BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN HARTA BERSAMA A. Pengertian Perceraian - Peran Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Harta Bersama Setelah Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Medan)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN HARTA BERSAMA A. Pengertian Perceraian Perkawinan pada hakikatnya akan membawa kebahagiaan bagi pasangan suami-istri, dan mereka tentu berharap perkawinannya kekal sampai akhir hayat. Tidak ada pasangan suami-istri yang menginginkan perceraian. Perkawinan

  merupakan awal hidup bersama sebagai suami-istri dan perceraian merupakan

  19 akhir hidup bersama sebagai suami-istri.

  Kehidupan rumah tangga tidak selamanya dapat berjalan dengan baik, tidak dapat dipungkiri bahwa akan terjadi perselisihan antara suami-istri, hal ini terjadi karena latar belakang suami-istri yang berbeda, baik dari segi sifat, watak, pendidikan dan cara pandang serta dari segi lingkungan yang berbeda.

  Perselisihan yang terjadi dalam hubungan suami-istri merupakan suatu hal yang wajar, namun terkadang perselisihan tersebut semakin memburuk dan tidak dapat diperbaiki lagi sehingga kehidupan rumah tangga suami-istri tersebut dirasakan tidak mungkin lagi untuk dipertahankan.Perceraian adalah berakhirnya kehidupan rumah tangga antara suami-istri ketika para pihak masih hidup dengan didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dibenarkan serta ditetapkan dengan suatu keputusan Hakim yang didaftarkan pada catatan sipil.

19 H.M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 27.

  Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dapat putus

  20

  karena kematian, perceraian, atau atas keputusan Pengadilan. Hukum Islam membenarkan dan mengizinkan perceraian kalau perceraian itu dianggap jalan yang lebih baik dari pada tetap berada dalam ikatan perkawinan yang tidak bahagia. Memaksakan kebahagiaan bukanlah kebahagiaan tetapi penderitaan, karena itulah Islam tidak mengikat mati perkawinan tetapi tidak pula

  21 mempermudah perceraian.

  Perceraian itu hendaklah hanya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir setelah segala upaya telah dilakukan untuk memperbaiki dan mempertahankan kehidupan perkawinan. Dengan kata lain perceraian itu adalah sebagai way out pintu darurat bagi suami-istri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan sesudah terjadinya perceraian.

  Pengertian perceraian menurut para ahli diantaranya, adalah: 1.

  Menurut R. Subekti, perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan

  22 putusan Hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.

  2. Menurut Soemiyati, perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan Pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami

  23 isteri.

  20 21 UU No. 1 Tahun 1974, Op.Cit., Pasal 38. H.M. Djamil Latif, Op. Cit., hal. 30. diakses pada tanggal 14 April 2015 pada pukul 12.10 WIB. diakses pada tanggal 14

  April 2015 pada pukul 12.13 WIB.

  3. Menurut P.N.H. Simanjuntak, perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan Hakim atas tuntutan

  24 salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.

  4. Menurut Erna, perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan obligasi peran masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup

  25 terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku.

  Pengaturan tentang perkawinan dan perceraian adalah ibarat dua sisi dari

  26

  mata uang yang saling terikat. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

  27

  hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sehingga perceraian pun harus dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.Pada umumnya aturan tentang perkawinan dan perceraian di dalam hukum adat dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Anggota-anggota masyarakat hukum adat yang menganut agama Islam dipengaruhi oleh hukum perkawinan dan perceraian hukum Islam, yang menganut agama Kristen/Katolik dipengaruhi hukum Kristen/Katolik, yang

  28 menganut agama Hindu/Budha di pengaruhi hukum Hindu/Budha. 24 P.N.H.Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2007), hal. 53. diakses pada tanggal 14 April 2015 pada pukul 12.27 WIB. 26 27 H. Rusdi Malik, Op.Cit., hal. 189. 28 UU No. 1 Tahun 1974, Op.Cit., Pasal 2 ayat (1).

  Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung, Mandar Maju, 2007), hal. 151. Hukum Kristen/Katolik melarang adanya perceraian, sebab perceraian adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji,Allah sangat membenci adanya perceraian karena perceraian berarti telah menentang apa yang telah Allah perintahkan kepada manusia. Dalam Kitab Injil Matius 19 ayat 6 yang menyebutkan bahwa demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu, karena

  29 itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.

  Hukum Budha tidak melarang perceraian, namun tidak juga mendukung perceraian. Ajaran Sang Guru Agung memberikan pada kita suatu cara untuk menjalankan kehidupan perkawinan dan keluarga yang harmonis, oleh karena itu apabila ada permasalahan dalam keluarga, usahakan untuk dapat diselesaikan dengan baik dan menjadikan perceraian sebagai usaha terakhir apabila usaha- usaha yang lain gagal.

  Hukum Hindu melarang membicarakan soal perceraian suami-istri, karena pada dasarnya agama Hindu menghendaki adanya kelanggengan hidup suami- istri, sehingga perceraian dapat dihindari. Ajaran Hindu menegaskan bahwa walaupun suami atau istri meninggal lebih dahulu, namun kelak di alam seberang kedua suami-istri yang telah kawin semasa hidupnya akan bertemu kembali di surga dan mempunyai hubungan yang kekal sebagai suami-istri. Dengan demikan, jika terjadi perceraian berarti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan hukum

  30 agama Hindu.

  Hukum Islam banyak mengatur soal perceraian, istilah perceraian disebut dalam bahasa Arab yaitu talak yang artinya melepas ikatan. Hukum asal dari talak 29 30 H. Rusdi Malik, Op.Cit., hal. 190.

  Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 156. adalah makruh (tercela). Perceraian dalam arti umum dibedakan atas talak dan fasakh, dalam bahasa Arab disebut furqah, berarti putusnya perkawinan. Tidak semua perceraian itu talak, tetapi talak itu sebagian dari perceraian. Perkataan

  31

  talak mengandung dua arti, yaitu: 1.

  Arti umum, setiap perceraian yang timbul karena sebab-sebab dari pihak suami, seperti khulu‟, zhihar, li‟an dan talak yang diucapkan suami kepada istrinya baik dengan kata yang jelas maupun dengan kata-kata sindiran;

  2. Arti sempit, perceraian yang timbul karena kata-kata talak yang diucapkan oleh suami secara jelas atau secara sindirian yang maksudnya melepaskan atau membebaskan istrinya dari ikatan perkawinan. Talak dapat dijatuhkan dengan cara lisan dan bagi orang bisu dapat dilakukan dengan isyarat atau dengan tulisan. Baik talak dengan lisan atau dengan tertulis jangan dibuat main-main, karena jika sampai terucap kata talak, walaupun dengan main-main atau keseleo lidah karena marah, bisa berarti jatuh talak satu

  32

  pada istri. Talak yang dapat dijatuhkan suami kepada istri ialah talak satu, talak dua, talak tiga. Jika dijatuhkan talak, mulailah dahulu dengan talak satu, kemudian talak dua dan terakhir talak tiga. Janganlah sekaligus dijatuhkan talak tiga. Talak satu dan dua berarti istri dapat rujuk kembali dengan suami tanpa melakukan akad nikah baru, sedangkan talak tiga, istri tidak dapat dirujuk kembali. Apabila istri

  31 32 H.M. Djamil Latif, Op.Cit., hal. 40.

  Hilman Hadikusuma,Op.Cit., hal. 152. telah menikah lagi dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan sudah habis masa

  33 idahnya barulah istri dapat menikah lagi dengan mantan suaminya terdahulu.

  Hukum perkawinan nasional seirama dengan hukum agama pada prinsipnya, yaitumempersulit terjadinya perceraian, karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal akibat perbuatan manusia. Lain halnya terjadi putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan

  34 manusia.

  Pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) perkawinan itu bubar dikarenakan kematian, tidak hadirnya suami atau istri selama 10 tahun yang diiringi perkawinan baru suami atau istri, keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang, pendaftaran pernyataan putusan

  35 perkawinan dalam daftar catatan sipil karena perceraian.

B. Alasan Perceraian

  Perkawinan yang sudah tidak menemukan kebahagiaan dan membawa kemaslahatan serta jauh dari ridha Tuhan, maka dapat dimaklumi kalau perkawinan itu harus diakhiri, akan tetapi perceraian janganlah dianggap semudah membalikan telapak tangan. Perceraian tidak diperbolehkan kalau hanya terjadi keributan-keributan sepele, tetapi perceraian baru dibolehkan jika terjadi

  33 34 Ibid., hal. 153. 35 Ibid., hal. 149.

Pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  pelanggaran terhadap hal-hal yang sangat prinsip dalam kehidupan rumah

  36 tangga.

  Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami-istri tidak akan dapat hidup

  37

  rukun sebagai suami-istri. Alasan perceraian dalam ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, semata-mata hanya didasarkan kepada tidak tercapainya kerukunan antara suami-istri dalam suatu kehidupan rumah tangga. Namun, sebenarnya alasan ini diperjelas lagi dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut PP No. 9 Tahun

  38

  1975). Adapun alasan yang dimaksud terdiri dari: 1.

  Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar ditentukan Zina merupakan salah satu alasan yang paling banyak dipergunakan pasangan suami-istri untuk memisahkan perkawinan dengan cara cerai talak ataupun cerai gugat di muka Pengadilan. Zina adalah hubungan kelamin yang dilakukan oleh suami atau istri dengan seseorang pihak ketiga, akan tetapi hubungan kelamin itu harus dengan pihak ketiga yang berlainan seks yaitu suami

36 Solahudin Pugung, Mendapatkan Hak Asuh Anak dan Harta Bersama di Pengadilan (Jakarta: Karya Gemilang, 2011), hal. 13.

  Agama, 37 38 UU No. 1 Tahun 1974, Op.Cit., Pasal 39 ayat (2).

Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

  atau istri dari pasangan lain.Dengan demikian perbuatan homoseksual ataupun

  39 lesbian tidak termasuk pada pengertian perbuatan zina.

  Alasan perceraian untuk perbuatan judi, pemabuk dan pemandat, haruslah sudah menjadi kebiasaan yang tidak mungkin dipulihkan lagi. Alasan zina, penjudi, pemabuk adalah alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk bercerai. Apabila istri melakukan zina, memberi hak kepada suami untuk menjatuhkan talak, sebaliknya apabila suami melakukan zina, maka istri dapat meminta cerai dengan hak meminta agar perkawinan mereka dapat dipisahkan. Demikian juga dalam hal suami pemabuk dan penjudi, istri dapat minta cerai gugat agar Pengadilan memfasachkan perkawinan. Sebaliknya juga terhadap istri penjudi dan

  40 pemabuk, suami dapat menceraikannya dengan jalan mentalakkannya.

  2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya Pasal 211 KUH Perdata meninggalkan tempat kediaman sebagai alasan untuk perceraian baru dapat dilakukan sesudah lewat tempo 5 tahun, akan tetapi dalam Pasal 39 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 temponya dipersingkat menjadi 2

  41

  tahun. Kemampuan memberikan nafkah baik lahir maupun batin, yang bila kemudian salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam waktu yang lama tanpa seizin pasangannya tersebut, maka akan berakibat pada tidak dilakukannya pemenuhan kewajiban yang harus diberikan kepada pasangannya sehingga bila

  39 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ( Medan: Zahir Trading Co, 1975), hal. 136. 40 41 Ibid. , hal. 139.

  Ibid . pasangannya tidak rela, maka alasan tersebut dapat dijadikan dasar pengajuan gugatan perceraian di Pengadilan.

  3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung Hukuman 5 tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan kepada salah satu pihak dan hukuman itu dijatuhkan sesudah terjadinya perkawinan. Jadi baik suami maupun istri dapat menuntut perceraian jika salah satu pihak mendapat hukuman badan, tetapi hal ini baru merupakan alasan jika hukuman badan tersebut

  42 dijatuhkan setelah terjadinya perceraian.

  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain Perkawinan yang tidak harmonis lagi, namun tetap dipertahankan akan berdampak pada keselamatan individu, maka akan lebih baik jika perkawinan itu diputus dengan perceraian, tetapi harus bisa dibuktikan, bahwa ada tindakan atau ancaman yang membahayakan keselamatan seseorang. Dengan demikian, alasan tersebut dapat diterima oleh majelis Hakim pemeriksa perkara di Pengadilan.

  5. Salah satu pihak mendapat cacat badan, atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri

  Cacat badan atau penyakit yang dialami salah satu pihak sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-istri dapat dijadikan sebagai alasan oleh salah satu pihak untuk mengajukan gugatan perceraian. 42 Ibid. , hal. 142.

  6. Antara suami-istri terus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga Apabila perselisihan/ pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga berlangsung terus menerus, dan dapat menimbulkan dampak buruk yang lebih besar kedepan, maka diperbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian kepada

43 Pengadilan.

  Khusus bagi mereka yang beragama Islam, alasan perceraian ditambah 2 (dua) hal lagi, yaitu: 1.

  Suami melanggar ta‟lik talak Ta‟lik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan kepada suatu syarat. suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi dan telah disebutkan dalam suatu perjanjian, atau menggantungkan jatuhnya talak dengan

  44 terjadinya hal yang disebutkan setelah akad nikah.

2. Peralihan agama atau Murtad

  Murtad merupakan salah satu alasan perceraian yang tercantum dalam Pasal 116 butir (h) KHI yang menyebutkan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Pencantuman murtad sebagai salah satu alasan untuk bercerai dalam KHI sudah menutupi kekurangan yang terdapat dalam UU No.1 Tahun 1974, dan PP No. 9 Tahun

  45 1975yang tidak mencantumkan murtad sebagai salah satu alasan bercerai.

  43 Budi Susilo, Op.Cit., hal. 21-24. diakses pada tanggal 17 April 2015 pada pukul10.02 WIB. 45 Rusdi Malik, Op.Cit., hal. 157-158.

  Selain alasan-alasan yang tersebut diatas, khusus bagi aparatur negara ditambah lagi dengan aturan “wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat”.

  Bagi seorang Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PNS), ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PP No. 45 Tahun 1990), menyebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih

  46 dahulu dari pejabat.

  Bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disebut TNI) izin tersebut diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 23 Tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian Dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen Pertahanan (selanjutnya disebut PMP No. 23 Tahun 2008), menyebutkan bahwa pegawai yang akan melaksanakan perceraian harus

  47 mendapat izin dari pejabat yang berwenang.

  Bagi Kepolisian Repubik Indonesia (selanjutnya disebut POLRI) izin tersebut diatur dalam Pasal 18 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, Dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut PKAPOLRI No. 9 Tahun 2010), menyebutkan bahwa setiap perceraian harus dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan 46 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas

  Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil 47 Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 23 Tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Pegawai Di Lingkungan Departemen Pertahanan. perundang-undangan dan norma-norma agama yang dianut oleh pegawai negeri

  48 pada Polri dan mendapat izin tertulis dari pejabat yang berwenang.

  Dalam hal pemberian izin ini diharapkan pejabat yang berwenang untuk lebih dahulu mengupayakan perdamaian dan membina bawahannya agar dapat

  49

  rujuk kembali. Kewajiban adanya izin ini dimaksudkan sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Kewajiban ini dimaksud untuk menyadarkan PNS, TNI dan POLRI bahwa prinsip perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal, oleh karena itu perceraian sangat dipersulit.

C. Akibat Hukum Terhadap Perceraian

  Menurut hukum Islam, perceraian antara suami-istri memberikan akibat hukum yang jelas ialah dibebankannya kewajiban suami-istri dan anak-anaknya,

  50

  yaitu: 1.

  Memberikan mut‟ah yang pantas berupa uang atau barang-barang Mut‟ah adalah suatu pemberian oleh suami kepada istri yang diceraikannya

  (cerai talak) agar hati istri dapat terhibur. Pemberian itu dapat berupa uang atau barang, pakaian, perhiasan menurut keadaan dan kemampuan suami.

  2. Memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama mantan istri dalam masa idah

  48 Pasal 18 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia 49 Soegeng Prijodarminto, Duri dan Mutiara dalam Kehidupan Perkawinan PNS, (Jakarta: Pradnya Paaramita, 1994), hal. 28. 50 Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 179.

  Selama mantan istri belum habis waktu tunggunya (istri masih dalam masa idah), mantan suami wajib memberikannya biaya hidup berupa pakaian, biaya hidup dan tempat kediaman.

  3. Memberi nafkah untuk memelihara dan pendidikan anaknya sejak bayi sampai ia dewasa dan dapat mandiri Mantan istri yang mengurus anak sejak dalam kandungan, melahirkan bayi dan sampai anak-anak itu dewasa dan dapat mandiri, mantan suami wajib memberikan biaya hidup dan pendidikannya. Kewajiban mantan suami tersebut tidak perlu dilakukannya sebagai kewajiban jika si anak mempunyai harta untuk bekal hidup dan pendidikannya.

  4. Melunasi mas kawin, perjanjian ta‟lik talak dan perjanjian lain ketika perkawinan berlangsung dahulunya Kewajiban suami membayar mas kawin jika belum dilunasinya dan memenuhi semua janji yang dibuatnya dengan mantan istrinya ketika mereka dahulu melangsungkan perkawinannya. Apabila hal-hal tersebut tidak dilaksanakan suami, maka istri berhak mengajukannya kepada Pengadilan Agama.

  Ada 3 akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu: 1.

  Terhadap anak-anaknya Perceraian suami-istri yang telah memasuki tingkat yang tidak mungkin untuk dicabut kembali, maka yang akan menjadi persoalan adalah anak-anak dibawah umur. Siapakah diantara suami atau istri yang berhak memelihara dan mengasuh anak tersebut. Perceraian juga akan membawa kehampaan dan kelayuan pada jiwa pihak- pihak yang bersangkutan. Terutama membawa pengaruh yang sangat menggoncangkan pada pertumbuhan kejiwaan anak-anak mereka. Efek perceraian merupakan kemalangan yang paling pahit bagi anak-anak dan hal itu juga akan membawa sebagai pertarungan dalam pergaulan dari lingkungannya. Pada umumnya anak-anak yang mengalami perpecahan keluarga, akan banyak melakukan kenakalan-kenakalan, walaupun tidak semua anak yang mengalami perpecahan keluarga melakukan hal tersebut. Hal ini biasanya dilakukan untuk

  51 menarik perhatian dari kedua orang tuanya yang telah bercerai.

2. Terhadap mut‟ah

  Mut‟ah adalah suatu pemberian oleh suami kepada istri yang diceraikannya(cerai talak) agar hati istri dapat terhibur. Pemberian itu dapat berupa uang atau barang, pakaian, perhiasan menurut keadaan dan kemampuan

  52 suami.

  3. Terhadap harta bersama Harta bersama merupakan salah satu masalah yang besar pengaruhnya dalam kehidupan suami-istri apabila telah terjadi perceraian. Masalah harta bersama akan muncul apabila sudah terjadi perceraian, atau pada saat proses perceraian sedang berlangsung sehingga dapat menimbulkan berbagai masalah

  53 hukum.

  51 52 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 157. 53 Hilman Hadikusuma, Loc.Cit.

  H.A. Damanhuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hal. 3.

  54 Akibat perceraianyang dilakukan oleh PNS, TNI dan POLRI adalah: 1.

  Apabila perceraian terjadi atas kehendak pegawai pria, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk menghidupi mantan istri dan anak- anaknya; 2. Pembagian gaji sebagaimana yang dimaksud ialah sepertiga untuk pegawai pria yang bersangkutan, sepertiga untuk mantan istri dan sepertiga untuk anak-anaknya; 3. Apabila dalam perkawinan tersebut tidak ada anak, maka bagian gaji yang wajib diserahkan kepada mantan istri adalah setengah dari gajinya;

  4. Apabila perceraian terjadi atas kehendak istri, maka ia tidak berhak atas penghasilan dari mantan suaminya;

  5. Ketentuan pada poin 4 tidak berlaku, apabila istri meminta cerai karena dimadu;

  6. Apabila mantan istri pegawai yang bersangkutan kawin lagi, maka haknya atas gaji dari mantan suaminya menjadi hapus terhitung mulai dari ia kawin lagi.

D. Pengertian Harta Bersama Harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata harta dan bersama.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, harta dapat berarti barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan dan dapat berarti kekayaan berwujud yang bernilai, bersama berarti berbareng, serentak. Harta bersama berarti harta

54 Ridwan Syahrani, Perkwinan dan Perceraian bagi PNS, (Jakarta: Media Sarana Press, 1987), hal. 71.

  55

  yang dimiliki dan dipergunakan untuk kepentingan bersama-sama. Penguasaan harta bersama tidak berada dalam satu pihak melainkan berada dalam penguasaan bersama-sama.

  56 Pengertian harta bersama menurut para ahli, yaitu: 1.

  Sayuti Thalib, pengertian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.

  2. Abdul Kadir Muhammad, konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi tinjauan itu berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitiberatkan pada kegunaan, sebaliknya dari segi hukum menitiberatkan pada aturan hukum yang mengatur.

  3. H. Abdul Manan, harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa. Harta bersama adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi,harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai hak dan 55 56 H. A. Damanhuri HR, Op.Cit., hal. 27.

  Ibid ., hal. 28. kewajiban yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga. Sepanjang tidak diatur

  57 lain dalam perjanjian perkawinan.

  Harta bersama dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 yang secara lengkap

  58

  berbunyi sebagai berikut: 1.

  Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; 2. Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

  Pasal 85 KHI menyebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan itu

  59 tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.

  60 Pasal 86 KHI menyebutkan bahwa: 1.

  Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan;

2. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

  Hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta kekayaan antara suami atau istri karena perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikusai penuh olehnya, demikian pula harta kekayaan suami tetap menjadi

   diakses pada tanggal 17 April 2015 pada pukul 17.41 WIB. 58 59 UU No. 1 Tahun 1974, Op.Cit., Pasal 35. 60 KHI, Op.Cit., Pasal 85.

  Ibid., Pasal 86. milik suami dan dikuasai penuh olehnya. Karena itu pula menurut hukum Islam perempuan yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak hukum, sehingga ia dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam masyarakat. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap Burgelijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang, (selanjutnya disebut SEMA RI No. 3 Tahun 1963) telah mencabut ketentuan Pasal 108-110 KUH Perdata, sehingga perempuan yang telah bersuami tetap dianggap cakap bertindak hukum.

  Harta dalam perkawinan menjadi kongsi sekutu seorang suami dalam melayani bahtera hidup, maka antara suami istri terjadilah syarikah abdan (perkongsian tenaga) dan syarikah mufawwadlah (perkongsian tidak terbatas). Jika selama perkawinan diperoleh harta, maka harta ini adalah harta syirkah, yaitu harta bersama yang menjadi milik bersama dari suami-istri. Karena itu dalam Islam ada harta suami-istri yang terpisah dan harta kekayaan tidak terpisah. Dalam hal harta kekayaan yang tak terpisah (syirkah) yang merupakan harta kekayaan tambahan karena usaha bersama suami-istri untuk kepentingan bersama. Karena itu apabila ikatan perkawinan putus baik karena meninggalnya salah satu pihak

  61 atau oleh perceraian, maka harta dibagi antara suami-istri.

  Harta akan menjadi harta bersama,yaitu harta yang diperoleh selama menjalankan kehidupan rumah tangga, kecuali harta asal dan tidak ada perjanjian

61 Ibid .

  yang menegaskan mengenai status harta tersebut sebelum dilangsungkannya

  62 perkawinan.

E. Kedudukan Harta Bersama

1. Kedudukan harta bersama dalam perkawinan

  Harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami dan istri selama mereka terikat dalam perkawinan. Kebutuhan akan harta dalam perkawinan merupakan salah satu usaha untuk menciptakankeluarga yang sejahtera lahir dan batin. Harta perkawinan terdiri dari harta asal dan harta bersama.

  a.

  Harta asal Harta asal adalah harta yang dimiliki dan dikuasai oleh suami atau istri secara pribadi sebelum dan/atau selama perkawinan.Suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta asal miliki masing-masing. Mereka bebas menentukan terhadap harta benda tersebut tanpa ikut campur suami atau istri untuk menjualnya, dihibahkan atau

  63

  mengagunkannya. Harta asal terdiri dari: 1)

  Harta pribadi Harta pribadi adalah harta benda milik masing-masing suami atau istri yang diperoleh atas usaha sendiri sebelum terjadinya perkawinan. Penguasaan harta pribadi yang dibawa kedalam perkawinan, tetap berada pada masing-masing suami atau istri, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian.

  62 63 H. A. Damanhuri HR, Op.Cit., hal. 29.

  

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Grup, 2006), hal. 105.

  2) Harta warisan

  Harta warisan adalah harta atau barang-barang yang dimiliki oleh suami atau istri baik sebelum perkawinan ataupun setelah perkawinan, yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 562/K/Sip/1979 (Tasikmalaya, Bandung) hibah suami kepada istri mengenai harta warisan tidak dapat disahkan, karena ahli waris suami tersebut menjadi hilang hak warisnya.

  3) Harta peninggalan

  Harta peninggalan adalah harta atau barang-barang yang dikuasai oleh suami atau istri yang berasal dari peninggalan orang tua masing-masing untuk diteruskan penguasaan dan pengaturannya guna kepentingan para ahli waris bersama, dikarenakan harta peninggalan tersebut tidak terbagi-bagi kepada setiap ahli waris. Harta peninggalan tetap berada pada penguasaan masing-masing suami atau istri.

  4) Hibah

  Harta atau barang-barang yang dimiki suami atau istri yang diberikan seseorang secara cuma-cuma pada masa hidupnya. Hibah yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan dan/atau setelah perkawinan berada pada penguasaan masing-masing, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian.

  5) Hadiah

  Harta atau barang-barang yang dimiliki suami atau istri yang berasal dari pemberian atau hadiah dari anggota kerabat ataupun orang lain. Hadiah yang diperoleh sebelum dan/atau setelah perkawinan, penguasaannya tetap berada pada masing-masing suami atau istri, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian.

  b.

  Harta bersama Harta bersama adalah harta yang dimiliki atau diperoleh setelah dilangsungkannya perkawinan, dan menjadi hak bersama pasangan suami-istri.

  Harta bersama meliputi benda bergerak maupun benda tidak bergerak, benda berwujud dan tidak berwujud dan segala macam kekayaan lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Hukum tidak mempermasalahkan siapapun yang memperolehnya baik suami maupun istri, kecuali yang termasuk dalam harta

  64

  asal. Suami maupun istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak.

  Penggolongan jenis-jenis harta tersebut diatas memberikan konsekuensinya terdapat dua macam penggolongan hak milik terhadap harta yaitu: a.

  Hak milik secara kolektif Hak milik secara kolektif atau harta bersama khusus mengenai harta yang diperoleh atas hasil dari mata pencaharian bersama selama berlangsungnya perkawinan. Hukum tidak mempermasalahkan siapapun yang memperolehnya baik suami maupun istri,kecuali yang termasuk dalam harta asal. Dengan adanya hak kepemilikan secara kolektif ini tentunya wewenang dan tanggung jawab terhadap harta bersama tersebut berada di tangan suami dan istri. Apabila suami hendak menggunakan harta bersama maka suami harus mendapat persetujuan dari istri, demikian juga sebalikya. 64 Solahudin Pugung, Op.Cit., hal. 21. b.

  Hak milik pribadi secara terpisah Hak milik pribadi secara terpisah, untuk jenis harta yang digolongkan dalam harta asal, penguasaannya pada dasarnya dilakukan secara terpisah.

  Masing-masing suami-istri mempunyai hak milik secara terpisah terhadap harta asal tersebut. Harta tersebut dapat menjadi harta kolektif dengan melihat ketentuan Pasal 35 ayat (2), pencampuran harta dapat dimungkinkan apabila ditentukan dalam perjanjian.

  65 Pasal 91 KHI menegaskan bahwa: 1.

  Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud;

  2. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga;

  3. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban;

4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

  Hak dalam Pasal 91 KHI, menunjukan activa sedangkan kewajiban menunjukkan passiva yaitu kewajiban membayar sejumlah hutang. KHI telah memasukkan semua passiva kedalam harta bersama, dengan demikian apabila terjadi perceraian antara suami-istri dan kemudian mereka berbagi harta bersama, yang dibagi tidak hanya berupa activa saja tetapi semua hutang dan kredit yang dibuat semasa perkawinan dan atas persetujuan bersama harus dimasukkan

  66 sebagai harta bersama yang bersifat passiva.

  65 KHI, Op.Cit., Pasal 91.

   diakses pada tanggal 17 April 2015 pada pukul 21.09 WIB.

  67 Pasal 93 ayat (2), (3) dan (4) KHI menyatakan bahwa: 2.

  Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama;

  3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami;

4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri.

  2 Kedudukan harta bersama setelah perceraian Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, kecuali harta yang termasuk dalam harta asal. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 huruf (f) KHI mengatakan bahwa, harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa

  68 mempersoalkan terdaftar atau diperoleh atas nama siapapun, suami atau istri.

  Harta bersama merupakan salah satu hal yang diperebutkan antara suami- istri ketika terjadinya perceraian ataupun setelah perceraian. Akibat hukum perceraian terhadap harta bersama diatur dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 yaitu, bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

  69 hukumnya masing-masing.

  Yang dimaksud dengan „hukumnya‟ masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Jadi, akibat suatu perceraian terhadap harta bersama bagi setiap orang dapat berbeda-beda, tergantung pada hukum apa yang akan digunakan para pihak untuk mengatur harta bersama tersebut.

  67 68 KHI, Op.Cit., Pasal 93 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). 69 KHI, Op.Cit., Pasal 1 huruf (f).

  UU No. 1 Tahun 1974, Op.Cit., Pasal 37.

  Pembagian harta bersama dalam hukum Islam, diatur dalam Pasal 97 KHI yaitu, janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta

  70

  bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Namun, pada kenyataannya tidak selamanya harta bersama tersebut dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%. Pembagian harta bersama pada umumnya disesuaikan kesepakatan para pihak, jika masing-masing dari suami istri memang mempunyai andil di dalam pengadaan barang yang telah menjadi milik bersama,

  71 biasanya ini terjadi jika suami dan istri sama-sama bekerja.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 126 dan 128 KUHPerdata, perceraian mengakibatkan bubarnya harta bersama sehingga harta bersama tersebut harus dibagi diantara pasangan suami-istri. Pembagian harta bersama sebaiknya dilakukan secara adil, agar tidak menimbulkan perselisihan antara harta suami dan isteri. Pasal 88 KHI menyebutkan bahwa, apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian

  72 perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

  Pasangan suami-istri yang telah bercerai tidak selalu memperebutkan harta bersama, dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut: a.

  Mereka tidak bersengketa atau tidak mempermasalahkan harta bersamanya. Dalam hal ini biasanya kedua belah pihak bersepakat atau untuk membagi harta bersama secara kekeluargaan di luar

  70 71 KHI, Op.Cit., Pasal 97. http://mujib-ennal.blogspot.com/2012/05/kedudukan-harta-dalam-perkawinan.html#sth, diakses pada tanggal 17 April 2015 pada pukul 23.01 WIB 72 KHI, Op.Cit., Pasal 81. sidang, cara ini sebetulnya yang paling baik karena ringan biaya, singkat waktu dan tidak ada permusuhan; b.

  Ada pula kedua belah pihak bersepakat agar harta bersama itu tidak dibagi kepada suami isteri yang bercerai tetapi dengan persetujuan bersama diberikan kepada anak-anaknya; c. Ada pula antara para pihak itu yang tidak mempermasalahkan harta bersama yang penting cerai.

Dokumen yang terkait

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

0 0 10

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Ka

0 1 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

0 0 31

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi) SKRIPSI

0 0 11

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Digital - Implementasi dan Perbandingan Metode Alpha-Trimmed Mean Filter dan Adaptive Media Filter untuk Reduksi Noise pada Citra Digital

0 0 18

IMPLEMENTASI DAN PERBANDINGAN METODE ALPHA-TRIMMED MEAN FILTER DAN ADAPTIVE MEDIAN FILTER UNTUK REDUKSI NOISE PADA CITRA DIGITAL

0 0 16

Implementasi Kriptografi Des pada File Gambar ke Dalam File Audio dengan Algoritma Steganografi LSB+1

0 1 20

Implementasi Kriptografi Des pada File Gambar ke Dalam File Audio dengan Algoritma Steganografi LSB+1

1 2 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Medan No 5 Tahun 2012 Dalam Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan Di Kota Medan

0 0 41

Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Medan No 5 Tahun 2012 Dalam Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan Di Kota Medan

0 1 13