BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Yang Mengacu Kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Serta Pejabat Negara Yang Berperan Dalam Peralihan Ha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sebagai salah satu sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar

  sebagai sumber penghidupan dan mata pencaharian, bahkan tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan semenjak manusia lahir hingga manusia meninggal dunia. Manusia hidup dan berkembang biak sera melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap manusia berhubungan dengan tanah.

  Tanah dan manusia merupakan dua hal yang saling terkait erat dalam suatu perjalanan kehidupan manusia sebagai individu, makhluk sosial maupun dalam suatu kehidupan sebagai Bangsa. Hubungan antara tanah dengan bangsa dan pada gilirannya antara manusia secara individu maupun kelompok dengan tanah,

   merupakan hubungan yang hakiki dan bersifat magis-religius.

  Pentingnya tanah bagi manusia, menyebabkan tanah mempunyai nilai, terutama bagi mereka yang menjadikan tanah sebagai mata pencaharian melalui usaha pertanian dan perkebunan. Begitu pentingnya tanah dalam hubungannya dengan kehidupan manusia maka dijelaskan bahwa tanah merupakan tempat tinggal, tanah memberikan kehidupan dan penghidupan, tanah dimana manusia dimakamkan dan hubungannya bersifat magis-religius.

1 Risnarto, Dampak Sertifikasi Tanah Terhadap Pasar Tanah dan Kepemilikan Tanah Skala Kecil, Makalah. Juni 2007, hal 3.

  Pengertian tanah terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang merupakan dasar dari peraturan pertanahan di Indonesia sampai saat ini. Dalam Pasal 1 ayat (4) UUPA disebutkan tanh itu adalah permukaan bumi. Dan bumi ini terdiri dari 3 komponen yaitu permukaan bumi, tubuh bumi,dan yang ada di bawah air.

  Pasal 1 ayat (4) UUPA : “dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula di bawahnya serta yang berada di bawah air”.

  Begitu pentingnya hubungan antara manusia dengan tanah sehingga diperlukan adanya suatu kekuatan hukum di dalamnya, yang mana dalam hal ini oleh Pasal 19 UUPA dengan tegas mengamanatkan kepada pemerintah agar di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pendaftaran tanah dengan tujuan untuk mencapai kepastian hukum. Dengan terdaftarnya hak-hak atas tanah atau diberikannya hak-hak atas tanah kepada subjek hak juga diberikan wewenang untuk memanfaatkan tanah tersebut sesuai dengan peruntukkannya. Dengan demikian akan terciptalah jaminan kepastian hukum bagi subjek hak tersebut. Artinya subjek hak dijamin oleh hukum menggunakan hak kepelikan tanah tersebut untuk apa saja asal penggunaan hak tersebut sesuai peruntukkannya menurut ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, apabila semua bidang tanah telah terdaftar dan dimanfaatkan oleh pemegang haknya, idealnya secara yuridis teknis telah ada jaminan kepastian hukum terhadap semua bidang tanah yang telah terdaftar dan dampak positifnya adalah dapat mencegah terjadinya permasalahan pertanahan khususnya yang menyangkut penggunaan dan pemanfaatan serta mempertahankan hak termasuk hak kebendaan yang melekat padanya.

  BPHTB yang mulai diberlakukan sejak tahun 1998. BPHTB sebenarnya merupakan jenis pajak lama yang pernah dipungut pada masa pemerintahan penjajah tetapi dihapus seiring dengan berlakunya UUPA, dan diterapkan kembali karena dianggap sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia dewasa ini.

  BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Dalam memori penjelasan UU No. 21 Tahun 1997 tentang BPHTB disebutkan bahwa tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi social, di samping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran pajak, dalam hal ini Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

  Apabila dikaitkan dengan salah satu fungsi pajak sebagai alat memasukkan penerimaan bagi Negara (fungsi budgeter pajak) pemberlakuan BPHTB dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk meningkatkan penerimaan Negara, terutama penerimaan daerah, yang penting bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini mendasari pemikiran bahwa subjek pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan mendapat keuntungan ekonomis dari pemilikan suatu tanah dan bangunan sehingga dianggap wajar apabila diwajibkan diwajibkan untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada Negara melalui pembayaran BPHTB. Dengan memperhatikan fungsi tanah yang demikian penting bagi penyelenggaraan kehidupan masyarakat ataupun bagi pembangunan, penggalian sumber penerimaan tersebut tentunya akan berarti sekali terutama sebagai sumber pembiayaan penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan daerah.

  Walaupun demikian pengenaan BPHTB haruslah tetap memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat terutama golongan ekonomi lemah dan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur perolehan hak atas tanah dan bangunan yang tidak dikenakan pajak. Untuk itu pemerintah menetapkan suatu besaran tertentu nilai perolehan objek pajak yang tidak dikenakan pajak, di mana apabila perolehan hak yang terjadi dengan nilai perolehan di bawah besaran tersebut maka perolehan hak tersebut tidak terutang pajak. Di sisi lain apabila nilai perolehan yang terjadi di atas besaran tertentu tersebut maka pajak terutang dihitung dari selisih antara nilai perolehan dengan besaran tertentu tersebut. Dengan demikian terpenuhi keadilan dalam pengenaan pajak dengan tetap memperhatikan masyarakat kecil.

  BPHTB merupakan jenis pajak yang dihidupkan kembali dalam hal nama balik nama atas pemilikan tanah dan bangunan. BPHTB merupakan pengganti nama Bea Balik Nama atas harta tetap berupa haka atas tanah yang pernah ada pada masa penjajahan Belanda dan tidak dipungut lagi sejak diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dengan melihat kondisi masyarakat dan perekonomian nasional maka pemerintah bersama memandang perlu diadakan pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan dengan nama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Tarif yang ditetapkan menurut Undang-Undang BPHTB adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak. Dengan demikian semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan di luar ketentuan Undang-Undang BPHTB tidak diperkenankan.

  B.

  Permasalahan Kesenjangan antara apa yang seharusnya dan apa yang ada dalam kenyataan, antara apa yang diperlukan atau apa yang tersedia, serta antara harapan dan kenyataan, maka penulis mengangkat beberapa permaslahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

  Daerah dan Retribusi Daerah mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan? 2. Bagaimanakah peran Pejabat-pejabat Negara dalam peralihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan yang mengakibatkan timbulnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

  Bangunan serta kendala-kendala yang paling sering dijumpai dalam pelaksanaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tersebut? 3. Peralihan-peralihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan yang bagaimanakah yang menimbulkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan?

  C.

  Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.

  Tujuan

  Dalam penulisan skripsi ini, tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memperoleh gambaran secara konkrit atas permasalahan yang telah diungkapkan dalam perumusan masalah tersebut di atas, yaitu : a.

  Untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

  b.

  Untuk mengetahui sejauh mana peran Pejabat-pejabat Negara dalam peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan yang mengakibatkan timbulnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta kendala-kendala yang paling sering dijumpai dalam pelaksanaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tersebut.

  c.

  Untuk mengetahui dengan jelas peralihan-peralihan hak atas tanah dan atau bangunan yang bagaimanakah yang menimbulkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

2. Manfaat a.

  Manfaat teoritis Untuk mengetahui khasanah ilmu hukum, khususnya hukum agraria di Indonesia. Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat memberikan kajian baru dalam bidang hukum agraria di Indonesia, sehingga ilmu hukum agraria semakin berkembang di masa yang akan dating.

  b.

  Manfaat praktis Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas, penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Hasil penulisan ini dapat bermanfaat terhadap pemegang hak atas suatu tanah.

  2. Hasil penulisan ini dapat bermanfaat terhadap para pemegang hak atas tanah yang ingin mengalihkan hak nya tersebut, dan bagi seseorang atau badan hukum yang akan menerima hak itu.

  3. Hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi praktisi hukum, mahasiswa ilmu hukum serta masyarakat luas di Indonesia sebagai suatu pertimbangan dalam menambah pengetahuan di bidang hukum agraria di Indonesia.

  D.

  Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di perpustakaan program studi ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian yang berjudul TINJAUAN YURIDIS TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN YANG MENGACU KEPADA UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi, penelitian ini adalah “asli”, karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yakni : jujur, rasional, objektif, dan terbuka/transparan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan tebuka atas masukan dan kritikan, serta saran-saran yang sifatnya membangun.

  E.

  Tinjauan Kepustakaan

  Dimulai adanya ordonansi Bea Balik Nama Staatblad 1924 No. 291 yang berisikan bahwa pemungutan biaya balik nama yang diakibatkan atas pemindahan hak termasuk hibah wasiat dan harta tetap. Objek pajaknya adalah merupakan barang-barang tetap dan hak-hak kebendaan atas tannah yang pemindahan haknya dilakukan dengan akta. Ordonansi tersebut tidak diberlakukan untuk Hak Agraris Eigendom menurut Pasal 51 ayat Indische Staatsregeling yaitu objek-objek yang terbatas pada titel hukum barat. Sementara itu, UU No. 5 tahun 1960 yaitu UUPA tidak mengenal hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Ordonansi 1924/291 tersebut. Hal ini disebabkan dalam UUPA dikenal dengan istilah unifikasi hukum. Oleh karena itu diadakannya UU BPHTB diharapkan dapat menkompensasi penurunan penerimaan daerah karena diberlakukaknnya Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No. 34 Tahun 2000).

  Selain itu, apabila melihat konsep tanah yaitu sebagai kebutuhan dasar untuk papan, lahan usaha, juga alat investasi yang menguntungkan, maka sewajarnya bagi yang memperoleh hak atas tanah mendapatkan keuntungan atas tanah tersebut. Oleh karena itu, bagi seseorang atau badan hukum yang memperoleh hak atas tanah dapat memberikan kontribusi kepada negara dengan membayar pajak perolehan hak atas tanah (Bea PeBeaolehan Hak atas Tanah dan Bangunan / BPHTB).

  Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) merupakan pajak yang pertama diserahkan ke Pemkot/Pemkab. Mulai 1 Januari 2011, BPHTB menjadi pajak daerah dan dikelola oleh Pemerintah Kota (pemkot) atau Pemerintah Kabupatan (pemkab). Sebelumnya, BPHTB dikelola oleh pemerintah pusat dalam hal ini DJP (Direktorat Jenderal Pajak).

  BPHTB "lahir" berdasarkan dengan Undang-undang N

  entang

  Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan, kita sebut saja UU BPHTB. Tahun 2000, UU BPHTB direvisi ke dalam Undang-undang N

  edua

  undang-undang ini memberikan kewenangan kepada DJP untuk memungut BPHTB dari rakyat Indonesia.

  Pada tahun 2009, telah diundangkan Undang-undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kita sebut saja UU PDRD. Berdasarkan UU PDRD ini, seja

1 Januari 2011 , DJP mengalihkan pengelolaan BPHTB kepada Pemerintah Kota atau Pemerintah Kabupaten.

  Secara substansi, tidak ada perubahan aturan yang signifikan antara UU BPHTB dengan UU PDRD

   .

  F.

  Metode Penelitian 1.

  Sifat dan jenis penelitian Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisa tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam perspektif Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria) dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Bagian Ketujuh Belas tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan , maka penelitian inin bersifat deskriptif analisis. Penelitian ini dilakukan secara yuridis normative, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang 2

  http://pajaktaxes.blogspot.com/p/bphtb.html dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain, mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam tinjauan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

2. Teknik pengumpulan data

  Teknik pegumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah penelusuran kepustakaan yang berupa literature dan dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan dengan objek penelitian. Oleh karena itu, sumber data penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sukender dan bahan hukum tertier.

  a.

  Bahan hukum premier, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni :

1) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945.

  2) Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian yaitu : Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang

  Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan peraturan pelaksana terkait lainnya.

  b.

  Bahan hukum sukender, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum yang berkaitan dengan hukum agrarian di Indonesia dan tentang bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

  c.

  Bahan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah atau surat kabar atau jurnal yang berkaitan dengan hukum agrarian di Indonesia, hukum tanah di Indonesia, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan di Indonesia.

  G.

  Sistematika Penulisan Berikut uraian sistematika penulisan yang merupakan gambaran isi skripsi ini :

  BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

  BAB II : Bab ini akan membahas tentang dasar-dasar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pengertian BPHTB, dasar hukumnya, prinsip dan dasar pemikiran pemungutan BPHTB, serta perkembangan BPHTB di Indonesia.

  BAB III : Bab ini akan membahas tentang saat dan kapan BPHTB menjadi pajak terutang, lalu tentang kewenangan dan kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)/Notaris dan Pejabat-Pejabat Negara di bidang pertanahan lainnya serta Pejabat Lelang Negara dalam pengaruhnya terhadap BPHTB dan akta peralihan hak atas tanah yang ada.

  BAB IV : Bab ini akan dibahas tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan lebih kepada subjek dan objek peralihan hak atas tanah dan atau bangunan yang menimbulkan pajak terutang berupa BPHTB serta bagaimana apabila adanya keberatan, banding, dan pembetulan dalam perhitungan pajak terutang BPHTB.

  BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewajiban Verifikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Di Kota Pekanbaru

6 97 144

Tinjauan Yuridis Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Yang Mengacu Kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Serta Pejabat Negara Yang Berperan Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Dan Ban

1 41 152

Pelaksanaan Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Studi Di Kota Pematangsiantar)

0 39 207

Prosedur Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan Di Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan

4 73 69

Mekanisme Pengelolaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Yang Dilakukan Pemerintah Kota Medan Sejak Dialihkan Menjadi Pajak Daerah

5 122 71

Hak Pemungutan Pajak Penghasilan Dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Atas Peralihan Hak...

0 29 5

Hak Pemungutan Pajak Penghasilan Dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan

0 35 2

Mekanisme Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Kaitannya Dengan Pendaftaran Hak Atas Tanah Atau Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Badan Pertanahan Nasional Kota Binjai

3 77 78

Tinjauan Yuridis Terhadap Pemalsuan Faktur Pajak Dihubungkan Undang-Undang No 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan

0 2 1

Tinjauan Yuridis Terhadap Kewajiban Verifikasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Atas Peralihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Di Kota Pekanbaru

0 0 16