BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak Pidana Pencucian Uang Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Studi Kasus Perkara No. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa Irjen Pol Drs. Djo

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila yang juga merupakan

  sumber segala kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila juga merupakan sumber dari semua tertib hukum yang berlaku di Negara kita yang mana di dalamnya sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan/atau hak-hak asasi manusia, maka penegakan hukum dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia adalah dua hal yang secara simultan harus diperhatikan dan dipatuhi bagi setiap

  1 proses penegakan hukum di Indonesia.

  Selain negara yang berlandaskan Pancasila, Indonesia dikenal pula sebagainegara hukum. Hal tersebut tercantum pada Pasal 1 butir ke-3 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsekuensi dari tercantumnya pasal tersebut adalah bahwa telah terciptanya suatu supremasi hukum (supremacy of law) di Indonesia dimanahukummenjadi panglima tertinggi yang mengaturkehidupan masyarakatdan semua masalah yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat harus diselesaikan dengan hukum. Dengan adanya supremasi hukum tersebut yang diterapkan melalui asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia maka para penegak hukum tidak dibenarkan bertindak di luar

1 Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule Hak Tersangka Sebelum Pemeriksaan, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010, hlm. 8.

  ketentuan hukum atau undue of law maupun undue process serta tidak dibenarkan

  2 bertindak sewenang-wenang atau abuse of power.

  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengatur mengenai hak-hak asasi manusia dibidang hukumsebagaimana tercantum pada Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi:

  “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

  Dengan demikian negara wajib untuk menjunjung tinggi hak-hak asasi setiap orang dan melakukan penegakan hukum tanpa melanggar hukum itu sendiri.Seseorang tidak dapat disangkakan, ditangkap, ditahan, dituntut maupun dihadapkan di depan pengadilan atas dasar asumsi,dugaan, kepentinganataupun kecurigaan semata melainkan harus berdasarkan alat-alat bukti sebagaimanadiatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  3 Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dikenal Asas Praduga Tidak

  Bersalah atau presumption of innocent yang jika ditinjau dari segi teknis yuridis maupun segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur” atau accusatory

  procedure /accusatorial system. Prinsip akusatur menempatkan kedudukan

  tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek bukan objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan 2 M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan , Jakarta : Sinar Grafika, 2009, hlm. 36. 3 Yang dimaksud dengan Sistim Peradilan Pidana adalah hukum acara pidana dalam arti

  luas yang tidak terbatas pada ketentuan normative termasuk juga di dalamnya dasar teori, filosofi dan konsepnya. (Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana Surat Resmi Advokat Di Pengadilan , Jakarta : Papas Sinar Sinanti, 2013, hlm. 13). diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat,dan harga diri, s edangkan yang menjadi objek pemeriksaan adalah “kesalahan”

  (tindakan pidana) yang dilakukan tersangka/terdakwa. Ke arah itulah pemeriksaan

  4 ditujukan.

  Dengan asas praduga tak bersalah yang dianut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memberi pedoman kepada aparat penegak

  5 hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap pemeriksaan.

  Dengan demikian, proses penegakan hukum acara pidana Indonesia haruslah menerapkan prinsip akusatur tersebut dalam setiap pemeriksaan.

  Korupsi merupakan bahaya laten yang harus diberantas dan ditumpas agar tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dapat terwujud secara baik. Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan yang dimusuhi secara universal oleh hampir seluruh negara.Bahkan korupsi sudah dinyatakan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Sebagai suatu kejahatan yang extraordinary pemberantasannya juga harus extraordinary, dalam arti harus lebih istimewa penanganannya dibandingkan kejahatan lainnya.

  Perkembangan tindak pidana korupsi saat ini memang disertai dengan tindak pidana lain terkait dengan upaya-upaya untuk mengaburkan, menyamarkan serta menyembunyikan aset-aset yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi. Salah satu dari upaya menyembunyikan aset-aset tersebut dilakukan dengan metode pencucian uang, karena tujuan dari pencucian uang itu sendiri adalah 4 5 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 40.

  M. Yahya Harahap, Loc.Cit. untuk menyembunyikan maupun menyamarkan hasil tindak pidana agar para penegak hukum kesulitan untuk melacak hasil tindak pidana tersebut dan si pelaku dapat menikmati hasil tindak pidananya dengan aman.Modus operandi dari tindak pidana korupsi yang disertai dengan tindak pidana pencucian uang semakin hari semakin canggih sesuai dengan perkembangan zaman dan ini merupakan tugas berat bagi para penegak hukum untuk dapat mengusut dan menuntaskan kasus-kasus korupsi yang biasanya disertai dengan tindak pidana pencucian uang.

  Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia.Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistim perekonomian dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Di dalam praktek

  

money laundering itu diketahui banyak dana-dana potensial yang tidak

  dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan “steril investment” misalnya dalam bentuk investasi di bidang properti pada negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu

  6 hasil yang diperoleh jauh lebih rendah.

6 Bismar Nasution, Rezim Anti-Money Laundering di Indonesia, Bandung : BooksTerrace & Library, 2005, hlm. 1.

  Korupsi dan pencucian uang saling berhubungan dan bahkan cenderung

  7

  untuk terjadi bersama-sama, kemampuan untuk mentransfer dan menyembunyikan hasil tindak pidana sangat penting bagi pelaku korupsi,

  8

  terutama pelaku korupsi dalam skala yang besar. Arti penting dari hubungan antara korupsi dengan pencucian uang adalah terkait dengan solusi yang diberikan satu sama lain, yaitu teknik pemberantasan korupsi berpotensi dapat membantu dalam memerangi pencucian uang sedangkan sistem anti pencucian uang dapat membantu pemberantasan korupsi. Akan tetapi tampaknya sistem anti pencucian uang lebih berkontribusi untuk melawan korupsi dibandingkan dengan teknik

  9 pemberantasan korupsi yang dilakukan untuk memberantas pencucian uang.

  Memang hal yang sangat wajar dan pasti akan terjadi betapa marahnya rakyat Indonesia apabila ada pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi. Tetapi hukum harus tetap ditegakkan sebagaimana mestinya dan jaminan akan perlindungan hak asasi manusia setiap orang pada setiap proses harus diperhatikan.Kemarahan maupun kebencian tidak dapat menghapuskan hak-hak asasi manusia yang mana sudah melekat pada diri setiap manusia sejak dilahirkan.

  Pemberantasan korupsi di Indonesia mencapai suatu secercah harapan dengan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga super body yang mempunyai 7 Hangkoso Satrio W., Perampasan Aset Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana

  Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus: Putusan Mahkamah Agung No. 1454 K/PID.SUS 2011 dengan Terdakwa Bahasyim Assifie ), Fakultas Hukum Universtas Indonesia, dikutip dari David Chaikin dan J. C Sharman, Corruption and Money Laundering, A Symbolic Relationship (Amerika Serikat : Palgrave Macmillan, 2009), hlm. 14. 8 9 Ibid . hlm. 39.

   Ibid , hhlm. 188. kewenangan lebih dari penegak-penegak hukum lainnya. Salah satu kewenangannya yang istimewa adalah melakukan penyadapan tanpa izin dari siapapun.

  Salah satu kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir-akhir ini yang mendapat sorotan dari berbagai kalangan masyarakat adalah kasus tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang oleh Irjen Djoko Susilo, yang dikenal dengan Kasus Simulator

  Surat Izin Mengemudi (“Kasus Simulator SIM

  ”). Banyak akademisi dan praktisi hukum yang memandang bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melewati batas kewenangannya dalam menjalankan fungsi maupun tugasnya dalam tahap penyidikan yaitu penyitaan.

  Dalam hal diperoleh bukti yang cukup bahwa masih ada harta kekayaan yang belum disita, hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan

  10

  penyitaan harta kekayaan tersebut. Artinya bahwa penyitaan dapat dilakukan bilamana ada bukti yang cukup. Namun dalam Kasus Simulator SIM ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah menyita aset-aset yang tidak jelas atau bahkan tidak diketahui tindak pidana asalnya (predicate crime). Banyak pihak termasuk penulis yang memandang bahwa tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menyita aset-aset Irjen Djoko Susilo tersebut sebagai penyalahgunaan wewenang. Penegakan hukum seperti ini tentu akanmembahayakan pelaksanaan dari supremasi hukum itu sendiri. Apabila memang tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut tidak 10 Pasal 81 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian. dibenarkan oleh hukum, maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu penegak hukum di negeri ini telah bertindak secara tidak profesional karena berpotensi menegakkan hukum dengan orientasi kekuasaan.

  Sejauh apa sesungguhnya kewenangan KPK dalam melakukan penyitaan? Bagaimana peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur tentang penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana pencucian uang? Apa sesungguhnya alasan dan dasar KPK menyita aset-aset Irjen Djoko Susilo meskipun tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya? Berbagai uraian dan pertanyaan ini menjadi suatu pemicu bagi penulis sehingga tertarik untuk menulis skripsi dengan judul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

  PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

(STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST.

ATAS NAMA TERDAKWA IRJEN POL Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si).

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan yang akandibahas, antara lain: 1.

  Bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia? 2. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur tentang kewenangan

  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyitaan aset yang diduga terkait tindak pidana pencucian uang dan bagaimana prosedur penyitaan tersebut?

  3. Bagaimana tinjauan yuridis terhadap penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset-aset Irjen Djoko Susilo yang tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang?

C. Tujuan Penulisan

  Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini, antara lain:

  1. Untuk mengetahui pengaturan terhadap tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

  2. Untuk mengetahui pengaturan tentang kewenangan KPK dalam melakukan penyitaan aset-aset yang diduga hasil tindak pidana pencucian uang dan prosedur penyitaan itu sendiri.

  3. Untuk mengetahuipandangan yuridis terhadap penyitaan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap aset-aset Irjen Djoko Susilo yang tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang.

D. Manfaat Penelitian 1.

  Secara teoritis Adanya skripsi ini kiranyadapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum pidana khususnya mengenai penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana pencucian uang maupun tidak terkait dengan hasil tindak pidana pencucian uang. Kiranya skripsi ini juga dapat memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan dan keingintahuan masyarakat secara umum maupun para praktisi, akademisi dan mahasiswaterkait penyitaan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap aset yangdiduga hasil tindak pidana pencucian maupun aset yang tidak terkait dengan tindak pidana pencucian uang.

2. Secara Praktis

  Adanya skripsi ini kiranya dapat dijadikan sebagai suatu informasi hukum, rujukan maupun masukan bagi semua kalangan terkhusus para penegak hukum serta merupakan wujud dari fungsi kritis mahasiswa terhadap penegakan hukum yang menjamin hak-hak dari seorang tersangka dan/atau terdakwa khususnya dalam perkara tindak pidana pencucian uang.

E. Keaslian Penulisan

  Judul skripsi “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN

  ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (STUDI KASUS PERKARA NO. 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. ATAS NAMA TERDAKWA IRJEN POL Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si)

  ” belum pernah ditulis sebelumnya oleh mahasiswa baik mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) maupun mahasiswa diluar Universitas Sumatera Utara (USU). Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini.Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik.Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

  Penulisan skripsi ini berkisar tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi yang Melakukan Penyitaan Terhadap Aset yang Tidak Terkait Tindak Pidana Pencucian Uangsebagai wujud kritis dalam rangka pengawasan dan keterbukaan informasi publik atas penegakan hukum.

  Adapun tinjauan kepustakaan tentang skripsi ini, adalah sebagai berikut: 1. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

  Dalam Blacks Law Dictionary disebutkan, bahwa money laundering

  11

  atau pencucian uang disebutkan sebagai : “term used to describe investment or other transfer of money flowing

  from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into

legitimate channels so that its original source cannot be traced

  ”. Yang dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan pencucian uang adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan investasi atau 11 Bismar Nasution, Op.Cit, hlm. 17. pengalihan uang yang mengalir dari pemerasan, transaksi narkoba, dan sumber-sumber ilegal lainnya kesaluran yang sah sehingga sumber aslinya tidak dapat ditelusuri (penulis).

  Sementara itu, pengertian money laundering lainnya dapat diamati dari pengertian yang terdapat dalam United Nation Convention on Against Illicit

  Trafic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances of 1998 , yang

  12

  membuat pengertian money laundering adalah: “the convention or transfer of property, knowing that such property is

  devired from any serious (indictable) offence or offences, for the purpose of concealing or disgusting the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such an offence or offences to evade the legal consequences of his action; or the concealment or disguise of the nature, source, location, disposition, movement, rights with respect to, or ownership of property, knowing that such property is derived from a serious (indictable) offence or

offences or from an act of participation in such an offence or offences

  ”. Yang dapat diartikan bahwa pencucian uang adalah pengalihan atau pemindahan kekayaan yang mana kekayaan tersebut berasal dari kejahatan atau pelanggaran serius yang dapat dituntut, dengan tujuan untuk menyembunyikan kekayaan yang tidak sah atau membantu setiap orang yang

  terlibat dalam kejahatan atau pelanggaran untuk menghindari konsekuensi hukum dari tindakannya; atau penyembunyian atau penyamaran sifat, sumber, lokasi, disposisi, gerakan, hak yang berkaitan dengan, atau kepemilikan kekayaan, dengan mengetahui bahwa kekayaan tersebut berasal dari pelanggaran atau kejahatan serius atau dari tindakan ikut serta dalam suatu pelanggaran atau kejatanan (penulis). 12 Ibid , hlm. 17-18.

  Menurut ketentuan Article 38 (3) Finance Act 1993 Luxembourg,

  13

  pencucian uang dapat didefinisikan sebagai: “suatu perbuatan yang terdiri atas penipuan, menyembunyikan,

  pembelian, pemilikan, menggunakan, menanamkan, penempatan, pengiriman, yang dalam undang-undang yang mengatur mengenai kejahatan atau pelanggaran secara tegas menetapkan status perbuatan tersebut sebagai tindak pidana khusus, yaitu suatu keuntungan ekonomi yang diperoleh dari tindak pidana lainnya ”.

  Sedangkan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa tidak ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai tindak pidana pencucian uang (money laundering), karena berbagai pihak seperti institusi- institusi investigasi, kalangan pengusaha, Negara-negara dan organisasi-

  14

  organisasi lainnya memiliki definisi-definisi sendiri untuk itu. Akan tetapi dia mengambil kesimpulan tentang berbagai definisi tentang pencucian uang

  15

  sebagai berikut: “pencucian uang atau money laundering adalah rangkaian kegiatan

  yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara antara lain dan terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang halal

  ”. tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang

  13 M.Arief Amrullah, MONEY LAUNDERING (Tindak Pidana Pencucian Uang),Bayu Media, Ctk. Kedua, Malang, 2004. hlm. 10-11. 14 Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm. 1. 15 Ibid , hlm. 5. Tindak Pidana Pencucian Uang, bahwa yang dimaksud dengan Pencucian Uang adalah:

  perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah .

  Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pencucian Uang adalah:

  segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini .

  Maka pencucian uang atau money laundering secara garis besar dapat

diartikan sebagai suatu perbuatan kejahatan dengan menempatkan,

memindahkan, menggunakan dan mengalihkansuatu hasil tindak pidana atau

kejahatan asal yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok kejahatan (crime

organization ) dengan tujuan membuat sesuatu yang ilegal menjadi legal

ataupun menjadikan harta kekayaan hasil kejahatan atau tindak pidana

menjadi harta yang seakan-akan merupakan harta yang halal atau sah.

  Penyitaan Tata cara aparatur penegak hukum melaksanakan tugas dalam

masyarakat baik itu merupakan tindakan pencegahan (preventif) maupun

tindakan pemberantasan/penindakan (represif) adalah hukum acara pidana

yang mempunyai tujuan yaitu untuk mencari dan mendekatkan kebenaran

materiil, yakni kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara

  

pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan

tepat.

  Dalam Pasal 134 Ned.Sv. memberikan definisi penyitaan

(inbeslagneming) yang lebih pendek tetapi lebih luas pengertiannya.

  Terjemahannya kira-kira sebagai berikut: “Dengan penyitaan sesuatu benda

diartikan pengambilalihan atau penguasaan benda itu guna kepentingan acara

pidana

  ”.Jadi, tidak dibatasi hanya untuk pembuktian.

  16 Pasal 1 butir 16 KUHAP memberi definisi mengenai penyitaan, yaitu: “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan ”.

  Persamaan kedua definisi tersebut ialah pengambilan dan penguasaan

milik orang.Dengan sendirinya hal itu langsung menyentuh dan bertentangan

dengan hak asasi manusia yang pokok, yaitu merampas penguasaan milik

orang.

17 Dalam Universal Declaration of Human Rights, hak milik orang

  dilindungi. Hal itu tercantum dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:

  18 “Everyone has the rights to own property alone as well as in association with others.

  No one shall be arbitrarily deprived of his property. 16 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Ed.2. Cet. 4., Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 147. 17 Ibid ,hlm. 147-148. 18 Andi Hamzah, Loc.Cit.

  (Setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama- sama dengan orang lain). (Tiada seorang pun boleh dirampas miliknya dengan semena-mena)

  .” Oleh karena itu, penyitaan yang dilakukan guna kepentingan acara pidana dapat dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang- undang. Dalam pelaksanannya diadakan pembatasan-pembatasan antara lain keharusan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat (Pasal 38 ayat (1) KUHAP).

  Menurut Yahya Harahap pengertian penyitaan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP terlihat seperti pengertian dalam hukum acara perdata karena seakan-akan mengambil alih benda yang artinya adalah bahwa sebelumnya benda tersebut merupakan kepunyaan atau milik penyidik yang kemudian dikembalikan kepadanya dalam keadaan semula.

  19 Kemudian Yahya Harahap memberikan definisi sendiri mengenai

  penyitaan yaitu:

  20

  a) “Mengambil atau katakan saja “merampas” sesuatu barang tertentu dari seseorang tersangka, pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan undang-undang. Bukan perampasan liar dengan cara melawan hukum (wederechtelyk), b) Setelah barangnya atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan di bawah kekuasaannya.” 3.

  Tindak Pidana Korupsi

  Menurut Fockema Andreae, kata korupsi berasal dari bahasa Latin

  corruption atau corruptus,

  21

  sedangkandalam bahasa Belanda disebut 19 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 264. 20 Ibid, hlm. 265. 21 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 4. corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption,yang da disebut corruptio dari berasal dari kata kerjacorrumpere yang bermakna serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidayalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada

  22 mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

  Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian.Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang

  23 yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.

  Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah

penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan

sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain.

  Di dunia Internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law

24 Dictionary :

  “Corruption an act done with an intent to give some advantange

  inconsistent with official duty dan the rights of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the rights of others

  .” 22 Artinya :

  diunduh pada Sabtu 11 Oktober 2014 Pukul 15.07 WIB. 23 diunduh pada Sabtu

  11 Oktober 2014Pukul 15.10 WIB. 24 Surachmin dan Dr. Suhandi Cahaya, Startegi Dan Teknik Korupsi Mengetahui untuk Mencegah , Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 10.

  “Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk

  mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran- kebenaran lainnya. “Suatu perbuatan dari sesuatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran-kebenaran lainnya

  .”

  Istilah korupsi sebenarnya sangatlah luas, sulit untuk menemukan pengertian yang mutlak dikarenakan mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin hari semakin kompleks yang kemudian memengaruhi segala aspek kehidupan mulai dari pola berpikir masayarakat, nilai-nilai budaya, dan berperilaku dari masyarakat yang turut serta dalam mengembangkan suatu kejahatan yang awalnya bersifat tradisonal menuju kepada kejahatan yang inkonvensional yang semakin sulit untuk diikuti oleh norma-norma hukum yang telah ada.

  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan: 1)

  Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan /perekonomian negara (Pasal 2); 2)

  Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (Pasal 3);

  3) Kelompok delik penyuapan (Pasal 5, 6 dan 11);

  4) Kelompok delik penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9 dan 10);

  5) Delik pemerasan dalam jabatan (Pasal 12);

  6) Delik yang berkaitan dengan pemborongan (Pasal 7);

  7) Delik gratifikasi (Pasal 12B dan 12C).

4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

  Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian Negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

  Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

  Pengertian “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau

  25 keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.

  Berdasarkan Pasal Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: 25

  yang diunduh pada Sabtu 18 Oktober 2014 Pukul 11.00 WIB.

  1) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

  2) Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

  3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

  4) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;

5) Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

  Berdasarkan Pasal dalam melaksanakan tugas koordinasinya, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: 1)

  Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; 2)

  Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; 3)

  Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; 4)

  Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan 5)

  Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

G. Metode Penelitian

  Diperlukan metode penelitian sebagai suatu cara sistematis yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang pada akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini.

  Dalam penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan Penelitian

  Menurut Bambang Sunggono, penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris

  26

  (penelitian lapangan). Penulisan menggunakan metode pendekatan yuridis

  

normatif atau penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum doktrinal

  yang dapat diartikan sebagai penelitian hukum dengan cara meneliti bahan

  27 pustaka dan bahan sekunder.

2. Jenis dan Sumber Data

  Penelitian Yuridis Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama.Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Peneliti mendapat data yang sudah jadi yang dikumpulkan 26 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 81. 27 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Press, 2007, hlm. 13-14.

  oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode, baik secara komersial maupun nonkomersial.

28 Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai

  Bahan-bahan hukum primer Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain :

  a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

  Tindak Pidana Korupsi;

  c) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

  d) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

  berikut : 1)

  e) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas

  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang;

  f) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak

  Pidana Korupsi;

  g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana

  Pencucian Uang;

  28

diunduh pada Selasa 30 September 2014 Pukul 21.12 WIB.

  Pencucian Uang; h) Putusan

  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 20/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST. Atas Nama Terdakwa INSPEKTUR JENDRAL POLISI Drs. DJOKO SUSILO, S.H., M.Si.

  2) Bahan-bahan hukum sekunder

  Berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, putusan pengadilan, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

  3) Bahan-bahan hukum tersier

  Yaitu bahan-bahan penunjang yang memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Bahan hukum tersier lebih dikenal dengan bahan acuan di bidang hukum atau bahan rujukan di bidang hukum, misalnya abstrak perundang-undangan, biografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan lain-lain.

3. Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik

  Penelitian Kepustakaan (literature research) yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui berbagai sumber bacaan yang berhubungan dengan judul skripsi ini, yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi dan juga menganalisis peraturan perundang-undangan serta melalui bantuan media elektronik, yaitu internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi.

4. Analisis Data

  Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan, diurutkan dan

  29

  kemudian diorganisir dalam suatu pola kategori dan uraian dasar. Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya

  30

  penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya. Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan : a.

  Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

  b.

  Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

  c.

  Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan.

  d.

  Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

H. Sistematika Penulisan

  Agar memudahkan dalam membaca dan memahami serta menguraikan skripsi ini, maka penyusunannya dilakukan secara sistematis.Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

  29 Burhan Bungin, Analisis Data dan Penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Model Aplikasi , Jakarta: Grafindo Persada, 2003, hlm 68-69. 30 Soerjono Soekanto,Op.Cit,hlm. 69. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan. BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Pada bagian pertama akan menguraikan mengenai sejarah dan tahapan tindak pidana pencucian uang. Pada bagian kedua akan menguraikan mengenai pengaturan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. BAB III KEWENANGAN KPK MELAKUKAN PENYITAAN TERHADAP ASET YANG DIDUGA HASIL TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN PREDICATE CRIME TINDAK PIDANA KORUPSI Pada bagian pertama akan menguraikan mengenai penyitaan Pada bagian kedua akan menguraikan mengenai peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang kewenangan KPK dalam melakukan penyitaan. Pada bagian ketiga akan menguraikan mengenai tata cara atau prosedur dalam melakukan penyitaan berdasarkan peraturan perundang- undangan.

  BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYITAAN ASET YANG TIDAK TERKAIT TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI Pada bagian pertama akan menguraikan mengenai Kasus Posisi. Pada bagian kedua akan menguraikan mengenai penyitaan yang dilakukan oleh KPK terhadap aset Irjen Djoko Susilo yang tidak terkait tindak pidana pencucian uang serta dasar hukumnya.

  BAB V PENUTUP Pada bab terakhir ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis ciptakan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Return saham - Pengaruh Struktur Aset, Struktur Modal Dan Profitabilitas Terhadap Return Saham Perusahaan Perbankan Yang Telah GO Publik Dan Terdaftar DI BEI Tahun 2010-2013

0 0 26

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saliva - Efektifitas Mengunyah Keju Cheddar Terhadap Peningkatan Konsentrasi Ion Kalsium Saliva Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

0 1 9

Efektifitas Mengunyah Keju Cheddar Terhadap Peningkatan Konsentrasi Ion Kalsium Saliva Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

0 0 11

BAB II DIVERSI SEBAGAI SUATU KEWAJIBAN DI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA ANAK A. Konsep Diversi dan Restorative Justice Pada Sistem Pengadilan Anak - Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN - Penerapan Diversi Di Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Anak

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Hutang 2.1.1 Pengertian Hutang dan Jenis-jenis Hutang - Pengaruh Free Cash Flow, Struktur Kepemilikan dan Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Hutang dengan Investment Opportunity Set sebagai Variabel Moderating

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Free Cash Flow, Struktur Kepemilikan dan Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Hutang dengan Investment Opportunity Set sebagai Variabel Moderating

0 0 8

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA - Tanggung Jawab Pihak Pengangkut dalam Perjanjian Pengangkutan Pulp antara PT. Toba Pulp Lestari, Tbk dengan CV. Anugrah Toba Permai Lestari (Studi pada CV. Anugrah Toba Permai Lestari)

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN - Tanggung Jawab Pihak Pengangkut dalam Perjanjian Pengangkutan Pulp antara PT. Toba Pulp Lestari, Tbk dengan CV. Anugrah Toba Permai Lestari (Studi pada CV. Anugrah Toba Permai Lestari)

0 0 16

BAB II TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A. Sejarah dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyitaan Aset Yang Tidak Terkait Tindak P

0 0 25