BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) 1. Pengertian Organizational Citizenhip Behavior (OCB) - Pengaruh Persepsi Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada Karyawan PT. Perkebun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB)

1. Pengertian Organizational Citizenhip Behavior (OCB)

  Perilaku di dalam organisasi dibedakan menjadi dua jenis yaitu in-role

  

behavior dan extra-role behavior. In-role behavior mengacu pada perilaku yg

  terdapat pada deskripsi kerja (job description), sedangkan extra-role behavior adalah perilaku yang menguntungkan organisasi dan dilakukan secara sukarela (Burns & Collins, 1995). Salah satu bentuk dari extra-role behavior adalah Organizational Citizenship Behavior (OCB).

  Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan perilaku

  seseorang yang menunjukkan tindakan sukarela dan bersedia membantu tanpa meminta bayaran ataupun reward. Organ (2006) mendefinisikan OCB sebagai perilaku yang merupakan pilihan dan inisiatif individual, tidak berkaitan dengan sistem reward formal organisasi tetapi secara khusus bertujuan untuk meningkatkan efektivitas organisasi. Hal ini berarti perilaku tersebut tidak termasuk ke dalam persyaratan kerja atau deskripsi kerja karyawan, namun merupakan pilihan pribadi dari karyawan sehingga jika tidak ditampilkan pun tidak diberikan hukuman (Podsakoff & et al., 2000).

  Brief dan Motowidlo (1986) menghubungkan OCB dengan konsep lain yaitu Prosocial Organitazional Behavior (POB). POB merupakan setiap perilaku dalam setting organisasi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan seseorang. POB bukan hanya perilaku yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas organisasi, namun juga membantu orang-orang dalam organisasi tersebut secara individual.

  Bateman & Organ (1983) mendefinisikan OCB sebagai perilaku bemanfaat yang dilakukan oleh karyawan, secara bebas dari ketentuan atau kewajibannya dengan tujuan untuk membantu orang lain dalam mencapai tujuan organisasi. OCB merupakan perilaku yang berkaitan dengan kontribusi di luar peran formal yang ditampilkan oleh seorang karyawan dan tidak mengharapkan imbalan atau hadiah formal dengan tujuan untuk mencapai tujuan dan efektivitas organisasi (Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006). Misalnya menolong teman kerja untuk mengurangi beban kerja mereka, melakukan tugas yang tidak diminta tanpa mengharapkan imbalan, dan membantu menyelesaikan masalah orang lain.

  Robbins (2001) yang menyatakan bahwa organisasi yang sukses membutuhkan karyawan yang akan melakukan lebih dari sekedar tugas formal mereka dan mau memberikan kinerja yang melebihi harapan. Dalam dunia kerja yang dinamis seperti saat ini, di mana tugas makin sering dikerjakan dalam tim, fleksibilitas sangatlah penting. Organisasi menginginkan karyawan yang bersedia melakukan tugas yang tidak tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka (Robbins, 2001). Menurut Robbins dan Judge (2008), fakta menunjukkan bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang memiliki OCB yang baik, akan memiliki kinerja yang lebih baik dari organisasi lain.

  Berdasarkan definisi dari beberapa tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa OCB adalah tindakan yang bersifat sukarela, bersedia membantu tanpa meminta bayaran ataupun reward, dilakukan tanpa adanya paksaan, dan memberi kontribusi pada keefektifan fungsi organisasi.

2. Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

  Dimensi yang paling sering digunakan dalam Organizational Citizenship Behavior (OCB) adalah dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Organ.

  Menurut Organ (1988), OCB dibangun dari lima dimensi yang masing-masing bersifat unik, yaitu: a.

  Altruism

  Altruism merupakan perilaku karyawan untuk menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan tanpa memikirkan keuntungan pribadi.

  b.

  Courtesy Merupakan perilaku yang memperhatikan dan menghormati orang lain, menjaga hubungan baik dengan rekan kerja agar terhindar dari masalah interpersonal, dan membuat langkah-langkah untuk meredakan atau mengurangi suatu masalah.

  c.

  Sportsmanship Perilaku ini menekankan pada aspek-aspek perilaku positif terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa menyampaikan keberatan, seperti tidak suka mengeluh walaupun berada dalam situasi yang kurang nyaman, tidak suka protes, dan tidak membesar-besarkan masalah yang kecil.

  d.

  Conscientiousness Perilaku yang menunjukkan sebuah usaha melebihi harapan dari organisasi. Perilaku sukarela atau yang bukan merupakan kewajiban dari seorang karyawan.

  e.

  Civic Virtue Karyawan berpartisipasi aktif dalam memikirkan kehidupan organisasi atau perilaku yang menunjukkan tanggung jawab pada kehidupan organisasi untuk meningkatkan kualitas pekerjaaan yang ditekuni. Contoh perilakunya adalah ketika karyawan mau terlibat dalam permasalahan yang ada di organisasi dan tetap up to date dalam perkembangan organisasi.

  Selanjutnya Podsakoff (2000) juga membagi OCB menjadi tujuh dimensi atau aspek, yaitu: a.

  Altruism Yaitu perilaku membantu teman kerja secara sukarela dan mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dengan pekerjaan. Dimensi ini merupakan komponen utama dari OCB.

  b.

  Conscientiousness Yaitu perilaku yang melakukan prosedur dan kebijakan perusahaan melebihi harapan minimum perusahaan. Karyawan yang menginternalisasikan peraturan perusahaan secara sadar akan mengikutinya meskipun pada saat tidak diawasi.

  c.

  Sportsmanship Yaitu tidak mengeluh mengenai ketidaknyamanan bekerja, mempertahankan sikap positif ketika tidak dapat memenuhi keinginan pribadi, mengizinkan seseorang untuk mengambil tindakan demi kebaikan kelompok.

  d.

  Loyality Didefinisikan sebagai loyalitas terhadap organisasi, meletakkan perusahaan diatas diri sendiri, mencegah dan menjaga perusahaan dari ancaman eksternal, serta mempromosikan reputasi organisasi.

  e.

  Cheerleading Karyawan terlibat atau mengikuti perayaan prestasi dari rekan kerjanya (rendah hati). Dampaknya yaitu untuk memberikan penguatan positif bagi kontribusi positif, yang pada gilirannya akan membuat kontribusi tersebut lebih mungkin terjadi di masa depan (Organ; Podsakoff; & Mackenzie, 2006).

  f.

  Peacemaking Karyawan menyadari adanya masalah atau konflik yang akan memunculkan perselisihan antara dua atau lebih partisipan. Seorang

  

peacemaker akan masuk kedalam permasalaha, memberikan kesempatan

  pada orang yang sedang memiliki masalah untuk berpikir jernih, dan membantu mencari solusi dari permasalahan (Organ; Podsakoff; & Mackenzie, 2006).

  g.

  Courtesy Courtesy adalah menjaga hubungan baik dan menghargai sesama rekan kerja.

  Dimensi altruism, courtesy, cheerleading, dan peacemaking dapat digabung menjadi satu dimensi yaitu dimensi helping behavior karena berkaitan dengan perilaku menolong orang lain dalam mengatasi permasalahan- permasalahan yang ada serta menyangkut pekerjaan di organisasi (Organ; Podsakoff; dan Mackenzie, 2006). Berdasarkan pada penjelasan di atas maka peneliti menggunakan empat aspek untuk mengukur OCB karyawan yaitu helping

  behavior, civic vitue, sportsmanship dan conscientiousness.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior (OCB)

  Beberapa faktor yang mempengaruhi Organizatioanl Citizenship Behavior (OCB) adalah sebagai berikut:

  a. Kepribadian dan suasana hati (mood) Kepribadian dan suasana hati mempunyai pengaruh terhadap timbulnya perilaku OCB secara individual maupun kelompok. Kepribadian merupakan suatu karakteristik yang secara relative dapat dikatakan tetap, sedangkan suasana hati merupakan karakteristik yang dapat berubah

  • –ubah.
suasana hati yang positif akan meningkatkan peluang seseorang untuk membantu orang lain, meskipun suasana hati dipengaruhi sebagian oleh kepribadian ia juga akan dipengaruhi oleh situasi, misalnya iklim kelompok kerja dan faktor-faktor keorganisasian.

  Penelitian awal nengenai OCB menemukan bahwa kepribadian tidak hanya menjadi variabel prediksi terbaik namun juga menjadi salah satu alasan yang dapat menjelaskan perbedaan perilaku karyawan. Organ dan Ryan (1995) mengatakan bahwa agreeableness, conscientiousness, perasaan yang positif dan negatif dapat mepresiksi OCB.

  b.

  Jenis Kelamin Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap kinerja OCB. Wanita cenderung menunjukkan perilaku kerja seperti menolong orang lain dan lebih baik dalam bekerja sama dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu wanita lebih sering nerperilaku OCB karena merasa OCB bukan hanya sebagai tugas ekstranya tetapi sudah seperti kewajiban (Luthans, 2006).

  c. Budaya dan Iklim Organisasi Sloat (dalam Novliadi, 2007) berpendapat bahwa karyawan cenderung melakukan tindakan yang melampaui tanggung jawab kerja apabila mereka: merasa puas dengan pekerjaannya, menerima perlakuan yang sportif dan penuh perhatian dari pengawas, dan percaya bahwa mereka diperlakukan adil oleh organisasi.

  Iklim dan budaya organisasi dapat juga menjadi penyebab perilaku di atas. Budaya organisasi dapat mengarahkan perilaku pegawai untuk meningkatkan kemampuan kerja, komitmen dan loyalitas, serta perilaku extra

  

role seperti: membantu rekan kerja, sukarela melakukan kegiatan extra,

  menghindari konflik dengan rekan kerja, melindungi properti organisasi, menghargai peraturan yang berlaku, toleransi pada situasi yang kurang ideal/menyenangkan, memberi saran yang membangun, serta tidak membuang-buang waktu ditempat kerja (Oemar, 2013). Penelitian yang dilakukan Oemar (2013) menunjukkan bahwa Budaya organisasi memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap OCB.

  Begitu pula dengan iklim organisasi, Bersona dan Avilio (dalam Prihatsanti, 2010) menemukan pada beberapa penelitian bahwa salah satu faktor penting yang membentuk OCB adalah iklim organisasi. Iklim organisasi akan menentukan apakah seseorang dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawab sesuai prosedur atau tidak (Brahmana & Sofyandi dalam Prihatsanti, 2010).

  d. Persepsi terhadap kualitas interaksi atasan-bawahan Riggio (1990) menyatakan bahwa apabila interaksi atasan-bawahan berkualias tinggi maka seseorang atasan akan berpandangan positif terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa atasannya banyak memberikan dukungan dan motivasi. Hal ini meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan pada atasannya sehingga mereka termotivasi untuk melakukan “lebih dari” yang diharapkan oleh atasan mereka.

  e. Persepsi terhadap dukungan organisasional Shore & Wayne (1993) mengatakan bahwa karyawan yang mempersikan bahwa mereka didukung oleh organisasi akan memberikan timbal balik terhadap organisasi dengan menunjukkan Organizational Citizenship Behavior (OCB).

  f. Masa Kerja Karyawan dengan masa kerja yang lebih lama akan meningkatkan rasa percaya diri dan kompetensinya. Semakin lama karyawan bekerja dalam suatu organisasi, semakin tinggi pula persepsinya bahwa mereka memiliki investasi di dalamnya. Mereka akan lebih mengutamakan kepentingan bersama dibanding ambisi pribadinya sehingga mereka lebih cenderung bersedia menolong rekan kerjanya dan berbuat lebih terhadap pencapaian organisasi (Konovsky & Pugh, 2002).

  Berdasarkan penjelasan di atas terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi OCB, namun peneliti tidak menggunakan semua faktor tersebut dalam penelitian dengan alasan keefisienan dan kefektifan jalannya penelitian. Berdasarkan pada relevansi permasalahan yang ada dan ketertarikan peneliti, maka faktor persepsi kualitas interaksi atasan-bawahanlah yang akan diuji dalam penelitian ini, apakah variabel tersebut memiliki pengaruh terhadap OCB dan seberapa besar pengaruh tersebut.

B. PERSEPSI TERHADAP KUALITAS

INTERAKSI ATASAN- BAWAHAN

1. Pengertian Persepsi

  Persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang terintegrasi dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain (Walgito, 2004).

  Selanjutnya dalam kamus psikologi tertulis bahwa persepsi adalah: (1) Proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera, (2) Kesadaran dari proses-proses organis, (3) suatu kelompok penginderaan dengan penambahan arti-arti yang berasal dari pengalaman di masa lalu, (4) variabel yang menghalangi atau ikut campur tangan, berasal dari kemampuan organisasi untuk melakukan pembedaan diantara perangsang- perangsang, (5) kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau keyakinan yang serta merta mengenai sesuatu (Chaplin, 2008).

  Menurut Sarwono (2002) persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognis. Berdasarkan beberapa pengertian persepsi di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses kognitif yang melibatkan pengujian, pemilihan, dan penginterpretasian suatu stimulus melalui penginderaaan menjadi menjadi gambaran objek yang utuh.

2. Pengertian Persepsi terhadap Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan

  Dalam sebuah perusahaan atau organisasi sering dijumpai fenomena tentang perbedaan sikap pemimpin terhadap karyawannya. Misalnya pada karyawan X pemimpin akan bersikap ramah dan selalu menawarkan bantuan jika melihat X mengalami kesulitan. Tetapi, pada karyawan Y pemimpin akan bersikap dingin dan tidak memberikan bantuan sebelum Y meminta bantuan pada pemimpinnya. Fenomena tersebut termasuk dalam bentuk interaksi antara atasan dan bawahan yang dapat diterangkan dengan teori leader member exchange (LMX).

  Menurut Yulk (2002) LMX sebelumnya disebut sebagai vertical dyad

  linkage theory karena fokus hubungan atasan dan bawahan terletak pada proses-

  proses timbal balik yang terjadi dalam dyad. Dyad adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang, sedangkan vertical-diyad adalah hubungan yang terjadi antara dua orang yang berada pada tingkat atau level yang berbeda dalam suatu organisasi, atasan dan bawahan (Landy, 1989). Jadi, hubungan vertical-dyad dapat juga disebut interaksi yang terjadi antara atasan dan bawahan. Kualitas interaksi antara atasan dan bawahan inilah yang mendasari teori kepemimpinan pertukaran atasan-bawahan tersebut (Jewell, 1998).

  Teori LMX menjelaskan bagaimana atasan dan bawahan mengembangkan hubungan saling mempengaruhi satu sama lain dan menegosiasikan peran bawahan di dalam suatu organisasi (Yulk, 1989). LMX tidak hanya melihat sikap dan perilaku pemimpin dan pengikutnya, tetapi menekankan pada kualitas hubungan yang terbentuk. Lebih lanjut, Gesterner dan Day (1997) menjelaskan bahwa teori LMX berbeda dengan teori kepemimpinann lainnya, LMX secara eksplisit fokus pada hubungan dyadic dan hubungan unik dalam mengembangkan kepemimpinan dengan tiap-tiap karyawan.

  Danserau (1975) mengatakan bahwa LMX merupakan sebuah pendekatan alternatif untuk memahami pengaruh kepemimpinan dalam mengefektifkan karyawan yang berfokus pada hubungan kelompok antara pemimpin dan tiap-tiap karyawan. Hubungan yang berkembang antara pemimpin dan karyawan akan berpengaruh terhadap berbagai faktor-faktor penting untuk individu dan organisasi (Gerstner & Day, 1998).

  Liden dan Maslyn (1998) mendefiniskan LMX sebagai dinamika hubungan atasan dan bawahan, bersifat multidimensional yang terdiri atas empat dimensi yaitu kontribusi, loyalitas, afeksi, dan respek terhadap profesi. Selain itu LMX juga bisa diartikan sebagai konsep yang menjelaskan upaya peningkatan kualitas hubungan antara pemimpin dengan karyawan yang akan mampu meningkatkan kerja keduanya (Robbins, 2006).

  Graenn dan Cashman (1975) berpendapat bahwa LMX adalah hubungan dua arah yang dinamis antara pemimpin dan karyawan dimana pemimpin akan memperlakukan karyawan secara berbeda sesuai dengan waktu dan kemauan yang dimiliki atasan tersebut. Jika seorang bawahan masuk ke dalam kategori in-group maka interaksi yang terjadi akan berkualitas tinggi, namun jika seorang bawahan masuk ke dalam kategori out-group maka interaksi yang terjadi akan berkualitas rendah (Landy, 1989).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap kualitas interaksi atasan-bawahan merupakan penilaian karyawan terhadap hubungannya dengan atasan dalam suatu dyad (kelompok yang terdiri dari dua orang) yang saling mempengaruhi satu sama lain.

3. Tahap dalam Interaksi Atasan-Bawahan

  Sparrowe dan Liden (1997) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tahap dalam proses hubungan antara atasan dan bawahan, yaitu : a.

  Menilai Bawahan (Testing and Assessment) Pada tahap ini masih belum ada hubungan diantara atasan dan bawahannya. Atasan masih menimbang mana yang dapat masuk ke dalam kategori in-group maupun out-group berdasarkan pada kriteria subjektif maupun objektif. b.

  Pengembangan Kepercayaan (Development of Trust) Tahapan ini atasan memberikan kesempatan dan tantangan yang baru untuk menumbuhkan rasa percaya diantara mereka. Sebagai timbal baliknya, maka para bawahan yang termasuk ke dalam kategori in-group akan memperlihatkan loyalitas kepada atasannya.

  c.

  Tercipta Ikatan Emosional (Creation of Emotional Bond) Seorang bawahan yang memiliki hubungan yang baik dengan pemimpinnya dapat masuk ke dalam tahapan ini, dimana hubungan dan juga ikatan diantara keduanya menjadi kuat secara emosional. Pada tahap ini, seorang bawahan memiliki komitmen yang tinggi terhadap atasan.

4. Dimensi Persepsi terhadap Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan

  Liden dan Maslyn (1998) mengatakan bahwa dimensi persepsi terhadap kualitas interaksi atasan-bawahan dapat dilihat dari dimensi Leader Member

  Exchange (LMX), yaitu: a.

  Contribution Kontribusi merupakan persepsi karyawan terhadap arahan dan kualitas tugas yang mempengaruhi pencapaian tujuan. Karyawan dengan kontribusi yang baik bersedia bekerja keras demi atasan karena sang atasan menyediakan sumber daya dan kesempatan pada karyawannya.

  b.

  Loyalty

  Loyalty merupakan ungkapan dukungan terhadap tujuan dan karakteristik

  personal dari bawahan terhadap atasan. Dimensi ini berhubungan dengan kesetiaan penuh terhadap seseorang yang konsisten dari waktu ke waktu. c.

  Affect merupakan hubungan dekat antara atasan dan bawahan yang

  Affect

  berdasarkan pada daya tarik individual dan bukan hanya pada pekerjaan atau profesionalitas saja. Bentuk kedekatan ini dapat ditunjukkan melalui keinginan untuk melakukan hubungan yang menguntungkan dan bermanfaat, seperti antar sahabat.

  d.

  Proffessional respect Dimensi ini merujuk pada persepsi tentang reputasi antara atasan dan bawahan yang terjalin baik di dalam maupun di luar organisasi yang dapat meningkatkan kinerja mereka. Persepsi ini bisa saja berdasarkan pada riwayat hidup seseorang, seperti pengalaman pribadi seseorang, pendapat- pendapat orang lain di dalam dan di luar organisasi, serta keberhasilan atau penghargaan profesional lainnya yang telah diraih seseorang.

  Dimensi persepsi terhadap kualitas interkasi atasan-bawahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah affect, loyaliity, contribution, dan

  professional respect. Aspek-aspek tersebut termasuk dalam LMX-MDM (Leader

Meber Exchange-Multidimensional Measures) dari Liden dan Maslyn (1998)

  yang akan digunakan dalam penelitian ini.

5. Dampak Persepsi Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan

  Adapun dampak dari persepsi kualitas interaksi atasan bawahan adalah sebagai berikut: a.

  Kepuasan Kerja Kualitas interaksi atasan-bawahan secara positif berhubungan dengan kepuasan kerja karyawan (Bauwer & Green dalam Anggriawan, 2012).

  Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa memiliki kualitas hubungan yang baik dengan atasan akan berdampak pada pengalaman positif bagi karyawan, seperti kinerja dan kepuasan kerja yang baik (Gerstner & Day, 1997).

  Suryanto (dalam Anggriawan, 2012) mengatakan bahwa kualitas interaksi atasan-bawahan amat penting, karena hal itu akan menimbulkan kepuasan kerja pada karyawan. Selain itu kualitas interaksi atasan-bawahan yang baik meningkatkan kerja sama tim yang berdampak pada efektifitas perusahaan. Penelitian Dienetsch dan Liden (1986) menemukan bahwa hubungan antara pemimpin dan anggota (LMX) memiliki keterkaitan terhadap kepuasan kerja. Hasil penelitian lain yang juga mendukung hal ini adalah penelitian dari Anggriawan (2012) yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara kualitas interaksi atasan-bawahan dengan kepuasan kerja karyawan.

  b.

  Komitmen Organisasi Kualitas interaksi atasan-bawahan dapat mempengaruhi komitmen karyawan terhadap organisasi, hubungan ini bisa dalam bentuk kepercayaan yang diberikan, komunikasi yang efektif, dukungan untuk bawahan dan penghargaan dari atasan. Pada pennelitian yang dilakukan oleh Trukenbrodt (2000) mengenai hubungan antara sikap atasan terhadap bawahan dnegan menggunakan pendekatan teori LMX dan komitmen organisasi, hasilnya menunjukkan adanya hubungan antara kualitas interaksi atasan-bawahan (LMX) dengan komitmen organisasi. Begitu pula dengan hasil penelitian Ristaniar (2010) yang menunjukkan adanya hubungan positif antara kualitas interaksi atasan

  • –bawahan dengan komitmen organisasi.

  c.

  Organizational Citizenship Behavior (OCB) Persepsi Leader-Member Exchang (LMX) memiliki dampak pada

  

organizational citizenship behavior (OCB). Miner (1988) mengemukakan

  bahwa interaksi atasan bawahan yang berkualitas tinggi akan memberikan dampak seperti meningkatnya kepuasan kerja, produktivitas, dan kinerja pegawai. Riggio (1990) menyatakan bahwa apabila interaksi atasan- bawahan berkualitas tinggi maka seorang atasan akan berpandangan positif terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa atasan banyak memberikan dukungan dan motivasi. Hal ini meningkatkan rasa percaya diri dan hormat bawahan pada atasan sehingga mereka termotivasi untuk melakukan ”lebih dari” yang diharapkan oleh atasan mereka. Pernyataan di atas didukung oleh hasil penelitian dari Farahbod (2012) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara persepsi kualitas interaksi atasan-bawahan dengan OCB. Adanya dampak dari LMX terhadap OCB juga ditunjukkan oleh penelitian dari Hapsari (2013). d.

  Motivasi Kerja Motivasi kerja mengacu pada dorongan secara psikologis pada diri individu untuk menentukan arah perilakunya, tingkat usahanya, dan tingakat kegigihan atau ketahanannya (George dan Jones, 2005). Motivasi kerja merupakan salah satu dampak dari persepsi kualitas interaksi atasan- bawahan. Hal ini sesuai denga hasil penelitian dari Wijanto dan Sutanto (2013) yang menunjukkan adanya pengaruh antara kualitas interaksi atasan-bawahan dengan motivasi kerja karyawan. Semakin baik kualitas intraksinya maka karyawan akan termotivasi untuk bekerja dengan baik.

C. PENGARUH PERSEPSI KUALITAS

INTERAKSI ATASAN-

BAWAHAN TERHADAP ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP

  Organisasi pada umumnya percaya bahwa untuk mencapai keunggulan harus menggusahakan kinerja karyawan yang setinggi-tingginya, karena pada dasarnya kinerja karyawan terutama kinerja individual dapat mempengaruhi kinerja kelompok atau tim dan juga kinerja organisasi secara keseluruhan. Kinerja atau perilaku yang menjadi tuntutan organisasi tidak hanya perilaku in-role, namun juga perilaku extra-role. Perilaku extra-role disebut juga Organizational

  Citizenship Behavior (OCB).

  Robbins (2006) mendefinisikan OCB sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal atau job description seorang karyawan namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut untuk lebih efektif. Telah ada beberapa penelitian mengenai OCB, dari beberapa penelitian tersebut diketahui bahwa dampak dari OCB mampu meningkatkan efektifitas dan kesuksesan organisasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Borman dan Motowidlo (dalam Novliadi, 2007) yang mengatakan bahwa OCB dapat meningkatkan performa organisasi (organizational performance) karena perilaku ini merupakan “pelumas” dalam organisasi, dapat diartikan dengan adanya perilaku ini maka interaksi sosial pada anggota-anggota organisasi menjadi lancar, mengurangi terjadinya perselisihan, dan meningkatkan efisiensi.

  Interaksi atasan-bawahan yang berkualitas tinggi akan memberikan dampak seperti meningkatnya produktifitas, kepuasan kerja dan kinerja karyawan.

  Penelitian dari Konovsky dan Pugh (1994) menunjukkan bahwa atasan yang baik akan mendorong karyawan untuk berperilaku citizenship karena hubungan pertukaran sosial dikembangkan antara karyawan dan atasan. Ketika seorang bawahan merasa diperlakukan secara adil, maka karyawan akan membalas dengan perilaku kerja yang baik.

  Selanjutnya Riggio (1990) menyatakan bahwa apabila interaksi atasan- bawahan berkualitas tinggi maka atasan akan berpandangan positif terhadap bawahannya sehingga sang bawahan akan merasakan bahwa atasannya memberikan dukungan dan motivasi. Hal-hal seperti inilah yang dapat meningkatkan rasa percaya dan hormat bawahan pada atasan mereka sehingga termotivasi untuk melakukan pekerjaan yang melebihi harapan atasannya. Ketika kualitas interaksi atasan-bawahan dipersepsi secara positif atau pada level yang tinggi oleh karyawan, hal ini akan membuat karyawan secara suka rela untuk memberi imbal baliknya (reciprocity). Imbal baliknya dapat diwujudkan dengan bekerja “lebih dari” yang seharusnya mereka kerjakan atau menunjukkan OCB (Organ, 2006)

  Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap kualitas interaksi atasan-bawahan memiliki pengaruh kepada OCB, semakin baik atau positif bahwa persepsi terhadap kualitas interaksi atasan-bawahan maka OCB karyawan akan semakin tinggi.

D. HIPOTESA PENELITIAN

  Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah “ada pengaruh positif persepsi kualitas interaksi atasan- bawahan terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada karyawan PT. Perkebunan Nusantara II Medan (Persero) Kebun Limau Mungkur”. Semakin positif persepsi kualitas interaksi atasan-bawahan maka akan semakin tinggi

  Organizational Citizenship Behavior (OCB) karyawan PT. Perkebunan Nusantara II Medan (Persero) Kebun Limau Mungkur.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Feng Shui Terhadap Susunan Ruang dalam Hunian Masyarakat Tionghoa

1 1 37

Pengaruh Kebijakan Pendanaan, Risk Based Capital dan Ukuran Perusahaan terhadap Nilai Perusahaan Asuransi dengan Laba Perusahaan sebagai Variabel Moderating

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori - Pengaruh Kebijakan Pendanaan, Risk Based Capital dan Ukuran Perusahaan terhadap Nilai Perusahaan Asuransi dengan Laba Perusahaan sebagai Variabel Moderating

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan perkembangan pasar modal yang demikian pesat, terutama - Pengaruh Kebijakan Pendanaan, Risk Based Capital dan Ukuran Perusahaan terhadap Nilai Perusahaan Asuransi dengan Laba Perusahaan sebag

0 0 10

Permenpan RB Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pengadaan PPPK Untuk Guru, Dosen, Tenaga Kesehatan, Dan Penyuluh Pertanian - Berkas Edukasi

0 0 13

BAB II DASAR TEORI - Teknik Penjadwalan Berbasis Fitur Subjektif pada WiMAX untuk Layanan Video on Demand

0 0 17

Mengukur Getaran Mobil dengan Mengunakan Sensor Accelerometer MPU6050 dengan Interface Grafik pada PC

0 0 29

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Getaran - Mengukur Getaran Mobil dengan Mengunakan Sensor Accelerometer MPU6050 dengan Interface Grafik pada PC

0 0 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Logam Berat - Kandungan Logam Kadmium (Cd), Timbal (Pb) dan Merkuri (Hg) pada Air dan Komunitas Ikan di Daerah Aliran Sungai Percut

1 0 11

A. SKALA SAAT UJI COBA - Pengaruh Persepsi Kualitas Interaksi Atasan-Bawahan Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada Karyawan PT. Perkebunan Nusantara II (persero) Kebun Limau Mungkur Medan

0 0 51