan pokok hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.25

Hukum sebagai sarana pembaharuan terkait erat dengan cita-cita pembangunan hukum nasional yang dapat menjawab kebutuhan hukum masyarakat, seperti diketahui “masyarakat Indonesia adalah masyarakat yangpluralis dan dalam

24Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju,

Bandung, 2003, hal 5.

25

Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja, http://www.badilum.info/images/stories/artikel/kajian_deskriptif_analitis_teori_hukum_pembangunan. pdf, terakhir diakses 16 pebruari 2012.


(34)

budaya hukum Indonesia dikenal 3 (tiga) tradisi normatif, yaitu Hukum Adat Pribumi, Hukum Islam dan Hukum Sipil Belanda”.26

“Bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan itu dapat berupa itikad baik (tegoeder trouw)dalam berhukum untuk membangun sistem hukum yang baik, maka

diperlukan suatu basis yang kokoh yang diatasnya sistem hukum dapat dibangun”,27

dengan kata lain hukum sebagai teks dapat berjalan sebagai mana mestinya jika di barengi dengan itikad baik dari pihak yang bersentuhan dengan hukum tersebut.

Bismar Nasution menyatakan “dalam memenuhi adanya kepastian hukum dan ketertiban tersebut harus berdasarkan pada tindakan nyata dalam pelaksanaan perwalian tersebut, dengan menggunakan prinsip-prinsip yang berdasarkan pada keadilan, keterbukaan, pertanggung jawaban dan tanggung jawab”.28

Selain itu menurut Andrian Suhedi Keadilan adalah :

Suatu ukuran normatif yang sering dikaitkan dengan good governanceuntuk dapat menciptakan keadilan diperlukan beberapa prasyarat yang saling terkait satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi, diantaranya berupa 1. Transparansi(transparancy);

2. Akuntanbilitas(accountanbility); 3. Kepastian(predictability); 4. Partisipasi(partisipation).29

Bekerjanya hukum tidak terlepas dari pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Satjipto Raharjo mengemukakan bahwa:

26

Ratno Lukito,Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, Studi tentang Konflik dan resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Terjemahan Pustaka Alphabhet, Jakarta, 2008, hal. 9.

27

Satjipto Raharjo,Hukum dan Perilaku, hidup baik adalah dasar hukum yang baik,Penerbit Kompas Media Nusantara, Jakarta,2009.

28

Bismar Nasution,Peranan Birokrasi dalam Mengupayakan Good Governace : Suatu Kajian dari Pandangan Hukum dan Moral, Makalah yang disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia”reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-Prinsip Good Governance”, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara.

29


(35)

“Hukum tidak bekerja menurut ukuran dan pertimbangannya sendiri melainkan dengan dengan pemikiran dan pertimbangan apa yang baik yang dilakukan bagi masyarakat, sehingga muncul persoalan bagaimana membuat keputusan yang pada akhirnya bisa memberikan sumbangan terhadap efesiensi produksi masyarakatnya”.30

Pelayanan hukum harus memenuhi rasa keadilan didalam masyarakat, walaupun rasa keadilan itu sulit untuk dipastikan namun setidaknya harus memenuhi suatu ukuran normatif yang hidup didalam masyarakat yang akan melahirkan suatu kepastian hukum.

Banyak negara berkembang yang mencantumkan gagasan ideal negara hukum, The Rule of Law pada konstitusi yang dibuatnya, namun hal tersebut tidak

menjadi jaminan, didalam pelaksanaannya ternyata banyak pihak yang tidak tunduk dan taat terhadap hukum. Seperti yang dikemukakan Irmayani yang mengutip pendapat Jan Michiel Otto “bahwa hanya ada sedikit kepastian hukum yang nyata di Negara-negara berkembang karena terdapat ketidaksesuaian aturan hukum dengan pelaksanaanya”.31

Ketiadaan hukum yang efektif untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat di Negara berkembang, menimbulkan sikap frustasi, pada kenyataannya untuk menciptakan dan mendatangkan keadilan di masyarakat, “hukum pada saat ini

30

Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 146.

31 Irmayani, Akuntabilitas Tim Pengamat Kemasyarakatan (TPP) Pada Pelaksanaan

Pembinaan Narapidana Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Tesis,Medan, 2009, hal.37.


(36)

malah sering menjadi masalah daripada menyelesaikan masalah, bahkan tidak sedikit yang bersikapaprioriterhadap hukum”.32

Senada dengan Irmayani yang juga mengutip pendapat Jan Michiel Otto, bahwa :

Hukum menjadi tidak efektif karena faktor-faktor yang secara yuridik dan nonyuridik. Misalnya penegak hukum Negara-negara berkembang sering sekali kesulitan mencari dan menemukan aturan hukum mana yang berlaku dalam menghadapi situasi konkrit, begitupun dengan penerapan interprestasi yang digunakan. Setidaknya ada tiga jenis faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepastian hukum nyata yaitu:

1. Aturan-aturan hukum itu sendiri;

2. Instalasi-instalasi yang membentuk dan menerapkan hukum;

3. Lingkungan sosial yang lebih luas yaitu politik, ekonomi, sosial-budaya.33

Perlindungan anak yang merupakan suatu bidang pembangunan nasional, dimana hakikat pembangungan nasional adalah membangun manusia seutuhnya, yang mana melindungi anak adalah melindungi manusia yaitu membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak menimbulkan berbagai permasalahan sosial, yang dapat menggangu ketertiban, keamanan dan pembangunan nasional. Berarti perlindungan anak yang salah satu upayanya yaitu melalui perwalian, yang harus diusahakan apabila ingin mensukseskan pembangunan Nasional.

Di samping teori utama yang dipergunakan sebagai alat analisis penelitian ini, juga akan didukung dengan beberapa teori lain sebagai teori pendukung yaitu teori


(37)

perwalian. “Setiap orang harus ada walinya, wali itu dapat terdiri dari orang tuanya atau orang lain yang ditunjuk oleh orang tuanya atau ditetapkan oleh Pengadilan. Wali ini penting dalam hubungannya dengan perkawinan bila yang bersangkutan perempuan, berkaitan dengan harta benda dan pewarisan”.34

Sebagaimana telah disebutkan bahwa teori perwalian sebagai teori pendukung, teori ini penting diikut sertakan karena pada dasarnya semua orang harus ada walinya. Wali terhadap anak secara realitas memang sangat dibutuhkan. Setiap ada urusan tentang anak selalu dikaitkan dengan orang tua atau walinya.

Teori pendukung lain adalah teori keadilan. “Merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang hak mengasuh, merawat, memelihara dan mewujudkan perlindungan hak-hak anak”.35

“Dapat dipastikan adanya ketidakadilan apabila anak yang telah hilang orang tuanya tidak mendapat perhatian apapun dari orang lain atau juga tidak adil apabila orang tua yang tidak memperoleh anak tidak mendapat tempat mencurahkan kasih sayangnya”.36

Selain teori-teori diatas juga di ikutkan teori pengayoman. Menurut Soediman Kartohadiprodjo:

Hukum melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan di masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi, melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan

34 Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Ditinjau Dari Hukum Islam. http://www. repository.usu.ac.id, terakhir diakses tanggal 17 Maret 2012

35

Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah, Jilid 8, , Al-Maarif, Bandung, 1994, hal. 160.

36A. Hamid Sarong, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, Ringkasan


(38)

dalam berbagai kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tentram.37

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. “Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas”.38

Selanjutnya, Sumandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud dengan konsep. Menurut beliau, “sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digenaralisasi dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional”.39

Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti. ”Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan dalam fakta-fakta tersebut”.40

Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah yang dibahas. Karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu masalah, tidak boleh memiliki makna ganda. Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka

37

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Pembangunan, Jakarta, 1993, hal. 245.

38Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survey,LP3ES, Jakarta, 1999, hal 34 39


(39)

penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa variabel yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang dibahas. Disamping itu, dengan adanya penegasan kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan pandangan dalam menganalisa masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek yuridis, maupun dipandang dari aspek sosiologis.

Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

a. Perwalian adalah:

“Kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau badan sebagai wakil dari anak atau sebagai pengampu dari orang yang tidak cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum demi kepentingan dan atas nama anak atau orang yang tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya tidak cakap melakukan perbuatan hukum.”41

Secara etimologi pewalian dalam bahasa Indonesia ialah “segala sesuatu yang menjadi urusan wali”.42 Dalam bahasa Arab disebut dengan Wilayah.

“Perwalian ialahAn-Nasrah(pertolongan)”.43

Secara terminologi (istilah) perwalian merupakan “Kekuasaan melakukan akad dan transaksi, baik akad nikah maupun akad lainya tanpa

41

Pasal 1 butir 25 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007, Tentang Baitul Mal.

42WJS. Poerwadarminta,Kamus Besar Bahasa Indonesia,PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976,

hal. 1147.


(40)

ketergantungan kepada orang lain. Para Fugaha (ahli Hukum Islam) juga membagi perwalian atas perwalian diri pribadi dan atas harta”.44

b. “Wali adalah seseorang yang bertindak menggantikan orang tua sianak yang belum dewasa atau belum akil baliq untuk melaksanakan perbuatan hukum”.45

c. Pengertian anak adalah “seseorang yang masih dibawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin”.46

Pengertian anak secara khusus adalah sebagai berikut :

Menurut pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan”.

d. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

e. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Hak mempunyai dua makna yang asasi yaitu: “(1) sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam hubungan manusia

44Zakiyuddin Sya’ban,Al-hakam as-syar’iyyahll ahwal asSyakhshiyyah, Dar an- Nahdhah

al-arabiyah, Kairo, 1969, hal, 214.

45

Yan Pramudya Puspa,kamus hukum, cv. Aneka, Semarang , 1977, hal 894.

46

Aminah Azis,Aspek hukum Perlindungan Anak, Universitas Sumatra Utara press, Medan, 1998, hal. 18 -19


(41)

sesama manusia baik mengenai orang maupun harta bendanya, (2) kekuasaan menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang bagi selainnya.”47 f. Peraturan perundang-undangan adalah aturan-aturan atau norma-norma yang

diterbitkan atau dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur permasalahan yang berkembang didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peraturan hukum adalah memberikan tata tertib dan menjamin adanya kepastian hukum didalam masyarakat tetap dipelihara sebaik-baiknya dengan harapan setiap warga taat mematuhi peraturan hukum yang berlaku. g. Qanun adalah adalah “Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang

di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus”.48

h. Baitul Mal adalah “Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam”.49

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Sifat penelitian adalah yuridis normatif, dengan menggunakan “pendekatan perundang-undangan (statue approach)”,50 yang mengfokuskan pada mengumpulkan

47

Iman Jauhari,Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hal. 86-87.

48

Pasal 1 angka 8 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2001 Tentang Otonomi khusus Bagi provinsi daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

49

Pasal 1 butir 25 Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 Tentang Baitul Mal.

50Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum,edisi pertama, cetakan kelima, Prenada Media


(42)

semua perundang-undangan yang terkait dengan perwalian, kemudian menganalisa hukum baik yang tertulis di dalam buku, melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaannya di Indonesia maupun hukum yang diputuskan melalui proses pengadilan.

Penelitian ini mengunakan metode deskriptif analitis, yang maksudnya adalah “suatu analisis data yang tidak keluar dari suatu ruang lingkup sampelyang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan seperangkat data atau menunjukan kamparasi datayang ada hubungannya dengan seperangkat data lain”.51

Dengan demikian penelitian ini diarahkan untuk menggambarkan dan sekaligus juga menganalisis fakta-fakta tentang perwalian dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai wali dari anak dibawah umur. Sehingga pada akhirnya didapatkan gambaran tersebut dengan melihat kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap aturan hukum tentang perwalian ini.

2. Sumber Data

Dalam penulisan ini sumber data yang digunakan diperoleh dari data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier dan data primer, yaitu sebagai berikut:

1. Data Sekunder,

Terdiri dari bahan hukum primer, merupakan bahan hukum terkait, yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki perundang-undangan.


(43)

Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi seperti buku-buku teks, kamus-kamus hukum, hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, makalah, majalah dan sebagainya, serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan tentang masalah.

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum dan eksiklopedia dalam penelitian ini.

2. Data Primer

Data primer dilakukan dengan cara mengadakan wawancara secara langsung terhadap pihak terkait untuk melakukan dan memastikan validasi terhadap data sekunder yang telah diperoleh dalam rangka melakukan pemecahan masalah. 3. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan

Menurut Bambang Waiuyo.“Sebagai penelitian hukum yang bersifat normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research) yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah, koran, artikel dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.”52

b. Wawancara

Disamping studi kepustakaan, penelitian ini juga melakukan “wawancara”53 untuk mendapatkan data pendukung menjamin ketepatan dan keabsahan hasil

52Bambang Waiuyo,Penelitian Hukum Dalam Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 14. 53

Hermawan Warsito, Penghantar Metode Penelitian ,buku panduan mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama,1997, hal. 71. Mengatakan wawancara merupakan alatq pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya, yaitu pewawancara,(interviewer),Responden, pedoman wawancara dan situasi wawancara.


(44)

wawancara, maka wawancara dilakukan dengan narasumber yang memiliki kompetensi keilmuan dan otoritas yang sesuai, yaitu:

1. Ketua Mahkamah Syar’iyah kota Banda Aceh; 2. Anggota Baitul Mal kota Banda Aceh;

3. Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh. 4. Analisis Data

Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat deskriftif analistis, dimana analisis data merupakan sebuah “proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan”54.

Menurut Koentjoroningrat. “Kegiatan analisis dimulai dengan melakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul, baik dari inventarisasi peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah yang berkaitan dengan judul penelitian, baik media cetak dan laporan-laporan penelitian lainnya mendukung studi pustaka kemudian wawancara digunakan untuk mendukung analisis data.”55

54Lexy Moleong,Metode Penelitian Kualitatif,Penebit Remaja Rosdakarya. Bandung. 2004.


(45)

BAB II

TINJAUAN TENTANG HUKUM PERWALIAN BAGI ANAK YANG TIDAK ADA ORANG TUANYA

A. Pengertian Anak dan Batasan Usia Anak 1. Pengertian Anak

Berbicara masalah perwalian maka tidak telepas dari pembahasan anak dan batas usia seorang anak, ini penting karena untuk mengetahui bilamana seseorang anak diletakkan dibawah perwalian dan dapat mempertangung jawabkan suatu suatu perbuatanya.

Dalam bahasa arab “anak disebut walad, satu kata yang mengandung

penghormatan, sebagai makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangannya kearah abadi Allah yang saleh”.56

Dengan memandang anak dan kaitannya dengan perkembangan membawa arti sebagai berikut:

1) “Anak diberikan tempat khusus yang berbeda dengan kehidupan dengan orang dewasa;

2) Anak memerlukan perhatian dan perlakuan khusus dari orang dewasa dan para pendidiknya, artinya kehidupan anak tidak dipenggal dan dilepaskan dari dunianya serta dimensi dan prospeknya.”57

Dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi dapat di telaah dari sisi pandang

56

Iman Jauhari,Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami,Op, Cit, hal. 81


(46)

sentralistis kehidupan. Misalnya agama, hukum dan sosiologi menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Untuk meletakkan anak kedalam pengertian subjek hukum maka diperlukan unsur-unsur internal maupun eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut.Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

a. Unsur internal pada diri anak yaitu anak sebagai subjek hukum atau sebagai manusia, anak juga digolongkan sebagai Human Right yang terkait dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan dimaksud diletakkan pada anak dalam golongan orang yang belum dewasa, seseorang yang berada dalam perwalian, orang yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum. Persamaan hak dan kewajiban anak, anak juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan dengan orang dewasa yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dalam melakukan perbuatan hukum. maka hukum meletakan anak dalam posisi sebagai perantara hukum untuk dapat disejajarkan dengan kedudukan orang dewasa atau untuk disebut sebagai subjek hukum. b. Unsur eksternal pada diri anak ini didasarkan pada ketentuan hukum atau

persamaan kedudukan dalam hukumEquality Before The Lawdapat memberikan

legalitas formal terhadap anak sebagai seorang yang tidak mampu untuk berbuat peristiwa hukum yang ditentukan oleh ketentuan peraturan-peraturan hukum itu sendiri, atau meletakan ketentuan hukum yang memuat perincian tentang klasifikasi kemampuan dan kewenangan berbuat peristiwa hukum dari anak yang


(47)

pemerintah yang timbul dari Undang Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan.

Untuk dapat memahami pengertian tentang anak itu sendiri sehingga mendekati makna yang benar, diperlukan suatu pengelompokan yang dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek agama, ekonomi, sosiologis dan hukum dimana pengertian dari masing-masing aspek memiliki perbedaan baik dari subtansi, fungsi, makna dan tujuannya misalnya “pengertian anak menurut agama diartikan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang arif dan berkedudukan mulia yang keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan kehendak Tuhan Yang Maha Esa”.58

Berbeda halnya dalam kaitannya kedudukan anak dalam status sosial yang memposisikan anak sebagai kelompok sosial yang berstatus lebih rendah dari masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi, ini disebabkan karena keterbatasan kemampuannya dalam proses pertumbuhan, belajar dan sosialisasisnya, akibat usia yang belum dewasa.

Dalam pengertian ekonomi anak cenderung dianggap kepada golongan yang tidak produktif, maka oleh itu dianggap perlu adanya pengaturan untuk terciptanya kesejahteraan dari anak tersebut supaya tidak menjadi korban dari tindakan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara untuk melakukan kegiatan ekonomi atau kegiatan produktifitas yang dapat menghasilkan nilai-nilai ekomomi.

58 Salimah, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Ditemukan Akibat Gempa Dan


(48)

Dalam pengertian politik anak pada umumnya diartikan sebgai seseorang yang masih dibawah usia tertentu, belum dewasa dan belum kawin. Aminah Azis meyebutkan “Mengenai batas usia tertentu dibagi kedalam dua katagori yaitu batas usia termuda dimana pada usia ini anak tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban atas tindakan yang dilakukannya, sedangkan batas umur keatas adalah untuk menetapkan siapa saja yang sampai batas ini diberikan kedudukan sehingga diperlakukan secara khusus”.59

2. Batasan Usia Anak

Menyangkut masalah pengertian anak ini dan batas umurnya masih mempunyai ketidak seragaman pendapat, baik itu pendapat para pakar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku Senada dengan ini Muhammad Hasan Wadong juga menyebutkan batas usia anak dapat dikelompokan yaitu “pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau dapat menjadi subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukan anak tersebut”.60

Pengertian anak menurut Pasal 1 konvensi Hak-hak Anak yang diadopsi oleh Majelis Umum Peserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 yang menyebutkan anak merupakan orang berusia dibawah 18 tahun, kecuali yang berlaku bagi anak yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.


(49)

Sedangkan membicarakan batas umur dari anak menurut peraturan perundang-undangan juga memiliki perbedaan dari pembatasan usia anak ini didasari dari maksud dan tujuan dari masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut, untuk meletakkan batas usia seoarang anak ini meyebabkan pluralitas dalam menentukan batas usia seorang anak dimana diantaranya:

a. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

“Pasal 330 ayat (1) menyebutkan batas antara belum dewasa (minderjarigheid)

dengan usia telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun Kecuali anak tesebut telah kawin sebelum usianya 21 tahun atau karena pendewasaan (Venia

Aetatis).”61 Pendewasaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 419 KUH Perdata.

“Dengan melakukan perlunakan seorang anak belum dewasa boleh dikatakan dewasa atau bolehlah diberikan kepadanya hak kedewasaan yang tertentu”. Yang mana perlu atas anak yang belum dewasa tersebut dinyatakan dewasa dengan surat-surat pernyataan dewasa (Venia Aetatis) yang diberikan oleh Presiden

setelah mendengarkan nasehat dari Makamah Agung sebagaimana tersebut didalam Pasal 420 KUH Perdata.

Dari ketentuan yang tersebut pada Pasal 330 diatas dapat diketahui bahwa batasan umur anak merupakan mereka yang belum berumur 21 tahun, hal ini

61Nashriana, Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Penjara Terhadap

Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkoba,

http://www.google.com/url?q=http://eprints.unsri.ac.id/608/1/Pertimbangan_Hakim_Dalam_Menjatu hkan_Putusan_Pidana_Penjara_Terhadap_Anak_Pelaku_Penyalahgunaan_Narkoba.pdf.terakhir diakses 16 Pebruari 2012.


(50)

merupakan pembatasan yang jelas dan tegas disebutkan tentang seseorang telah dewasa atau belum dewasa.

b. Dalam Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengatur secara langsung tentang anak namun secara tersirat dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan “untuk melakukan suatu perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun haruslah mendapat izin dari orang tuanya”. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa “perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) menyebutkan “bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah melakukan pernikahan berada dibawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tuanya.”

c. Hukum Kebiasaan (Hukum Adat dan Hukum Islam)

Menurut Soerjono Soekanto. “Seorang anak dipandang sebagai suatu keturunan masyarakat, yang merupakan keturunan dari kedua orang tuanya sehingga anak tersebut mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui ayah ibunya”.62

Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seorang anak dianggap dewasa dan wenang bertindak. Dimana ukuran dewasa seseorang dapat diukur dengan melihat :


(51)

a) “Kemandirian seseorang anak (telah berkerja)

b) Cakap untuk melakukan apa yang diisyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab.

c) Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.”63

Hal berbeda diutarakan oleh Hilman Hadikusuma. “Yang menarik garis batas antara belum dewasa dan sudah dewasa tidak perlu di permasalahkan, oleh karena pada kenyataanya walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan perbuatan jual-beli, berdagang dan sebagainya walaupun dia belum wenang kawin”.64

Menurut Ter Haar. “Laki-laki atau perempuan dianggap telah cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum adalah mereka yang telah dewasa, dalam hal ini berati mereka telah menikah dan meninggalkan rumah orang tuanya dan menetap dirumah sendiri dan menjadi keluarga yang mandiri atau berdiri sendiri”.65

Perbedaan ketentuan cakap bertindak karena umur dewasa dalam uraian tersebut di atas, menunjukkan “adanya perbedaan anggapan pada kemampuan fisik dan atau mental manusia untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang terukur secara biologis atau psikologis, sehingga dinilai sanggup menyandang hak dan kewajiban khusus terhadap perbuatan hukum tertentu.”66

63Irma Setyowati Soenitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990,

hal 19

64Hilman Hadikusuma,Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, 1987, hal 10. 65

B. Ter Haar,Asas-Asas Dan Sususnan Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta, 1985, hal.166

66S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan


(52)

Tentang kedewasaan ini, merupakan salah satu dari sekian faktor yang harus diperhatikan apabila hendak melakukan suatu perbuatan hukum. Masalah tidak akan timbul jika ternyata seorang anak yang belum dewasa masih berada dibawah pemeliharaan orang tuanya. Namun apabila sianak yang belum dewasa sudah tidak berada dibawah kekuasaan orang tuannya lagi maka segala perbuatan hukum sianak harus diwakilkan oleh seseorang sebagai pengganti orang tua si anak, atas hal tersebut maka diperlukan ketentuan-ketentuan hukum mengaturnya, terutama menempatkan seorang wali dalam hal pemeliharaan seorang anak.

3. Hak-hak anak

Mengenai hak - hak anak ini kita dapat melihat dari konvensi PBB 1989 yang telah diratifikasi Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1990 yang menyebutkan seorang anak mempunyai hak –hak sebagai berikut :

1) Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman;

2) Memperoleh perlindungan dan perawatan seperti untuk kesejahteraan, keselamatan dan kesehatan;

3) Tugas Negara untuk menghormati, tanggung jawab, hak dan kwajiban orang tua serta keluarga;

4) Negara mengakui hak hidup anak, serta kewajiban Negara menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup anak;

5) Hak memperoleh kebangsaan, nama serta hak untuk mengetahui dan diasuh orang tuanya;

6) Hak memelihara jati diri termasuk kebangsaan, nama dan hubungan keluarga; 7) Hak anak untuk tinggal bersama orang tua ;

8) Kebebasan menyatakan pendapat atau pandangan; 9) Kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama ;

10) Kebebasan untuk terhimpun, berkumpul dan berserikat;

11) Hak memperoleh informasi dan beraneka ragam sumber yang diperlukan; 12) Memperoleh perlindunganterhadap kekerasan fisik, mental, penyalahgunaan,

pelantaran atau perlakuan salah (ekploitasi) serta penyalah gunaan seksual; 13) Memperoleh perlindungan hukum terhadap gangguan (kehidupan pribadi,


(53)

14) Perlindungan anak yang tidaak mempunyai orang tua menjadi kwajiban Negara;

15) Perlindungan anak yang bersetatus pengunsi; 16) Hak perawatan khus bagi anak cacat;

17) Memeperoleh pelayanan kesehatan;

18) Hak memperoleh jaminan sosial (asuransi social);

19) Hak anak atas taraf hidup yang layak bagi pengembangan mental fisik dan social;

20) Hak anak atas pendidikan;

21) Hak anak untuk beristirahat dn bersenang-senang untuk terlibat dalam kegiatan bermain, berkreasi dan seni budaya;

22) Hak atas perlindungan dari ekploitasi ekonomi; 23) Perlindngan dari pengguana dari obat telarang;

24) Melindungi anak dari segala bentu eksploitasi seksual;

25) Perlindunga terhadap penculikan dan penjualan atau perdangan;

26) Melindungi terhadap semua bentuk ekspoitasi terhadap segala aspek kesejahteraan anak;

27) Larangan penyiksaan atau hukuman yang tidak manusiawi;; 28) Hukum acara peradilan anak;

29) Hak memperoleh bantuan hukum baik didalam atau diluar pengadilan.67

B. Pengertian dan macam-macam perwalian 1. Pengertian Perwalian

Masalah perwalian anak tidak lepas dari suatu perkawinan, karena dari hubungan perkawinanlah lahirnya anak atau anak-anak dan bila pada suatu ketika terjadi perceraian, salah satu orang tua atau kedua orang tua meninggal dunia maka dalam hal ini akan timbul masalah perwalian, dan anak-anak akan berada dibawah lembaga perwalian. Wali merupakan orang yang mengatur dan bertanggung jawab terhadap kepentingan anak-anak tersebut baik mengenai diri sianak maupun harta benda milik anak tersebut.


(54)

Sebelum perwalian timbul maka anak anak berada dibawah Kekuasaan orang tua yang merupakan kekuasaan yang dilakukan oleh ayah atau ibu, selama ayah atau ibu masih terikat dalam perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Kekuasaan itu biasanya dilakukan oleh siayah, namun jika siayah berada diluar kemungkinan untuk melakukan kekuasaan tersebut maka si ibu yang menjadi wali.

Pada umumnya kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak yang belum dewasa, meskipun orang tua dari anak yang belum dewasa tersebut kehilangan hak menyelenggarakan kekuasaan orang tua atau menjadi wali, hal itu tidak membebaskan orang tua sianak dari kewajiban untuk memberikan tunjangan untuk membayar pemeliharaan atau pendidikannya sampai anak tersebut menjadi dewasa.

Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak awliya. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti teman, klien, sanak atau pelindung. Dalam literatur fiqih Islam perwalian disebut dengan “Al-walayah (orang yang mengurus atau yang mengusai sesuatu), sedangkan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan.”68

Adapun yang dimaksudkan dengan perwalian dalam terminologi para Fuqaha (Pakar Hukum Islam) yang di formulasikan dalam istilah Wahbah Al- Zuhayliialah “kekuasaan otoritas yang dimiliki seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tampa harus bergantung (terikat) atau seizin orang lain.”69

68Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Dikeluarga Islam, PT Raja Grafindo,


(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Amirullah,Himpunan Peraturan Baitul Mal,Banda Aceh, Juli 2008; Azis, Aminah,Aspek Hukum Perlindungan Anak, grasindo Jakarta, 2000;

Chandra, S,Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan Di Kantor Pertanahan, Gresindo, Jakarta, 2005;

Darmabrata ,Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif,Hukum Perkawinan Dan Keluarga Di Indonesia, cet,2, badan penerbit Fakultas Hukum Indonesia, Jakarta, 2004; Djamin, Djanius dan Samsul Arifin, Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi

Keuangan dan Perbankan Perbanas, Medan, 1992.

Hadikusuma, Hilman,Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, 1987; Hisyam, M.Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996;

Hurdi, Ahmad,Al-Ahwal as Syakhshiyah, Maktabah Kuliyah Alrabiyah, Mesir,1969; Jauhari, Iman, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami,

Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003;

---,Hak-hak anak Dalam Hukum Islam,Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003; Junaedi, Dedi, Bimbingan Perkawinan, Akademika Pressindo, Cet pertama, Jakarta

2000;

Kartohadiprodjo, Soediman, Pengantar TataHukum Indonesia, Pembangunan, Jakarta, 1993;

Koentjoroningrat,Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 1997; Lukito, RatnoHukum Sakral dan Hukum Sekuler, Studi tentang Konflik dan resolusi

dalam Sistem Hukum Indonesia, Terjemahan Pustaka Alphabhet, 2008; Lubis, M Solly. (I),Filsafat Ilmu Dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994;


(2)

Masdoeki, Arif dan M.H TirtaHamidjaja, Masalah Perlindungan Anak, Akademika Persindo, Jakarta ,1963;

Marzuki , Peter Mahmud,Penelitian Hukum, edisi pertama, cetakan kelima, Prenada Media Grup, Jakarta, 2009;

Mughniah, M Jawad,Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Cet 5, Jakarta. 2000;

Moleong, Lexy,Metode Penelitian Kualitatif,Penebit Remaja Rosdakarya. Bandung. 2004;

Puspa, Yan pramudya,kamus hukum, cv. Aneka, Semarang, 1977;

Poerwadarminta, WJS,Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1976;

---,Kamus Umum Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, 1985; Prodjohamidjojo, Martiman,hukum perkawinan Indonesia, Indonesia legal Center

Publishing, Jakarta ,2002.

Rasjidi, Lili dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003;

Raharjo, Satjipto, Hukum dan Perilaku, hidup baik adalah dasar hukum yang baik, Penerbit Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009;

---,Ilmu Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006;

Rasjid, H SulaimanFiqih Islam ,Sinar baru Algesindo, Cet 34, Jakarta, 2001; Rofiq Ahmad,hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta 2003;

Salman S HR.Otje Salman dan Anton F Susantop, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005;

Subekti, R,Pokok-pokok Hukum Perdata,PT. Intermasa, Jakarta, 1992

---. dan Tjitrosudibio. R., Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet.39 Pradnya Paramita, Jakarta, 2008;


(3)

Supranto. J,Metode Penelitian Hukum Dan Statistik,Rineka Cipta, Jakarta, 2003; Suhedi Andrian, PrinsipKeterbukaan dalam Pasar Modal, Rekturisasi Perusahaan

dan good Corporate Government, Cipta Karya, Jakarta, 2006;

Summa, Muhammad Amin hukum keluarga islam dikeluarga islam, PT Raja Grafindo, Jakarta. 2005;

Sumardjono, Maria S.W, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia Yogyakarta, 1989;

Sunggono, BambangMetodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997;

Sabiq, Sayyid , Fiqh Sunnah, Jilid 8, Al-Maarif, Bandung, 1994; Sarjono, R.,Masalah Perceraian. Cet 1,Academika, Jakarta, 1979;

Soekanto, Soejono,Pengantar Penelitian Hukum,cetakan kedua,UI-Press, 1986; ---,Hukum Adat Indonesia, PT raja Graindo Persada, Jakarta, 2002; Soenitro, Irma setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta,

1990

Suryabrata, Sumandi, Metodelogi Penelitian, PT. Raja Grafindo persada, Jakarta, 1998;

Sya’ban, Zakiyuddin, Al-hakam as-syar’iyyahll ahwal asSyakhshiyyah, Daran-Nahdhah al-arabiyah, Kairo,1969;

Syahar, Saidus,Undang-Undang Perkawinan Dan Masalah Pelaksanaanya Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1976;

Ter Haar, B.Asas-Asas Dan Sususnan Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta, 1985 Waiuyo, Bambang,Penelitian Hukum Dalam Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, 1996; Warsito, Hermawan, Penghantar Metode Penelitian,buku panduan mahasiswa, PT.

Gramedia Pustaka Utama,1997;

Wadong, Maulana hasan,Advokasi dan hukum perlindungan anak, grasindo, Jakarta, 2000.


(4)

Wirjono R. Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1960 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974;

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2001 Tentang Otonomi khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai provinsi nanggroe aceh Darussalam;

Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 tahun 2007;

Kompilasi Hukum Islam;

Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 Tentang Baitul Mal;

KARYA ILMIAH/MAJALAH/JURNAL

Irmayani, Akuntabilitas Tim Pengamat Kemasyarakatan (Tpp) Pada Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Prespektif Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Tesis, Medan, 2009;

Ismail, Badruzzaman ‘Wali perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi NAD’ paper dipresentasikanpada wokshop Pewalian Anak, yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah Prov.Aceh, Putroe Kande Foundation dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005;

Muazzul, perlindungan hukum terhadap anak-anak terlantar di kota medan ditinjau dari aspek hukum perdata dan hukum Islam, tesis, universitas Sumatra Utara, 2002;

Sarong, A. Hamid, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, ringkasan hasil penelitian, USU, Medan, 2007;

Salimah, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Ditemukan Akibat Gempa Dan Tsunami(Penelitian Dikota Banda Aceh), Tesis, Medan,2005;


(5)

Serambi Indonesia, Baitul Mal Aceh Tetapkan Lima Program Unggulan, Edisi 13 Oktober 2010;

Syahrizal, ‘Wali Perempuan dalam Perundang-undangan Indonesia’; makalah yang dipresentasikan di Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan oleh Mahkamah Syar’iyah Propinsi NAD, Putroe Kande Foundation dan UNIFEM,Banda Aceh, 9-11 September 2005;

Siti Hafsah Ramadhanay, Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan Selaku Wali Pengawas Terhadap Harta Anak Dibawah Umur (Study Mengenal Eksitensi Balai Harta Peninggalan Medan Sebagai Wali Pengawas), Tesis, Sps-Usu, Medan 2004;

Dewi, Ernita, Perempuan Aceh dihadapan Hukum setelah Konflik dan Tsunami berlalu, laporan Case Studi , International Development Law Organisation Post-Tsunami Legal Assistance Initiative For Indonesia and United Nation Development Programme Access to Justice and Capacity Building in Aceh (Aceh Justice Project), 2007;

Nasution, Bismar,Peranan Birokrasi dalam Mengupayakan Good Governace : Suatu Kajian dari Pandangan Hukum dan Moral, Makalah yang disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia”reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-Prinsip Good Governance”, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia bekerjasama dengan Program Studi Magister Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara;

INTERNET

Anonim,perwalian, www.depsos.go.id;

---, Diskusi dan Konsultasi Masalah Hukum, Pengaturan Mengenai Perwalianditinjau Dari Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perwalian-menurut-kuhperdata

Arskal Salim, Laporan Penelitian INTERNATIONAL DEVELOPMENT LAW ORGANIZATION (IDLO) Post-Tsunami Legal Assistance Initiative for Indonesia http://www.scribd.com/doc/56236393/12/c-Program-RALAS;


(6)

Chairul Fahmi, Perwalian, http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf;

Nashriana, Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Penjara Terhadap Anak Pelaku Penyalahgunaan Narkoba, http://www.google.com/url?q=http://eprints.unsri.ac.id/608/1/Pertimbangan_ Hakim_Dalam_Menjatuhkan_Putusan_Pidana_Penjara_Terhadap_Anak_Pel aku_Penyalahgunaan_Narkoba.pdf.

Puteh ,H. M. Saleh eksistensi mahkamah syar’iyah Menurut peraturan perundang-Undangan dan qanun http://www.ms-aceh.go.id/informasi-umum/artikel/123-eksistensi-mahkamah-syariyah-menurut-peraturan-perundang-undangan.html ; Lilik Mulyadi, Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja, http://www.badilum.info/images/stories/artikel/kajian_deskriptif_analitis_teor i_hukum_pembangunan.pdf;

Pengaturan Tentang Perwarisan, Perwalian dan Perbankan dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2007, http://www.idlo.int/bandaacehawareness.HTM.2007;

Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Ditinjau Dari Hukum Islam. http://www. repository.usu.ac.id, ;

Dinamika-pembangunan-hukum-di-nanggroe-aceh-darussalam-pasca-gempa-dan-

tsunami-sebuah-refleksi-antara-cita-dan-realitas&catid=40:article&Itemid=294

http://www.isjn.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=186 Sisa-masalah-hukum pascatsunami, /http://ismailhasani.wordpress.com/2005/12/26/; Prinsip-Prinsip-Dan-Asas-Asas-Hukum


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Pengurusan Harta Kekayaan Anak Angkat Dibawah Umur pada WNI Keturunan Tionghoa (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2161 K/PDT/2011)

2 91 130

Bentuk-bentuk Kekerasan Seksual Terhadap Anak Di Bawah Umur

0 80 9

Tinjauan Yuridis Terhadap Sengketa Pemeliharaan Anak Di Bawah Umur Sebagai Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mano. 23/Pdt.G/2013/Pa.Bik )

1 55 89

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN ORANG DEWASA DENGAN ANAK DI BAWAH UMUR Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Orang Dewasa Dengan Anak Diwah Umur (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Boyolali).

0 0 15

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DAN AKIBAT HUKUMNYA Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan Anak Di Bawah Umur Dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus di Pengadilan Agama Sukoharjo).

0 3 14

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DAN AKIBAT HUKUMNYA Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan Anak Di Bawah Umur Dan Akibat Hukumnya (Studi Kasus di Pengadilan Agama Sukoharjo).

0 10 21

BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM PERWALIAN BAGI ANAK YANG TIDAK ADA ORANG TUANYA A. Pengertian Anak dan Batasan Usia Anak 1. Pengertian Anak - Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian Terhadap Anak Di Bawah Umur Korban Tsunami Di Aceh

0 0 28

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perwalian Terhadap Anak Di Bawah Umur Korban Tsunami Di Aceh

0 0 27

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PERWALIAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR KORBAN TSUNAMI DI ACEH

0 0 15

PRINSIP ADAT ACEH TENTANG PERWALIAN ANAK KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI DI BANDA ACEH DAN ACEH BESAR

0 0 12