BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Sebagai sebuah negara, Indonesia terbentuk dengan tingkat ragam budaya yang tinggi, baik dari segi keragaman suku, agama, dan adat istiadat .Keragaman tersebut seharusnya menjadi kekuatan dan modal sosial bagi negara ini, akan tetapi realitasnya, konflik sosial yang berbau SARA berulang-ulang terjadi.

  Menurut Gemawan 2013, mencatat tahun 2010 telah terjadi peristiwa konflik. Sementara pada tahun 2011 terjadi 77 peristiwa dan tahun 2012 terjadi 128 peristiwa. Di tahun 2013 hingga awal September Kemendagri mencatat telah terjadi 53 peristiwa konflik. Jadi dari tahun 2010 hingga September 2013, telah tercatat 351 peristiwa konflik. Baik konflik yang bernuansa SARA, bentrokan warga dengan organisasi kemasyarakatan, aksi kekerasan menolak kenaikan bahan bakar minyak, bentrokan antar massa pendukung calon kepala daerah hinggga pada aksi / bentrokan massa terkait sengketa pertahanan.

  Menurut Wajiran (2013), Berbagai macam konflik sosial yang terjadi dipicu oleh berbagai faktor seperti misalnya kerentanan pada masyarakat, adanya perbedaan kepentingan antar kelompok. Pemicu adanya konflik ada yang bersifat sederhana, tetapi ada juga yang bersifat sangat kompleks. Konflik yang bersifat sederhana umumnya disebabkan karena adanya kesalahpahaman antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan konflik yang kompleks memiliki sifat politis karena dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan yang lebih besar daripada isu- isu yang menjadi sumber konflik itu sendiri. Seperti isu-isu yang berkaitan dengan konflik agama di beberapa daerah mungkin saja hanya sebagai sumbu penyulut saja, tetapi di belakang terjadinya konflik itu ada suatu kepentingan politik yang melatari terjadinya konflik itu. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kecenderungan membuat kelompok-kelompok sesuai dengan kepentingan mereka. Kelompok-kelompok juga ditentukan oleh adanya kesamaan ciri-ciri tertentu; seperti warna kulit, persamaan paham (keagamaan/kepercayaan), teritori (bangsa), umur, profesi, dan lain sebagainya. Masing-masing kelompok ini pun bersifat sangat resisten terhadap kelompok lain agar kepentingan mereka tidak diganggu. Itu sebabnya konflik mudah sekali menjalar menjadi besar karena adanya kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan tersebut. Konflik karena perbedaan-perbedaan inilah sebenarnya yang disebut dengan perang identitas.

  Berdasarkan situasi di atas, Indonesia harus berusaha keras menciptakan suatu Integrasi sosial untuk mencegah terjadinya konflik sosial, khususnya konflik yang berbau SARA. Nilai integrasi Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika yang tertuang kedalam Dasar Negara dan merupakan modal dasar dari peningkatan integrasi sosial bangsa. Kebangsaan Indonesia adalah adanya persatuan antara orang dan tempat , persatuan antara manusia dan tanahnya , mempunyai persamaan nasib dan persatuan watak serta mempunyai cita-cita untuk bersatu sebagai suatu bangsa. Integrasi keserasian satuan satuan yang terdapat dalam suatu sistem (bukan penyeragaman , tetapi hubungan satuan-satuan demikian rupa dan tidak merugikan masing-masing satuan) yang saling mendukung satuan dan masih memiliki identitas, dan saling mendukung.

  Terjadinya integrasi sosial juga di karenakan anggota masyarakat berhasil mengisi kebutuhan kebutuhan mereka, berhasil menciptakan nilai dan norma sebagai tuntunan dalam melakukan hubungan sosial antar individu, termasuk menyepakati untuk melakukan apa yang dilarang oleh kebudayaan mereka, dan norma dan nilai yang diciptakan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan bersifat konsisten. Integrasi sosial sangat dibutuhkan , tidak hanya mengikat antar etnik di Indonesia yang berbeda beda agar terhindar dari berbagai bentuk perpecahan dan konflik-konflik sosial , termasuk konflik SARA, yang berujung pada kerusuhan massal yang diwarnai aksi kekerasan, yang tentunya menimbulkan kerugian yang cukup besar baik dari segi materiil maupun non materiil. Kebudayaan daan adat istiadat yang dipakai merupakan salah satu kebutuhan pada nilai-nilai integrasi yang merupakan dasar atas pengendalian masyarakat duna menjaga kesatuan masyarakat. Dalam mewujudkan integrasi sosial diperlukan nilai, norma, tatanan hukum sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan sosial sehingga menciptakan keharmonisan dan kedamaian.

  Berangkat dari pernyataan di atas, masyarakat Batak Toba juga memiliki cara untuk mempertahankan integrasi satu kelompok marganya . Menurut Vergouwen dalam Togar Nainggolan 2006, kesatuan marga ini dijamin oleh hubungan mereka dengan nenek moyang mereka sebagai satu keluarga. Dalam pergaulan sehari hari mereka lebih mengutamakan kepentingan marga daripada kepentingan pribadi, misalnya dalam hal ritus famili. Orang-orang semarga memegang prinsip satu kurban (sisada somba), satu kesatuan makan bersama (sisada sipanganon), satu dalam kemakmuran (sisada sinamot), satu dalam kemulian (sisada hasangapon), dan satu dalam kenistaan (sisada hailaon).

  Kesatuan antara orang- orang semarga begitu kuat sehingga mereka diumpamakan seperti orang yang memotong air tak bisa putus (tumpulon aek do na

  

marsabutuha ). Tetapi serentak dengan itu mereka harus berhati hati dan hormat

  kepada teman semarganya ( manat mardongan tubu) karena urusan Marga sangat kompleks. Cunningham mengatakan, bahwa marga merupakan kuasa tertinggi atas kesadaran dan kesatuan kelompok marga. (Togar Nainggolan 2006 : 69). Menurut Bungaran Antonius Simanjuntak (2009) dalam Barndo, di dalam hubungan sosial, marga adalah unsur dasar yang menetukan hubungan sosial.

  Setelah saling memberitahukan marga, masing masing mengingat latar belakang silsilah dan analogi internal dan eksternal. Latar belakang silsilah dan analogi itu antara lain tingkatan kedudukan dalam silsilah. Dengan cara ini Orang Batak Toba dapat menentukan referensi panggilan apakah orang itu kedudukannya sebagai adik atau abang, bapak tua atau bapak muda, saudara perempuan (ito), dan yang lainnya. Untuk lebih mengenal antara satu dengan yang lainnya , mengikat hubungan marga mereka dan menambah keakraban diantara mereka maka orang Batak akan membentuk suatu perkumpulan berupa kelompok kelompok sosial atau kelompok marga, tentunya didasarkan dengan anggota anggotanya yang terdiri dari marga yang sama. Jadi tidak mengherankan jika organisasi organisasi yang terbentuk dikalangan Batak toba adalah Perkumpulan marga- marga.( Brando, 2010:2)

  Dalam masyarakat Batak Toba banyak sekali perkumpulan marga. Tujuan perkumpulan marga-marga dalam etnik Batak Toba diciptakann salah satunya adalah mempertahankan keutuhan kelompok marga itu sendiri. Marga merupakan dasar untuk menentukan “partuturan” atau hubungan persaudaraan baik untuk kalangan semarga atau untuk kalangan marga-marga yang lain dalam lingkup etnik Batak Toba. Marga juga merupakan nama persekutuan dari orang-orang bersaudara (sedarah), seketurunan menurut garis keturunan dari laki-laki (bapak) yang mempunyai tanah sebagai milik bersama ditanah asal atau tanah leluhurnya.

  Dengan adanya marga hubungan kekerabatan menjadi jelas dan setidak-tidaknya dapat memperkecil terjadinya perkawinan satu marga. Sebagai landasan pokok, marga mempunyai fungsi untuk mengatur ketertiban dalam suku Batak agar tidak terjadi perkawianan antara satu marga. Selain itu juga untuk mengatur hubungan- hubungan antara berbagai pihak akibat kompleksnya hubungan antar keturunan serta untuk mengurangi konflik. Dengan adanya marga, hubungan kekerabatan terjalin secara teratur dan menunjukkan tali pengikat untuk mempersatukan antara seorang dengan orang lain, khususnya dalam satu keturunan yang cukup besar dan mengikat, mempersatukan keturnan dalam satu kelompok marga Batak.

  Salah satu perkumpulan marga dalam Batak Toba adalah Punguan marga Silahisabungan Dohot Boru. Punguan marga Silahisabungan ini, yang terdiri dari 8 kelompok marga, diantaranya Haloho, Situngkir, Rumah Sondi, Sidabutar, Dabariba, Debang, Pintu Batu, Raja Tambun. Ke-8 kelompok marga ini dahulunya adalah nama dari anak-anak seorang raja yang bernama Silahisabungan. Tujuh anaknya dilahirkan oleh Pinggan Matio boru Padangbatanghari, yaitu loho Raja, Tungkir Raja, Sondi Raja, Dabariba Raja, Debang Raja, Batu Raja sementara dari isteri kedua boru Nailing Nairasaon, hanya dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Tambun Raja. Raja Silahisabungan juga mempunyai seorang puteri dari hasil perkawinannya dengan Pinggan Matio boru Padangbatanghari bernama Deang namora yang tidak berkeluarga hingga akhir hidupnya. Hubungan ke delapan anak dari Silahisabungan dulu sering diwarnai konflik. Konflik dilatarbelakangi rasa kecemburuan yang dialami ketujuh anak dari Silahisabungan dengan Pinggan Matio, yang sangat iri melihat Raja Tambun yang sangat dikasihi oleh kedua orangtua mereka bahkan adik perempuan mereka, Deang Namora. Melihat keirian ketujuh anaknya, Raja Silahisabungan kemudian membuat “Poda Sagu-sagu marlangan” yang merupakan nasihat dan hukum atau norma bagi ke delapan anaknya yang berintikan bahwa mereka adalah satu keturunan dan harus saling mengasihi. Adapun isi dari poda sagu-sagu marlangan ini adalah :

1. Saling mengasihi, penuh persaudaraan yang langgeng bagi seluruh turunan Raja Silahisabungan mulai saat ini hingga generasi demi generasi.

  2. Tidak boleh turunan si Abang yang tujuh (loho raja, tungkir raja, sondi raja, dabariba raja, butar raja, debang raja, batu raja) menyebut bahwa mereka bukan satu ayah satu ibu dengan turunan adiknya tambun raja, demikian juga sebaliknya, tambun raja, tidak boleh menyebut bahwa mereka tidak seibu dan seayah dengan turunan abangnya yang tujuh

  3. Seluruh turunan abangnya yang tujuh harus mengasihi saudara perempuan mereka turunan dari tambun raja, dan demikian dengan tambun raja harus mengasihi saudara perempuan dari turunan abngya yang tujuh 4. Pantang saling mengawini antara turunan abannya yang tujuh dengan turunan adiknya tambun raja.

5. Pantang memulai pertikaian dan perselisihan bagi segenap turunan Silahisabungan.

  Poda sagu-sagu marlangan ini juga memberikan sanksi yang tegas bagi setiap keturunan Silahisabungan yang melanggarnya. Semenjak ditetapkannya poda sagu-sagu marlangan sebagi norma di kalangan keturunan Silahisabungan hubungan persaudaraan pun semakin erat bagi keturunan Silahisabungan. (Eli Silalahi, dkk 2008:23)

  Awal abad ke-20, orang Batak Toba banyak yang meninggalkan tanah kelahirannya di Tapanuli Utara, dan bermigrasi ke kota-kota besar dengan alasan mencari pekerjaan dan melanjutkan pendidikan mereka. Demikian pula dengan para keturunan Silahisabungan yang ada di kampung induk di Silalahi Nabolak saat itu, banyak yang merantau bahkan bermigrasi ke kota-kota besar. Setelah sukses di daerah perantauan dan mapan, banyak dari mereka juga memilih untuk tinggal dan menetap di daerah perantauan daripada pulang ke kampung induk mereka di Silalahi Nabolak, karena mereka melihat peluang hidup yang besar di tanah perantauan. Di tanah perantauan, kelompok-kelompok migran Batak banyak mempertahankan identitas mereka dengan mendirikan organisasi-organisasi etnis mereka sendiri berdasarkan marga . Demikian pula yang dilakukan oleh delapan keturunan dari Silahisabungan. Mereka membentuk kelompok kelompok etnis berdasarkan marga mereka. Misalnya punguan marga Sihaloho, punguan marga Situngkir, punguan marga Sondi raja, punguan marga Sidabutar (hanya dipakai dikampung induk saja) atau jika di tanah perantauan disebut Sinabutar, punguan marga Sidabariaba, punguan marga Sidebang, punguan marga pintu Batu dan punguan marga Tambunan. Punguan-punguan marga ini mempunyai cabang disetiap daerah di Indonesia dan pusat sekretariat Punguan Pomparan Silahisabungan ini di Indonesia berada di Jakarta. Selain dengan membuat punguan marga di tanah perantauan, ke delapan keturunan Raja Silahisabungan ini berusaha menciptakan integrasi sosial diantara sesama keturunan Silahisabungan dengan membuat Tugu/makam sebagai monumen untuk memperingati leluhur mereka Raja Silahisabungan yang dahulu telah menyatukan kedalapan anaknya. Dalam budaya Batak Toba, sebenarnya tidak mengenal tugu, artinya tugu tidak merupakan bagian yang hakiki dari kebudayaan Batak. Oleh sebab itu dalam kamus bahasa batak ttidak ditemukan kata Tugu, namun yang ada adalah batu Partinandaan, pungu-pungu partinandaan Partinandaan sian batu, Tambak, partinandaan diiatas tanoman. Masyarakat Batak mengenal kuburan tua yang ditinggikan atau disebut batu na pir. Batu na pir merupakan tempat mayat atau berupa tulang belulang (dapat berupa simbolis tanah/ tempat tersebut digunakan sebagai tempat tulang belulang ) karena tidak ditemukan lagi kakek/ nenek moyang bersama dari marga inti atau dari cabang marga dalam satu keluarga bersama. Oleh sebab itu tugu bermakna sebagai lambang atau simbol persatuan dan kesatuan serta kebersamaan dari masyarakat yang semarga, baik

kelompok satu marga induk,(kakek moyang bersama satu marga atau cabang marga dari satu keturunan dari satu bapak leluhur), oleh sebab itu juga ada upacara memasukkan tulang belulang kakek moyang bersama kedalam batu na pir (Panangkokhon saring-saring tu pbatu na pir). Sampai sekarang menjadi bagian hakiki dari kebudayaaan batak, dan masih tetap berlangsung , dan upacara ini dimaknai sebagai penghormatan kepada para leluluhur.

  Pada umumnya bahwa kebanyakan orang Batak Toba diperantauan setuju dengan adanya pembuatan Tugu ini dengan alasan ,untuk menjaga tradisi suku, mencari berkat dan pertolongan dari nenek moyang, membangun kesatuan famili. Keturunan Raja Silahisabungan ini tersebar dipelosok tanah air dengan berbagai tingkat kehidupan pendidikan dan profesi antara lain, pengusaha, petani, bahkan ada juga yang duduk dibangku pemerintahan dan sebagai pejabat pemerintahan. Keberhasilan dan kebesaran keturunan raja Silahisabungan seperti ini dalam masyarakat Batak tergambar dalam bingkai kesuksesan yang disebut sebagai

  

Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon . Dalam rangka memelihara serta

  melestarikan Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon atau nilai yang sudah berhasil diraih sejak puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu yang patut disyukuri maka diperlukan upaya untuk terpeliharanya rasa persaudaraan diantara seluruh keturunan / Pomparan raja Silahisabunagan. Salah satu wujud persaudaraan dan persatuan adalah pembangunan Tugu Makam raja Silahisabungan yang terletak di Desa Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, kabupaten dairi, Sumatera Utara

  Pembangunan tugu ini didasari pada Raja silahisabungan sebagai cikal bakal marga Silalahi, yang diperkirakan keturunnannya mencapai 18-23 generasi yang tersebar didaerah Toba Samosir, Tapanuli utara, Pak-pak- Dairi, Simalungun, tanah karo, langkat dan Deli Serdang. Dalam kurun waktu yang begitu lama telah terjadi perubahan berita keagungan Raja Silahisabunagan di berbagai daerah yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat sesama warga Silahisabungan. Dalam berbagai perubahan pandangan ini, keturunan Raja Silahisabungan yang terdiri dari delapan marga tersebut mencoba mencari persamaan atas informasi yang beredar sehingga dapat menyatukan persepsi yang berbeda-beda. Pembuktian tersebut dilihat dari dibentuknya panitia Tarombo Raja Silahisabungan tahun 1963 di Medan yang merupakan salah satu usaha yang menyatukan persepsi yang berbeda sehingga dapat tersusun tarombo kelompok marga Silahisabungan yang dapat diterima semua pihak yang terkait. Pembentukan panitia tugu/tambak dan tarombo Raja Silahi sabungan tahun 1967 di Silalahi Nabolak adalah merupakan puncak usaha menyatukan beragam perbedaan persepsi yang ada sehingga dapat tersusun tarombo Raja Silahisabungan yang dapat diterima semua pihak. Pembentukan panitia tugu/ tambak dan tarombo Raja Silahisabunagan tahun 1967 di Silalahi Nabolak merupakan puncak usaha menyusun tarombo Raja Silahisabungan dengan motto ‘rap renta pomparan ni raja Silahisabungan’. Tentu saja penyusunan tarombo ini didasari pada buku-buku tarombo suku batak yang diteliti. Tahun 1968 setelah meneliti buku-buku tarombo, dan mengumpulkan beragam informasi dari hasil musyawarah besar warga Silahisabungan telah diambil kesimpulan tarombo Raja Silahisabungan.

  Pada tahun 1981 tertanggal dari 23 hingga 27 November, Tugu makam Raja Silahisabungan di maras Silalahi Nabolak diresmikan. Pembangunan tugu ini sendiri memakan waktu yang cukup lama dimulai dari tahun 1969 hingga tahun 1980, kurang lebih 29 tahun lamanya. Sejak diresmikannya Tugu Makam raja Silahisabungan tahun 1981, maka tiap tahun dilakukan pesta tahunan yang dilaksanakan secara bergiliran oleh delapan kelompok keturunan raja Silahi Sabungan dalam bentuk kegiatan adat, budaya, rohani, sosial, sebagai wujud ucapan terimakasih dan pujian kepada Tuhan serta media saling mengasihi sesama keturunan / Pomparan raja Silahisabungan. Atas dasar hal ini lah peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana proses integrasi sosial dalam kelompok marga Silahisabungan yang tersebar di seluruh indonesia dengan tingkat perbedaan yang kompleks dapat bertahan melalui Pesta Luhutan Bolon Tugu/ Makam Raja Silahisabungan yang diadakan setiap tahunnya.

1.2 Rumusan Masalah

  Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu diteliti. (Usman dan Purnomo, 2004:26). Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah diatas, yang menjadi rumusan masalah adalah Bagaimana Fungsi Pesta Tugu Luhutan Bolon dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahi Sabungan.

  1.2 Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan penulis dalam meneliti permasalahan ini adalah untuk menganalisa atau mengamati fungsi pesta tugu luhutan bolon dalam mempertahankan integrasi pomparan Raja Silahisabungan.

  1.4 Manfaat Penelitian

  1.4.1 Manfaat Teoritis

  Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang ada, terutama bagi mahasiswa sosiologi dan bagi siapa saja yang membaca penelitian ini yang tertarik dengan ilmu sosiologi.

  1.4.2 Manfaat Praktis

  Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi yang ada dan menambah wawasan bagi penulis, dan pemahaman penulis tentang Fungsi Pesta Tugu Luhutan Bolon dalam Mempertahankan Integrasi pomparan Raja Silahisabungan.

1.5 Defenisi konsep 1.

  Adat Adat adalah tatanan hidup rakyat Indonesia yang bersumber pada rasa susila.

  Susila ini dimengerti dalam konteks harmoni spiritual, dimana kedamaian meneluruh ada karena kesepakatan bersama. Karena itu adat adalah suatu cara pikir bangsa Indonesia , dimana mereka membentuk dunianya. Adat mencakup seluruh kehidupan. Manusia dengan kematiannya tidak mungkin kehilangan adatnya. Orang-orang mati memelihara dan menjaga adat melalui tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Dengan perantaraan adat, mereka tetap berehubungan dengan orang orang hidup. Yang merupakan inti pokok persekutuan antara orang-orang mati dan orang-orang hidup ialah justru adat bapa-bapa leleuhur sebagai tata tertib kehidupan anak-cucu mereka. Dalam persekutuan hidup dengan nenek moyang persekutuan adat itu menyatakan diri sebagai persekutuan religi. Suatu ciri yang menentukan dari religi ini ialah menyangkut kepada kesatuan etnis dan oleh sebab itu disebut religi etnis. Dari suatu sisi, tradisi nenek moyang , adat mempunyai sifat yang religius yang kuat. Adat mempunyai fungsi kultural dan fungsi sosial. Alasan mengapa adat begitu kuat melekat pada diri pemiliknya ialah karena adat sebagai patokan dan tata cara hidup tetapi meresapi kehidupan secara aktif. Adat mewujudkan suatu religionitas atau kepercayaan alamiah yang timbul dari dalam diri manusia itu sendiri. Dari hasil studinya Batak Toba ternyata cukup kuat dalam mempertahankan adatnya. Contohnya pendirian tugu (monumen nenek moyang) yang kini masih hidup di daerah Batak toba merupakan bukti bahwa penyembahan nenek moyang masih terus berlanjut pada mayarakat Batak Toba.

2. Tugu

  Tugu secara terminologi dapat diartikan dengan monumen. Bagi masyarakat Batak dapat dijadikan sebagai segala sesuatu yang telah melalui ketahanan yang sangat lama dipakai untuk mengenang seseorang yang notabene seseorang tersebut adalah kakek moyang bersama satu marga induk atau satu cabang marga atau satu tuirunan dari kakek / nenek moyang (sa ompu). Pembangunan tugu di kalangan orang batak adalah berupa suatu kerangka yang berkaitan dengan adat batak dan merupakan peringatan atau penghormatan bagi nenek moyang atau seorang motivasi Raja sehingga penafsiran arti , motivasi Raja, sehingga penafsiran arti, motifvasi pendirian suatu Tugu tersebut perlu dipahami dari berbagai sudut. Dalam Togar Nainggolan ( 2006:242), menyatakan, ada berbagai keteranagn yang diberikan dalam literatur oleh informannya terkait tentang pendirian tugu-tugu modern ini a.

  Alasan politik Orang Batak makin banyak jumlahnya dan kaya di komunitas urban pada tahun 1960-an, tetapi pada saat yang sama mereka merasa tidak aman. Kekalahan pemberontakan PRRI tahun 1958 sampai 1959 memunculkan goncangan yang cukup kuat akan peranan tetap orang batak Toba dalam militer Sumatera utara.

  Penarikan diri kembali para pemberontak dibawah komando Kolonel Simbolon dari Medan ke Tapanuli Utara pada awal pemberontakan mengingatkan secara simbolis akan pentingnya kampung halaman sebagai pangkalan keamanan untuk masyarakat Batak Toba, meski mereka sudah menjadi masyarakat urban. Pada bulan Novenber 1961 Sisingamangaraja XII diakui secra resmi sebagai pahlawan nasional dari suku Batak atas perjuangannya melawan penjajah Belanda, atas dasar ini jugalah Soekarno mendorong pendirian tugu-tugu pahlawan nasional,. Hal ini membangkitkan keinginan orang Batak untuk mendirikan Tugu Sisingamangaraja XII dibeberapa kota di Sumatera Utara.

  b.

  Alasan ekonomi dan status

  Umumnya tugu-tugu yang besar dan megah yang terdapat di Tapanuli Utara dibangun oleh para Orang Batak yang ada ditanah perantauan yang telah meninggalkan kampung induk , dan mereka adalah yang mempunyai hidup berkecukupan, kaya dan elit. Perlombaan status jelas merupakan satu faktor dalam kemegahan tugu dan kemewahan pesta pada saat peresmiannya. Tugu yang didirikan oleh kelompok satu marga dapat memprovokasi kecemburuan pada kelompok marga lain sampai mereka dapat merealisasikan tugu tersebut pada marga mereka sendiri. Dalam bruner tahun 1987 mengatakan kebanyakan dari pengkritik pendirian tugu mengatakan bahwa orang yang sudah berhasil di daerah perantauan ingin mempertontonkan kesusksesan mereka kembali dikampung induk mereka. Motifnya adalah kesombongan dan kecongkakan. Sementara Reid (2002) dalam Togar (2006), mengatakan, kelompok yang mendukung akan berkomentar bahwa kelompok keturunan mendirikan tugu untuk penegenalan diri mereka sebagai kelompok dari satu garis keturunan.

  c.

  Alasan religius Tugu didirikan dan pesta mangongkal holi (pemakaman kembali) dilaksanakan sehingga para orangtua dihormati (asa sangap natua-tua i). Hal ini adalah cara orang batak untuk melaksanakan perintah kekristenan, yakni hormatilah bapa dan ibumu dan hormat umum kepada orang yang sudah meninggal. Hal ini jika dilihat dari sisi lain dapat diartikan sebagai pembelaan , kebanyakan mereka yang melakukan pesan diatas ada kemungkinan secara tulus mendukung pesta-pesta ini menyadari bahwa praktek masyarakat batak Toba saat ini jauh dari pengertian kekristenan. Sebenarnya penyembahan nenk moyang lebih menonjol daripada mengikut perintah kekristenan “ hormatilah bapa dan ibumu”. Para nenek moyang disembah untuk mendapat berkat dari mereka. Berkat nenek koyang ini bagi mereka nyata dalam hal kesehatan, kekayaan, kuasa dan banyak keturunan. Ini merupakan satu hukti bahwa penyembahan nenek moyang masih kuat pada masyarakat Batak Toba, yang lebih mengherankan lagi yang menghidupkan kembali praktek ini adalah orang Batak Urban di kota-kota modern yang pemikirannya bisa dianggap sudah lebih realistis , kaya , terpelajar dan tidak meyakini praktek-praktek seperti ini d.

  Alasan komunitas klen Pembangunan tugu mengahadirkan sejenis kontark antara anggota kelompok marga yang kaya denganyang miskin, mereka yang merantau dan yang tinggal dikampung induk, yang muda dan tua. Ide dari pendirian tugu dan pelaksanaan pesta, meskipun biasanya didanai oleh orang Batak yang migran urban, sering diawali mereka yang tua dan tinggal dikampung induk. Bangunan dan pesta tentu mentransfer kekayaan orang kaya kepada mereka yang miskin dari daerah perantauan yang ada di kota ke desa. Hal ini pun membuat orang desa mendapat bantuan memperbaiki rumah rumah mereka untuk menampung orang kota saat akan berkunjung ke kampung induk atau saat melakukan pesta besar terhaqdap nenek moyang atau perkumpulan satu kelompok marga dari berbagai penjuru. Pengertian yang lebih fundamentalnya ialah bahwa orang kaya dan miskin bersama-sama dapat menghormati nenk moyang mereka. dengan demikian ikatan klen (marga) dikuatkan.

  e.

  Alasan identitas

  Pembangunan tugu dan khususnya pesta ritus, yang menemaninya menguatkan ikatan garis keturunan yang barangkali sudah mulai terkikis karena adanya migrasi. Hal ini menjembatani ketidakcocokan yang dirasakan anatara gambaran yang ideal akan masyarakat batak dan situasi masyarakat yang dialami secara aktual. Ini membawa ketegangan bagi masyarakat batak berbicara tentang adat mereka yang dianggap sakral dan tidak terikat ruang dan waktu sementara batin mereka mengalami keterasingan karena hidup di perantauan. Tugu, seperti halnya semua monumen, merupakan jembatan antara masa sekarang dan masa lampau. Melalui pesta tugu orang-orang menangkap kembali masa lalu mereka, sejarah nenek moyang dan asal usul mereka. Ritus tugu menjadi suatu cermin diri bagi mereka yang lalu. Para migran masyarat Batak yang hidup di kota-kota besar untuk beberapa waktu meninggalkan dunia urban yang sekular lalu masuk ke dunia adat yang magis dikampung induk mereka. bersama sama dengan kelompok marga yang se-klen, dan keluarga karena peerkawinan, mereka merayakan genealoginya. Ritus tugu menguatkan kebatakan para migran. Kesatuan klen (marga) ini dapat disimbolakn melalui suatu patung dari nenek moyang . pada saat ini sponsor untuk mendirikan tugu datang dari keturunan satu klen yang migran yang mungkin semakin sadar akan identitas mereka ditengah suku-suku lain di daerah perantauan. Pendirian tugu modern oleh masyarakat batak toba yang berada di daerah rantau, menjadi sarana bagi klen mereka untuk menguatkan identitas mereka. Jikalau dahulu pemujaan nenek moyang ini dilakukan dengan memasukkan tulang belulang kedalam sorkefage, sekarang hal itu dilakukan dengan memasukkan tulang belualng nenek moyang kedalam tugu. Maknanya tetap sama untuk penujaan nenek moyang. Ritus tugu ini bermakna peristiwa yang kultural, yang mempersatuakan aspek-aspek identitas batak dalam hal ini adalah klen (marga), huta (kampung induk), dalihan na tolu, dan adat yang menguatkan solidaritas diantara anggota klen. Untuk mengerti diri mereka yang sekarang, mereka masuk ke masa lalu. Identitas Batak Toba bagi migran Batak Toba dikuatkan dengan sikap mereka yang kembali kepada tradisi lama. Identitas batak Toba didaerah perantauan hadir dengan bentuk network/jaringan, tetangga, famili, rite de passage, dan kumpulan organisasi-organisasi Batak Toba yang lain.(Togar Nainggolan , 2006: 246) Raja Parmahan Silalahi merupakan cabang marga induk yang memiliki kampung induk berada di hinalang Silalahi, balige. Ada juga istilah tugu berukuran kecil sebagai tempat tulang belulang dari satu ranting marga induk disebutlah kakek bersama dari ranting marga yaitu (saompu) biasanya lima sampai dengan tujuh generasi atau sundut. Demikian halnya pembangunan Tugu pada kelompok marga Silahisabungan. Tugu makam Raja Silahisabungan, dan Ruma parsantian oleh keturunan raja parmahan Silalahi oleh semangat (Pasangapma natorasmu asa leleng ho mangolu di tano ma nilehon ni Jahowa debatam di ho”. Motto dari pada keturunan nya harus menghindar dari teal / toal dan makna hasipele beguon. Dalam pembuatan tugu Raja Parmahan ini dan Ruma Parsantian, para keturunanya dituntut bersatu dalam satu kesatuan .

3. Integrasi sosial

  Integrasi Sosial adalah suatu proses dari unsur-unsur dalam suatu masyarakat (kelompok sosial) yang saling berhubungan secara intensif, dan harmonis dalam kehidupan sosial sehari-hari dan dalam interaksi diberbagai bidang (sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, dengan kata lain Integrasi sosial lebih bersifat sosiologis. Hess (1988) dan Federico (1979) dalam eriyanti (2013) mengemukakan bahwa proses integrasi sosial pada umumnya melalui beberapa tahap, yaitu tahap-tahap segregasi atau separatisme, akomodasi, akulturasi, asimilasi dan amalgamasi. Disamping itu, McLemore (1998) mengemukakan ada empat tingkat tahap integrasi sosial. Pertama, integrasi primer, yaitu adanya persamaan agama. Kedua, integrasi sekunder, yakni adanya kebebasan untuk bekerja dan berniaga. Ketiga, integrasi budaya, ialah terciptanya pembauran dalam hal makanan dan pakaian. Keempat, integrasi perkawinan, yang terlihat dengan terjadinya perkawinan antara pendatang (minoritas) dengan masyarakat setempat (mayoritas). Konsep integrasi sosial dibedakan kedalam tiga sifat. Integrasi normatif, adalah kesepakatan yang terjadi karena adanya nilai , norma, cita-cita bersama atau adanya rasa solidaritas. Integrasi normatif pada dasarnya memiliki kesamaan dengan sifat-sifat solidaritas mekanik yang ditandai dengan suatu masyarakat yang sederhana yang anggotanya memperoleh sosialisasi yang sama sehingga memiliki suatu kesepakatan nilai-nilai dasar. Integrasi normatif ini merupakan alat untuk melihat sejauh mana masyarakat masih memiliki ikatan yang bersifat solidaritas mekanis. Integrasi fungsional merupakan kerangka perspektif fungsional yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang terintegrasi antara unsur-unsurnya. Masyarakat sebagai sistem memiliki unsur- unsur yang dipersatukan oleh adanya kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi melalui interaksi diantara unsur-unsur yang ada (ketergantungan fungsional). Integrasi fungsional ini mengarah pada hubungan vertikal dan horizontal.

  Hubungan vertikal mengarah pada warga masyarakat dengan negara sedangkan hubungan horizontal mengarah pada warga atau kelompok dalam masyarakat, apakah warga masyarakat secara individu, kelompok , golongan, maupun antar daerah masing-masing memiliki fungsi yang khas dan bisa mereka pertahankan sehingga ada saling ketergantungan. Integrasi koersif merupakan integrasi yang terjadi bsebagai hasil dari kekuatan yang sanggup mengikat kekuatan-kekuatan individu atau unsur-unsur masyarakat secara paksa. Singkatnya, integrasi dapat terjalin secara paksa oleh pihak yang memiliki kekuatan yang lebih besar dengan menggunakan berbagai pranata sosial serta alat yang memiliki kekuatan untuk mengikat dan memaksa anggota-anggota kelompok sosial. Dasar pemikiran integrasi koersif ini adalah teori paksaan . Dahrendorf mengatakan bahwa semua unit sosial selalu disatukan atau diintegrasikan melalui kekuatan yang menguasai dan memaksa 4.

  Pomparan Silahisabungan Pomparan Silahisabungan adalah keturunan Raja Silahisabungan yang terdiri dari Loho Raja, Tungkir Raja, Sondi raja, Sidabariba, Sinabutar, Sidebang Raja, Pintu Batu, dan Tambun Raja. Pomparan Silahisabungan ini merupakan satu kelompok marga dalam Batak Toba yang mempunyai tradisi dan budaya yang sedikit berbeda dengan kelompok marga lainnya. Dari wilayah daerahnya yang berada di Tolping, kabupaten Dairi, yang mana pada umumnya kelompok-kelompok marga dalam suku Batak Toba mempunyai wilayah di kabupaten Tobasa. Wilayah Silalahi yang kecil di Paropo, disudut sebelah utara danau toba yang hanya dihuni oleh beberapa ribu orang , dapat dianggap sebagai kawasan leluhur, tempat moyangnya pertama kali bermukim dan menurunkan sejumlah besar anak laki- laki dari dua orang isteri. (Vergouwen 1986:16) Dari Isteri pertama yang bernama Pinggan matio, lahirlah tujuh putra dan satu putri. Anak laki-laki pertama dinamkan Loho Raja, anak kedua dinamakan Tungkir Raja, anak ketiga dinamakan Sondi Raja, anak Keempat perempuan dinamakn Deang Namora sedangkan anak ke-5, ke-6, ke-7, ke-8 bernama Butar Raja, Dabariba Raja, Debang Raja, dan Batu Raja.Sedangkan dari isteri kedua, Boru Nairasaon, Silahisabungan hanya dikaruniai seorang putera bernama Tambun Raja.

5. Pesta Tugu Luhutan Bolon Raja Silahisabungan

  Pesta tugu luhutan bolon Raja Silahisabungan merupakan adalah suatu kegiatan sebagai ucapan syukur para keturunan Raja Silahisabungan yang mempunyai makna untuk mengikat persaudaraan antar marga kelompok keturunan Raja Silahisabungan. Upacara pelaksanaan pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabunagn ini dilaksanakan oleh seluruh keturunan Raja Silahisabungan diseluruh dunia sebagai ungkapan terimakasih kepada nenek moyang, Raja Silahisabungan, atas keberhasilan yang keturunannya capai didaerah rantau ataupun dikampung induk. Inilah yang dinamakan mereka sebagai rahmat nenek moyang mereka, Raja Silahisabungan.

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Perspektif Konflik

   Coser

  Coser dalam Poloma (2010), menyatakan konflik sebagai kesadaran yang tercermin dalam semangat pembaharuan masyarakat. Coser menunjukkan sumbangan konflik yang scara potensial positif untuk membentuk dan mempertahankan struktur. Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur kedalam dunia sosial sekelilingnya. Seluruh fungsi konflik itu (keuntungan dari situasi konflik yang memperkuat stuktur) dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan out-group. Konflik yang sedang berlangsung dengan out-groups dapat memperkuat identitas para anggota kelompok.

  Coser juga memakai istilah katup penyelamat (savety-value), yaang merupakan salah satu mekanisme khusus yang dapat dipaki untuk memeprtahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. “Katup penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik dan membantu “membersihkan suasana” dalam kelompok yang sedang kacau. Coser melihat katup-penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan yang tanpa katup-penyelamat ini hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam.Institusi katup-penyelamat ini juga memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap stuktur.

  Lembaga ‘savety-velve’ ini, disamping menjalankan ungsi positif untuk mengatur konflik, juga mencakup masalah pembiayaan. Katup penyelamat tidak ditujukan untuk menghasilkan perubahan struktural, maka masalah dasar daari konflik itu sendiri tidak terpecahkan. Artinya, semuanya berfungsi sebagai mekanisme untuk mengatur kemungkinan konflik dan secara tidak langsung merintangi perkembangan kelompok-kelompok yang sedang bertikaiyang bisa menimbulkan perubahan melalui konflik itu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser (1956 : 48) lewat katup penyelamat (safety-velve) itu permusushan dihambat agartidak berpaling melawan objek aslinya . Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun individu : mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.

  Dalam membahas berbagai situasi konflik Coser membedakan konflik yang realitis dari yang tidak realistis. Konflik yang realitis adalah konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Konflik yang tidak realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan antagonistis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Konflik non realistis ini adalah hasil dari berbagai kekecewaan dan kerugian, sebagai pengganti pengganti antagonisme realistis semula yang tidak terungkapkan. Dalam suatu situasi bisa terdapat elemen-elemen konflik realistis dan non-realistis. Konflik realistis biasanya diikuti oleh sentimen-sentimen yang secara emosional mengalami distorsi oleh karena pengungkapan ketegangan tidak mungkin terjadi dalam situasi konflik yang lain. Menurut Coser dalam Poloma (2010), terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresif. Contoh-contoh di mana konflik tidak diikuti oleh rasa permusuhan biasanya banyak terdapat pada hubungan-hubungan yang lebih bersifat parsial atau segmented. Akan tetapi bila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realistis dan konflik non realistis lebih sulit untuk dipertahankan. Coser (1956:62) menyatakan :Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan-hubungan sekunder , seperti misalnya pada rekan bisnis, rasa permusuhan dapat ralitif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan-hubunganprimer di mana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut, yang bersifat paradoks ialah, semakin dekat hubungan semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. .

  Tetapi semikin lama perasaan demikian ditekan, maka semakin penting pengungkapannya demi mempertahankan hubungan itu sendiri. Karena dalam suatu hubungan yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlibat, maka konflik itu ketika benar-benar meledak, mungkin sekali akan sangat keras.

  Coser menegaskan bahwa tidak adanya konflik tidak bisa dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan yang demikian, ketika konflik meledak dalam hubungan-hubungan yang intim. Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda-tanda dari hubungan-hubungan yang hidup, sedang tidak adanya konflik itu dapat berarti penekanan masalah-masalah yang menandakan kelak akan ada suasana yang benar-benar kacau.

1.6.2 Isu Fungsionalitas Konflik

  Konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur. Mengutip hasil pengamatan Simmel, Coser (1956) dalam Poloma (2010), menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhan dan keseimbangan. Konflik fungsional positif berfungsi bilamana tidak mempertanyakan dasar-dasar hubungan dan fungsional negatif jika menyerang suatu nilai inti. Coser juga menyatakan , orang dapat berharap bahwa tipe konflik ini barangkali akan memiliki dampak yang lebih besar pada hubungan-hubungan daripada konflik. Masyarakat yang terbuka dan berstruktur longgar membangun benteng untuk membendung tipe konflik yang akan membahayakan konsensus dasar dari kelompok itu dari serangan terhadap nilai intinya dengan membiarkan konflik tersebut berkembang di sekitar masalah-masalah yang tidak mendasar. Konflik antar dua kelompok dan antara berbagai kelompok antagonistis yang demikian itu saling menetralisir dan sesungguhnya berfungsi mempersatukan sistem sosial. Di dalam mempertentangkan nilai-nilai yang berada didaerah pinggiran, kelompok- kelompok yang saling bermusuhan tidak pernah sampai pada situasi yang menyebabkan perpeacahan. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group dapat merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja . masyarakat atau kelompok yang memperbolehkan konflik sebenarnya adalah masyarakat atau kelompok yang memiliki kemungkinan yang rendah dari ancaman ledakan-ledakan yang akan menghancurkan struktur sosial. Dalam situasi demikian konflik biasanya tidak berkembang disekitar nilai-nilai inti dan dengan demikian dapat memperkuat struktur. Di dalam kelompok-kelompok totaliter konflik ditekan dan bila telah meledak akan menghancurkan kesatuan kelompok. Ada beberapa kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi konflik dengan kelompok luar (out-Groups) dan struktur kelompok, antara lain, Coser menunjukkan bahwa konflik dengan kelompok luar akan membantu pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Coser (1956:92-93) berpendapat bahwa tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi merupakan hubungan timabal balik yang penting dalam konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi kelompok. Coser juga menyatakan ,bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari luar menjurus bukan pada peningkatan kohesi tetapi pada apati umum, dan akibatnya kelompok terancam perpecahan. Coser juga menunjukkan bahwa konflik dapat merupakan sarana bagi keseimbangan kekuatan , dan lewat sarana yang demikian kelompok-kelompok kepentingan mempertahankan kelangsungan masyarakat.

1.6.3 Konflik Kelompok Antarkelompok dan Solidaritas Kelompok Dalam

  Fungsi konflik yang positif dalam dinamika kelompol dalam (In-group) versus hubungan kelompok luar (out-group). Kekuatan solidaritas internal dan integrasi kelompok dalam bertambah tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar bertambah besar. Kekompakan yang semakin tinggi dari suatu kelompok yang terlibat dalam konflik membantu memperkuat batas antara kelompok satu dengan kelompok-kelompok yang lainnya dalam suatu lingkungan, khususnnya kelompok yang bermusuhan atau secara potensial dapat menimbulkan permusuhan. Didalam kelompok itu ada kemungkinan berkurangnya toleransi akan perpecahan atau pengkotakan, dan semakin tingginya konsensus dan konformitas. Para penyimpang dalam kelompok itu tidak lagi ditoleransi. Sebaliknya apabila kelompok itu tidak terancam konflikdengan kelompok luar yang bermusuhan tekanan yang kuat pada kekompakan, konformitas, dan komitmen terhadap kelompok tersebut makin berkurang. Ketidaksepakatan internal mungkin dapat muncul kepermukaan, dan para penyimpang mungkin akan lebih ditoleransi.

  Fungsi konflik eksternal untuk memperkuat kekompakan internal dan meningktkan moral kelompoknya, sehingga kelompok-kelompok dapat berusaha memancing antagonisme dengan kelompok luar supaya mempertahankan atau meningkatkan solidaritas internal. Ancaman dari luar membantu meningkatkan atau mempertahankan solidaritas internal. Ketegangan dalam suatu kelompok dapat dihindarkan untuk tidak merugikan kelompok lain jika ketegangan tersebut dapat diproyeksikan ke suatu sumber lain yang ada di luar. Ikatan-ikatan sosial dengan kelompok luar juga dapat muncul karena beberapa alasan seperti keinginan untuk berdamai dengan musuh daripada aktif berjuang melawannya. Tetapi kelompok yang ingin berdamai dengan kelompok luar ini dianggap sebagai pengkhianat. Coser mengemukakan jika konflik dapat menyebabkan perang, atau jika kelompok itu memeliki pembagian kerja yang tinggi, maka sentralisasi kekuasaan kemungkinan akan naik, namun kondisi seperti ini bisa dihindari jika ada koordinasi. (Doyle 1990: 196)

1.6.4 Konflik dan Solidaritas dalam Kelompok Coser mengemukakankonflik internal dapat menguntungkan secara positif.

  Hal ini didasari oleh pernyataannya yang mengatakan bahwa semua hubungan sosial pasti memiliki hubungan sosial tertentu, ketegangan-ketegangan, dan perasaan-perasaan negatif. Hal ini ditujukan terhadap hubungan kelompok dalam yaitu hubungan yang intim dan segmental dan sekunder. Ketegangan dan perasaan-perasaan negatif yang tidak dapat dielakkan ini merupakan hasil dari keinginan individu untuk meningkatkan kesejahteraannya, kekuasaan, prestise, dukungan sosial, atau penghargaan-penghargaan lainnya, karena banyak dari penghargaan-penghargaan merupakan sumber daya yang langka dan mempunyai tingkat kompetisi tertentu yang harus dihadapi. Ketegangan yang ada dalam semua hubungan sosial dikarenakan individu-individu berbeda satu sama lain dalam kebutuhan, tujuan pribadi, keterampilan, kemampuan.Bentuk ketegangan atau konflik pada tingkatan yang lebih besar akan mencerminkan apakah konflik itu diketahui secara eksplisist dan dirembukkan atau apakah konflik itu menyangkut prinsip-prinsip dasar atau isu-isu yang sekunder dalam hubungan tersebut.

  Menekan konflik merupakan hal yang biasa khususnya dalam kelompok seperti keluarga, yang diharapkan untuk hidup rukun secara emosional dan dukung mendukung dalam hubungannya. Menekan berarti bahwa kepentingan para anggota yang saling bertentang itu dilihat sebagai hal yang ganjil dan karena itu harus ditekan, tidak dibicarakan secara terbuka. Menekan konflik tidak menghilangkan kepentingan-kepentingan yang bertolak belakang . Meskipun bersifat tertutup, konflik dasar yang ditekan akan benar-benar mempengaruhi hubungan dalam kelompok dalan tersebut yang merusakkan solidaritas dan akhirnya dalam bebrapa hal menimbulkan kebencian yang sangat sulit dihadapi.

  Fungsi konflik yang bersifat integratif dalam suatu kelompok atau organisasi dimana ada suatu kerangka konsensus yang lebih luas mengenai ketidaksepakatan yang terjadi. Kerangka konsensus umum mengenai masalah pokok tersebut hancur, maka tidak ada dasar lagi bagi kesatuan kelompok, konflik internal dapat mengakibatkan disintegrasi atau perpecahan kelompok. Ada tidaknya konflik terbuka dapat merupakan indikator yang menyesatkan mengenai solidaritas kelompok tersebut. Kelompok dimana sering terjadi konflik terbuka sesungguhnya memiliki solidaritas yang lebih besar daripada kelompok dimana tidak ada konflik sama sekali. Persatuan yang utuh dalam kelompok tersebut biasanya diselimuti ketegangan dan permusushan. Jika ketegangan ini meledak, maka integrasi kelompok dapat menjadi rusak. Coser menekankan semskin erat suatu hubungan semakin besar kemungkinan munculnya sifat antagonistik maupun keteganga. Coser juga mengungkapkan semakin intim hubungan semakin besar pula perasaan yang dicurahkan , semakin besar pula kecenderungan untuk menekan perasaan bermusuhan.(Doyle, 1990:199).

1.6.5 Konflik Sebagai Suatu Stimulus Integrasi Antarkelompok

  Perubahan sering terjadi dalam sifat hubungan antar kelompok dalam dan kelompok-kelompok lainnyansebagai hasil dari konflik. Konflik sering memeperkuat batas antar kelompok dalam dan kelompok luar dan meningkatkan solidaritas kelompok dalam. Jika konflik tersebut berlarut-larut , ikatan-ikatan sosial secara perlahan dapat berkembang diantara pihak-pihak yang bertentangan tersebut. Salah satu iktan seperti itu adalah dibuatnya norma dan prosedur untuk mengatur cara-cara berkonflik.

  Konflik juga sering merangsang usaha untuk mengadakan persekutuan dengan kelompok-kelompok lain. Dalam beberapa hal, antagonisme antara kelompok-kelompok yang berlainan dapat diatasi jika kelompok-kelompok ini bersatu dalam suatu koalisi untuk melawan musish. Koalisi seperti ini tergantung pada persamaan kebudayaan diantara , jumlah kepentingan bersama dan tingkat perlawanan yang menekan perubahan yang dihadapi kelompok lain. Munculnya perpecahan antara kelompok-kelompok yang bermusushan berakhir apabila banyak kepentingan dan nilai sama dalam masing-masing kelompok dan apabila kepentingankepentingan yang lain bertentangan maka kelompok kelompok yang bersangkutan harus ditekan. Jika kepentingan dan nilai yang terdapat dalam suatu koalisi dan jika kelompok-kelompok yang bertentangan tersebut bersedia menerima dan merundingkan kepentingan-kepentingan yang dikonflikkan itu maka perpecahan tidak akan begitu tajam dan isu-isu konflik lebih cenderung meliputi tujuan-tujuan tertentu yang realistik.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Keluarga Melalui Model Family Care Unit (FCU) Di Desa Sambirejo Timur Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja - Hubungan Pola Makan dan Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

0 0 20

Hubungan Pola Makan dan Asupan Serat dengan Status Gizi pada Siswa/i SMP N 34 Medan tahun 2014

0 0 14

iv KATA PENGANTAR - Kepatuhan Pasien Skizofrenia Paranoid Rawat Jalan Dalam Penggunaan Obat Antipsikotik Di Rumah Sakit Jiwa (Rsj)Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Teori Stakeholder - Pengaruh Ukuran Perusahaan, Kemampulabaan, Leverage, dan Dewan Komisaris Terhadap Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan

0 2 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Ukuran Perusahaan, Kemampulabaan, Leverage, dan Dewan Komisaris Terhadap Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan

0 0 10

Pengaruh Ukuran Perusahaan, Kemampulabaan, Leverage, dan Dewan Komisaris Terhadap Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan

0 0 8

BAB II SALURAN TRANSMISI - Analisis Pengaruh Frekuensi Terhadap Redaman pada Kabel Koaksial

0 2 20

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

0 0 10

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Ka

0 1 24